bab iv analisis data 4.1. keadaan umum lokasi penelitian 4
TRANSCRIPT
33
BAB IV
ANALISIS DATA
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis
Kabupaten Banyumas adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan
Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Brebes di utara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan
barat. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2
atau setara dengan 132.759,56 ha, sekitar 4,08 persen dari luas wilayah provinsi
Jawa Tengah.
Topografi Kabupaten Banyumas adalah daratan dan pegunungan dengan
struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah
pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, dan
sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng
Gunung Slamet sebelah selatan.
Keadaan cuaca dan iklim di Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis
basah. Karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari pesisir pantai
maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyumas, 2015) .
34
Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan yang dibagi lagi atas
sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan. Kecamatan Cilongok menjadi kecamatan
paling luas dengan luas 10.534 Ha.
4.1.2. Kependudukan
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas
(2015), penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2014 berjumlah
1.620.918 orang yang terdiri dari 809.984 laki-laki dan 810.934 perempuan.
Tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Cilongok (114.508
jiwa) atau 30.760 rumah tangga yang tersebar di 20 desa, Ajibarang (93.415
jiwa), dan Sokaraja (81.972 jiwa).
Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Banyumas Tahun 2014
adalah sebanyak 1.221 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling
tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Purwokerto Barat yakini
sebanyak 6.942 orang per kilometer persegi, sedangkan yang paling rendah
adalah Kecamatan Lumbir dengan kepadatan sebanyak 429 orang per kilometer
persegi. Kepadatan penduduk di Kecamatan Cilongok sendiri adalah sebanyak
1.087 orang per kilometer persegi.
Sex ratio Kabupaten Banyumas adalah sebesar 99,88 persen yang berarti
terdapat 99 jiwa penduduk laki-laki di setiap 100 jiwa penduduk perempuan.
Sementara berdasarkan jenis kegiatannya, sebanyak 1.213.250 jiwa penduduk
usia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Banyumas, sekitar 64,27 persen
merupakan penduduk angkatan kerja (60,82 persen bekerja dan 3,45 persen
35
pengangguran). Sedangkan 35,73 persen penduduk bukan angkatan kerja (7,98
persen sekolah, 22,78 persen mengurus rumah tangga, dan 4,97 persen lainnya).
Indikasi penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok
pengangguran dapat dilihat dari angkat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
TPT Kabupaten Banyumas tercatat sebesar 5,37 persen yang berarti bahwa dari
100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 5 orang yang menganggur. Sementara
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Banyumas adalah
sebesar 64,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari 100 orang penduduk
usia kerja, sekitar 65 orang termasuk angkatan kerja. Sebagian besar penduduk
Kabupaten Banyumas pada tahun 2014 sendiri bekerja di bidang perdagangan,
disusul pertanian kemudian industri.
4.1.3. Gambaran Umum Ekonomi Makro Kabupaten Banyumas
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas,
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyumas tahun 2014
atas dasar harga berlaku sebesar 34,42 trilyun rupiah dan atas dasar harga
konstan 2010 sebesar 29,09 trilyun rupiah (BPS Kab. Banyumas, 2015).
Dilihat dari kontribusinya, selama tiga tahun terakhir kontribusi terbesar
adalah sektor industri pengolahan, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan
dan sektor pertanian. Sektor tersebut masing-masing menyumbang 23,38
persen, 16,61 persen dan 13,63 persen (BPS Kab. Banyumas, 2015).
Namun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas tahun 2014 lebih
lambat dari tahun sebelumnya sebesar 6,89 persen menjadi 4,78 persen.
36
4.1.4. Keadaan Industri Gula Kelapa Skala Rumah Tangga
Perusahaan industri di Kabupaten Banyumas pada tahun 2014 tercatat
38.712 perusahaan berjalan dan mampu menyerap tenaga kerja sejumlah
102.069 orang (BPS Kab. Banyumas, 2015). Dibandingkan Industri Kimia
Anorganik (IKA) dan Industri Logam, Mesin dan Elektronika (ILME), jumlah
perusahaan industri terbanyak adalah Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan
(IHPK) yang tercatat berjumlah 34.226 perusahaan dan mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 87.714 jiwa (BPS Kab. Banyumas, 2015).
Usaha industri gula semut sendiri termasuk dalam kategori IHPK.
Didalamnya terdapat industri kecil menengah yang merupakan produsen gula
kelapa sebanyak 31.500 (Anugrah, 2015). Potensi industri ini juga didorong
dengan luas lahan yang ditanami pohon kelapa di Kabupaten Banyumas
mencapai sekitar 18.000 hektar (Andrianto, 2013). Dalam setahun sebanyak
3.000 ton gula semut asal Kabupaten Banyumas diekspor ke berbagai negara
seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang sementara salah satu daerah lainnya
yang juga mengekspor gula semut yaitu Kulonprogo hanya mengekspor 2.500
per tahun (Anugrah, 2015). Dari total ekspor gula semut tersebut, 20 persennya
(50 ton) disumbangkan oleh gula semut dari Koperasi Nira Satria (Sidik, 2016).
4.2. Profil Responden Produsen Gula Semut
4.2.1. Usia, Tingkat Pendidikan, dan Pengusaan Teknologi Produksi
Menjadi seorang penderes atau produsen gula semut tidaklah mudah
tanpa adanya kemampuan fisik dan tenaga yang kuat. Dalam hal ini, umur
37
sangat berhubungan dengan kemampuan fisik atau tenaga produsen dalam
melakukan kegiatan produksi gula semut. Jika dilihat pada Tabel 4.1 dari
kelompok umur pencari kerja produktif pada kelompok umur 15-63 tahun
(Mantra,2003) 94 persen responden gula semut Kecamatan Cilongok sudah
termasuk didalamnya. Dengan umur produktif tersebut responden akan lebih
mudah menerima informasi dan inovasi baru serta lebih cepat mengambil
keputusan dalam penerapan teknologi baru sehingga masih ada harapan untuk
meningkatkan produktivitas kerja mereka dengan lebih efisien sebagai peluang
meningkatkan penerimaan usahanya.
Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok Umur
(Tahun)
Jumlah
Produsen %
24 - 31 7 15
32 - 39 8 17
40 - 47 12 25
48 - 55 13 27
56 - 63 5 10
64 - 71 3 6
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Inovasi sendiri muncul sebagai solusi dari berbagai kesulitan. Meski
semua orang mengalami kesulitan yang sama, biasanya hanya satu orang yang
mampu berinovasi, dan sisanya sebagai penikmat inovasi.
38
Sebagai orang „lama‟ dalam industri gula kelapa hingga di usianya ke 61,
seorang responden produsen gula semut yang juga wakil ketua kelompok tani di
Desa Rancamaya, Aziz Irwan telah menghasilkan berbagai inovasi peralatan
memasak gula semut. Alat penggerus gula merupakan salah satu inovasinya
yang dijual sebesar Rp. 10.000 karena hanya terbuat dari batok kelapa dan
didesain sedemikian rupa tanpa bahan-bahan modern sedikitpun. Dengan alat
tersebut, pak Irwan telah menciptakan solusi menghancur gula dengan lebih
efisien dan yang terpenting alat ini lebih aman karena sengaja didesain untuk
keamanan tangan produsen dari gula kelapa yang panas.
Inovasi dan penguasaan teknologi produksi memang tidak lahir dari
orang-orang berpendidikan tinggi. Seperti halnya Pak Irwan yang hanya lulusan
SD, responden hampir tanpa pengecualian tidak membutuhkan pendidikan yang
tinggi. Sebab pengalaman lebih banyak mengajarkan mereka ketimbang
pendidikan formal di sekolah. Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa pendidikan formal
yang rendah masih dominan di kebanyakan responden. Selain karena alasan
biaya, orang tua mereka dulu menganggap sekolah sama dengan membuang
waktu. Sukirah (50) seorang responden pengolah gula semut di Desa Kasegeran
sama sekali tidak mendapatkan pendidikan karena orang tuanya mengatakan
nasib seorang perempuan yang pasti adalah di dapur. Begitu juga responden
perempuan lainnya yang mengaku tidak melanjutkan sekolah dan memilih
dinikahkan dengan laki-laki desa dan menjadi istri penderes.
39
Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah
Produsen %
Tidak sekolah 2 4
Tidak tamat SD 17 35
Tamat SD 23 48
Tamat SMP 5 10
Tamat SMA 1 2
Jumlah 48 100
Sumber : Diolah dari data primer (2015)
Meski pernyataan bahwa pendidikan formal tidak mengajarkan
bagaimana mencari penghasilan dari industri gula kelapa itu benar, namun
seharusnya dengan sekolah produsen diharapkan akan lebih mampu
mengembangkan usahanya dengan memahami keadaan pasar dan memilih pola
saluran pemasaran yang paling menguntungkan.
Sama seperti industri rumah tangga pada umumnya dimana pembelajaran
untuk bertahan hidup di desa diperoleh secara turun temurun, begitu juga
dengan yang terjadi di Kecamatan Cilongok. Para responden mengaku telah
mempelajari seluk beluk gula kelapa sejak kecil. Dalam Tabel 4.3 dapat
diketahui bahwa kebanyakan responden memulai usahanya di usia remaja.
Bahkan saat anak-anak di usia tersebut seharusnya bersekolah, terdapat 29
persen diantaranya sudah memulai usaha gula kelapa. Sebanyak 79 persen
diantaranya adalah perempuan sementara laki-laki hanya 21 persen. Perempuan
diberatkan dengan keputusan menikah dini sementara laki-laki tidak memiliki
pilihan pekerjaan setelah tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah.
40
Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Produsen Saat Memulai
Memproduksi Gula Kelapa dan Jenis Kelamin
Usia produsen
saat memulai
memproduksi
gula kelapa
jumlah
responden %
Berdasarkan jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
Jumlah
Laki-
laki
% Jumlah
perempuan %
10 - 16 14 29 3 21 11 79
17 - 22 16 33 7 44 9 56
23 - 29 11 23 5 45 6 55
30 - 36 6 13 3 50 3 50
37 - 42 0 0 0 0 0 0
43 - 49 1 2 0 0 1 100
Jumlah 48 100 18 100 30 100
Sumber : Diolah dari data Primer (2015)
4.2.2. Status usaha
Sebagian besar responden produsen gula semut menjadikan usaha gula
semut sebagai usaha utama mereka. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.4, hanya
6 persen responden yang memiliki usaha utama selain gula semut. Mereka
adalah pengusaha kayu, buruh, dan pemilik warung. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak atau tidaknya pohon kelapa yang disadap. Berdasarkan data di
lapangan, rata-rata pohon kelapa yang disadap oleh responden yang menjadikan
gula semut sebagai usaha utama adalah sebanyak 22 pohon. Jumlah ini lebih
besar dibandingkan rata-rata jumlah pohon yang disadap responden yang
menjadikan usaha gula semut sebagai usaha sampingan yaitu sebanyak 15
pohon kelapa. Dengan demikian benar bahwa semakin banyak pohon kelapa
41
yang disadap, semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan responden oleh
karena semakin banyak gula semut yang akan diproduksi (Kameo, 1999).
Tabel 4.4 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Status Usaha
Status Usaha
Jumlah Produsen % total
produsen sub
total total
Utama tanpa usaha sampingan 21 44
Utama dengan usaha sampingan : 24 50
a. Beternak 5 (21)a
b. Petani padi 2 (8) a
c. Non pertanian 17 (71) a
Usaha sampingan dengan usaha
utama : 3 6
- Non pertanian 3
(100) a
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
a) Persentase dari sub total
Bagi 50 persen responden produsen gula semut, kehidupan mereka akan
lebih tenteram jika kebutuhannya terpenuhi. Oleh karena itu mereka mencari
uang dengan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan. Begitulah yang
dikatakan oleh Yuliyah (50) seorang produsen gula semut sekaligus ketua
kelompok tani di Desa Sokawera. Ia termasuk kedalam 71 persen responden
produsen yang memiliki usaha non pertanian seperti membuka warung juga
menjadi reseller baju dan peralatan rumah tangga. Hal serupa juga dialami oleh
anggota kelompok Yuliyah, yaitu Wartini (40) yang mengatakan akan menjual
apapun yang ia temui di kebun sekitar rumahnya. “Rumput-rumput untuk
42
kambing, pete, kayu bakar, apa aja lah yang kira-kira bisa dijual, manfaatin
alam,” katanya.
