bab iv analisis pendapat imam malik dan ibn...
TRANSCRIPT
80
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN HAZM
TENTANG KETIDAK MAMPUAN SUAMI MEMBERIKAN
NAFKAH LAHIR SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm
Sebagaimana telah penulis paparkan secara rinci dalam bab
sebelumnya bahwa Imam Malik sangat terkenal dalam pemikirannya dengan
menggunakan Logika atau menggunakan akal sehatnya dalam mencari
problem solving dengan menggunakan dalil Aqli, dalam menetapkan keesaan
Allah, kebenaran Nabi dan kemukjizatan Al-Qur'an serta memegang amal
Ahlu Madilah.1 Sehingga telah jelas beliau berpendapat bahwa “Ketidak
mampuan suami memberikan nafkah kepada istri itu harus diceraikan”.2
Karena menurut beliau justru akan membahayakan istri. Adanya sesuatu yang
membahayakan istri itu adalah yang mengakibatkan perkawinan bisa
dipisahkan.3
Akan tetapi menurut Ibn Hazm adalah berbeda. Beliau menolak
terhadap pendapat Imam Malik, karena walau keadaan apapun istri tidak boleh
meminta cerai kepada suaminya karena dalam mewujudkan tujuan
perkawinan. Kalau terjadi kesukaran dalam ekonomi maka istri harus
1 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Cet. Ke-2, 2002, hlm. 165. 2 Adib Bisri Mustofa, Tarjamah Nailul Authar, Jilid VII, Semarang: CV. Asy-Syifa,
1994, hlm. 287. 3 Imam Malik bin Anas, Al-Muwatto’, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th., hlm. 358.
81
membantu suami dalam mencari nafkah keluarganya karena akibat yang
timbul dari perceraian justru menurut beliau adalah lebih bahaya.4
Dalam bab ini penulis berusaha menyajikan analisa dengan cara
mengkomperatifkan pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm serta ulama’ yang
lain. Baik yang berkenaan dengan alasan pokok nash yang merupakan dalil
dan legitimasi Syari’i bagi Imam Malik dan Ibn Hazm maupun kritikan-
kritikan yang ia lontarkan kepada ulama’-ulama’ yang pro/kontra terhadap
salah satu dari pendapat yang membolehkannya atau tidak (perceraian) dalam
ketidak mampuan suami memberikan nafkah.
Menurut Imam Malik dasar Al-Qur'an yang dipakai beliau adalah
sebagai berikut:
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(QS . At-Thalaq:7)5
Dalam redaksi tersebut menurut Imam Malik adalah orang yang
mampu atau kaya diharuskan untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.
Jika suami sempit rizkinya dan tidak mendapatkan jalan untuk memungkinkan
dirinya untuk menghasilkan nafkah maka tidak ada taklif (atau pembebanan)
baginya.
4 Ibn Hazm, Al-Muhalla, Jilid VII, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th., hlm. 97. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya., Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998,
hlm. 946.
)٧:الطالق(
82
Akan tetapi, menurut Imam Malik dalam kondisi seperti ini baik
suami kaya atau miskin yang tidak mau atau tidak mampu memberikan
nafkahnya kepada istrinya atau keluarganya, maka istri diharuskan untuk
memilih hak khiyar baik untuk tetap kepada suami atau meminta cerai.
Apabila ia rela dengan akibat dari ketidakmampuannya.6
Dalam hal ini Imam Malik lebih cenderung istri untuk meminta cerai
kepada suaminya karena suami tidak mau memberikan nafkah kepada istri.
Hal ini menurut beliau akan bisa mencegah bencana yang menimpa pada
istrinya.7
Penolakan bencana yang menimpa istri itu dikarenakan istri akan
merasa tersiksa atas tingkah suami yang tidak memberikan tanggung
jawabnya kebutuhan nafkah istri sehari-hari. Baik suami itu kaya ataupun
memang suami itu miskin, kalau pihak istri tidak dipenuhinya dimungkinkan
akan mendatangkan derita, sehingga dikhawatirkan si istri itu akan mati
kelaparan atau sengsara. Yang terpenting juga adalah istri juga akan sulit
melakukan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal ini kalau
ditelusuri, pendapat Imam Malik itu bertujuan untuk melepaskan istri dari
kerusakan.8 Serta sebagai rasa penghormatan terhadap istri karena hak-hak
dan kebebasan itu terikat oleh suami dalam perkawinan.
6 Ibnu Rosyd, op.cit., hlm. 38. 7 Adib Bisri Mustofa, op.cit., hlm. 287. 8 Imam Jalaluddin Abdurahman, Tanwirul Hawalik, Syarhu Muwatta’, Juz III, Beirut:
Maktabah, dar Al-Ihya’, t.th., hlm. 87.
83
Seorang suami yang tidak mau memberikan nafkah kepada istri
harus diceraikan. Imam Malik berpegangan pada hadits Nabi Saw sebagasi
berikut:
اذا مل جيد يقول عن مالك أنه بلغه أن سعيد بن املسيب كانوحدثىن ق بينهماجل ما ينفق على امرأته فر الر
Artinya: “Hadist Nabi dari Malik menyampaikan bahwasanya said bin
musaiyab berkata ketika seorang lelaki tidak menemukan sesuatu yang dapat mencukupi nafkah istri. Keduanya(suami istri) tersebut boleh diceraikan .9
Melihat hadits tersebut di atas, bahwa seorang suami yang tidak
menemukan nafkah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya boleh
diceraikan, akan tetapi yang menjadikan perbedaan adalah apakah
pernikahannya fasakh atau tidak ketika suami kesulitan dalam mendapatkan
nafkah atau memberikan nafkah kepada istri. Dalam kondisi seperti ini
menurut Imam Malik adalah diharuskan memilih tetap atau diceraikan, Imam
Malik lebih mengedepankan untuk diceraikan, sebab melihat bahaya yang
akan terjadi,10 dengan akan membahayakan pihak istri maka bisa diceraikan.11
Jadi menurut Imam Malik istri boleh mengajukan fasakhnya kepada
hakim, agar hakim memaksa suami untuk memberikan nafkah dan
mengusahakannya atau menjatuhkan talak. Hal itu ditetapkan bagi wanita
9 Imam Malik bin Anas, op.cit., hlm. 377. 10 Peonah Dally, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, Cet. I,
hlm. 99. 11 Imam Malik bin Anas, op.cit., hlm. 358.
