imam malik riduan: fiqh dan dialog antar agama

185
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diskusi tentang konflik adalah diskusi tentang problem global yang dihadapi oleh hampir setiap orang di dunia ini. Sejak sepuluh tahun terahir abad ke-21 konflik telah terjadi di banyak belahan dunia. Kosovo, Chechnya, Israel, Kashmir, Sri Lanka dan Indonesia adalah contoh yang sangat jelas. 1 Konflik terjadi dengan bermacam-macam motifasi dan penyebab. Konflik bisa terjadi karena politik, ekonomi bahkan agama bisa menjadi benih terjadinya konflik. Agama menjadi sumber konflik yang sangat potensial karena agama memiliki justifikasi ilâhiyyah (transendental) yang bisa dipolitisir dan dijadikan inspirasi terhadap tindakan kekerasan. Beberapa contoh kasus seperti tragedi Januari di Lombok yang banyak makan korban juga diawali dari kepulangan Umat 1 Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, Konflik & Kekerasan, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hal. 53. 1

Upload: imam-m-riduan

Post on 25-Mar-2016

264 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

karya tulis yang memberikan diskripsi tentang bagaimana sebuah sekolah tradisional Islam merumuskan karya fiqh (hukum Islam) yang progressive. dalam tulisan ini anda juga bisa membaca tentang bagaimana kehidupan pesantren.

TRANSCRIPT

Page 1: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Diskusi tentang konflik adalah diskusi tentang problem global yang dihadapi

oleh hampir setiap orang di dunia ini. Sejak sepuluh tahun terahir abad ke-21 konflik

telah terjadi di banyak belahan dunia. Kosovo, Chechnya, Israel, Kashmir, Sri Lanka

dan Indonesia adalah contoh yang sangat jelas.1 Konflik terjadi dengan bermacam-

macam motifasi dan penyebab. Konflik bisa terjadi karena politik, ekonomi bahkan

agama bisa menjadi benih terjadinya konflik. Agama menjadi sumber konflik yang

sangat potensial karena agama memiliki justifikasi ilâhiyyah (transendental) yang

bisa dipolitisir dan dijadikan inspirasi terhadap tindakan kekerasan. Beberapa contoh

kasus seperti tragedi Januari di Lombok yang banyak makan korban juga diawali dari

kepulangan Umat Islam dari sebuah acara keagamaan. Pagi itu, tanggal 13 Januari

2000 adalah awal berkumpulnya massa ketika digelar aksi sejuta umat untuk

solidaritas kaum Muslim di Maluku. Tanpa alasan yang jelas, sebagian orang yang

berasal dari rombongan jamaah dan pengunjung aksi sejuta ummat melakukan

penyerangan dan pengerusakan gedung-gedung milik lembaga kristen.2 Hal serupa

juga terjadi dalam kasus Situbondo. Konflik yang terjadi di Situbondo pada tanggal

10 Oktober 1996 yang kemudian dikenal dengan tragedy 10-10. Pembakaran puluhan 1 Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, Konflik & Kekerasan, (Yogyakarta: Lesfi,

2002), hal. 53.2 Hamdan dan Bayu, Meretas Jalan Perdamaian Membangun Kemanusiaan: Konflik Sosial

di Mataram NTB, Konflik Akar Rumput di Pati dan Revitalisasi Budaya Adat Alor Timur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 13.

1

Page 2: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

gereja dan sekolah Kristen oleh massa beringas itu bermula dari kasus Saleh (seorang

pengurus takmir masjid yang beragama Islam) yang dituduh telah melakukan

pelecehan atas KH. Asad Syamsul Arifin dan agama Islam. Massa yang tidak puas

dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Saleh menjadi brutal dan melakukan

perusakan gedung pengadilan. Aksi ini berlanjut hingga pada pengrusakan gereja dan

beberapa lembaga-lembaga lain di bawah yayasan Kristen.3 Menanggapi masalah ini,

sebagian intelektual Muslim menganggap bahwa agama adalah faktor yang dominan

terhadap terjadinya konflik. Mas’udi mengangap agama sebagai faktor yang primer

atau sekunder dalam terjadinya konflik.4 Zakiyuddin Baidhawy memiliki argumen

yang hampir sama dengan Mas’udi, tetapi Baidhawy menyadari bahwa dalam teori-

teori besar tentang konflik, agama menduduki posisi yang krusial.5

Berbeda dengan Mas’udi dan Baidhawy, Sirri optimis bahwa agama adalah

faktor yang dominan dalam terjadinya konflik. Sirri mengatakan, konflik yang

berbasis agama telah terjadi di Indonesia sebelum kemerdekaan Indonesia

diproklamasikan. Pada masa penjajahan Belanda, konflik berbasis agama terjadi

antara masyarakat Muslim dan Kristen karena relasi antara para missionaris dengan

pemerintah kolonial Belanda.6 Pemerintah kolonial Belanda dianggap memberikan

perlakuan khusus kepada missionaris Kristen. Mengetahui relasi khusus itu,

3 Hariyanto. (ed), Melangkah dari Reruntuhan Tragedi Situbondo (Jakarta: Penerbit PT Grasindo, 1998), hal. 13.

4 Masdar Farid Mas’udi, Agama dan Konflik Sosial in Islam Pribumi in M. Imdadun Rahmad (et al), Islam Pribumi, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 136.

5 Zakiyuddin Baidhawy, Op Cit, hal. 53-59.6 Mun’im A. Sirry, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina and The Asia Foundation,

2004), hal. 203.

2

Page 3: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

komunitas Muslim seakan menemukan inspirasi perlawanan terhadap penjajah.

Terma jihad kemudian dipilih para pemuka Islam untuk membangkitkan semangat

perang melawan kaum penjajah. Terma Jihad dipilih kerena jihad adalah sebagian

dari ibadah yang menjadi kewajiban seluruh umat Islam yang sudah sangat jelas

pensyariatannya di dalam al-Qur’an. Kata jihad ini diyakini akan menjadi bahasa

pemersatu yang akan mempersatukan dan membangkitkan semangat perlawanan.

Dengan kata jihad masyarakat muslim Indonesia membangun semangat juangnya

untuk menyerang penjajah Belanda yang dianggap sebagai kelompok kafir yang

harus diperangi. Alqur’an menyebutkan bahwa membunuh orang kafir adalah sebuah

kewajiban bagi seorang Muslim di manapun ia berada, kewajiban atas perang

terhadap orang-orang kafir itu akan terus disyari’atkan sampai tidak ada fitnah dan

ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain sampai di muka bumi tidak ada agama

lain kecuali Islam.7 Konflik antara kedua agama ini juga terjadi karena kecurigaan

orang-orang Islam terhadap tindakan kristenisasi yang dilakukan oleh missionaris

Kristen. Kecurigaan itu semakin menguat ketika tanggal 30 Nopember 1967,

7 Al-Qur’an Surat al-Baqarah, 193. Bunyi teks diatas adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya Surat al-Baqarah, 190 yang menyebutkan bahwa Muslim diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi orang Islam, dan tidak boleh melampaui batas karena Allah tidak menyikai orang-orang yang melampaui batas. Jika dibaca secara tuntas dan dengan pemahaman yang dalam sebenarnya sifat perintah perang dalam Islam tidak bersifat menyerang akan tetapi bertahan dan melakukan perlawanan. Ayat ayat senada juga bisa ditemukan dalam surat yang lain seperti at-taubah ayat 5. penafsiran terhadap ayat ini memang sangat beragam. Sebagian menganggap bahwa perintah perang berlaku untuk semua orang Islam dalam kondisi apapun karena perintah dalam al-qur’an itu menggunakan fi’il amr (perintah tegas) dan diikuti dengan ghayah (batasan) sampai tidak adanya fitnah dan satunya agama dibumi ini. Ayat ini memang sangat kuat tetapi pendapat lain memberi tafsair atas perintah perang yang tidak harus bersenjata dan kekerasan serta penyerangan kepada pihak lain harus dengan motifasi defensif . Lihat al-Jihad fi al- Islâm, hal. 94. Al-Manawiy, Fath al-Qodir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz 5, hal. 202. Muhammad Syaţa al-Dimyaţiy, I’ânah al-Ţalibţn, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) Juz. 4 , hal. 206. kendatipun demikian sebagian kelompok Islam menggunakan penggalan ayat diatas untuk pembenaran tindakan kekerasan.

3

Page 4: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

kelompok perwakilan agama Kristen tidak menyetujui ide pemerintah tentang

larangan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. Sampai pada

tingkatan tertentu, konflik tidak hanya terjadi pada tataran ide dan argumentasi, tetapi

lebih dari itu, konflik juga mengarah pada tindakan fisik.8

Problema konflik berbasis agama dalam Islam terjadi karena formalisasi

hukum Islam atau karena pemahaman teks yang dibakukan dalam kodifikasi hukum

Islam yang anti terhadap dialog.9 Pemahaman terhadap teks yang anti dialog ini akan

terus menginspirasi umat Islam untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan

terhadap kelompok yang memiliki pemahaman dan tradisi keagamaan yang berbeda.

Karena kuatnya dorongan penafsiran atas teks anti dialog untuk melakukan tindakan

kekerasan terhadap ”yang berbeda” sehingga tindakan itu akan sangat sulit untuk

diurai dan diselesaikan.

Dengan alasan itu maka reformulasi terhadap pemahaman teks dan ijtihâd

baru untuk terciptanya sebuah produk fiqh yang dialogis mutlak diperlukan untuk

sebuah penyelesaian konflik. Proses pemahaman terhadap teks telah lama mengalami

kebuntuan. Sejak ditulisnya kitab-kitab berbahasa Arab pada abad pertengahan.

Kerja-kerja ijtihâd untuk kembali menafsir teks mengalami stagnasi yang cukup lama

bahkan ada pengharaman terhadap ijtihâd baru. Pengembangan terhadap hukum

Islam lebih banyak pada pengulangan-pengulangan karya lama yang mungkin sudah

8 Mun’im A. Sirry, op. cit, hal. 202.9 Memang ada beberapa pendapat yang menganggap bahwa agama bukan sumber konflik

tetapi agama dipolitisir sebagai pemicu konflik. Jika memang benar bahwa agama dalam persoalan konflik hanya menjadi alat tetapi setidaknya agama menjadi alat yang paling ampuh sebagai pemicu terjadinya konflik.

4

Page 5: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

tidak sesuai lagi dengan konteks saat teks itu diaplikasikan. Persoalan interpretasi

terhadap teks ini berpengaruh besar terhadap prilaku masyarakat Muslim dalam

menghadapi kelompok lain. Sebuah produk hukum yang merupakan hasil interpretasi

dari teks menjadi sesuatu yang sangat disakralkan. Pada tingkatan tertentu bahkan

terkesan berposisi sejajar atau bahkan lebih dari al-Qur’an karena sosialisasi terhadap

isi al-Qur’an yang lebih minim dibandingkan sosialisasi dari produk tafsirs. Dalam

kasus Bahstul masail Nahdlatul Ulama’, para peserta yang tidak memiliki referensi

kitab kuning yang notebenenya adalah karya lama, akan sangat sulit bisa diterima

oleh peserta lain. Para peserta yang memiliki penafsiran yang brilian dan orisinil

walaupun secara metodologi bisa mempertanggungjawabkan tetapi tidak dilengkapi

dengan referensi kitab kuning hanya akan menuai kekecewaan karena penolakan

peserta yang lain atas pendapatnya. Mereka yang mengandalkan kemampuan pribadi

dan kekuatan motodologi hanya akan dianggap sebagai orang yang sombong atau

tidak tawaddu’ dan tidak mengakui keulama’an para pemikir tradisional. Kondisi ini

sangat dipengaruhi oleh pola hubungan yang terjalin antara ulama’ dan masyarakat di

Indonesia. Ulama’ memiliki dominasi yang sangat kuat tidak hanya dalam tradisi

masyarakat Islam tetapi juga pada tradisi agama-agama laindi Indonesia.

Proses kegiatan memahami kitab suci sampai pada perumusan sikap dan

pandangan hidup sehari-hari adalah area fiqh. Sehingga fiqh menjadi sesuatu yang

sangat penting dalam masyarakat Indonesia bahkan terkadang tampak lebih penting

5

Page 6: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

dibandingkan Syari’ah itu sendiri.10 Kecenderungan menguatnya orientasi fiqh ini

sebenarnya tidak muncul dari kedatangan Islam pertama tetapi muncul setelah adanya

proses yang sangat panjang. Selain karena perang paderi yang membawa paham

wahabi yang dikembangkan di Timur Tengah,11 juga karena gerakan-gerakan

reformasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah atau al-

Irsyad yang mengembangkan missi purifikasi. Selain dari kelompok reformis,

orientasi fiqh ini juga dibangun oleh kelompok tradisional seperti yang tampak pada

gerakan tarekat naqsabandiyah yang memadukan laku-laku tarekat dengan syariat

yang dalam hal ini fiqh.12

Gerakan pembaharuan Islam berbasis fiqh memang tergolong masih sangat

belia jika dibandingkan dengan gerakan yang berbasis teologis. Fakta ini bisa dilihat

dari karya-karya para pembaharu Islam Indonesia yang terbit pada tahun 1980an

sampai awal tahun 1990an. saat itu hampir semua pembaharu Islam Indonesia

memiliki trade marknya sendiri-sendiri dan tidak satupun yang memiliki trade-mark

fiqh.13 Sebut saja sebagai contoh adalah Nurholish Madjid dengan skularisasi Islam.14

10 Perbedaan yang jelas antara fiqh dan Syariah adalah pada produser keduanya. Syari’ah adalah tuntunan hidup yang diciptakan oleh Allah. Dan fiqh adalah formulasi dan Syariah. Walaupun fiqh dilegitimasi oleh teks suci, tetapi fiqh adalah hasil dari penggalian hukum yang dilakukan oleh manusia. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Rofiq, Fiqh kontekstual dari Naratif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 3. Lihat juga A Qodri Azizi, Eklektisme Hukum Nasional kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 92-93.

11 Perang Paderi terjadi pada 1821-1837. Perang ini awalnya perang pembaruan kehidupan keagamaan, kemudian berubah menjadi perang perlawanan masyarakat Minang terhadap penjajah Belanda. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid 4, hal. 66.

12 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 112.

13 Marzuki Wahid, Post-Tradisionalisme Islma: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia, Tashwirul Afkar, Edusi No. 10 (Jakarta: LAKPESDAM NU dan TAF, 2001), hal 10

14 Baca Nurholish Madjid, Islam, Kemoderenan, dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993

6

Page 7: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Domininasi fiqh yang anti-dialog di Indonesia ini yang mungkin membuat banyak

penggerak dialog agama bergerak dengan prespektif non fiqhi. Sebelum tahun 1990an

Indonesia memang sangat diwarnai oleh gerakan non-fiqhi termasuk gerakan dialog

agama. Gerakan dialog antar agama yang diprakarsai oleh orang-orang Islam banyak

yang mengedepankan pemahaman terhadap hakekat beragama yang dalam istilah

dialog agama sering disebut dialog spiritual, dialog yang mengedepankan nilai

esoterik agama15 dan bukan pada ajaran praktik keagamaan. Seperti apa yang pernah

digagas oleh Nurcholis Madjid dengan istilah Kalîmah sawâ’. Kalîmah sawâ’ adalah

bahasa yang dipakai untuk mempertemukan agama-agama dengan mencari

persamaan pandangan dalam hal-hal tertentu yang ada dalam agama tertentu.16 Fiqh

dianggap sebagai sesuatu yang kaku dan justru menjadi bumerang terhadap dialog

antar agama. Dalam memandang fiqh, Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo

memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka fiqh adalah nafas hidup orang Islam

di Indonesia yang memiliki potensi besar terhadap pengembangan dialog antar

agama. Selain fiqh sebagai mainstream Islam Indonesia fiqh dengan uşûl dan

qawâ’idnya juga menyediakan seperangkat metode perumusan yang bisa

dipertanggungjawabkan di depan publik Islam. Hal ini sangat berbeda dengan ilmu

keislaman lain seperti ilmu kalam (teologi) atau ilmu tasawuf (mistik) yang

perumusan metodologinya belum selengkap dan sesistematis fiqh.

15 Paul F. Knitter, Introducing Theologies of Religion, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 2002), hal. 19.

16 Nurcholish Madjid, Islam,Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 7-8.

7

Page 8: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Optimisme Ma'had Aly terhadap fiqh yang telah dibuktikan oleh beberapa

publikasi dan statemen-statemennya inilah yang bagi penulis sangat menarik untuk

dikaji lebih dalam. Kerena apa yang dilakukan Ma'had Aly dengan fiqh dialognya

bagi penulis merupakan suatu hal yang baru baik dalam kajian keislaman maupun

kajian dialog antar agama. Hal lain yang juga menarik adalah karena Ma'had Aly

termasuk pesantren yang memiliki konsentrasi yang langka di Indonesia karena dari

8000 pesantren yang tergabung dalam Rabiţah Ma'âhid al-Islâm, Ma'had Aly

Sukorejo Situbondo yang diakui paling eksis dalam kegiatannya. Sangat jarang

pesantren yang mampu menyelenggarakan pendidikan Ma’had Aly bisa bertahan

dengan standar kelayakan yang sesuai dengan standar Rabiţah Ma'âhid al-Islâm.

Rabiţah Ma'âhid al-Islâm telah mematok standar yang sangat berat yang

membutuhkan ketelatenan dan keuletan para pengelola. Banyak pesantren yang

memiliki sumberdaya yang cukup untuk megelolola Ma’had Aly tetapi karena

kurangnya dukungan infrastruktur sehingga Ma’had Aly itu tutup atau menurunkan

standarnya.

B. Pertanyaan Penelitian

Fiqh sebagai sebuah studi baru dalam wacana dialog agama menjadi sesuatu

yang fenomenal karena keberadaannya yang sangat dekat dengan masyarakat Islam

Indonesia. Dari asumsi itu kemudian munculah gagasan baru untuk menjadikan fiqh

sebagai sebuah metode baru dalam pembangunan dialog antar agama di Indonesia.

Pertanyaan yang paling mendasar yang hendak digali dari tulisan ini adalah apakah

8

Page 9: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

fiqh bisa menjadi sebuah alternatif metode pengembangan dialog agama serta

bagaima cara kerja fiqh dalam mendukung gerakan dialog antar agama. Pertanyaan

lain yang juga akan dijawab dalam tulisan ini adalah tentang dinamika Ma’had Aly

dan strategi gerakannya sebagai lembaga kader ahli fiqh yang konsen dalam

pengembangan dialog antar agama. Untuk mempermudah pembahasa penulis akan

membagi pertanyaan-pertanyaan tersebut kedalam beberapa pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keberadaan Ma'had Aly dalam perkembangan wacana

fiqh di Indonesia?

2. Bagamanakah Ma'had Aly membuat dan mensosialisasikan fiqh

dialogis?

3. Bagaimanakah respons masyarakat terhadap fiqh dialogis yang

dirumuskan oleh Ma'had Aly?

4. Mengapa Ma'had Aly menggunakan pendekatan fiqh sebagai upaya

dialog antar agama?

C. Tujuan Penelitian

Penjelasan atas beberapa rumusan permasalahan di atas diharapkan bisa

memberikan manfaat baik untuk kepentingan akademik maupun kepentingan praksis.

Dalam hal akademik, penelitian ini akan berguna sebagai basis data untuk

kepentingan penelitian selanjutnya atau kepentingan akademik lain dan secara praksis

9

Page 10: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

penelitian ini akan berguna sebagai rujukan bagi pelaksanaan kerja-kerja dialog antar

agama. Secara rinci tujuan penelitian ini dapat disebutkan sebagia berikut.

1. Dalam wacana dialog antar agama, penelitian ini akan memberikan sebuah

model baru di mana fiqh akan menjadi mainstream.

2. Dalam kajian Islam, penelitian ini akan menghadirkan sebuah metode baru

dalam penetapan hukum Islam, istimbâť al-ahkâm, yang progresif yang

menjadikan unsur dialog sebagai salah satu pertimbangan utamanya.

3. Penelitian ini juga akan sangat berguna sebagai bahan pertimbangan

dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan dialog antar

agama.

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai sebuah lembaga pendidikan alternatif, Ma'had Aly Sukorejo telah

beberapa kali dikaji oleh para peneliti. Di antara peneliti yang telah mengkaji Ma'had

Aly adalah Abdurrahman (2004). Dalam penelitian ini difokuskan pada model

pengembangan Ma'had Aly yang dibandingkan dengan beberapa Ma’had Aly lain di

Indoneisa. Dari hasil penelitiannya Abdurrahman membuat kategori-kategori Ma’had

Aly di indonesia berdasarkan model pengembangannya. Ma’had Aly digolongkan

menjadi tiga model yaitu traditional, modern-plus dan life-skill. Ma'had Aly

Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dalam penelitian ini dimasukkan dalam model yang ke

dua yaitu modern-plus. Tipe itu dipilih untuk disandangkan kepada Ma'had Aly

Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo karena penggabungan modern dan tradisional dalam

penyelenggaraannya. Menurut Abdurrahman sifat tradisionalnya tampak pada pola

pengembangan tradisi keilmuan pesantren yang masih tetap dengan ciri khas

10

Page 11: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

pengkajian kitab kuning khususnya kitab-kitab maźhab Syafi’i dan modernnya

tampak pada sistem pendidikan formal yang berjenjang.17

Memasukkan Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dalam model

modern-plus menurut penulis sangat tidak relevan karena disamping klaim pesantren

sendiri yang menganggap Ma'had Aly sebagai pesantren salaf tetapi juga nuansa salaf

memang muncul sebagai ruh dan modern muncul kemudian sebagai pelengkap.

Seperti halnya yang dituliskan oleh Abdurrahman bahwa ciri khas salaf terletak pada

materi-materi pengajiannya sedangkan karakter moderen dicerminkan dari sistem

pendidikan yang dipakai. Dari gambaran ini jelas wahwa sifat tradisional adalah

sesuatu yang primer dan modern lebih pada strategi taktis sistem pengajaran.

Penelitian lain dilakukan oleh Ismail (2003). Dalam penelitinnya Muqit

mengupas tentang peranan Ma'had Aly dalam peningkatan intelektualitas santri.18

Walaupun Ma’had Aly terkenal dengan pengembangan fiqhnya tetapi penelitian yang

dilakukan oleh Ismail sama-sekali tidak membahas tentang strategi pengem bangan

fiqh atau karakter fiqh yang dikembangkan Ma’had Aly. Selain yang dilakukan oleh

Abdurrahman dan Ismail masih ada beberapa penelitian lain tentang Ma’had Aly

Situbondo, tetapi sayang sekali penulis tidak mendapatkan data tentang itu karena

hasil penelitian tidak tersedia di perpustakaan dan sulit untuk didapatkan. Walaupun

penulis tidak mendapatkan data yang lengkap tentang hasil penelitian ini, penulis

17 Dudung Abdurrahman, M.Hum, Laporan Penelitian Kompetetif PTAI Tahun Anggaran 2003. Model Pengembangan Ma'had Aly: Studi Kasus Beberapa Pesantren di Jawa, (Yogyakarta IAIN Sunan Kalijaga, 2004), hal. 138-139.

18 Abd. Muqit Ismail, Peran Ma’had Aly Li Qism Al-Fiqh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah dalam Peningkatan Intelektual Santri, (Tesis Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, 2003), hal. 4.

11

Page 12: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

mendapat penjelasan dari petugas perpustakaan dan staff di Ma’had Aly Situbondo

bahwa penelitian yang terfokos pada pengembangan fiqh di pesantren ini belum ada.

Topik fiqh lintas agama pernah ditulis oleh tim Paramadina dalam buku

yang disunting, sirri (2004). Buku itu memang ditulis dengan judul dan pengantar

yang berperspektif fiqh akan tetapi isi dari buku itu tidak menggali lebih dalam pada

persoalan fiqh yang mengarah pada hukum Islam. Kalau buku itu dianggap sebagai

buku fiqh maka itu masuk pada fiqh dalam arti luas yang berarti ilmu keislaman dan

sangat berbeda dengan apa yang menjadi obyek kajian pada tulisan ini. Fiqh lintas

agama, selain tidak definisi yang jelas tengang fiqh lintas agama juga tidak

memberikan keteria khusus untuk pengembangan fiqh yang mengatur tentang

hubungan lintas agama. Dari hasil pembacaan yang dilakukan oleh peneulis maka

penulis bisa yakinkan bahwa belum pernah ada penelitian yang sama seperti yang

dilakukan oleh penulis.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam penyelesaian tesis ini penulis mengasumsikan bahwa fiqh memiliki

potensi terhadap terjadinya konflik yang berbasis agama. Selain itu pada saat yang

sama fiqh juga memiliki potensi untuk dijadikan alternatif metode dalam

penyelesaian konflik angama. Asumsi ini dibangun karena baik sebagai sebuah

disiplin keislaman maupun sebagai sebuah produk hukum, fiqh memiliki perbedaan

yang sangat kuat dengan disiplin keislaman atau produk hukum yang lain. Fiqh

memiliki legitimasi sosial yang berganda. Disamping karena dominannya fiqh

12

Page 13: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

orientasi beragama masyarakat Indonesia yang memang merupakan bagian dari

obyek kajiannya, sebagai turunan dari al-Qur’an dan Sunnah,19 fiqh memiliki

legitimasi wahyu. Selain kekuatan berganda yang dimilikinya, fiqh juga memiliki

ambiguitas yang tanpa disadari oleh penganutnya berpotensi sangat membahayakan

bagi para penganutnya sendiri. Fiqh diciptakan untuk mematerialkan ide Tuhan yang

berupa Syar’iat yang begitu besar dan nyaris tidak bisa disentuh oleh manusia biasa.

Sebagai upaya untuk mendekatkan syari’at dalam kehidupan sehari-hari maka Tuhan

memberi keluasan hambanya untuk menerjemahkan ide-ideNya dengan seperangkat

ilmu dan aturan yang telah ditetapkannya juga.

Dari sekian banyak materi baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun

sunnah itu kemudian para ahli fiqh berusaha menurunkan merumuskan dalam bahasa

praksis atau aturan-aturan yang lebih mudah untuk dipahami dan diaplikasikan.

Ijtihâd para ahli fiqh ini dipercaya sebagai formulasi syariat yang baku, aplikatif dan

bersifat sakral karena sifat kewahyuan yang menjadi materinya. Kepercayaan atas

hasil ijtihâd itu terus menerus menjadi pegangan umat Islam hingga muncullah

maźhab- maźhab dalam fiqh. Fiqh dibangun oleh para ahli sesuai dengan konteks dan

kepentingan yang melingkupi pribadi dan komunitas sang ulama’. Hal itulah yang

kemudian membuahkan perbedaan Maźhab.20 Sebelum terbentuknya Maźhab-

19 Wahbah al-Zuhaili, op. cit. hal. 29.20 Contoh yang paling jelas adalah adanya qaul qodim (pendapat lama Imam Syafi’i ketika

di Baghdad) dan qaul jadîd (pendapat baru Imam Syafi’i ketika di Mesir). Dalam kasus ini Imam Syafi’i merubah beberapa produk hukumnya karena Imam Syafi’i berpindah tempat. Dalam artian, setting sosial yang dihadapi oleh Imam syafi’I saat berinteraksi dengan kebudayaan dan adat Mesir, menuntutnya harus mengadakan pengamatan lebih jeli. Tak heran bila ada revisi hukum yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.

