bab iv analisis data 4.1. keadaan umum lokasi penelitian 4

66
33 BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Banyumas adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Brebes di utara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan barat. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km 2 atau setara dengan 132.759,56 ha, sekitar 4,08 persen dari luas wilayah provinsi Jawa Tengah. Topografi Kabupaten Banyumas adalah daratan dan pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng Gunung Slamet sebelah selatan. Keadaan cuaca dan iklim di Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis basah. Karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari pesisir pantai maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak (Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2015) .

Upload: others

Post on 27-Jan-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

33

BAB IV

ANALISIS DATA

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Geografis

Kabupaten Banyumas adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan

Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten

Brebes di utara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan

Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan

barat. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2

atau setara dengan 132.759,56 ha, sekitar 4,08 persen dari luas wilayah provinsi

Jawa Tengah.

Topografi Kabupaten Banyumas adalah daratan dan pegunungan dengan

struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah

pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, dan

sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng

Gunung Slamet sebelah selatan.

Keadaan cuaca dan iklim di Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis

basah. Karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari pesisir pantai

maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak (Badan Pusat Statistik

Kabupaten Banyumas, 2015) .

Page 2: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

34

Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan yang dibagi lagi atas

sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan. Kecamatan Cilongok menjadi kecamatan

paling luas dengan luas 10.534 Ha.

4.1.2. Kependudukan

Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas

(2015), penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2014 berjumlah

1.620.918 orang yang terdiri dari 809.984 laki-laki dan 810.934 perempuan.

Tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Cilongok (114.508

jiwa) atau 30.760 rumah tangga yang tersebar di 20 desa, Ajibarang (93.415

jiwa), dan Sokaraja (81.972 jiwa).

Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Banyumas Tahun 2014

adalah sebanyak 1.221 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling

tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Purwokerto Barat yakini

sebanyak 6.942 orang per kilometer persegi, sedangkan yang paling rendah

adalah Kecamatan Lumbir dengan kepadatan sebanyak 429 orang per kilometer

persegi. Kepadatan penduduk di Kecamatan Cilongok sendiri adalah sebanyak

1.087 orang per kilometer persegi.

Sex ratio Kabupaten Banyumas adalah sebesar 99,88 persen yang berarti

terdapat 99 jiwa penduduk laki-laki di setiap 100 jiwa penduduk perempuan.

Sementara berdasarkan jenis kegiatannya, sebanyak 1.213.250 jiwa penduduk

usia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Banyumas, sekitar 64,27 persen

merupakan penduduk angkatan kerja (60,82 persen bekerja dan 3,45 persen

Page 3: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

35

pengangguran). Sedangkan 35,73 persen penduduk bukan angkatan kerja (7,98

persen sekolah, 22,78 persen mengurus rumah tangga, dan 4,97 persen lainnya).

Indikasi penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok

pengangguran dapat dilihat dari angkat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

TPT Kabupaten Banyumas tercatat sebesar 5,37 persen yang berarti bahwa dari

100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 5 orang yang menganggur. Sementara

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Banyumas adalah

sebesar 64,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari 100 orang penduduk

usia kerja, sekitar 65 orang termasuk angkatan kerja. Sebagian besar penduduk

Kabupaten Banyumas pada tahun 2014 sendiri bekerja di bidang perdagangan,

disusul pertanian kemudian industri.

4.1.3. Gambaran Umum Ekonomi Makro Kabupaten Banyumas

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas,

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyumas tahun 2014

atas dasar harga berlaku sebesar 34,42 trilyun rupiah dan atas dasar harga

konstan 2010 sebesar 29,09 trilyun rupiah (BPS Kab. Banyumas, 2015).

Dilihat dari kontribusinya, selama tiga tahun terakhir kontribusi terbesar

adalah sektor industri pengolahan, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan

dan sektor pertanian. Sektor tersebut masing-masing menyumbang 23,38

persen, 16,61 persen dan 13,63 persen (BPS Kab. Banyumas, 2015).

Namun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas tahun 2014 lebih

lambat dari tahun sebelumnya sebesar 6,89 persen menjadi 4,78 persen.

Page 4: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

36

4.1.4. Keadaan Industri Gula Kelapa Skala Rumah Tangga

Perusahaan industri di Kabupaten Banyumas pada tahun 2014 tercatat

38.712 perusahaan berjalan dan mampu menyerap tenaga kerja sejumlah

102.069 orang (BPS Kab. Banyumas, 2015). Dibandingkan Industri Kimia

Anorganik (IKA) dan Industri Logam, Mesin dan Elektronika (ILME), jumlah

perusahaan industri terbanyak adalah Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan

(IHPK) yang tercatat berjumlah 34.226 perusahaan dan mampu menyerap

tenaga kerja sebanyak 87.714 jiwa (BPS Kab. Banyumas, 2015).

Usaha industri gula semut sendiri termasuk dalam kategori IHPK.

Didalamnya terdapat industri kecil menengah yang merupakan produsen gula

kelapa sebanyak 31.500 (Anugrah, 2015). Potensi industri ini juga didorong

dengan luas lahan yang ditanami pohon kelapa di Kabupaten Banyumas

mencapai sekitar 18.000 hektar (Andrianto, 2013). Dalam setahun sebanyak

3.000 ton gula semut asal Kabupaten Banyumas diekspor ke berbagai negara

seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang sementara salah satu daerah lainnya

yang juga mengekspor gula semut yaitu Kulonprogo hanya mengekspor 2.500

per tahun (Anugrah, 2015). Dari total ekspor gula semut tersebut, 20 persennya

(50 ton) disumbangkan oleh gula semut dari Koperasi Nira Satria (Sidik, 2016).

4.2. Profil Responden Produsen Gula Semut

4.2.1. Usia, Tingkat Pendidikan, dan Pengusaan Teknologi Produksi

Menjadi seorang penderes atau produsen gula semut tidaklah mudah

tanpa adanya kemampuan fisik dan tenaga yang kuat. Dalam hal ini, umur

Page 5: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

37

sangat berhubungan dengan kemampuan fisik atau tenaga produsen dalam

melakukan kegiatan produksi gula semut. Jika dilihat pada Tabel 4.1 dari

kelompok umur pencari kerja produktif pada kelompok umur 15-63 tahun

(Mantra,2003) 94 persen responden gula semut Kecamatan Cilongok sudah

termasuk didalamnya. Dengan umur produktif tersebut responden akan lebih

mudah menerima informasi dan inovasi baru serta lebih cepat mengambil

keputusan dalam penerapan teknologi baru sehingga masih ada harapan untuk

meningkatkan produktivitas kerja mereka dengan lebih efisien sebagai peluang

meningkatkan penerimaan usahanya.

Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Responden Produsen

Gula Semut berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah

Produsen %

24 - 31 7 15

32 - 39 8 17

40 - 47 12 25

48 - 55 13 27

56 - 63 5 10

64 - 71 3 6

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Inovasi sendiri muncul sebagai solusi dari berbagai kesulitan. Meski

semua orang mengalami kesulitan yang sama, biasanya hanya satu orang yang

mampu berinovasi, dan sisanya sebagai penikmat inovasi.

Page 6: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

38

Sebagai orang „lama‟ dalam industri gula kelapa hingga di usianya ke 61,

seorang responden produsen gula semut yang juga wakil ketua kelompok tani di

Desa Rancamaya, Aziz Irwan telah menghasilkan berbagai inovasi peralatan

memasak gula semut. Alat penggerus gula merupakan salah satu inovasinya

yang dijual sebesar Rp. 10.000 karena hanya terbuat dari batok kelapa dan

didesain sedemikian rupa tanpa bahan-bahan modern sedikitpun. Dengan alat

tersebut, pak Irwan telah menciptakan solusi menghancur gula dengan lebih

efisien dan yang terpenting alat ini lebih aman karena sengaja didesain untuk

keamanan tangan produsen dari gula kelapa yang panas.

Inovasi dan penguasaan teknologi produksi memang tidak lahir dari

orang-orang berpendidikan tinggi. Seperti halnya Pak Irwan yang hanya lulusan

SD, responden hampir tanpa pengecualian tidak membutuhkan pendidikan yang

tinggi. Sebab pengalaman lebih banyak mengajarkan mereka ketimbang

pendidikan formal di sekolah. Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa pendidikan formal

yang rendah masih dominan di kebanyakan responden. Selain karena alasan

biaya, orang tua mereka dulu menganggap sekolah sama dengan membuang

waktu. Sukirah (50) seorang responden pengolah gula semut di Desa Kasegeran

sama sekali tidak mendapatkan pendidikan karena orang tuanya mengatakan

nasib seorang perempuan yang pasti adalah di dapur. Begitu juga responden

perempuan lainnya yang mengaku tidak melanjutkan sekolah dan memilih

dinikahkan dengan laki-laki desa dan menjadi istri penderes.

Page 7: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

39

Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Responden Produsen

Gula Semut berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah

Produsen %

Tidak sekolah 2 4

Tidak tamat SD 17 35

Tamat SD 23 48

Tamat SMP 5 10

Tamat SMA 1 2

Jumlah 48 100

Sumber : Diolah dari data primer (2015)

Meski pernyataan bahwa pendidikan formal tidak mengajarkan

bagaimana mencari penghasilan dari industri gula kelapa itu benar, namun

seharusnya dengan sekolah produsen diharapkan akan lebih mampu

mengembangkan usahanya dengan memahami keadaan pasar dan memilih pola

saluran pemasaran yang paling menguntungkan.

Sama seperti industri rumah tangga pada umumnya dimana pembelajaran

untuk bertahan hidup di desa diperoleh secara turun temurun, begitu juga

dengan yang terjadi di Kecamatan Cilongok. Para responden mengaku telah

mempelajari seluk beluk gula kelapa sejak kecil. Dalam Tabel 4.3 dapat

diketahui bahwa kebanyakan responden memulai usahanya di usia remaja.

Bahkan saat anak-anak di usia tersebut seharusnya bersekolah, terdapat 29

persen diantaranya sudah memulai usaha gula kelapa. Sebanyak 79 persen

diantaranya adalah perempuan sementara laki-laki hanya 21 persen. Perempuan

diberatkan dengan keputusan menikah dini sementara laki-laki tidak memiliki

pilihan pekerjaan setelah tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah.

Page 8: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

40

Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Produsen Saat Memulai

Memproduksi Gula Kelapa dan Jenis Kelamin

Usia produsen

saat memulai

memproduksi

gula kelapa

jumlah

responden %

Berdasarkan jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

Jumlah

Laki-

laki

% Jumlah

perempuan %

10 - 16 14 29 3 21 11 79

17 - 22 16 33 7 44 9 56

23 - 29 11 23 5 45 6 55

30 - 36 6 13 3 50 3 50

37 - 42 0 0 0 0 0 0

43 - 49 1 2 0 0 1 100

Jumlah 48 100 18 100 30 100

Sumber : Diolah dari data Primer (2015)

4.2.2. Status usaha

Sebagian besar responden produsen gula semut menjadikan usaha gula

semut sebagai usaha utama mereka. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.4, hanya

6 persen responden yang memiliki usaha utama selain gula semut. Mereka

adalah pengusaha kayu, buruh, dan pemilik warung. Hal ini dipengaruhi oleh

banyak atau tidaknya pohon kelapa yang disadap. Berdasarkan data di

lapangan, rata-rata pohon kelapa yang disadap oleh responden yang menjadikan

gula semut sebagai usaha utama adalah sebanyak 22 pohon. Jumlah ini lebih

besar dibandingkan rata-rata jumlah pohon yang disadap responden yang

menjadikan usaha gula semut sebagai usaha sampingan yaitu sebanyak 15

pohon kelapa. Dengan demikian benar bahwa semakin banyak pohon kelapa

Page 9: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

41

yang disadap, semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan responden oleh

karena semakin banyak gula semut yang akan diproduksi (Kameo, 1999).

Tabel 4.4 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut

Berdasarkan Status Usaha

Status Usaha

Jumlah Produsen % total

produsen sub

total total

Utama tanpa usaha sampingan 21 44

Utama dengan usaha sampingan : 24 50

a. Beternak 5 (21)a

b. Petani padi 2 (8) a

c. Non pertanian 17 (71) a

Usaha sampingan dengan usaha

utama : 3 6

- Non pertanian 3

(100) a

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

a) Persentase dari sub total

Bagi 50 persen responden produsen gula semut, kehidupan mereka akan

lebih tenteram jika kebutuhannya terpenuhi. Oleh karena itu mereka mencari

uang dengan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan. Begitulah yang

dikatakan oleh Yuliyah (50) seorang produsen gula semut sekaligus ketua

kelompok tani di Desa Sokawera. Ia termasuk kedalam 71 persen responden

produsen yang memiliki usaha non pertanian seperti membuka warung juga

menjadi reseller baju dan peralatan rumah tangga. Hal serupa juga dialami oleh

anggota kelompok Yuliyah, yaitu Wartini (40) yang mengatakan akan menjual

apapun yang ia temui di kebun sekitar rumahnya. “Rumput-rumput untuk

Page 10: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

42

kambing, pete, kayu bakar, apa aja lah yang kira-kira bisa dijual, manfaatin

alam,” katanya.