84
lantaran semata-mata tidak ditemukan pemberian nafkah oleh suaminya yang
dapat mengakibatkan istri tertimpa bahaya.12
Sedangkan batasan nafkah para ulama’ dalam penetapannya tidak
mutlak karena yang menjadi ukuran nafkah menurut penulis adalah yang
ma’ruf yang bisa mencukupi kebutuhan sesuai kebiasaan adat. Hal itu tidak
hanya diberikan istri ketika suami miskin ataupun ketika kaya, juga selama
hak dan kewajiban suami istri itu masih terjalin.13
Dalam pendapat Imam Malik tersebut, beliau mencoba memberikan
perlindungan jiwa atau penyetaraan jender terhadap seorang istri serta
akibatnya. Karena ketidak mampuan suami memberikan tanggung jawabnya
untuk memberikan nafkah kepada istrinya dengan ini tentunya untuk anak-
anaknya, istrinya, keluarganya serta orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya. Dengan alasan ini menjadi suatu alasan yang wajar apabila istri
meminta gugat cerai terhadap suaminya.
Hal ini karena dipengaruhi oleh penempatan wanita (istri) yang
dihadapi oleh Imam Malik pada saat itu begitu ketat, berbeda dengan ulama’-
ulama’ yang lain, seperti Abu Hanifah sebagaimana masalah wali nikah, Imam
Malik mengharuskan ada wali. Akan tetapi fiqih Hanafi sedikit memberi
ruang kebebasan terhadap perempuan dalam masalah nikah. Begitu pula
dalam masalah keluar rumah untuk publik, karena fiqih Maliki memposisikan
wanita dengan ketat menyebabkan istri tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Apabila suami tidak memberikan nafkah, sedangkan istri sangat
12 Abdurrahman Asy-Syarkowi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, Bandung: Al-Bayan, Cet. Ke-I, 1994, hlm. 81.
13 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VII, Bandung: PT. Al-MA’arif, Cet. Ke-2, 1982, hlm. 76.
85
membutuhkannya, maka jalan keluarnya adalah memberikan ruang gerak
kepada istri untuk mengajukan gugatan perceraian kepada suaminya melalui
pengadilan atau hakim..
Sedangkan menurut pendapat Ibn Hazm adalah menentang terhadap
pendapat Imam Malik tentang diharuskan untuk gugat cerai terhadap suami
yang tidak mampu atau tidak mau memberikan nafkah keluarganya baik itu
kaya atau miskin.14 Beliau dalam mengambil ijtihadnya juga berpedoman
pada Al-Qur'an atau berpegang teguh pada dzahir nash. Sehingga beliau
terkesan kaku dan tertutup dalam mengambil pendapat.
Kekakuan dan ketertutupan Ibn Hazm, baik dalam metode
penetapan hukum, serta hasil produknya, ini bermuara karena faktor sosial,
kultural dan politik yang meliputi diri Ibn Hazm pada waktu itu, di mana pada
masa mudanya telah terjadi kekacauan politik serta pergeseran umat Islam
dengan orang-orang Nasrani di Andalusia ditambah lagi dengan kebencian
penguasa serta ulama’ terhadap beliau pada masa itu, bahkan kitab-kitab Ibn
Hazm dibakar oleh penguasa. Pada saat itu, hal itu yang mengakibatkan
bersikap keras, eksklusif, dan tertutup terhadap pendapat ulama’ lain, serta
mayoritas masyarakat pada waktu itu mengikuti madzhab Maliki yang
menurut mereka sangat rasional, maka wajar saja beliau berbalik haluan
menentangnya dengan menyerukan kembali kepada nas Al-Qur'an dan As-
Sunnah.
14 Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Beirut: Dar Al-Alaq, t.th., hlm. 92.
86
Ibnu Hazm dalam mencari ketetapan hukum, metode yang beliau
tempuh adalah dengan cara mencari dari nash Al-Qur'an maupun
keterangannya yaitu al-Hadits. Beliau berpegang teguh terhadap keduanya itu,
karena menurut beliau dengan hanya berpegang teguh pada keduanya telah
mampu menjawab segala permasalahan yang muncul.
Dengan keyakinannya Ibn Hazm menolak permintaan cerai oleh istri
kepada suami yang tidak mau atau tidak mampu memberikan nafkahnya
dengan dasar firman Allah SWT:
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq:7)15
Melihat redaksi teks tersebut, Ibn Hazm dalam menafsirkan ayat
tersebut adalah dengan menggunakan metode billafdzi atau lafadhnya,
sehingga dalam penafsirannya adalah dengan sesuai teks, yaitu orang-orang
yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Akan tetapi kalau
sempit rizkinya, maka hendaklah memberikan nafkah menurut yang diberikan
Allah kepadanya. Sebab Allah tidak memberati diri seseorang melainkan
menurut yang diberikan Allah kepadanya. Jadi, jikalau suami tidak bisa
15 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 946.