13

Page 14: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Maźhab yang merujuk kepada ulama’ fiqh, Maźhab merujuk pada lokal-lokal tertentu

seperti Maźhab Iraq, Maźhab Mesir, dan Maźhab Hijaz atau kota lain yang dihuni

oleh para ahli fiqh. Kepercayaan atas fiqh ini seakan-akan menegasikan kepentingan

dan segala persoalan pribadi ulama’ yang masuk melebur dalam sebuah karya fiqh.

Dengan begitu sangat mungkin dalam sebuah produk hukum Islam yang disakralkan

itu ada tarik menarik kuat antara maksud pensyari’atan (maqâşid al-Syar’i) dan

kepentingan ulama’ sebagai produsernya. Disinilah kerawanan fiqh sebagai sumber

kekerasan terkandung.

Tentang potensi fiqh yang bisa berfungsi sebagai pemicu konflik dan

sekaligus menjadi alternatif media pemecahan konflik telah diungkapkan diatas.

Salah satu dari alternatif pemecahan konflik yang sangan memungkinkan untuk

dilakukan dengan inspirasi fiqh adalah dialog antar agama. walaupun begitu

sepanjang pencarian penulis, penulis belum pernah menemukan satu teori yang utuh

yang bisa membingkai sebuah penelitian dialog dan fiqh menjadi satu yang bisa

dianggap sebagai fiqh dialogis. Oleh karena itu dalam menulis tesis ini penulis

menggunakan dua teori, dialog dan fiqh yang kemudian digabungkan menjadi satu

kerangka kerja bersama.

Pertama penulis akan menggunakan kerangka teori fiqh baru Sahal Mahfudz.

Teori Mahfudz ini dipakai karena Mahfudz telah sangat jelas memberikan fomulasi

dan bentuk sebuah produk fiqh baru yang sangat aplikatif untuk menilai produk fiqh

baru. Teori kedua yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori dialog yang

digunakan oleh Leonard Swidler (1990). Teori Swidler ini penulis pakai karena

14

Page 15: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

beberapa alasan teknis yaitu, teori Swidler adalah teori dialog yang menurut penulis

paling mudah untuk dipahami. Alasan lain adalah karena teori ini memiliki kereteria-

kereteria detail yang memiliki kesamaan dengan diskursus fiqh yang juga detail

sehingga dipandang lebih aplikatif. Dengan alasan itu maka penulis menganggap

bahwa dalam sebuah penelitian fiqh teori ini yang paling bisa untuk diaplikasikan.

1. fiqh dan fiqh baru

Ada banyak sekali definisi fiqh yang dikemukakan oleh para ulama’. Definisi yang

sangat sederhana menurut Imam Abu Hanifah, tokoh mazhab mu’tabarah21 yang

paling tua, adalah ma’rifah al-nafs mâ lahu wa mâ ‘alaihi (pengetahuan sesorang

tentang hak dan kewajibannya).22 Definisi lain yang juga sangat populer di kalangan

para cendikiawan Indonesia adalah ‘ilm al-halâl wa al-harâm wa ‘ilm al-syarâi’ wa

al-ahkâm (pengetahuan tentang hal yang halal dan yang haram atau pengetahuan

tentang syari’at dan hukum).23 Menurut Ibnu Subki: al-’ilmu bi al-ahkâm al-syarâi’

al-‘amaliyyah al-muktasab min adillatiha al-tafşiliyyah (pengetahuan tentang hukum-

hukum syari’at yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terinci).24

Dari sekian banyak ragam definisi fiqh hampir semua sepakat bahwa unsur

wahyu dan peran manuasia tidak bisa lepas dari interfensi akal manusia. Peran

manusia memang sangat besar tetapi fiqh tidak pernah akan keluar dari wahyu karena

fiqh adalah formulasi dari syariat yang merupakan inti dari wahyu. Dalam konteks ini

manusia sebagai penerjemah dari ide-ide Tuhan untuk menjadi sebuah rumusan

21 Mu’tabarah adalah sebutan yang digunakan orang-orang Islam tradisional terhadap Maźhab atau aliran pemikiran yang mereka akui karena validitas metodologi dan dalil yang mereka pakai. Lawan dari Mu’tabarah ini adalah ghairu mu’tabarah.

22 Wahbah al-Zuhaili, Uşûl al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), I. hal. 19.23 Ibid24 Ibnu Subkiy, Jam’u al-Jawâmi’, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal, 42-43.

15

Page 16: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

hukum yang aplikatif. Fiqh sering disalahpahami dan diidentikkan dengan Syariah.

Kesalahpahan banyak orang ini terlihat dari banyaknya kelompok yang mengklaim

diri mereka penegak syari’at Islam. Mereka yang mengatakan dirinya penegak

syari’at Islam biasanya memaparkan konsep-konsep syariat itu dengan pendekatan

fiqh yang notabenenya adalah formulasi syariat.

Persoalan-persoalan fiqh terus bermunculan seiring dengan perkembangan

zaman. Persoalan-persoalan baru yang muncul tentu saja tidak semuanya

pengulangan dari persoalan yang lama. Sebagian besar persoalan muncul dengan

jenis yang baru yang tidak bisa ditemukan dalam buku-buku fiqh lama. Hal itu

memunculkan kehawatiran akan adanya pertanyaan masyarakat yang tidak bisa

dipecahkan oleh para ulama’. Kehawatiran itulah yang kemudian menjadi salah satu

sebab kemunculan ide tentang fiqh baru yang digagas oleh Sahal Mahfudz. Menurut

Mahfudz Sebuah produk hukum Islam akan dianggap sebagai fiqh baru jika

memenuhi lima kriteria. Pertama, adanya reinterpretasi teks sebagai upaya

kontekstualisasi fiqh. Kedua, mengikuti Maźhab tertentu bukan pada produknya tetapi

mengikuti metode yang dikembangkan. Ketiga, membuat verifikasi yang mendasar

atas ajaran agama yang prinsip dan yang hanya merupakan cabang (Uşûl dan Furu’).

Keempat kode, bukan sebagai hukum positif dan kelima adalah mengenalkan

paradigma filosofis terutama pada persoalan-persoalan sosial dan budaya.25 Tentang

fiqh baru ini sebenarnya juga telah digagas oleh beberapa orang lain selain Mahfudz

seperti Masudi (1998) dengan fiqh perempuannya, Toyibah (1998) dengan fiqh

25 Salim and Amin in Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. viii.

16

Page 17: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

uruhnya. Akan tetapi karya-karya fiqh baru itu ditulis untuk untuk merespon

persoalan-persoalan kontemporer dengan tanpa disertai pedoman penggalian hukum

seperti yang ditulis oleh Mahfudz.

2. Dialog dan ”Fiqh Dialogis”

Dialog adalah kata yang sangat akrab terdengar ditelinga banyak orang.

banyak sekali kalimat yang berkaitan tentang perbincangan dua arah disebut dan

dibahas dengan menggunakan kata dialog. Kata dialog dalam kehidupan sehari-hari

biasa dipahami sebagai kebalikan dari monolog yang dilakukan oleh satu pihak saja.

dengan begitu jelas bahwa dialog adah percakapan yang terjadi antara pihak satu dan

pihak lain dan terjadi dua arah. Leonard Swidler (1990) mendefinisikan dialog

sebagai berikut. Dialog adalah percakapan antara dua orang atau lebih yang memiliki

pandangan yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya dengan tujuan utama

adalah belajar dari yang lainnya untuk bisa berubah dan berkembang, seluruh

partisipan bermaksud untuk membagi pemahaman mereka. Yang terpenting dari

catatan Swidler adalah dialog bukan berdebat. Untuk tercapainya sebuah dialog yang

sehat dan memiliki hasil sesuai dengan tujuan awal dialog, Swidler mengajukan

syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Syarat yang diajukan Swidler adalah kemauan dan

kesiapan untuk mendengarkan yang lain sebagai yang lain. Prasyarat yang diajukan

Swidler ini sangat logis karena seringkali percakapan antara dua belah pihak yang

berbeda menjadi ajang untuk berdebat mempertahankan kehendaknya atau bahkan

bertujuan meyakinkan yang lain untuk mejadi bagian dari kelompoknya. Banyak

sekali orang yang mau mendengar orang lain tetapi bukan sebagai yang lain tetapi

17

Page 18: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

sebagai orang yang sedang diyakinkan untuk menjadi bagian dari golongannya.

Proses percakapan yang tidak diiringi dengan kemauan kesiapan untuk mendengar

yang lain sebagai yang lain hanya akan menumbuhkan kebencian yang semakin

mendalam.26 Untuk terwujudnya sebuah dialog dibutuhkan sebuah aturan dasar.

Swidler menulis ada 10 aturan dasar dan 1 prakondisi esensial yang harus dilaluli.

Prakondisi itu adalah kemauan dan kesiapan untuk mendengarkan yang lain sebagai

“orang lain” yang berbeda agama, keyakinan. (a willingness and readiness to listen to

the other as other).27

Swidler menyebutkan ada sepuluh aturan dasar yang harus dipenuhi

dalam dialog sebagai berikut:

1. Tujuan utama dalam dialog adalah untuk belajar yang dengan itu orang

bisa berubah dan berkembang dalam persepsi dan pemahaman pada

realitas untuk kemudian bertindak atas dasar pemahamannya itu.

2. Dialog antar agama atau idiologi harus menjadi proyek bersama, dalam

komunitas agama atau idiologi masing-masing atau antara komunitas

agama atau idiologi.

3. Seluruh anggota dialog harus datang dengan segenap kejujuran dan

keiklasannya. Selain itu anggota juga harus yakin bahwa anggota lainnya

juga berlaku jujur dan iklas.

26 Swidler, Leonard, After the Absolute. The dialogical future of religious reflection, (Augsbrg: Fortress, 1990), hal. 3.

27 Ibid, hal 42.

18

Page 19: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

4. Dalam dialog antar agama atau antar idiologi kita tidak boleh

membandingkan apa yang diidealkan oleh agama kita dengan praktek

yang dilakukan oleh penganut agama lain.

5. Seluruh peserta harus mendefinisikan diri mereka masing-masing dan

hanya dirinya sendiri yang bisa mendefinisikan dirinya.

6. Masing-masing anggota dialog harus datang dengan tanpa keyakinan yang

kuat terhadap asumsi tentang persoalan yang menjadi kesalahpahaman.

7. Dialog hanya bisa diselenggarakan dengan dua pihak yang setara.

8. Dialog hanya bisa terselenggara dengan basis kepercayaan bersama atau

saling percaya

9. Kita harus belajar setidak-tidaknya untuk kritis terhadap tradisi agama

atau idiologi kita masing-masing.

10. Pada ahir dialog seluruh peserta dialog harus mencoba untuk mengalami

agama atau idiologi patner dialognya dari dalam.

Dari pemaparan tentang fiqh, fiqh baru dan dialog diatas maka bisa diambil

pengertian bahwa fiqh dialogis adalah sebuah produk fiqh yang memiliki ciri-ciri

sebagai fiqh baru dan mengandung prinsip-prinsip dasar dialog secara bersama-sama.

Dengan kerangka teori diatas penulis akan melakukan analisa kegiatan-kegiatan

pengembangan fiqh di Ma’had Aly. Penulis akan menganalisa elemen-elemen yang

bisa dianggap sebagai bentuk fiqh baru dan elemen-elemen yang sesuwai dengan

konsep dasar dialog yang dielaborasi oleh Swidler. Analisa itu kemudian akan

19

Page 20: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

menguji apakah aktifitas pengembangan fiqh di Ma’had Aly bisa dianggap sebagai

”fiqh dialogis” untuk kemudian mendapatkan jawaban dari pertanyaan dasar

penelitian ini yaitu fiqh bisa menjadi sebuah alternatif metode pengembangan dialog

antar agama serta bagaima cara kerja fiqh dalam mendukung gerakan dialog antar

agama.

F. Metode Penelitian

1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilangsungkan di Desa Sukorejo Kecamatan Banyuputih

Kabupaten Situbondo. Penelitian ini di fokuskan pada pesantren Ma'had Aly

Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo di kabupaten Situbondo serta beberapa wilayah yang

memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan pesantren Ma'had

Aly. Sehingga Penelitian ini juga dilakukan di luar kota Situbondo untuk

mendapatkan data tentang respon masyarakat terhadap pembentukan fiqh dialogis

yang diprakarsai oleh Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

Ma'had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dipilih menjadi lokasi penelitian

karena beberapa alasan penting. Yang pertama adalah di pesantren ini telah

dilangsungkan pendidikan kader ahli fiqh yang tidak setiap pesantren memiliki

lembaga yang fokus pada bidang ini. Kedua, pesantren ini adalah termasuk Ma'had

Aly pertama yang dibangun di Indonesia yang berangkat dari dukungan dari beberapa

kyai dari beberapa pesantren. Ketiga, Ma'had Aly adalah lembaga yang menerbitkan

produk-pruduk hukum Islam yang dipandang sangat produktif. Pada bulan Maret

20

Page 21: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

2003 sudah menerbitkan 200 eksemplar lembaran buletin hukum dan ratusan masalah

keagamaan telah dijawab dalam ratusan bahstul masai’l baik yang diselenggarakan

oleh Nahdlatul Ulama’ maupun oleh perhimpunan pesantren-pesantren dengan

paradigma hukum yang dialogis. Keempat Ma'had Aly memiliki jaringan pesantren

dan sosialisasi yang kuat. Ma'had Aly merupakan salah satu proyek Rabîťah Ma’âhid

al-Islâm, organisasi pesantren-pesantren di bawah naungan Nahdlatul Ulama’. Dan

pada kelas akhir pada pendidikan ini mengharuskan santrinya untuk melakukan

pendampingan ke pesantren lain yang biasanya lebih kecil. Pertimbangan lain yang

lebih bersifat teknis adalah karena peneliti memiliki akses yang mudah untuk

mendapatkan data yang diharapkan akan semakin mempermudah penyelesaian thesis

ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik observasi

partisipatoris, wawancara mendalam, dan dokumentatif. Dalam penelitian ini penulis

terlibat dalam aktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh Ma'had Aly dan melakukan

pengamatan secara langsung. Penelitian dengan cara ini sangat memungkinkan

penulis untuk mengetahui bagaimana proses perumusan fiqh dialogis termasuk

mengetahui perbedaan pendapat para santrinya sebelum rumusan fiqh dialogis ini

dipublikasikan dan menjadi wacana umum.

Selain wawancara formal penulis juga melakukan wawancara informal yang

berbentuk keterlibatan penulis pada percakapan sehari-hari. Hal ini dilakukan untuk

21

Page 22: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

mendapatkan data yang mungkin tidak bisa didapatkan dengan hanya melakukan

wawancara formal. Penulis yakin wawancara informal ini akan banyak memberikan

data yang sangat berarti karena dalam wawancara formal biasanya responden akan

merasa kurang nyaman dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis. Selain

dengan wawancara formal dan informal, data lain juga dikumpulkan dari

dokumentasi dan studi pustaka untuk memperoleh data sekunder mengenai wacana

fiqh dialogis dan pengembangannya di Ma'had Aly. Data ini kemudian diolah

bersama dengan dipadukan dengan hasil penelitian lapangan. Focus group discussion

juga dilakukan untuk mendapatkan data yang beragam dari para santri dan pengurus

di Ma'had Aly. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai kebutuhan dan

dibuat laporan awal yang kemudian didiskusikan dengan santri atau pengurus Ma'had

Aly. Untuk mengetahui respon masyarakat tentang pembentukan fiqh dialogis di

Ma'had Aly, penulis juga melakukan penelusuran ke beberapa pesantren dan para

ulama’ serta masyarakat yang telah mengetahui baik secara langsung maupun tidak

langsung tentang perumusan fiqh dialogis di Ma'had Aly.

3. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berupa deskripsi

mendalam terhadap kegiatan-kegiatan Ma’had Aly khususnya pada kegiatan

perumusan fiqh dialogis. Proses analisis data dilakukan terus-menerus baik di

lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan melalui penyaringan data,

penggolongan dan penyimpulan serta uji ulang. Data yang terkumpul, disaring dan

22

Page 23: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

disusun dalam kategori-kategori dan saling dihubungkan. Melalui proses ini

penyimpulan dibuat.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan kemudahan pada pembaca dan berdasarkan uraian di

atas, maka sistematika laporan penelitian tesis ini disusun dalam lima bab, Bab

Pertama adah bab pendahuluan yang memuat beberapa penjelasan mengenai latar

belakang dan ruang penelitian yang meliputi beberapa pertanyaan penelitian,

kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan tinjauan pustaka.

Bagian Kedua berisi Sitibondo, Ma'had Aly dan Peranannya dalam

pengembangan Fiqh di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang kondisi geografis

maupun sosial yang juga berisi tentang hubungan antara masyarakat pesantren dan

pesantren serta aktifitas santri dan sejarah berdirinya Ma'had Aly sebagai pusat kajian

ilmu fiqh. Bagian ketiga, Ma'had Aly dan peta studi fiqh. Bab ini meliputi tahapan

perkembangan fiqh di Indonesia, dinamika yang melingkupi perkembangan wacana

fiqh di Indonesia, pengembangan fiqh dialogis di Ma'had Aly Sukorejo dan tanggapan

masyarakat atas ide pengembangan fiqh dialogis.

Bagian keempat, akan mengulas tentang Ma'had Aly Sukorejo dan

pengembangan fiqh dialogis, bagian ini adalah bagian analisis pengembangan fiqh

dialogis yang berisi tentang perspektif Ma'had Aly terhadap kelompok lain dan

metode pengembangan fiqh dialogis. Bagian kelima, berisi kesimpulan dari seluruh

isi tulisan ini dan beberapa rekomendasi yang dibuat atas dasar hasil penelitian. []

23

Page 24: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

BAB II

SITIBONDO, MA'HAD ALY DAN PERANANNYA

DALAM PENGEMBANGAN FIQH DI INDONESIA

A. Situbondo “kota SANTRI”

1. Gambaran Umum dan Ekonomi

Hawa panas langsung terasa menyengat ketika memasuki daerah penelitian

ini. Situbondo yang terkenal dengan kota santri terhampar di atas tanah seluas sekitar

1.638,5 km², dengan posisi memanjang dari timur ke barat dengan lebar sekitar 11

km² dengan kondisi normal bersuhu rata-rata 24˚C - 30˚C. Daerah yang berpenduduk

mayoritas etnis Madura ini secara geografis terletak di 7˚35'-7˚44' lintang selatan &

113˚30'-114˚42' bujur timur. Topografi wilayah terdiri dari pegunungan, perbukitan

dan dataran rendah serta pantai. Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Sumbermalang

(100-1.233 m), wilayah terendah Kecamatan Mangaran (0-50 m).28 Sebagai kota

kecil, Situbondo termasuk kota yang sangat plural dalam hal budaya dan bahasa.

Walaupun mayoritas penduduknya adalah kelompok etnis madura, namun mereka

berlatar belakang budaya yang berbeda-beda.

Situbondo adalah kota pelabuhan yang pernah jaya pada masa sebelum

kemerdekaan. Pelabuhan Panarukan yang terletak di bagian barat wilayah Situbondo

adalah pelabuhan besar yang menghubungkan Situbondo dan daerah-daerah lain

pada masa kejayaannya. Selain Panarukan masih ada dua pelabuhan lain yang sampai

28 Kabupaten Situbondo dalam angka, (Situbondo: BAPEKAB, Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo. 2003) hal. Xivii.

24

Page 25: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

saat ini masih aktif digunakan di kota ini, yaitu pelabuhan Jangkar dan Kalbut.

Sebagai kota pelabuhan, Situbondo menjadi daerah transit penduduk kepulauan,

mulai dari pulau Sapudi, Raas, Kangean sampai Sapeken dan Sepanjang yang sudah

mendekati daerah Sulawesi. Sebagian penduduk kepulauan itu bermigrasi ke daerah-

daerah pesisir di Situbondo dan menjadi penduduk tetap. Walaupun sudah tidak

terlalu tampak, sebenarnya ada suku lain selain Madura yang hidup di Situbondo.

Orang-orang Mandar, Bugis, Jawa serta beberapa sub suku lain yang datang dari

beberapa kepulauan di sekitarnya juga telah menghuni Situbondo terutama daerah-

daerah pesisir. Kota yang berada di jalur lalu lintas Surabaya-Banyuwangi ini secara

administratif, sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, bagian timur dengan

Kabupaten Banyuwangi, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo dan

selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso.29

Sementara itu Sukorejo, padukuhan di mana pesantren Salafiyah Syafi’iyah

berlokasi, terletak di desa Sumberejo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo.

Walaupun sebenarnya secara administratif Sukorejo berada dalam wilayah

kecamatan Banyuputih tetapi sampai saat ini masyarakat tetap mengenal Sukorejo

dengan sebutan Sukorejo Asembagus Situbondo. Hal ini terjadi karena Sukorejo

termasuk dalam daerah bekas kawedanan Asembagus. Seperti daerah Situbondo pada

umumnya, desa seluas 1.820.071 hektare dengan luas hutan mencapai 500 hektar ini

termasuk dearah yang gersang. Sebagian besar masyarakat di tempat ini memenuhi

kebutuhan hidupnya dengan bertani dan sebagian lain nelayan, berternak serta

29 Ibid

25

Page 26: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

berjualan makanan atau kebutuhan lain untuk para santri. Nama Sukorejo konon

diberikan oleh KH. Samsul Arifin (alm) setelah mendirikan pesantren Salafiyah

Syafi’iyah. Nama itu diambil dari bahasa Madura yang menjadi bahasa percakapan

sehari-hari masyarakat Sukorejo, yaitu gabungan dari soko (kaki) dan rajeh (besar)

yang artinya kaki besar. Menurut cerita, saat pendirian pesantren Salafiyah

Syafi’iyah KH. Samsul Arifin (alm) menemukan sebuah batu dengan bekas kaki

berukuran sangat besar yang terukir di atasnya. Menurut cerita, batu berukir telapak

kaki itu saat ini tertanam di bawah mushalla pesantren yang setiap waktu shalat

dibacakan adzan dua kali.30

2. Struktur Penduduk

Situbondo Kota santri, itulah semboyan yang selalu didengungkan oleh baik

masyarakat Situbondo secara umum maupun pemerintah Kabupaten Situbondo.

Semboyan ini disamping merupakan akronim dari Sehat, Aman, Tertib Rapi Indah,

juga diharapkan bisa mencerminkan kehidupan masyarakat Situbondo yang santri

yang taat menjalankan perintah agama Islam. Nuansa keagamaan di Situbondo selain

tampak dari jumlah penduduk Muslim dan banyaknya pesantren, juga karena program

pemerintah yang sangat didominasi oleh nuansa Islami. Beberapa pengajian digagas

para pejabat pemerintah. Nuansa alun-alun kota yang remang sejak tahun 2000

diganti dengan lampu-lampu yang terang untuk mengurangi terjadinya kemaksiatan.

Bahkan sejak awal terpilihnya Diaaman sebagai Bupati itu, lagi-lagi untuk

30 Drs. KHM. Hasan Basri, Lc, KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (P2S2 Situbondo, tt.), hal. 21.

26

Page 27: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

mengurangi terjadinya maksiat, diselenggarakan pengajian rutin setiap malam

minggu di pendopo kabupaten. Pemerintah juga mencanangkan program Situbondo

bebas narkoba, perjudian dan prostitusi.

Berdasarkan data statistik penduduk tahun 2003, jumlah penduduk

Situbondo tercatat sebanyak 603396 jiwa. Dilihat dari banyaknya penduduk dan

agama yang dipeluknya, pemeluk agama Islam adalah mayoritas, lalu disusul oleh

penganut Kriten Protestan, Katolik, Hindu dan penganut Budha serta penganut

kepercayaan lain. Berikut adalah jumlah penduduk berdasarkan dalam tabel.31

NO AGAMAJUMLAH

JIWA KETERANGAN

1 Islam 594229

1. 598 Masjid2. 3184 Langgar3. 1057 musholla4. 103 pesantren5. 449958 santri

2 Protestan 5668 17 Gereja Protestan3 Katolik 2819 5 Gereja Katolik4 Hindu 202 1 Pura5 Budha 284 1 Vihara6 Kepercayaan lainnya 194 jiwa 1 Klenteng

31 Ibid, 164-166.

27

Page 28: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

B. Masyaakat Muslim di Situbondo

1. Kyai sebagai tokoh sentral

Suatu hari penulis dan beberapa kawan penulis yang terdiri dari pengacara

dan anggota DPRD dan aktifis pergerakan Islam terlibat obrolan serius dengan kyai

Muzaki Ridlwan. Kyai Muzaki Ridlwan adalah pemangku asrama Madrasah al-Quran

di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Waktu telah menunjukkan

pukul 23.00 WIB. Tiba-tiba seorang laki-laki yang kira-kira berumur 60 tahun

mendatangi kyai Muzaki yang sedang ngobrol bersama kami di teras depan kediaman

beliau. Dengan sangat santun namun tergesa, orang itu bercerita tentang keluarganya

yang mengalami serangan penyakit mendadak dan sangat membutuhkan pertolongan

segera. Kemudian orang itu mengutarakan maksut kedatangannya untuk meminta

sesuatu atau sekedar saran kepada kyai untuk kebaikan keluarganya yang sakit

tersebut. Sesaat setelah itu, kyai masuk rumah dan tidak lama kemudian keluar lagi

dengan membawa sebotol air untuk diberikan kepada anggota keluarga sang tamu

yang sakit. Setelah dibekali sebotol air, orang itu pulang dengan segenap harapan

kesembuhan yang sakit.

Setelah beberapa saat kami sejenak menghentikan obrolan kami karena kyai

melayani tamunya, diskusi kami teruskan kembali. Topik kami ketika itu adalah

tentang korporasi yang akan dibuat oleh kawan-kawan penulis yang menjadi

pengacara dan DPRD untuk membuat rumah makan yang dikelola oleh salah seorang

kawan untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Sesaat setelah kami memulai

diskusi tahap kedua itu, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang yang

28

Page 29: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

tampak sangat panik. Seorang laki-laki, yang mungkin juga berumur 60 tahun itu,

langsung mengutarakan kepentingannya sowan kepada kyai, bahkan sebelum kami

mempersilahkan duduk. Dengan posisi yang masih tetap berdiri, bapak itu

mengatakan bahwa puluhan orang sedang mengepung rumah salah satu penduduk

yang tinggal di lingkungan pesantren dan salah satu dari puluhan orang itu adalah

bapak yang sedang ada di depan kami. Bapak itu mengadu kepada kyai bahwa

puluhan orang itu ternyata terlibat transaksi sistem pemasaran bertingkat, multi level

marketing dengan pemilik rumah yang dikepung. Orang-orang tidak puas karena

sistem yang dikembangkan terasa merugikan mereka. Maksud kedatangan orang tua

itu, meminta saran kyai bagaimana seharusnya meraka bersikap. Bapak yang sudah

kehilangan dua ekor sapinya untuk berbisnis Multi Level Marketing itu merasa sangat

kecewa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Solusi apa yang diberikan oleh kyai untuk kedua problem di atas mungkin

tidak penting untuk dituliskan di sini, tetapi ilustrasi itu betul-betul dengan jelas

menggambarkan bagaimana posisi kyai dalam masyarakat Situbondo. Kyai begitu

penting artinya dengan masyarakat hingga tengah malam pun orang datang untuk

mengadu. Waktu yang tidak selazimnya orang bertamu dan biasanya hanya orang-

orang khusus yang berani bertamu, tetapi untuk masyarakat Situbondo waktu tidak

menjadi pertimbangan. Pertimbangan utama adalah seberapa butuh mereka dengan

kyai saat itu. Fakta ini adalah indikasi betapa masyarakat Situbondo tidak bisa

dipisahkan dengan kyai. Kyai tidak hanya dekat dengan mesyarakat tetapi kyai juga

dianggap mengetahui segala persoalan.