4.2.3. Ketenagakerjaan

Produksi gula semut pada umumnya merupakan usaha rumah tangga yang

dikerjakan oleh suami sebagai penderes dan istri sebagai pengolah. Tabel 4.5

menunjukkan bahwa 83 persen responden produsen hanya menggunakan tenaga

kerja keluarga. Sementara 17 persen sisanya, harus dibantu oleh 1 orang tenaga

kerja non keluarga karena hanya memiliki satu tenaga kerja keluarga yang

semuanya adalah janda 50 tahunan atau istri yang ditinggal suaminya bekerja di

luar desa. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tenaga kerja penderes pohon

kelapanya agar dapat memproduksi gula setiap hari.

Tabel 4.5 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut

Berdasarkan Sistem Penggunaan Tenaga Kerja yang Terlibat Dalam

Pembuatan Gula Semut

Sistem penggunaan tenaga kerja

Jumlah

Produsen %

Tenaga

kerja

keluarga

Tenaga kerja non

keluarga

total

tenaga

kerja

2 0 2 40 83

1 1 2 8 17

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Penggunaan tenaga kerja ini berpengaruh terhadap biaya tenaga kerja

yang harus dikeluarkan oleh produsen baik yang menggunakan tenaga kerja

keluarga maupun non keluarga.

Page 11: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

43

4.2.4. Status Kepemilikan dan Sistem Sewa Pohon Kelapa yang Disadap

Jumlah pohon kelapa yang disadap responden berpengaruh pada besar

kecilnya volume produksi. Responden rata-rata menyadap 22 pohon dengan

jumlah minimal 5 pohon dan maksimal 70 pohon seperti yang terlihat pada

Tabel 4.6. Semakin banyak jumlah pohon yang disadap, diharapkan semakin

banyak juga nira yang didapat.

Tabel 4.6 Jumlah dan Persentase Responden Produsen

Gula Semut Berdasarkan Jumlah Pohon Kelapa yang

Disadap

Jumlah pohon kelapa

yang disadap Jumlah Produsen %

5 - 15 14 29

16 - 26 20 42

27 - 37 10 21

38 - 48 2 4

49 - 59 1 2

60 - 70 1 2

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Itulah mengapa Tabel 4.7 menunjukkan bahwa selain memperoleh nira

dari pohonnya sendiri, 25 persen responden produsen berusaha menambah

niranya dengan menyewa pohon kelapa, sementara 17 persen lainnya tidak

memiliki pohon kelapa sama sekali sehingga harus menyewa.

Page 12: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

44

Berdasarkan hasil survey di lapangan, paling tidak terdapat 4 jenis sistem

sewa yang sering digunakan oleh responden di Kecamatan Cilongok seperti

yang disajikan pada Tabel 4.8. Namun sebagian besar responden produsen gula

semut lebih menyukai sistem sewa dibayar dengan nira dan gula kelapa (cetak

atau semut) dibanding dengan uang tunai dan sistem gadai. Sistem sewa dengan

nira di Kecamatan Cilongok dikenal dengan sebutan Maro atau dalam bahasa

Indonesia berarti „berbagi separuh-separuh‟ (hasil niranya).

Tabel 4.7 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut

Berdasarkan Status Kepemilikan Pohon Kelapa yang disadap

Status Kepemilikan Pohon

Kelapa yang Disadap Jumlah Responden %

Milik Sendiri 28 58

Sewa 8 17

Milik sendiri & sewa 12 25

Jumlah 48 100

Sumber : Diolah dari data primer (2015)

Tabel 4.8. Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula

Semut yang Menyewa Pohon Kelapa Berdasarkan Sistem

Sewa

Sistem Sewa Jumlah

Responden %

Membayar dengan uang tunai 1 5

Membayar dengan nira

kelapa 9 45

Membayar dengan gula

kelapa 9 45

Sistem gadai 1 5

Jumlah 20 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Page 13: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

45

Sesuai dengan arti kata Maro, penyewa harus berbagi nira hasil

sadapannya kepada pemilik pohon kelapa dengan selingan 5 hari. Artinya, 5

hari pertama untuk responden, 5 hari berikutnya untuk pemilik pohon dan

begitu seterusnya.

Sebelumnya, pada Tabel 4.5 dijelaskan bahwa terdapat 17 persen

responden yang menggunakan tenaga kerja non keluarga sehingga mereka

harus membayar tenaga kerjanya. Dalam kasus ini, semua responden tanpa

pengecualian, membayar tenaga kerjanya bukan dengan uang tunai melainkan

dengan sistem Maro.

Berbeda dengan sistem Maro, sistem sewa dengan menggunakan gula

kelapa mengharuskan penyewa membayar dengan 1 kg gula kelapa per pohon

per bulan. Sementara satu responden yang menggunakan sistem sewa

membayar uang tunai di Desa Rancamaya menjelaskan bahwa ia harus

membayar Rp. 100.000 per bulan untuk biaya sewa atau rata-rata Rp. 3.300 per

hari untuk berapapun nira yang didapat dalam sehari menderes.

Selanjutnya, satu responden lainnya dari desa Rancamaya menggunakan

sistem gadai untuk menambah niranya yaitu dengan memanfaatkan pohon

kelapa yang digadai oleh orang yang berhutang kepada responden. Dengan

demikian tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk tambahan nira

yang didapat.

Page 14: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

46

4.2.5. Kualitas Gula Semut

Gula semut yang dapat menembus pasar ekspor perlu terjamin mutunya

sehingga harus memenuhi standar kualitas tertentu. Salah satu standar kualitas

yang dipenuhi oleh para produsen gula semut (anggota Koperasi Nira Satria)

adalah produk organik. Kriteria organik yang diterapkan atau disyaratkan oleh

Koperasi Nira Satria adalah sebagai berikut:

1. Tidak boleh menggunakan bibit, pupuk, ramuan hama dan bahan

pengemas yang terbuat dari bahan kimia

2. Dapur produksi harus dijaga dari bahan-bahan kimia.

3. Laru (bahan penolong) tidak boleh menggunakan natrium bisulfat

atau bahan pengawet yang tidak jelas kandungannya

4. Tempat laru tidak boleh menggunakan kaleng bekas cat dll

5. Alat produksi harus higienis dan aman dari bahan kimia

6. Pongkor penyadap harus menggunakan pongkor bambu

7. Tungku produksi yang harus bercerobong keluar dinding

8. Diatas tungku tidak boleh ada para atau tempat kayu bakar

9. Dapur tidak boleh untuk tempat hewan ternak dan termasuk dapur

sehat berlantai keramik.

Hanya saja dari hasil observasi ditemukan beberapa responden dalam

penelitian ini masih mengabaikan kualitas dan kebersihan dapur produksi

seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Sebanyak 75 persen dapur responden

masih berupa dapur tradisional yang berlantai tanah. Bahkan pemandangan ini

Page 15: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

47

juga terlihat di dapur milik salah satu ketua kelompok tani yang seharusnya

dapat menjadi contoh bagi anggotanya.

Tidak hanya itu, entah secara sadar atau tidak, beberapa responden

produsen masih meletakkan kayu bakar atau diangin-anginkan tepat diatas

tungku tempat dimana gula semut diolah. Apabila terdapat kotoran yang

terbawa angin dan masuk ke wajan, tentu saja hal tersebut dapat merusak

kualitas kebersihan gula semut. Hal ini menggambarkan pentingnya

pendampingan yang terus menerus dalam jangka waktu panjang yang harus

dilakukan oleh koperasi, pemerintah atau kelembagaan terkait.

Berdasarkan jenis tungku, seperti yang disajikan dalam Gambar 4.2,

terlihat bahwa hampir 50 persen responden telah menggunakan tungku hemat

energi dan memiliki cerobong asap yang dipasang keluar dapur. Tungku

tersebut dikatakan hemat energi karena terbuat dari semen dan hanya memiliki

Dapur bersih berlantai keramik

4%

Dapur bersih berlantai

semen 21%

Dapur tradisional berlantai

tanah 75%

Gambar 4.1. Jenis Fasilitas Dapur Responden

Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Page 16: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

48

satu lubang untuk memasukkan kayu bakar sehingga panasnya terkonsentrasi

pada satu ruang. Cerobong asap yang digunakan pada umumnya terbuat dari

tanah liat atau seng.

4.3. Gambaran Struktur Produksi

4.3.1 Bahan baku dalam proses produksi gula semut

Untuk memproduksi gula semut, bahan baku (utama) yang dibutuhkan

oleh produsen skala rumah tangga ini adalah nira kelapa dan bahan penolong

berupa cangkang manggis, daun selatri dan kapur sirih sebagai bahan pengawet,

plastik untuk kemasan dan bahan bakar.

Seperti yang digambarkan pada Tabel 4.8, bahan baku nira diperoleh

responden tidak hanya dari pohonnya sendiri namun juga sewa. Penderes yang

menjadi responden dalam penelitian ini semua tanpa pengecualian

Tradisional tanpa cerobong

asap 31%

Tradisional dengan

cerobong asap 6% Hemat energi

tanpa cerobong asap 15%

Hemat energi dengan

cerobong asap 46%

Kompor masak 2%

Gambar 4.2. Jenis Tungku Produksi Responden

Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Page 17: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

49

menggunakan pongkor (wadah pengampung nira) yaang terbuat dari bambu.

Hal ini menjadi salah satu syarat produk organik gula semut yang mereka

produksi. Selain itu dalam pengadaan bahan baku, penderes melakukan dua kali

penyadapan yaitu pagi dan sore hari begitu juga dengan waktu produksi.

Biasanya penderes akan memulai kegiatannya pada pukul 6 pagi selama kurang

lebih 3 jam untuk mengambil nira hasil penyadapan sore hari sebelumnya dan

melakukan penyadapan untuk dikumpulkan pada sore hari sekitar pukul 3 sore

hingga pukul 6 sore atau maghrib.

Jumlah nira yang diperoleh produsen gula kelapa sangat dipengaruhi oleh

musim. Berdasarkan pengalaman para responden, saat musim hujan tiba,

mereka akan mendapatkan jumlah nira sampai dua kali lipat dibandingkan

dengan musim kemarau. Hal ini dikarenakan pada musim penghujan akar

tanaman kelapa tumbuh dengan pesat sehingga mengakibatkan jumlah nira

yang dihasilkan lebih banyak (Praditya, 2010). Oleh karena pengambilan data

ini dilakukan pada bulan November dengan musim penghujan yang rutin setiap

hari, maka rata-rata dalam sehari produsen memperoleh 4 liter nira per pohon.

Dengan jumlah pohon yang dimiliki para responden, rata-rata mereka mampu

menyadap sebanyak 88 liter nira per hari dengan nilai minimum 20 liter dan

maksimum 280 liter per hari seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Meskipun begitu, bukan berarti musim hujan adalah saat paling

menguntungkan bagi produsen sebab nira tersebut mengandung kadar air yang

lebih tinggi dan mengakibatkan rendahnya mutu atau kadar gula dalam nira.

Page 18: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

50

Dengan kondisi nira tersebut, tanggapan responden pada umumnya adalah

bahwa sangat kecil kemungkinannya nira dapat diolah menjadi gula semut atau

kuantitasnya menjadi lebih sedikit dibandingkan saat musim kemarau.

Tabel 4.9 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula

Semut Berdasarkan Jumlah Nira Per Liter Per Hari

Jumlah Nira

(L/Hari) Jumlah produsen %

20 - 60 14 29

61 - 100 20 42

101 - 141 10 21

142 - 182 2 4

183 - 223 1 2

224 - 263 0 0

264 - 304 1 2

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Jika sebelumnya telah dibahas nira sebagai bahan baku dari pembuatan

gula semut, selanjutnya untuk mencegah atau memperlambat agar nira tidak

cepat rusak (asam/berbuih), produsen perlu menambahkan bahan pengawet ke

dalam pongkor bambu berisi nira karena jika terjadi kerusakan pada nira, maka

pada saat pemasakan nira tidak akan dapat mengental secara baik dan

mengakibatkan gula semut yang dihasilkan menjadi berkurang mutunya.

