bab iv analisis pendapat imam malik dan ibn...

28
80 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN HAZM TENTANG KETIDAK MAMPUAN SUAMI MEMBERIKAN NAFKAH LAHIR SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana telah penulis paparkan secara rinci dalam bab sebelumnya bahwa Imam Malik sangat terkenal dalam pemikirannya dengan menggunakan Logika atau menggunakan akal sehatnya dalam mencari problem solving dengan menggunakan dalil Aqli, dalam menetapkan keesaan Allah, kebenaran Nabi dan kemukjizatan Al-Qur'an serta memegang amal Ahlu Madilah. 1 Sehingga telah jelas beliau berpendapat bahwa “Ketidak mampuan suami memberikan nafkah kepada istri itu harus diceraikan”. 2 Karena menurut beliau justru akan membahayakan istri. Adanya sesuatu yang membahayakan istri itu adalah yang mengakibatkan perkawinan bisa dipisahkan. 3 Akan tetapi menurut Ibn Hazm adalah berbeda. Beliau menolak terhadap pendapat Imam Malik, karena walau keadaan apapun istri tidak boleh meminta cerai kepada suaminya karena dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Kalau terjadi kesukaran dalam ekonomi maka istri harus 1 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Cet. Ke-2, 2002, hlm. 165. 2 Adib Bisri Mustofa, Tarjamah Nailul Authar, Jilid VII, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994, hlm. 287. 3 Imam Malik bin Anas, Al-Muwatto’, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th., hlm. 358.

Upload: buidang

Post on 16-Apr-2018

245 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

80

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN HAZM

TENTANG KETIDAK MAMPUAN SUAMI MEMBERIKAN

NAFKAH LAHIR SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm

Sebagaimana telah penulis paparkan secara rinci dalam bab

sebelumnya bahwa Imam Malik sangat terkenal dalam pemikirannya dengan

menggunakan Logika atau menggunakan akal sehatnya dalam mencari

problem solving dengan menggunakan dalil Aqli, dalam menetapkan keesaan

Allah, kebenaran Nabi dan kemukjizatan Al-Qur'an serta memegang amal

Ahlu Madilah.1 Sehingga telah jelas beliau berpendapat bahwa “Ketidak

mampuan suami memberikan nafkah kepada istri itu harus diceraikan”.2

Karena menurut beliau justru akan membahayakan istri. Adanya sesuatu yang

membahayakan istri itu adalah yang mengakibatkan perkawinan bisa

dipisahkan.3

Akan tetapi menurut Ibn Hazm adalah berbeda. Beliau menolak

terhadap pendapat Imam Malik, karena walau keadaan apapun istri tidak boleh

meminta cerai kepada suaminya karena dalam mewujudkan tujuan

perkawinan. Kalau terjadi kesukaran dalam ekonomi maka istri harus

1 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti

Abbasiyah, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Cet. Ke-2, 2002, hlm. 165. 2 Adib Bisri Mustofa, Tarjamah Nailul Authar, Jilid VII, Semarang: CV. Asy-Syifa,

1994, hlm. 287. 3 Imam Malik bin Anas, Al-Muwatto’, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th., hlm. 358.

Page 2: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

81

membantu suami dalam mencari nafkah keluarganya karena akibat yang

timbul dari perceraian justru menurut beliau adalah lebih bahaya.4

Dalam bab ini penulis berusaha menyajikan analisa dengan cara

mengkomperatifkan pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm serta ulama’ yang

lain. Baik yang berkenaan dengan alasan pokok nash yang merupakan dalil

dan legitimasi Syari’i bagi Imam Malik dan Ibn Hazm maupun kritikan-

kritikan yang ia lontarkan kepada ulama’-ulama’ yang pro/kontra terhadap

salah satu dari pendapat yang membolehkannya atau tidak (perceraian) dalam

ketidak mampuan suami memberikan nafkah.

Menurut Imam Malik dasar Al-Qur'an yang dipakai beliau adalah

sebagai berikut:

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(QS . At-Thalaq:7)5

Dalam redaksi tersebut menurut Imam Malik adalah orang yang

mampu atau kaya diharuskan untuk memberikan nafkah kepada keluarganya.

Jika suami sempit rizkinya dan tidak mendapatkan jalan untuk memungkinkan

dirinya untuk menghasilkan nafkah maka tidak ada taklif (atau pembebanan)

baginya.

4 Ibn Hazm, Al-Muhalla, Jilid VII, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th., hlm. 97. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya., Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998,

hlm. 946.

)٧:الطالق(

Page 3: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

82

Akan tetapi, menurut Imam Malik dalam kondisi seperti ini baik

suami kaya atau miskin yang tidak mau atau tidak mampu memberikan

nafkahnya kepada istrinya atau keluarganya, maka istri diharuskan untuk

memilih hak khiyar baik untuk tetap kepada suami atau meminta cerai.

Apabila ia rela dengan akibat dari ketidakmampuannya.6

Dalam hal ini Imam Malik lebih cenderung istri untuk meminta cerai

kepada suaminya karena suami tidak mau memberikan nafkah kepada istri.

Hal ini menurut beliau akan bisa mencegah bencana yang menimpa pada

istrinya.7

Penolakan bencana yang menimpa istri itu dikarenakan istri akan

merasa tersiksa atas tingkah suami yang tidak memberikan tanggung

jawabnya kebutuhan nafkah istri sehari-hari. Baik suami itu kaya ataupun

memang suami itu miskin, kalau pihak istri tidak dipenuhinya dimungkinkan

akan mendatangkan derita, sehingga dikhawatirkan si istri itu akan mati

kelaparan atau sengsara. Yang terpenting juga adalah istri juga akan sulit

melakukan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal ini kalau

ditelusuri, pendapat Imam Malik itu bertujuan untuk melepaskan istri dari

kerusakan.8 Serta sebagai rasa penghormatan terhadap istri karena hak-hak

dan kebebasan itu terikat oleh suami dalam perkawinan.