29

Page 30: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Kalau rombongan kami datang untuk berdiskusi karena kami anggap kyai

sebagai tokoh kharismatik yang bisa membantu menyelesaikan persoalan kami.

Tetapi kedua orang tamu tadi datang untuk meminta solusi tentang sesuatu yang sama

sekali bukan dunia seorang kyai. Kyai Muzaki adalah pengampu pesantren al-Qur’an

yang jelas disiplinya adalah tafsîr, târikh, faşahah atau pelajaran lain yang

berhubungan dengan Al-Qur’an, tetapi kedua tamu itu bertanya tentang penyakit dan

persoalan transaksi Multi Level Marketing yang seharusnya ditanyakan kepada ahli

yang lain. Hal ini sangat jelas menjadi petunjuk bahwa kyai adalah segala-galanya

untuk masyarakat Situbondo. Bahkan tidak jarang kyai harus berposisi sebagai

“polisi” atau “hakim” bagi masyarakat sekitarnya.

2. Interdependensi pesantern dan masyarakat

Dalam sejarahnya, pesantren tradisional memang selalu berjalan seiring

dengan partisipasi masyarakat. Pesantren ada juga karena masyarakat. Di Sukorejo,

pesantren juga memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi kepada

masyarakat sekitar pesantren dan begitu juga sebaliknya. Karena beberapa

keterbatasan baik fasilitas maupun infra struktur. Pesantren tidak akan mampu

menjalankan sistemnya tanpa dukungan dari masyarakat. Begitu juga masyarakat,

mereka mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepesantren, bahkan sebagian juga

mendapatkan rizki dari sistem pesantren.

Pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah memiliki tidak kurang dari 7000

santri putra dan putri yang semuanya tinggal dalam komplek pesantren. Tidak seperti

30

Page 31: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

beberapa pesantren lain, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah tidak mengkoordinir uang

makan santri, pesantren Salafiyah Syafi’iyah juga tidak mengharuskan santri membeli

barang kebutuhan sehari-hari kepada pihak pesantren. Pesantren memberi keleluasaan

santri untuk membelanjakan uangnya ke toko-toko sekitar pesantren. Kebijakan ini

diambil pesantren untuk memberikan sumber penghasilan kepada penduduk Sukorejo

yang mungkin juga terkadang dirugikan oleh tingkah laku santri yang amat beragam

budayanya serta limbah ribuan santri. Di sisi lain, warung-warung makan di sekitar

pesantren menjual makanannaya dengan harga yang sangat terjangkau untuk kantong

santri. Ketika penelitian ini dilakukan bulan April 2005 untuk satu bungkus nasi

dengan sayuran yang relatif lengkap dan setengah telor rebus atau goreng atau

sepotong ikan laut seukuran dua jari orang dewasa, mereka jual Rp. 1.200.

Kerjasama ini berjalan sangat baik dan jarang sekali ada masalah yang

mengemuka.32 Walaupun begitu, dominasi pesantren masih sangat kuat. Pesantren

memiliki peraturan, santri dilarang makan di warung (setiap nasi atau apapun yang

dibeli harus dibungkus dan dimakan di asrama tempat tinggal santri). Santri juga

dilarang menonton TV di rumah penduduk. Peraturan ini memang untuk santri tetapi

dampak dari peratuan ini juga langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar pesantren.

Hal ini karena sangsi yang diberikan pesantren. Santri yang melanggar peraturan ini

akan dikenakan sangsi dan bagi pemilik warung yang mempersilahkan santri makan

32 Akhir-akhir ini mulai timbul ketegangan antara masyarakat dan pesantren karena adanya maklumat yang melarang lembaga-lembaga pesantren untuk membeli kebutuhan sehari-hari diluar badan usaha milik pesantren. Menurt Munif, tokoh pemuda Sukorejo, hal ini akan menimbulkan kesenjangan dan retaknya hubungan pesantren dengan masyarakat. Munif yakin bahwa kebijakan ini dibuat oleh menejemen pesantren dan bukan pengasuh. Hal ini terjadi juga karena jarangnya pengasuh pesantren turun langsung kepada masyarakat.

31

Page 32: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

atau menonton TV di warungnya akan diberikan surat peringatan dan selain itu

pesantren akan segera mengeluarkan larangan makan di warung itu bagi seluruh

santri. Warung yang mempersilahkan santri makan di warungnya, biasanya tidak

akan berjalan lama dan segera tutup karena pada umumnya santri tidak ada yang

berani membeli, padahal konsumen yang paling dominan adalah santri. Larangan itu

akan segera dicabut oleh pesantren jika pihak warung segera mengadakan klarifikasi

kepada pihak pesantren dan tidak akan mengulangi kesalahannya. Klarifikasi itu tidak

akan diterima lagi kalau telah dilakukan lebih dari tiga kali.

a. Barokah dan sam’an wa ţa’atan 33

Jika di keraton Yogyakarta atau di keraton lain masyarakat bisa

menyaksikan banyak abdi dalem yang dengan ihlas menjalankan tugasnya dan hanya

mengharap berkah dari keraton, maka di pesantren Salafiyah Syafi’iyah tidak jauh

berbeda. Di tempat ini dapat juga disaksikan banyak sekali warga yang secara

sukarela mengabdikan dirinya untuk pesantren (kyai). Ada dua model pengabdian di

pesantren ini, struktural dan non struktural. Untuk yang struktural biasanya para

warga pengabdi mengajukan diri atau diminta oleh pesantren untuk terlibat dalam

operasional sehari-hari dan masuk ke dalam sistem struktur pesantren. Biasanya

33 Barokah secara bahasa berarti bartambahnya kebaikan. Masyarakat Situbondo pecaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan atau kecukupan jika mereka mengikuti perintah Kyai. Barokah sering dipahami secara mistis oleh masyarakat, walaupun penghasilan mereka sangat sedikit tetapi jika mereka mendapatkan barokah, dengan penghasilan yang sedikit itu kebutuhan hidup akan tercukupi. Sedangkan sam’an wa thoatan berasal dari kata sam’an yang berarti mendengarkan dan Tha’at yang berarti mengikuti. Sam’an wa thoatan kepada kyai diyakini menjadi salah satu resep untuk mendapatkan barokah.

32

Page 33: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

pengabdi jenis ini diposisikan di bagian dapur, staf badan otonom atau badan usaha

dan keamanan.34

Untuk pengabdian non struktural, biasanya bisa di saksikan pada perayaan-

perayaan hari besar Islam atau hari-hari kkhusus pesantren. Masyarakat datang dari

beberapa daerah di sekitar Situbondo, bahkan dari Kabupaten lain seperti

Banyuwangi, Bondowoso dan Jember. Mereka datang untuk membantu panitia

penyelenggara untuk hal-hal teknis seperti mengatur lalu-lintas, parkir atau

keamanan. Selain itu, sebagian masyarakat juga mengabdi untuk pembangunan fisik

pesantren seperti mencari batu sungai atau kayu kayu bakar.

Satu pengalaman menarik telah terjadi pada seorang responden penelitian

ini, Syahlan. Syahlan seorang santri dari pulau Bawean Kabupaten Gresik Jawa

Timur. Ketika itu, ia hendak melakukan perjalanan pulang. Karena terburu-buru,

Syahlan tidak membawa surat izin yang sah dari pesantren. Syahlan hanya membawa

surat izin yang sudah habis masa berlakunya. Ketika Syahlan turun dari becak dan

hendak menyetop bus, Syahlan didatangi keamanan pesantren yang menanyakan

surat izinnya. Mengetahui ada keamanan yang datang, Syahlan langsung menyiapkan

dan menunjukkan surat izinnya yang sudah lusuh itu. Setelah beberapa kali

membolak-balik surat itu dan melontarkan beberapa pertanyaan menyelidik kepada

Syahlan, kemudian keamanan itu mempersilahkan Syahlan pergi.

34 Ada dua jenis keamanan di pesantren ini. Pertama adalah keamanan dalam yang seluruh anggotanya adalah santri dan keamanan luar yang anggotanya adalah masyarakat sekitar pesantren. Kebijakan adanya keamanan luar ini muncul pada pertengahan tahun 1990an. Kebijakan ini dibuat disamping untuk mekanisme pengawasan juga untuk memberikan ruang kepada masyarakat yang tertarik untuk terlibat dalam pengembangan pesantren.

33

Page 34: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Keamanan itu mempersilahkan Syahlan jelas bukan karena argumentasi

Syahlan yang bisa diterima, karena biasanya keamanan jarang sekali yang mau

berdialog. Keamanan itu mempersilahkan Syahlan karena dia sama sekali tidak

menyangka bahwa surat yang dibolak-baliknya itu habis masa berlakukanya.

Ternyata oknum keamanan itu tidak bisa membaca. Keamanan seperti ini selalu akan

membolak balik surat izin, hal itu dilakukannya untuk melihat reaksi sang santri.

Santri yang masih belum berpengalaman, biasanya akan grogi jika surat tidak sahnya

dibolak-balik. Bagi santri yang tampak grogi akan segera dibawa ke kantor keamanan

dan diproses oleh keaman dalam pesantren.

Yang terpenting dari catatan kasus di atas adalah kualifikasi menjadi

keamanan tidak didasarkan pada kemampuan intelektual seseorang tetapi pada

keikhlasan seseorang untuk mengabdi. Seorang warga desa yang bermaksud

mengabdi akan sangat kecewa jika niat baiknya itu tidak diterima. Mereka akan selalu

mengatakan bahwa kyai sepuh (pendiri pesantren) tidak pernah menolak partisipasi

warga. Berapa banyak mereka mendapatkan honor juga bukan pertanyaan yang lazim

untuk diajukan. Honor yang mereka terima setiap bulan hanya rata-rata Rp. 30.000

sampai Rp. 150.000. Bahkan ada yang lebih rendah. Untuk seorang penjaga toko

pesantren atau petugas pekerjaan umum yang bertugas memperbaiki seluruh

bangunan pesantren dan petugas listrik dan pengairan yang bekerja hampir tidak

mengenal waktu misalnya, mereka menerima honor tidak lebih dari Rp. 300.000.

Honor yang mereka terima itu sama sekali tidak sebanding dengan sangsi sosial yang

mereka dapatkan ketika mereka melalaikan pekerjaannya, apalagi jika mereka sampai

34

Page 35: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

diputus hubungan kerjanya oleh pesantren. Masyarakat akan menilai sangat negatif.

Bahasa yang sangat akrab terdengar dari mereka adalah sam’an wa ţa’atan

(mendengarkan perintah lalu mentaati). Bagi mereka yang melanggar perintah kyai

diyakini akan mendapatkan musibah dan bagi mereka yang setia mengabdi diyakini

akan mendapat berkah dan ketenangan hidup.35

b. Makam dan cap baik atau buruk

Malam Selasa dan malam Jum’at adalah malam-malam yang paling ramai

masyarakat berkunjung ke pesantren Sukorejo. Ratusan pengunjung datang untuk

berziarah ke makam para kyai yang terletak di belakang Masjid Jami’ Ibrahimy,

masjid desa yang terletak di dalam lingkungan pesantren. Makam di Sukorejo ini

adalah sesuatu yang tidak hanya sebagai tempat di mana orang dikuburkan. Selain

dari itu, makam ditempat ini juga berfungsi sebagai tempat mencari berkah karena

stereotipenya yang baik.

Ada dua pemakaman di Sukorejo, pemakaman keluarga besar pesantren dan

para abdi serta orang yang dianggap layak yang terletak di belakang Masjid. Dan satu

makam lagi adalah pemakaman umum yang letaknya kurang lebih satu kilo meter

dari pesantren. Makam adalah sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat Sukorejo,

di mana mereka dimakamkan akan berpengaruh terhadap pandangan masyarakat

kepada keluarga yang ditinggalkannya. Makam pertama walaupun makam keluarga

pesantren tetapi pesantren memberikan keleluasaan bagi penduduk sekitar yang ingin

35 Menurut Munif, bagi beberapa kalangan pendangan tentang barokah dan musibah ini sudah mulai memudar.

35

Page 36: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

memakamkan keluarganya dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh

almarhum Kyai As’ad Syamsul Arifin.36 Berangkat dari syarat yang diajukan itu,

kemudian entah kapan mulainya, terbentuklah stereotipe di kalangan masyarakat

Sukorejo bahwa mereka yang dimakamkan di belakang masjid adalah orang baik dan

yang di pemakaman umum adalah sebaliknya (ahli maksiat).

“Orang baik” dan “ahli maksiat”. Cap ini memang sangat berat untuk

disandang oleh orang yang sudah meninggal. Dengan terma inilah terkadang

masyarakat dipaksa untuk terbelah menjadi dua, “baik” dan “tidak baik”. Tidak ada

yang berani berterus terang mengatakan tetangganya itu baik atau tidak, tetapi di

mana warga itu dimakamkan, seakan-akan menjadi pengadilan akhir bagi anggota

warga. Sampai penelitian ini diakhiri pada bulan Mei 2005, penulis belum

mendapatkan keterangan yang jelas tentang apakah benar kuburan itu memang dibuat

untuk membelah masyarakat menjadi dua kelompok “baik” dan “tidak baik”, tetapi

beberapa kali penulis menyaksikan orang yang loyal kepada pesantren dimakamkan

di belakang masjid. Begitu juga sebaliknya, ketika ada orang yang meninggal dan

dimakamkan di pemakaman umum suasana kampung jadi mencekam dan banyak

orang diam-diam membicarakan perihal pemakaman itu. Penentu akhir bagi

pemakaman ini adalah kyai pewaris pusaka keluarga Arifin.

Kyai memang tidak mengatakan orang ini baik atau tidak baik, tetapi

mesyarakat memberikan kesimpulan sendiri pada keputusan kyai membolehkan atau

36 Beberapa syarat yang harus dipenuhi adalah: tidak meninggalkan shalat, bukan penjudi dan pelaku maksiat yang lainnya (bukan ahli maksiat), wawancara dengan Fauzi, mantan sekretaris pengasuh pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

36

Page 37: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

melarang seseorang dimakamkan di belakang masjid.37 Demikianlan posisi kiai dalam

masyarakat Sukorejo. Jika ada tembang pucung dalam gending jawa yang bermakna

pertanyaan tentang seseorang mati dalam kondisi husnul khâtimah (baik) atau su’ul

khâtimah (buruk), maka di Sukorejo tembang itu bermakna dimakamkan di belakang

masjid atau di pemakaman umum. Dalam kasus ini kyai memiliki otoritas yang

penuh, bahkan untuk memberikan penilaian baik atau buruknya seseorang. Dominasi

kyai bisa dilihat dalam hampir semua keadaan, mulai dari memberikan nama anak-

anak masyarakat sekitar pesantren, menyelesaikan kasus hukum, mengobati orang

sakit sampai pada tataran tertentu menjadi indikator kebaikan seseorang. Dari

beberapa kasus yang telah dipaparkan diatas sangat jelas bahwa kyai adalah figur

yang benar-benar menjadi rujukan dalam setiap permasalahat masyarakat.

3. Nafas Islam dalam kehidupan sehari-hari

Jika seseorang berkunjung ke salah satu rumah penduduk di Sukorejo dan

tamu itu dianggap sebagai orang yang dihormati, maka mereka tidak akan menemui

tamunya sebelum songkok atau tutup kepala lain menutupi kepalanya. Hampir

menjadi hukum yang tidak tertulis, laki-laki di Sukorejo harus menemui tamu

khususnya dengan penutup kepala. Ketika bertemu tamu di depan rumah mereka, saat

mereka tidak menggunakan penutup kepala, maka segera tangannya ditutupkan ke

37 Menurut Fauzi sebenarnya pihak keluarga besar Arifin sudah ada yang berinisiatif untuk menghilangkan pandangann itu. bahkan untuk kerja besar itu salah satu pewaris ada yang menyatakan siap untuk dimakamkan di pemakaman umum. Tetapi sampai saat ini pandangann itu masih ada di masyarakat. Bagi Fauzi persoalan pemakaman ini terkadang berdampak buruk dan tidak fair, karena walaupun penentu ahir adalah Kyai tetapi kyai selalu minta masukan dari petugas pemakaman yang terkadang kurang fair menilai.

37

Page 38: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

kepala mereka. Songkok adalah lambang kehormatan yang sekaligus melambangkan

ketaatan mereka dalam beragama.

Religiusitas masyarakat tidak hanya tampak dari simbol agama, tetapi juga

dari aktifitas mereka sehari-hari. Ada puluhan jamaah pengajian di Desa ini, mulai

pengajian anak-anak, remaja sampai dewasa serta beberapa pengajian keluarga.

Waktu pengajian pun sangat beragam. Hampir setiap hari dengan mudah bisa

disaksikan hilir mudik pulang-pergi pengajian dan kegiatan keagamaan lain. Selain

pengajian yang diselenggarakan oleh masyarakat sendiri, ada beberapa pengajian

yang melibatkan masyarakat dan pihak pengasuh pesantren. Setiap malam Jum’at

manis, masyarakat berkumpul di Masjid Jami’ Ibrahimy, masjid desa yang berada di

lingkungan pesantren. mereka berkumpul untuk membaca istighośah bersama

mendengarkan nasehat-nasehat keagamaan atau informasi lain yang diberikan oleh

pengasuh pesantren Salafiyah Syafi’iyah, KHR. Ahmad Fawaid Asad.

Dengan membawa beberapa orang kepercayaannya yang memiliki keahlian

yang berbeda-beda, Kyai Fawaid menyampaikan ceramahnya dan diikuti oleh dialog

dengan masyarakat. Masyarakat akan bertanya tentang apa saja yang menjadi

ganjalan pikirannya. Untuk menanggapi pertanyaan itu, terkadang Kyai Fawaid

menjawab sendiri, tetapi terkadang juga meminta para pembantunya untuk menjawab

sesuai dengan keahlian mereka. Pertemuan ini memang belum terlalu lama

diselenggarakan. Saat penelitian ini dilakukan pertemuan ini masih diselenggarakan

satu kali saja. Walaupun begitu pertemuan serupa sering digelar di pesantren ini.

Biasanya momentum-momentum besar seperti hari besar Islam atau peringatan

38

Page 39: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

meninggalnya pendiri dan keluarga pesantren selalu digunakan untuk acara serupa.

Biasanya acara-acara seperti ini digunakan masyarakat dan pengasuh untuk merespon

persoalan-persoalan lokal yang dihadapi masyarakat maupun pengasuh dan mendesak

untuk segera disikapi.

B. Dinamika Ma'had

1. Sejarah berdirinya pesantren (Visi-Misi)

a. Tradisi hijrah (kilas balik Salafiyah Syafi’iyah )

Berdirinya Ma'had Aly tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya pondok

pesantren Salafiyah Syafi’iyah sebagai lembaga yang menaunginya. Tahun 1908

adalah tonggak sejarah bagi masyarakat desa Sukorejo kecamatan Banyuputih

kabupaten Situbundo. Tahun itu adalah tahun kedatangan kafilah hijrah dari Madura

ke Sukorejo untuk kemudian menjadi komunitas Muslim yang kuat dan memiliki

semangat pendidikan yang tinggi. Karena semangat kaum muhajirin itulah, hutan

lebat yang sepi itu kini menjadi kota santri dengan tujuh ribu kaum sarungan. 38

Sebuah hutan lebat di pinggiran pesisir laut Jawa telah dibabat menjadi

pemukiman yang terdiri dari rumah beberapa kepala keluarga yang migrasi dari pulau

Madura dan mushala sederhana yang kelak menjadi pesantren besar dan Ma'had Aly

berdiri di dalamnya. Sebelum kelompok kecil itu memutuskan untuk membangun

pemukiman itu, ternyata pemimpin mereka Syamsul Arifin yang juga bernama lain

38 Menurut KH. Afifuddin, kepala bagian pendidikan dan pengajaran Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, jumlah santri ini menurun dari sebelum krisis moneter yang mencapai puluhan ribu. Diduga penurunan ini adalah dampak dari krisis berkepanjangan itu.

39

Page 40: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Raden Ibrahim39 dan putranya As’ad telah mendapat amanat dari beberapa tokoh

spiritual yang ditemui sebelumnya. Dengan ditemani oleh dua orang ulama’ senior

Habib Hasan Musawa’ dan Kyai Asadullah, Arifin dan putranya serta rombongan

kecil itu, membuka hutan dan mendirikan pesantren pada tahun 1908. Hutan perawan

yang dibabat sebagai pemukiman itu merupakan tanah kompensasi dari pemerintahan

Belanda. Residen pamekasan setelah tanah keluarga As’ad di Madura diambil alih

oleh Belanda sebagai pabrik garam.40 Seperti layaknya kyai-kyai dalam tradisi

Madura, Syamsul Arifin menjadi tumpuhan masyarakatnya bukan hanya dalam hal

pengetahuan agama, tetapi juga untuk memberikan pengobatan-pengobatan alternanif

dan membantu memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya

yang lain. Karena keterlibatannya terhadap kepentingan masyarakat luas itulah

kemudian babatan hutan angker ini mulai dikenal masyarakat dan santri dari beberapa

daerah di Karsidenan Besuki dan pulau Madura mulai berdatangan. Tidak hanya

menjadi tempat ţalab al-‘ilm, Pesantren ini juga menjadi pusat gerakan kaum

Muslim. Pada masa kemerdekaan pesantren ini menjadi pusat komando dan markas

para pejuang.41

Dalam perkembangannya, musholla yang didirikan oleh Syamsul Arifin dan

As’ad itu menjadi sebuah pesantren besar dengan nama Salafiyah Syafi’iyah

Sukorejo yang dikenal dengan pesantren Sukorejo atau sebagian orang menyebut

39 Nama Ibrahim itu kemudian diabadikan menjadi nama lembaga sekolah dibawah yayasan Salafiyah Syafi’iyah menjadi Ibrahimi

40 Drs. KHM. Hasan Basri, Lc, op. cit., hal. 18.41 Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Profil pondok pesantren

Salafiyah Syafi’iyah SukorejoSitubondo ( Situbondo: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, tt) hlm. 1.

40

Page 41: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

pesantren Asembagus karena daerahnya yang merupakan eks kawedanan Asembagus.

Nama tersebut menunjukan bahwa pesantren ini adalah pesantren yang khas

Indonesia, karena sifatnya yang salaf atau tradisional dan berMaźhab Syafi’i. Belum

ada definisi yang jelas yang bisa menjelaskan apa itu pesantren salaf?42 Satu hal yang

bisa menjelaskan apa itu pesantren salaf adalah ciri-ciri yang dimiliki. Pesantren yang

menyebut dirinya sebagai pesantren salaf biasanya memiliki ciri kkhusus yaitu,

pertama, menggunakan kitab-kitab rujukan yang ditulis pada abad ke-4 atau ke-5

hijrah. Mereka megklasifikasikan kitab-kitab menjadi dua jenis yaitu mu’tabar (boleh

dijadikan rujukan) dan ghairu mu’tabar (tidak boleh dijadikan rujukan). Kedua

mengakui otoritas empat Maźhab, Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Pesantren

salaf menyebut keempat Maźhab ini dengan Mujtahid Muţlaq atau yang memiliki

otoritas Ijtihâd. Ciri yang ketiga adalah kurikulum. Walaupun secara definitif

pesantren salaf tidak mendekotomikan pelajaran umum (sekuler) dan agama, namun

pada prakteknya mereka berlaku dikotomis. Pelajaran pelajaran yang biasa diajarkan

di sekolah-sekolah non pesantren tidak akan diajarkan dalam kelas pesantren atau

setidaknya dibedakan jam pelajarannya, tidak ada kurikulum terpadu antara pelajaran

agama dan umum.43

42 Salaf yang dimaksudkan disini adah bukan slafi. salaf dimaksud adalah pesantren yang dibangun dan dibesarkan oleh komunitas santri di Indonesia yang sangat dekat denngan kultur masyarakat Indonesia dan bukan salaf yang sudah tercampur dengan gaya pendidikan Islam timur tengah atau negara Islam lain-lain.

43 Diformulasikan dari wawancara dengan Daerobi Najih, redaktur sidigiri.com dan Masykuri Abdullah sekretaris umum pesantre Sidogiri. Contoh pesantren yang tidak memiliki sekolah umum adalah Sidogiri di Pasuruan dan al-Falah Ploso di Kediri, walaupun kedua pesantren ini cukup maju dan bangunan fisiknya megah serta memiliki badan usaha yang dikelola dengan menejemen modern tetapi tidak memiliki sekolah umum. Contoh lain, pesantren yang kelihatan dikotomis adalah pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo di Situbondo dan pesantren Darussalam di di Banyuwangi atau Nurul Jadid di Probolinggo yang menyelenggarakan sekolah agama di pagi hari dan sekolah

41

Page 42: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Dalam sebuah focus group discussion yang kami gelar, seorang santri senior,

Imamuddin, memberikan penjelasan tentang nama Salafiyah Syafi’iyah. Menurut

Imamuddin, nama Salafiyah jelas menunjukkan bahwa pesantren ini adalah pesantren

tradisional yang mengapresiasi tradisi lokal. Dengan semboyan menjaga tradisi lama

yang masih bisa dipakai dan mengambil tradisi baru yang lebih baik, al-muhâfadah

‘alâ al-qadîm al-şâlih wa al-akhż bi al-jadid al-aşlah. Pesantren ini mengembangkan

ide-ide progresifnya dan mensupport ide-ide itu dengan literatur-leteratur klasik yang

ditulis pada abad ke-4 hijrah yang mereka sebut sebagai ţurâtś.

Syafi’iyah adalah nama yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i. Seorang

Imam besar yang bergelar Mujtahid muţlaq yang wafat pada 204 H/809M yang

dikenal sangat kritis. Secara hirarki keilmuan, Syafi’i adalah murid dari Imam Malik

yang wafat pada 179 H-795 M. Walaupun statusnya adalah murid, namun Syafi’i

memiliki ijtihâd yang berbeda dengan gurunya, Malik, dan mendirikan Maźhab

sendiri, Syafi’iyah. Sifat kritis Syafi’i itulah yang diharapkan bisa diwarisi oleh

santri-santri pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Begitulah nama itu dibuat,

diharapkan santri tidak hanya mampu mempertahankan tradisi tetapi juga berlaku

kritis.

b. Di antara dua muktamar (sejarah singkat berdirinya Ma'had Aly)

Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo mengalami perubahan yang sangat drastis

sejak diselenggarakannya Muktamar Nahdlatul Ulama’ ke-27 pada tahun 1984. Saat

itu Sukorejo dihadiri oleh ribuan kaum Nahdliyin dari seluruh cabang NU di

umum di siang hari atau sebaliknya.

42

Page 43: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Indonesia. Muktamar yang sangat monumental karena menghasilkan kesepakatan

keluarnya NU dari partai politik atau yang dikenal dengan kembali ke khithah 26 itu,

telah membawa Sukorejo menjadi daerah yang dikenal luas. Kalau sebelum

Muktamar, santri mungkin hanya datang dari sekitar Situbondo, tetapi setelah

muktamar, banyak santri datang dari hampir seluruh daerah di Indonesia, bahkan dari

manca negara seperti Malaysia, Singapura dan Saudi Arabia. Perubahan lain adalah

bahasa, yang sebelumnya dominasi bahasa daerah, dalam hal ini Madura sangat kuat,

maka sejak tahun itu, dominasi itu mulai berkurang dan diimbangi dengan pemakaian

bahasa Indonesia. Jumlah santri yang terus bertambah serta banyaknya lembaga

pendidikan yang telah dibangun oleh pesantren Salafiyah Syafi’iyah menambah

kepercayaan masyarakat. Beberapa tokoh Islam tradisional pun percaya bahwa

Salafiyah Syafi’iyah mampu mengembangkan misi kelompok ini untuk mencetak

kader ahli keislaman yang masih bertradisi salaf (f â qih). Keinginan beberapa ulama’

untuk meciptakan kader ahli fiqh inilah yang menginspirasi pendirian Ma'had Aly.