)٧: الطالق(
87
memberikan nafkah kepada istrinya maka menurut beliau adalah tidak ada
taklif atau pembebanan baginya. Sehingga istri menurut beliau tidak boleh
untuk minta cerai kepada suami hanya karena alasan miskin.
Akan tetapi dalam hadits juga disampaikan kalau memang suami
kikir yang tidak mau memberikan nafkah, maka istri diperbolehkan untuk
mengambil hartanya sebagaimana hadits Nabi SAW:
أن هندا بنت عتبه قال يا رسول اهللا ان ابا . عائشة رضى اهللا عنه عنسفيان رجل شخيخ، وليس يعطيىن وولدى اال ما اخدت منه وهو ال
)خبارى مسلم( باملعروفكيعلم قال خذى ما يكفيك وولد Artinya: “Dari Aisyah ra. bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya:
wahai Rasulullah SAW. Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, ia tidak mau memberikan nafkah kepadaku dan anakku, Sehingga aku mengambil dari padanya tanpa sepengetahuannya, Maka Rasulullah SAW bersabda, Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.16
Melihat dari hadits tersebut bahwa jikalau suami pelit saja untuk
memberikan nafkah kepada istrinya maka istri disuruh untuk mengambil
sendiri tanpa sepengetahuan suami, hal itu menandakan bahwa walau keadaan
apapum, seperti suami kikir istri diharuskan untuk mengambil harta suaminya
sebagai kebutuhan sehari-harinya.
Dalam kebolehannya adalah dengan cara yang ma’ruf (baik) dengan
ukuran yang sudah diketahui oleh adat. Kebolehan ini kendatipun kalimatnya
mutlak namun dari segi makna yang terbatas, jadi seolah-olah Rasulullah
SAW bersabda, “Jika benar yang engkau kufurkan. Hadits ini menunjukkan
16 Ibn Hazm., hlm.. 92.
88
atas kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini telah
disepakati oleh para ulama’. Disamping itu juga berkewajiban memberikan
nafkah kepada anaknya, serta orang-orang yang berhak memperoleh nafkah
secara syara’. Itu semua diperbolehkan mengambil harta itu untuk memenuhi
kebutuhannya, asalkan tidak berlebihan. Kalau memang orang itu tidak mau
melaksanakan kewajibannya dan terus menerus berada dalam kealfaan.
Ibn Hazm dalam memandang hadits Bukhori Muslim tersebut adalah
dikategorikan sebagai ketetapan hukum, karena segala atau mayoritas fatwa
beliau adalah benar (haq). Sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab: 21)17
Dalil Al-Qur'an di atas merupakan alasan pokok dan mendasar bagi
Ibn Hazm, sebagaimana pendapatnya bahwa hadits Rasulullah SAW riwayat
Bukhori Muslim itu dikategorikan sebagai hukum. Jika suami kikir maka istri
diperbolehkan mengambil harta suaminya sesuai dengan kebutuhannya secara
cukup, akan tetapi tidak diharuskan untuk minta cerai. Begitu pula ketika istri
dalam keadaan kaya, ia harus membantu suaminya dengan tidak boleh
menuntut sedikitpun untuk minta kembali. Sebagaimana pendapatnya.
17 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 670.
)٢١:االحزاب(
89
ة النفقة عليه وال ففان عجز الزوج عن نفقة نفسه وامرأته غنية كل رذلك أن أيسترجع عليه بشيئ من
Artinya: “Kalau seorang suami tidak mampu untuk menanggung nafkah
kepada dirinya, sedangkan istrinya kaya, maka nafkah diberikan kepada istrinya tidak boleh sedikitpun istri menuntut kembali hartanya ketika suami kaya.”18
Hal ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan berumah tangga
perlu adanya saling kerja sama antara suami dan istri, yaitu dengan ikut serta
membantu nafkah keluarga dengan meringankan beban suami supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan. Jadi seorang istri tidak hanya menerima saja
sebagai istri, akan tetapi menurut Ibn Hazm semua dalam keluarga yang
mendapatkan nafkah secara Syar’i itu juga mempunyai tanggung jawab dalam
keluarganya, yaitu ahli warisnya sebagaimana istri.19 Mereka bertanggung
jawab atas anak-anaknya jika sudah tidak ada atau tidak mampu yang
bertanggung jawab adalah kerabatnya. Akan tetapi dalam al-Qurtubi, anak
juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu keluarganya jika orang
tuanya sudah tidak mampu memberikan nafkahnya, sebagai rasa berbuat baik
kepada orang tuanya.20
Hal itu semua menurut Ibn Hazm adalah untuk mewujudkan
keluarga yang sejahtera sehingga akan terpenuhi kebutuhan batin dan lahirnya.
Rumah tangga yang bahagia sejahtera adalah yang terpenuhi kebutuhannya
seperti kebutuhan pokok yang berupa sandang, pangan dan papan yang
18 Op.cit., hlm. 92. 19 Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Almaraghi, Juz I, Mesir: dar Al-Fikri, t.th., hlm. 185-187. 20 Muhammad bin Ahmad Al-Asyhry al-Qurtuby, Al-Jaamiatul Ahkam Al-Qur'an, Jilid
III, Beirut-Libanon: Dar Al-Kutub, 1993, hlm. 160.