6 Ibnu Rosyd, op.cit., hlm. 38. 7 Adib Bisri Mustofa, op.cit., hlm. 287. 8 Imam Jalaluddin Abdurahman, Tanwirul Hawalik, Syarhu Muwatta’, Juz III, Beirut:

Maktabah, dar Al-Ihya’, t.th., hlm. 87.

Page 4: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

83

Seorang suami yang tidak mau memberikan nafkah kepada istri

harus diceraikan. Imam Malik berpegangan pada hadits Nabi Saw sebagasi

berikut:

اذا مل جيد يقول عن مالك أنه بلغه أن سعيد بن املسيب كانوحدثىن ق بينهماجل ما ينفق على امرأته فر الر

Artinya: “Hadist Nabi dari Malik menyampaikan bahwasanya said bin

musaiyab berkata ketika seorang lelaki tidak menemukan sesuatu yang dapat mencukupi nafkah istri. Keduanya(suami istri) tersebut boleh diceraikan .9

Melihat hadits tersebut di atas, bahwa seorang suami yang tidak

menemukan nafkah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya boleh

diceraikan, akan tetapi yang menjadikan perbedaan adalah apakah

pernikahannya fasakh atau tidak ketika suami kesulitan dalam mendapatkan

nafkah atau memberikan nafkah kepada istri. Dalam kondisi seperti ini

menurut Imam Malik adalah diharuskan memilih tetap atau diceraikan, Imam

Malik lebih mengedepankan untuk diceraikan, sebab melihat bahaya yang

akan terjadi,10 dengan akan membahayakan pihak istri maka bisa diceraikan.11

Jadi menurut Imam Malik istri boleh mengajukan fasakhnya kepada

hakim, agar hakim memaksa suami untuk memberikan nafkah dan

mengusahakannya atau menjatuhkan talak. Hal itu ditetapkan bagi wanita

9 Imam Malik bin Anas, op.cit., hlm. 377. 10 Peonah Dally, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, Cet. I,

hlm. 99. 11 Imam Malik bin Anas, op.cit., hlm. 358.

Page 5: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

84

lantaran semata-mata tidak ditemukan pemberian nafkah oleh suaminya yang

dapat mengakibatkan istri tertimpa bahaya.12

Sedangkan batasan nafkah para ulama’ dalam penetapannya tidak

mutlak karena yang menjadi ukuran nafkah menurut penulis adalah yang

ma’ruf yang bisa mencukupi kebutuhan sesuai kebiasaan adat. Hal itu tidak

hanya diberikan istri ketika suami miskin ataupun ketika kaya, juga selama

hak dan kewajiban suami istri itu masih terjalin.13

Dalam pendapat Imam Malik tersebut, beliau mencoba memberikan

perlindungan jiwa atau penyetaraan jender terhadap seorang istri serta

akibatnya. Karena ketidak mampuan suami memberikan tanggung jawabnya

untuk memberikan nafkah kepada istrinya dengan ini tentunya untuk anak-

anaknya, istrinya, keluarganya serta orang-orang yang menjadi tanggung

jawabnya. Dengan alasan ini menjadi suatu alasan yang wajar apabila istri

meminta gugat cerai terhadap suaminya.

Hal ini karena dipengaruhi oleh penempatan wanita (istri) yang

dihadapi oleh Imam Malik pada saat itu begitu ketat, berbeda dengan ulama’-

ulama’ yang lain, seperti Abu Hanifah sebagaimana masalah wali nikah, Imam

Malik mengharuskan ada wali. Akan tetapi fiqih Hanafi sedikit memberi

ruang kebebasan terhadap perempuan dalam masalah nikah. Begitu pula

dalam masalah keluar rumah untuk publik, karena fiqih Maliki memposisikan

wanita dengan ketat menyebabkan istri tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Apabila suami tidak memberikan nafkah, sedangkan istri sangat

12 Abdurrahman Asy-Syarkowi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, Bandung: Al-Bayan, Cet. Ke-I, 1994, hlm. 81.

13 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VII, Bandung: PT. Al-MA’arif, Cet. Ke-2, 1982, hlm. 76.

Page 6: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

85

membutuhkannya, maka jalan keluarnya adalah memberikan ruang gerak

kepada istri untuk mengajukan gugatan perceraian kepada suaminya melalui

pengadilan atau hakim..

Sedangkan menurut pendapat Ibn Hazm adalah menentang terhadap

pendapat Imam Malik tentang diharuskan untuk gugat cerai terhadap suami

yang tidak mampu atau tidak mau memberikan nafkah keluarganya baik itu

kaya atau miskin.14 Beliau dalam mengambil ijtihadnya juga berpedoman

pada Al-Qur'an atau berpegang teguh pada dzahir nash. Sehingga beliau

terkesan kaku dan tertutup dalam mengambil pendapat.

Kekakuan dan ketertutupan Ibn Hazm, baik dalam metode

penetapan hukum, serta hasil produknya, ini bermuara karena faktor sosial,

kultural dan politik yang meliputi diri Ibn Hazm pada waktu itu, di mana pada

masa mudanya telah terjadi kekacauan politik serta pergeseran umat Islam

dengan orang-orang Nasrani di Andalusia ditambah lagi dengan kebencian

penguasa serta ulama’ terhadap beliau pada masa itu, bahkan kitab-kitab Ibn

Hazm dibakar oleh penguasa. Pada saat itu, hal itu yang mengakibatkan

bersikap keras, eksklusif, dan tertutup terhadap pendapat ulama’ lain, serta

mayoritas masyarakat pada waktu itu mengikuti madzhab Maliki yang

menurut mereka sangat rasional, maka wajar saja beliau berbalik haluan

menentangnya dengan menyerukan kembali kepada nas Al-Qur'an dan As-

Sunnah.

14 Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Beirut: Dar Al-Alaq, t.th., hlm. 92.