Data statistik santri menunjukkan bahwa sebelum muktamar tahun 1983-1984 jumlah

santri sebanyak 3.037 kepala dan lima tahun kemudian pada 1994-1995 santri

mencapai 8.780l.44

Adalah kyai Aziz Masyhuri, ketua RMI (Rabîťah Ma’âhid al-Islâm) yang

menyatakan bahwa Ma'had Aly yang paling bisa diandalkan di Indonesia saat ini

adalah Ma'had Aly Sukorejo Situbondo. Ma'had Aly ini dianggap bisa diandalkan

44 Pusat data statistik Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo tahun 2003

43

Page 44: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

salah satunya adalah karena penguasaan terhadap kitab-kitab kuning yang masih

kuat.45 Penguasaan kitab kuning sampai saat ini masih menjadi ciri dasar yang harus

dimiliki oleh pesantren salaf. Sebuah pesantren yang mengaku sebagai penganut

Maźhab salaf akan tidak diperhitungkan tanpa penguasaan kitab kuning yang

mumpuni. Dalam wawancara kami, Masyhuri juga menjelaskan bahwa pada akhir

tahun 1980-an Depertemen Agama (DEPAG) memiliki proyek pengembangan

Ma'had Aly di Indonesia. Proyek DEPAG yang diinspirasi dari keinginan Munawir

Sadzali untuk memupuk bakat kajian kitab kaum muda ini kemudian ditawarkan

kepada seluruh pesantren di Indonesia. DEPAG akan memberi bantuan fasilitas untuk

pesantren yang sanggup menyelenggarakan Ma'had Aly dengan kreteria yang cukup

ketat terutama untuk kurikulum yang berkaitan dengan penguasaan kitab kuning.

Tidak kurang dari 10 pesantren se Indonesia yang memberanikan diri untuk

menerima tawaran dari DEPAG. Ma'had Aly Sukorejo dalam hal ini tidak termasuk

dari 10 pesantren penerima tawaran DEPAG tersebut. Ma'had Aly Sukorejo sudah

digagas oleh KH. As’ad Syamsul Arifin saat sebelum proyek itu digulirkan. Namun

sampai saat ini menurut Masyhuri hampir seluruh pesantren yang menerima tawaran

itu tidak berhasil melangsungkan pendidikan Ma'had Aly. Mayoritas penyebab

kegagalannya karena kurangnya sumber daya manusia yang mampu masuk dan

menyelesaikan pendidikan dengan kurikulum Ma'had Aly.46 Dari segi penguasaan ini

45 Wawancara dengan KH. Aziz Masyhuri tgl 27, April 2005.46 Hal senada juga diungkapkan oleh KH. Mujib Wahab pengasuh pesantren Mamba’ul

Ma'had Aly’arif denanyar Jombang yang juga pernah menyelenggarakan Ma'had Aly dan gagal sebelum berhasil meluluskan angkatan pertamanya. Wawancara dengan KH. Mujib Wahab, 27 April, 2005.

44

Page 45: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Ma'had Aly sangat layak digolongkan sebagai pesantren salaf hal lain yang menjadi

alasan kegagalan menurut Masyhuri karena banyak santri dari pesantren-pesantren itu

yang lebih tertarik dengan gebyar perguruan tinggi di kota-kota besar atau kota

pelajar.

Ma'had Aly berdiri pada 21 Februari 1990 dengan diprakarsai oleh KH.

As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah atas dukungan

beberapa kyai berpengaruh lain di Indonesia. Ma'had Aly didirikan atas keprihatinan

banyaknya ulama’ salaf dan para ahli fiqh yang telah wafat. Di lain pihak, penurunan

kualitas santri semakin dirasakan dibeberapa pesantren. Banyak pesantren yang

bermaksud untuk beradaptasi dengan zaman kemudian merubah sistem mereka yang

justru mengurangi mutu pendidikan keagamaan di pesantren tersebut. Selain itu

persoalan-persoalan fiqhiyah yang dihadapi masyarakat semakin kompleks dan nyaris

tidak bisa dituntaskan oleh para ulama’ yang tersisa (mauquf) sehingga kebutuhan

untuk membuat suatu lembaga yang berkonsentrasi pada ilmu fiqh muţlaq tidak bisa

ditawar. Atas dasar itulah lalu dengan meminta restu dari ulama’ berpengaruh di

tanah haramain, Syaih Alwi Almaliki, pesantren ini didirikan dengan mudir pertama

KH. Wahid Zaini (alm) yang saat itu menjadi ketua Rabîťah Ma’âhid al-Islâm.

Ide mendirikan pesantren yang mampu mencetak kader ahli fiqh yang

mampu menjawab tentang zaman ini sebenarnya sudah bergulir sejak lama sebelum

pendiriannya. Karena kesibukan masyayih, para kyai sepuh, akhirnya ide ini sempat

terhenti. Tahun 1998 adalah momentum yang sangat berharga dalam pendirian

45

Page 46: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Ma'had Aly. Dalam sebuah perayaan haul akbar pendiri pesantren Salafiyah

Syafi’iyah, ustadz Hasan Basri Lc, mudir Ma'had Aly yang saat itu masih menjadi

santri senior, membacakan wasiat KH. Hasyim Asy’ari yang berbunyi: “Kamu As’ad

supaya banyak mencetak kader-kader Fuqahâ’ di akhir zaman”. 47 Setelah perayaan

haul itu usai, kemudian beberapa ulama’ berkumpul dan membentuk tim teknis yang

diketuai oleh KH. Hasan Bashri Lc, (Situbondo, saat ini Mudir) dan beranggotakan

KH. Abd. Wahid Zaini, SH (alm, Probolinggo), KH. Yusuf Muhammad, LLM (alm,

Jember), KH. Nadhir Muhammad (Jember), KH. Khatib Habibullah (Banyuwangi),

dan KH. Afifuddin Muhajir (Situbondo). Setelah tim kecil ini terbentuk, baru mulai

lah menggodok kurikulum dan menentukan silabus dan staf pengajarnya.

Setelah selama kurang lebih 7 bulan penggodokan, lalu hasilnya dibahas

dalam seminar yang dihadiri oleh beberapa tokoh ulama’ diantaranya KH. Moh.

Tholchah Hasan, KH. Ali Yafi’i, KH. Sahal Mahfudz, Prof. KH. Ali Hasan Ad-Dariy

An-Nahdi dan KH. Masdar F. Mas’udi. Meskipun konsep rancangan pendirian

Ma’had Aly telah cukup matang, namun belum lengkap bagi Beliau sebelum

mendapat restu masayikh Indonesia di antaranya dan KH. Ali Ma’sum dan Makkatul

Mukarramah seperti Syekh Yasin Al-Fandany, Dr. bin Sayyid Muhammad bin

Alawiy al-Malikiy, Syekh Isma’il bin Utsman al-Yamaniy.

Setelah mendapat restu dari para ulama’, barulah secara resmi Beliau mendirikan

Sebuah Lembaga Pasca Pesantren pertama di Indonesia pada tanggal 21 Februari

1990, yang kemudian dikenal dengan Al-Ma’had Al-Aly Li al-Ulum al-Islamiyyah

47 Wasiat inilah yang kemudian menjadi azimat kuat pendirian Ma'had Aly.

46

Page 47: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Qism al-Fiqh, sebuah lembaga pendidikan Islam yang menitikberatkan pada

kajian persoalan-persoalan hukum formal Syariah (fiqh). Setelah 15 tahun Ma'had

Aly mengembangkan sistem pendidikannya yang independen kemudian Ma'had Aly

dinilai oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagai salah satu alternatif

pengembangan pendidikan tinggi. Pengakuan DEPAG ini diwujudkan dengan

terbitnya Surat Keputusan tentang izin penyelenggaraan Magister Hukum Islam oleh

Ma’had Aly.48

Kerja besar Ma'had Aly ini setelah menamatkan 4 angkatan dinilai sangat

memuaskan oleh para masyayih. Pelamar untuk menjadi santri pun berdatangan dari

beberapa pesantren lain. Ma'had Aly tidak hanya dikenal oleh kelompok kyai sepuh

saja, tetapi kelompok muda progresif Islampun mulai mempertimbangkan posisi

Ma'had Aly dalam dikursus perkembangan Islam Indonesia. Tahun 2003 adalah

momentum di mana Ma'had Aly menegaskan posisinya dalam pengembangan Islam

Indonesia yang kritis dan progressif. Pada tahun itu kyai Fawaid Asad menerima

tawaran kaum muda NU untuk menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar

Pemikiran Islam. Mukatamar yang sedianya dijadikan ajang untuk “ishlah” dan

berbagai perspektif antara kaum muda dan tua ini, ternyata tidak dihadiri oleh

kelompok tua. Muktamar itu akhirnya berubah menjadi ajang eksplorasi pemahaman

Islam kelompok muda. Muktamar itu kemudian berakhir dengan terbitnya tiga

48 profil Ma'had Aly, 2005 dan brosur penerimaan santri baru angkatan VI dan mahasiswa baru Magister Hukum Islam Angkatan II Ma'had Aly (2005-2008).

47

Page 48: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

rekomendasi yang dipandang liberal oleh banyak kaum tua dan memunculkan nama

Imam Nakho’i (alumnus Ma'had Aly) sebagai bintang muktamar.

Di balik kekaguman kelompok muda terhadap Ma'had Aly ternyata

berhembus tuduhan liberal (dalam konotasi yang negatif yang sudah keluar dari

pakem pesantern salaf) dari beberapa kyai NU. Bahkan ada yang menuduh

Muhammadiyah. Keluarga besar Ma'had Aly merasa setiap statemennya diawasi dan

selalu menjadi catatan kaum tua yang berujung pada posisi dan stabilitasnya di

pesantren. Ancaman berat bagi mereka yang berlaku progresif adalah dianggap

melanggar ketentuan pesantren dan terancam akan dikeluarkan dari lembaga

pendidikan pesantren atau dicabut keterlibatannya di pesantren. Kyai Afifuddin

Muhajir, sesepuh Ma'had Aly, menyesalkan tuduhan liberal kepada Ma'had Aly itu.

Menurut Muhajir, tuduhan itu karena prilaku tidak fair kelompok tua yang tidak hadir

pada acara Muktamar pemikiran Islam itu.

C. Ma'had Aly mencetak faqihuzzamani

1. Visi Misi

Visi Ma’had Aly adalah menjadi salah satu pusat studi Islam dengan

spesialisasi fiqh (Pendidikan Kader Fuqaha’ Indonesia). Dari dasar filosofis itu,

Ma'had Aly menurunkannya dalam tiga buah misi: Pemulihan, pemurnian dan

pengembangan pesantren salaf dalam dimensi ilmiah, amaliyyah dan khulǔqiyyah.

48

Page 49: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Pengembangan khazanah ilmu-ilmu keislaman, pemulihan, pemurnian dan

pengembangan fungsi kitab salaf (kitab kuning) sebagai wahana tumbuh dan

berkembangnya kader-kader ulama (fuqaha’) yang mampu menjadi panutan

masyarakat masa kini maupun masa datang.

2. Sumberdaya

a. Santri

Saat penelitian ini dilangsungkan, asrama Ma'had Aly dihuni oleh 115 santri

yang terdiri dari 65 santri putra dan 10 santri putri untuk sekolah persiapan

(madrâsah i'dâdiyyah) dan 34 santri putra 10 santri putri untuk program Ma'had Aly.

Jumlah ini adalah jumlah yang mendekati final dengan kemungkinan berkurang yang

sangat kecil karena kalender pendidikan yang sudah hampir tutup tahun. Jumlah

santri Ma'had Aly di akhir kalender pendidikan biasanya selalu berkurang dari jumlah

santri di awal kalender. Menurut santri Ma'had Aly, berkurangnya santri ini karena

adanya proses alam. Bagi mereka untuk masuk ke Ma'had Aly adalah harus

mengikuti dua proses seleksi. Pertama, adalah seleksi material yang mereka jalani

sebelum masuk dan kedua, seleksi alam yang mereka lalui saat menjalani pendidikan.

Pada umumnya santri Ma'had Aly adalah kader terbaik di daerahnya masing-

masing yang harus menggantikan posisi pemimpin agama di komunitasnya. Hal ini

juga berdampak buruk kerena tidak jarang santri Ma'had Aly yang sedang dalam

pertengahan balajar harus segera pulang karena panggilan komunitas untuk segera

mengisi kekosongan posisi kepala Madrasah di kampung mereka. Sebagian lain harus

49

Page 50: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

menghentikan pendidikannya karena tuntuan keluarga untuk segera hidup

bermasyarakat atau berkeluarga. Penyebab lain adalah karena sikap kritis santri yang

terkadang dianggap melanggar pakem pesantren salaf dan tidak berlaku sopan dan

melanggar ketentuan pesantren sehingga mereka harus keluar dari pesantren dengan

paksa atau diusir. Sebagin yang lainnya berhenti dari proses pendidikan karena

beratnya materi yang harus mereka ikuti sehingga merasa tidak mampu dan memilih

untuk keluar.

Beberapa penyebab itulah yang oleh mereka disebut sebagai seleksi alam.

Sangat jarang santri yang berhenti dari Ma'had Aly karena persoalan pembiayaan,

Karena di pesantren ini, biaya pendidikan sangat murah. Dilihat dari kualitas

personal, santri Ma'had Aly adalah santri yang memiliki kemampuan sangat tinggi

dengan standar pesantren tradisional. Santri yang melamar untuk bisa menjadi santri

di Ma'had Aly harus menguasai ilmu tata bahasa Arab dan dasar-dasar ilmu fiqh atau

qâ’idah fiqh. Penguasaan terhadap materi ini diukur dengan penguasaan mereka

terhadap beberapa kitab sebagai berikut: Fath al- Mu’in (Fiqh), Alfiyyah Ibn al-

Malik (Qawâ'id al- Lughah), Ghâyah al-Wuşûl (Uşûl Fiqh), serta hafal seluruh ayat-

ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum Islam (ayat Ahkam).

Secara ekonomi, santri di Ma'had Aly tergolong kelompok menengah ke

bawah. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah uang kiriman yang mereka terima dari

orang tua mereka. Dalam satu bulan masa pendidikan di Ma'had Aly, rata-rata santri

menerima kiriman uang dari orang tua mereka sebanyak R. 100.000 sampai Rp.

150.000. Sangat jarang santri yang menerima kiriman mencapai Rp. 200.000. Jumlah

50

Page 51: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

uang yang diterima santri itu sudah meliputi biaya hidup sehari-hari dengan 2 kali

makan dan biaya lain termasuk kitab-kitab dan kebutuhan lain. Indikator lain adalah

murahnya biaya yang harus dibayar santri Ma'had Aly. Untuk masa studi satu tahun,

santri di Ma'had Aly hanya membayar Rp. 400.000. Jumlah sebesar itu sudah

termasuk biaya pendidikan dan fasilitas yang mereka dapatkan termasuk kamar, air,

listrik dan laboratorium bahasa dan komputer.

Pendaftaran Peserta didik (santri) Ma’had Aly dilakukan setiap tiga tahun

sekali, sesuai dengan masa pendidikan. Menejemen Ma'had Aly akan menyelesaikan

satu angkatan dan baru akan membuka angkatan berikutnya. Penerimaan santri baru

Ma’had Aly melalui dua tahapan, yaitu pendaftaran dan seleksi. Dalam menerima

santri baru walaupun ijazah terakhir harus dilampirkan dalam pendaftaran tetapi

ijazah tidak menjadi pertimbangan. Pertimbangan kelulusan adalah pada kelulusan

pelamar dalam tes masuk yang terdiri dari test tulis dan wawancara.

b. Staff pengajar

Ma'had Aly membagi kelompok pengajar ini menjadi tiga kelompok:

1.1. Al-Muhâdhirûn, yaitu beberapa tenaga pengajar yang secara temporal

memberikan kuliah umum dengan tema-tema sentral yang meliputi

Masâil Fiqhiyyah, Uşûl Fiqh, Sosial Politik, Tasawwuf dan Filsafat.

2. Al-Mudarrisûn, yaitu beberapa tenaga pengajar yang secara rutin

memberikan kuliah dengan jadwal dan mata kuliah yang telah

ditentukan.

51

Page 52: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

3.3. Al-musyrifûn, yaitu beberapa tenaga pengajar yang bertugas sebagai

pendamping harian, dengan mengawasi dan membimbing santri secara

intensif.

Dalam proses rekrutmen tenaga edukatif (dosen) Ma'had Aly menguji

kelayakan calon dosennya secara tidak langsung melalui seminar/diskusi.

Selain itu Ma'had Aly juga mempertimbangkan orang-orang yang

direkomendasikan oleh dewan masyaih (ulama’ sepuh). Pertimbangan

rekomendasi ini memang sangat penting untuk menjamin keilmuan dan

loyalitas para dosen. Loyalitas kepada pesantren (baca kyai) ini juga yang

menjadi salah satu unsur penting dalam menopang kesuksesan Ma'had

Aly. Menurut KH. Hasan basri (mudir Ma'had Aly) mereka yang mengajar

di Ma'had Aly itu adalah orang yang iklas dan loyal serta tidak

menganggap uang sebagai hal yang penting. Bagi para pengajar itu

menjaga wasiat dan harta pesantren berupa Ma'had Aly adalah segala-

galanya. Basri bercerita ada beberapa dosen yang jika tidak mengajar

mereka ditemui oleh pendiri Ma'had Aly di dalam tidurnya.

3. Infra struktur

a. Sistem pesantren

Secara struktural Ma'had Aly adalah salah satu lembaga otonom di

bawah yayasan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Sebagai

lembaga otonom Ma'had Aly dikontrol dan bertanggung jawab kepada yayasan.

Semua yang dilakukan Ma'had Aly harus atas kontrol yayasan. Walaupun secara

52

Page 53: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

struktural Ma'had Aly di bawah yayasan tetapi sebagai lembaga otonom Ma'had

Aly mengelola kurikulumnya sendiri. Yayasan Salafiyah Syafi’iyah memiliki

lembaga pendidikan diniyyah mulai dari ibtida’iyyah (tingkat dasar), śanawiyyah

(menengah pertama) dan ‘Aliyyah (menengah atas) tetapi itu tidak berarti lulus

dari ‘Aliyyah akan bisa langsung masuk Ma’had Aly. Walaupun begitu, seakan-

akan tidak ada kesinambungan antara jenjang pendidikan dibawah Ma'had Aly

dengan Ma'had Aly, mereka yang lulus dari ‘Aliyyah tidak secara otomatis bisa

masuk ke Ma'had Aly, mereka haru menjalani seleksi seperti layaknya santri dari

pesantren lain. Tidak adanya kesinambungan ini mengesankan lemahnya kualitas

pendidikan di bawah Ma'had Aly walaupun dikelola oleh lembaga yang sama.

Karena tidak adanya kesinambungan ini kemudian madrasah diniah

dilingkungan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah tidak bisa menjadi penyangga

yang kuat atas berdirinya Ma'had Aly. Sehingga Ma'had Aly menyelenggarakan

madrasah i’dâdiyyah sebagai lembaga penyangga Ma'had Aly. Ketika penulis

bertanya kepada KH. Afifuddin Muhajir tentang otonomi Ma'had Aly ini belau

menjawab, Ma'had Aly otonomi lafzan bukan maknan (otonomi secara de jure tetapi

tidak de facto). Sampai saat ini Ma'had Aly belum bisa otonomi terutama berkaitan

dengan keuangan. Keuangan masih terus disubsidi oleh yayasan karena sangat

murahnya biaya yang dibayar oleh santri yang sangat tidak sesuai dengan kebutuhan

operasional. Saat ini ada wacana bahwa Ma'had Aly akan dicabut otonominya karena

memang tidak pernah otonomi.

b. Kurikulum

53

Page 54: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Dalam penyelenggaraan pendidikannya Ma'had Aly sangat berbeda dengan

perguruan tinggi yang biasa ditemukan ditempat lain. Ma'had Aly memiliki karakter

yang kuat pada kajian teks. Hampir setiap mata kuliah memiliki kitab yang menjadi

bahan acuan utama yang terus dikaji sampai khatam. Kitab-kitab atau buku-buku lain

yang yang tidak menjadi bahan utama hanya bersifat pelengkap dan bahan

perbandingan. Sistem belajar seperti ini memungkinkan santri untuk secara detail

menguasai isi kitab dan cara berpikir penulis. Pengetahuan yang mendalam atas satu

kitab tertentu itulah yang kemudian memudahkan santri untuk bisa menguasai bahan

bacaan lain. kordinator kurikulum Ma'had Aly, ustadz Abu Yazid, menjelaskan sejak

awal Ma'had Aly memang sangat konsen pada kajian teks. Sedikit demi sedikit

Ma'had Aly mengimbangi dengan metode lain seperti yang dikembangkan di

perguruan tinggi pada umumnya. Sampai saat ini antara kajian teks sudah berimbang

dengan metode lain. Walaupun begitu kajian teks ini akan terus dipertahankan dan

akan menjadi ciri khas metode pendidikan di Ma'had Aly. Yazid menjelaskan,

metode kajian teks yang membaca satu kitab sampai khatam itu sangat membantu

para santri untuk mencapai pemahaman yang sempurna karena tidak ada celah yang

tidak dibaca. Sejauh ini kurikulum Ma'had Aly masih didominasi oleh materi

berbahasa Arab dan kitab karya lama. Sangat jarang buku-buku berbahasa Indonesia

atau bahasa lain ditemukan di pesantren ini.

Secara garis besar Ma'had Aly membagi struktur kurikulumnya menjadi 4

bagian, pertama adalah mata kuliah dasar, yang meliputi bahasa asing, filsafat Ilmu

fiqh, Studi al-Quran (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum Islam), studi hadiś

54

Page 55: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

(Hadiś-Hadiś yang berkaitan dengan hukum Islam. Studi Sirah (perjalanan) Nabi.

Yang kedua, Mata kuliah konsentrasi yang meliputi Studi Naskah Turath, Metodologi

Istimbath, Studi Tematik Fiqh Kontemporer (Fiqh al-Mu’asharah), ), al-’Alaqot al-

Dauliyah, al-Fiqh al-Dusturi. Ketiga, mata kuliah pendukung, yang meliputi,

Metodologi Penelitian, Kajian Islam Kontemporer (elektif), Seminar Proposal Tesis.

Bagian yang terahir adalah mata kuliah ketrampilan yaitu: Analisis Sosial, Teknik

Advokasi, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, dan Kerja Lapangan. Berikut adalah

diskripsi lengkap yang dibuat oleh Ma’had aly.49

DiskripsiKurikulum Ma’had Aly

I. Mata Kuliah Dasar :a) Filsafat Ilmu Fiqh

Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan ilmu filsafat dalam mengapresiasi ilmu-ilmu fiqh yang berkembang dari masa ke masa. Dengan menguasai mata kuliah ini diharapkan peserta didik mampu mengembangkan wacana kritis-filosofis terhadap metodologi yang dilakukan oleh setiap generasi para pakar fiqh dalam lintasan sejarah. Dengan demikian peserta didik dapat mengetahui secara utuh posisi ilmu fiqh di antara lembaran ilmu-ilmu yang lain.

b) Qawa’id al-FiqhMata kuliah ini diberikan agar peserta didik dapat merumuskan

pola fikir sitematik terhadap struktur bangunan fiqh sebagai produk ijtihâd. Kaedah Fiqhiyyah dibangun untuk membingkai fragmentasi diktum-diktum fiqh menjadi kaedah-kaedah umum sehinga mudah diklasifikasi. Disiplin ilmu fiqh yang amat kaya akan pendapat-pendapat para Fuqaha’ perlu dirumuskan ke dalam kaedah-kaedah besar sehingga mudah diakses serta ditelusuri sejarah dan mekanisme pembentukannya.

c) Studi al-Qur’an (Ayat-Ayat Ahkam)Mata kuliah ini diberikan agar peserta didik mampu memahami

mekanisme pembentukan fiqh melalui sumber-sumber primernya yaitu ayat-ayat ahkam yang terdapat dalam al-Qur’an. Dengan menguasai

49 Seluruh isi uraian ini ditulis utuh dari sumber aslinya, draf Kurikulum Ma’had Aly PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo 2003

55

Page 56: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

materi dalam mata kuliah ini peserta didik diharapkan mempunyai wawasan akademik-metodologis dalam melihat proses penafsirat ayat-ayat yang berdimensikan hukum menjadi postulat-postulat hukum operasional sebagai pegangan mukallaf sehari-hari.

d) Studi Hadits (Hadith-Hadith Ahkam)Mata kuliah ini juga bertujuan agar peserta didik mampu

memahami mekanisme istinbath hukum melalui sumber primer kedua yaitu hadits-hadits Nabi yang bermuatan hukum-hukum. Dengan pemberian mata kuliah ini peserta didik diharapkan dapat memotret mekanisme penelusuran kandungan hukum bagi setiap hadits yang dilakukan oleh para Mujtahid. Sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, hadits ahkam mempunyai peranan sangant penting dalam proses pembentukan hukum-hukum operasional

e) Studi Sirah (Perjalanan) NabiMata kuliah ini ditekankan pada kajian analisa histories tentang

dimensi fiqh yang dimunculkan oleh perilaku Nabi SAW. Penekanannya mata kuliah ini bukan pada tataran pembacaan sejarah semata, tetapi bagaimana pasa peserta didik mampu menapak tilasi sejarah perjalanan nabi dalam perspektif pembentukan postulasi hukum operasional. Sebab tidak jarang tindakan yang diperangaikan Nabi SAW merupakan pantulan ijtihâd, sungguhpun boleh-tidaknya Nabi SAW melakukan ijtihâd masih diperdebatkan karena beliau telah dianggap mengantongi wahyu.

II. Mata Kuliah Konsentrasia) Studi Naskah Klasik (Tahlil al-Turath)

Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan keilmuan klasik baik berupa ilmu fiqh, uşûl fiqh maupun tasawwuf. Dengan menguasai ilmu-ilmu klasik ini diharapkan peserta didik mampu berinteraksi dengan khazanah keilmuan lama warisan salafuna al-shalih sebelum bergumul dengan fenomena sosial kekinian. Tidak dapat dipungkiri bahwa literatur keilmuan baru yang disusun para penulis kontemporer saat ini sesungguhnya merupakan mata rantai dari khazanah keilmuan klasik. Oleh karena itu kurang pada tempatnya jika dalam upaya mengapresiasi keilmuan baru saat ini kita meninggalkan begitu saja warisan lama tanpa reserve. Sebaliknya kita mesti memadukan antara yang lama dan yang baru tanpa menafikan upaya kritisisme terhadap kedua-duanya. Dengan demikian, kesinambungan mata rantai ilmu pengetahuan dapat kita sinergikan secara proporsional sesuai keperluan yang mengitari.

b) Studi Tematik Metodologi Istinbath (Thuruq al-Istinbath) Mata kuliah ini terdiri dari ilmu uşûl fiqh yang tak lain

merupakan metode ‘aqliyyah-naqliyyah standard dalam proses istinbath hukum berdasar dalil-dalilnya. Dengan menguasai mata kuliah ini diharapkan peserta didik dapat mengembangkan mekanisme istinbath hukum, utamanya dalam upaya merespons dinamika masyarakat yang

56

Page 57: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

terus bergulir seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat cakupan materi mata kuliah ini yang begitu luas maka mata kuliah ini dibelah menjadi 3 tahapan, yaitu:1) Uşûl Fiqh 1 (Kaedah-kaedah Penafsiran Teks)

Mata kuliah ini menyajikan dasar-dasar ilmu uşûl fiiqh, seperti dalil-dalil syar’i, hukum-hukum syar’i dan kaedah-kaedah penafsiran teks (nash) syar’i menjadi postulat-postulat hukum operasional.