Berdasarkan hasil survey, terdapat tiga jenis bahan pengawet yang

digunakan responden yaitu kapur sirih, cangkang manggis (Garcinia

mangostana L) dan daun selatri (Calophyllum soulattri). Masing-masing

Page 19: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

51

responden produsen memiliki kebiasaan penggunaan bahan pengawet yang

berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut

Berdasarkan Jenis Bahan Pengawet yang Digunakan

Jenis Bahan Penolong

dalam penderesan nira

Jumlah

Responden %

Kapur sirih 6 13

Kapur sirih dan cangkang manggis 22 46

Kapur sirih dan daun selatri 1 2

Cangkang manggis 11 23

Cangkang manggis dan daun selatri 5 10

Kapur sirih, cangkang manggis dan daun selatri 3 6

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Sebagian besar responden memperoleh bahan pengawet dengan membeli

pada sesama produsen yang memiliki pohon manggis ataupun daun selatri atau

juga yang disediakan oleh Koperasi Nira Satria. Sementara kapur sirih biasa

diperoleh dari pasar tradisional.

Dalam hal pengemasan gula semut, responden menggunakan plastik

ukuran 12 kg yang dibeli dari Koperasi Nira Satria seharga Rp.1000 per buah

untuk satu kali pemasaran (5 hari produksi). Dalam satu kali pemasaran

tersebut, rata-rata mereka hanya membutuhkan dua buah plastik.

Input lainnya yang dibutuhkan responden adalah bahan bakar berupa

kayu bakar dan serbuk kayu yang merupakan limbah dari usaha penggergajian

kayu yang di kenal dengan istilah serbuk gergaji. Berbeda dengan serbuk

gergaji yang hanya bisa dibeli dari pengusaha penggergajian kayu, untuk

Page 20: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

52

memperoleh kayu bakar responden dapat mencari di sekitar pekarangan atau

kebun mereka. Responden dengan volume produksi besar biasanya membeli

kayu bakar dengan kualitas baik seperti kayu jati, kayu sengon atau kayu jenis

kalbas agar lebih tahan lama untuk persediaan selama satu bulan. pada

umumnya kayu tersebut merupakan limbah atau sisa dari usaha penggergajian

kayu.

Tabel 4.11 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula

Semut Berdasarkan Jenis Bahan Bakar

Jenis Bahan Bakar Jumlah Responden %

Kayu bakar 35 73

Serbuk gergaji 13 27

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

4.3.2. Volume Produksi, Biaya Input, Nilai Tambah dan Biaya Tenaga

Kerja

4.3.2.1. Volume Produksi

Jumlah gula semut yang diproduksi responden di Kecamatan

Cilongok bervariasi antara 1 sampai 15 kg per hari, namun 77 persen

responden memproduksi 4-9 kg per hari dengan rata-rata 5,7 kg.

Jika dilihat berdasarkan status usaha responden produsen gula

semut seperti yang telah dibahas sebelumnya pada butir 4.2.3, ternyata

benar bahwa responden yang menjadikan gula semut sebagai pekerjaan

utama memiliki rata-rata volume produksi gula semut lebih besar

Page 21: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

53

dibandingkan dengan responden yang menjadikan gula semut sebagai

usaha sampingan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.13.

Tabel 4.12 Jumlah dan Persentase Responden Produsen

Gula Semut Berdasarkan Volume Gula Semut yang

Dihasilkan Per Hari

Volume produksi

gula semut per hari

(kg)

Jumlah produsen %

1 - 3 8 17

4 - 6 23 48

7 - 9 14 29

10 - 12 2 4

13 - 15 1 2

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Tabel 4.13 Rata-Rata Volume Produksi Gula Semut Per Hari

Berdasarkan Status Usaha

Status Usaha Jumlah

produsen %

Rata-rata

volume produksi

gula semut

(kg/hari)

Utama 45 94 5,7

Sampingan 3 6 5

Jumlah 48 100 5,7

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Selanjutnya pada Tabel 4.14, berdasarkan status kepemilikan pohon

kelapa yang disadap, responden yang menambah nira dengan menyewa

pohon kelapa menghasilkan rata-rata volume produksi tertinggi

dibandingkan dengan yang hanya menyadap pohon milik sendiri atau

sewa.

Page 22: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

54

Tabel 4.14 Rata-Rata Jumlah Pohon Kelapa yang Disadap dan Volume

Produksi Gula Semut Per Hari Berdasarkan Status Kepemilikan Pohon

Status kepemilikan

pohon kelapa yang

disadap

Jumlah

produsen %

Rata-rata

jumlah

pohon

kelapa

yang

disadap

Rata-rata

volume

produksi

gula semut

(kg/hari)

Milik sendiri 28 58 19 5,2

Sewa 8 17 23 5,6

Sewa dan milik sendiri 12 25 28 6,7

Jumlah 48 100 22 5,7

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

4.3.2.2. Biaya Input

Biaya input adalah nilai yang dikorbankan dalam proses produksi

yang terdiri dari biaya bahan baku, bahan penolong yang terdiri dari

bahan pengawet dan plastik untuk kemasan serta bahan bakar. Rata-rata

setiap responden gula semut mengeluarkan biaya input Rp. 22.191 per

hari atau Rp. 4.392 per kg seperti yang disajikan pada Tabel 4.15. Dari

keseluruhan biaya tersebut, biaya terbesar dihabiskan untuk membeli

kayu bakar atau serbuk gergaji sebagai bahan bakar. Jika dibandingkan

kayu bakar, sebenarnya biaya menggunakan serbuk gergaji jauh lebih

murah. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan kayu

bakar adalah Rp. 11.401 per hari sementara jika menggunakan serbuk

gergaji produsen hanya mengeluarkan biaya Rp. 8.808 per hari. Pada

pembahasan sebelumnya, terdapat 73 persen produsen lebih memilih

menggunakan kayu bakar dibandingkan serbuk gergaji. Namun biaya

Page 23: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

55

kayu bakar ini tidak secara nyata dikeluarkan produsen karena beberapa

responden dapat memperoleh kayu bakar dari kebunnya. Rata-rata

produsen yang menggunakan kayu bakar ini hanya untuk memasak nira,

sementara bahan bakar untuk memasak kebutuhan rumah tangga biasanya

menggunakan kompor minyak atau gas.

Selanjutnya biaya bahan baku nira menempati proporsi terbesar

kedua. Biaya ini tidak secara nyata dikeluarkan oleh responden karena

setidaknya terdapat 58 persen responden memiliki pohon kelapa sendiri.

Itulah mengapa di lokasi penelitian tidak mengenal adanya penetapan

harga nira kelapa.

Untuk mengukur harga satu liter nira digunakan biaya menyewa

pohon kelapa sebagai proxi dan diperoleh harga sebesar Rp. 113 per liter

nira. Ketika menyewa pohon kelapa, responden membayar 1 kg gula

semut untuk setiap pohon yang disewa setiap bulan dimana setiap 1 kg

gula semut setara dengan Rp 13.552. Oleh karena setiap pohon

menghasilkan 4 liter nira, maka dalam sebulan produsen memperoleh 120

liter nira per pohon. Sehingga jika Rp. 13.552 dibagi dengan 120 liter nira

diperoleh harga Rp. 113 per liter nira. Perlu diketahui berdasarkan

pernyataan responden, pada musim kemarau setiap 1 kg gula semut

dihasilkan dari 6 liter nira, namun musim hujan menyebabkan kuantitas

nira menjadi lebih banyak dari biasanya sementara kualitasnya buruk.

Maka berdasarkan penelitian lapangan, diketahui bahwa rata-rata setiap 1

Page 24: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

56

kg gula semut dihasilkan dari 16 liter nira. Dengan demikian biaya bahan

baku nira per kg gula semut adalah sebesar Rp. 1.828 per kg atau Rp.

9.935 per hari.

Tabel 4.15 Rata-Rata Biaya Input Responden Gula Semut

Kecamatan Cilongok Per Kg

Jenis Biaya Input Rata-Rata Jumlah

(Rp/Kg) %

Bahan Bakar 2.406 54,8

Bahan Baku Nira 1.828 41,6

Plastik 83 1,9

Bahan Pengawet 74 1,7

Jumlah 4.392 100,0

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Tabel 4.16 Rata-Rata Biaya Input Responden Gula Semut

Kecamatan Cilongok Per Hari

Jenis Biaya Input Rata-Rata Jumlah

(Rp/Hari) %

Bahan Bakar 11.392 51,3

Bahan Baku Nira 9.935 44,8

Plastik 472 2,1

Bahan Pengawet 392 1,8

Jumlah 22.191 100,0

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Biaya input selanjutnya adalah plastik berkapasitas 12 kg yang

dibeli sebesar Rp. 1.000 per buah. Sehingga responden mengeluarkan

biaya plastik sebesar Rp. 83 per kilogram. Jika dalam sehari rata-rata

Page 25: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

57

responden memproduksi 5,7 kg maka dalam sehari rata-rata responden

mengeluarkan biaya plastik sebesar Rp. 472

Biaya input terkecil yang dikeluarkan oleh produsen gula semut

adalah biaya bahan pengawet. Hal ini dikarenakan bahan pengawet yang

digunakan responden dalam sehari sangat kecil. Rata-rata responden

menggunakan kapur sirih hanya 0,05 kg per hari sementara cangkang

manggis hanya 0,03 kg per hari begitu juga daun selatri. Rata-rata harga

bahan pengawet di lokasi penelitian hampir seragam. Kapur sirih dan

daun selatri rata-rata dijual sebesar Rp. 3.000 per kilogram. Sementara

cangkang manggis dijual sebesar Rp. 12.000 sampai Rp. 15.000 per

kilogram.

Jika dilihat pada Tabel 4.17 berdasarkan volume produksinya,

semakin besar volume produksi (output) yang dihasilkan produsen,

semakin kecil biaya input yang dibutuhkan. Kondisi ini terjadi karena

volume produksi gula semut per hari tidak berpengaruh terhadap jumlah

dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan bakar dan bahan

pengawet. Artinya antara produsen yang memproduksi 5 kg/hari dengan

produsen yang memproduksi 15 kg/hari, keduanya sama-sama

mengeluarkan biaya bahan pengawet sebesar Rp. 3000/kg untuk satu

bulan pemakaian begitu juga dengan bahan bakar. Dengan demikian

ternyata responden dengan skala produksi rendah, lebih boros

dibandingkan dengan responden dengan skala produksi tinggi. Hal ini

Page 26: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

58

sesuai juga dengan penelitian Kameo (1999) dimana kondisi inefisien

terjadi bagi responden produsen skala kecil namun efisien bagi responden

produsen dengan skala besar.

Tabel 4.17 Biaya Input Responden Produsen Gula Semut

Kecamatan Cilongok Per Kg Gula Semut Per Hari Berdasarkan

Volume Produksi

Volume produksi

gula semut per

hari (kg)

Jumlah

produsen %

Rata-rata biaya

input (Rp/kg)

1 - 3 8 17 6.295

4 - 6 23 48 4.586

7 - 9 14 29 3.263

10 - 12 2 4 2.923

13 - 15 1 2 3.433

Jumlah 48 100 4.392

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

4.3.2.3. Nilai Tambah

Gula semut merupakan salah satu produk olahan nira kelapa buatan

industri rumah tangga yang berhasil di ekspor ke negara-negara di Eropa

dan Amerika. Pengenalan produk ini kepada para produsen yang awalnya

memproduksi gula kelapa diharapkan memberikan nilai tambah yang

positif. Secara definisi, nilai tambah adalah selisih antara nilai output dan

nilai input (belum termasuk biaya tenaga kerja). Dalam kasus ini, selisih

antara rata-rata nilai output yang diperoleh responden yaitu sebesar Rp

13.552 per kg gula semut dengan rata-rata nilai input per kilogram gula

semut Rp. 4.392 menghasilkan nilai tambah yang positif sebesar Rp.

9.160. Nilai tambah ini juga menggambarkan keuntungan kotor yang

Page 27: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

59

diterima produsen gula semut. Seperti yang digambarkan pada Tabel

4.18, semakin besar volume produksi, nilai tambah yang diperoleh juga

semakin besar. Selanjutnya, rata-rata rasio nilai tambah terhadap total

produksi sebesar 67,6 persen yang berarti bahwa setiap Rp 100 nilai

produk gula semut akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 67,6. Beberapa

produsen juga telah memberikan nilai tambah lain untuk gula semut

olahannya seperti yang dilakukan Pak Irwan wakil ketua kelompok tani

yang menambah rasa jahe pada gula semut dan dijual dengan harga Rp.

15.000 per kg.

