bab iv - eprints.walisongo.ac.ideprints.walisongo.ac.id/7510/5/125112075_bab4.pdf · guna...

28
101 BAB IV ANALISIS KRITIS TERHADAP HADIS PERNIKAHAN DINI ANTARA ‘AISYAH R.A DENGAN NABI MUHAMMAD SAW A. Analisis Sosio Historis Hadis (Hermeneutika) Selain mengaplikasikan kritik sanad untuk menganalisis teks-teks hadis tentang pernikahan ‘Aisyah r.a dengan Rasulullah Saw, penulis juga menggunakan pendekatan sosio historis untuk menganalisis teks tersebut. Hal ini karena hadis sebagai sebuah teks tidak lepas dari konstruk sosio- historis dimana ia muncul. Sebagaimana teks-teks lain yang lahir dari rahim sebuah peradaban, hadis juga sudah pasti membawa cara berpikir (mode of thought) masyarakat di dalamnya. Dalam kajian sosiologi pengetahuan, sudah menjadi sebuah prinsip yang sangat mendasar bahwa tidak ada mode of thought yang dapat dipahami jika asal-usul sosialnya belum diklarifikasi. Isu-isu penting, makna serta sumber ide-ide tersebut tidak bisa dipahami secara semestinya jika penjelasan tentang dasar sosialnya belum diperoleh. Pencarian asal- usul sosial ini, tentu saja tidak untuk menjustifikasi benar atau salahnya, akan tetapi ini menunjukkan bahwa ide-ide harus dipahami dalam hubungannya dengan masyarakat yang memproduk ide tersebut dalam kehidupan yang mereka mainkan. (Baum, 1998: 8) Menyadari posisi hadis sebagai sumber kedua dalam hukum Islam, maka analisis terhadap hadis tentang pernikahan Aisyah r.a sangat penting untuk dilakukan. Selain digunakan oleh sebagian besar ulama’ untuk

Upload: phamquynh

Post on 02-Jul-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

101

BAB IV

ANALISIS KRITIS TERHADAP HADIS PERNIKAHAN DINI ANTA RA

‘AISYAH R.A DENGAN NABI MUHAMMAD SAW

A. Analisis Sosio Historis Hadis (Hermeneutika)

Selain mengaplikasikan kritik sanad untuk menganalisis teks-teks hadis

tentang pernikahan ‘Aisyah r.a dengan Rasulullah Saw, penulis juga

menggunakan pendekatan sosio historis untuk menganalisis teks tersebut.

Hal ini karena hadis sebagai sebuah teks tidak lepas dari konstruk sosio-

historis dimana ia muncul. Sebagaimana teks-teks lain yang lahir dari

rahim sebuah peradaban, hadis juga sudah pasti membawa cara berpikir

(mode of thought) masyarakat di dalamnya.

Dalam kajian sosiologi pengetahuan, sudah menjadi sebuah prinsip

yang sangat mendasar bahwa tidak ada mode of thought yang dapat

dipahami jika asal-usul sosialnya belum diklarifikasi. Isu-isu penting,

makna serta sumber ide-ide tersebut tidak bisa dipahami secara semestinya

jika penjelasan tentang dasar sosialnya belum diperoleh. Pencarian asal-

usul sosial ini, tentu saja tidak untuk menjustifikasi benar atau salahnya,

akan tetapi ini menunjukkan bahwa ide-ide harus dipahami dalam

hubungannya dengan masyarakat yang memproduk ide tersebut dalam

kehidupan yang mereka mainkan. (Baum, 1998: 8)

Menyadari posisi hadis sebagai sumber kedua dalam hukum Islam,

maka analisis terhadap hadis tentang pernikahan Aisyah r.a sangat penting

untuk dilakukan. Selain digunakan oleh sebagian besar ulama’ untuk

102

melegalkan hukum pernikahan anak di bawah umur, hadis ini juga kerap

kali dijadikan oleh para orientalis sebagai alat untuk menyerang

Rasulullah. Justifikasi-justifikasi baik positif maupun negative yang

terlahir karena pemahaman terhadap hadis ini, tentu tidak bisa dilepaskan

dari rentang waktu yang begitu panjang antara pembaca dengan peristiwa

dimana hadis itu berlangsung. Oleh karenanya, asal-usul sosial hadis-hadis

tersebut perlu ditemukan karena secara tidak langsung menggambarkan

mode of thought masyarakat Makkah saat itu mengenai pernikahan anak di

bawah umur.

Guna memperoleh pemahaman yang komprehensif dan mendalam,

penulis menggunakan metode pembacaan Yusuf Qardhawi dalam

memahami hadis Nabi Muhammad Saw. Dalam bukunya Kaifa Nata’amal

Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, Qardhawi memaparkan bahwa setidaknya

ada delapan cara yang harus ditempuh dalam memahami hadis Nabi Saw,

cara-cara tersebut yang selanjutnya akan penulis gunakan dalam analisis di

bawah ini :

1. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.

Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar,

jauh dari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk,

pemahaman sesuai petunjuk al-Qur’an sangat diperlukan. Al-Qur’an

adalah ruh dari eksistensi Islam dan merupakan asas bangunannya. Ia

merupakan konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, yang

kepadanyalah bermuara segala bentuk perundang-undangan dalam

Islam. (Qardhawi, 1993:92)

103

Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, hadis berkedudukan

sebagai penjelasan terinci dari isi kandungan al-Qur’an, baik dalam

hal-hal yang teoritis maupun praktis. Oleh sebab itu, tidak mungkin

hadis sebagai pemberi penjelasan bertentangan dengan al-Qur’an yang

dijelaskan. Jika terdapat pertentangan, maka hal itu pasti disebabkan

tidak sahihnya hadis yang bersangkutan, atau pemahaman kita yang

tidak tepat, atau pertentangan tersebut hanyalah bersifat semu.

Dalam hal pernikahan, al-Qur’an tidak menyebutkan secara

spesifik pada usia berapa seseorang mulai diperbolehkan menikah.