90
diperlukan sehari-hari. Hal ini akan bisa terwujud jika ada kerja sama antara
keduanya yaitu dengan membantu mencari nafkah. Akan tetapi jika memang
suami tetap tidak bisa memberikan tanggung jawabnya maka menurut Ibn
Hazm tidak ada taklif baginya sebagaimana juga dalam firman Allah SWT
artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.” (QS. Al-Baqarah: 233)21
Dalam ayat ini dijelaskan tentang tanggung jawabnya dalam
keluarga terutama kepada istri dan anak-anaknya. Akan tetapi dalam kadar
tanggung jawabnya adalah kadar kemampuannya. Dan dikatakan pula bahwa
yang ikut bertanggung jawab adalah istri serta juga anak-anaknya. Jadi
kesemua itu mempunyai tanggung jawab dalam keluarga jika didapat ketidak
mampuan. Untuk menghindari perceraian karena kegoncangan ekonomi
rumah tangga, jalan keluarnya adalah bukan hanya istri minta atau diberi oleh
suaminya saja, akan tetapi istri juga berkewajiban membantu mencari nafkah
bahkan beliau merumuskan dengan segala kemungkinannya yang berkaitan
dengan ekonomi. Rumusan tersebut adalah kalau suami miskin sedangkan istri
kaya, maka beban nafkah dirinya ditanggung sendiri (dengan harta istri)
21 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 56.
)٢٣٣:البقراة(
91
apabila istri itu miskin dan tidak mendapatkan nafkah dari suami maka mereka
mendapat bagian sebagaimana bagian fakir miskin yakni mendapat sedekah.22
Ibn Hazm tidak setuju kalau kemiskinan atau ketidak mampuan
suami yang tidak bisa memberikan nafkah itu dijadikan alasan perceraian. Hal
itu akan bisa menyebabkan kesengsaraan suami. Ibn Hazm tidak hanya
memberikan jalan keluar saja, akan tetapi Ibn Hazm mengungkap fakta sejarah
tentang perkawinan di masa shahabat atau Rasulullah SAW dengan
menelusuri hadits-hadits yang shohih yang berkaitan dengan masalah-masalah
tersebut, sehingga masalah ini merupakan kritik yang sangat sesuai karena
ulama’ lain berpendapat bahwa kemiskinan dapat dijadikan alasan
perceraian.23
Menurut Ibn Hazm tidak diperbolehkannya perceraian dikarenakan
suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya itu berdasarkan hadits Nabi
SAW sebagai berikut:
رضى اهللا عنهما عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال أبغض عن ابن عمر )رواه ابو داوود واحلاكم سند صحيح ( احلالل اىل اهللا عز وجل الطالق
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra dari Nabi SAW beliau bersabda perbuatan halal yang dimurkai Allah adalah thalaq (perceraian).”24
Hal inilah yang menyebabkan penolakannya terhadap perceraian
karena sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah SWT diantaranya adalah
thalaq. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya perceraian maka beliau
22 Ibn Hazm, op.cit., hlm. 99. 23 Riwayat Sembilan Imam, Fiqh Abdurrahman Asy-Syarqawi, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000, hlm. 653. 24 Hafidz bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Semarang: Pustaka Al-Alawiyah, t.th.,
hlm. 223.
92
menolak suami yang tidak mampu memberikan nafkah kepada istri tidak
boleh dijadikan alasan perceraian. Karena Islam tidak membebani suatu
kewajiban kepada umatnya di luar batas kemampuannya.25 Serta segala akibat
yang akan timbul dengan adanya perceraian itu antara lain terlantarnya anak.
Menurut penulis perbedaan terhadap ketidak mampuan suami
memberikan nafkah kepada istri sebagai alasan perceraian menurut Imam
Malik dan Ibn Hazm itu karena cara memahami maksud ayat-ayat Al-Qur'an
berbeda-beda. Karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan
perbedaan cara analisis mereka. Demikian juga, sikap dan cara pemahaman
mereka terhadap hadits Nabi SAW juga berbeda-beda. Akan tetapi Imam
Malik mengutamakan pada kemaslahatan yang terkandung dalam penetapan
hukum itu, dan kemaslahatan itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan
lingkungan dimana tokoh-tokoh mujtahid itu hidup dan menetap. Jadi antara
upaya ijtihad mengalami hukum di satu pihak tuntutan perubahan sosial dan di
pihak lain terdapat suatu interaksi.26
Penulis cenderung terhadap pendapat Imam Malik karena
memberikan ruang gerak bagi istri untuk menuntut kepada suaminya yang
tidak bertanggung jawab. Akan tetapi melihat kondisi geografis yang dihadapi
Imam Malik pada saat itu dimana istri tidak boleh keluar dalam hal publik,
maka penulis kurang setuju dalam pengekangan isteri. Menurut penulis,
seorang istri atau ibu rumah tangga juga harus membantu kehidupan rumah
tangganya baik untuk anak-anak ataupun keluarganya dengan berusaha
25 Abu Muhammad Ali Ibn Hazm, op.cit., Jilid X, hlm. 97. 26 Abdul Wahab Khallaf, Tarjamah Ushul Fiqh, Semarang: CV. Dina Utama, Cet. I,
1994, hlm. 7.
93
membantu mengurangi tanggung jawab suami. Jadi harus ada kerjasama
antara keduanya. Meskipun isteri bekerja untuk membantu suami, hal itu tidak
boleh mengakibatkan suami penganggur dan istri yang kerja atau berbanting
tulang dalam mencari kebutuhan sehari-hari, seperti yang banyak terjadi pada
saat sekarang. Yang perlu diperhatikan adalah suami harus tetap bekerja dan
istri membantu suami dalam mencari nafkah keluarganya. Menurut penulis
apabila isteri dibebani untuk menari nafkah maka hal itu bukan hanya bisa
memojokkan seorang wanita baik dari segi syari’ah ataupun dari segi
kepatutan, Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan,
akan tetapi bagaimana jalan yang benar dan relevan yang harus diterapkan
terhadap permasalahan itu. Sehingga akan terwujud persamaan jender dan
terbaginya keadilan.
Untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah, warahmah
sebagaimana tujuan perkawinan memang sulit tanpa disertai tanggung jawab
terhadap keduanya, serta saling membantu dalam mencari nafkah ataupun
saling mengerti diantara keduanya.
Kecenderungan penulis memilih pendapat Imam Malik karena
beliau dalam mengambil ijtihad itu adalah sebagaimana Umar bin Khattab,
yaitu dalam memakai hadits beliau memakai hadits Darul Qutni yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Yaitu jika seorang suami tidak menemukan
sesuatu yang dapat mencukupi keluarganya maka boleh diceraikan, hal ini
adalah pandangan beliau. Penulis mendukung pendapat Imam Malik itu
karena akibat yang timbul atau bahaya terhadap istri karena akan tersakiti dan
94
membahayakan istrinya terutama dalam melaksanakan tanggung jawab
sebagai istri. Sedangkan dalam memahami ayat Al-Qur'an surat At-Thalaq
ayat 7 memang berbeda-beda, karena Imam Malik lebih mengutamakan
kemaslahatan sedangkan Ibn Hazm mengutamakan pendekatan lafdiyah.
Dalam penetapan hukum, yang harus dilakukan adalah yang berdasarkan
kemaslahatan, untuk kebaikan dalam masyarakat, sehingga menurut penulis,
pendapat Imam Maliklah yang dipilih.
Begitu pula dalam masalah akibat hukum yang terjadi jika telah
terjadi perceraian, menurut penulis status talaknya adalah bukan sebagai talak
tiga sekaligus walaupun dari pihak istri yang meminta cerai kepada suaminya.
Hal ini menurut Imam Malik dan Ibn Hazm kalau seorang istri yang meminta
perceraian maka statusnya adalah sebagai talak tiga. Akan tetapi menurut
penulis bukan talak tiga sekaligus karena kalau dilihat demikian status istri
seakan-akan juga tidak mempunyai kekuatan dan tidak ada kesetaraan jender.
Dalam hal ini adalah masalah munakahat yang hubungannya adalah
kemanusiaan. Maka menurut penulis konsekuensinya adalah sebagai talak satu
karena akibat dan masalah yang terjadi justru akan lebih baik serta masih
diperbolehkannya jika ada harapan.
Perceraian ini menurut penulis adalah bukan sebagai khulu’.27
Dengan ketentuan suami tidak boleh meminta tebusan kepada istri karena
yang seharusnya memberi nafkah adalah suami akan tetapi tidak bisa
memberikannya. Maka hal itu disamakan dengan hutang, yang seharusnya
27 Saekan, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola,
Cet. I, 1997, hlm. 106.
95
suami memenuhi tanggung jawabnya untuk memberi nafkah tetapi tidak bisa
memenuhinya. Maka istri tidak harus membayar tebusan, dan hal itu bisa
disamakan dengan hutang.
Oleh karena itu, penulis cenderung kepada pendapat Imam Malik
istri diperbolehkan minta cerai kepada suami tetapi tidak sependapat dalam hal
istri tidak boleh keluar dalam urusan publik. Akan tetapi penulis sependapat
dengan Ibn Hazm dalam hal istri boleh bekerja untuk membantu suami. Hal
ini lebih memberikan ruang gerak terhadap kaum wanita serta menganjurkan
pihak istri untuk tetap membantu mencari nafkah kepada suami. Karena hal itu
semua akan melihatkan rasa pertanggung jawaban diantara keduanya.
B. Analisis Metode Istimbath yang Dipergunakan Imam Malik dan Ibn
Hazm
Imam Malik dan Ibn Hazm merupakan ulama’ yang patut diikuti dan
menjadi ikutan orang-orang yang telah menjadi pengikutnya terutama di masa
itu. Beliau mengambil ijtihad dengan cara berbeda-beda sehingga
menghasilkan ketetapan hukum yang berbeda pula. Hal itu antara lain
dipengaruhi oleh kondisi geografis.
Imam Malik dalam melakukan ijtihad dengan mengambil Al-Qur'an
serta al-Hadits sebagai pedoman utama. Dia menerima hadits Mursal, hadits
Muqothi’ dan hadits-hadits yang telah disampaikan perowi kepadanya yang di
dalam Al-Muwatta’ dita’birkan dengan ibarat “balaghani” (sampai kepadaku).
Walaupun tidak diterangkan sebab-sebab beliau menerima hadits, karena pada
masa itu beliau masih mempertanyakan tentang kedudukan hadits mursal dan
96
karena Imam Malik tidak menerima hadits melainkan dari orang yang
dipercayainya.28
Imam Malik lebih condong mengistimbathkan hukum dengan
mengutamakan hadits daripada lainnya. Jika tidak ada dalam Al-Qur'an, beliau
menggunakan hadits meskipun berupa hadits ahad, hadits mursal, dan hadits
dho’if. Dan terhadap amal ahli Madinah beliau memandang bahwa penduduk
madinah adalah orang yang paling tahu turunnya Al-Qur'an dan penjelasan-
penjelasan Rasulullah SAW karena itu menurut beliau penduduk Madinah
bisa dijadikan sumber hukum.
Dasar hukum yang dipakai Imam Malik untuk mengambil ijtihadnya
adalah Al-Qur'an surat At-Thalaq ayat 7 dan Hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Dar al-Qutni dari Abu Hurairah. Selain itu, beliau bersumber pada
praktek amal ahlu Madinah dan menggunakan qiyas. Dalil yang spesifik di
dalam madzhabnya yang terkenal dengan Al-Masalihul Mursalah, suatu dalil
atau alasan hukum berkenaan dengan keharusan dengan kemaslahatan umum.