Page 7: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

86

Ibnu Hazm dalam mencari ketetapan hukum, metode yang beliau

tempuh adalah dengan cara mencari dari nash Al-Qur'an maupun

keterangannya yaitu al-Hadits. Beliau berpegang teguh terhadap keduanya itu,

karena menurut beliau dengan hanya berpegang teguh pada keduanya telah

mampu menjawab segala permasalahan yang muncul.

Dengan keyakinannya Ibn Hazm menolak permintaan cerai oleh istri

kepada suami yang tidak mau atau tidak mampu memberikan nafkahnya

dengan dasar firman Allah SWT:

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq:7)15

Melihat redaksi teks tersebut, Ibn Hazm dalam menafsirkan ayat

tersebut adalah dengan menggunakan metode billafdzi atau lafadhnya,

sehingga dalam penafsirannya adalah dengan sesuai teks, yaitu orang-orang

yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Akan tetapi kalau

sempit rizkinya, maka hendaklah memberikan nafkah menurut yang diberikan

Allah kepadanya. Sebab Allah tidak memberati diri seseorang melainkan

menurut yang diberikan Allah kepadanya. Jadi, jikalau suami tidak bisa

15 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 946.

)٧: الطالق(

Page 8: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

87

memberikan nafkah kepada istrinya maka menurut beliau adalah tidak ada

taklif atau pembebanan baginya. Sehingga istri menurut beliau tidak boleh

untuk minta cerai kepada suami hanya karena alasan miskin.

Akan tetapi dalam hadits juga disampaikan kalau memang suami

kikir yang tidak mau memberikan nafkah, maka istri diperbolehkan untuk

mengambil hartanya sebagaimana hadits Nabi SAW:

أن هندا بنت عتبه قال يا رسول اهللا ان ابا . عائشة رضى اهللا عنه عنسفيان رجل شخيخ، وليس يعطيىن وولدى اال ما اخدت منه وهو ال

)خبارى مسلم( باملعروفكيعلم قال خذى ما يكفيك وولد Artinya: “Dari Aisyah ra. bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya:

wahai Rasulullah SAW. Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, ia tidak mau memberikan nafkah kepadaku dan anakku, Sehingga aku mengambil dari padanya tanpa sepengetahuannya, Maka Rasulullah SAW bersabda, Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.16

Melihat dari hadits tersebut bahwa jikalau suami pelit saja untuk

memberikan nafkah kepada istrinya maka istri disuruh untuk mengambil

sendiri tanpa sepengetahuan suami, hal itu menandakan bahwa walau keadaan

apapum, seperti suami kikir istri diharuskan untuk mengambil harta suaminya

sebagai kebutuhan sehari-harinya.

Dalam kebolehannya adalah dengan cara yang ma’ruf (baik) dengan

ukuran yang sudah diketahui oleh adat. Kebolehan ini kendatipun kalimatnya

mutlak namun dari segi makna yang terbatas, jadi seolah-olah Rasulullah

SAW bersabda, “Jika benar yang engkau kufurkan. Hadits ini menunjukkan

16 Ibn Hazm., hlm.. 92.

Page 9: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

88

atas kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini telah

disepakati oleh para ulama’. Disamping itu juga berkewajiban memberikan

nafkah kepada anaknya, serta orang-orang yang berhak memperoleh nafkah

secara syara’. Itu semua diperbolehkan mengambil harta itu untuk memenuhi

kebutuhannya, asalkan tidak berlebihan. Kalau memang orang itu tidak mau

melaksanakan kewajibannya dan terus menerus berada dalam kealfaan.

Ibn Hazm dalam memandang hadits Bukhori Muslim tersebut adalah

dikategorikan sebagai ketetapan hukum, karena segala atau mayoritas fatwa

beliau adalah benar (haq). Sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:

artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab: 21)17

Dalil Al-Qur'an di atas merupakan alasan pokok dan mendasar bagi

Ibn Hazm, sebagaimana pendapatnya bahwa hadits Rasulullah SAW riwayat

Bukhori Muslim itu dikategorikan sebagai hukum. Jika suami kikir maka istri

diperbolehkan mengambil harta suaminya sesuai dengan kebutuhannya secara

cukup, akan tetapi tidak diharuskan untuk minta cerai. Begitu pula ketika istri

dalam keadaan kaya, ia harus membantu suaminya dengan tidak boleh

menuntut sedikitpun untuk minta kembali. Sebagaimana pendapatnya.

17 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 670.

)٢١:االحزاب(

Page 10: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

89

ة النفقة عليه وال ففان عجز الزوج عن نفقة نفسه وامرأته غنية كل رذلك أن أيسترجع عليه بشيئ من

Artinya: “Kalau seorang suami tidak mampu untuk menanggung nafkah

kepada dirinya, sedangkan istrinya kaya, maka nafkah diberikan kepada istrinya tidak boleh sedikitpun istri menuntut kembali hartanya ketika suami kaya.”18

Hal ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan berumah tangga

perlu adanya saling kerja sama antara suami dan istri, yaitu dengan ikut serta

membantu nafkah keluarga dengan meringankan beban suami supaya dapat

mewujudkan tujuan perkawinan. Jadi seorang istri tidak hanya menerima saja

sebagai istri, akan tetapi menurut Ibn Hazm semua dalam keluarga yang

mendapatkan nafkah secara Syar’i itu juga mempunyai tanggung jawab dalam

keluarganya, yaitu ahli warisnya sebagaimana istri.19 Mereka bertanggung

jawab atas anak-anaknya jika sudah tidak ada atau tidak mampu yang

bertanggung jawab adalah kerabatnya. Akan tetapi dalam al-Qurtubi, anak

juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu keluarganya jika orang

tuanya sudah tidak mampu memberikan nafkahnya, sebagai rasa berbuat baik

kepada orang tuanya.20

Hal itu semua menurut Ibn Hazm adalah untuk mewujudkan

keluarga yang sejahtera sehingga akan terpenuhi kebutuhan batin dan lahirnya.