4.3.2.4. Biaya Tenaga Kerja

Pada umumnya usaha gula kelapa dan gula semut di Kecamatan

Cilongok tidak terdapat biaya tenaga kerja yang secara nyata dikeluarkan

oleh produsen. Oleh sebab itu, biaya tenaga kerja dalam penelitian ini

Tabel 4.18 Rata-Rata Biaya Input, Nilai Tambah dan Rasio Nilai

Tambah Responden Produsen Gula Semut Berdasarkan Volume

Produksi

Volume

produksi gula

semut per

hari (kg)

Jumlah

produsen %

Rata-rata

biaya input

(Rp/kg)

Nilai

tambah

(Rp/kg)

Rasio

nilai

tambah

(%)

1 - 3 8 17 6.295 7.079 53,1

4 - 6 23 48 4.586 8.935 66,1

7 - 9 14 29 3.263 10.451 76,2

10 - 12 2 4 2.923 10.576 78,4

13 - 15 1 2 3.433 10.067 74,6

Jumlah 48 100 4.392 9.160 67,6

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Page 28: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

60

menggunakan tingkat upah tenaga kerja penyortir di Koperasi Nira Satria

sebagai proxi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu key

informan yaitu Pak Zainal sebagai Manager Koperasi Nira Satria, upah

tenaga kerja penyortir gula semut di koperasi adalah sebesar Rp. 500 per

kg atau Rp. 1.000 per kg karena dengan dua orang tenaga kerja. Jika

dalam sehari atau selama 8 jam kerja penyortir mampu menyortir 55 kg

gula semut setiap harinya artinya penyortir memperoleh upah Rp. 27.500

per hari. Jika dalam satu rumah tangga terdiri dari dua tenaga kerja, maka

biaya tenaga kerja dihitung sebesar Rp. 55.000 per hari. Biaya inilah yang

tidak diperhitungkan oleh responden sebagai biaya tenaga kerja mereka.

Berdasarkan Tabel 4.19 jika biaya tenaga kerja diperhitungkan,

maka rata-rata bagian tenaga kerja atau pangsa tenaga kerja dari nilai

tambah yang diperoleh responden adalah sebesar 218,5 persen. Hal ini

dikarenakan responden menerima nilai tambah yang lebih kecil dibanding

biaya yang „seharusnya‟ ia terima sebagai biaya atas tenaga kerjanya.

Pada Tabel 4.19 semakin besar volume produksi, pangsa tenaga kerja

akan semakin kecil. Artinya semakin besar pula nilai yang akan diperoleh

responden setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja.

Page 29: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

61

Tabel 4.19. Pangsa Tenaga Kerja Responden Produsen Gula Semut

Berdasarkan Volume Produksi Gula Semut Per Hari

Volume

produksi gula

semut per hari

(kg)

Jumlah

produsen %

Pangsa tenaga kerja

(%)

1 - 3 8 17 717,5

4 - 6 23 48 157,6

7 - 9 14 29 70,4

10 - 12 2 4 52

13 - 15 1 2 36

Jumlah 48 100 218,5

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

4.3.3. Analisis Break Event Point (BEP)

Analisis BEP merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui

kondisi impas suatu usaha yang telah dilaksanakan. Untuk menghitung BEP

perlu dibedakan antara biaya tetap atau Fixed Cost (FC) dan biaya variabel atau

Variable Cost (VC). Biaya tetap dalam penelitian ini adalah biaya penyusutan

peralatan dalam industri gula semut antara lain sebagai berikut:

a. Saringan

Yaitu alat terbuat dari seng yang berfungsi untuk menyaring nira yang

dituang dari pongkor ke dalam wajan agar nira yang dihasilkan bersih

dari kotoran dan bermutu baik.

b. Wajan

Yaitu alat yang terbuat dari aluminium atau besi untuk memasak nira

yang telah disaring hingga menjadi serbuk. Biasanya wajan digunakan

Page 30: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

62

selama 2-6 jam per hari. Wajan yang terbuat dari besi lebih mahal dan

lebih tahan lama dibanding yang terbuat dari aluminium.

c. Ayakan

Yaitu alat yang digunakan untuk mengayak atau menyortir gula semut

yang telah dimasak.

d. Soled

Yaitu alat untuk menyortir gula semut terbuat dari plastik berbentuk

pipih.

e. Alat penggerus gula semut

Yaitu alat untuk menghaluskan gula semut panas yang baru saja dimasak.

Alat ini terbuat dari batok kelapa yang didesain khusus untuk

memudahkan produsen menggerus gula semut.

Sementara biaya variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua skenario.

Skenario pertama diantaranya meliputi biaya bahan baku, bahan pengawet,

plastik dan bahan bakar. Sedangkan skenario kedua meliputi seluruh biaya

variabel ditambah dengan biaya tenaga kerja.

Dengan menggunakan metode garis lurus, biaya penyusutan dalam

sebulan diperoleh sebesar Rp. 41.083 atau Rp 1.369 per hari atau Rp.240 per

kg. Selanjutnya biaya variabel pada skenario 1 yaitu dengan biaya tenaga kerja

sebesar Rp. 1.000 per kg diperoleh rata-rata biaya variabel sebesar Rp. 835.620

per bulan atau Rp. 27.854 per hari atau Rp. 5.392 per kg. Sedangkan biaya

variabel pada skenario 2 yaitu tanpa biaya tenaga kerja diperoleh rata-rata biaya

Page 31: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

63

variabel sebesar Rp. 665.683 per bulan atau Rp. 22.189 per hari atau Rp. 4.392

per kg.

Tabel 4.20 Break Even Point (BEP) Atas Dasar Unit dan Atas Dasar Rupiah

Responden Industri Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas

Berdasarkan Volume Produksi Per Hari Tanpa Biaya Tenaga Kerja

Volume

produksi

gula

semut

per hari

(kg)

Jumlah

produsen % BEP (kg)

Penerimaan

(Rp/hari) BEP (Rp)

1 - 3 8 17 8,2 31.625 112.031

4 - 6 23 48 5,2 65.304 75.230

7 - 9 14 29 4 104.667 54.294

10 - 12 2 4 4 135.000 52.432

13 - 15 1 2 4 202.500 55.089

Jumlah 48 100 5,4 76.934 73.888

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Nilai BEP atas dasar unit menunjukkan seberapa besar minimal produksi

yang harus dicapai responden dalam satu hari agar terhindar dari kerugian atau

telah mampu menutup semua biaya, baik biaya tetap maupun biaya variabel.

Berdasarkan Tabel 4.20 dapat diketahui bahwa jika BEP dihitung tanpa biaya

tenaga kerja, rata-rata kondisi impas terjadi pada produksi 5,4 kg atau Rp.

73.888 per hari sedangkan rata-rata responden telah memproduksi sebesar 5,7

kg per hari. Dengan demikian jumlah produksi tersebut telah melampaui titik

impas dan menghasilkan keuntungan.

Page 32: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

64

Tabel 4.21 Break Even Point (BEP) Atas Dasar Unit dan Atas Dasar Rupiah

Responden Industri Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas

Berdasarkan Volume Produksi Per Hari Dengan Biaya Tenaga Kerja

Volume

produksi gula

semut per

hari (kg)

Juml

ah

prod

usen

% BEP (kg) Penerimaan

(Rp/hari) BEP (Rp)

1 - 3 8 17 15,8 31.625 216.976

4 - 6 23 48 8,5 65.304 112.425

7 - 9 14 29 4,4 104.667 60.142

10 - 12 2 4 4 135.000 57.907

13 - 15 1 2 5 202.500 61.165

Jumlah 48 100 8,2 76.934 111.261

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Sementara itu, berdasarkan Tabel 4.21 jika BEP dihitung menggunakan

skenario dua yaitu dengan biaya tenaga kerja sebesar Rp. 1.000 per kg, dapat

diketahui bahwa responden dengan rata-rata produksi 5,7 kg belum mencapai

titik impas sebesar 8,2 kg sehingga masih mengalami kerugian. Ini terjadi

karena bagian dari penghasilan penjualan (marjin kontribusi) yang tersedia

untuk menutup biaya tetap tidak cukup untuk menutup biaya tetapnya atau

lebih kecil dari biaya tetapnya. Namun jika dilihat berdasarkan volume

produksi, sebanyak 35 persen responden dengan volume produksi 7-15 kg telah

mencapai titik impasnya.

4.3.4. Keuntungan

Seperti analisis BEP sebelumnya, keuntungan bersih dalam penelitian ini

juga dihitung dengan dua skenario yaitu hasil dari nilai tambah dikurangi biaya

penyusutan dengan biaya tenaga kerja dan tanpa biaya tenaga kerja.

Page 33: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

65

Berdasarkan Tabel 4.22, dapat diketahui bahwa jika keuntungan dihitung

tanpa biaya tenaga kerja, responden secara keseluruhan akan memperoleh

keuntungan. Rata-rata keuntungan yang diperoleh responden adalah sebesar Rp.

8.851 per kg atau 65,3 persen dari nilai tambah. Semakin besar volume

produksi, maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh responden.

Tabel 4.22. Keuntungan Bersih dan Tingkat Keuntungan Responden Produsen

Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Berdasarkan Volume

Produksi Gula Semut Per Hari Tanpa Biaya Tenaga Kerja

Volume

produksi gula

semut per

hari (kg)

Jumlah

produsen %

Keuntungan

bersih

(Rp/kg)

Tingkat keuntungan

(%)

1 - 3 8 17 6.423 48,2

4 - 6 23 48 8.646 64

7 - 9 14 29 10.270 75

10 - 12 2 4 10.439 77,4

13 - 15 1 2 9.976 74

Jumlah 48 100 8.851 65,3

Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)

Dengan skenario ini, rata-rata keuntungan yang diperoleh responden

dalam sehari adalah Rp. 53.734 atau Rp. 1.601.220 per bulan. Sedangkan

berdasarkan pada Tabel 4.23, jika keuntungan dihitung dengan biaya tenaga

kerja, rata-rata responden akan mengalami kerugian sebesar Rp. 3.520 per kg.

Namun ternyata jika dilihat berdasarkan volume produksi, sebanyak 37 persen

responden yang memproduksi lebih dari 6 kg akan memperoleh keuntungan.

Dengan menggunakan skenario ini, rata-rata kerugian yang diperoleh responden

dalam sehari adalah Rp. 1.626 atau Rp. 48.780 per bulan.

Page 34: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

66

Tabel 4.23. Keuntungan Bersih dan Tingkat Keuntungan Responden

Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas

Berdasarkan Volume Produksi Gula Semut Per Hari Dengan Biaya

Tenaga Kerja

Volume

produksi gula

semut per

hari (kg)

Jumlah

produsen %

Keuntungan

bersih

(Rp/kg)

Tingkat

keuntungan

(%)

1 - 3 8 17 -19.930 -147

4 - 6 23 48 -2.951 -22

7 - 9 14 29 3.010 22

10 - 12 2 4 4.939 36,6

13 - 15 1 2 6.309 46,7

Jumlah 48 100 -3.520 -26,2

Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)

4.3.5. Eksploitasi Diri

Berdasarkan analisis sebelumnya dapat diketahui bahwa responden

memperoleh keuntungan jika biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan.

Sedangkan jika biaya tenaga kerja diperhitungkan, maka rata-rata responden

masih mengalami kerugian. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya

responden belum benar-benar sejahtera secara ekonomi karena keuntungan

yang dirasakan selama ini belum memperhitungkan biaya tenaganya atau

dengan kata lain mengeksploitasi dirinya sendiri. Sebab tantangan dan resiko

yang ditanggung oleh para suami-suami penderes bahkan istri-istri pengolah

seakan-akan mengharuskan mereka menjadi manusia super dan mereka

sebenarnya tidak selalu siap untuk peran itu. “Rp. 14.000 masih rugi kalau gula

semut, dengan proses yang seperti itu,” ungkap Bu Yuliyah Ketua Kelompok

Tani Desa Sokawera. Saat musim hujan tiba misalnya, mereka sering merasa

Page 35: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

67

cemas terutama para istri. Tidak hanya cemas karena mereka akan menghadapi

krisis nira dan pendapatan mereka yang juga ikut berkurang tapi juga karena

para istri harus mempertaruhkan nyawa suami mereka saat menderes nira.

Terlebih jika hujan petir. Tidak heran jika responden mengatakan bahwa

banyak terjadi kasus kematian tersambar petir di desa mereka. Resiko semacam

itu tidak hanya membebani mereka pada proses penderesan, namun juga pada

proses pemasakan yang masih menggunakan alat tradisional ditambah tanpa

menggunakan pelindung. Salah satu penderes di desa Gunung Lurah misalnya

saat diwawancarai di rumahnya, betis kanannya terbalut perban karena tersulut

kayu bakar panas dan mengakibatkan produksinya terhenti karena ia tidak bisa

menderes.