Sehingga dia terkenal dengan ahli penalaran (logika) dan kemaslahatan bagi
kaumnya, sehingga rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan.
Beliau lahir di Hijaz dimana termasuk wilayah Madinah.
Penduduknya terkenal masih sederhana dalam kehidupannya pada waktu itu,
sehingga dengan sunnah saja sudah dapat menyelesaikan hukum (menurut
penduduk) dan sunnah masih relevan untuk penduduknya, maka Imam Malik
mulai bergerak dengan berijtihad.
28 Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Jilid I, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975, hlm. 171.
97
Sebagaimana permasalahan suami yang tidak memberikan nafkah
kepada istri, istri bisa menuntut cerai kepada suami dengan sebab istri akan
tersakiti dan akan ada bahaya terhadap istri yang penting adalah istri tidak bisa
melakukan tanggung jawabnya juga.
Diantara yang telah disepakati oleh jumhur ulama’ bahwa Allah
SWT tidaklah mensyariatkan suatu hukum melainkan untuk kemaslahatan
hamba-hambanya. Sesungguhnya kemaslahatan ini adakalanya berupa
menarik manfaat bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka.
Jadi yang mendorong pembentukan hukum syara’ apapun adalah menarik
manfaat bagi manusia dan menolak bahaya dari mereka. Pembentukan hukum
syara’ ini merupakan sasaran yang dikehendaki daripada pembentukan
hukumnya. Kebolehan istri meminta cerai kepada suami hikmahnya adalah
menolak masyaqqah (kesulitan) dan bahaya dari suami yang tetap tidak
memberikan nafkah. Hikmahnya adalah akan terlindungi kehidupan istri dan
akan semakin meningkatkan tanggung jawabnya. Sedangkan illatnya adalah
pertanggung jawaban.
Bahaya adalah sifat yang ada pada ketidak tanggung jawaban suami
kepada istri yang menjadi kebolehan istri meminta cerai dan dengan adanya
sifat bahaya terhadap istri inilah diketahui diharuskan istri untuk minta cerai.
Hal itu adalah hukum syara’ didasarkan atas illat-illatnya, maksudnya hukum-
hukum itu dikaitkan dengan illatnya baik ada ataupun tidak, bukan atas
hikmah-hikmahnya. Maksudnya hukum syara’ itu ada apabila illatnya juga
ada meskipun tidak ada hikmahnya.
98
Menurut penulis, Imam Malik dalam berijtihad dengan mengambil
hukum dengan illat adalah dengan sifat munasib mulaim, yaitu sesuatu sifat
yang sesuai yang mana Syar’i telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat
itu. Namun tidak ada nash atau ijma’ yang menetapkannya sebagaimana illat
hukum menurut pandangan Syar’I yang disusun dengan sifat itu. Hanya saja
berdasarkan nash ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap sebagai
illat hukum dari hukum sejenis yang oleh Syar’i telah disusun hukumnya
sesuai dengan sifat itu, ataupun sifat yang sejenis dianggap sebagai illat
hukum yang sejenis dengan hukum ini. Hal ini cocok dengan tindakan syar’I
dalam pembentukan hukum dan memberikan illatnya. Oleh karena itu disebut
dengan sifat munasib mulaim. Hal ini disepakati keabsahannya untuk
memberikan illat dengannya dan mendasarkan qiyas padanya.29 Pendapat
Imam Malik adanya bahaya yang ada pada istri untuk diperbolehkannya istri
minta cerai pada suami, dikarenakan adanya dugaan istri akan sengsara dan
terutama tidak bisa melakukan tanggung jawabnya. Hal ini diqiyaskan dengan
suami yang tidak memberikan mahar kepada istri. Sebab nafkah adalah wajib
diberikan selama perkawinan terjalin.
Hal itu menurut penulis, Imam Malik berusaha menolak segala yang
merusak atau bahaya terhadap istri sebagaimana kaidah ushul Fiqih ( املفاسد درء )
menolak segala yang merusak serta (وجلب املصاحل) menarik segala yang
bermaslahat. Maka seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istri, istri
29 Abdul Wahab Khallaf, Tarjamah Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, Cet. I, 1994, hlm. 86.
99
boleh minta cerai kepada suami dengan alasan akan terjadi bahaya, sengsara
atau kelaparan. Terutama tidak akan bisa melaksanakan tanggung jawabnya
sebagai istri. Hal ini juga sesuai dengan kaidah yang lain yaitu (الضرار يزال)
kemadharatan harus dilenyapkan.
Perlu penulis tegaskan bahwa Islam adalah mudah, dimana
kemudahan ada prinsip pokok dalam Syari’ah. Islam tidak mengajarkan
penyiksanaan sebagaimana firman Allah SWT.
مِرا ييِل اُهللاد يجلَعلَ عكُيِمم نح ٦: املائدة(... ٍجر (
Artinya: Allah tidak ingin memberatkan kesulitan bagimu. (QS. Al-Maidah: 6).
...وما جلَعلَ عكُيِفم ى الدمِ ِني نح ٧٨: احلج ( ٍجر (
Artinya: Allah tidak memberikan sesuatu yang memberatkan bagimu dalam Agama. (QS. Al-Haj: 78).
Akan tetapi kalau dilihat Ibn Hazm seperti yang penulis paparkan
pada bab sebelumnya bahwa beliau adalah seorang figur yang mempunyai ciri
khas tersendiri dalam pemikirannnya. Walaupun beliau sebagai ulama’
penganut madzhab Ad-Dzahiri, akan tetapi tidak dapat disangkal lagi bahwa ia
termasuk seorang mujtahid mutlak yang berfikir bebas. Begitu juga prinsip-
prinsipnya yang beliau pegangi, baik masalah dasar hukum maupun dalam
mengeluarkan suatu hukum itu sendiri ia selalu mengacu pada nash-nash Al-
Qur'an dan al-Hadits SAW.