4.2.3. Ketenagakerjaan
Produksi gula semut pada umumnya merupakan usaha rumah tangga yang
dikerjakan oleh suami sebagai penderes dan istri sebagai pengolah. Tabel 4.5
menunjukkan bahwa 83 persen responden produsen hanya menggunakan tenaga
kerja keluarga. Sementara 17 persen sisanya, harus dibantu oleh 1 orang tenaga
kerja non keluarga karena hanya memiliki satu tenaga kerja keluarga yang
semuanya adalah janda 50 tahunan atau istri yang ditinggal suaminya bekerja di
luar desa. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tenaga kerja penderes pohon
kelapanya agar dapat memproduksi gula setiap hari.
Tabel 4.5 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Sistem Penggunaan Tenaga Kerja yang Terlibat Dalam
Pembuatan Gula Semut
Sistem penggunaan tenaga kerja
Jumlah
Produsen %
Tenaga
kerja
keluarga
Tenaga kerja non
keluarga
total
tenaga
kerja
2 0 2 40 83
1 1 2 8 17
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Penggunaan tenaga kerja ini berpengaruh terhadap biaya tenaga kerja
yang harus dikeluarkan oleh produsen baik yang menggunakan tenaga kerja
keluarga maupun non keluarga.
43
4.2.4. Status Kepemilikan dan Sistem Sewa Pohon Kelapa yang Disadap
Jumlah pohon kelapa yang disadap responden berpengaruh pada besar
kecilnya volume produksi. Responden rata-rata menyadap 22 pohon dengan
jumlah minimal 5 pohon dan maksimal 70 pohon seperti yang terlihat pada
Tabel 4.6. Semakin banyak jumlah pohon yang disadap, diharapkan semakin
banyak juga nira yang didapat.
Tabel 4.6 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut Berdasarkan Jumlah Pohon Kelapa yang
Disadap
Jumlah pohon kelapa
yang disadap Jumlah Produsen %
5 - 15 14 29
16 - 26 20 42
27 - 37 10 21
38 - 48 2 4
49 - 59 1 2
60 - 70 1 2
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Itulah mengapa Tabel 4.7 menunjukkan bahwa selain memperoleh nira
dari pohonnya sendiri, 25 persen responden produsen berusaha menambah
niranya dengan menyewa pohon kelapa, sementara 17 persen lainnya tidak
memiliki pohon kelapa sama sekali sehingga harus menyewa.
44
Berdasarkan hasil survey di lapangan, paling tidak terdapat 4 jenis sistem
sewa yang sering digunakan oleh responden di Kecamatan Cilongok seperti
yang disajikan pada Tabel 4.8. Namun sebagian besar responden produsen gula
semut lebih menyukai sistem sewa dibayar dengan nira dan gula kelapa (cetak
atau semut) dibanding dengan uang tunai dan sistem gadai. Sistem sewa dengan
nira di Kecamatan Cilongok dikenal dengan sebutan Maro atau dalam bahasa
Indonesia berarti „berbagi separuh-separuh‟ (hasil niranya).
Tabel 4.7 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Status Kepemilikan Pohon Kelapa yang disadap
Status Kepemilikan Pohon
Kelapa yang Disadap Jumlah Responden %
Milik Sendiri 28 58
Sewa 8 17
Milik sendiri & sewa 12 25
Jumlah 48 100
Sumber : Diolah dari data primer (2015)
Tabel 4.8. Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut yang Menyewa Pohon Kelapa Berdasarkan Sistem
Sewa
Sistem Sewa Jumlah
Responden %
Membayar dengan uang tunai 1 5
Membayar dengan nira
kelapa 9 45
Membayar dengan gula
kelapa 9 45
Sistem gadai 1 5
Jumlah 20 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
45
Sesuai dengan arti kata Maro, penyewa harus berbagi nira hasil
sadapannya kepada pemilik pohon kelapa dengan selingan 5 hari. Artinya, 5
hari pertama untuk responden, 5 hari berikutnya untuk pemilik pohon dan
begitu seterusnya.
Sebelumnya, pada Tabel 4.5 dijelaskan bahwa terdapat 17 persen
responden yang menggunakan tenaga kerja non keluarga sehingga mereka
harus membayar tenaga kerjanya. Dalam kasus ini, semua responden tanpa
pengecualian, membayar tenaga kerjanya bukan dengan uang tunai melainkan
dengan sistem Maro.
Berbeda dengan sistem Maro, sistem sewa dengan menggunakan gula
kelapa mengharuskan penyewa membayar dengan 1 kg gula kelapa per pohon
per bulan. Sementara satu responden yang menggunakan sistem sewa
membayar uang tunai di Desa Rancamaya menjelaskan bahwa ia harus
membayar Rp. 100.000 per bulan untuk biaya sewa atau rata-rata Rp. 3.300 per
hari untuk berapapun nira yang didapat dalam sehari menderes.
Selanjutnya, satu responden lainnya dari desa Rancamaya menggunakan
sistem gadai untuk menambah niranya yaitu dengan memanfaatkan pohon
kelapa yang digadai oleh orang yang berhutang kepada responden. Dengan
demikian tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk tambahan nira
yang didapat.
46
4.2.5. Kualitas Gula Semut
Gula semut yang dapat menembus pasar ekspor perlu terjamin mutunya
sehingga harus memenuhi standar kualitas tertentu. Salah satu standar kualitas
yang dipenuhi oleh para produsen gula semut (anggota Koperasi Nira Satria)
adalah produk organik. Kriteria organik yang diterapkan atau disyaratkan oleh
Koperasi Nira Satria adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh menggunakan bibit, pupuk, ramuan hama dan bahan
pengemas yang terbuat dari bahan kimia
2. Dapur produksi harus dijaga dari bahan-bahan kimia.
3. Laru (bahan penolong) tidak boleh menggunakan natrium bisulfat
atau bahan pengawet yang tidak jelas kandungannya
4. Tempat laru tidak boleh menggunakan kaleng bekas cat dll
5. Alat produksi harus higienis dan aman dari bahan kimia
6. Pongkor penyadap harus menggunakan pongkor bambu
7. Tungku produksi yang harus bercerobong keluar dinding
8. Diatas tungku tidak boleh ada para atau tempat kayu bakar
9. Dapur tidak boleh untuk tempat hewan ternak dan termasuk dapur
sehat berlantai keramik.