4.4. Sistem Distribusi dan Pemasaran

4.4.1. Pola Saluran Distribusi

Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan

untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan

mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada

pembeli. Sementara distribusi merupakan bagian inti dari kegiatan pemasaran,

sebab jika barang tidak didistribusikan dengan cara yang tepat, penjualan

produk tidak akan sesuai dengan yang diharapkan khususnya untuk produk

pertanian. Untuk itu, diperlukan lembaga pemasaran sebagai perantara antara

produsen dan konsumen.

Page 36: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

68

Dalam penelitian ini, lembaga pemasaran yang terlibat antara lain

pengepul, kelompok tani, koperasi dan eksportir. Berdasarkan wawancara

dengan para responden, setidaknya terdapat 3 pola saluran distribusi yang

digambarkan dalam gambar 4.3 dibawah ini.

Pada pola saluran 1, kehadiran ketua kelompok tani dianggap seperti

pengepul sekaligus kaki tangan atau perantara antara responden anggota

koperasi dan Koperasi Nira Satria sehingga ia tidak mendapat keuntungan dari

setiap kilogram gula semut. Dengan adanya ketua kelompok tani di masing-

masing desa, responden tidak perlu jauh-jauh membawa gula semutnya ke

koperasi dan koperasi juga tidak perlu mengunjungi responden satu persatu

untuk mengangkut gula semut. Setiap 5 hari sekali, responden hanya perlu

berjalan kaki menuju rumah ketua kelompok tani di wilayahnya. Setelah itu

koperasi akan mengangkut gula semut dari ketua kelompok tani menggunakan

Produsen

Ketua

Kelompok

tani

Koperasi Eksportir

Pengepul

Konsumen/

Pasar

domestik

Konsumen

/Pasar luar

negeri

1

2

I 3

I

Gambar 4.3. Diagram Pola Saluran Distribusi Gula Semut Kecamatan Cilongok

Sumber: Data primer (2015)

Page 37: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

69

mobil jenis pick up untuk diberi perlakuan khusus dengan mesin pengering

berupa oven dan disortir sebelum akhirnya dikirim ke eksportir.

Namun sebagai lembaga pemasaran baru, Pak Zainal tidak mengelak

adanya persaingan atau „rebutan‟ barang antara koperasi dengan para „pemain

lama‟ yaitu para pengepul. Hubungan sosial antara pengepul dan produsen yang

terlanjur erat ini membuat koperasi tidak dapat berkutik menguasai pasar.

Seperti yang digambarkan pada pola saluran 2, ketua kelompok tani tidak serta

merta dapat menguasai produsen anggota koperasi yang telah lebih dulu

menjual gulanya kepada pengepul. Ketua kelompok tani Desa Kasegeran yaitu

Pak Yitno mengatakan para pengepul mengambil keuntungan sebesar Rp. 500

per kg. Selain itu, pengepul pada pola saluran 3 adalah pengepul yang memiliki

channel atau pelanggan domestik tertentu sehingga ia dapat menjual gula

semutnya dengan harga yang lebih mahal setelah ia mengemas atau

menyortirnya terlebih dahulu. Pengepul pada saluran ini sering menjadi

ancaman berkurangnya pasokan yang masuk ke Koperasi Nira Satria karena ia

membeli gula semut produsen dengan harga yang lebih tinggi dibanding

koperasi. Hal tersebut dikarenakan pengepul tidak memberikan berbagai

pelayanan atau jaminan seperti yang dilakukan Koperasi Nira Satria.

Berdasarkan analisis pola saluran distribusi diatas, ternyata masih

terdapat responden yang tidak langsung menjual gula semutnya kepada

Koperasi Nira Satria seperti yang tercantum pada Tabel 4.24. Hal ini senada

Page 38: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

70

dengan pernyataan Pak Zainal bahwa terdapat sekitar 30% produsen anggota

koperasi yang tidak memasok gula semutnya ke Koperasi Nira Satria.

Tabel 4.24 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula

Semut Berdasarkan Lembaga Pemasaran yang digunakan

Lembaga Pemasaran yang digunakan Jumlah

Produsen %

Koperasi melalui ketua kelompok tani 29 60

Koperasi dan pengepul 12 25

Pengepul 7 15

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

4.4.2. Margin Pemasaran dan Farmer’s Share

Marjin pemasaran adalah selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran.

Analisis ini digunakan untuk mengetahui distribusi margin pada tiap tingkat

lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem pemasaran seperti yang

digambarkan pada Gambar 4.3. Namun penelitian ini hanya menganalisis pola

saluran 1 sebagai pola saluran yang paling banyak diikuti oleh responden

sebagai anggota koperasi.

Tabel 4.23. Margin Pemasaran Berdasarkan Lembaga Pemasaran

Macam

Lembaga

Pemasaran

Harga beli Harga jual Marjin

pemasaran

Marjin

pemasaran

(%)

Produsen - Rp 13.500 - -

Koperasi Rp 13.500 Rp 22.500 Rp 8.948 40

Eksportir Rp 22.500 Rp 60.000* Rp 37.500 63

Total marjin Rp 46.448 102 Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)

Page 39: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

71

*) berdasarkan keterangan key informan pengurus Koperasi Nira Satria Bapak Zainal Abidin (2015)

harga jual di tingkat eksportir adalah 4 euro atau setara dengan Rp.60.000 dengan kurs euro pada

Bulan Desember 2015 terhadap rupiah sebesar Rp.15.000.

Berdasarkan informasi Tabel 4.25 dapat dilihat bahwa dibandingkan

koperasi, margin pemasaran pada tingkat eksportir menjadi lebih besar yaitu 63

persen. Hal ini menyebabkan bagian yang diterima responden menjadi rendah.

Bagian yang diterima responden (Farmer share) dapat diketahui dengan

membandingkan antara harga jual per kilogram di tingkat produsen Rp. 13.552

dengan harga jual ditingkat konsumen yaitu Rp. 60.000. Hasilnya, pada pola

saluran distribusi ini responden mendapatkan share atau bagian sebesar 22,6

persen. Hal ini disebabkan karena lembaga pemasaran memiliki wewenangnya

sendiri dalam mengambil keuntungan. Terlebih setiap lembaga memiliki

perbedaan jangkauan, biaya yang kemudian menyebabkan keuntungan yang

diperoleh masing-masing lembaga berbeda. Dalam pemasaran gula semut,

koperasi dan eksportir tentu saja memerlukan biaya-biaya pemasaran. Di

tingkat koperasi misalnya dibutuhkan biaya transportasi, biaya bongkar muat,

pajak, biaya pengiriman, sertifikasi, dokumen-dokumen (administrasi). Hal

serupa juga tentu dialami oleh eksportir. Dengan berbedanya biaya yang

dikeluarkan lembaga pemasaran yang dipengaruhi juga oleh jarak pemasaran,

maka keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga tentu berbeda-beda.

Namun, karena adanya keterbatasan waktu dan jangkauan peneliti, maka dalam

Page 40: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

72

penelitian ini tidak dapat dilakukan analisis biaya pemasaran dan keuntungan

yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran.

Dari segi efisiensi dengan mengacu pada Agustono (Utomo, 2008), pola

saluran distribusi ini dikatakan masih belum efisien sebab nilai Farmer’s share

sebesar 22,6 persen masih kurang dari 50 persen serta nilai marjin pemasaran

yang lebih dari 50 persen.

Berdasarkan Tabel 4.26, jika dibandingkan dengan temuan Astuti et al

(2007) dan Utomo (2008), terdapat perbedaan pola saluran distribusi pemasaran

setelah gula kelapa berkembang menjadi gula semut. Perbedaan tersebut terlihat

pada jenis lembaga pemasaran, target pasar, marjin pemasaran, dan farmer’s

share.

Tabel 4.26. Temuan Perbedaan Pola Saluran Distribusi Pemasaran

dengan Penelitian Sebelumnya

Kriteria Astuti W et

al (2007) Utomo (2008) Peneliti (2016)

Lembaga

pemasaran

Pengumpul

dan pedagang

besar

Pengumpul,

pedagang

pengecer,

pedagang besar

Koperasi,

eksportir

Target pasar Lokal Lokal Lokal dan

Mancanegara

(Korea selatan,

Jepang, Eropa,

Amerika Serikat)

Farmer’s share 81,08% 86,7% 22,6%

Marjin pemasaran 49,6% 13,3% 103%

Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)

Page 41: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

73

Dalam Tabel 4.26, dapat diketahui bahwa gula semut memiliki margin

pemasaran tertinggi dengan farmer’s share yang paling kecil dibandingkan gula

kelapa cetak pada penelitian sebelumnya. Menurut Rahim dalam Utomo (2008)

faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran adalah volume penjualan,

harga di tingkat produsen dan lembaga pemasaran yang dilalui. Sementara

farmer’s share dalam penelitian ini dipengaruhi oleh harga di tingkat produsen

dan di tingkat konsumen. Sehingga perbedaan ini diakibatkan karena skala

pemasaran gula semut yang telah mencapai ekspor, sehingga lembaga

pemasaran yang dilalui juga membutuhkan biaya yang lebih besar yang

kemudian berpengaruh pada tingginya harga di tingkat konsumen.

4.4.3. Harga Keadilan

Tokoh ekonomi, Adam Smith mengajarkan bahwa dalam pertukaran

dagang diperlukan adanya keadilan (fairness). Artinya harga yang digunakan

haruslah yang menggambarkan keadilan dimana jika suatu barang dijual dan

dibeli, harga tersebut memiliki kedudukan yang setara dan seimbang antara

produsen dan konsumen atau dengan kata lain apa yang diperoleh adalah sesuai

dengan apa yang dikeluarkan. Produsen dalam bentuk harga yang diterima dan

konsumen dalam bentuk barang yang diperolehnya (50:50). Itulah kondisi

pertukaran dagang yang adil (http://nui-

duniamahasiswa.blogspot.co.id/2012/11/teori-keadilan-adam-smith_9.html)

Berdasarkan pembahasan pada butir 4.3.2.4 telah dijelaskan bahwa meski

telah memperoleh keuntungan dari industri ini namun keuntungan yang

Page 42: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

74

diterima produsen tidaklah sebanding dengan korbanan yang dikeluarkan. “Rp.

14.000 masih rugi kalau gula semut, dengan proses yang seperti itu,” ungkap

Bu Yuliyah Ketua Kelompok Tani Desa Sokawera. Oleh karena itu, harga

dalam industri ini belum menggambarkan harga keadilan seperti yang dikatakan

oleh Adam Smith dalam teorinya.

4.5. Bentuk dan Peran Kelembagaan Ekonomi

Terbentuknya sebuah lembaga di pedesaan sama dengan mewujudkan harapan

masyarakatnya. Menurut Roland Bunch (Rintuh dan Miar, 2005) lembaga dianggap

paling dapat memecahkan masalah pedesaan baik itu lembaga di sektor publik,

swasta, maupun lembaga masyarakat. Kondisi tersebut juga terjadi di Kecamatan

Cilongok dimana dalam penelitian ini ditemukan berbagai lembaga yang berperan

dalam membangun ekonomi rumah tangga gula semut seperti pemerintah, lembaga

swadaya masyarakat, lembaga penelitian dari perguruan tinggi. Namun penelitian ini

hanya fokus pada peran kelembagaan swasta yang menjadi penggerak

diperkenalkannya gula semut ke mancanegara yaitu Koperasi Nira Satria.

4.5.1. Lahirnya Kelembagaan

Alasan lahirnya kelembagaan di dalam perkumpulan orang pada dasarnya

adalah karena adanya kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing

individu dalam kelompok tersebut yang kemudian diwujudkan secara

bekerjasama. Seperti yang terjadi pada saat membentuk koperasi Nira Satria,

mereka berkumpul dengan satu tujuan/tekad yang sederhana namun bermakna

besar dari para pendiri yaitu „untuk pendapatan petani yang lebih baik‟. Namun

Page 43: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

75

ternyata pendiri tetap mengaku sulit untuk meyakinkan tujuannya tersebut

kepada para produsen. Menurut Pak Irwan wakil ketua kelompok tani Desa

Rancamaya, hal ini dikarenakan para produsen di beberapa desa pernah

memiliki kenangan yang buruk perihal koperasi simpan pinjam yang pernah

„mandeg‟ yang membuat produsen semakin tidak percaya dengan koperasi.