Rumah tangga yang bahagia sejahtera adalah yang terpenuhi kebutuhannya

seperti kebutuhan pokok yang berupa sandang, pangan dan papan yang

18 Op.cit., hlm. 92. 19 Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Almaraghi, Juz I, Mesir: dar Al-Fikri, t.th., hlm. 185-187. 20 Muhammad bin Ahmad Al-Asyhry al-Qurtuby, Al-Jaamiatul Ahkam Al-Qur'an, Jilid

III, Beirut-Libanon: Dar Al-Kutub, 1993, hlm. 160.

Page 11: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

90

diperlukan sehari-hari. Hal ini akan bisa terwujud jika ada kerja sama antara

keduanya yaitu dengan membantu mencari nafkah. Akan tetapi jika memang

suami tetap tidak bisa memberikan tanggung jawabnya maka menurut Ibn

Hazm tidak ada taklif baginya sebagaimana juga dalam firman Allah SWT

artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para

ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.” (QS. Al-Baqarah: 233)21

Dalam ayat ini dijelaskan tentang tanggung jawabnya dalam

keluarga terutama kepada istri dan anak-anaknya. Akan tetapi dalam kadar

tanggung jawabnya adalah kadar kemampuannya. Dan dikatakan pula bahwa

yang ikut bertanggung jawab adalah istri serta juga anak-anaknya. Jadi

kesemua itu mempunyai tanggung jawab dalam keluarga jika didapat ketidak

mampuan. Untuk menghindari perceraian karena kegoncangan ekonomi

rumah tangga, jalan keluarnya adalah bukan hanya istri minta atau diberi oleh

suaminya saja, akan tetapi istri juga berkewajiban membantu mencari nafkah

bahkan beliau merumuskan dengan segala kemungkinannya yang berkaitan

dengan ekonomi. Rumusan tersebut adalah kalau suami miskin sedangkan istri

kaya, maka beban nafkah dirinya ditanggung sendiri (dengan harta istri)

21 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 56.

)٢٣٣:البقراة(

Page 12: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

91

apabila istri itu miskin dan tidak mendapatkan nafkah dari suami maka mereka

mendapat bagian sebagaimana bagian fakir miskin yakni mendapat sedekah.22

Ibn Hazm tidak setuju kalau kemiskinan atau ketidak mampuan

suami yang tidak bisa memberikan nafkah itu dijadikan alasan perceraian. Hal

itu akan bisa menyebabkan kesengsaraan suami. Ibn Hazm tidak hanya

memberikan jalan keluar saja, akan tetapi Ibn Hazm mengungkap fakta sejarah

tentang perkawinan di masa shahabat atau Rasulullah SAW dengan

menelusuri hadits-hadits yang shohih yang berkaitan dengan masalah-masalah

tersebut, sehingga masalah ini merupakan kritik yang sangat sesuai karena

ulama’ lain berpendapat bahwa kemiskinan dapat dijadikan alasan

perceraian.23

Menurut Ibn Hazm tidak diperbolehkannya perceraian dikarenakan

suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya itu berdasarkan hadits Nabi

SAW sebagai berikut:

رضى اهللا عنهما عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال أبغض عن ابن عمر )رواه ابو داوود واحلاكم سند صحيح ( احلالل اىل اهللا عز وجل الطالق

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra dari Nabi SAW beliau bersabda perbuatan halal yang dimurkai Allah adalah thalaq (perceraian).”24

Hal inilah yang menyebabkan penolakannya terhadap perceraian

karena sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah SWT diantaranya adalah

thalaq. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya perceraian maka beliau

22 Ibn Hazm, op.cit., hlm. 99. 23 Riwayat Sembilan Imam, Fiqh Abdurrahman Asy-Syarqawi, Bandung: Pustaka

Hidayah, 2000, hlm. 653. 24 Hafidz bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Semarang: Pustaka Al-Alawiyah, t.th.,

hlm. 223.

Page 13: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

92

menolak suami yang tidak mampu memberikan nafkah kepada istri tidak

boleh dijadikan alasan perceraian. Karena Islam tidak membebani suatu

kewajiban kepada umatnya di luar batas kemampuannya.25 Serta segala akibat

yang akan timbul dengan adanya perceraian itu antara lain terlantarnya anak.

Menurut penulis perbedaan terhadap ketidak mampuan suami

memberikan nafkah kepada istri sebagai alasan perceraian menurut Imam

Malik dan Ibn Hazm itu karena cara memahami maksud ayat-ayat Al-Qur'an

berbeda-beda. Karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan

perbedaan cara analisis mereka. Demikian juga, sikap dan cara pemahaman

mereka terhadap hadits Nabi SAW juga berbeda-beda. Akan tetapi Imam

Malik mengutamakan pada kemaslahatan yang terkandung dalam penetapan

hukum itu, dan kemaslahatan itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan

lingkungan dimana tokoh-tokoh mujtahid itu hidup dan menetap. Jadi antara

upaya ijtihad mengalami hukum di satu pihak tuntutan perubahan sosial dan di

pihak lain terdapat suatu interaksi.26

Penulis cenderung terhadap pendapat Imam Malik karena

memberikan ruang gerak bagi istri untuk menuntut kepada suaminya yang

tidak bertanggung jawab. Akan tetapi melihat kondisi geografis yang dihadapi

Imam Malik pada saat itu dimana istri tidak boleh keluar dalam hal publik,

maka penulis kurang setuju dalam pengekangan isteri. Menurut penulis,

seorang istri atau ibu rumah tangga juga harus membantu kehidupan rumah

tangganya baik untuk anak-anak ataupun keluarganya dengan berusaha

25 Abu Muhammad Ali Ibn Hazm, op.cit., Jilid X, hlm. 97. 26 Abdul Wahab Khallaf, Tarjamah Ushul Fiqh, Semarang: CV. Dina Utama, Cet. I,

1994, hlm. 7.