Dasar diperbolehkannya menikahkan anak usia dini, menurut para

ulama’, secara jelas diperoleh dari hadis tentang usia ‘Aisyah r.a

ketika menikah dengan Rasulullah saw. Dalam usaha memahami ayat

ini sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, para ulama mengaitkan dengan

firman Allah dalam surat at-thalaq [65] ayat 4:

‘Ï↔ ¯≈©9 $# uρ z ó¡ Í≥ tƒ z ÏΒ ÇÙŠÅs yϑø9 $# ÏΒ ö/ä3Í←!$ |¡ ÎpΣ ÈβÎ) óΟ çFö; s?ö‘$# £ åκèE£‰ Ïè sù èπ sW≈n=rO 9� ßγô© r&

‘Ï↔ ¯≈©9 $# uρ óΟ s9 zôÒ Ïts† 4 àM≈s9 'ρ é& uρ ÉΑ$ uΗ÷q F{ $# £ ßγè=y_ r& β r& z÷è ŸÒ tƒ £ ßγn=÷Ηxq 4 tΒ uρ È,−G tƒ ©! $#

≅ yèøgs† …ã&©! ôÏΒ Íν Í÷ö∆ r& # Z� ô£ç„ ∩⊆∪

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

104

Kata kunci dalam ayat ini adalah kalimat “wa allᾱ’i lam

yahiḍna” yang berarti “dan perempuan yang belum haid”. Para

mufasir pada umumnya tidak mengaitkan penjelasan makna kata

kunci ini dengan boleh tidaknya menikahkan seorang anak.

Sebaliknya dalam Fiqh, pemaknaan atas kata kunci ini cukup

menentukan. Ketika kata ini diartikan perempuan kecil yang belum

haid, maka dipahami sebagai pembolehan pernikahan anak di usia dini

dengan alasan jika ‘iddahnya anak kecil yang belum haid saja diatur

dalam al Quran, maka hal ini berarti bahwa menikahkan anak kecil

adalah boleh. Sebaliknya jika kata ini diartikan dengan perempuan

dewasa yang tidak mengalami haid sama sekali maka pemaknaan ini

tidak dapat dijadikan dasar pembolehan pernikahan anak perempuan

di usia dini atau usia sebelum haid. Sayangnya pendapat kedua ini

kurang popular dibandingkan pendapat yang pertama.

Dalam usaha memahami hadis seperti ini, apabila terjadi

perbedaan paham antara para fuqaha’ dalam menyimpulkan makna

hadis, maka yang paling utama dan paling dekat dengan kebenaran

adalah adalah apa yang didukung oleh al-Qur’an. (Qardhawi, 1993:

94)

Dalam surat an-Nur ayat 32 dijelaskan:

(#θßsÅ3Ρ r&uρ 4‘ yϑ≈tƒF{ $# ó……….Ο ä3ΖÏΒ ∩⊂⊄∪

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu”

105

Yang dimaksud ‘yϑ≈tƒF{ $# dalam ayat tersebut adalah perempuan

yang belum menikah, baik kecil maupun besar.

Untuk memahami sebuah teks, baik al-Qur’an maupun hadis,

pemahaman terhadap konteks kesejarahan sangat mutlak diperlukan.

Pemahaman ini berguna untuk menyimpulkan nilai atau prinsip yang

mendasari ketentuan teks atau alasan-alasan dibalik pernyataannya.

Fazlur Rahman, melalui teori pembacaannya yang terkenal dengan

teori double movement, bersikukuh bahwa “al-Qur’an adalah sebuah

kitab prinsip-prinsip dan seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah

dokumen hukum”. (Saleh, 2007: 116) Demikian pula hal nya hadis

yang menjadi penjelas atau perinci dari al-Qur’an. Jadi yang menjadi

sumber hukum Islam adalah prinsip-prinsip, nilai-nilai dan tujuan-

tujuan moral al-Qur’an dan hadis bukan semata teks literalnya.

Dalam konteks masyarakat Arab ketika ayat-ayat di atas

diturunkan, menikahkan anak di bawah umur adalah hal yang wajar

dan tidak ditemukan maḍarat. Seandainya ada maḍarat dibaliknya,

pasti ayat al-Qur’an sudah diturunkan dan Nabi Saw akan bersabda

tentangnya sebagaimana dalam masalah-masalah lain.

Nilai prinsipil atau ide-ide moral dari persoalan menikahkan

anak-anak, sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Saw maupun

sahabat-sahabat beliau adalah kemaslahatan. Maslahat sendiri adalah

tujuan dari syari’at. Maka jika tidak ada kemaslahatan dibalik

pernikahan di bawah umur, dan menimbulkan ḍarar bagi istri baik

106

secara fisik maupun psikis, maka hal itu terlarang atau haram. Sekali

lagi, yang menjadi pertimbangan utama adalah kemaslahatan yang

terbaik bagi anak yang melangsungkan perkawinan. (Imron XIII,

2013: 259)

2. Menghimpun hadis -hadis yang terjalin dalam tema yang sama

Upaya menghimpun hadis-hadis dengan tema yang sama

diharapkan bisa membantu mencapai pemahaman yang komprehensif.

Tahap pemahaman ini menunjukkan bahwa sebagaimana ayat-ayat al-

Qur’an yang yufassiru ba’ḍuhum ba’ḍon, hadis dengan tema sejenis

juga mampu untuk saling menafsirkan dan memperjelas satu sama lain.

Hadis tentang usia ‘Aisyah r.a ketika menikah, dijadikan

landasan diperbolehkannya menikahkan anak-anak pada usia dini.

Bahkan dalam Sahih Muslim, hadis ini masuk dalam bab “tazwij al-

Abb al-Bikra as-Sagirah”. Dalam syarahnya, Imam Nawawi juga

menegaskan bahwa hadis ini dengan tegas membolehkan seorang ayah

menikahkan anak gadisnya yang masih kecil tanpa meminta izin

kepadanya. (Nawawi, 2013: 898)

Pembolehan ini didasarkan atas asas kemaslahatan yang bisa

diperoleh dengan jalan pernikahan. Dalam hadis lain ada penjelasan

yang menganjurkan pemuda-pemudi untuk menikah apabila mereka

sudah mampu (al-ba’ah)

107

باب من «م: مسعت النيب صلى هللا عليه وسل " معشر الش

زوج، ومن مل يستطع فـعليه (لصوم فإنه تـ ليـ استطاع منكم الباءة فـ

»له وجاء

“Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan dalam hal ba’ah maka kawinlah karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu melaksanakannya hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng. (HR.Bukhari Muslim).”