Oleh sebab itu Koperasi Nira Satria perlu menetralisir hal tersebut terlebih

dahulu dengan memberikan kejelasan tentang pengelolaan koperasi. Koperasi

memulai dengan melakukan pendekatan dan live in di rumah-rumah produsen

untuk memberikan perkenalan dan pelatihan tentang gula semut. Namun dalam

perjalanannya, tidak sedikit penolakan dan demonstrasi yang mereka dapatkan.

Akhirnya sejak resmi berdiri tahun 2011, saat ini Koperasi Nira Satria telah

memiliki 1072 anggota.

4.5.2. Aktivitas Koperasi

Koperasi Nira Satria memiliki beberapa aktivitas diantaranya pemasaran,

simpan pinjam dan asuransi komunitas. Untuk aktivitas pemasaran, koperasi

telah berhasil menembus pasar ekspor Eropa dan Amerika. Hal ini dapat

terwujud karena proses produksi hingga perdagangan dijalankan secara organik

dengan menjalankan prosedur penjaminan mutu yang telah disepakati bersama.

Penjaminan mutu tersebut dilembagakan dalam ICS (Internal Control System)

”Nira Mas”. Pada tahun 2009, produk petani yang tergabung dalam ICS Nira

Mas didaftarkan ke lembaga sertifikasi organik Control Union Sertification.

Page 44: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

76

Akhirnya dengan sertifikasi tersebut produk koperasi dapat menembus pasar

Eropa dan Amerika.

Selebihnya, koperasi Nira Satria menjalankan aktivitas seperti koperasi

pada umumnya yaitu membuat program Simpanan Masa Depan (SIMAPAN)

dan Asuransi Komunitas (ASKOM). Aturan mainnya adalah harga setiap

kilogram gula semut yang dijual kepada koperasi akan dipotong sebesar

Rp.500. Dalam hal ini, koperasi juga memiliki catatan sejenis laporan atau

ibarat rapor kinerja berapa kilogram yang dihasilkan produsen A, B sampai Z

dan berapa rupiah yang tersimpan untuk masing-masing produsen di koperasi.

Selain potongan harga jual, setiap tahun anggota koperasi juga wajib membayar

iuran tahunan sebesar Rp. 100.000. Uang-uang ini nantinya akan dikumpulkan

untuk memenuhi kebutuhan peralatan memasak nira atau mewujudkan cita-cita

koperasi saat ini yaitu mewujudkan dapur bersih (berlantai keramik) bagi

semua produsen. Dapur bersih ini menjadi penting karena termasuk standar

mutu produksi gula semut. Selain itu, koperasi juga memberikan asuransi bagi

para produsen yang mengalami kecelakaan kerja misalnya tersambar petir saat

memanjat pohon kelapa atau setidaknya terjatuh karena pohon yang licin.

Namun tidak semua produsen mengetahui dan ingin direpotkan untuk

memikirkan aturan main ini. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang

beragam mengenai berapa potongan harga jual yang dikenakan. Ada yang

mengatakan Rp. 1.000 ada juga yang tidak tahu. Tanggapan umumnya adalah

“biar orang koperasi saja yang urus, yang penting saya produksi dan terima

Page 45: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

77

uang.” Berdasarkan data survei di lapangan yang ditunjukkan pada Gambar 4.4,

persentase jumlah produsen yang tidak mengetahui peraturan koperasi dan

pengurus koperasi lebih banyak dibandingkan persentase jumlah produsen yang

tidak mengetahui keuntungan menjadi anggota koperasi. Pengetahuan terhadap

peraturan ini misalnya seperti potongan pada harga jual, pembagian Sisa Hasil

Usaha (SHU) dan peraturan keorganikan untuk penjaminan mutu seperti yang

telah dijelaskan pada Bab dua.

Namun demikian, melihat Gambar 4.4, tidak bisa juga dikatakan bahwa

produsen apatis terhadap hal-hal teknis koperasi karena mereka juga pernah

mengikuti kegiatan yang diadakan koperasi melalui kelompok tani yaitu

pertemuan evaluasi kebersihan dan keorganikan. Selain itu, semua produsen

hampir tanpa pengecualian juga pernah mengikuti pelatihan cara memasak

sekaligus sosialisasi mengenai standard sertifikasi di awal usaha mereka.

Sehingga jika mereka tidak mengetahui peraturan koperasi, bisa jadi

disebabkan karena mereka tidak mengikuti kegiatan ini secara rutin akibatnya

mereka tidak memperbarui informasi atau perkembangan yang ada.

Page 46: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

78

4.5.3. Struktur Kelembagaan

Untuk menjalankan berbagai aktivitasnya sebagai sebuah lembaga,

koperasi tentunya akan membagi tugas dengan para fungsionaris dengan

membuat struktur kelembagaan yang memiliki fungsi masing-masing untuk

mencapai tujuan bersama yang telah disepakati. Struktur dalam suatu

kelembagaan sangat penting karena ia menyediakan kejelasan bagian-bagian

pekerjaan dalam aktifitas kelembagaan, keterkaitan antara fungsi-fungsi dalam

susunan kelembagaan, serta hubungannya dengan lingkungan sekitar.

Struktur kelembagaan koperasi Nira Satria memiliki 3 unit. Dua unit

mengurus urusan eksternal dan 1 unit mengurus urusan internal. Bagian tersulit

dan terpenting dalam koperasi ini adalah bagian quality control dimana

koperasi memperketat penyortiran untuk mencegah kotoran ataupun benda lain

Peraturan Pengurus Keuntungan

menjadi anggota

58 65

90

42 35

10

Gambar 4.4. Grafik Persentase Pengetahuan Anggota

Koperasi Terhadap Peraturan, Pengurus dan

Keuntungan dari Koperasi

Tahu Tidak tahu

Sumber : Diolah dari data primer (2015)

Page 47: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

79

seperti semut misalnya karena jika hal ini terlewat, koperasi harus membayar

ganti rugi sampai Rp 200 juta.

Setelah melalui proses sortir, kemudian gula semut dikeringkan dengan

mesin pemanas lalu dikemas dalam plastik 10 kg untuk kemudian di ekspor.

Setelah sampai di negara tujuan, gula semut dari Koperasi Nira Satria diolah

kembali dengan ditambah bahan lain seperti kacang hijau, cokelat dan lainnya.

Struktur kelembagaan Koperasi Nira Satria digambarkan dalam Gambar 4.5.

Unit Pelayanan

Anggota

Unit Pengembangan

Koperasi

Staff

Kasir

Unit Usaha

Gula Kelapa

RAT

Rapat Anggota Tahunan

Ketua Umum

Sekretaris

Bendahara

Pemasaran

Produksi

Quality

Control

Simpan pinjam

Asuransi komunitas

Pendidikan &

Pelatihan

Ternak & pembibitan

Saprodi pertanian

Gambar 4.5. Struktur Kelembagaan Koperasi Nira Satria

Page 48: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

80

Tidak hanya bersama-sama membenahi Koperasi Nira Satria sebagai

sebuah lembaga yang hidup seperti sekarang dengan omset 2 Miliar per bulan,

beberapa pelopor berdirinya Koperasi Nira Satria juga saat itu mulai

membentuk organisasi kelompok tani di desanya masing-masing sebagai unit

dari koperasi. Pada umumnya struktur kelembagaan yang dibentuk terdiri dari

struktur inti yaitu ketua, sekertaris dan bendahara. Ada juga yang memiliki

wakil ketua. Salah satu lokasi penelitian yaitu Desa Sokawera memiliki struktur

kelembagaan kelompok tani dengan bidang permodalan, pemasaran, hubungan

anggota dan kontrol kualitas. Struktur organisasi yang dibentuk oleh masing-

masing kelompok tani pada dasarnya menyesuaikan dengan kebutuhan yang

dirasakan oleh kelompok tani tersebut. Namun secara umum setiap kelompok

tani memiliki bidang serupa khususnya bidang kontrol kualitas. Seperti yang

dijelaskan sebelumnya bahwa kualitas merupakan hal terpenting untuk

menjamin mutu gula semut.

4.5.4. Kendala dan Tantangan

Dalam mengurus seluruh aktivitas koperasi, tentulah tidak terlepas dari

kendala dan tantangan. Hal pertama yang tidak dapat dihindari adalah koperasi

tidak bisa memastikan bahwa akan ada pasokan gula semut dengan kuantitas

yang sama setiap hari. Selain karena adanya persaingan dengan „pemain lama‟,

musim hujan juga memberikan kerugian bagi para produsen. Bagi para petani

sayuran seperti kol, brokoli, wortel, dan tomat musim hujan memberikan

keuntungan, namun tidak bagi penderes nira kelapa. Kualitasnya yang buruk,

Page 49: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

81

membuat para produsen hanya bisa memproduksi gula kelapa cetak yang

harganya jauh lebih murah dibanding gula semut. Hal ini juga berakibat tidak

adanya pasokan bahan baku untuk koperasi.

Menyadari bahwa nasib 1072 anggotanya tergantung pada kekuatan

koperasi, menurut para pengurus Koperasi Nira Satria dan kelompok tani sejak

mereka mendirikan koperasi, masih banyak janji-janji yang belum mampu

dikabulkan kepada anggota terutama dalam hal harga yang adil. Selain itu cita-

cita utama koperasi saat ini yaitu menerapkan dapur sehat di semua dapur

produsen juga sangat sulit terwujud. Hal ini terjadi bukan karena kurangnya

kesadaran produsen melainkan karena ketidakmampuan mereka dalam hal

biaya. Bahkan koperasi sebagai sebuah lembaga tidak mampu membantu

banyak selain lewat program koperasi yaitu Simpanan Masa Depan

(SIMAPAN) yang mereka yakini melalui program tersebut semua dapur akan

masuk ke dalam kriteria dapur sehat secara bertahap. Hal inilah yang terkadang

juga menjadi tantangan bagi para pengurus koperasi dan kelompok tani untuk

mengajak semua penderes bergabung dengan koperasi.

Tantangan lain yang dihadapi koperasi juga datang dari segi aktivitas

ekspor. Sampai saat ini, untuk dapat melakukan ekspor, koperasi masih

bergantung pada sebuah perusahaan eksportir bernama PT. Profil Mitra Abadi

(PMA) sebuah perusahaan agribisnis perdagangan ekspor impor produk

makanan organik. Selain mengekspor gula semut, perusahaan yang salah satu

misinya meningkatkan pertanian Indonesia melalui pertanian organik dan

Page 50: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

82

perdagangan yang adil tersebut juga mengekspor kacang mede, wild jungle

peanuts, keripik singkong dan madu. Hal ini dikarenakan koperasi belum

mampu menyiapkan dokumen-dokumen sebagai syarat menjadi eksportir.

Selain belum adanya dokumen-dokumen syarat ekspor, koperasi juga tidak

mampu memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat halal global (Kosher-

certified) karena harus membuat dapur umum yang membutuhkan lahan serta

kekompakan para petani sementara PT PMA sebagai eksportir telah memiliki

sertifikat tersebut dari Kosher London Beth Din (KLBD).

Menurut Pak Zainal, untuk dapat menjadi pemain ekspor yang kuat,

koperasi juga masih terkendala dengan tidak siapnya standarisasi dan

pengawasan kualitas dari pemerintah Indonesia sehingga gula semut tidak eksis

di pasar Eropa dan Amerika dengan lebel „Legine‟ seperti yang mereka buat

untuk pasar domestik. Meski begitu, pemerintah telah membantu dalam hal

pendanaan seperti biaya pendirian kantor koperasi yang baru melalui proposal

yang diajukan koperasi. Selain itu, pemerintah juga pernah menyediakan wadah

untuk memamerkan gula semut di Thailand dan menanggung biaya stand

namun tidak termasuk biaya transportasi dan penginapan.

4.5.5. Kekuatan Koperasi sebagai Harapan 1072 Rumah Tangga

Dengan segala pengelolaan diatas, Koperasi telah diakui para produsen

sebagai harapan bagi mereka untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Salah

satu produsen dari Desa Gunung Lurah, Ibu Laelaturohmah mengatakan bahwa

usaha gula semut yang ia jalani tidak bisa berjalan tanpa adanya koperasi. Ia

Page 51: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

83

juga merasa terbantu dan aman dengan adanya asuransi dan program

SIMAPAN yang diberikan koperasi jika suatu saat terjadi hal yang tidak

diinginkan. Selain itu, menurut salah satu produsen dari Desa Sokawera yaitu

Bapak Rahmanto (44), koperasi telah membantu kelangsungan usaha produsen.

Beliau mengatakan “sebelum ada koperasi kita semua amburadul,” ungkapnya.