Hanya saja dari hasil observasi ditemukan beberapa responden dalam
penelitian ini masih mengabaikan kualitas dan kebersihan dapur produksi
seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Sebanyak 75 persen dapur responden
masih berupa dapur tradisional yang berlantai tanah. Bahkan pemandangan ini
47
juga terlihat di dapur milik salah satu ketua kelompok tani yang seharusnya
dapat menjadi contoh bagi anggotanya.
Tidak hanya itu, entah secara sadar atau tidak, beberapa responden
produsen masih meletakkan kayu bakar atau diangin-anginkan tepat diatas
tungku tempat dimana gula semut diolah. Apabila terdapat kotoran yang
terbawa angin dan masuk ke wajan, tentu saja hal tersebut dapat merusak
kualitas kebersihan gula semut. Hal ini menggambarkan pentingnya
pendampingan yang terus menerus dalam jangka waktu panjang yang harus
dilakukan oleh koperasi, pemerintah atau kelembagaan terkait.
Berdasarkan jenis tungku, seperti yang disajikan dalam Gambar 4.2,
terlihat bahwa hampir 50 persen responden telah menggunakan tungku hemat
energi dan memiliki cerobong asap yang dipasang keluar dapur. Tungku
tersebut dikatakan hemat energi karena terbuat dari semen dan hanya memiliki
Dapur bersih berlantai keramik
4%
Dapur bersih berlantai
semen 21%
Dapur tradisional berlantai
tanah 75%
Gambar 4.1. Jenis Fasilitas Dapur Responden
Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
48
satu lubang untuk memasukkan kayu bakar sehingga panasnya terkonsentrasi
pada satu ruang. Cerobong asap yang digunakan pada umumnya terbuat dari
tanah liat atau seng.
4.3. Gambaran Struktur Produksi
4.3.1 Bahan baku dalam proses produksi gula semut
Untuk memproduksi gula semut, bahan baku (utama) yang dibutuhkan
oleh produsen skala rumah tangga ini adalah nira kelapa dan bahan penolong
berupa cangkang manggis, daun selatri dan kapur sirih sebagai bahan pengawet,
plastik untuk kemasan dan bahan bakar.
Seperti yang digambarkan pada Tabel 4.8, bahan baku nira diperoleh
responden tidak hanya dari pohonnya sendiri namun juga sewa. Penderes yang
menjadi responden dalam penelitian ini semua tanpa pengecualian
Tradisional tanpa cerobong
asap 31%
Tradisional dengan
cerobong asap 6% Hemat energi
tanpa cerobong asap 15%
Hemat energi dengan
cerobong asap 46%
Kompor masak 2%
Gambar 4.2. Jenis Tungku Produksi Responden
Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
49
menggunakan pongkor (wadah pengampung nira) yaang terbuat dari bambu.
Hal ini menjadi salah satu syarat produk organik gula semut yang mereka
produksi. Selain itu dalam pengadaan bahan baku, penderes melakukan dua kali
penyadapan yaitu pagi dan sore hari begitu juga dengan waktu produksi.
Biasanya penderes akan memulai kegiatannya pada pukul 6 pagi selama kurang
lebih 3 jam untuk mengambil nira hasil penyadapan sore hari sebelumnya dan
melakukan penyadapan untuk dikumpulkan pada sore hari sekitar pukul 3 sore
hingga pukul 6 sore atau maghrib.
Jumlah nira yang diperoleh produsen gula kelapa sangat dipengaruhi oleh
musim. Berdasarkan pengalaman para responden, saat musim hujan tiba,
mereka akan mendapatkan jumlah nira sampai dua kali lipat dibandingkan
dengan musim kemarau. Hal ini dikarenakan pada musim penghujan akar
tanaman kelapa tumbuh dengan pesat sehingga mengakibatkan jumlah nira
yang dihasilkan lebih banyak (Praditya, 2010). Oleh karena pengambilan data
ini dilakukan pada bulan November dengan musim penghujan yang rutin setiap
hari, maka rata-rata dalam sehari produsen memperoleh 4 liter nira per pohon.
Dengan jumlah pohon yang dimiliki para responden, rata-rata mereka mampu
menyadap sebanyak 88 liter nira per hari dengan nilai minimum 20 liter dan
maksimum 280 liter per hari seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Meskipun begitu, bukan berarti musim hujan adalah saat paling
menguntungkan bagi produsen sebab nira tersebut mengandung kadar air yang
lebih tinggi dan mengakibatkan rendahnya mutu atau kadar gula dalam nira.
50
Dengan kondisi nira tersebut, tanggapan responden pada umumnya adalah
bahwa sangat kecil kemungkinannya nira dapat diolah menjadi gula semut atau
kuantitasnya menjadi lebih sedikit dibandingkan saat musim kemarau.
Tabel 4.9 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut Berdasarkan Jumlah Nira Per Liter Per Hari
Jumlah Nira
(L/Hari) Jumlah produsen %
20 - 60 14 29
61 - 100 20 42
101 - 141 10 21
142 - 182 2 4
183 - 223 1 2
224 - 263 0 0
264 - 304 1 2
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Jika sebelumnya telah dibahas nira sebagai bahan baku dari pembuatan
gula semut, selanjutnya untuk mencegah atau memperlambat agar nira tidak
cepat rusak (asam/berbuih), produsen perlu menambahkan bahan pengawet ke
dalam pongkor bambu berisi nira karena jika terjadi kerusakan pada nira, maka
pada saat pemasakan nira tidak akan dapat mengental secara baik dan
mengakibatkan gula semut yang dihasilkan menjadi berkurang mutunya.