Yang dimaksud ba’ah atau mampu tentu bukan semata

ditentukan dari mampu secara fisik, mampu secara ekonomi maupun

siap secara material semata, akan tetapi juga mampu dan siap secara

psikis. Jika seseorang secara psikis atau batin atau keduanya belum

mempunyai kemampuan dan kematangan sebaiknya menunda

pernikahan tersebut dengan cara berpuasa karena puasa dapat

mencegah dari jahatnya nafsu birahi.

3. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang

bertentangan

Prinsip yang diterapkan Qardhawi dalam hal penggabungan

atau pentarjihan (al-Jam’u aw at-tarjih) adalah bahwa penggabungan

lebih didahulukan daripada pentarjihan (al-jam’u muqaddamun ‘alᾱ

at-tarjih). Hal ini karena menurut Qardhawi seandainya ada

pertentangan antara nash-nash syari’at, hal tersebut hanya tampak

108

luarnya saja, bukan hakikatnya. Maka upaya penggabungan lebih

didahulukan.

Berdasar hasil penelusuran penulis menggunakan Jawᾱmi’ Al

Kalim terdapat 83 yang berbicara tentang usia ‘Aisyah r.a ketika

menikah. Dalam hal matan hadis, kesemuanya memiliki banyak

kesamaan, yakni memaparkan usia ‘Aisyah r.a ketika menikah, usia

ketika ‘Aisyah r.a pertama kali digauli oleh Rasulullah Saw dan

keterangan kondisi fisik ‘Aisyah r.a pada masa itu. Akan tetapi

keterangan mengenai usia ‘Aisyah r.a ketika menikah dengan

Rasulullah ternyata berbeda beda.

Dari jalur periwayatan Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya

(‘Urwah), dari ‘‘Aisyah r.a diterangkan bahwa Nabi Muhammad Saw

menikahi ‘Aisyah r.a ketika ‘Aisyah r.a berumur enam tahun, digauli

dan berumah tangga bersama pada usia sembilan tahun ( جها أن النبي تزو

كثت عنده تسعا وهي بنت ست سنين، وأدخلت عليه وهي بنت تسع، وم ).

Sementara Dari jalan periwayatan az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari

‘Aisyah r.a, dipaparkan bahwa Nabi Saw menikahi ‘Aisyah r.a ketika

‘Aisyah r.a berusia tujuh tahun, menggaulinya ketika ‘Aisyah r.a

berusia sembilan tahun, Nabi Saw meninggal dunia ketika ‘Aisyah r.a

berusia delapan belas tahun ( جها وهي بنت سبع سنين، وزفت إليه أن النبي تزو

وهي بنت تسع سنين، ولعبها معها ومات عنها وهي بنت ثمان عشرة "كانت يوم ابتنى بها

(بنت تسع سنين

Dari jalan periwayatan Abu Mu’awiyyah, dari al-A’masy, dari

Ibrahim, dari Al-Aswad, dari ‘‘Aisyah r.a diterangkan bahwa ‘Aisyah

109

r.a dinikahi oleh Nabi Saw pada usia sembilan tahun ( جها رسول > تزو

.(وهي ب نت تسع، ومات عنها وهي بنت ثماني عشرة

Kebanyakan riwayat menyatakan bahwa usia ‘Aisyah r.a pada

saat itu tujuh tahun ( بنت سبع سنين), atau enam tahun ( بنت ست سنين).

Untuk menggabungkan perbedaan antara kedua redaksi yang berbeda

ini, Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa pada

saat menikah, usia ‘Aisyah r.a enam tahun lebih, menginjak usia tujuh

tahun. (Nawawi, 2013: 899)

4. Memahami hadis sesuai latar belakang, situasi dan kondisi serta

tujuannya.

Untuk menghindari pemahaman yang menyimpang dalam studi

hadis, sangat diperlukan penelusuran tentang kondisi yang meliputi

sebuah hadis, serta dimana dan untuk tujuan apa sebuah hadis

diucapkan. Hadis disabdakan untuk menangani problem yang bersifat

lokal (mauḍi’iy), partikular (juz’iy), dan temporal (aniy). Maka dalam

mengkajinya, dibutuhkan pemahaman apakah suatu hadis memiliki

‘illat atau alasan tertentu dibalik periwayatannya. (Qardhawi, 131)

Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II tesis ini, tradisi

menikahkan anak-anak pada saat mereka masih kecil adalah hal yang

wajar dikalangan bangsa Arab pra dan pasca lahirnya Islam. Selain

‘Aisyah r.a, pernikahan usia dini juga banyak dipraktikkan oleh para

sahabat. Bahkan keterpautan usia yang terlampau jauh dalam sebuah

pernikahan juga tidak menjadi masalah.

110

Agaknya kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk

mengawinkan putri-putri mereka yang masih kecil disebabkan karena

khawatir anak perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang

antar-suku. Dengan mengawinan mereka sejak kecil, maka akan

bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku suaminya.

Di sisi lain, gadis-gadis yang bermukim di daerah tropis,

sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang

bermukim di daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia delapan

tahun, gadis-gadis di sana telah mengalami menstruasi. Dalam sebuah

hadis yang diriwayatkan oleh ahmad dari ‘Aisyah r,a dikatakan bahwa

“Jika seorang anak perempuan mencapai umur Sembilan tahun, dia

telah menjadi seorang wanita (Iżᾱ balagati al-jᾱriyah tis’a sinῑna

wahiya imro’ah)”, maksudnya berada dalam hukum wanita. (Zuhaily,

2007: 175)

Berkaitan dengan pernikahan Rasulullah Saw dengan ‘Aisyah

r.a, para ulama’ meyakini bahwa hal tersebut merupakan bagian dari

wahyu Allah. Diceritakan bahwa setelah wafatnya sayyidah Khadijah

r.a, Rasulullah Saw dalam suasana duka yang mendalam. Dua kali

Rasulullah bermimpi didatangi oleh seorang laki-laki (dalam beberapa

riwayat dikatakan bahwa laki-laki tersebut adalah Jibril) bersama

seorang wanita yang ditutupi dengan kain sutra. Laki-laki tersebut

mengatakan “ini istrimu, bukalah”, setelah Rasulullah Saw

membukanya, ternyata yang ada dibaliknya adalah ‘Aisyah r.a.