2) Uşûl Fiqh 2 (Maqashid al-Syari’ah)Mata kuliah ini lebih mengarah pada kaedah-kaedah

tasyri’iyyah dalam pembentukan hukum. Jika dalam Uşûl Fiqh 1 fokus pembicaraannya adalah penafsiran teks maka dalam Uşûl Fiqh 2 ini lebih ditekankan pada upaya menelusuri maksud-maksud tuhan menurunkan syari’at (maqashid al-syari’ah) di muka bumi ini.

3) Uşûl Fiqh 3 (Studi Kritis Pemikiran Uşûl Fiqh)Mata kuliah ini dimaksudkan untuk merekonstruksi

pemikiran uşûl fiqh kontemporer secara lebih aplikatif. Maksudnya, bagaimana kaedah-kaedah uşûliyyah itu lebih dijabarkan secara lebih dekat dengan realitas di masyarakat. Dengan demikian, fokus pembicaraannya lebih bersifat analitis dan kritis ketimbang sekadar menggali kaedah-kaedah yang ada.

c) Studi Tematik Fiqh Kontemporer (Fiqh al-Mu’asharah)1) Fiqh al-Iqtishad al-Islamy al-Hadith

Mata kuliah ini diberikan untuk menyikapi fenomena ilmu perekonomian yang terus berkembang sesuai tingkat perkembangan masyarakat dan IPEK yang melatari terjadinya transaksi dan interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat. Materi dalam mata kuliah ini menyuguhkan isu-isu mutakhir berkaitan dengan praktik ekonomi seperti fenomena pasar bebas, transaksi dengan kartu kredit, perdagangan valuta asing, bursa saham, isu cloning dengan berbagai implikasinya dan bentuk-bentuk transaksi modern lain yang perlu mendapatkan terapi dan alternatif pemecahan dari fiqh Islam.

2) Al-‘Alaqat al-DawliyyahMata kuliah ini perlu diberikan untuk menyikapi

globalisasi dunia yang eksesnya kian menggejala hampir di setiap sudut kehidupan. Dalam kaitan ini fiqh dianggap perlu berbicara persoalan hubungan intrnasional menyangkut nilai tawar ummat Islam menghadapi isu-isu internasioanal semisal terorisme dan lain-lain. Dengan mata kuliah ini diharapkan peserta didik dapat mengapresiasi kandungan fiqh dalam struktur politik internasional, kkhususnya berkaitan dengan negara bangsa-bangsa (nation state). Tak hanya itu, dalam tata politik mutakhir ini kita dituntut dapat memformat lebih elaboratif hubungan Muslim-non Muslim menurut perspektif fiqh.

3) Al-Fiqh al-Dustury

57

Page 58: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Mata kuliah ini memiliki orientasi legislasi fiqh (taqnin) secara lebih formal. Maksudnya, bagaimana diktum-diktum fiqh itu dapat dilegalisai dalam bentuk perundang-undangan tertentu. Tugas ini sebenarnya menjadi kewenangan legislator di lembaga DPR dan DPRD. Dengan mata kuliah ini peserta didik dapat dibekali teori- teori legislasi sehingga mampu mewacanakan persoalan ini secara lebih sistematis dan metodologis. Terlebih-lebih jika mereka sendiri mampu berperan lebih aktif sebagai legislator kelak.

III. Mata Kuliah Pendukung :a) Metodologi Penelitian

Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan ketrampilan mengumpulkan data, mengolah data serta menganalisisnya sesuai kriteria penelitian yang diperlukan dalam dunia akademik. Mata kuliah ini dibagi dalam dua segmen, yaitu :1) Metodologi Penelitian Kwalitatif,

Yaitu mekanisme penelitian yang didasarkan pada data-data bahan pustaka dan diukur secara kwalitatif tanpa memproyeksikan angka-angka di lapangan sebagai hasil temuannya.

2) Metodologi Penelitian Kwantitatif,Yaitu mekanisme penelitian yang beraksentuasi pada

angka-angka di lapangan sebagai data yang mesti dikaji dan diteliti secara kwantitatif.

b) Kajian Islam Kontemporer (elektif)Mata kuliah ini diberikan untuk merespons peristiwa-peristiwa

hukum baru berkaitan dengan perkembangan praktik transaksi kontemporer. Seperti transaksi dalam asuransi, perbankan modern dan lain-lain. Penyebaran mata kuliah ini dituangkan dalam bentuk tawaran agar peserta didik memilih salah satu dari tiga komponen mata kuliah sebagai berikut:1) Fiqh al-Ta’min (asuransi)

2) Al-Fiqh al-Mashrafy (perbankan)3) Al-Iflas wa al-Azmah al-Iqtishadiyyah (krisis ekonomi)

c) Seminar Proposal TesisSeminar Proposal dilakukan oleh calon penulis tesis dengan

mengundang pakar yang membidangi topik kajian yang ada dalam proposal tesis yang sedang diajukan. Seminar tesis juga melibatkan seluruh peserta didik dan lembaga-lembaga lain yang terkait untuk lebih menggairahkan serta mendapatkan kritik, saran dan masukan sehingga terjadi akumulasi data yang sangat diperlukan oleh calon penulis.

IV. Mata Kuliah Ketrampilan :Mata kuliah ini diberikan untuk membekalkan peserta didik dengan

perangkat ketrampilan tertentu untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat selama program perkuliahan. Mata kuliah ini tidak dituangkan dalam bentuk

58

Page 59: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

perkuliahan rutin seperti mata kuliah lainnya. Sebaliknya, mata kuliah ini dipaparkan dalam bentuk pelatihan semisal bengkel, semi-loka, diskusi panel, pengabdian masyarakat dan lain-lain. Adapun materi yang ditawarkan meliputi :a) Analisis Sosialb) Teknik Advokasic) Teknik Penulisan Karya Ilmiahd) Kerja Lapangan

V. Penulisan Tesis Penulisan tesis dilakukan sebagai pelengkap dan pensyaratan akhir

bagi kelulusan peserta didik menjalani program studi. Program penulisan tesis ini bertujuan untuk mengkerangkakan cara berpikir peserta didik secara sistematik dan metodologis sesuai tuntutan akademik. Judul dan proposal tesis bisa diajukan sejak semester IV dan diseminarkan pada semester V sebelum penelitian dan penulisannya disempurnakan hingga semester terakhir (VI). Jumlah minimal penulisan tesis adalah 100 halaman dan maksimal 450 halaman dengan menggunakan spasi ganda dan ukuran kertas A4.

4. Aktifitas Santri

1) Bidang keilmuan

Aktifitas santri Ma'had Aly untuk merajut intelektualitas bisa dikatakan

cukup padat. Hampir di setiap waktu yang ada tidak libur dari aktifitas ini. karena

aktifitas inilah yang sebenarnya menjadi nafas kehidupan keilmuan di Ma'had Aly.

Banyak varian kegiatan yang lakukan oleh santri Ma'had Aly, mulai dari pengajian

kitab-kitab klasik yang bersifat balahan weton,50 sampai pada upaya pemahaman

lebih mendalam lagi yang kemudian dikemas dalam bentuk diskusi kelas atau diskusi

kelompok.

50 Balahan weton adalah sebuah sistem pengajaran pesantren yang paling tua. Jauh sebelum ada sistem klasikal sistem ini telah digunakan di pesantren. Pengajian ini diselenggarakan secara monilog, guru membaca dan mengartikan sementara santri menyimak sambil menuliskan arti yang mereka belum mengerti, biasanya pengajian cara ini diselenggarakan di pesantren-pesantren tradisional setelah shalat lima waktu.

59

Page 60: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Pengajian balahan dilakukan sebagai upaya untuk menggali isi kitab dengan

cepat. Orientasi dari pengajian ini tidak untuk mendalami tetapi hanya sebagai

pengenalan. Sementara diskusi kelompok maupun kelas memang dilakukan untuk

mendalami isi kitab sekaligus memberikan catatan-catatan kritis atas isi kitab. Diskusi

kelas memiliki peranan yang sangat vital bagi perkembangan pemikiran santri Ma'had

Aly. Sebab di sinilah mereka mulai merambah ke areal yang sebelumnya tabu untuk

dijamah. Memberikan kritik pedas dan sesekali mempertanyakan kapasitas penulis

kitab adalah hal yang bisa terdengar ditelinga penulis dalam diskusi ini. Dalam

diskusi inilah mereka mengenal beberapa tipologi pemikiran pemikir progresif.

Pengetahuan tentang metodologi penetapan hukum Islam yang mereka dapatkan di

kelas sangat memungkinkan mereka untuk mengkritisi isi kitab dengan sangat

radikal. Bahkan pada persoalan-persoalan tertentu mereka meningkalkan isi kitab

yang sebelumnya diikuti dan dianggap tidak relevan lagi atau cacat secara

metodologis.

Ada beberapa dosen yang sengaja didatangkan untuk memberikan beberapa

mata kuliah tambahan yang dinilai harus dikuasai oleh santri Ma'had Aly. Hal ini

dilakukan untuk memberikan perspektif lain yang tidak biasa diterima dalam

pesantren. Dengan begitu maka santri Ma'had Aly lebih mudah berdialog dan

mengerti bagaimana cara berpikir kelompok lain. Dosen-dosen tamu itu biasanya

memberikan materi-materi yang berhubungan dengan kajian Islam kontemporer,

sosiologi, Filsafat barat atau ilmu-ilmu humaniora lain.

60

Page 61: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Menilik dari durasi waktu yang ada, hampir saja santri Ma'had Aly

kekurangan jam istirahat yang cukup. Perkuliahan di Ma'had Aly dimulai jam 07. 00

wib sampai jam 11.00 wib, bahkan terkadang sampai pada jam 13.00 wib. Ini

berlansung setiap harinya selain hari Jum’at. Selain jadwal itu selama dua kali dalam

seminggu santri juga harus masuk kelas pada jam 15.30 sampai 17.00.

2) Bidang ‘Ubudiyyah (peribadatan)

Selain aktifitas keilmuan, santri Ma'had Aly juga menjalankan ibadah-

ibadah ritual. Shalat berjama’ah lima waktu, membaca şalawat, barzanji dan

beberapa bacaan lain juga wajib dilakukan setiap malam Selasa dan Jum’at. Tidak

hanya ibadah yang wajib saja yang dilakukan oleh para santri, bahkan puasa sunnah

pun banyak dilakukan oleh sebagian santri Ma'had Aly. Bagi mereka rasio boleh

diajak berkelana kemana saja, tetapi hati tidak boleh kering dari siraman ritual [].

BAB III

MA'HAD ALY DAN PETA STUDI FIQH

A. Tahapan perkembangan fiqh di Indonesia

1. Islam Indonesia dari orientasi sufi sampai orientasi fiqh

Pada tahun 2000 sensus penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa Muslim

di Indonesia menempati urutan pertama terbanyak. Populasi Muslim pada tahun itu

berjumlah 1777,53 Jiwa atau 88,22 persen dari total penduduk Indonesia.51 Sebuah

51 Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 1001-1003.

61

Page 62: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

jumlah yang sangat besar. Dengan populasi itu maka Indonesia menjadi negara

dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Besarnya jumlah Muslim di Indonesia

sama sekali bukan berarti persoalan internal Islam telah selesai. Polemik yang

mengitari Islam Indonesia sangatlah pelik. Mulai dari kapan masuknya Islam ke

Indonesia, siapa yang membawanya sampai pada persoalan Islam jenis apakah

orientasi beragama masyarakat Indonesia belum usai. Sebagian pakar Islam

berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada kitaran abad ketujuh atau

kedelapan dan datang langsung dari Arab, sementara pakar yang lainnya menganggap

Islam masuk ke Indonesia baru pada abad kedua belas atau bahkan ketiga belas dan

datang dari belahan India bukan Arab. Kebanyakan para pendukung pendapat

pertama adalah para pemikir Indonesia dan malaysia sedangkan pendapat kedua

banyak didukung oleh para pemikir Islam Barat.52 Kedua kelompok ini sama-sama

memiliki argumentasi masing-masing. George F. Hourani, C. G. F. Sinkim, Joseph

De Somogyi (1993) dalam Madzhar (1993) mengatakan bahwa pendapat pertama,

yang mengatakan Islam datang pada abad ke delapan, dibangun atas argumentasi

bahwa perdagangan laut yang menghubungkan antara Siraf teluk Persia, India dan

Chinai sudah terbangun sejak abad ke empat Masehi dan pada abad ketujuh telah

berkembang menjadi sebuah sistem transportasi yang lebih besar. Sehingga wajar jika

pada abad ke delapan Islam sudah masuk ke Indonesia. Catatan sejarah tahunan

Kwangtung menjelaskan pada awal dinasti Tang pada tahun 618-907 M, Muslim

52 Mohammad Atho Mudzhar, fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legel Thought in Indonesia 1975-1988 bilingual edition (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 10.

62

Page 63: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

telah datang ke Cina. Saat itu dinasti Tang menerima para utusan Muslim Arab yang

mereka sebut Ta-sih (pengucapan orang Cina atas bahasa Persia: Ta-Zi). Kedatangan

Islam ke Cina yang kedua adalah pada tahun 655 dan ketiga pada tahun 681. selama

Dinasti Bani Umaiyyah berkuasa pada tahun 661-751 Masehi telah tujuh belas utusan

dikirim ke Cina. Dampak dari hubungan diplomatik itu telah banyak orang Islam

yang tinggal di Cina. Perjalanan dari Siraf ke Cina adalah sebuah perjalanan panjang

yang membutuhkan beberapa kali transit karena memang tidak mungkin melakukan

perjalanan sepanjang itu tanpa berhenti dan singgah ke kota tertentu. Malabar di

India, Perlak in Sumatera selatan (Indonesia) and Kalah atau Kedah di pantai barat

semenanjung Malaysia adalah beberapa tempat yang menjadi sasaran transit. 53 Dari

beberapa penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa sebuah hubungan baik antara

Malaysia, Indonesia, Cina dan para pengembara Muslim telah terjalin sejak abad ke

tujuh atau ke delapan dan saat itulah Islam mulai masuk ke Indonesia.

Walaupun pada abad ketujuh sudah ada dugaan kuat dan beberapa bukti

adanya penduduk yang beragama Islam di Indonesia namun Islam memang tidak

mengalami kemajuan yang pesat. Baru pada abad ketiga belas Islam mengalami

perkembangan pesat. Perkembangan Islam inilah yang kemudian oleh para Ilmuwan

barat dianggap sebagai awal masuknya Islam ke Indonesia. Teori kedua yang

menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tigabelas memiliki

argumen yang dikenal teori batu nisan. Teori ini terbangun karena penemuan batu

nisan yang bertuliskan dengan huruf arab seperti, Sultan Malik Salih dan Malik Zahir

53 Ibid, hlm. 12-13.

63

Page 64: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

di Indonesia. Tulisan dengan huruf dan bahasa Arab itu menunjukkan bahwa Malik

Salih telah meninggal pada tahun 1326 dan Malik Zahir pada tahun 1326. Beberapa

nisan lain dengan huruf Arab juga ditemukan di beberapa tempat lain seperti di

Gresik Jawa timur, makam Malik Ibrahim yang wafat pada 1429 H. Batu-batu nisan

tersebut telah mengindikasikan secara meyakinkan bahwa telah ada komunitas Islam

bahkan mungkin kerajaan Islam pada abad ke tiga belas karena nisan itu bertuliskan

Sultan yang merupakan gelar untuk raja pada kerajaan Islam.54 Teori batu nisan ini

juga muncul tanpa polemik. Polemik terjadi karena teori ini tidak hanya mendukung

kapan datangnya Islam tetapi karena teori ini juga digunakan dalam mendukung teori

asal kedatangan Islam. Moquette, seorang ilmuwan dari Belanda dengan teori ini

berkesimpulan bahwa Islam datang dari Gujarat. Menurut Moquette model batu nisan

yang ditemukan di Indonesia itu memiliki model dan bentuk yang sama dengan batu

nisan yang diproduksi di Gujarat. Ia menegaskan bahwa batu-batu nisan itu tidak

hanya dijual dipasar lokal tetapi juga pasar internasional termasuk Indonesia.

Moquette mengatakan, bersama dengan pemasaran batu-batu nisan itulah Islam

disiarkan ke Indonesia sehingga bisa diperoleh kesimpulan bahwa Islam Indonesia

berasal dari Gujarat.

Sementara itu seorang ahli lain, Fatimi, menentang keras pendapat

Moquette. Menurut Fatimi batu-batu nisan yang ditemukan di Indonesia itu sama

sekali tidak mirip dengan batu nisan yang diproduksi di Gujarat tetapi lebih mirip

dengan batu nisan yang diproduksi di Banggal, sehingga dengan begitu menurut

54 Ibid, hlm. 12-17.

64

Page 65: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Fatimi Islam Indonesia tidak datang dari Gujarat melinkan dari Banggal. Namun teori

Fatimi ini tidak sanggup mematahkan teori Maquitte. Fatimi seakan melupakan

sebuah data yang sangat berpengaruh yaitu data tentang Maźhab orang Islam

Indonesia. Fatimi seakan tidak menyadari bahwa madzah yang dianut oleh orang

Benggal dan Indonesia berbeda. Mereka menganut Maźhab Hanafi sementara orang

Indonesia kebanyakan menganut Maźhab Syafi’i.55 Dengan perbedaan mazdhab ini

pernyataan Fatimi yang menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Banggal

sangat mudah digugurkan.

Pendapat yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Gujarat yang

dibangun oleh teori batu nisan Moquette itu ternyata juga dikuatkan beberapa ahli

lain yang menyatakan bahwa Islam memang datang dari Gujarat dan dibawa oleh

orang-orang Arab. Teori kedatangan Islam dari India juga dikuatkan oleh Snouck

Hurgronje. Sayang sekali Hurgronje tidak menyebutkan dengan jelas dari belahan

India mana Islam datang. Menurut Hurgronje orang-orang Arab yang kebanyakan

keturunan Muhammad karena bergelar syarif itu datang belakangan setelah para

pedagang perantara India menyebarkan Islam di tanah Melayu. Namun Hurgronje

mengakui bahwa yang menyelesaikan proses penyebaran Islam di Indonesia adalah

orang Arab. Tentang kapan waktu pertama Islam masuk menurut Hurgronje, abad ke

–12 lah yang paling mungkin.56 Azyumardi Azra menyebut setidaknya ada topik

besar yang menjadi perdebatan tentang Islam Indonesia. Pertama adalah dari mana 55 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

dan XVIII melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24-25.

56 Ibid, hlm. 23.

65

Page 66: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Islam Indonesia datang? Siapa yang membawanya? Dan yang terahir adalah kapan

Islam masuk ke Indonesia? Menurut Azra perdebatan-perdebatan itu menjadi sulit

untuk dipecahkan bukan karena kurangnya data saja tetapi juga karena sifat sepihak

teori-teori itu. Banyak sekali teori yang berkonsentrasi dengan tema tertentu tetapi

tidak didukung dengan perhatian pada topik yang lainnya. 57

Secara sangat sistematis mengenai asal usul Islam Indonesia ini, Azra

menjelaskan ada tiga teori kedatangan Islam ke Indonesia. Pertama adalah Islam

masuk ke Indonesia pada abad I H atau VII Masehi langsung dari Arab (Hadramaut)

ke pesisir Acah. Teori ini kemudian juga dikukuhkan pada seminar masuknya Islam

ke Indonesia di Medan pada tahun 1962. Kedua, adalah teori yang menyatakan bahwa

asal dari Islam nusantara ini dari anak Benua India, bukan Persia atau Arab pada abad

ke dua belas. Menurut teori ini, pada Abad inilah yang paling mungkin dianggap

sebagai abad masuknya Islam yang sebenarnya. Teori ketiga yaitu sebuah teori yang

dikembangkan oleh Fatimi. Teori ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari

banggali (Bangladesh). Teori ini tergolong sangat lemah karan menuai banyak kritik.

Argumentasi Fatimi yang menyatakan bahwa secara doktrin Islam di semenanjung

mirip dengan Islam di Phanrang dan beberapa prasasti yang ditemukan di laren mirip

dengan prasasti yang ditemukan di Trengganu dinilai sangat lemah. Di samping itu

seperti yang telah ditulis diatas bahwa Mazdhab yang dianut orang Islam di Indonesia

berbeda dengan yang Mazdhab yang dianut oleh Muslim di Banggali.58

57 Azyumardi Azra, op. cit, hlm. 24 58 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas politik hukum Islam di

Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 107-109.

66

Page 67: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Walaupun ada pendapat yang mangatakan bahwa Islam yang masuk ke

Indonesia sejak awal memang sudah berorientasi Fiqh namun banyak data

menyebutkan bahwa Islam mula-mula masuk ke Indonesia dibawa oleh para kaum

sufi yang sangat kental dengan nuansa mistis. Pendapat yang menyebutkan bahwa

Islam yang masuk ke Indonesia sejak awal memang sudah berorientasi Fiqh

mengakui Fiqh pada periode awal Islam memang tidak bertahan lama. Fiqh pada

periode ini dianggap kurang strategis sebagai pintu masuknya Islam. Fiqh dianggap

sulit bisa diterima orang-orang Indonesia yang kala itu masih menganut agama

terdahulunya yang kental dengan nuansa mistis. Karena persoalan strategi itulah

kemudian para pendakwah Islam ketika itu merubah orientasinya dari Fiqh ke mistik.

Pendapat ini penulis peroleh dari forum-forum diskusi dan belum menemukan data

yang jelas tentang ini.

Melihat data yang ada maka penulis lebih condong pada pendapat yang

menyebutkan bahwa Islam Indonesia pada awal perkembangannya memang

berorientasi mistis. Secara spikulatif mungkin bisa mengatakan bahwa mula-mula

Islam dengan corak Fiqh memang sudah masuk Indonesia bersamaan dengan Islam

mistis tetapi karena mekanisme “pasar” sehingga fiqh tidak berkembang diawal

masuknya Islam. Suburnya Islam mistis ini bisa dimengerti karena memang agama

dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebelum Islam memang

sangat kuat nuansa mistisnya. Hal lain yang yang membuat Islam bergaya mistis ini

mudah diterima adalah karena Islam mistis dinilai sangat atraktif dalam penyajiannya,

seperti yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra. Azra menulis, para kaum sufi telah

67

Page 68: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

melakukan penyebaran Islam besar-besaran pada abad ke tiga belas. Penerimaan

penduduk Indonesia terhadap Islam juga karena para kaum sufi melengkapi ajaran

Islamnya dengan tradisi-tradisi mistis yang ramah terhadap budaya lokal. Dengan

begitu sehungga tidak jarang Islam Indonesia mendapat tuduhan miring sebagai Islam

sinkritis karena sikap akomodatifnya terhadap budaya lokal.59 Saat penyebaran Islam

pertama tidak tampak ada paksaan dan kontroversi. Masuknya Islam mistik ke

Indonesia juga dibarengi oleh fenomena Islam internasional di mana Islam Sufi

memang sedang menjadi fenomena masyarakat Islam dunia, tepatnya setalah

jatuhnya Baghdat pada tahun 1258 M.60

Ditinjau dari rujukan kitab yang dipakai di pesantren-pesantren tradisional di

Indonesia, Islam di Indonesia dari segi teologis berMaźhab Asyariyah dengan

tokohnya Abu Hasan Al-Asy’ari61 dan Maturidiyah dengan tokohnya Abu Mansur

Al-Maturidi62 yang hidup pada pada abad 10 Hijrah di Samarkan. Dalam Fiqh

mayoritas penduduk Indonesia berMaźhab Syafi’i. Gelombang Islam Sufi sejak

masuknya Islam ke Indonesia memang sangatlah kuat. Hal ini bisa dilihat dari

pandangan-pandangan masyarakat lokal terhadap diri mereka dan Islam. Di

Minangkabau, misalnya, masyarakat Minang menganggap bahwa tanah Minang 59 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 32-35.

60 Marzuki Wahid & Rumadi, op. cit., 113.61 Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Beliau lahir di

Bashrah pada tahun 260 H/ 874 M dan wafat pada tahun 324 H/ 936 M. beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Lihat, Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Malang: Pustaka Bayan, 2005, hlm. 15

62 Imam yang lahir di daerah Maturid ini memiliki nama lengkap Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Tidak ada keterangan yang valid mengenai tahun kelahirannya. Yang disepakati oleh para sejarawan hanya tahun wafatnya yaitu tahun 333 H/ 944 M. Ibid, hlm. 20

68

Page 69: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

diciptakan oleh Allah dari Nur (cahaya) Muhammad. Minang diciptakan bersama

belahan dunia lain, “Benua Ruhum” atau Roma, yakni Turki Utsmani yang

memegang hegemoni kekuasaan wilayah barat dan “benua Cina” yang memegang

hegemoni kekuasaan wilayah barat yang sama-sama diciptakan dari Nur Muhammad.

Pandangan orang Minang tentang kosmologi ini jelas dipengaruhi oleh filsafat Islam

dan tawawuf. Bukti lain adalah penggunaan gelar-gelar untuk pemimpin di Minang.

Para pemimpin Minang menyandangka gelar pada dirinya “Aour Allum Maharaja

Diraja”, yang dipercaya sebagai adik laki-laki sultan Ruhum yang disebut “Maha

Raja Alif”. Jadi orang Minang percaya pemimpin mereka adalah adik kholifah Rum

(penguasa Turki Ustmani).63

Kecenderungan orientasi fiqh masyarakat Islam Indonesia mulai tampak

baru pada abad ke depan belas atau paling capat abad ketujuh belas ketika gerakan

scriptualist mulai bangkit. Gerakan scriptualist ini ditandai dengan penggunaan

naskah-naskah Arab baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Melayu yang

ditulis dengan hiruf Arab. Naskah-naskah yang kebanyakan ditulis di tanah Arab itu

masuk dan dibaca orang Islam Indonesia setelah adanya jalinan hubungan erat antara

Indonesia dengan negeri Arab. Rumadi menyebutkan bahwa gerakan fiqh Indonesia

pada abad tujuh belas atau delapan belas ini sebagai kelanjutan dari orientasi tasawuf

yang sudah mapan sebalumnya.64 Sejauh ini belum ada kajian tentang Islam yang

sangat komperhensif yang membicarakan tentang perkembangan Islam pada abad 63 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 45.64 Rumadi, Pembentukan Tradisi Hukum Islam di Indonesia- Survei singkat pada abad XVII-

XVII, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 4 Tahun 1999, (Jakarta: LAKPESDAM NU dan LTN-NU), hlm. 72.

69

Page 70: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

tujuh belas seperti yang diakui oleh Martin. 65 Berdiskusi tentang orientasi fiqh

masyarakat Islam Indonesia, maka Aceh adalah kota yanga penting dalam hal ini.