Berdasarkan hasil survey, terdapat tiga jenis bahan pengawet yang
digunakan responden yaitu kapur sirih, cangkang manggis (Garcinia
mangostana L) dan daun selatri (Calophyllum soulattri). Masing-masing
51
responden produsen memiliki kebiasaan penggunaan bahan pengawet yang
berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Jenis Bahan Pengawet yang Digunakan
Jenis Bahan Penolong
dalam penderesan nira
Jumlah
Responden %
Kapur sirih 6 13
Kapur sirih dan cangkang manggis 22 46
Kapur sirih dan daun selatri 1 2
Cangkang manggis 11 23
Cangkang manggis dan daun selatri 5 10
Kapur sirih, cangkang manggis dan daun selatri 3 6
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Sebagian besar responden memperoleh bahan pengawet dengan membeli
pada sesama produsen yang memiliki pohon manggis ataupun daun selatri atau
juga yang disediakan oleh Koperasi Nira Satria. Sementara kapur sirih biasa
diperoleh dari pasar tradisional.
Dalam hal pengemasan gula semut, responden menggunakan plastik
ukuran 12 kg yang dibeli dari Koperasi Nira Satria seharga Rp.1000 per buah
untuk satu kali pemasaran (5 hari produksi). Dalam satu kali pemasaran
tersebut, rata-rata mereka hanya membutuhkan dua buah plastik.
Input lainnya yang dibutuhkan responden adalah bahan bakar berupa
kayu bakar dan serbuk kayu yang merupakan limbah dari usaha penggergajian
kayu yang di kenal dengan istilah serbuk gergaji. Berbeda dengan serbuk
gergaji yang hanya bisa dibeli dari pengusaha penggergajian kayu, untuk
52
memperoleh kayu bakar responden dapat mencari di sekitar pekarangan atau
kebun mereka. Responden dengan volume produksi besar biasanya membeli
kayu bakar dengan kualitas baik seperti kayu jati, kayu sengon atau kayu jenis
kalbas agar lebih tahan lama untuk persediaan selama satu bulan. pada
umumnya kayu tersebut merupakan limbah atau sisa dari usaha penggergajian
kayu.
Tabel 4.11 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut Berdasarkan Jenis Bahan Bakar
Jenis Bahan Bakar Jumlah Responden %
Kayu bakar 35 73
Serbuk gergaji 13 27
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.3.2. Volume Produksi, Biaya Input, Nilai Tambah dan Biaya Tenaga
Kerja
4.3.2.1. Volume Produksi
Jumlah gula semut yang diproduksi responden di Kecamatan
Cilongok bervariasi antara 1 sampai 15 kg per hari, namun 77 persen
responden memproduksi 4-9 kg per hari dengan rata-rata 5,7 kg.
Jika dilihat berdasarkan status usaha responden produsen gula
semut seperti yang telah dibahas sebelumnya pada butir 4.2.3, ternyata
benar bahwa responden yang menjadikan gula semut sebagai pekerjaan
utama memiliki rata-rata volume produksi gula semut lebih besar
53
dibandingkan dengan responden yang menjadikan gula semut sebagai
usaha sampingan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.13.
Tabel 4.12 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut Berdasarkan Volume Gula Semut yang
Dihasilkan Per Hari
Volume produksi
gula semut per hari
(kg)
Jumlah produsen %
1 - 3 8 17
4 - 6 23 48
7 - 9 14 29
10 - 12 2 4
13 - 15 1 2
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Tabel 4.13 Rata-Rata Volume Produksi Gula Semut Per Hari
Berdasarkan Status Usaha
Status Usaha Jumlah
produsen %
Rata-rata
volume produksi
gula semut
(kg/hari)
Utama 45 94 5,7
Sampingan 3 6 5
Jumlah 48 100 5,7
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Selanjutnya pada Tabel 4.14, berdasarkan status kepemilikan pohon
kelapa yang disadap, responden yang menambah nira dengan menyewa
pohon kelapa menghasilkan rata-rata volume produksi tertinggi
dibandingkan dengan yang hanya menyadap pohon milik sendiri atau
sewa.
54
Tabel 4.14 Rata-Rata Jumlah Pohon Kelapa yang Disadap dan Volume
Produksi Gula Semut Per Hari Berdasarkan Status Kepemilikan Pohon
Status kepemilikan
pohon kelapa yang
disadap
Jumlah
produsen %
Rata-rata
jumlah
pohon
kelapa
yang
disadap
Rata-rata
volume
produksi
gula semut
(kg/hari)
Milik sendiri 28 58 19 5,2
Sewa 8 17 23 5,6
Sewa dan milik sendiri 12 25 28 6,7
Jumlah 48 100 22 5,7
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.3.2.2. Biaya Input
Biaya input adalah nilai yang dikorbankan dalam proses produksi
yang terdiri dari biaya bahan baku, bahan penolong yang terdiri dari
bahan pengawet dan plastik untuk kemasan serta bahan bakar. Rata-rata
setiap responden gula semut mengeluarkan biaya input Rp. 22.191 per
hari atau Rp. 4.392 per kg seperti yang disajikan pada Tabel 4.15. Dari
keseluruhan biaya tersebut, biaya terbesar dihabiskan untuk membeli
kayu bakar atau serbuk gergaji sebagai bahan bakar. Jika dibandingkan
kayu bakar, sebenarnya biaya menggunakan serbuk gergaji jauh lebih
murah. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan kayu
bakar adalah Rp. 11.401 per hari sementara jika menggunakan serbuk
gergaji produsen hanya mengeluarkan biaya Rp. 8.808 per hari. Pada
pembahasan sebelumnya, terdapat 73 persen produsen lebih memilih
menggunakan kayu bakar dibandingkan serbuk gergaji. Namun biaya
55
kayu bakar ini tidak secara nyata dikeluarkan produsen karena beberapa
responden dapat memperoleh kayu bakar dari kebunnya. Rata-rata
produsen yang menggunakan kayu bakar ini hanya untuk memasak nira,
sementara bahan bakar untuk memasak kebutuhan rumah tangga biasanya
menggunakan kompor minyak atau gas.
Selanjutnya biaya bahan baku nira menempati proporsi terbesar
kedua. Biaya ini tidak secara nyata dikeluarkan oleh responden karena
setidaknya terdapat 58 persen responden memiliki pohon kelapa sendiri.
Itulah mengapa di lokasi penelitian tidak mengenal adanya penetapan
harga nira kelapa.