111

Kemudian Rasulullah berkata “jika memang ini dari Allah, Dia akan

mewujudkannya”.

حدثـنا عبـيد بن إمساعيل حدثـنا أبو أسامة عن هشام عن أبيه عن عائشة

ت قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أريتك يف المنام مرتـني إذا رجل قال

يـقول هذه امرأتك فأكشفها فإذا هي أنت فأقول حيملك يف سرقة حرير فـ

متفق عليه .إن يكن هذا من عند هللا ميضه

Mimpi itu tidak diceritakan pada siapapun, bahkan pada Abu

Bakar, sahabat terdekatnya. Hingga datanglah Khaulah bint Hakim-

istri dari Utsman bin Ma’dzun—seorang yang sangat perhatian

terhadap segala kebutuhan rumah tangga Rasulullah sejak wafatnya

sayyidah Khadijah r.a (Lings, 1983: 106). Khaulah bertanya pada

Rasulullah:” kenapa engkau tidak menikah, wahai Rasulullah” Nabi

saw menjawab “dengan siapa?”, Khaulah kemudian memberi pilihan

“engkau menginginkan janda atau gadis?”, Rasulullah balik bertanya

“siapakah janda dan siapakah gadis?” Khaulah menjawab “yang gadis

adalah ‘Aisyah bint Abu Bakar, anak perempuan dari manusia yang

paling dicintai Allah. Sementara yang janda adalah Saudah binti

Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman dan mengikuti

seruanmu.” Setelah itu Rasulullah Saw meminta melamar keduanya

untuk beliau. (aż Zahabi I, 1987: 280)

112

Selain melalui petunjuk Allah lewat mimpi, Pernikahan ‘Aisyah

r.a dengan Rasulullah Saw, jika dilihat kronologinya melalui literature

hadis, juga memiliki beberapa tujuan khusus:

a. Mempererat hubungan persaudaraan dengan Abu Bakar

Setelah mendapat perintah dari Nabi Saw untuk

mengkhitbah ‘Aisyah r.a dan Saudah r.a, pertama-tama Khaulah

mendatangi Ummu Rumman, ibunda ‘Aisyah r.a dan mengatakan

niatnya untuk melamar ‘Aisyah r.a untuk Nabi Saw. Ummu

Rumman menyampaikan kabar gembira itu kepada suaminya, Abu

Bakar. Abu bakar bertanya “Apakah ia (‘Aisyah r.a) baik untuknya

(Rasulullah), sementara ia adalah anak perempuan dari saudaranya

sendiri?” dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Abu Bakar

menyampaikan hal tersebut pada Nabi Saw langsung:

◌ن النىب ( صلى هللا عليه وسلم ) خطب إىل أىب بكر عائشة ،أ

dأخوك ، فـقال : ( أنت أخى ىف دين ا hا أ فـقال له أبو بكر : إمن

وكتابه ، وهى ىل حالل )

Nabi Saw menjawab pertanyaan Abu Bakar dengan

mengatakan bahwa Abu Bakar adalah saudara seiman (akhun fillᾱh

wa kitᾱbihi) bagi Nabi Saw, dan oleh karenanya, ‘Aisyah r.a halal

untuk dinikahi oleh Nabi Saw.

113

Melihat pernyataan Nabi Saw di atas, tampak bahwa ada

I’tikad yang kuat untuk mempererat persaudaraan antara Nabi Saw

dan Abu Bakar melalui pernikahan tersebut.

b. Mendidik dan melatih ‘Aisyah r.a untuk kepentingan Islam

Sebagaimana yang kita ketahui, istri-istri Nabi Saw disebut

sebagai ummahᾱtul mukminῑn, para ibu dari orang-orang beriman.

Seorang penyair Arab mengatakan “al-umm madrasah al ūla, iżā

a’dadtahᾱ a’dadta sya’ban khoirul ‘irqi” (Seorang ibu adalah sekolah

pertama bagi anaknya, jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka

sama halnya engkau siapkan bangsa berakar kebaikan). (Hijazi I, tt:

144)

Dengan menikahi ‘Aisyah r.a, berarti Rasulullah Saw

mempersiapkan seorang ibu yang cerdas untuk mendidik masyarakat

muslim pada saat itu. ‘Aisyah r.a sendiri dididik langsung oleh

Rasulullah sejak ia kecil. Ia sangat baik dalam melafadzkan teks-teks

wahyu dan menelorkan berbagai keilmuan, serta ia terkenal dengan

dedikasi dan kepandaiannya. Ia sendiri menjadi wanita yang paling

banyak meriwayatkan hadis dan sangat mengerti tentang sistem

kejahiliyahan pada masa itu. (al-Afgani, tt: xxii)

Sejarah intelektual ‘Aisyah r.a terekam dalam banyak

riwayat. Diantaranya:

- Dari Abi Burdah dari bapaknya berkata : Tak ada satupun

hadis yang menjadi persoalan kami-para sahabat Rasulullah

114

Saw- yang ditanyakan pada ‘Aisyah r.a kecuali

mendapatkan keterangan yang benar. (as-Syuhudi I, tt: 11)

- Urwah berkata: saya telah berteman lama dengan ‘Aisyah

r.a dan saya tidak menemukan satu orang pun yang

mengunggulinya dalam permasalahan ayat yang diturunkan

kepada Nabi Saw, juga mengenai kewajiban-kewajiban,

sunnah, sya’ir, hitungan hari bangsa Arab, hukum,

kedokteran dan lain-lainnya. (as-Syuhudi I, tt: 11)

- Imam az-Zuhri mengatakan: Seandainya ilmu pengetahuan

manusia dan seluruh wanita mu’min dijadikan satu maka

niscaya ilmu ‘Aisyah r.a lah yang lebih luas.(al-Afgani, tt:

xxiii)

Selain riwayat-riwayat di atas, masih banyak lagi riwayat yang

memaparkan tentang intelektualitas dan kredibilitas ‘Aisyah r.a..