Hal ini berarti produsen merasa memperoleh keuntungan setelah bergabung

dengan koperasi. Bagi para responden, setidaknya terdapat 5 keuntungan yang

paling sering diutarakan para responden sebagai keuntungan yang ia rasakan

selama menjadi anggota koperasi yaitu (1) harga yang lebih baik (2) pasar

terjamin (3) memperoleh fasilitas (4) menambah pengalaman dan teman (5)

mendapat perhatian dan terpantau.

4.6. Kontribusi Industri Rumah Tangga Gula Semut Terhadap Tingkat

Kesejahteraan Ekonomi Produsen Gula Semut

Meningkatnya jumlah para penderes yang terjun dalam industri gula semut dan

bergabung bersama koperasi sejak tahun 2009 sampai saat ini, tentu saja bukan tanpa

alasan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, gula semut menjadi pilihan produsen

untuk meningkatkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan

hampir seluruh produsen dalam penelitian ini menjadikan gula semut sebagai

pekerjaan utama mereka.

Para pengurus kelompok tani di masing-masing desa mengungkapkan setelah

memproduksi gula semut, kesejahteraan ekonomi produsen menjadi lebih baik.

Page 52: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

84

Ditemui di kediamannya, Pak Irwan sebagai wakil ketua kelompok tani menjelaskan

bahwa ia dapat melihat adanya perkembangan kondisi ekonomi rumah tangga

anggotanya di Desa Rancamaya. Begitu juga dengan para produsen di Desa Sokawera

yang menurut ketua kelompoknya yaitu Ibu Yuliyah sudah banyak terjadi perubahan.

Perubahan tersebut tampak dari perilaku produsen saat ini yang sudah mampu

menyekolahkan anak-anak mereka bahkan produsen telah dipercaya menerima kredit

dari bank atau memiliki daya beli meminjam uang atau Credit Worthiness yang baik.

Biasanya para produsen menggunakan pinjamannya untuk membeli motor ataupun

merenovasi rumah.

Pernyataan ini senada dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa terdapat

22,9 persen responden membeli motor, beberapa membeli dengan cicilan bank lebih

dari Rp.500.000 per bulan dan beberapa membeli secara tunai dari hasil menabung.

Hal ini terlihat dari hasil survei bahwa terdapat hampir 90 persen responden

menabung melalui arisan, koperasi, sekolah anak, atau tabungan di RT. Sementara

itu, hanya 7 persen responden yang menabung di bank umum. Hal ini berarti

responden juga memiliki pendapatan yang cukup sehingga menyisihkan

pendapatannya untuk menabung seperti teori yang dikemukakan J.M Keynes bahwa

tabungan dipengaruhi oleh pendapatan.

Selanjutnya mengacu pada Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) dimensi

standar kualitas hidup meliputi kondisi atap, lantai, dinding, sumber penerangan

(akses listrik), dan bahan bakar memasak yang dikeluarkan Ford Foundation,

lembaga pemikir Prakarsa dan Litbang Kompas pada Januari 2016, dalam satu tahun

Page 53: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

85

terakhir terdapat 37 persen produsen melakukan renovasi rumah mereka sehingga

saat ini lebih dari 50 persen rumah produsen telah berlantai keramik dan berdinding

tembok. Serta hampir 100 persen rumah produsen telah beratap genteng. Seluruh

produsen juga telah mendapatkan sumber penerangan berupa listrik dan

menggunakan bahan bakar minyak atau gas.

Secara lengkap informasi kesejahteraan ekonomi produsen gula semut

tercantum pada Tabel 4.27 dimana kesejahteraan ekonomi dalam penelitian ini dilihat

dari pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga produsen.

Tabel 4.27 Pemenuhan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Produsen

Gula Semut Kecamatan Cilongok

Karakteristik Rumah Tangga Jumlah

Produsen %

Rata-rata pengeluaran makan per bulan

a. < Rp.500.000 7 15

b. Rp.500.001 - Rp.1.000.000 23 48

c. > Rp. 1.000.000 18 38

Rata-rata biaya pengeluaran pendidikan per

bulan

a. Tidak Ada 19 39,6

b. < Rp.500.000 22 45,8

c. Rp.500.001 - Rp.1.000.000 6 12,5

d. > Rp. 1.000.000 1 2,1

Pengeluaran renovasi rumah satu tahun terakhir

a. Tidak Ada 30 62,5

b. Ada 18 37,5

Pengeluaran membeli alat transportasi satu

tahun terakhir

a. Tidak Ada 37 77,1

b. Ada 11 22,9

Page 54: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

86

Pengeluaran membeli perhiasan satu tahun

terakhir

a. Tidak Ada 34 70,8

b. Ada 14 29,2

Pengeluaran membeli pulsa

a. Tidak Ada 21 43,8

b. Ada 27 56,3

Kepemilikan aset tabungan

a. Tidak Ada 7 14,6

b. Ada 41 85,4

Kepemilikan hewan ternak

a. Tidak Ada 27 56,3

b. Ada 21 43,8

Jenis lantai

a. Tanah 6 12,5

b. Semen 12 25,0

c. Keramik 26 54,2

d. Tanah dan semen 2 4,2

e. Keramik dan semen 2 4,2

Jenis dinding

a. Kayu 16 33,3

b. Bambu 4 8,3

c. Bata 2 4,2

d. Tembok 26 54,2

Jenis Atap

a. Genteng 44 91,7

b. Seng 4 8,3

Kepemilikan Perlengkapan Rumah Tangga

a. Televisi 48 100

b. Radio 13 27,1

c. DVD 10 20,8

d. Setrika listrik 26 54,2

e. Mesin cuci 4 8,3

Sumber penerangan

a. Listrik 48 100,0

b. Petromax 0 0

c. Teplok 0 0

Page 55: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

87

Sarana Mandi Cuci Kakus

a. Pribadi 44 91,7

b. Umum 4 8,3

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Selanjutnya Tabel 4.28 menunjukkan kemampuan daya beli yang dicerminkan

dalam total biaya pengeluaran kebutuhan dasar diantaranya biaya makan, pendidikan,

renovasi rumah, membeli kendaraan, perhiasan dan pulsa dalam sebulan jika

menggunakan keuntungan pada skenario tanpa biaya tenaga kerja.

Tabel 4.28. Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan

Saldo Per Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok

Berdasarkan Volume Produksi Tanpa Biaya Tenaga Kerja

Volume

Produksi

Gula

Semut

Per Hari

(Kg)

Juml

ah

Prod

usen

%

Keuntunga

n Bersih

(Rp/Bulan)

Rata-rata

Pengeluara

n

(Rp/Bulan)

Rata-rata

Tabungan

(Rp/Bula

n)

Saldo

(Rp/Bula

n)

1 - 3 8 17 489.210 1.861.666 112.571 -1.273.955

4 - 6 23 48 1.266.513 1.707.176 99.263 -358.663

7 - 9 14 29 2.361.573 2.006.876 323.333 631.839

10 - 12 2 4 3.131.895 2.462.583 60.000 729.312

13 - 15 1 2 4.489.230 1.575.600 115.000 3.028.630

Jumlah 48 100 1.601.219 1.849.071 165.585 -106.414

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Pada tabel tersebut terlihat bahwa 65 persen responden dengan volume

produksi kecil memiliki pengeluaran yang lebih besar dibandingkan keuntungan yang

diperoleh dari gula semut sehingga mengalami saldo yang defisit.

Page 56: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

88

Tabel 4.29. Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan

Saldo Per Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok

Berdasarkan Volume Produksi Dengan Biaya Tenaga Kerja

Volume

Produksi

Gula

Semut

Per Hari

(Kg)

Juml

ah

Prod

usen

%

Keuntunga

n Bersih

(Rp/Bulan)

Rata-rata

Pengeluara

n

(Rp/Bulan)

Rata-rata

Tabungan

(Rp/Bula

n)

Saldo

(Rp/Bula

n)

1 - 3 8 17 -1.160.789 1.861.666 112.571 -2.923.955

4 - 6 23 48 -383.486 1.707.176 99.263 -2.008.663

7 - 9 14 29 711.573 2.006.876 323.333 -1.018.160

10 - 12 2 4 1.481.895 2.462.583 60.000 -920.688

13 - 15 1 2 2.839.230 1.575.600 115.000 1.378.630

Jumlah 48 100 -48.780 1.849.071 165.585 -1.756.414

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Apabila dihitung menggunakan keuntungan pada skenario dengan biaya tenaga

kerja, dapat terlihat pada Tabel 4.29 bahwa 98 persen responden mengalami defisit

pada saldonya. Meskipun begitu, hasil survei menunjukkan 90 persen responden

memiliki tabungan. Hal ini mengindikasikan adanya pendapatan yang diperoleh dari

kegiatan lainnya atau kepercayaan dari pihak tertentu seperti bank untuk memberikan

pinjaman kredit. Pada Tabel 4.30 dan 4.31, dengan menggunakan dua skenario yaitu

tanpa dan dengan biaya tenaga kerja, keuntungan yang diperoleh responden dengan

status usaha sampingan ternyata lebih besar dibandingkan responden dengan status

usaha utama. Hal ini berarti responden dengan status usaha sampingan lebih efisien

memanfaatkan bahan input mereka sehingga memperoleh keuntungan yang lebih

besar. Dengan pendapatan yang besar, tentu saja pengeluaran responden dengan

status usaha sampingan lebih besar dibanding responden dengan status usaha utama.

Sehingga pada Tabel 4.30 responden yang menjadikan gula semut sebagai usaha

Page 57: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

89

utamanya justru memiliki saldo yang negatif dibandingkan responden yang

menjadikan gula semut sebagai status usaha sampingan karena keuntungan yang

diperoleh dari usaha gula kelapa hanya menutup sebagian kebutuhannya. Dengan

demikian dapat diindikasikan adanya pengeluaran yang diperoleh dari kredit/hutang

yang dilakukan oleh responden dengan usaha utama. Kemungkinan lainnya adalah

bahwa usaha sampingan mereka seperti beternak, berdagang, dan bertani mampu

memberikan pendapatan tambahan untuk menutup kebutuhan mereka. Sementara

skenario pada Tabel 4.31 dapat diketahui bahwa keuntungan masih terlalu kecil untuk

menutup kebutuhan responden.

Tabel 4.30 Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan Saldo Per

Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok Berdasarkan Status

Usaha Tanpa Biaya Tenaga Kerja

Status

Usaha

Jumlah

produse

n

%

Keuntunga

n Bersih

(Rp/Bulan)

Pengeluara

n

(Rp/Bulan)

Tabungan

(Rp/Bulan)

Saldo

(Rp/Bulan)

Utama 45 94 1.555.935 1.836.418 171.815 -135.394

Sampingan 3 6 2.280.483 2.038.866 86.666 328.283

Jumlah 48 100 1.601.219 1.849.071 165.585 -106.414

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Tabel 4.31 Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan Saldo Per

Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok Berdasarkan

Status Usaha Dengan Biaya Tenaga Kerja

Status

Usaha

Jumlah

produs

en

%

Keuntunga

n Bersih

(Rp/Bulan)

Pengeluaran

(Rp/Bulan)

Tabungan

(Rp/Bula

n)

Saldo

(Rp/Bulan)

Utama 45 94 -94.064 1.836.418 171.815 -1.785.394

Sampingan 3 6 630.483 2.038.866 86.666 -1.321.716

Jumlah 48 100 -48.780 1.849.071 165.585 -1.756.414

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Page 58: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

90

4.7. Dampak Ikutan

Adanya industri rumah tangga gula semut di Kabupaten Banyumas ternyata

tidak memberikan efek negatif baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.

4.7.1. Bidang Ekonomi

Di bidang ekonomi, industri rumah tangga gula semut mampu

memberikan manfaat bagi masyarakat berupa penciptaan lapangan pekerjaan

dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sementara bagi pemerintah

Kabupaten Banyumas, industri rumah tangga gula semut mampu memberikan

andil terhadap PDRB Kabupaten Banyumas. Selain itu, di sektor lain diluar

sektor industri, industri ini secara langsung maupun tidak langsung

menggerakkan sektor perdagangan dan jasa.

4.7.1.1. Penciptaan Lapangan Pekerjaan Baru

Sektor industri yang terdapat di Kabupaten Banyumas diantaranya adalah

88,41 persen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan (IHPK); 5,74 persen

Industri Logam, Mesin, dan Elektronika (ILME) ; 5,85 persen Industri Kimia

Anorganik (IKA). Industri rumah tangga gula semut sendiri termasuk ke dalam

IHPK yang mampu menyerap 87.714 orang tenaga kerja hingga tahun 2014.

Berdasarkan data publikasi BPS Kabupaten Banyumas, industri menjadi salah

satu sektor yang paling banyak menjadi sasaran tenaga kerja bersama sektor

perdagangan dan pertanian.