Untuk mengukur harga satu liter nira digunakan biaya menyewa
pohon kelapa sebagai proxi dan diperoleh harga sebesar Rp. 113 per liter
nira. Ketika menyewa pohon kelapa, responden membayar 1 kg gula
semut untuk setiap pohon yang disewa setiap bulan dimana setiap 1 kg
gula semut setara dengan Rp 13.552. Oleh karena setiap pohon
menghasilkan 4 liter nira, maka dalam sebulan produsen memperoleh 120
liter nira per pohon. Sehingga jika Rp. 13.552 dibagi dengan 120 liter nira
diperoleh harga Rp. 113 per liter nira. Perlu diketahui berdasarkan
pernyataan responden, pada musim kemarau setiap 1 kg gula semut
dihasilkan dari 6 liter nira, namun musim hujan menyebabkan kuantitas
nira menjadi lebih banyak dari biasanya sementara kualitasnya buruk.
Maka berdasarkan penelitian lapangan, diketahui bahwa rata-rata setiap 1
56
kg gula semut dihasilkan dari 16 liter nira. Dengan demikian biaya bahan
baku nira per kg gula semut adalah sebesar Rp. 1.828 per kg atau Rp.
9.935 per hari.
Tabel 4.15 Rata-Rata Biaya Input Responden Gula Semut
Kecamatan Cilongok Per Kg
Jenis Biaya Input Rata-Rata Jumlah
(Rp/Kg) %
Bahan Bakar 2.406 54,8
Bahan Baku Nira 1.828 41,6
Plastik 83 1,9
Bahan Pengawet 74 1,7
Jumlah 4.392 100,0
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Tabel 4.16 Rata-Rata Biaya Input Responden Gula Semut
Kecamatan Cilongok Per Hari
Jenis Biaya Input Rata-Rata Jumlah
(Rp/Hari) %
Bahan Bakar 11.392 51,3
Bahan Baku Nira 9.935 44,8
Plastik 472 2,1
Bahan Pengawet 392 1,8
Jumlah 22.191 100,0
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Biaya input selanjutnya adalah plastik berkapasitas 12 kg yang
dibeli sebesar Rp. 1.000 per buah. Sehingga responden mengeluarkan
biaya plastik sebesar Rp. 83 per kilogram. Jika dalam sehari rata-rata
57
responden memproduksi 5,7 kg maka dalam sehari rata-rata responden
mengeluarkan biaya plastik sebesar Rp. 472
Biaya input terkecil yang dikeluarkan oleh produsen gula semut
adalah biaya bahan pengawet. Hal ini dikarenakan bahan pengawet yang
digunakan responden dalam sehari sangat kecil. Rata-rata responden
menggunakan kapur sirih hanya 0,05 kg per hari sementara cangkang
manggis hanya 0,03 kg per hari begitu juga daun selatri. Rata-rata harga
bahan pengawet di lokasi penelitian hampir seragam. Kapur sirih dan
daun selatri rata-rata dijual sebesar Rp. 3.000 per kilogram. Sementara
cangkang manggis dijual sebesar Rp. 12.000 sampai Rp. 15.000 per
kilogram.
Jika dilihat pada Tabel 4.17 berdasarkan volume produksinya,
semakin besar volume produksi (output) yang dihasilkan produsen,
semakin kecil biaya input yang dibutuhkan. Kondisi ini terjadi karena
volume produksi gula semut per hari tidak berpengaruh terhadap jumlah
dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan bakar dan bahan
pengawet. Artinya antara produsen yang memproduksi 5 kg/hari dengan
produsen yang memproduksi 15 kg/hari, keduanya sama-sama
mengeluarkan biaya bahan pengawet sebesar Rp. 3000/kg untuk satu
bulan pemakaian begitu juga dengan bahan bakar. Dengan demikian
ternyata responden dengan skala produksi rendah, lebih boros
dibandingkan dengan responden dengan skala produksi tinggi. Hal ini
58
sesuai juga dengan penelitian Kameo (1999) dimana kondisi inefisien
terjadi bagi responden produsen skala kecil namun efisien bagi responden
produsen dengan skala besar.
Tabel 4.17 Biaya Input Responden Produsen Gula Semut
Kecamatan Cilongok Per Kg Gula Semut Per Hari Berdasarkan
Volume Produksi
Volume produksi
gula semut per
hari (kg)
Jumlah
produsen %
Rata-rata biaya
input (Rp/kg)
1 - 3 8 17 6.295
4 - 6 23 48 4.586
7 - 9 14 29 3.263
10 - 12 2 4 2.923
13 - 15 1 2 3.433
Jumlah 48 100 4.392
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.3.2.3. Nilai Tambah
Gula semut merupakan salah satu produk olahan nira kelapa buatan
industri rumah tangga yang berhasil di ekspor ke negara-negara di Eropa
dan Amerika. Pengenalan produk ini kepada para produsen yang awalnya
memproduksi gula kelapa diharapkan memberikan nilai tambah yang
positif. Secara definisi, nilai tambah adalah selisih antara nilai output dan
nilai input (belum termasuk biaya tenaga kerja). Dalam kasus ini, selisih
antara rata-rata nilai output yang diperoleh responden yaitu sebesar Rp
13.552 per kg gula semut dengan rata-rata nilai input per kilogram gula
semut Rp. 4.392 menghasilkan nilai tambah yang positif sebesar Rp.
9.160. Nilai tambah ini juga menggambarkan keuntungan kotor yang
59
diterima produsen gula semut. Seperti yang digambarkan pada Tabel
4.18, semakin besar volume produksi, nilai tambah yang diperoleh juga
semakin besar. Selanjutnya, rata-rata rasio nilai tambah terhadap total
produksi sebesar 67,6 persen yang berarti bahwa setiap Rp 100 nilai
produk gula semut akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 67,6. Beberapa
produsen juga telah memberikan nilai tambah lain untuk gula semut
olahannya seperti yang dilakukan Pak Irwan wakil ketua kelompok tani
yang menambah rasa jahe pada gula semut dan dijual dengan harga Rp.
15.000 per kg.