Banyak kalangan menginformasikan bahwa keilmuan ‘Aisyah r.a

telah mencapai puncaknya dan menuai kematangan yang berkaitan

dengan problematika agama baik masalah al-Qur’an, hadis, tafsir dan

fiqh, serta mampu mentransformasikan kepada para sahabat yang

tersebar diberbagai penjuru negeri. ‘Aisyah r.a tetap tinggal di

Madinah karena keberadaannya di sana sangat penting, sebagai tempat

hadis dan perkembangan keilmuan.

Selepas kepergian Rasulullah Saw, ‘Aisyah r.a selalu menjadi

rujukan utama bagi sahabat untuk bertanya dalam berbagai hal.

Bahkan Umar bin Khattab selalu bertanya kepada ‘Aisyah r.a

115

mengenai persoalan hukum wanita dan perilaku-perilaku Nabi dalam

urusan rumah tangga. Tak ada satupun wanita yang sanggup

menandingi ‘Aisyah r.a dalam pengetahuan. (al-Afgani, tt: xxiii)

Dalam hal riwayat hadis, ketika ada riwayat-riwayat yang

sampai kepadanya dan tidak sesuai dengan pandangannya, ia tidak

segan-segan memperbaikinya dan menerangkan apa yang tersimpan

atau terkandung dalam riwayat tersebut. Dari sinilah reputasinya

dalam keilmuan sangat terkenal, ia menjadi rujukan para pembesar

sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan anaknya, Abu Hurairah, Ibnu

Abbas, dan Zubair. (al-Afgani, tt: xxii)

Maka benar kiranya bahwa Nabi Saw tidak pulang ke hadirat

Allah sebelum menjadikan ‘Aisyah r.a sebagai pilar rujukan umat

Islam dalam hal keilmuan dan akhlak. Pernikahan Rasulullah Saw

dengan ‘Aisyah r.a tidak saja membawa maslahat bagi Rasulullah Saw

dan ‘Aisyah r.a, akan tetapi kemaslahatan bagi umat Islam pada

umumya. Dengan menikahi ‘Aisyah r.a, Nabi Saw mempersiapkan

pendidik yang tangguh dan cerdas bagi kaum Muslimin setelah

kepergiannya.

c. Nasab yang Agung

Dalam banyak riwayat, disebutkan bahwa Aisyah r.a terlahir

empat atau lima tahun setelah masa kerasulan. Ini berarti ‘Aisyah r.a

terlahir dalam fitrah Islam, yakni setelah kedua orang tuanya, ummu

Rumman dan Abu Bakar, menyatakan keislamannya. Tidak ada

116

campuran darah politeis dalam diri ‘Aisyah r.a. Ia adalah perempuan

suci yang terpilih untuk mendampingi dakwah Rasulullah Saw.

Dari pembahasan seputar keutamaan ‘Aisyah r.a di atas, makna

di balik hadis tentang usia ‘Aisyah r.a ketika menikah tampak jelas.

Terlepas dari kontroversi seputar benar tidaknya hadis tersebut,

pemahaman kita akan konteks historis hadis akan banyak membuka

wacana kita, bahwa pada saat itu kondisi social Arab memandang

wajar pernikahan pada usia yang— dalam konteks sekarang—

dianggap masih terlalu dini.

5. Membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap

Menurut Yusuf Qardhawi (1993: 82), penyebab seringnya

pemahaman yang salah dan rancu terhadap hadis adalah karena

sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan yang hendak dicapai

oleh sebuah hadis, dengan sarana temporer atau local yang kadangkala

menunjang pencapaian tujuan. Dalam memahami hadis, seringkali

manusia terfokus pada berbagai sarana seolah-olah hal itu adalah

tujuan yang sebenarnya. Padahal setiap hadis memiliki kandungan-

kandungan inti yang merupakan tujuan hakiki dari hadis itu sendiri.

Sedangkan yang berupa sarana adakalanya berubah dengan adanya

perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan dan sebagainya.

Dalam hadis tentang usia ‘Aisyah r.a ketika menikah dengan

Rasulullah, bisa dibedakan dengan jelas mana yang sarana dan apa

tujuan dibaliknya. Umur ‘Aisyah r.a yang tujuh tahun ketika menikah

dengan Rasulullah Saw, dan Sembilan tahun ketika berumah tangga

117

dengan beliau, hemat penulis hanya sebagai wasilah atau sarana. Hal-

hal yang berkaitan dengan pernikahan--selain rukun dan syarat sah

yang telah ditentukan dalam agama—seperti batas minimal usia,

adalah hal yang temporal, dan bisa saja berubah mengikuti kondisi

zaman, tempat dan adat istiadat. Maka yang menjadi patokan atau

tujuan utama hadis bukanlah usia.

Tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah kemaslahatan, tidak

saja bagi Rasulullah Saw melainkan juga bagi umat Islam. Maka dari

itu yang perlu ditekankan dalam memahami hadis ini adalah

tujuannya. Jika menikah pada usia dini dianggap maslahah, tidak

menimbulkan ḍarar atau kerusakan, maka hal tersebut tidak masalah.

Akan tetapi bila ada ḍarar dibaliknya, sebaiknya tidak dilaksanakan.

Pernikahan sebagai bagian dari syari’at agama, harus turut

serta berperan dalam mencapai maqᾱṣid as-syar’iyyah, yakni : hifẓ

an-nafs (menjaga diri), hifẓ al-‘aql (menjaga akal), hifẓ al-mal

(menjaga harta), hifẓ an-nasl (menjaga martabat) dan hifẓ ad-din

(menjaga agama).

6. Membedakan antara fakta dan metafora

Bahasa Arab adalah bahasa yang paling banyak menggunakan

majaz atau metafora. Oleh karenanya, menurut Qardhawi (1993: 167),

kemampuan untuk membedakan antara yang fakta dan mana yang

majaz sangat penting untuk dilakukan.

118

Dalam kajian hadis tentang usia ‘Aisyah r.a ketika menikah

dengan Rasulullah, penulis menyimpulkan bahwa hadis ini kalimatnya

berupa fakta, tidak mengandung majaz.