Ulama’-ulama’ penyiar Islam yang yang tinggal di Aceh sering disebut sebagai

penyeimbang orientasi fiqh dan mistik di Indonesia. Sebut saja Ar-raniri, ulama asal

India yang bernama lengkap Nur ad-Din Ar-Raniri (w. 1068 H/1658 M) telah

membawa nuansa baru dalam Islam Indonesia. Ar-Raniri memang lebih terkenal

sebagai seorang tokoh tasawuf dari pada sebagai tokoh fiqh. Hal ini bisa dimengerti

karena disamping karya-karya beliau yang lebih banyak di bidang tasawuf dari pada

fiqh ar-Raniri juga penganut salah satu aliran tarekat. Kendatipun begitu ar-Raniri

juga memiliki karya dibidang fiqh. Gaya pemikiran fiqh ar-Raniri adalah fiqh yang

termodifikasi dengan nuansa tasawuf. Pandangan-pandangannya terhadap hukum

Islam tergolong keras dan tegas dan tampak scriptualist seperti yang digambarkan

oleh Marzuki Wahid dan Rumadi66. Wahid dan rumadi mencontohkan kitab Shirath

al- Mustaqim. Kitab fiqh yang ditulis oleh ar-Raniri ini memuat tentang tata cara

beribadah sederhana mulai dari bersuci, shalat, zakat puasa dan haji. Buku fiqh

pertama di Indonesia ini juga ditulis dengan bahasa yang sinis terhadap kelompok

lain baik agama lain seperti Kresten dan Hindu maupun kelompok Islam yang

nenurutnya mungkin sinkretik seperti kelompok aliran wujudiyah yang dipelopori

oleh penyair Hamzah Fansuri dan Syams al-Din as-Sumatrani. Ketika menjelaskan

tentang istinja’, Ar-Rniri mengatakan bahwa istinja’ tidak boleh menggunakan

65 Marti Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, ( Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23.

66 Marzuki Wahid & Rumadi, op. cit., 116.

70

Page 71: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

sesuatu yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam) seperti kulit atau tulang bangkai

yang belum disamak.67 Jika tidak menemukan alat istinjak maka boleh diganti kertas

lembaran kitab Injil dan Taurat yang sudah berubah dari aslinya atau kitab yang

dilarang Syara’ dan tidak ada nama Allah seperti Sri Rama atau Inderapura.

Provokasinya terhadap kelompok Islam lain terlihat dari tulisannya ketika

menjelaskan tentang syarat-syarat orang yang halal hasil buruan dan sembelihannya.

Dalam kitabnya ar-Raniri menjelaskan orang-orang Majusi dan para penyembah

berhala serta para pengikut wujudiyah tidak syah penyembelihan dan haram hasil

buruannya. Dari sini tampak jelas bahwa ar-Raniri menganggap kelompok wujudiyah

sama dengan kelompok Majusi dan penyembah berhala.68

Harmoni budaya lokal yang dengan Islam mistik yang dikembangkan oleh

para sufi sejak kedatangan Islam ke Indonesia mulai terkoyak pada pertengahan abad

ke sembilan belas ketika gerakan tekstualis Padri di Minangkabau menandai

bangkitnya orientasi fiqh di Indonesia. Gelombang fiqh ini terus menguat seiring

dengan kepulangan para haji yang sudah dipengaruhi oleh paham Wahabi di tanah

arab. Perang antara masyarakat fiqh dengan masyarakat adat yang terjadi pada 1821-

1837 itu bukanlah gerakan fiqh pertama tetapi merupakan kelanjutan dari gerakan

sebelumnya yang terencana dan sistematis. Kendatipun pahit nya tregedi itu namun

hal itu menjadi tonggak munculnya gerakan baru dalam Islam Indonesia, gerakan

fiqh. 67 Istilah samak dalam fiqh artinya mensucikan kulit bangkai dengan cara tertentu yang tidak

hanya dengan air tetapi juga dengan benda-benda yang memiliki rasa sepat seperti daun jambu atau yang lainnya.

68 Ibid, hlm. 117.

71

Page 72: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

2. Fiqh sebagai Primadona Pendidikan Pesantren

Hampir seluruh pesantren di Indonesia menjadikan fiqh sebagai pelajaran

primer yang harus diikuti oleh santri-santrinya. Beberapa pesantren di Indonesia

memang ada yang tidak menjadikan fiqh sebagai pelajaran primer, mereka adalah

pesantren yang berkonsentrasi pada tata bahasa Arab atau yang mereka sebut sebagai

ilmu alat69 atau pesantren yang berkonsentrasi pada ilmu tarekat. Pesantren jenis ini

biasanya didominasi oleh orang tua atau santri pasca pesantren fiqh atau alat. Tidak

dijadikannya fiqh sebagai materi primer bukan berarti fiqh tidak menjadi materi

kegemaran kaum santri tetapi justru sebaliknya karena mempelajari ilmu fiqh menjadi

cita-cita besar mereka. Sebutan ilmu alat untuk pelajaran tata bahasa Arab

mengindikasikan bahwa mempelajari ilmu tata bahasa arab adalah merupakan sarana

untuk bisa mengakses literatur-literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu keislaman

dan yang paling dominan di dalamnya adalah ilmu fiqh. Bisa dimengerti mengapa

fiqh menjadi sangat digemari di pesantren-pesantren salaf. Hal itu terjadi karena fiqh

dianggap sesuatu yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari seperti

cara bersuci, memilih dan mengelola makanan yang halal serta menata peribadatan

dan interaksi sosial, haliyyah. Ilmu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari

menjadi ilmu yang paling wajib hukumnya dipelajari dalam tradisi pesantren

tradisional.70

69 Istilah Ilmu alat ini dipakai hampir seluruh pesantren salaf untuk mnyebut ilmu-ilmu tata bahasa Arab yang meliputi nahwu dan Shorrof. contoh yang masuk dalam katagori ini adalah pesantren Lerap di Kebumen Jawa tengah, Batokan dan Gedang Sewu di Kediri Jawa Timur.

70 Dalam kitab munomental yang hampir dibaca seluruh santri di Indonesia, ta’lim al-muta’allim, Syaih al-Zarnuzi memberikan penekanan kewajiban belajar ilmu al-hal. Kitab yang husus membahas tentang tata cara seorang murid dalam mununtut Ilmu.

72

Page 73: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Kegemaran banyak santri terhadap ilmu fiqh dan mainstream fiqh pada

masyarakan Muslim Indonesia merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan.

Keduanya saling berkelindan. Kegemaran para santri terhadap ilmu fiqh didukung

oleh mainstream orientasi fiqh masyarakat, dan begitu sebaliknya kecenderungan

masyarakat berorientasi pada fiqh juga banyak dipengaruhi alumni pesantren yang

terus memberikan tranformasi ilmu pengetahuan dengan mainstream fiqh. Hal ini

terbukti dengan adanya kesinambungan antara pengajian yang diselenggarakan di

surau-surau kampung dengan pengajian di pesantren. Guru-guru di surau kampung

yang nota-benenya adalah alumni pesantren selalu mengajarkan materi fiqh hampir di

seluruh tingkatan. Kecintaan santri surau terhadap ilmu fiqh ini kemudian dilanjutkan

di pesantren yang biasanya menjadi rekomendasi guru ngaji di kampung. Bahkan

sebagian alumni pesantren telah mengajarkan beberapa materi pengajian yang

didesain memang untuk melanjutkan ke pesantren tertentu. Faktor pendukung lain

yang membuat fiqh menjadi primadona adalah karena pertanyaan masyarakat kepada

alumni pesantren mayoritas persoalan fiqh. Sehingga ada semacam kesepakatan

umum bahwa orang yang dianggap ‘alim adalah yang mumpuni di bidang fiqh.

3. Dari Leteral sampai Kontekstual (Kilas Balik Perjalanan Fiqh di

Indonesia)

Sejarah kajian fiqh memang cukup panjang, mulai dari pengertiannya yang

sangat luas yang berarti ilmu pengetahuan dan mencakup ajaran Islam sampai pada

penyempitan makna yang identik dengan Syariah. Dari sederetan panjang

perjalanannya, tidak sepenuhnya masuk dalam kancah kajian fiqh Indonesia. Fiqh

73

Page 74: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

datang ke Indonesia sudah pada posisinya yang bermakna formulasi hukum Islam.

Bukti-bukti atas ini bisa dilihat pada karya-karya fiqh yang dipelajari di Indonesia,

baik yang ditulis oleh ulama’-ulama’ Timur Tengah atau yang ditulis oleh ulama’

Indonesia yang tinggal haramain (tanah Arab). Beberapa kitab fiqh yang popular di

Indonesia seperti mabadi’ al-fiqh, fath al-Qorib (abu suja’), fath al-Mu’in (Zainuddin

al-Malibari), dan fath al-Wahab (Zakariya al-Anshori). Semua membahas tentang

tata cara hidup kaum Muslim dengan pendekatan hukum Islam. Karena pengaruh

karya-karya tersebut sehingga fiqh di Indonesia lebih cenderung kepada fiqh yang

berarti hukum Islam. Pengidentikan fiqh dengan hukum Islam ini terus berjalan,

bahkan bahkan untuk kalangan tertentu sampai saat ini. Tuntutan-tuntutan atas

penegakan syari’at Islam selalu diikuti dengan dibentuknya undang-undang yang

berdasarkan syari’at Islam yang tidak lain adalah fiqh.

Saat-saat awal fiqh masuk ke Indonesia karakter scriptualistnya sangat

tampak karena klaim atas ortodoksi Islam. Semua kelompok baik yang menklaim diri

sebagai ortodoks atau modernis memiliki karakter yang sama yaitu memiliki

fanatisme yang kuat terhadap teks. Yang membedakan di antara keduanya adalah

kalau modernis lebih mencoba memilih meninggalkan teks karya para Imam Maźhab

dan mencobe mengembalikan dan mencari jawaban atas semua persoalan melalui Al-

Qur’an atau Hadiś. Kelompok jenis ini biasanya cenderung tekstualis dan kurang

memberikan warna pada penafsiran-penafsiran terhadap teks. Akibat dari pemahaman

ini adalah pola pikir yang kaku dan anti dialog. Islam yang dikembangkan adalah

Islam ala Timur Tengah. Reformasi Islam yang dikembangkan kelompok ini adalah

74

Page 75: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

memiliki karakter yang mirip dengan reformasi Islam yang terjadi di negara-negara

Islam. dalam perkembangannya lalu kelompok ini menjadi kelompok neo-modernis

yang menafsirkan al-qur’an dengan perangkat-perangkan hemeneutik untuk mulai

bisa berdialog dengan zaman.

Kelompok kedua (pro. Ortodoksi) juga meyakini bahwa al-Qur’an dan

Sunnah adalah sumber hukum di dalam Islam, akan tetapi bagi mereka untuk

menggali sendiri kandungan hukum yang ada di dalam al-Qur’an memiliki syarat-

syarat yang menurut mereka hampir tidak tidak mungkin dilakukan saat ini karena

sulitnya memenuhi persyaratan nya. Kelompok ini masih mengakui bahwa untuk

berijtihâd dibutuhkan kemampuan pribadi yang sangat berat seperti yang tertulis

dalam kitab-kitab klasik.71 Dampak dari keyakinan ini adalah kepercayaan mereka

yang berlebihan terhadap teks yang ditulis oleh ulama’ pada beberapa abad yang

silam. Bagi mereka mengikuti hasil ijtihâd ulama’ lebih aman dari pada menggali

hukum sendiri dari sumber aslinya al-Qur’an atau Sunnah. Keyakinan atas hasil

ijtihâd itulah yang membuat kelompok ini sangat tekstualis dan anti atas ijtihâd baru.

Ketika kelompok ini menemukan persoalan rumit yang tidak di temukan di dalam

kitab karya Imam Maźhab maka mereka menggunakan mekanisme qiyas (analogi),

seluruh persoalan dianalogikan dengan persoalan yang pernah dibahas dalam kitab

klasik. Kelompok ini mengakui ada sumber hukum lain selain al-Qur’an yaitu ijma’

71 Syarat-syarat mujtahid menurut Al-Syathibi ada dua yang harus dipenuhi. Pertama, seorang mujtahid harus memahami maqashid al-syari’ah (tujuan asasi syari’at) secara sempurna. Kedua, seorang mujtahid harus memiliki potensi untuk melakukan penggalian (istimbath) hukum berdasarkan pemahamannya terhadap maqashid al-syari’ah. Al-Syathibi, Al-Muwafaqat Fi Uşûl al-Ahkam, (Bairut: dar al-Fikr, tt.), Juz IV, hlm. 105-106. Bandingkan dengan syarat yang diutarakan Al-Ghazali. Al-Ghazali, Al-Mustashfa, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.), Juz II, hlm. 102.

75

Page 76: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

(keputusan kolektif para ulama) dan qiyas.72 Hal ini bisa dibuktikan dari jawaban-

jawaban yang di rumuskan dalam bahstul masail NU. Jawaban-jawaban para

ulama’NU itu didasarkan atas teks yang tertulis dalam kitab-kitab klasik.

Kecenderungan kelompok kedua ini terus berkepanjangan hingga munculnya

pemikir-pemikir muda yang mengidentifikasi diri sebagai post tradisionalis.

Kelompok muda ini kemudian dengan kemampuan metodologi istimbat al-ahkam

(penggalian hukum) membongkar tradisi lama. Bagi mereka ijtihâd yang dilakukan

oleh para Imam Maźhab yang dilakukan sekian abad yang lalu sudah tidak sesuai

dengan konteks saat ini baik dalam segi waktu atau tempat. Berangkat dari kelompok

inilah kemudian fiqh kontekstual nantinya akan lahir.

Era reformasi (1998) yang telah memberikan perubahan besar pada tatanan

masyarakat Indonesia juga berpengaruh terhadap perubahan perlakuan masyarakat

Indonesia terhadap fiqh. Momentum reformasi yang membuka kran demokrasi di

Indonesia telah membuka banyak peluang bagi para pejuang demokrasi dan penuntut

perubahan untuk terus bergerak dengan berbagai macam cara dan strategi. Semangat

perjuangan ini kemudian bertemu dengan semangat kaum santri yang juga ingin

memberikan sumbangsih pemikiran untuk perbaikan Indonesia. Bak gayung

bersambut karya-karya fiqh yang mendukung perjuangan gerakan pro perubahan

72 Dalam dunia Islam sumber hukum yang menjadi pijakan dalam setiap pengambilan hukum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sumber hukum yang telah disepakati oleh mayoritas ulama. Kedua, sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama’. Sumber hukum yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ di antaranya ialah al-Qur’an, al-Hadiś, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum yang diperselisihkan di antaranya ialah maslahah mursalah, istihsan, urf, syar’u man qablana (syari’at umat terdahulu), ishtishhab, madzhab al-shahabiy. Dr. Abd Wahab Khalaf, Ilmu Uşûl al-Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1978), hlm. 21-22.

76

Page 77: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

dimulai. Menyaksikan dominasi pemahaman Islam Indonesia adalah fiqh, maka

dimulailah gerakan-gerakan progresif dengan media fiqh. Kajian tentang fiqh dan

persoalan kontemporer yang sebenarnya sudah mulai digagas melalui seminar-

seminar dan workshop Sejak tahun 80an. Saat itu mulailah ditulis buku tentang fiqh

perempuan untuk kepentingan anti diskriminasi dan bias gender seperti yang ditulis

oleh Masudi (1998), fiqh perburuhan yang ditulis oleh Toyibah (1998)untuk

menberikan justifikasi pada gerakan buruh dan penuntutan upah yang layak, fiqh

tanah yang ditulis untuk kepentingan ekologi dan fiqh- fiqh tematik lainnya.

Persoalan-persoalan baru terus muncul. Kasus-kasus yang sebelumnya

hampir tidak pernah diprediksi oleh para ulama’ mulai dipertanyakan oleh banyak

orang. Sementara itu karya-larya ulama’ klasik dianggap tidak relevan lagi untuk

dijadikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan baru tersebut. Kenyataan ini menuntut

para ahli hukum Islam untuk membuat formulasi baru yang memberikan semacam

panduan yang jelas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa

diselesaikan dengan kitab-kitab klasik. Hal inilah yang melatarbelakangi

terbentuknya fiqh baru atau fiqh kontemporer yang diprakarsai oleh Sahal Mahfudz.

B. Ide Dasar Pengembangan Fiqh Dialogis

Mengapa Fiqh? Adalah pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh banyak

pengkaji wacana keislaman. Ketika pertanyaan ini penulis sampaikan kepada

pengelola Ma'had Aly, mereka sepakat bahwa fiqh adalah kekuatan Islam di

Indonesia dan di dunia Islam pada umumnya. Fiqh memiliki sejarah panjang yang

77

Page 78: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

sangat dinamis dan memiliki otoritas kajian yang sangat jauh melampaui ilmu-ilmu

keislaman yang lainnya.

Fiqh, sebagai bahan kajian tidak pernah mati otoritasnnya, bahkan ketika

fiqh mengalami masa kejumudan dan pintu ijtihâd dianggap tertutup fiqh menempati

posisi sentral masyarakat Muslim. Pada masa Hanafi, fiqh tidak hanya berarti hukum

Islam atau yang berhubungan dengan syari’at Islam tetapi fiqh berkonotasi semua

ilmu-ilmu keislaman. Sepanjang sejarah belum pernah ada kajian Islam selain fiqh

yang pernah menjadi sentral kajian seperti fiqh. Fiqh yang bermakna seluruh kajian

Islam ini disimbolkan dengan ditulisnya sebuah kitab monumental yang berjudul al-

Fiqh al-Akbar (fiqh maha besar). Kitab yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah ini

mencakup seluruh studi Islam. Dalam fase ini fiqh berarti ilmu pengetahuan

keagamaan (ulum ad-din) yang mencakup ilmu kalam, mistik, hukum Islam dan Ilmu

yang lainnya.73

Alasan lain mengapa fiqh dipilih adalah karena fiqh memiliki perangkat-

perangkat metodologis yang memungkinkan untuk bereproduksi sesuai dengan

kebutuhan masyarakat Muslim. Fiqh memiliki qowaid al-fiqh yang berisi kaidah-

kaidah umum yang berkaitan dengan masyarakat dan hukum Islam. Fiqh juga

memiliki uşûl al-fiqh yang memberikan tuntunan metodologis untuk kepentingan

formulasi hukum Islam.74 Disamping alasan di atas, pemilihan Ma’had Aly dengan

konsentrasi fiqh juga karena wasiat KH. Hasyim Asy’ari, Beliau mulai merasakan 73 Qodri A. Azizi, op. cit. hlm 3-4.74 Obyek kajian Uşûl al-fiqh adalah dalil yang bersifat sama’i (pendengaran) dari segi dalil itu

memberi pengetahuan dengan berbagai kondisi dalil tersebut untuk mampu menetapkan hukum terhadap perbuatan (af’al) mukallaf. Sedangkan secara rill, objek uşûl fiqh dalam proses penggalian hukum adalah berbagai macam dalil, tujuan dalil, dan macam-macam tujuan tersebut Dr. M. Khudlari Bik, Uşûl Fiqh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 13.

78

Page 79: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

gejala adanya kelangkaan ulama yang menguasai fiqh dan mewasiatkan kepada

As’wad untuk mendidik kader ahli fiqh yang secara utuh mampu menga? scriptualist

scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist scriptualist

scriptualist likasikannya dalam memecahkan persoalan kontemporer secara

komprehenship dan bertanggungjawab. Fiqh dialogis adalah sebuah kerja besar

Ma'had Aly yang diharapkan akan bisa menyentuh seluruh obyek kajian studi fiqh

yang meliputi Ibadah dan Mu’malat. 75 Untuk lebih jelasnya, berikut penulis

menyajikan satu persatu masing-masing obyek kajian.

1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara umat

Islam dan Tuhannya. Hukum-hukum yang masuk dalam kata gori ini

seperti hukum bersuci, shalat, zakat puasa haji dan ibadah ritual

lainnya yang berhubungan langsung dengan Tuhan.

2. Hukum mu’amalat. Karena ruang lingkupnya yang sangat luas dan

berhubungan dengan sesama mahluk hidup maka dalam tradisi hukum

Islam, mu’amalat memiliki porsi yang lebuh besar. Dalam

pembahasanya mu’amalat terbagi atas 8 macam pertama, hukum-

hukum keluarga yang mencakup perceraian , pembagian harta warisan,

nafkah, nasab dan lain-lain yang berhubungan dengan kekeluargaan.

Kedua hukum-hukum yang berkaitan dengan mu’amalat personalia,

al-ahkam al-madaniya seperti jual beli, sewa menyewa dan gadai.

75 Pembagian obyek kajian ilmu fiqh ini didasarkan pada pembagian pemahasan yang biasa digunakan dalam kitab-kitab klasik. Untuk semua yang berkaitan dengan pembagian hukum Islam dan rung lingkiupnya lihat Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Bairut: Dar-al-Fikr 1989), Juz 1, cetakan III, hal. 19-21.

79

Page 80: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Ketiga, hukum-hikum yang berkaitan dengan tindak kriminal manusia,

jina’yah, seperti pembunuhan pencurian, perampokan, pembunuhan

dan lain-lain. Empat, hukum-hukum yang berhubungan dengan

pendakwaan, seperti, metode penetapan saksi dan sumpah, al-Ahkam

al-Murofa’ah. Lima, al-Ahkam ad-Dusturiyyah hukum-hukum yang

berkaitan dengan perundang-undangan dan dasar-dasarnya. Enam, al-

Ahhkam ad-Dauliyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan

hubungan luar negeri. Tujuh al-ahkam al-iktishadiyah hukum-hukum

yang berkaitan dengan hak-hak personal yang sifat harta benda.

Delapan, al-Ahkam al-Mahasiniyah, hukum-hukum yang berkaitan

tentang hak seseorang atas orang lain.

Seluruh obyek kajian fiqh diatas adalah persoalan persoalan secara global

yang menjadi pokok bahasan fiqh dialogis. Walaupun begitu dalam kenyataanya tidak

semua obyek kajian tersebut memiliki porsi yang sama atau bahkan beberapa bagian

tidak dibahas di Ma'had Aly. Yang menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan

topik pembahasan adalah kebutuhan masyarakat atas sebuah produk fiqh. Walaupum

angka perbandingan secara kwalitatif belum diperoleh data yang jelas karena

lemahnya dokumentasi tetapi diakui oleh para santri bahwa mu’amalat menempati

urutan teratas dalam prioritas pembahasan. Hal ini terjadi karena persoalan-pesoalan

fiqh yang banyak melibatkan kelompok agama lain adalah persoalan-persoalan

mu’amalat.

80

Page 81: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

C. Jaringan Dan Publikasi

1. Talkshow di Radio

Talksshow sigma, yang merupakan kepanjangan dari konsultasi agama

adalah salah satu program radio di BHASA FM Situbondo. Program ini memberikan

kesempatan kepada para pendengar untuk berkonsultasi tentang persoalan agama

yang biasanya didominasi oleh permasalahan fiqh. Sejak berdirinya BHASA memang

melibatkan Ma'had Aly untuk menjadi narasumber dalam acara tersebut. Dalam acara

talksshow ini santri atau alumni yang menjadi narasumber memiliki keleluasaan

untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan dengan perspektif yang mereka

bangun sendiri. Nara sumber tidak boleh menjawab dengan jawaban yang terlampau

kontroversial karena masyarakat pendengar yang belum bisa menerima jawaban yang

terlalu berbeda dengan jawaban yang biasa diberikan oleh ulama’ lain. Radio ini

diakui adalah cara yang efektif sebagai tempat untuk melakukan transformasi

pemahaman fiqh yang bisa menjadi alternatif bagi warga pendengar. Radio bisa

didengarkan oleh siapapun tanpa ada betasan tertentu.

2. Buletin Mingguan Tanwirul Afkar

Buletin ini baru lahir pada akhir bulan Juli tahun 1997. Saat etape perjalanan

Ma'had Aly masuk pada angkatan ke-3. Kelahirannya merupakan reaksi kegelisahan

intelektual santri Ma'had Aly terhadap putusan-putusan hukum yang selama ini

digelar oleh NU dalam acara bahtsul masail. Bahtsul masail yang selama ini giat

diselenggarakan dinilai oleh santri Ma'had Aly hanya sebagai paguyuban pembacaan

81

Page 82: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

buku-buku klasik. Tak ubahnya kompetisi, buku mana yang lebih orientatif tanpa

mau menelisik lebih dalam lagi terhadap fenomena sosial yang menjadi persoalannya.

Terkadang, potret seorang tokoh lebih dominan dalam bahtsul masail ini. Perdebatan

yang cukup panjang dan melelahkan kerap kali berakhir pada fatwa sang tokoh

tersebut walau dia tidak mengantongi rujukan. Fenomena inilah yang kemudian

mengilhami santri Ma'had Aly untuk membuat semacam wadah kreatifitas pemikiran

tentang hukum Islam yang lebih bisa memahami hajat sosial masyarakat. Sebuah

hukum yang lebih menyentuh relung problema yang terjadi. Sebuah hukum yang

akrab dengan realitas masyarakat. Lalu Tanwirul Afkar menjadi sebuah pilihan

terakhir santri Ma'had Aly untuk menyapa dan memeperkenalkan fiqh yang progresif

yang bisa berdialog dengan semua elemen masyarakat yang ada.

Selain dipicu oleh kegelisahan tadi, Tanwirul Afkar merupakan bentuk

idealisme akademik santri Ma'had Aly untuk membuktikan bahwa kitab-kitab klasik

itu masih bisa menemukan titik relevansinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Karena sebelumnya ada tudingan bahwa kitab-kitab yang lahir di zaman klasik itu

sudah cukup renta untuk diajak berdialog dengan realitas yang menjangkiti zaman

kekinian ini. Hal inilah yang memaksa santri Ma'had Aly untuk tidak membenarkan

anggapan yang coba digulirkan orang-orang kelompok anti kitab klasik dengan

jargon kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Santri Ma'had Aly ingin membuktikan

bahwa fiqh sebagai warisan keilmuan ulama’ besar itu masih memiliki ruang untuk

dijadikan cerminan dan referensi dari segala aktifitas masyarakat, tentu saja setelah

mengalami kritik dan seleksi yang bisa dipertanggung jawabkan secara metodologis

82

Page 83: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

dan sosial. Lalu Tanwirul Afkar menjadi pilihan terakhir sebagai ajang kreatifitas

intelektual guna membangun edialisme santri penerus dan pembela tradisi lawas.

Kemudian Tanwirul Afkar tampil dengan visi menjawab dengan syammil

(komperhensif) dan bertanggung jawab.

Tanwirul Afkar merupakan buletin mingguan Ma'had Aly yang terbit setiap

hari Jum’at pagi. Soal pengumpulan data-data primer buletin ini, semua santri Ma'had

Aly berperan aktif. Pengumpulan data ini dimulai hari Senin jam 19.00 atau setelah

usai melakukan jama’ah shalat isya’. Langkah awal dari pengumpulan data ini

dimulai dari pembahasan problem apa yang bakal dijadikan tema besar Tanwirul

Afkar. Pada penentuan tema ini dinamika sudah mulai tampak seru. Tema Tanwirul

Afkar di setiap edisi harus merupakan persoalan komtemporer dan masih aktual untuk

dibahas. Pada tahap inilah santri Ma'had Aly diuji kejeliannya untuk merekam segala

realitas masyarakat yang terjadi. Adu argumen adalah sebuah keniscayaan. Terkadang

pembahasan tema ini menyita waktu cukup banyak. Tak jarang bahasan tema baru

kelar jam 21.00. Itu artinya waktu dua jam dihabiskan untuk menentukan tema dan

belum masuk pembahasan.