4.3.2.4. Biaya Tenaga Kerja
Pada umumnya usaha gula kelapa dan gula semut di Kecamatan
Cilongok tidak terdapat biaya tenaga kerja yang secara nyata dikeluarkan
oleh produsen. Oleh sebab itu, biaya tenaga kerja dalam penelitian ini
Tabel 4.18 Rata-Rata Biaya Input, Nilai Tambah dan Rasio Nilai
Tambah Responden Produsen Gula Semut Berdasarkan Volume
Produksi
Volume
produksi gula
semut per
hari (kg)
Jumlah
produsen %
Rata-rata
biaya input
(Rp/kg)
Nilai
tambah
(Rp/kg)
Rasio
nilai
tambah
(%)
1 - 3 8 17 6.295 7.079 53,1
4 - 6 23 48 4.586 8.935 66,1
7 - 9 14 29 3.263 10.451 76,2
10 - 12 2 4 2.923 10.576 78,4
13 - 15 1 2 3.433 10.067 74,6
Jumlah 48 100 4.392 9.160 67,6
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
60
menggunakan tingkat upah tenaga kerja penyortir di Koperasi Nira Satria
sebagai proxi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu key
informan yaitu Pak Zainal sebagai Manager Koperasi Nira Satria, upah
tenaga kerja penyortir gula semut di koperasi adalah sebesar Rp. 500 per
kg atau Rp. 1.000 per kg karena dengan dua orang tenaga kerja. Jika
dalam sehari atau selama 8 jam kerja penyortir mampu menyortir 55 kg
gula semut setiap harinya artinya penyortir memperoleh upah Rp. 27.500
per hari. Jika dalam satu rumah tangga terdiri dari dua tenaga kerja, maka
biaya tenaga kerja dihitung sebesar Rp. 55.000 per hari. Biaya inilah yang
tidak diperhitungkan oleh responden sebagai biaya tenaga kerja mereka.
Berdasarkan Tabel 4.19 jika biaya tenaga kerja diperhitungkan,
maka rata-rata bagian tenaga kerja atau pangsa tenaga kerja dari nilai
tambah yang diperoleh responden adalah sebesar 218,5 persen. Hal ini
dikarenakan responden menerima nilai tambah yang lebih kecil dibanding
biaya yang „seharusnya‟ ia terima sebagai biaya atas tenaga kerjanya.
Pada Tabel 4.19 semakin besar volume produksi, pangsa tenaga kerja
akan semakin kecil. Artinya semakin besar pula nilai yang akan diperoleh
responden setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja.
61
Tabel 4.19. Pangsa Tenaga Kerja Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Volume Produksi Gula Semut Per Hari
Volume
produksi gula
semut per hari
(kg)
Jumlah
produsen %
Pangsa tenaga kerja
(%)
1 - 3 8 17 717,5
4 - 6 23 48 157,6
7 - 9 14 29 70,4
10 - 12 2 4 52
13 - 15 1 2 36
Jumlah 48 100 218,5
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.3.3. Analisis Break Event Point (BEP)
Analisis BEP merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui
kondisi impas suatu usaha yang telah dilaksanakan. Untuk menghitung BEP
perlu dibedakan antara biaya tetap atau Fixed Cost (FC) dan biaya variabel atau
Variable Cost (VC). Biaya tetap dalam penelitian ini adalah biaya penyusutan
peralatan dalam industri gula semut antara lain sebagai berikut:
a. Saringan
Yaitu alat terbuat dari seng yang berfungsi untuk menyaring nira yang
dituang dari pongkor ke dalam wajan agar nira yang dihasilkan bersih
dari kotoran dan bermutu baik.
b. Wajan
Yaitu alat yang terbuat dari aluminium atau besi untuk memasak nira
yang telah disaring hingga menjadi serbuk. Biasanya wajan digunakan
62
selama 2-6 jam per hari. Wajan yang terbuat dari besi lebih mahal dan
lebih tahan lama dibanding yang terbuat dari aluminium.
c. Ayakan
Yaitu alat yang digunakan untuk mengayak atau menyortir gula semut
yang telah dimasak.
d. Soled
Yaitu alat untuk menyortir gula semut terbuat dari plastik berbentuk
pipih.
e. Alat penggerus gula semut
Yaitu alat untuk menghaluskan gula semut panas yang baru saja dimasak.
Alat ini terbuat dari batok kelapa yang didesain khusus untuk
memudahkan produsen menggerus gula semut.
Sementara biaya variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua skenario.
Skenario pertama diantaranya meliputi biaya bahan baku, bahan pengawet,
plastik dan bahan bakar. Sedangkan skenario kedua meliputi seluruh biaya
variabel ditambah dengan biaya tenaga kerja.
Dengan menggunakan metode garis lurus, biaya penyusutan dalam
sebulan diperoleh sebesar Rp. 41.083 atau Rp 1.369 per hari atau Rp.240 per
kg. Selanjutnya biaya variabel pada skenario 1 yaitu dengan biaya tenaga kerja
sebesar Rp. 1.000 per kg diperoleh rata-rata biaya variabel sebesar Rp. 835.620
per bulan atau Rp. 27.854 per hari atau Rp. 5.392 per kg. Sedangkan biaya
variabel pada skenario 2 yaitu tanpa biaya tenaga kerja diperoleh rata-rata biaya
63
variabel sebesar Rp. 665.683 per bulan atau Rp. 22.189 per hari atau Rp. 4.392
per kg.
Tabel 4.20 Break Even Point (BEP) Atas Dasar Unit dan Atas Dasar Rupiah
Responden Industri Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas
Berdasarkan Volume Produksi Per Hari Tanpa Biaya Tenaga Kerja
Volume
produksi
gula
semut
per hari
(kg)
Jumlah
produsen % BEP (kg)
Penerimaan
(Rp/hari) BEP (Rp)
1 - 3 8 17 8,2 31.625 112.031
4 - 6 23 48 5,2 65.304 75.230
7 - 9 14 29 4 104.667 54.294
10 - 12 2 4 4 135.000 52.432
13 - 15 1 2 4 202.500 55.089
Jumlah 48 100 5,4 76.934 73.888
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Nilai BEP atas dasar unit menunjukkan seberapa besar minimal produksi
yang harus dicapai responden dalam satu hari agar terhindar dari kerugian atau
telah mampu menutup semua biaya, baik biaya tetap maupun biaya variabel.
Berdasarkan Tabel 4.20 dapat diketahui bahwa jika BEP dihitung tanpa biaya
tenaga kerja, rata-rata kondisi impas terjadi pada produksi 5,4 kg atau Rp.