7. Membedakan antara yang ghaib dan yang kasat mata

Langkah ini digunakan untuk memahami hadis-hadis yang ada

kaitannya dengan alam ghaib. Dan karena hadis tentang usia ‘Aisyah

r.a ketika menikah bukanlah sesuatu yang bersifat gaib, penulis tidak

membahasnya dalam langkah ini

8. Memastikan makna dan konotasi dalam hadis

Pemahaman terhadap konotasi dalam memahami teks mutlak

diperlukan karena terkadang ia mengandung suatu kata yang

adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu

lingkungan ke lingkungan lainnya. (Qardhawi, 1993: 195)

Setelah melalui penelusuran, penulis menyimpulkan bahwa

hadis tentang usia ‘Aisyah r.a ketika menikah, tidak mengandung

konotasi yang berubah-ubah. Seperti kata tazawwajanῑ yang berasal

dari kata zawaja yang berarti pasangan atau menikah, atau banᾱ yang

berarti membangun (rumah tangga). Kedua kata tersebut, sejauh

penelusuran yang penulis lakukan, tidak mengalami perubahan

makna.

B. Analisis Kritis atas aArgument Ulama’

a. Jalur periwayatan

119

Dalam hal jalur periwayatan, beberapa ulama’ mengkritik keabsaan

riwayat hadis ini. Kritik tersebut bila kita teliti lebih dalam, masih

terdapat celah kelemahan. Seperti tentang perawi, yang mereka kritisi

hanya Hisyam bin Urwah, sedangkan menurut penelusuran penulis

hadis di atas mempunyai jalur rawi yang beragam.

Dalam kajian Jarh wa Atta’dil, Hisyam terekam mempunyai

kecacatan namun disisi lain ada ulama’ yang menganggapnya ṡiqah.

Petentangan ini perlu kita luruskan dengan menggunakan salah satu

teori jarh wa ata’dil, (1) Atta’dil Muqoddam ‘Alᾱ al Jarh (Atta’dil

didahulukan atas Jarh), (2) Al-jarh Muqoddam alᾱ Aatta’dil ( al Jarh

didahulukan atas Atta’dil), dan (3) idza ta’araḍa al jarh wa atta’dil fa

al hukmu lil mu’addil illā idzā ṡubita al jarh al mufassaru (apabila

terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan mencela, maka

yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila

kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya).

Diantara tiga teori di atas, para ulama’ kritikus hadis lebih memilih

teori yang ketiga karena menyebutkan kecacatan seesorang memang

harus disertai bukti. (al-Khatib, 1998: 241)

Seperti yang dikatakan para kritikus tentang Hisyam, hadis-hadis

yang diriwayatkannya saat di Iraq dinilai lemah, dalam kitab syarh

hadis penulis tidak menemukan pasti dimana hadis ini diriwayatkan

oleh Hisyam, menurut Khandhalvi hadis ini diriwayatkan di Iraq

karena muridnya (Imam Maliki) seorang ahli hadis Madinah tidak

terdapat meriwayatkan hadis ini dalam kitab Muwaṭa’nya.

120

Meskipun demikian, perlu kita ingat kembali bahwa hadis tentang

usia pernikahan ‘Aisyah r.a ini diriwayatkan oleh 4 jalur rawi. Dari

kajian kritik sanad yang telah dilakukan oleh penulis terdapat

diantaranya 2 jalur yang shahih yaitu jalur az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari

‘Aisyah r.a dan Abu Mu’awiyyah, dari al-A’masy, dari Ibrahim, dari al-

Aswad, dari ‘Aisyah r.a.

Adapun mengenai adanya dugaan tentang terselipnya lafaz

“ ’asyroh” dari lafaz sitta, sab’a dan tis’a dalam hadis tersebut. jika

hal itu benar dan dikarenakan ingatan Hisyam bin Urwah yang lemah

maka pastinya lafaz ‘asyroh terdapat di hadis lain yang diriwayatkan

oleh jalur perawi yang ṣahih, namun pada kenyataaanya dari dua jalur

hadis yang ṣahih diatas tidak satupun terdapat lafaz ‘asyroh.

b. Periwayatan Ulama’

Guna mencari kesimpulan yang valid kita harus melakukan studi

analisis. Seperti yang telah dipaparkan dalam bab III sebelumnya, usia

‘Aisyah r.a dihitung dari usia kakanya (Asma’ binti Abu Bakar) dan

Fatimah r.a putri Nabi Saw. Dari beberapa riwayat yang telah

dipaparkan sebelumnya, usia Asma’ dikatakan 10 tahun lebih tua dari

‘Aisyah r.a sehingga akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa usia

‘Aisyah r.a saat menikah yaitu 17 atau 18 tahun.

Sedangkan jika dibandingkan dengan umur Fatimah r.a, ‘Aisyah

r.a 5 tahun lebih muda dari Fatimah r.a sehingga menghasilkan

kesimpulan umur ‘Aisyah r.a saat menikah dengan Nabi Saw yaitu 12

tahun.

121

Dari kedua perbandingan diatas nampak menghasilkan kesimpulan

yang berbeda. Riwayat-riwayat dari Ibn Hajar, Thabari, Ibn Hisham, dan

Ibnu Kaṡir kontradiksi satu sama lain.

c. Periwayatan perang

O. Hashem (2009: 70) mengutip sebuah riwayat dari Shahih

Bukhari mengatakan bahwa anak-anak tidak diperbolehkan ikut dalam

perang “Nabi Saw melihatnya tatkala perang Uhud dan ia berumur 14 tahun,

dan Nabi tidak memperbolehkannya ikut berperang. Nabi Saw melihatnya

pada perang Khandaq dan ia berumur 15 tahun, dan Nabi Saw

mebolehkannya ikut ambil bagian dalam peperangan”

Dalam pemahaman riwayat diatas terdapat kejanggalan, pertama,

dia mengatakan anak-anak yang berumur dibawah 14 tahun dilarang

ikut berperang”, Sesungguhnya riwayat tersebut ditujukan kepada ibn

Umar bukan anak-anak secara umum itu artinya sah saja jika ‘Aisyah

r.a yang usianya masih kecil ikut membantu dalam berperang, selain

itu ‘Aisyah r.a adalah istri Nabi Saw yang mana ketika Nabi Saw pergi

berperang maka salah satu istriynya ada yang pergi mendampingi.

Adapun riwayat yang dikemukakan tentang larangan kepada ibnu

Umar adalah saat perang Uhud, dan bukti riwayat yang dikemukan

atas partisipasi ‘Aisyah r.a adalah dalam perang Badr.