Tahap berikutnya adalah menentukan angel dari tema tersebut. Inipun tidak

mudah, Tanwirul Afkar adalah buletin yang fokus pada kajian fiqh (kecuali edisi

khusus atau edisi selingan yang membasas persoalan sufisme), maka jelas angel itu

digiring untuk masuk pada ranah yang bisa didekati dengan kajian fiqh. Hal ini tidak

cukup menyita waktu karena pengalaman juga turut membantu untuk lekas

menemukan angel yang dikehendaki. Angel ini dimaksudkan untuk memotret

83

Page 84: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

persoalan tersebut dari segala aspek. Angel-angel itu dipasang hanya sekedar pintu

masuk dalam pembahasan masalah secara tuntas. Untuk angel terakhir, Tanwirul

Afkar mencoba memperkenalkan identitas pemikirannya dengan tipologi nalar uşûli,

yaitu sebuah cara berpikir yang mengedepankan dialog teks dan konteks dengan

pendekatan metodologis dan bukan tekstualis. Sebuah corak pemikiran yang

dilandaskan pada sebuah metodologi yang bukan hanya berpaku pada otoritas teks,

tetapi juga bergerak pada tataran konteks. Disinilah ciri khas pemikiran santri Ma'had

Aly yang tidak ingin terjebak pada lingkaran-lingkaran aksara formal, tetapi mereka

mulai merambah pada area tak terbatas yang mewarnai kehidupan masyarakat.

Ketika tahap pendekatan fiqh dalam angel telah dirasa sistematis dan bisa

memotret segala aspek yang ada, maka mulailah santri Ma'had Aly melacak kitab-

kitab klasik guna memperoleh data-data yang akurat dan valid. Pada fase inilah

sinilah kesibukan team Tanwirul Afkar bisa disaksikan. Dengan dipimpim dua orang

pimpinan redaksi, kegiatan ini berjalan cukup rapi dan maksimal. Seluruh santri

terlibat karena mereka semua mendapat bagian sendiri-sendiri. Ini membutuhkan

waktu kurang lebih dua jam. Ada pembagian tugas pelacakan. Santri Ma'had Aly

dikelompokkan menjadi tujuh kelompok. Kelompok pertama ialah kelompok yang

bertugas untuk melacak kitab-kitab aliran Hanafiyah. Kelompok kedua ialah

kelompok yang serius membolak-balik kitab-kitab aliran Malikiyah. Kelompok ketiga

ialah kelompok yang bertugas mencari data dari kumpulan kitab-kitab Syafi’iyah.

Kelompok keempat ialah kelompok yang aktif membuka kitab-kitab Hanabilah.

Kelompok kelima adalah kelompok netral (selain Maźhab empat) yang mencoba

84

Page 85: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

mencari data-data yang dalam kitab-kitab umum komtemporer termasuk juga kitab-

kitab aliran diluar Sunni, termasuk Mu’tazilah, Syi’i dan lainnya. Kelompok keenam

ialah kelompok yang berkonsentrasi mengkaji kitab-kitab tafsir. Dan kelompok

terakhir ialah kelompok yang hanya mencari data-data hadiś.

Tahap berikutnya ialah tahap pembacaan kitab yang telah berhasil

ditemukan. Tahap ini masih tidak begitu memberikan nuansa kegairahan diskusi,

karena hanya membaca komentar-komentar para penulis tentang persoalan yang

menjadi pembahasan. Pada tahap analisa, setelah pembahacaan kitab Maźhab yang

membahas tentang persoalan yang dibahas telah usai, diskusi mengenai penentuan

hukum mulai terlihat hidup. Pada tahapan ini sering kali santri Ma'had Aly

melakukan revitalisasi uşûl fiqh yang jarang dipergunakan dalam bahtsul masail.

Yang dimaksud dengan revitalisasi uşûl fiqh adalah mengfungsikan kembali uşûl fiqh

sebagai sebuah perangkan metodologi penggalian hukum Islam. Revitalisasi ini

diperlukan karena sampai saat ini ada asumsi bahwa kalangan pesantren dan ulama

utamanya dikalangan tradisionalist memperlakukan uşûl fiqh hanya sebagai ilmu

pengetahuan yang hanya berhenti pada penguasaan materi dan tidak diterapkan dalam

penggalian hukum. Selain revitalisasi uşûl fiqh, digunakan juga metode ta’wil yang

sudah diperluas dan mendatangkan teks tandingan dari teks yang sering digunakan

oleh kelompok anti dialog. Memperluas wilayah ta’wil artinya memberikan ruang

ta’wil pada teks-teks yang berkaitan dengan fiqh yang pada teori penggalian hukum

sebelumnya ta’wil hanya boleh dilakukan pada kajian selain fiqh. Sedangkan yang

dimaksud dengan mendatangkan teks tandingan adalah menggunakan teks-teks yang

85

Page 86: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

tidak lazim digunakan dalam penggalian hukum sebelumnya. Contoh dalam kasus ini

adalah penggunaan hadiś yang didasarkan pada maşlah a h dan bukan pada status

hadisnya. Apapun status hadiśnya jika itu dipandang maşlahah maka dianggap bisa

dijadikan sumber hukum dan memiliki kekuwatan untuk mentahşiş atau ditahşiş,

menasakh atau dinasakh. Metode-metode ini digunakan untuk mendialogkan antara

tek dan kontek yang mengitari munculnya teks dan yang sedang dihadapi saat

perumusan hukum itu. Di sinilah urgensit uşûl fiqh harus diposisikan. Hanya satu

yang menjadi targetnya, ialah agar hukum itu bisa berdialog lagi dengan latar

belakang budaya baru. Untuk menemukan progresifitas fiqh dan menjadikan bukan

sebagai beban masyarakat.

Setelah data-data ini telah menjadi sebuah kesepakatan bulat santri Ma'had

Aly, kemudian data itu diolah oleh dua pimpinan redaksi. Pimpinan mempunyai hak

untuk meberikan beberapa tambahan atas beberapa kekurangan yang belum terbahas

dalam sidang. Penambahan itu boleh dilakukan sepanjang tidak keluar dari

karakteristik Tanwirul Afkar. Pengolahan data ini harus selesai malam Jum’at. Pagi

harinya, dicetak di percetakan milik pesantren dan didistribusikan melalui agen-agen

yang telah dibentuk ke konsumen. Kelemahan dari Tanwirul Afkar adalah pembaca

yang tinggal ditempat yang jauh akan mendapatkan Tanwirul Afkar lebih lambat

dibanding yang tinggalnya lebih dekat dari redaksi dan tidak bisa menerima pada hari

terbitnya karena persoalan pengiriman. Tetapi hal ini tidak terlalu mengurangi makna

transformasi ide fiqh dialogis karena apa yang dimuat oleh Tanwirul Afkar bukanlah

86

Page 87: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

berita yang menonjolkan aktualitas tetapi kelengkapan data dan keakuratan sumber

hukumnya.

3. Layanan rohani Islam

Layanan rohani Islam yang kemudian disingkat dengan sebutan LARIS,

merupakan bentuk pelayanan santri Ma'had Aly di bidang hukum kepada masyarakat.

Layanan ini dibuka 24 jam non stop. Beragam problem masyarakat yang

dipertanyakan dan butuh jawaban. Seperti yang telah ditulis sebelumnya bahwa

ulama’ dalam tradisi masyarakat Situbondo adalah segala-galanya sehingga walaupun

konsentrasi Ma'had Aly adalah fiqh tidak bisa dihindari pertanyaan lain yang

berhubungan dengan teologi atau yang lainnya harus dijawab. Hal itu juga yang

menuntut santri Ma'had Aly untuk belajar pada disiplin Ilmu lain lebih giat. Setiap

pertanyaan biasanya langsung dijawab, kecuali pertanyaan tertentu yang mengandung

polemik tau karena penanya meminta referensi kitabnya secara lebih lengkap dan

terperinci. Pertanyaan yang seperti itu biasanya akan diinapkan satu malam. Waktu

satu malam cukup untuk mencari referensi dan merumuskan jawaban yang diinginkan

oleh penanya.

LARIS awalnya memang tidak diorganisir dengan repih. Menjawab

pertnyaan adalah tanggung jawab semua santri. Tetapi saat penelitian ini dilakukan,

LARIS sudah mulai diorganisir oleh petugas tertentu yang menidentifikasi persoalan

dan menyusun jadwal jaga. Tetapi sayang sekali karena persoalan teknis sehingga

pengoraganisiran itu kurang optimal dan berapa jumlah pertanyaan yang diterima

serta dijawab belum ada data yang jelas. Hal lain yang membuat kurang optimalnya

87

Page 88: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

pengorganisiran ini adalah karena Ma'had Aly saat penelitian ini dilangsungkan

memasuki akhir kuliah dan waktu santri tersita untuk mempersiapkan ujian akhir.

Persiapan ini harus mereka lalukan dengan serius karena tidak lulus dari Ma'had Aly

bukan hanya menghambat studi tetapi juga kekecewaan yang terus menjadi beban

moral dan sosial.

D. Respon Atas Ma'had Aly

Dalam penulisan respon ini kami membagi menjadi tiga bagian yang pertama

adalah respon dari para ulama’ Nahdlatul Ulama, kedua dari pesantren menjadi lokasi

pendampingan (pengabdian) santri Ma'had Aly dan yang ketiga adalah para pembaca

buletin Tanwirul Afkar. Penentuan pilihan pada tiga komunitas ini karena tiga

komunitas ini dianggap paling mengetahi setidaknya salah satu, sejarah, pergulatan dan

produk pemikiran Ma'had Aly.

1. Dukungan Ulama’ Untuk Ma'had Aly

Sangat beragam reaksi mereka ketika penulis lontarkan pertanyaan tentang

Ma'had Aly. Sebagian menilai baik dan sebagian menilai apa yang dilakukan Ma'had

Aly adalah sebuah kreatifitas anak muda progresif yang layak diapresiasi dan sebagian

yang lain mengatakan anak-anak Ma'had Aly adalah anak-anak liberal yang ganjen

akan liberalisme dan kurang tawaddu’ atau rendah hatinya. Walaupun komentar itu

sangat beragam variasinya namun hampir sepakat mereka semua menganggap apa yang

88

Page 89: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

dilakukan anak-anak Ma'had Aly adalah tindakan liberal bahkan Ma'had Aly dianggap

menjadi bagian dari Jaringan Islam Liberal. Pandangan sepert ini tentu sangat sulit

untuk dielakkan karena pandangan Ma'had Aly yang cenderung berbeda denga

mainstream pesantren tradisional lain. Adalah ustadz Daerobi Najih, seorang ustadz

daari pesantren sidogiri Keraton Pasuruan yang sehari-hari pengelola sidogiri dot com,

Najih menganggap Ma'had Aly sudah keluar dari salafuna şalih (para sesepuh Maźhab

salaf). Anggapan Najih ini dibangun atas agumentasi bahwa, dalam istimbat,

penggalian hukumnya Ma'had Aly sudah mulai menggunakan atau minimal terinspirasi

oleh tidak hanya kitab-kitab non Sunni seperti kitab-kitab Syiah tetapi juga ilmu-ilmu

barat seperti hermeneutik dan semiotik. Secara tegas Najih tidak mengatakan bahwa

Sidogiri menyiapkan sesuatu yang khusus untuk menghadang laju Ma'had Aly tetapi

saat ini sidogiri dot com telah menyiapkan satu rubrik yang dinamakan kontra liberal,

yang dimaksudkan untuk menghambat laju gerakan Islam liberal dari kelompok

manapun asalnya, termasuka Ma'had Aly.76

Komentar lain diberikan oleh Gus Mujib Wahab pengasuh pesantren

Mamba’ul Maarif Denanyar Jombang. Mengawali tanggapannya Mujib mengutip

komentar kyai Subadar, tokoh kharismatik asal Pasuruan, yang mengatakan Ma'had

Aly itu kurang tawadu’. Wahab mengakui keberhasilan Ma'had Aly dalam

menyelenggarakan pendidikannya dan mempertahankan mutunya. Bahkan menurut

menurutnya pernah ada santri denanyar yang mencoba melamar menjadi santri di

76 Wawancara dengan Daerobi Najih 28, April 2005.

89

Page 90: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Ma'had Aly dan tidak berhasil karena ketatnya seleksi masuk.77 Ketua Rabîťah

Ma’âhid al-Islâm Indonesia KH. Aziz Masyhuri mengungkapkan Ma'had Aly adalah

system pendidikan pesantren yang harus di support oleh siapapun karena sangat

langka pesantren yang bisa menyelenggarakan sistem pendidikan seperti Ma'had Aly.

Selain itu Masyhuri juga mengungkapkan kesan yang ditangkap olehnya dari

beberapa kyai di Jawa timur. Banyak kyai di Jawa timur sudah mengidentikkan

Ma'had Aly dengan Jaringan Islam liberal. Tuduhan miring tentang Ma'had Aly itu

seakan mendapatkan momentumnya ketika pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah

secara kelembagaan menerima penyelenggaraan muktamar pemikiran Islam yang

banyak di prakarsai kelompok muda NU di tempatkan di Situbondo (di Pondok

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah). Bahkan menurut Masyhuri setika Muktamar itu

diselenggarakan tahun 2003, di gedung NU jawatimur terpasang spanduk

pengharaman menghadiri Muktamar di Situbondo.

2. Dukungan Pembaca Tanwirul Afkar Untuk Ma’had Aly

Tanwirul Afkar salah satu produk hukum Ma'had Aly yang paling bisa

dilihat dan dirasakan. Sehingga menurut penulis pembaca Tanwirul Afkar adalah

konsumen Ma'had Aly yang paling jelas. Salah satu cara untuk mngetahui bagaimana

tanggapan masyarakat terhadap Ma'had Aly adalah melihat mabagaimana tanggapan

masyarakat terhadap Tanwirul Afkar. Tanwirul Afkar, sejak berdirinya pada tahun

1997 Sampai saat ini terus bertahan dengan dukungan masyarakat. Tanwirul Afkar

77 Wawancara dengan KH. Mujib Wahab 27, April 2005.

90

Page 91: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

sebagai buletin hukum tidak disosialisasikan secara geratis, untuk mendapatkan

buletin ini para pembaca harus membayar biaya cetak.

Sampai saat ini Tanwirul Afkar sudah tersebar ke banyak daerah di luar

Situbondo bahkan sudah lintas pulau sampai Bali dan Madura. Ada beberapa tipe

pembaca Tanwirul Afkar. Karena bentuknya yang praktis dan instan maka sebagian

pembaca mengoleksi Tanwirul Afkar sebagai bahan rujukan untuk menjawab

persoalan yang mereka temui dalam masyarakatnya. Kelompok ini biasanya adalah

para tokoh masyarakat yang bersentuhan langsung dengan komunitas Muslim di

daerahnya. Sebagain pembaca sengaja membeli Tanwirul Afkar untuk mengetahui

apa komentar Tanwirul Afkar tentang fenomena fiqh kontemporer. Misalnya ketika

terjadi kasus nasional yang kontroversial, para pelanggan Tanwirul Afkar yakin

bahwa pada hari jum’at ketika sebuah peristiwa fiqhi terjadi, Tanwirul Afkar akan

memberikan tanggapanya, maka saat itulah para pelanggan menyerbu Tanwirul

Afkar. Pelanggan jenis ini biasanya adalah para pemerhati fenomena sosial yang

berkaitan dengan fiqh atau orang yang secara pribadi memiliki pandangan hukum

sendiri tetapi ingin mengetahi tanggapan Ma'had Aly sebagai perbandingan. Selain

itu juga para alumni yang ingin terus memantau perkembangan pemikiran di

pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

Sebagain pembaca membaca Tanwirul Afkar karena ingin mengerti

bagaimana Tanwirul Afkar membangun idenya dan menanggapi sebuah persoalan,

pembaca jenis ini biasanya adalah para pengelola media Islam atau para pemerhati

perkembangan hukum islam. Selain tipe diatas, sebagaian masyarakat juga ada yang

91

Page 92: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

membaca Tanwirul Afkar memang sebagai bahan rujukan yang mereka percaya untuk

mereka amalkan. Bagi pembaca tipe ini Tanwirul Afkar adalah keputusan ulama’

yang bisa mereka gunakan sebagai bahan acuan dalam mengarungi hidup ini.

pembaca jenis ini rata-rata terdiri dari masyarakat umum yang memang

membutuhkan jawaban segera atas fenomena hukum Islam yang terjadi di

masyarakatnya. Mayoritas pembaca menganggap produk-produk hukum yang di

keluarkan Tanwirul Afkar adalah representasi dari pandangan pondok-pesantren

Salafiyah Syafi’iyah. Sampai saat ini setiap minggu Tanwirul Afkar terbit 700

eksemplar.

3. Ma’had Aly Sebagai Tempat Bertanya

Selain tanggapan dari ulama’ dan pembaca buletin, tanggapan lain juga

didapat oleh penulis darimasyarakat yang menggunakan jasa layanan konsultasi

agama via tilpun. Pertanyaan dari masyarakat terus mengalir setiap hari.78 Memang

dalam kasus perumusan fiqh dialogis ini respon dari masyarakat memang tidak cukup

banya karena mayoritas penaya mempertanyakan tentang sesuatu yang berhubungan

dengan kehidupan sehari-hari dan jarang sekali yang berhubungan dengan dialog

antar agama. selain karena pertanyaan yang jarang berkaitan dengan dialog antar

agama jawaban santri Ma’had Aly juga tidak terlalu berbeda dengan maistream.

Kenyataan ini membuat respon masyarakat walaupun bisa dijadikan data tentang

respon terhadap fiqh dialogis tetapi masih jauh dari representatif []

78 Sayang sekali Ma’had Aly tidak memiliki data yang jelas berapa penelpun dalam setiap harinya.

92

Page 93: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

BAB IV

MA'HAD ALY DAN PENGEMBANGAN FIQH DIALOGIS

Pada Bab sebelumnya telah digambarkan tentang kegiatan-kegiatan dalam

pengembangan fiqh di Ma’had Ali Sukorejo. Selanjutnya penulis akan menganalisa

data-data tersebut dengan teori yang telah diungkapkan yaitu penggabungan antara

teori fiqh baru menurut Sahal Mahfudz dan konsep dialog yang ditawarkan oleh

Leonard Swedler. Analisa ini akan menguji apakah pengembangan fiqh di ma’had Aly

merupakan bentuk fiqh baru yang memiliki aspek-aspek dialogis dan akan menjawab

pertanyaan-pertanyaan penelitian, utamanya pada pertanyaan-pertanyaan pokok yaitu

apakah fiqh bisa menjadi sebuah alternatif metode pengembangan dialog antar agama

serta bagaima cara kerja fiqh dalam mendukung gerakan dialog antar agama.

A. fiqh baru untuk kehidupan yang baru

Untuk melakukan analisa pada pengembangan fiqh di Ma’had Aly penulis

merujuk pada bab sebelumnya tentang kreteria fiqh baru yang digagas oleh Sahal

Mahfud. Penulis akan memulai analisa ini dengan satu contoh kasus tentang sebuah

produk hukum Ma’had Aly Sukorejo yang dipublikasikan pada tahun 1999 pada

buletin mingguan Tanwirul Afkar. Produk hukum ini kemudian juga di kuwatkan

oleh statemen Imam Nakhoi pada sebuah program konsultasi agama di radio Bhasa

93,1 FM yang dulu 92,5 FM. Contoh ini akan memberikan gambaran pada kita

tentang korelasi antara teori Shal Mahfudz dengan produk fiqh di Ma’had Aly.

93

Page 94: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Imam Nakho’i, seorang ustadz yang aktif mengelola Ma'had Aly, dalam

sebuah acara konsultasi agama (Sigma) memberikan keputusan hukum yang sangat

kontroversial. Ketika seorang pendengar radio bertanya melalui tilpun kepada

Nakho’i tentang ritual qurban.79 Dalam tradisi fiqh yang biasa di kaji di pesantren-

pesantren binatang yang boleh dijadikan binatang qurban adalah kambing atau sapi.

Berbeda dengan itu, Na’khoi ketika memberikan jawaban menyebutkan seperti yang

telah ditulis oleh buletin resmi Ma’had Aly bahwa ayam pun bisa di jadikan binatang

qurban. Bagi Nakho’i konteks masyarakat Muslim Indonesia yang banyak

mengalami kemiskinan ini harus diapresiasi dan diberikan kelonggaran untuk

melakukan sebuah ibadah. Jika qurban harus kambing atau sapi maka hanya orang

kaya yang bisa melaksanakan ibadah qur’ban sementara orang miskin tidak mendapat

ruang untuk beribadah qur’ban. Jika negara ini sudah tidak memberi ruang gerak

terhadap kaum miskin maka seharusnya agama menjadi payung dan bisa memberikan

sedikit angin segar terhadap kehidupan orang miskin. Membolehkan berqurban

dengan ayam artinya memahami konteks di mana masyarakat islam sedang sedang

berada dan mencoba memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Muslim di

Indonesia.

Pengambilan keputusan untuk membolehkan berqurban dengan binatang lain

selain binatang yang sudah ditentukan oleh fiqh lama ini didasarkan pada pemaknaan

atas teks hadiś tentang qurban. Hadiś itu menyebutkan bahwa inti dari qurban adalah 79 Topik ritual qurban ini memang tidak ada hubungannya dengan dialog antar agama atau pluralisme tetapi keberanian Nakho’i berdialog dengan konteks adalah yang paling untama dalam tulisan ini. Keberanian berdialog dengan konteks itu yang akan membuat fiqh Ma'had Aly menjadi potensial untuk menjadi fiqh dialogis.

94

Page 95: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

irâqatu al-dam yang berari mengalirkan darah. Konsep mengalirkan darah itu pada

masa Rasul dialamatkan pada binatang piaraan yang ada saat itu. Konteks dimana

teks itu muncul adalah konteks yang tidak menganggap bahwa ayam adalah binatang

piaraan sedangkan konteks saat ini ayam adalah binatang piaraan sehingga dengan

begitu maka untuk konteks saat ini ayam menjadi syah untuk dijadikan binatang

qur’ban. Contoh diatas telah dengan jelas memberikan gambaran bahwa Ma’had Aly

telah melakukan kontekstualisasi teks demi sebuah kemaslahatan ummat yang

merupakan elemen pertama pada syarat sebuah fiqh baru.

Syarat lain yang diajukan oleh Mahfudz untuk menjadikan sebuah produk fiqh

termasuk pada fiqh baru adalah mengikuti Maźhab tertentu dalam hal metode

penggalian hukum dan bukan pada produk hukum. Syarat yang ini dicerminkan oleh

Ma’had Aly pada sistim penggalian hukum yang digunakan dalam menerbitkan

Buletin Tanwirul Afkar. Untuk mendapatkan sebuah jawaban dan menulis satu

lembar buletin redaktur buletin melalui beberapa proses yang panjang. Salah satu

proses yang harus dilewati adalah pencarian jawaban pada lembaran-lembaran kitab

klasik yang mengikuti Maźhab tertentu. Melaluai proses uşûli Kitab-kitab itu akan

menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan pada buletin Tanwirul Afkar.

Upaya kontekstualisasi fiqh seperti yang tampak dalam contoh diatas adalah

syarat pertama sebagai sebuah produk fiqh untuk dikatakan sebagai fiqh baru yang

telah dilakukan oleh Ma’had Aly. Syarat lain sebagai sebuah produk fiqh baru juga

dapat dilihat dari sestem penggalian hukum, istimbath, yang dilakukan oleh Ma’had

Aly Sukorejo. Seperti yang telah dibahas pada Bab tiga tentang Tanwirul afkar,

95

Page 96: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Buletin mingguan ini juga selalu mengenalkan tradisi berpikir dengan uşûl fiqh

dimana filsafat hukum (maqâşid al-syari’ah) selalu menjadi dasar penatapan

hukumnya. Dalam hal pengaplikasian produk hukumproduk hukum dalam kehidupan

sehari-harinya Ma’had aly tidak pernah mengikat kepada para santri atau

konstituennya untuk selalu mengikuti ijtihâd Ma’had Aly. Semua yang telah

dipaparkan diatas adalah menjadi bukti bahwa produk fiqh di Ma’had Aly bisa

disebut fiqh baru.

B. Dialog: Memberi ruang dialog “untuk yang berbeda”

Setelah memberikan analisa produk fiqh yang dibangun oleh Ma’had Aly

dengan teori fiqh baru Sahal Mahfudz penulis akan melakukan analisa terhadap

produk fiqh Ma’had Aly syarat-syarat dialog yang diajukan oleh Swidler. Analisa ini

akan memberikan gambaran tentang nuansa dialog yang terkandung dalam proses

pengembangan fiqh di Ma’had Aly. Analisa ini akan dimulai dari pembahasan atas

contoh terbitan Ma’had Aly tentang penghalalan perayaan Valentine’s Day yang

merupakan tradisi umat kristiani.

Bagi kawula muda 14 pebruari merupakan ‘hari bersejarah’ terutama bagi mereka yang di landa panah asmara, Valentine Day’s. hari kasih sayang. Ada yang mengklaim itu merupakan tradisi kaum kristiani bagaimana Islam menyikapinya?80

Bacaan di atas adalah prolog dari salah satu edisi buletin mingguan yang

diterbitkan Ma'had Aly ketika menyikapi perayaan Valentine Day’s. Terbitan pada

edisi ini adalah hal lain yang bisa dijadikan contoh kontentekstul fiqh Ma'had Aly

80 Tanwirul Afkar Edisi 125/Jum’at ke 2/9 Februari 2001.

96

Page 97: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

yang berhubungan dengan dialog antar agama. Buletin Tanwirul Afkar telah

memberikan “label” halal kepada perayaan Valentine Day’s. Ditengah perlawanan

banyak orang Islam atas tradisi barat itu Ma'had Aly memberikan angin segar bagi

tradisi yang dibangun atas romantisme kaum Kristiani. Redaktur Tanwirul Afkar

sangat mengerti bahwa tradisi itu adalah tradisi Kristiani, bahkan dalam edisi itu juga

dimuat sekilas tentang sejarah perayaan Valentine Day’s yang di rayakan untuk

mengenang seorang pastor yang rela mati karena pembelaannya terhadap jalinan

kasih sayang. Ada dua alasan mengapa Tanwirul Afkar berani menentang arus

mayoritas Muslim dalam menyikapi perayaan Valentine’s Day ini. Pertama adalah

beberapa alasan yang diungkapkan dengan jelas dalam buletian dan yang kedua

adalah alasan lain yang menjadi agenda khusus buletin ini. Alasan yang dengan jelas

tertulis dalam buletin itu adalah: pertama, penghargaan terhadap kasih sayang yang

disimbolkan dalam perayaan Valentine’s Day. Bagi Tanwirul Afkar, kehilangan kasih

sayang adalah suatu awal dari bencana besar. Seseorang yang kehilangan kasih

sayang akan sangat mudah melakukan tindakan kekerasan dan kekerasanpuan akan

terjadi di mana-mana. Untuk itu menjadikan sesuatu itu sebagai momentum untuk

menjaga kasih sayang ini menjadi sangat penting artinya.

Alasan kedua yang diungkapkan adalah, karena perayaan Valentine’s Day

ini bukan ritual Gereja. Rasulullah memang yang melarang ummatnya untuk meniru

tradisi orang lain dan haditś inilah yang sering digunakan banyak orang untuk

mengharamkan perayaan Valentine’s Day. Tanwirul Afkar mempunyai penafsiran

lain atas hadiś itu. yang dimaksud tradisi yang jelas dilarang oleh Rasul adalah tradisi

97

Page 98: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

yang berhubungan dengan ritual agama lain. Sedangkan untuk tradisi selain itu

masyarakat Islam harus selektif dan tidak semua tradisi ditolak. Jika tradisi itu baik

dan bisa diikuti maka dianjurkan untuk mengikutinya. Dalam konteks Valentine’s

Day, perayaan ini bukanlah ritual Gereja, sehingga ketika perayaan ini diartikan

sebagai momentum untuk menjaga kasih sayang maka itu sesuaidengan ajaran Islam.