Page 14: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

93

membantu mengurangi tanggung jawab suami. Jadi harus ada kerjasama

antara keduanya. Meskipun isteri bekerja untuk membantu suami, hal itu tidak

boleh mengakibatkan suami penganggur dan istri yang kerja atau berbanting

tulang dalam mencari kebutuhan sehari-hari, seperti yang banyak terjadi pada

saat sekarang. Yang perlu diperhatikan adalah suami harus tetap bekerja dan

istri membantu suami dalam mencari nafkah keluarganya. Menurut penulis

apabila isteri dibebani untuk menari nafkah maka hal itu bukan hanya bisa

memojokkan seorang wanita baik dari segi syari’ah ataupun dari segi

kepatutan, Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan,

akan tetapi bagaimana jalan yang benar dan relevan yang harus diterapkan

terhadap permasalahan itu. Sehingga akan terwujud persamaan jender dan

terbaginya keadilan.

Untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah, warahmah

sebagaimana tujuan perkawinan memang sulit tanpa disertai tanggung jawab

terhadap keduanya, serta saling membantu dalam mencari nafkah ataupun

saling mengerti diantara keduanya.

Kecenderungan penulis memilih pendapat Imam Malik karena

beliau dalam mengambil ijtihad itu adalah sebagaimana Umar bin Khattab,

yaitu dalam memakai hadits beliau memakai hadits Darul Qutni yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Yaitu jika seorang suami tidak menemukan

sesuatu yang dapat mencukupi keluarganya maka boleh diceraikan, hal ini

adalah pandangan beliau. Penulis mendukung pendapat Imam Malik itu

karena akibat yang timbul atau bahaya terhadap istri karena akan tersakiti dan

Page 15: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

94

membahayakan istrinya terutama dalam melaksanakan tanggung jawab

sebagai istri. Sedangkan dalam memahami ayat Al-Qur'an surat At-Thalaq

ayat 7 memang berbeda-beda, karena Imam Malik lebih mengutamakan

kemaslahatan sedangkan Ibn Hazm mengutamakan pendekatan lafdiyah.

Dalam penetapan hukum, yang harus dilakukan adalah yang berdasarkan

kemaslahatan, untuk kebaikan dalam masyarakat, sehingga menurut penulis,

pendapat Imam Maliklah yang dipilih.

Begitu pula dalam masalah akibat hukum yang terjadi jika telah

terjadi perceraian, menurut penulis status talaknya adalah bukan sebagai talak

tiga sekaligus walaupun dari pihak istri yang meminta cerai kepada suaminya.

Hal ini menurut Imam Malik dan Ibn Hazm kalau seorang istri yang meminta

perceraian maka statusnya adalah sebagai talak tiga. Akan tetapi menurut

penulis bukan talak tiga sekaligus karena kalau dilihat demikian status istri

seakan-akan juga tidak mempunyai kekuatan dan tidak ada kesetaraan jender.

Dalam hal ini adalah masalah munakahat yang hubungannya adalah

kemanusiaan. Maka menurut penulis konsekuensinya adalah sebagai talak satu

karena akibat dan masalah yang terjadi justru akan lebih baik serta masih

diperbolehkannya jika ada harapan.

Perceraian ini menurut penulis adalah bukan sebagai khulu’.27

Dengan ketentuan suami tidak boleh meminta tebusan kepada istri karena

yang seharusnya memberi nafkah adalah suami akan tetapi tidak bisa

memberikannya. Maka hal itu disamakan dengan hutang, yang seharusnya

27 Saekan, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola,

Cet. I, 1997, hlm. 106.

Page 16: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

95

suami memenuhi tanggung jawabnya untuk memberi nafkah tetapi tidak bisa

memenuhinya. Maka istri tidak harus membayar tebusan, dan hal itu bisa

disamakan dengan hutang.

Oleh karena itu, penulis cenderung kepada pendapat Imam Malik

istri diperbolehkan minta cerai kepada suami tetapi tidak sependapat dalam hal

istri tidak boleh keluar dalam urusan publik. Akan tetapi penulis sependapat

dengan Ibn Hazm dalam hal istri boleh bekerja untuk membantu suami. Hal

ini lebih memberikan ruang gerak terhadap kaum wanita serta menganjurkan

pihak istri untuk tetap membantu mencari nafkah kepada suami. Karena hal itu

semua akan melihatkan rasa pertanggung jawaban diantara keduanya.

B. Analisis Metode Istimbath yang Dipergunakan Imam Malik dan Ibn

Hazm

Imam Malik dan Ibn Hazm merupakan ulama’ yang patut diikuti dan

menjadi ikutan orang-orang yang telah menjadi pengikutnya terutama di masa

itu. Beliau mengambil ijtihad dengan cara berbeda-beda sehingga

menghasilkan ketetapan hukum yang berbeda pula. Hal itu antara lain

dipengaruhi oleh kondisi geografis.

Imam Malik dalam melakukan ijtihad dengan mengambil Al-Qur'an

serta al-Hadits sebagai pedoman utama. Dia menerima hadits Mursal, hadits

Muqothi’ dan hadits-hadits yang telah disampaikan perowi kepadanya yang di

dalam Al-Muwatta’ dita’birkan dengan ibarat “balaghani” (sampai kepadaku).

Walaupun tidak diterangkan sebab-sebab beliau menerima hadits, karena pada

masa itu beliau masih mempertanyakan tentang kedudukan hadits mursal dan

Page 17: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

96

karena Imam Malik tidak menerima hadits melainkan dari orang yang

dipercayainya.28

Imam Malik lebih condong mengistimbathkan hukum dengan

mengutamakan hadits daripada lainnya. Jika tidak ada dalam Al-Qur'an, beliau

menggunakan hadits meskipun berupa hadits ahad, hadits mursal, dan hadits

dho’if. Dan terhadap amal ahli Madinah beliau memandang bahwa penduduk

madinah adalah orang yang paling tahu turunnya Al-Qur'an dan penjelasan-

penjelasan Rasulullah SAW karena itu menurut beliau penduduk Madinah

bisa dijadikan sumber hukum.