، قال: أخبـرين dيد ا ثـنا حيىي بن سعيد، عن عبـ راهيم، حد حدثـنا يـعقوب بن إبـ

هما، أن النيب صلى هللا عليه وسلم: hفع، عن ابن عمر رضي عرضه يـوم «اd عنـ

122

وهو ابن أربع عشرة سنة، فـلم جيزه، وعرضه يـوم اخلندق، وهو ابن مخس أحد

»فأجازه عشرة سنة،

Kedua, Sejarah mencacat bahwa perang Badar terjadi pada tahun

624 M/ 2 H, perang Uhud terjadi satu tahun sesudahnya 625 M/ 3 H

dan perang Khandaq dua tahun setelahnya 627 M/5 H. Jika umur ibn

‘Umar saat perang Uhud 14 tahun seharusnya pada perang Khandaq ia

berumur 16 tahun. Itu artinya riwayat tersebut bertentangan dengan

sejarah dan perlu diuji kembali kevaliditasannya.

C. Pembacaan Hukum Islam terhadap Pernikahan Dini

Dalam menjawab permasalahan, hukum Islam selalu

memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemanfaatan, serta

menghindarkan manusia dari munculnya kerusakan (Saż ad-żara’i) .

Maslahat manusia jika dilihat dari prespektif penilaian syari’ (pembuat

syari’at) dibagi menjadi tiga:

Pertama, Maslahat yang dipertimbangkan syari’ dan disyari’atkan

hukum-hukum untuk mewujudkan maslahat tersebut, seperti maslahat

melindungi jiwa yang karenanya disyari’atkan hukum qishas, maslahat

menjaga harta yang karenanya disyari’atkan sanksi potong tangan atas

pencuri, dan maslahat melindungi akal yang karenanya disyari’atkan

adanya sanksi bagi peminum khamer.

Kedua, maslahat yang diabaikan syari’ dan tidak dijadikanNya

sebagai pertimbangan karena menghilangkan maslahat yang lebih besar.

Misalnya menyerah dari musuh. Syari’ tidak mempertimbangkannya

123

meskipun dapat memberikan maslahat terjaganya nyawa tentara. Karena

dengan memelihara masalah ini dapat melepaskan maslahat yang lebih

besar, yaitu menjaga negeri dari penjajahan musuh dan kehancuran

kehormatan anak bangsa. Karena itu, perang disyari’atkan dan diwajibkan

untuk menolak dan melawan musuh.

Ketiga, maslahat yang tidak ada dalil dari syari’ atas pertimbangan

atau pengabaiannya. Iniah yang disebut maṣlahah al-mursalah

(kemaslahatan umum) yang akan penulis bahas yaitu maslahat yang tidak

terikat oleh dalil yang mempertimbangkannya atau mengabaikannya.

Misalnya pengumpulan mushaf al-Qur’an oleh sahabat Abu Bakar,

pembuatan administrasi oleh Umar, penggunaan penjara oleh para sahabat

dan lain-lain. (Zaidan, 2008: 255)

Secara etimologis “Ma ṣlahah Mursalah” terdiri atas dua suku

kata yaitu maṣlahah dan mursalah. Al maṣlahah adalah bentuk mufrad dari

al maṣalih. (Syafe’I, 1998: 117). Maṣlahah berasal dari kata “ṣoluha”

secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”.

adalah mashdar dengan arti kata ṣalāhan yaitu “manfaat” atau

“terlepas dari padanya kerusakan.” (Syarifuddin, 1999: 323)

Sedangkan kata al-Mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il

maḍi (kata dasar) dalam bentuk ṡulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu

rasala dengan penambahan “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi arsil

yang berarti “terlepas” atau “bebas”.

Bila kata “maṣlahah” digabungkan dengan “mursalah”, maka

secara bahasa berarti “kemaslahatan yang terlepas/bebas dari keterangan

124

yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan”. (Syarifuddin, 1999:

323)

Adapun secara istilah; Menurut Abu Zahrah, maṣlahah mursalah

adalah maslahah yang sesuai dengan maksud pembuat hukum (Allah)

secara umum, tapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui

atau tidaknya. Menurut al-Ghazali, maṣlahah mursalah adalah suatu

metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara yang tidak merupakan dalil

tambahan terhadap nash syara, tapi ia tidak keluar dari nash syara.

(Syafe’I, 1998: 119)

Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang maṣlahah

mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya

terdapat tujuan syara secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara

khusus menerima atau menolaknya. (Syafe’I, 1998: 119)

Kedudukan maṣlahah mursalah dalam pembacaan hukum Islam

juga diterima oleh sebagian besar ulama’. Setiap kasus yang tidak ada nash

yang jelas, ijma’ dan qiyas, asalkan terdapat unsur maslahat di dalamnya,

maka tetap boleh dilakukan. Kasus pernikahan dini bisa menjadi contoh

dari maṣlahah mursalah, karena secara eksplisit, baik al-Qur’an maupun

hadis tidak menganjurkan maupun melarang praktik pernikahan usia dini.

Redaksi hadis yang ada hanya memaparkan bahwa ‘Aisyah r.a menikah

dengan Rasul pada saat usianya tujuh atau sembilan tahun.

Namun dalam aspek maslahat ada hal lain yang perlu

dipertimbangkan, yakni mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan. Tidak

dibenarkan pemberlakuan suat hukum karena aspek maslahat sampai

125

menyebabkan kerusakan. Al-khawarizmi berpendapat bahwa maslahat

merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak

bencana, kerusakan atau hal lain yang merugikan dari manusia. (al-

Syaukani, tt: 242). Membolehkan pernikahan usia dini atas dasar adanya

maslahat di dalamnya, secara otomatis juga harus memikirkan akibat

buruk yang akan ditimbulkan, misalnya kerusakan pada organ fisik

perempuan karena belum siap melakukan hubngan seksual, tertekan secara

mental dan batin, dan lain sebagainya.