Ibn Hazm dalam melakukan istimbath hukum, ia langsung
mengambil dari ketiga sumber tasyri’ yaitu Al-Qur'an dengan mengambil
100
dzahir nash, As-sunnah dan Ijma’. Hal tersebut disebabkan adanya
kesepakatan para sahabat untuk tidak menetapkan suatu hukum tanpa ada
sandaran, pijakan atau dasar sama sekali. Oleh karena itu, beliau memilih
madzhab yang di dalamnya tidak ada seorangpun yang ditaqlidi serta masing-
masing tokohnya langsung mengambil sendiri dari Kitab Al-Qur'an, Al-Hadits
serta Ijma’ sahabat dan madzhab tersebut ialah madzhab Dzahiri.
Kemudian penulis sudah paparkan dalam Bab III mengenai metode
istimbath yang beliau pakai, salah satunya menggunakan Al-Qur'an. Dalam
dalil Al-Qur'an Ibn Hazm menggunakan dzahir nashnya saja, walaupun pada
kenyataannya ia terkadang menggunakan penafsiran bahwa dalil itu bersifat
umum.
Dalam permasalahan perceraian terhadap suami yang tidak
memberikan nafkah kepada istri, beliau pun memahami berdasarkan surat At-
Thalaq ayat 7 dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari
Aisyah ra yang mana kedua dasar tersebut menunjukkan bahwa ”Jika suami
tidak mampu untuk memberikan nafkah maka Allah tidak membebaninya.
Sehingga tidak ada beban bagi orang yang tidak mampu bahkan dengan
demikian dalam hadits Nabi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari
Muslim mengungkapkan “Walaupun keadaan suami kikir, istri boleh
mengambil dengan cara secukupnya”.
Hal ini merupakan kebolehan yang harus dilakukan jika suami tidak
memberikan nafkah kepada istrinya atau keluarganya. Menurut Ibn Hazm
hadits Bukhari Muslim tersebut dikategorikan sebagai ketetapan hukum
101
karena segala fatwa Rasul adalah benar (haq), maka harus diikuti dan wajib
dilakukan. Dalam menggunakan hadits yang dibuat dasar itu adalah hadits
shahih, karena beliau hanya meyakini hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Bukhari Muslim.30 Oleh karena itu, beliau menolak hadits mursal, muqothi’
dan dho’if. Sebagaimana yang menjadi pedoman Imam Malik.
Dalam permasalahan istri tidak boleh meminta cerai kepada suami,
beliau pahami dalam surat At-Thalaq dan hadits Nabi dari Aisyah itu. Karena
pandangan Ibn Hazm ketidak bolehannya adalah diperkuat dengan hadits lain
yaitu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dengan sanad Shahih
dari Ibn Umar ra “Bahwa perceraian merupakan dimurkai oleh Allah”. Hal ini
merupakan penolakan Ibn Hazm terhadap perceraian. Hal itu menunjukkan
bukan suatu hal yang fardhu atau wajib untuk dilakukan, akan tetapi hal yang
disyari’atkan dan harus dilaksanakan berdasarkan Ittiba’ (ikutan) perbuatan
Rasul. Dalam kitabnya Al-Ihkam fil Ushul Al-Ahkam, dijelaskan bahwa
keterangan itu terkadang berbeda-beda keadaannya. Sebagian terang dan
sebagian tersembunyi, karena itu berselisihlah manusia dalam memahaminya.
Sebagian ada yang langsung memahami dan sebagian lain baru kemudian
memahaminya.31
Dari penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa memang
pada kenyataannya, pemahaman manusia itu berbeda-beda. Untuk dapat
memahami makna yang tersirat dalam suatu hadits, khususnya Al-Qur'an surat
At-Thalaq ayat 7, menurut hemat penulis bahwa latar belakang perbedaan dan
30 M. Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Diroyah Ilmu Hadits, Jilid I, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987, hlm. 113.
31 Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Jilid I, Beirut: Dar Al-Kutub, t.th., hlm. 87.
102
pemahaman tersebut berbeda-beda. Akan tetapi setelah melihat berbagai
macam pendapat ulama’ dalam kitab-kitabnya mengenai ketidak bolehan
percerian yang didasarkan hadits dari Abu Dawud dan Aisyah, nyatalah
bahwa Ibn Hazm merupakan seorang figur ulama’ yang telah mengikuti
metode istimbath yang digunakannya sendiri yaitu menggunakan makna
dzahir nash dan hadits shahih yang bersambung pada Nabi bukanlah hadits
dho’if dan cacat dalam matan atau sanadnya.
Dari semua pendapat Ibn Hazm mengenai metode penetapan hukum
serta hasil dari karyanya, kadang-kadang beliau bersebarangan dengan ulama’-
ulama’ lain. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, kultural dan politik yang
menyelimuti dirinya, dimana pada masa mudanya beliau telah mengalami
berbagai kekacauan, sehingga ini menyebabkan beliau bersikap keras,
eksklusif dan tertutup pada ulama’ lain.
C. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm
1. Persamaan-persamaan pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm.
a. Imam Malik dan Ibn Hazm dalam mengambil ijtihad adalah memakai
dasar dalil Al-Qur'an dengan dasar surat At-Thalaq ayat 7. Akan tetapi
beliau berbeda-beda dalam penafsiran.
b. Beliau sama-sama mengambil ijtihad dengan menggunakan hadits
Nabi SAW. jika dalam Al-Qur'an tidak didapatkan.