Dasar hukum yang dipakai Imam Malik untuk mengambil ijtihadnya

adalah Al-Qur'an surat At-Thalaq ayat 7 dan Hadits Nabi yang diriwayatkan

oleh Dar al-Qutni dari Abu Hurairah. Selain itu, beliau bersumber pada

praktek amal ahlu Madinah dan menggunakan qiyas. Dalil yang spesifik di

dalam madzhabnya yang terkenal dengan Al-Masalihul Mursalah, suatu dalil

atau alasan hukum berkenaan dengan keharusan dengan kemaslahatan umum.

Sehingga dia terkenal dengan ahli penalaran (logika) dan kemaslahatan bagi

kaumnya, sehingga rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan.

Beliau lahir di Hijaz dimana termasuk wilayah Madinah.

Penduduknya terkenal masih sederhana dalam kehidupannya pada waktu itu,

sehingga dengan sunnah saja sudah dapat menyelesaikan hukum (menurut

penduduk) dan sunnah masih relevan untuk penduduknya, maka Imam Malik

mulai bergerak dengan berijtihad.

28 Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Jilid I, Jakarta: Bulan

Bintang, 1975, hlm. 171.

Page 18: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

97

Sebagaimana permasalahan suami yang tidak memberikan nafkah

kepada istri, istri bisa menuntut cerai kepada suami dengan sebab istri akan

tersakiti dan akan ada bahaya terhadap istri yang penting adalah istri tidak bisa

melakukan tanggung jawabnya juga.

Diantara yang telah disepakati oleh jumhur ulama’ bahwa Allah

SWT tidaklah mensyariatkan suatu hukum melainkan untuk kemaslahatan

hamba-hambanya. Sesungguhnya kemaslahatan ini adakalanya berupa

menarik manfaat bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka.

Jadi yang mendorong pembentukan hukum syara’ apapun adalah menarik

manfaat bagi manusia dan menolak bahaya dari mereka. Pembentukan hukum

syara’ ini merupakan sasaran yang dikehendaki daripada pembentukan

hukumnya. Kebolehan istri meminta cerai kepada suami hikmahnya adalah

menolak masyaqqah (kesulitan) dan bahaya dari suami yang tetap tidak

memberikan nafkah. Hikmahnya adalah akan terlindungi kehidupan istri dan

akan semakin meningkatkan tanggung jawabnya. Sedangkan illatnya adalah

pertanggung jawaban.

Bahaya adalah sifat yang ada pada ketidak tanggung jawaban suami

kepada istri yang menjadi kebolehan istri meminta cerai dan dengan adanya

sifat bahaya terhadap istri inilah diketahui diharuskan istri untuk minta cerai.

Hal itu adalah hukum syara’ didasarkan atas illat-illatnya, maksudnya hukum-

hukum itu dikaitkan dengan illatnya baik ada ataupun tidak, bukan atas

hikmah-hikmahnya. Maksudnya hukum syara’ itu ada apabila illatnya juga

ada meskipun tidak ada hikmahnya.

Page 19: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

98

Menurut penulis, Imam Malik dalam berijtihad dengan mengambil

hukum dengan illat adalah dengan sifat munasib mulaim, yaitu sesuatu sifat

yang sesuai yang mana Syar’i telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat

itu. Namun tidak ada nash atau ijma’ yang menetapkannya sebagaimana illat

hukum menurut pandangan Syar’I yang disusun dengan sifat itu. Hanya saja

berdasarkan nash ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap sebagai

illat hukum dari hukum sejenis yang oleh Syar’i telah disusun hukumnya

sesuai dengan sifat itu, ataupun sifat yang sejenis dianggap sebagai illat

hukum yang sejenis dengan hukum ini. Hal ini cocok dengan tindakan syar’I

dalam pembentukan hukum dan memberikan illatnya. Oleh karena itu disebut

dengan sifat munasib mulaim. Hal ini disepakati keabsahannya untuk

memberikan illat dengannya dan mendasarkan qiyas padanya.29 Pendapat

Imam Malik adanya bahaya yang ada pada istri untuk diperbolehkannya istri

minta cerai pada suami, dikarenakan adanya dugaan istri akan sengsara dan

terutama tidak bisa melakukan tanggung jawabnya. Hal ini diqiyaskan dengan

suami yang tidak memberikan mahar kepada istri. Sebab nafkah adalah wajib

diberikan selama perkawinan terjalin.

Hal itu menurut penulis, Imam Malik berusaha menolak segala yang

merusak atau bahaya terhadap istri sebagaimana kaidah ushul Fiqih ( املفاسد درء )

menolak segala yang merusak serta (وجلب املصاحل) menarik segala yang

bermaslahat. Maka seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istri, istri

29 Abdul Wahab Khallaf, Tarjamah Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, Cet. I, 1994, hlm. 86.

Page 20: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

99

boleh minta cerai kepada suami dengan alasan akan terjadi bahaya, sengsara

atau kelaparan. Terutama tidak akan bisa melaksanakan tanggung jawabnya

sebagai istri. Hal ini juga sesuai dengan kaidah yang lain yaitu (الضرار يزال)

kemadharatan harus dilenyapkan.

Perlu penulis tegaskan bahwa Islam adalah mudah, dimana

kemudahan ada prinsip pokok dalam Syari’ah. Islam tidak mengajarkan

penyiksanaan sebagaimana firman Allah SWT.

مِرا ييِل اُهللاد يجلَعلَ عكُيِمم نح ٦: املائدة(... ٍجر (

Artinya: Allah tidak ingin memberatkan kesulitan bagimu. (QS. Al-Maidah: 6).

...وما جلَعلَ عكُيِفم ى الدمِ ِني نح ٧٨: احلج ( ٍجر (

Artinya: Allah tidak memberikan sesuatu yang memberatkan bagimu dalam Agama. (QS. Al-Haj: 78).