Koperasi Nira Satria sendiri selain memiliki 16 pengurus koperasi, juga

mempekerjakan 17 pekerja ibu rumah tangga. Adanya hubungan antara

Page 59: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

91

koperasi dengan sebuah perusahaan eksportir juga membuat terciptanya

lapangan pekerjaan bagi perusahaan tersebut. Hal ini berarti keberadaan

koperasi telah mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Selain itu menurut Pak Suyitno sebagai ketua dari kelompok tani Desa

Kasegeran yang baru 1 tahun terbentuk, industri rumah tangga gula semut ini

juga sering menjadi pilihan ladang usaha bagi warga desa yang berhenti bekerja

dan kembali ke desa setelah merantau ke kota. Tidak sedikit pengusaha pemula

yang menjadi anggotanya. Menurutnya, Meski sulit menjadi penderes kelapa,

Pak Suyitno mengatakan cukup dengan kemauan dan niat maka para pemula ini

dapat mengikuti pendahulunya.

4.7.1.2. Pendapatan Masyarakat

Peningkatan pendapatan masyarakat dipengaruhi oleh adanya

keterbukaan lapangan pekerjaan pada industri rumah tangga. Hal ini berarti

gula semut menyebabkan masyarakat menjadi lebih produktif sehingga mampu

menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup.

Industri ini mampu menyerap 2 tenaga kerja per keluarga dengan

keuntungan yang diperoleh per bulan rata-rata sebesar Rp. 1.601.219 jika

dihitung tanpa biaya tenaga kerja. Ditambah lagi dengan beroperasinya

Koperasi Nira Satria di Kecamatan Cilongok juga dapat menambah pendapatan

bagi ibu rumah tangga yang menjadi tenaga kerja penyortir di koperasi tersebut.

Dalam sehari mereka mampu menyortir sebanyak 55 kg gula semut selama 8

jam kerja per hari dengan upah Rp. 500 per kg. Sehingga dalam sehari mereka

Page 60: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

92

akan memperoleh Rp. 27.500 atau Rp. 825.000 per bulan. Upah ini setara

dengan upah buruh tani di desa seperti yang dikemukakan Mirza (2016) dalam

penelitiannya dimana upah petani di Desa Tlogoweru dan Desa Godog

Kabupaten Demak juga rata-rata sebesar Rp. 25.000 untuk tenaga kerja wanita.

4.7.1.3. Peningkatan Pendapatan Daerah dan Cadangan Devisa

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah ukuran produktivitas

yang mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu

wilayah dalam satu tahun. PDRB menjadi cerminan pertumbuhan ekonomi

suatu daerah. Berdasarkan Tabel 4.32, PDRB Kabupaten Banyumas meningkat

dari tahun 2012 sampai 2014 baik itu atas dasar harga berlaku maupun konstan.

Tabel 4.32. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar

Harga Konstan 2010 Kabupaten Banyumas Tahun 2012 – 2014

Tahun PDRB Atas Dasar Harga

Berlaku (Miliar Rupiah)

PDRB Atas Dasar Harga

Konstan (Miliar Rupiah)

2012 28.486 25.982

2013 31.307 27.772

2014 34.420 29.098

Sumber: BPS Kabupaten Banyumas (2016)

Industri gula semut sendiri termasuk kedalam industri mikro kecil yang

ikut berkontribusi dalam PDRB Kabupaten Banyumas. Hal ini terlihat dari sisi

distribusi penyebarannya dimana PDRB Kabupaten Banyumas atas dasar

harga berlaku tahun 2014 masih didominasi oleh sektor industri pengolahan

sebesar 23,38%. Selanjutnya diikuti oleh sektor perdagangan sebesar

Page 61: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

93

16,61%, sektor pertanian sebesar 13,63%, dan sektor konstruksi sebesar

12,23% seperti yang tercantum pada Tabel 4.32.

Tidak hanya berdampak positif bagi PDRB Kabupaten Banyumas,

industri gula semut ini juga tentunya menyumbang cadangan devisa karena

telah menembus pasar ekspor, disaat pemerintah sedang mengeluarkan devisa

untuk impor gula pasir sebanyak 200 Ton tahun 2016 (Arkhelaus, 2015).

Bersamaan dengan hal tersebut, mulailah bermunculan kegiatan penelitian

untuk menjadikan gula semut sebagai diversifikasi industri gula nasional dari

yang berbasis tebu menjadi berbasis palmae atau gula kelapa (palm sugar).

Tabel 4.33 Distribusi Persentase dan Pertambahan Produk Domestik

Regional Bruto Kabupaten Banyumas Atas Dasar Harga Berlaku dan

Konstan (2010) Menurut Beberapa Lapangan Usaha 2013-2014

Lapangan Usaha

Harga berlaku Harga konstan

2013 2014 Pertamb

ahan 2013 2014

Pertam

bahan

Industri Pengolahan 22,11 23,38 1,27 11,54 12,77 1,23

Perdagangan 17,05 16,61 -0,44 4,87 3,4 -1,47

Pertanian 15,02 13,63 -1,39 5,26 -6,82 -12,08

Konstruksi 11,89 12,23 0,34 2,04 4,44 2,4

Sumber: Data sekunder (BPS Kabupaten Banyumas,2016)

4.7.1.4. Peningkatan Sektor-Sektor Lain

Industri gula semut telah berkontribusi dalam menggerakkan sektor

perdagangan dan jasa. Meningkatnya produktivitas pada sektor industri

memberikan keuntungan di sektor perdagangan sebab industri ini melibatkan

pembeli dari dari dalam maupun luar kota bahkan luar negeri. Selanjutnya

Page 62: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

94

pembeli luar kota yang memesan khusus mengharuskan para produsen atau

koperasi menggunakan jasa pengangkutan atau jasa pengiriman barang. Selain

itu, dengan adanya permintaan dalam negeri, koperasi juga menyediakan gula

semut dalam bentuk kemasan cantik. Koperasi dalam hal ini memanfaatkan jasa

desain dan percetakan sehingga jasa tersebut juga ikut menerima dampak dari

adanya industri gula semut.

4.7.2. Bidang Sosial

4.7.2.1. Solidaritas dan Gotong Royong

Adanya industri gula semut yang diikuti dengan terbentuknya koperasi

dan kelompok tani selain telah menimbulkan efek positif berupa terbukanya

lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat juga menimbulkan adanya

interaksi antar individu dalam masyarakat antar desa di Kecamatan Cilongok

serta menumbuhkan solidaritas yang kuat. Hal tersebut terbentuk dari adanya

pertemuan rutin kelompok tani atau rapat koperasi. Para produsen merasa

pertemuan ini dapat menambah dan mempererat pertemanan mereka. Konsep

gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi juga dirasakan beberapa

produsen. Mereka mengaku senang dapat membantu meringankan beban antar

produsen, meskipun beban mereka sendiri belum seluruhnya teratasi.

4.7.2.2. Kemiskinan

Menurut Jamieson et al (Chotimah, 2012), kemiskinan dapat

mempengaruhi akses terhadap layanan-layanan yang disediakan oleh

pemerintah sehingga akan berdampak pada kualitas hidup masyarakat dan

Page 63: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

95

beban bagi pemerintah daerah. Garis kemiskinan dari tahun ke tahun

meningkat, namun persentase penduduk miskin Kabupaten Banyumas sejak

2007 sampai 2014 cenderung menurun. Pada tahun 2014 jumlah penduduk

miskin sebanyak 296.800 jiwa berkurang dari tahun 2007 sebanyak 333.000

jiwa (Banyumas dalam angka 2015). Hal ini menunjukkan kualitas hidup

masyarakat Kabupaten Banyumas yang semakin baik.

Untuk melihat kemajuan pembangunan manusia di suatu wilayah

adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM

Kabupaten Banyumas tahun 2014 sebesar 69,25 persen, masih di atas rata-rata

IPM Jawa Tengah yang hanya 68,78. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten

Banyumas, dibandingkan IPM sekaresidenan yang terdiri dari Kabupaten

Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, IPM Banyumas

mempunyai IPM paling tinggi.

4.7.2.3. Kualitas Lingkungan

Dalam proses produksi gula semut dari mulai pengambilan nira kelapa

sampai pemasarannya, tidak terdapat banyak pengaruh negatif yang berarti bagi

lingkungan. Dalam pemanfaatan bahan pengawet organik misalnya, meskipun

para produsen memetik cangkang manggis maupun daun selatri setiap hari di

kebun, hal ini tidak menyebabkan kerusakan pada pohon. Namun sebelum para

produsen mengenal cangkang manggis, pernah terjadi kelangkaan pohon selatri

di Desa Kasegeran akibat para produsen yang tidak mengetahui bahwa selain

batang pohon selatri, daunnya juga bisa dijadikan bahan pengawet seperti yang

Page 64: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

96

dilakukan produsen di desa lain. Akhirnya saat itu, karena batangnya habis

dikuliti, pohon tersebut mati. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama

karena para produsen langsung menggunakan cangkang manggis sebagai

penggantinya. Selain itu untuk hal bahan bakar, meskipun mereka tetap harus

mengeluarkan biaya, para produsen telah berhasil memanfaatkan limbah

gergajian kayu dari pabrik kayu disekitar desa.

4.8. Alasan Responden Memproduksi Gula Semut

Seiring dengan perubahan pola konsumsi masyarakat dan perkembangan

kemajuan teknologi, gula kelapa yang sering dikenal dalam bentuk cetak berbentuk

batok kelapa atau bulat saat ini telah mengalami perkembangan inovasi bentuk

menjadi gula kelapa kristal organik (jawa: gula semut). Hal ini menjadi salah satu

usaha diversifikasi produk yang diharapkan dapat memberikan keuntungan tidak

hanya bagi produsen, tapi juga bagi konsumen. Bagi konsumen, gula semut

mengandung manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan nutrisi pada gula tebu

karena mengandung serat pada warna cokelatnya, kalori, kalsium, protein kasar,

mineral, vitamin, dan senyawa-senyawa yang berfungsi menghambat penyerapan

kolesterol di saluran pencernaan (Kristianingrum, 2009). Gula semut yang dijual

dengan rasa jahe misalnya juga dapat mencegah dan menyembuhkan masuk angin,

batuk, flu.

Sehubungan dengan hal tersebut, permintaan akan gula semut semakin

meningkat. Hal ini menyebabkan produsen yang awalnya hanya memproduksi gula

kelapa dalam bentuk cetak mencoba peruntungan dengan memproduksi gula semut.

Page 65: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

97

Berdasarkan data di lapangan, semua responden yang memproduksi gula semut

menyatakan pernah memproduksi gula kelapa cetak. Namun meski telah

memproduksi gula semut, produsen juga tetap memproduksi gula kelapa cetak hanya

jika kualitas nira kelapa buruk (biasanya saat musim hujan).

Berdasarkan hasil survei, alasan responden memproduksi gula semut adalah

karena harga gula semut yang lebih tinggi dan stabil sehingga mereka percaya

keuntungan yang mereka peroleh akan lebih besar dan dapat mencukupi kebutuhan

hidup mereka sehari-hari. Selebihnya, hanya 2,1 persen responden yang beralasan

memproduksi gula semut untuk mendapatkan keuntungan dari koperasi.

Menurut responden, keputusan mereka untuk mulai memproduksi gula semut

bukan hanya karena kemauan mereka sendiri melainkan karena adanya peran dari

Koperasi Nira Satria, kelompok tani dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) seperti Pusat Pengembangan Produk Rakyat (P3R), Lembaga Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup (LPPSLH), dan Agro Wilis. Dalam

mengajak responden untuk memproduksi gula semut, awalnya lembaga tersebut

mengadakan pelatihan cara membuat gula semut dan keorganikan serta juga

memberikan pengertian bahwa harga gula semut lebih mahal dibandingkan gula

kelapa cetak sehingga lebih menguntungkan dan memberikan peningkatan terhadap

penghasilan mereka.

Selain itu, dengan memproduksi gula semut, responden juga mengaku dapat

memperoleh keuntungan karena diajak menjadi anggota Koperasi Nira Satria. Selama

menjalankan usahanya dan menjadi anggota Koperasi Nira Satria, ternyata masih

Page 66: BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

98

terdapat 56 persen yang belum memperoleh bantuan. Sementara sisanya mengatakan

pernah memperoleh bantuan baik itu dari koperasi, pemerintah, kelompok tani

maupun LSM. Seperti yang diceritakan sebelumnya oleh pengurus koperasi, bantuan

ini memang belum mampu diterima secara menyeluruh oleh anggota. Bantuan yang

dimaksud adalah berupa peralatan masak dan menyadap. Ada juga yang pernah

memperoleh asuransi komunitas dari koperasi dan pelatihan.