103
c. Dalam metode ijtihad beliau adalah sama-sama untuk mendapatkan
kemaslahatan umat dan mencari jalan bagaimana yang terbaik untuk
masyarakat. Akan tetapi berbeda cara beliau berijtihad.
d. Beliau sama-sama menyetujui tentang Ijma’ Shahabat sebagai
pedoman ijtihad.
2. Perbedaan-perbedaan pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm
a. Perbedaan Imam Malik dan Ibn Hazm terutama adalah letak geografis
dimana Imam Malik hidup di Madinah dan corak kehidupannya masih
mengikuti para shahabat dan tabi’in, sehingga mengikuti Amal Ahlu
Madinah. Sedangkan Ibn Hazm hidup di Cordova, pada masa itu
terjadi kekacauan serta pergeseran umat Islam dengan orang-orang
Nasrani serta kebencian penguasa-penguasan terhadap dia bahkan
beberapa kitab beliau banyak yang dibakar sehingga corak berfikir
beliau mengakibatkan bersikap keras.
b. Imam Malik dengan ciri yang khas terkenal dengan mengambil
penafsiran Al-Qur'an dengan melihat maslahah yang terjadi ketika itu
sehingga pada waktu dia terkenal dengan Ahli penalaran (logika).
Akan tetapi Ibn Hazm berbeda, beliau dalam memegang Al-Qur'an
beliau mengambil dengan cara dzahir nash sehingga menjadi terkesan
kaku.
c. Imam Malik menerima hadits ahad asalkan sanadnya shahih/hasan
walaupun berlawanan dengan qiyas ataupun amal perbuatan
perawinya. Dan yang terpenting menurut dia khabar ahad tersebut
104
tidak bertentangan dengan amal Ahlu Madinah. Sedangkan Ibn Hazm
menolak hadits tersebut, akan tetapi yang dipakai adalah hadits shahih
terutama dari Bukhari Muslim.
d. Imam Malik dalam mengambil dalil hadits dengan memakai hadits
dari Abu Hurairah ra dari Dar al-Qutni sebagai dasar. Karena hal ini
lebih mengena menurut dia adalah lebih tepat dan mengena. Akan
tetapi Ibn Hazm memakai hadits dari Aisyah ra, hadits Bukhari
Muslim dan dari Umar ra diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim.
e. Imam Malik berpendapat istri boleh minta cerai kepada suami jika
tidak memberikan nafkah kepada dia. Akan tetapi Ibn Hazm
menolaknya, kalau pihak istri meminta cerai hanya karena nafkah atau
kemiskinan. Menurut dia adalah istri bukannya minta cerai, akan tetapi
harus membantu keluarganya untuk cari nafkah buat menghidupi
keluarganya.
105
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang penulis paparkan pada Bab IV, maka
penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Imam Malik berpendapat bahwa seorang istri yang tidak diberi nafkah
oleh suami, istri boleh meminta cerai dengan alasan akan mengakibatkan
bahaya terhadap istri seperti kelaparan, mati, sengsara dan istri tidak bisa
melaksanakan tanggung jawab kepada suaminya. Sedangkan Ibn Hazm
tidak boleh istri meminta cerai kepada suami karena menurut dia kalau
terjadi perceraian justru bahaya yang timbul akan lebih bahaya.
2. Menurut penulis hadits yang paling kuat adalah dalil yang dikkemukakan
oleh imam Malik yang diriwayatkan dari Dar Al-Qutni. Sebab disamping
kuat perowinyanya juga lebih mengenai pada permasalahan. Sedangkan
hadits yang dibuat dasar Ibn Hazm dalam mengambil istimbath dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Aisyah kalau melihat
kekuatan sanadnya adalah kuat dan hadist tersebut adalah shoheh akan
tetapi menurut penulis kurang mengena dalam permasalahan , sebab hadits
tersebut adalah hanya diperbolehkan mengambil jika suami tidak
memberikan nafkah.
105
106
B. Saran-Saran
1. Dalam memahami persoalah hendaklah dilakukan secara mendalam dan
utuh serta berusaha menyelami dan mengkaji akar persoalan sebenarnya.
Sebab dengan demikian akan tumbuh cakrawala berpikir yang luas dan
tidak akan terjebak dalam kesalahpahaman yang menjurus pada fanatisme.
2. Dengan melihat secara historis terhadap sosok Imam Malik dan Ibn Hazm
dan pola berpikirnya, hendaklah kita sadar bahwa apa yang dilakukan
hanyalah sebagai feed back terhadap realitas sosial yang dihadapinya.
3. Dengan melihat metodologi kedua Imam tersebut dalam melakukan
penggalian hukum serta fiqihnya yang mempunyai perbedaan ciri khas
adalah suatu yang patut kita renungkan dan kita kaji kembali serta
meyakini bahwa itu semua adalah sebagai produk sejarah yang
mempunyai kebenaran relatif bukan sebagai karya Tuhan yang diberi
dengan harga.
4. Hendaklah ditindaklanjuti dan dikaji ulang bagi pembaca skripsi ini
sehingga syari’at Islam benar-benar selalu sejalan dengan perjalanan masa
dan pergantian zaman.
C. Penutup
Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.,
karena dengan taufiq dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Namun penulis menyadari bahwa skripsi yang bersifat analisis ini sangat
sederhana serta banyak kekurangan dan kelemahan karena memang
107
keterbatasan daya pikir dari penulis. Untuk itu, tegur sapa dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Namun penulis tetap mengharap
dan berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama pada diri sendiri dan
pembaca pada umumnya.