Akan tetapi kalau dilihat Ibn Hazm seperti yang penulis paparkan

pada bab sebelumnya bahwa beliau adalah seorang figur yang mempunyai ciri

khas tersendiri dalam pemikirannnya. Walaupun beliau sebagai ulama’

penganut madzhab Ad-Dzahiri, akan tetapi tidak dapat disangkal lagi bahwa ia

termasuk seorang mujtahid mutlak yang berfikir bebas. Begitu juga prinsip-

prinsipnya yang beliau pegangi, baik masalah dasar hukum maupun dalam

mengeluarkan suatu hukum itu sendiri ia selalu mengacu pada nash-nash Al-

Qur'an dan al-Hadits SAW.

Ibn Hazm dalam melakukan istimbath hukum, ia langsung

mengambil dari ketiga sumber tasyri’ yaitu Al-Qur'an dengan mengambil

Page 21: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

100

dzahir nash, As-sunnah dan Ijma’. Hal tersebut disebabkan adanya

kesepakatan para sahabat untuk tidak menetapkan suatu hukum tanpa ada

sandaran, pijakan atau dasar sama sekali. Oleh karena itu, beliau memilih

madzhab yang di dalamnya tidak ada seorangpun yang ditaqlidi serta masing-

masing tokohnya langsung mengambil sendiri dari Kitab Al-Qur'an, Al-Hadits

serta Ijma’ sahabat dan madzhab tersebut ialah madzhab Dzahiri.

Kemudian penulis sudah paparkan dalam Bab III mengenai metode

istimbath yang beliau pakai, salah satunya menggunakan Al-Qur'an. Dalam

dalil Al-Qur'an Ibn Hazm menggunakan dzahir nashnya saja, walaupun pada

kenyataannya ia terkadang menggunakan penafsiran bahwa dalil itu bersifat

umum.

Dalam permasalahan perceraian terhadap suami yang tidak

memberikan nafkah kepada istri, beliau pun memahami berdasarkan surat At-

Thalaq ayat 7 dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari

Aisyah ra yang mana kedua dasar tersebut menunjukkan bahwa ”Jika suami

tidak mampu untuk memberikan nafkah maka Allah tidak membebaninya.

Sehingga tidak ada beban bagi orang yang tidak mampu bahkan dengan

demikian dalam hadits Nabi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari

Muslim mengungkapkan “Walaupun keadaan suami kikir, istri boleh

mengambil dengan cara secukupnya”.

Hal ini merupakan kebolehan yang harus dilakukan jika suami tidak

memberikan nafkah kepada istrinya atau keluarganya. Menurut Ibn Hazm

hadits Bukhari Muslim tersebut dikategorikan sebagai ketetapan hukum

Page 22: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

101

karena segala fatwa Rasul adalah benar (haq), maka harus diikuti dan wajib

dilakukan. Dalam menggunakan hadits yang dibuat dasar itu adalah hadits

shahih, karena beliau hanya meyakini hadits shahih yang diriwayatkan oleh

Bukhari Muslim.30 Oleh karena itu, beliau menolak hadits mursal, muqothi’

dan dho’if. Sebagaimana yang menjadi pedoman Imam Malik.

Dalam permasalahan istri tidak boleh meminta cerai kepada suami,

beliau pahami dalam surat At-Thalaq dan hadits Nabi dari Aisyah itu. Karena

pandangan Ibn Hazm ketidak bolehannya adalah diperkuat dengan hadits lain

yaitu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dengan sanad Shahih

dari Ibn Umar ra “Bahwa perceraian merupakan dimurkai oleh Allah”. Hal ini

merupakan penolakan Ibn Hazm terhadap perceraian. Hal itu menunjukkan

bukan suatu hal yang fardhu atau wajib untuk dilakukan, akan tetapi hal yang

disyari’atkan dan harus dilaksanakan berdasarkan Ittiba’ (ikutan) perbuatan

Rasul. Dalam kitabnya Al-Ihkam fil Ushul Al-Ahkam, dijelaskan bahwa

keterangan itu terkadang berbeda-beda keadaannya. Sebagian terang dan

sebagian tersembunyi, karena itu berselisihlah manusia dalam memahaminya.

Sebagian ada yang langsung memahami dan sebagian lain baru kemudian

memahaminya.31

Dari penjelasan tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa memang

pada kenyataannya, pemahaman manusia itu berbeda-beda. Untuk dapat

memahami makna yang tersirat dalam suatu hadits, khususnya Al-Qur'an surat

At-Thalaq ayat 7, menurut hemat penulis bahwa latar belakang perbedaan dan

30 M. Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Diroyah Ilmu Hadits, Jilid I, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987, hlm. 113.

31 Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Jilid I, Beirut: Dar Al-Kutub, t.th., hlm. 87.

Page 23: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

102

pemahaman tersebut berbeda-beda. Akan tetapi setelah melihat berbagai

macam pendapat ulama’ dalam kitab-kitabnya mengenai ketidak bolehan

percerian yang didasarkan hadits dari Abu Dawud dan Aisyah, nyatalah

bahwa Ibn Hazm merupakan seorang figur ulama’ yang telah mengikuti

metode istimbath yang digunakannya sendiri yaitu menggunakan makna

dzahir nash dan hadits shahih yang bersambung pada Nabi bukanlah hadits

dho’if dan cacat dalam matan atau sanadnya.

Dari semua pendapat Ibn Hazm mengenai metode penetapan hukum

serta hasil dari karyanya, kadang-kadang beliau bersebarangan dengan ulama’-

ulama’ lain. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, kultural dan politik yang

menyelimuti dirinya, dimana pada masa mudanya beliau telah mengalami

berbagai kekacauan, sehingga ini menyebabkan beliau bersikap keras,

eksklusif dan tertutup pada ulama’ lain.

C. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm

1. Persamaan-persamaan pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm.

a. Imam Malik dan Ibn Hazm dalam mengambil ijtihad adalah memakai

dasar dalil Al-Qur'an dengan dasar surat At-Thalaq ayat 7. Akan tetapi

beliau berbeda-beda dalam penafsiran.

b. Beliau sama-sama mengambil ijtihad dengan menggunakan hadits

Nabi SAW. jika dalam Al-Qur'an tidak didapatkan.