Dalam ilmu ushul fiqh, upaya pengambilan hukum dengan

menghindari perbuatan-perbuatan yang menghantar pada keburukan-

keburukan dikenal dengan istilah saż aż-żara’i . Penerapan prinsip saż aż-

żara’i ini sangat penting, terlebih pada persoalan-persoalan yang akibat

buruknya dapat diprediksi atau diketahui sebelumnya. Pada kasus

pernikahan dini misalnya, selain menerapkan prinsip maṣlahah mursalah,

sangat penting juga menekankan prinsip saż aż-żara’i demi terwujudnya

kebaikan bagi pasangan pengantin, terutama sang pengantin perempuan.

D. Relevansi Terhadap Kontek Kekinian

Pernikahan Rasulullah Saw dengan ‘Aisyah r.a yang pada saat itu

masih berusia kanak-kanak merupakan hal yang wajar dalam konteks

sosial dan budaya masyarakat Makkah pada masa itu. Bahkan praktik

menikah dengan anak usia dini juga telah terjadi pada masa arab pra-

Islam. Kakak Nabi Muhammad Saw, Abdul Muthalib, menikah dengan

Halah, kakak sepupu sayyidah Aminah yang pada saat itu masih berusia

kanak-kanak (Bintu Syathi’, 1974: 66). Praktik pernikahan yang

126

melibatkan anak-anak sebagai salah satu mempelainya juga banyak terjadi

di kalangan sahabat. Sahabat Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya

yang bernama Ummu Kultsum dengan Urwah bin Zubair pada saat usia

Ummu Kultsum masih kanak-kanak. Urwah bin Zubair menikahkan

keponakan perempuannya dengan keponakan laki-lakinya ketika keduanya

masih kecil. (Zuhaili IX, 2007: 173)

Sahabat Umar r.a. Menawarkan anaknya yang muda belia, Hafshah,

yang sebaya dengan ‘Aisyah r.a, untuk dinikahi ‘Utsman ra. Juga Umar

bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat dinilai

sebagai semacam pernikahan antara “kakek dengan cucu,” demikian juga

halnya pernikahan Zaid Ibn Haritsah, bekas anak angkat Rasul saw.,

dengan Ummu Aiman yang mengasuh Nabi sewaktu kecil. Ini serupa juga

dengan penikahan “nenek” dengan cucunya.

Menikahkan anak-anak usia dini dalam masyarakat Arab awal Islam,

memiliki tujuan yakni kemaslahatan bagi anak-anak mereka.

Kemaslahatan ini berupa perlindungan keamanan dari bahaya yang

dihadapi akibat perang antar-suku. Dengan mengawinkan mereka sejak

kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku

suaminya.

Pernikahan Rasulullah Saw dengan ‘Aisyah r.a juga memiliki tujuan

untuk kemaslahatan umat. ‘Aisyah r.a yang cerdas, tangguh dan

pemberani, disiapkan oleh Rasulullah Saw untuk menjadi ummahᾱtul

mukminῑn (ibunya orang-orang yang beriman). Dengan menikahi ‘Aisyah

r.a sejak usianya masih belia, berarti Rasulullah Saw memiliki waktu yang

127

lebih panjang untuk mentransmisikan ilmunya kepada ‘Aisyah r.a, sebagai

bekal untuk diajarkan kepada umat Islam sepeninggal Rasulullah Saw.

Mengingat perbedaan zaman dan tempat, hadis tentang usia ‘Aisyah

r.a menikah, tidak sesuai jika digunakan sebagai dalil untuk melegalkan

pernikahan dini. Hal ini karena setiap tempat dan rentang waktu yang

berbeda, tentu juga memiliki konteks sosial dan budaya yang berbeda.

Seperti kaidah “Al-Qur’an Yajr ῑ Ma’a Azzamᾱn Wa al Ahwal Fi Ahkᾱmihῑ

Arroji’ah Lil ‘Urfi Wa al ‘Awᾱid” artinya setiap permasalahan

disesuaiakan dengan waktu dan keadaan dan dikembalikan pada kebiasaan

atau adat. Namun Assa’di (1999: 62) mengecualikannya pada

permasalahan usul seperti shalat, zakat, puasa, haji selalu berlaku dan

wajib sampai kapanpun dalam tidak akan bisa berubah kewajiban

melaksanaknnya walau sampai kapanpun, yang bisa berubah berkaitan

dengan perubahan zaman yaitu tentang ‘urf, ‘adah (kebiasaan) dan

kemasalahatan.

Pernikahan-pernikahan dini pada masa Nabi Saw, jika kita lihat dari

sejarah, memiliki tujuan untuk kemaslahatan. Dan juga, gadis-gadis pada

masa itu lebih cepat tumbuh dewasa, karena pengaruh lingkungan mereka.

Tidak jarang dalam usia delapan tahun, gadis-gadis di sana telah

mengalami menstruasi. Dalam sebuah hadis, ‘Aisyah r.a mengatakan

bahwa “Jika seorang anak perempuan mencapai umur sembilan tahun, dia

telah menjadi seorang wanita (Iżᾱ balagati al-jᾱriyah tis’a sinῑna wahiya

imro’ah)”, maksudnya berada dalam hukum wanita. (Zuhaily, 2007: 175)

128

Menimbang beberapa kasus terkait pernikahan dini di dunia modern,

sebaiknya praktik ini tidak lagi dilakukan. Hal ini karena pernikahan anak

di dunia modern seringkali terjadi karena beberapa hal seperti untuk

menyelamatkan kebutuhan ekonomi keluarga dan adanya kasus hamil di

luar nikah. Akibatnya hal yang tidak diinginkan seperti eksploitasi seksual

terhadap anak, ketidaksiapan psikis atau mental, dan ketidakmampuan

secara financial.

Hukum internasional dan juga hukum perkawinan pada masing-

masing Negara di dunia modern, juga telah menetapkan batas usia

menikah. Ini tidak lepas dari kepedulian untuk menjaga anak-anak dari

eksploitasi baik secara fisik maupun psikis. Standar Internasional

menetapkan bahwa usia minimum ketika menikah tidak boleh kurang dari

18 tahun.

Melihat adanya perbedaan konteks sosial budaya, ḍarar yang

diakibatkan, segi maslahah dan adanya peraturan hukum Internasional dan

Negara mengenai batas usia menikah yang sudah baku, maka sudah

seharusnya praktik pernikahan dini tidak lagi dilakukan di dunia modern.