Seperti pada terbitan-terbitan edisi lain Tanwirul Afkar selalu mendukung ide-idenya

dengan mengutib dalil-dalil dari kitab suci, haditś atau kitab-kitab karya ulama’ yang

biasa menjadi rujukan pesantren-pesantren tradisional. Dalam hal ini Tanwirul Afkar

mengutip sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi yang mengatatakan

bahwa Allah akan mengasihi orang yang mengasihi sesamanya dan siapapun yang

mengasihi makhluk di bumi maka semua makhluk dilangit akan mengasihi nya.81

Hadiś lain yang yang dikutip adalah tentang larangan meniru tradisi kelom pok lain.

Hadiś yang diriwayatkan oleh Abi Daud itu secara zahir artinya barang siapa yang

meniru golongan tertentu maka ia termasuk dari golongan yang diikutinya.82 Jika

hadiś ini dipahami secara zahir maka orang yang Islam yang merayakan Valentine’s

Day akan tergolong orang yang kafir kerena yang biasa merayakan Valentine’s Day

adalah orang orang kafir.

Dalam menanggapi hadiś pelarangan mengikuti prilaku kelompok lain itu,

Tanwirul Afkar mengkompromikan hadiś itu dengan hadiś lain. Abi Daud mencatat

rasulullah pernah bersabda “barang siapa yang berpakaian baju syuhrah (baju

81 Sunan Al-Turmudzi, Juz II, hlm. 284-28582 Sunan Abi Daud, Juz III, hlm. 47.

98

Page 99: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

kesombongan dan untuk berbangga-banggaan), maka Allah akan memberikan baju

serupa dan akan dilahap api neraka. Tanwirul Afkar mengutip hadist ini sebagai

penyeimbang sekaligus penjelas dari hadiś sebelumnya tentang larangan mengikuti

prilaku kelompok lain. Baju syuhrah adalah baju yang sering dipakai oleh orang kafir

sehingga yang dimaksud meniru yang diharamkan adalah bukan karena minirunya

tetapi pada materi yang ditiru.83

Alasan-alasan di atas hanyalah alasan yang diungkapkan untuk pera

pembaca agar sebuah produk hukum memiliki kekuatan “syara’”. Alasan lain yang

tidak kalah pentingnya dalam kasus penghalalan perayaan Valentine’s Day ini adalah

proses mendialogkan teks dan budaya Kristiani dan budaya Islam yang sedang

dibangun oleh Ma'had Aly. Selain itu, penghalalan perayaan Valentine Day’s ini juga

merupakan usaha meminimalisir resistensi budaya yang terjadi antara Muslim

Kristen. Apa yang telah dilakukan oleh Ma’had Aly dalam menanggapi kasus

perayaan Valentine Day’s ini adalah salah satu upaya untuk memahami tradisi

masyarakat Kristiani dari sudut pandang Kristiani. Kemauan dan kesiapan untuk

mendengarkan yang lain sebagai yang lain adalah prasyarat utama yang tidak bisa

ditawar untuk terwijudnya dialog antar agama.

Contoh lain yang sangat penting ditulis disini adalah bentuk kerjasama yang

dilakukan Ma’had Aly dengan kelompok lain. Selain menjalin kerja sama dengan

komunitas pesantren dan kelompok Islam lain Ma’had Aly juga menjalin kerjasama

dengan kelompok non-Muslim. Pemandangan yang tidak biasa terlihat pada

83 Al-Manawiy, Op. cit. Juz VI, hlm. 140.

99

Page 100: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

pesantren tradisional yang lain dan tampak di Ma'had Aly adalah adanya keterlibatan

non-Muslim dalam perkuliahan santri. Di pesantren ini keterlibatan non Muslim

menjadi pemandangan yang biasa dalam forum-forum diskusi. Dilatarbelakangi oleh

banyaknya kasus kekerasan yang berbasis agama dan kesadaran bahwa dominasi teks

sangat kuat dalam praktek kehidupan masyarakat beragama maka pada tanggal 9-11

may 2002 Ma'had Aly bekerja sama dengan Lembaga Kerjasama Lintas Agama

Toleransi Malang, menyelenggarakan study perbandingan agama yang melibatkan

dari beberapa kelompok non muslim.84 Acara yang bertema Realitas Umat Dalam

Pandangan Teks Suci Agama-Agama itu diselenggarakan untuk melihat gama-agama

dalam perspektif kitab suci dengan beberapa tujuan praksis yang terinci sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami perjalanan kehidupan umat beragama.

2. memahami posisi strategis agama dalam himpitan sejarah dan peradaban.

3. memahami perbedaan bahasa kitab suci dan lainnya.

4. memahami cara menafsirkan teks suci dalam upaya menyelesaikan

problematika sosial.

5. menumbuh-kembangkan sikap kebersamaan dalam menangani persoalan

umat.

Selain acara-acara yang memang diselenggarakan bersama antara Ma'had Aly

84 Seluruh data atas penjelasan program ini diambil dari bunga rampai acara studi perbandingan agama, Realitas Umat Dalam Pandangann Teks Suci Agama-Agam, Lembaga Kader Ahli Fiqh (Ma'had Aly) Situbondo bekerjasama dengan Lembaga Kerjasama Lintas Agama Toleransi Malang, (Situbondo, 2002) dan hasil wawancara dengan penitia penyelenggara, Hoirul Anwar, tgl, 02, Mey 2005.

100

Page 101: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

dengan kelompok agama lain, Ma'had Aly juga sering mengundang beberapa tokoh

dari agama lain untuk menjadi narasumber untuk beberapa acara yang

diselenggarakan sendiri. Untuk menhindari polemik dan fitnah terkadang Ma'had Aly

sampai mengkamuflase acara yang mereka selenggarakan. Biasanya Ma'had Aly

mengkemas acara itu dengan bahasa-bahasa yang Islami (arab) untuk memuluskan

perjalanan sebuah acara. Sebagai calon ahli fiqh para santri Ma’had aly juga harus

menjaga perasaan komunitas Islam, karena dukungan dari masarakat adalah faktor

yang paling menentukan kesuksesan sebuah program di pesantren.

Apa yang telah dilakukan Ma’had aly baik sukorejo dalam mengeluarkan

sebuah produk hukum yang berhubungan dengan dialog antar agama maupun dalam

proses penggaliannya yang banyak melibatkan kelompok agama lain adalah bukti

komitmennya untuk bersama-sama membangun dialog untuk kebaikan bersama.

Tidak hanya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perumusan kebijakan hukum

maupun kerangka kerja tetapi pada tindakan kongkrit kerja sama telah dilakukan oleh

lembaga ini. Dari semua syarat dialog yang diajukan oleh swedler tidak semuanya

terpenuhi. Syarat terahir yang diajukan oleh swedler, mengalami seperti apa yang

telah dialami kelompok lain agama belum pernah dialami oleh komunitas Ma’had

Aly. Memang tidak semua syarat itu telah terpenuhi tetapi sebagian besar dan

prasyarat utama telah dipenuhi. Bisa dimaklumi jika Syarat yang terahir yaitu pada

ahir dialog seluruh peserta dialog harus mencoba untuk mengalami agama atau

idiologi patner dialognya dari dalam, tidak pernah dilakukan karena Ma’had aly

adalah lembaga pesantren yang memiliki prinsip beragama yang juga harus dihargai.

101

Page 102: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Selain itu Ma’had Aly seperti lyaknya pesantren lain juga dibangun oleh masyarakat

Islam yang traditional yang belum bisa menerima syarat itu. Dengan melakukan

percobaan mengalami agama lain maka Ma’had Aly akan terancam kehilangan

ligitimasinya.

C. Fiqh Dialogis

Dua poin analisa ditas diatas diharapkan telah memberikan gambaran yang

jelas bagaimana cara kerja fiqh dialogis. Fiqh dialogis adalah sebuah cara pemapanan

dialog antar agama yang dibangun dengan potensi yang dimiliki oleh fiqh baik berupa

kekuatan metodologi yang ada didalamnya maupun kukuatan yang bersifat dukungan

masyarakat terhadap fiqh. Dalam bahasa lain fiqh dialogis adalah sebuah karya fiqh

yang memiliki karakter dialog-antar agama.

Fiqh dialogis adalah pengembangan dari fiqh baru yang digagas oleh Sahal

Mahfudz yang diberikan karakter dialog didalamnya. Dalam fiqh ini kepentingan-

kepentingan dialog antar agama akan diperjuangkan dengan dukungan justifikasi

fiqh. Secara teknis pembentukan fiqh dialogis dikembangkan dari kontekstualisasi

Uşûl fiqh (metode penggalian hukum Islam) yang sudah cukup lama mandul dalam

tradisi pesantren. Uşûl fiqh akan digunakan sebagai sarana untuk menggali hukum

Islam yang sesuwai dengan konteks masyarakatnya. Sumber-Sumber hukum yang

dipakai tidak hanya sumberhukum primer seperti Al-Qur’an, hadiś, Ijma’ atau Qiyas

tetapi juga yang lainya seperti konsep maşlahah yang telah dikembangkan oleh

102

Page 103: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

beberapa ahli fiqh. Berikut penulis akan memberikan gambaran tentang konsep

maşlahah yang sering di paka di Ma’had Aly

Pada dasarnya maşlahah diungkapkan oleh sebagian ulama’ sebatas pada

upaya perwujudan manfaat dan penafian mudlarat pada segala aspek kehidupan

manusia. Tetapi ungkapan ini mengundang kritik al-Ghazali. Menurutnya, maşlahah

dengan pengertian ini hanya mengacu pada kepentingan manusia belaka tanpa

mampu menyentuh pada ranah religiusitas yang bersifat transendental. menurut Al-

Ghazali, maşlahah harus dicenderungkan pada dua sisi; sisi ilâhiyyah dan sisi

insâniyyah. Paradigma yang dikembangkan oleh Al-Ghazali (445-505 H) ini lalu

menjadi inspirasi besar beberapa pemikir terkemuka pada generasi perkembangan

dunia pemikiran keislaman berikutnya, seperti Ibnu Taimiyah (728 H), Ibnu Qayyim

Al-Jauziyah (751 H), Ibnu Subki (771 H), Al-Syathibiy (790 H). Para pemikir ini

nampaknya sepakat untuk membangun sebuah maşlahah berdasar atas kepentingan

manusia; baik yang bersifat transenden maupun praksis.

Ada lima hal yang mesti lebih inten dijaga eksistensinya dalam rangka

mewujudkan orientasi maşlahah ilâhiyyah dan insaniyah. Pertama, memelihara

agama (hifd al-din). Kedua, menjaga keselamatan jiwa (hifd al-nafs). Ketiga, menjaga

potensi akal (hifd al-aql). Keempat, memelihara keturunan (hifd al-nasl). Kelima,

menjamin harta (hifd al-mal).Untuk menjaga kekokohan agama (hifd al-din), maka

agama menerapkan beberapa sanksi terhadap pemeluknya yang mencoba merongrong

citra dan kewibawaan agama. Seperti sanksi bagi pelaku bid’ah yang dituding akan

mengancam terhadap perkembangan dan keberlangsungan agama. Seperti juga

103

Page 104: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

hukum “bunuh” bagi orang kafir yang mencoba untuk mempengaruhi keteguhan dan

keyakinan orang Muslim.

Untuk menjaga keselamatan jiwa orang lain (hifd al-nafs), maka agama

dengan sangat tegas memberlakukan hukuman qishash bagi orang yang sengaja

menciderai anggota tubuh atau bahkan melakukan tindak pembunuhan. Hukuman ini

diterapkan semata-mata guna hendak menciptakan kehidupan manusia yang bersih

dari malapetaka kriminal dan paling tidak meminimalisir tindak penganiayaan yang

bisa mengancam keselamatan manusia. Dalam rangka menjaga potensi akal (hifd

al-‘aql) agar tetap normal dan biasa difungsikan sebagaimana mestinya, maka agama

tidak segan-segan menerapkan hukuman had bagi siapa saja yang melakukan

tindakan yang bisa mempengaruhi potensi akal sehingga akal tidak lagi bisa aktif

secara fungsional dan normal. Semisal mengkonsumsi barang-barang yang

memabukkan seperti arak, khamer, ektasi, pil koplo dan jenis lainnya.

Sebagai upaya untuk melestarikan keturunan (hifd al-nasl) agar tetap teratur

dan terarah, maka agama dengan keras menetapkan hukuman had bagi orang yang

melakukan tindak perzinahan. Diakui atau tidak, perbuatan ini merupakan salah satu

tindakan yang menjadi incaran cemoohan masyarakat dan bisa menelantarkan

keturunan. Dalam hal pemeliharaan harta (hifd al-mal), agama menetapkan hukuman

yang bisa menbuat si pelaku jera untuk melakukannya lagi. Seperti contoh hukuman

yang dijatuhkan kepada para pelaku ghashab dan para pelaku pencurian.85

85 Al-Ghazali, Op. cit. hlm. 286-288.

104

Page 105: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Dalam kajian yang coba dilakukan oleh Al-Syathibi, kerangka di atas

dikenal dengan istilah tindakan preventif yang dicanangkan untuk semaksimal

mungkin agar maşlahah yang dicita-citakan oleh agama menjadi sebuah kegiatan riil

yang nyata. Bukan hanya imaji intelektual. Al-Syathibi meng-’ibaroh-kan kerangka

ini dengan mura’ah al-maşlahah min janîb al-‘adam. Sedangkan kerangka lain yang

dimaksudkan untuk mewujudkan maşlahah tersebut bisa dilihat dari beberapa contoh

yang coba ditawarkan oleh Al-Syathibi. Misalnya, dalam rangka menjaga agama,

kekokohan iman menjadi hal yang mesti dipertahankan. Semacam aksioma yang

eksisitensinya tidak bisa ditawar lagi. Urgensitas keimanan seseorang menjadi pilar

utama terhadap keberlangsungan agama. Selain iman, praktek sholat, zakat, puasa,

haji dan lain-lain menjadi ritual keagamaan yang mau tidak mau harus dipertahankan

demi syiar agama dan kekokohan agama.

Untuk kepentingan menjamin keselamatan jiwa dan akal, maka agama juga

memberikan rambu-rambu yang menjadi pembatas tindakan manusia agar tidak

melampaui hal-hal yang bisa membahayakan terhadap jiwa dan akalnya. Oleh karena

itu, agama memberikan penjelasan terhadap barang-barang yang boleh dan haram

dikomsumsi dan dikenakan sebagai pakaian. Semua ini tidak lain dimaksudkan hanya

untuk menjaga keselamatan jiwa dan akal manusia. Seperti yang telah difirmankan

oleh Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 172. Dalam firman-Nya ini Allah

dengan tegas memerintahkan manusia untuk mengkomsumsi barang-barang yang

baik, yang bermanfaat bagi perkembangan tubuh dan psikologis seseorang. Dan di

dalam firman ini pula Allah melarang keras umatnya untuk mengkomsumsi barang-

105

Page 106: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

barang kotor seperti bangkai, darah, daging babi dan lain-lain. Untuk mewujudkan

maşlahah dari aspek menjaga keturunan dan harta, maka agama memberikan aturan-

aturan yang berkenaan dengan interaksi manusia dengan manusia lainnya, seperti

aturan jual-beli, waris dan aturan perkawinan dan lain-lain. Inilah yang dikenal

dengan istilah mura’ah al-maşlahah min janib al-wujûd. Tindakan praktis yang

dimaksudkan sebagai bentuk manefestasi dari maşlahah yang dicanangkan oleh

agama agar tetap berlangsung hidup di tengah masyarakat.86

BAB V

KESIMPULAN

1. Kesimpulan

Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa keterlibatan kelompok-

kelompok agama-agama dalam dialog antar umat beragama memang menjadi sesuatu

yang sangat penting dalam menciptakan kesepahaman dan untuk mengeleminir

pembenaran melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Jika masing-

masing elit agama bisa bertanggungjawab atas penyadaran komunitasnya untuk tidak

melakukan kekerasan atau minimal melakukan sesuatu untuk kepentingan itu maka

penyelesaian persoalan kekerasan berbasis agama akan lebih mudah. Ma'had Aly,

sebuah lembaga kader ahli fiqh yang berkonsentrasi atas perumusan hukum-hukum 86 Al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi uşûl al-Ahkam, Beirut: dar al-Fikr, tt., Juz II, hal. 4.

106

Page 107: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Islam telah melakukan kerja besar sesuai dengan disiplin yang ditekuninya. Sebagai

lembaga yang berkonsentrasi pada kajian fiqh, Ma'had aly merumuskan sebuah

pandangan fiqh baru yang dialogis. Selain seluruh proses perumusan fiqh yang

dilakukan di pesantren ini telah diawali dengan dialog dengan kelompok lain baik

yang blintas Maźhab maupun lintas agama hasil dari “ijtihâd”nya pun juga

didialogkan dengan komunitas lain.

Melakukan dialog antar agama dengan mainstrem fiqh adalah menjadi ciri

khas Ma'had Aly. Ciri khas dari pola dialog dengan model ini adalah memberikan

justifikasi atas produk-produk fiqh yang dialogis dengan teks-teks kitab suci maupun

kitab-kitab karya ulama salaf dengan penyajian yang kritis. Penerapan qowaid al-fiqh

dan uşûl al-fiqh dalam penetapan hukum-hukumnya memungkinkan Ma'had Aly

melakukan ijtihâd-ijtihâd fiqhy yang bisa dipertanggungjawabkan secara secara

motodologis. Sasaran dari pengembangan dialog yang dilakukan Ma'had Aly adalah

terfokus kepada umat Islam di Indonesia. Walaupun mereka berpandangan bahwa

produk fiqh yang mereka kembangkan tidak harus diikuti tetapi Ma'had Aly

mendukung ide-idenya dengan referensi sumber hukum Islam yang syah yaitu al-

Qur’an dan Hadist serta mengelola sumber-sumbar itu dengan metodologi yang

tersedia sehingga lebih mudah untuk dipertanggung jawabkan dan memiliki kekuatan

hukum dan mengikat bagi yang meyakini hasil ijtihâdnya. Pengembangan dialog

dengan mainstream fiqh ini dipandang efektif karena masyarakat Indonesia yang

mayoritas keberagamaannya berorientasi fiqh.

107

Page 108: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Fiqh dialogis pada dasarnya adalah sebuah fenomena dalam tradisi kajian

Islam klasik yang masih menggunakan nalar berpikir klasik yang dibangun oleh

ulama-ulama yang hidup pada abad ke empat dan kelima hijrah. Penggunaan nalar

klasik ini sebenarnya telah dilakukan oleh banyak indifidu atau kelompok lain selain

Ma’had Ali dalam memandang persoalan hukum Islam di Indonesia. Yang

membedakan Ma’had Aly dengan yang yang lain adalah konsistensi Ma’had Aly

terhadap penggunaan motodologinya. Sebagian besar para penganut Maźhab klasik

tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk menggunakan metode penetapan

fiqh untuk sebuah ijtihâd baru. Metode fiqh hanya dipakai sebagai kelangenan sebuah

disiplin ilmu tua yang harus dijaga dan untuk memakainya mereka merasa belum

punya kepercayaan diri.

Tiga hal yang menjadi ciri khas pengembangan fiqh dialogis yang

mebedakan dengan produk fiqh yang lain yaitu revitalisasi uşûl al-fiqh,87

penggunaan teks tandingan dan perluasan wilayah ta’wil. Dengan tiga metode inilah

sebuah persoalan dialog antar agama dibahas dengan perspektif fiqh. Hasil

pembahasan yang banyak merujuk pada teks-teks klasik itu kemudian didialogkan

denga realita sosial yang dihadapi. Dalam mengembangkan ide-idenya Ma’had Ali

mempublikasikan hasil kerjanya melalui radio, buletin, bahstul masail dan layanan

konsultasi agama melalui tilpun serta penyebaran kader-kadernya ke beberapa daerah

dan pesantren yang menjadi binaannya.

87 Uşûl al-fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah penetapan fiqh. Lihat Zarkasi Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Usul Fiqh, Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam, 1994, hal. 63-67

108

Page 109: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Menanggapi fenomena munculnya fiqh dialogis ini masyarakat memberikan

respon yang berbeda-beda. Setidaknya ada dua kelompok masyarakat yang menjadi

konsentrasi peneliti. Pertama adalah para ulama dan pengelola pesantren, ada dua

macam respon dari mereka, pertama memberi respon positif secara total dan yang

kedua memberi komentar yang terlihat ambigu. Satu sisi mereka mengakui

keberhasilan Ma’had Aly dalam mewujudkan cita-cita lahirnya kembali ulama’ fiqh

yang mumpuni tetapi disi lain menilai Ma’dah aly adalah lembaga yang liberal dan

kurang bisa menjaga warisan ulama’ salaf. Kemoentar ini bagi penulis adalah

komentar yang reaksioner dan kurang mendasar komentar seperti ini adalah komentar

pro kemapanan yang tidak bisa menyambut gembira munculnya ulama’-ulama’

muda. Kelompok kedua adalah ”para konsumen” fiqh dialogis. Yang dimaksud

konsumen di sini adalah para pembaca buletin dan klien layanan rohani Islam. Para

konsumen ini tidak terlalu memperhatikan bagaimana Ma’had Aly membangun

idenya dan bagaimana karakter produk fiqihnya, bagi mereka jawaban yang diberikan

ma’had Aly yang diperkuat dengan dalil-dalil teks atau argumentasi fiqh adalah yang

mereka butuhkan. Menurut mereka sebagai lembaga kader ali fiqh ma’had Aly

memiliki otoritas atas pengembangan fiqh dan mereka mengakui kebenaran

ijtihâdnya.

Beberapa respon diatas semakin menguatkan alasan Ma’had Aly mengapa

mereka menggunakan fiqh sebagai sarana pengembangan dialog antar agama. Fiqh

dipilih sebagai alat untuk mengembangkan dialog agama karena fiqh memiliki

metode pengembangan yang yang jelas, fiqh juga merupakan representasi dari

109

Page 110: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

pemahaman Islam Masyarakat Indonesia dan fiqh memiliki kekuatan hukum yang

diakuai. Dari cara penyajiannya yang dilengkapi dengan metode penetapan

hukumnya, fiqh dialogis ini termasuk dalam fiqh kontemporer yang digagas oleh

Sahal Mahfudz yaitu fiqh yang berkarakter dialogis antara teks dan konteks. Dalam

perpektif dialolog antar agama menurut penulis, Ma’had Aly masih tampak sangat

hati-hati dalam menentukan sikap atas posisi ”yang lain”. Hal ini tampak dari gaya

mereka berdialog, pengakuan terhadap adanya kebenaran dalam tradisi ”yang lain”

dan keberanian bekerjasama telah dilakukan dengan total. Tetapi pengalaman

menjadi yang lain seperti yang syaratkan oleh Swedler belum pernah mereka coba

alami secara serius dan terlembanga. Istilah fiqh dialogist untuk menyebut fiqh yang

dikembangkan oleh Ma’had Aly memang masih bisa diperdebatkan. Tetapi hasil

penelitian sudah sangat jelas menunjukkan bahwa fiqh yang dikembangkan telah

memiliki kreteria-kreteria fiqh baru dan aspek utama dalam dialog []

BIBLIOGRAFI

110

Page 111: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Al-Anşari, Zakariya. 1994. Fath al-Mu’in. Bairut: Dar al-Fikr.Al-Bantani, Nawawi. tt. Fath al-Qorib Hamisy Tausyiyah. Bairut: Dar al-Fikr.Abdul-Jabbar, Umar. tt. Mabâdi al-Fiqh. Surabaya: Sumber Ilmu.Abdurrahman, Dudung. 2004. Laporan Penelitian Kompetetif. PTAI Tahun Anggaran

2003. Model Pengembangan Ma'had Aly: Studi Kasus Beberapa Pesantren di Jawa. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Abdul Salam, Zarkasi dan Fathurohman, Oman. 1994. Pengantar Ilmu Usul Fiqh I. Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.

Abdusshomad Muhyiddin, 2005. Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Malang: Pustaka Bayan

Syatha. tt. I’anah al- Ţalibîn. Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr.Al-Manawiy. tt, Fath al-Qodîr. Juz V. Beirut: Dar al-Fikr.Al-Zuhaili, Wahbah. 1985. Uşûl al-Fiqh al-Islâmi. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.Al-Zuhaili, Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Juz I. Bairut: Dar-al-Fikr.Azizi, Qodri A. 2002. Eklektisme Hukum Nasional kompetisi Antara Hukum Islam

dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media.Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2002. Ambivalensi Agama, Konflik & Kekerasan. Yogyakarta: Lesfi.

BAPEKAB, Badan Pusat Statistik Kabupaten. 2003. Kabupaten Situbondo dalam angka. Situbondo: BAPEKAB, Badan Pusat Statistik Kabupaten.

Basri, Hasan . tt. KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuanganny. (P2S2 Situbondo).

Bik, M., Khudlari. 1988. Uşûl Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve.Hamdan dan Bayu. 2002. Meretas Jalan Perdamaian Membangun Kemanusiaan:

Konflik Sosial di Mataram NTB, Konflik Akar Rumput di Pati dan Revitalisasi Budaya Adat Alor Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hariyanto (ed). 1998. Melangkah dari Reruntuhan Tragedi Situbondo. Jakarta: PT Grasindo.

Ibnu, Subkiy. tt. Jam’u al-Jawâmi’. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.Ismail, Abd. Muqit. 2003. Peran Ma’had Aly Li Qism Al-Fiqh Pondok Pesantren

Salafiyah Syafi’iyah dalam Peningkatan Intelektual Santri. Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Malang.

Knitter, Paul F. 2002. Introducing Theologies of Religion. Maryknoll, New York: Orbis Book.

Leonard, Swidler. 1990. After the Absolote: The dialogical future of religious reflection. Augsbrg: Fortres

Suryadinata, Leo. Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik Jakarta: LP3ES.

Madjid, Nurcholish. 1995 Islam,Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

111

Page 112: Imam Malik Riduan: Fiqh dan Dialog Antar Agama

Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LkiS.Mas’udi, Masdar Farid. 2003. “Agama dan Konflik Sosial” dalam Rahmad, M.,

Imdadun (ed.). Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga.Mudzhar, Mohammad Atho. 1993. fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A

Study of Islamic Legel Thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS.Wahid, Marzuki. 2001. Post-Tradisionalisme Islm: Gairah Baru Pemikiran Islam di

Indonesia. dalam Tashwirul Afkar. Edisi. 10. Jakarta: LAKPESDAM NU dan TAF. hal 10-20.

Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqh Maźhab Negara, Kritik atas politik hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.

Madjid Nurholish (1993), Islam, Kemoderenan, dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan).

Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. tt. Profil pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah SukorejoSitubondo (Situbondo: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).

profil Ma'had Aly. 2005. brosur penerimaan santri baru angkatan VI dan mahasiswa baru Magister Hukum Islam Angkatan II. Situbondo: Ma'had Aly.

Rofiq, Ahmad. 2004. Fiqh kontekstual dari Naratif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rumadi. 1999. Pembentukan Tradisi Hukum Islam di Indonesia- Survei singkat pada abad XVII-XVII. Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi No. 4. Jakarta:

LAKPESDAM NU dan LTN-NU.Sirry, Mun’im A., 2004. Fiqh Lintas Agama. Jakarta: Paramadina dan The Asia

Foundation.Toyibah, Dzurriyatun. 1998. Fiqih Perburuhan. Jakarta: ISIS.Van Bruinessen, Martin. 1994. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-

Tradisi Islam di Indonesi. Bandung: Mizan.

112