Page 24: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

103

c. Dalam metode ijtihad beliau adalah sama-sama untuk mendapatkan

kemaslahatan umat dan mencari jalan bagaimana yang terbaik untuk

masyarakat. Akan tetapi berbeda cara beliau berijtihad.

d. Beliau sama-sama menyetujui tentang Ijma’ Shahabat sebagai

pedoman ijtihad.

2. Perbedaan-perbedaan pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm

a. Perbedaan Imam Malik dan Ibn Hazm terutama adalah letak geografis

dimana Imam Malik hidup di Madinah dan corak kehidupannya masih

mengikuti para shahabat dan tabi’in, sehingga mengikuti Amal Ahlu

Madinah. Sedangkan Ibn Hazm hidup di Cordova, pada masa itu

terjadi kekacauan serta pergeseran umat Islam dengan orang-orang

Nasrani serta kebencian penguasa-penguasan terhadap dia bahkan

beberapa kitab beliau banyak yang dibakar sehingga corak berfikir

beliau mengakibatkan bersikap keras.

b. Imam Malik dengan ciri yang khas terkenal dengan mengambil

penafsiran Al-Qur'an dengan melihat maslahah yang terjadi ketika itu

sehingga pada waktu dia terkenal dengan Ahli penalaran (logika).

Akan tetapi Ibn Hazm berbeda, beliau dalam memegang Al-Qur'an

beliau mengambil dengan cara dzahir nash sehingga menjadi terkesan

kaku.

c. Imam Malik menerima hadits ahad asalkan sanadnya shahih/hasan

walaupun berlawanan dengan qiyas ataupun amal perbuatan

perawinya. Dan yang terpenting menurut dia khabar ahad tersebut

Page 25: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

104

tidak bertentangan dengan amal Ahlu Madinah. Sedangkan Ibn Hazm

menolak hadits tersebut, akan tetapi yang dipakai adalah hadits shahih

terutama dari Bukhari Muslim.

d. Imam Malik dalam mengambil dalil hadits dengan memakai hadits

dari Abu Hurairah ra dari Dar al-Qutni sebagai dasar. Karena hal ini

lebih mengena menurut dia adalah lebih tepat dan mengena. Akan

tetapi Ibn Hazm memakai hadits dari Aisyah ra, hadits Bukhari

Muslim dan dari Umar ra diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim.

e. Imam Malik berpendapat istri boleh minta cerai kepada suami jika

tidak memberikan nafkah kepada dia. Akan tetapi Ibn Hazm

menolaknya, kalau pihak istri meminta cerai hanya karena nafkah atau

kemiskinan. Menurut dia adalah istri bukannya minta cerai, akan tetapi

harus membantu keluarganya untuk cari nafkah buat menghidupi

keluarganya.

Page 26: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

105

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang penulis paparkan pada Bab IV, maka

penulis berkesimpulan sebagai berikut:

1. Imam Malik berpendapat bahwa seorang istri yang tidak diberi nafkah

oleh suami, istri boleh meminta cerai dengan alasan akan mengakibatkan

bahaya terhadap istri seperti kelaparan, mati, sengsara dan istri tidak bisa

melaksanakan tanggung jawab kepada suaminya. Sedangkan Ibn Hazm

tidak boleh istri meminta cerai kepada suami karena menurut dia kalau

terjadi perceraian justru bahaya yang timbul akan lebih bahaya.

2. Menurut penulis hadits yang paling kuat adalah dalil yang dikkemukakan

oleh imam Malik yang diriwayatkan dari Dar Al-Qutni. Sebab disamping

kuat perowinyanya juga lebih mengenai pada permasalahan. Sedangkan

hadits yang dibuat dasar Ibn Hazm dalam mengambil istimbath dengan

hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Aisyah kalau melihat

kekuatan sanadnya adalah kuat dan hadist tersebut adalah shoheh akan

tetapi menurut penulis kurang mengena dalam permasalahan , sebab hadits

tersebut adalah hanya diperbolehkan mengambil jika suami tidak

memberikan nafkah.

105

Page 27: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

106

B. Saran-Saran

1. Dalam memahami persoalah hendaklah dilakukan secara mendalam dan

utuh serta berusaha menyelami dan mengkaji akar persoalan sebenarnya.

Sebab dengan demikian akan tumbuh cakrawala berpikir yang luas dan

tidak akan terjebak dalam kesalahpahaman yang menjurus pada fanatisme.

2. Dengan melihat secara historis terhadap sosok Imam Malik dan Ibn Hazm

dan pola berpikirnya, hendaklah kita sadar bahwa apa yang dilakukan

hanyalah sebagai feed back terhadap realitas sosial yang dihadapinya.

3. Dengan melihat metodologi kedua Imam tersebut dalam melakukan

penggalian hukum serta fiqihnya yang mempunyai perbedaan ciri khas

adalah suatu yang patut kita renungkan dan kita kaji kembali serta

meyakini bahwa itu semua adalah sebagai produk sejarah yang

mempunyai kebenaran relatif bukan sebagai karya Tuhan yang diberi

dengan harga.

4. Hendaklah ditindaklanjuti dan dikaji ulang bagi pembaca skripsi ini

sehingga syari’at Islam benar-benar selalu sejalan dengan perjalanan masa

dan pergantian zaman.

C. Penutup

Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.,

karena dengan taufiq dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Namun penulis menyadari bahwa skripsi yang bersifat analisis ini sangat

sederhana serta banyak kekurangan dan kelemahan karena memang

Page 28: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IBN ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain...A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik bin Anas dan Ibn Hazm Sebagaimana

107

keterbatasan daya pikir dari penulis. Untuk itu, tegur sapa dan kritik yang

bersifat membangun sangat penulis harapkan. Namun penulis tetap mengharap

dan berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama pada diri sendiri dan

pembaca pada umumnya.