73.888 per hari sedangkan rata-rata responden telah memproduksi sebesar 5,7
kg per hari. Dengan demikian jumlah produksi tersebut telah melampaui titik
impas dan menghasilkan keuntungan.
64
Tabel 4.21 Break Even Point (BEP) Atas Dasar Unit dan Atas Dasar Rupiah
Responden Industri Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas
Berdasarkan Volume Produksi Per Hari Dengan Biaya Tenaga Kerja
Volume
produksi gula
semut per
hari (kg)
Juml
ah
prod
usen
% BEP (kg) Penerimaan
(Rp/hari) BEP (Rp)
1 - 3 8 17 15,8 31.625 216.976
4 - 6 23 48 8,5 65.304 112.425
7 - 9 14 29 4,4 104.667 60.142
10 - 12 2 4 4 135.000 57.907
13 - 15 1 2 5 202.500 61.165
Jumlah 48 100 8,2 76.934 111.261
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Sementara itu, berdasarkan Tabel 4.21 jika BEP dihitung menggunakan
skenario dua yaitu dengan biaya tenaga kerja sebesar Rp. 1.000 per kg, dapat
diketahui bahwa responden dengan rata-rata produksi 5,7 kg belum mencapai
titik impas sebesar 8,2 kg sehingga masih mengalami kerugian. Ini terjadi
karena bagian dari penghasilan penjualan (marjin kontribusi) yang tersedia
untuk menutup biaya tetap tidak cukup untuk menutup biaya tetapnya atau
lebih kecil dari biaya tetapnya. Namun jika dilihat berdasarkan volume
produksi, sebanyak 35 persen responden dengan volume produksi 7-15 kg telah
mencapai titik impasnya.
4.3.4. Keuntungan
Seperti analisis BEP sebelumnya, keuntungan bersih dalam penelitian ini
juga dihitung dengan dua skenario yaitu hasil dari nilai tambah dikurangi biaya
penyusutan dengan biaya tenaga kerja dan tanpa biaya tenaga kerja.
65
Berdasarkan Tabel 4.22, dapat diketahui bahwa jika keuntungan dihitung
tanpa biaya tenaga kerja, responden secara keseluruhan akan memperoleh
keuntungan. Rata-rata keuntungan yang diperoleh responden adalah sebesar Rp.
8.851 per kg atau 65,3 persen dari nilai tambah. Semakin besar volume
produksi, maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh responden.
Tabel 4.22. Keuntungan Bersih dan Tingkat Keuntungan Responden Produsen
Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Berdasarkan Volume
Produksi Gula Semut Per Hari Tanpa Biaya Tenaga Kerja
Volume
produksi gula
semut per
hari (kg)
Jumlah
produsen %
Keuntungan
bersih
(Rp/kg)
Tingkat keuntungan
(%)
1 - 3 8 17 6.423 48,2
4 - 6 23 48 8.646 64
7 - 9 14 29 10.270 75
10 - 12 2 4 10.439 77,4
13 - 15 1 2 9.976 74
Jumlah 48 100 8.851 65,3
Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)
Dengan skenario ini, rata-rata keuntungan yang diperoleh responden
dalam sehari adalah Rp. 53.734 atau Rp. 1.601.220 per bulan. Sedangkan
berdasarkan pada Tabel 4.23, jika keuntungan dihitung dengan biaya tenaga
kerja, rata-rata responden akan mengalami kerugian sebesar Rp. 3.520 per kg.
Namun ternyata jika dilihat berdasarkan volume produksi, sebanyak 37 persen
responden yang memproduksi lebih dari 6 kg akan memperoleh keuntungan.
Dengan menggunakan skenario ini, rata-rata kerugian yang diperoleh responden
dalam sehari adalah Rp. 1.626 atau Rp. 48.780 per bulan.
66
Tabel 4.23. Keuntungan Bersih dan Tingkat Keuntungan Responden
Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas
Berdasarkan Volume Produksi Gula Semut Per Hari Dengan Biaya
Tenaga Kerja
Volume
produksi gula
semut per
hari (kg)
Jumlah
produsen %
Keuntungan
bersih
(Rp/kg)
Tingkat
keuntungan
(%)
1 - 3 8 17 -19.930 -147
4 - 6 23 48 -2.951 -22
7 - 9 14 29 3.010 22
10 - 12 2 4 4.939 36,6
13 - 15 1 2 6.309 46,7
Jumlah 48 100 -3.520 -26,2
Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)
4.3.5. Eksploitasi Diri
Berdasarkan analisis sebelumnya dapat diketahui bahwa responden
memperoleh keuntungan jika biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan.
Sedangkan jika biaya tenaga kerja diperhitungkan, maka rata-rata responden
masih mengalami kerugian. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya
responden belum benar-benar sejahtera secara ekonomi karena keuntungan
yang dirasakan selama ini belum memperhitungkan biaya tenaganya atau
dengan kata lain mengeksploitasi dirinya sendiri. Sebab tantangan dan resiko
yang ditanggung oleh para suami-suami penderes bahkan istri-istri pengolah
seakan-akan mengharuskan mereka menjadi manusia super dan mereka
sebenarnya tidak selalu siap untuk peran itu. “Rp. 14.000 masih rugi kalau gula
semut, dengan proses yang seperti itu,” ungkap Bu Yuliyah Ketua Kelompok
Tani Desa Sokawera. Saat musim hujan tiba misalnya, mereka sering merasa
67
cemas terutama para istri. Tidak hanya cemas karena mereka akan menghadapi
krisis nira dan pendapatan mereka yang juga ikut berkurang tapi juga karena
para istri harus mempertaruhkan nyawa suami mereka saat menderes nira.
Terlebih jika hujan petir. Tidak heran jika responden mengatakan bahwa
banyak terjadi kasus kematian tersambar petir di desa mereka. Resiko semacam
itu tidak hanya membebani mereka pada proses penderesan, namun juga pada
proses pemasakan yang masih menggunakan alat tradisional ditambah tanpa
menggunakan pelindung. Salah satu penderes di desa Gunung Lurah misalnya
saat diwawancarai di rumahnya, betis kanannya terbalut perban karena tersulut
kayu bakar panas dan mengakibatkan produksinya terhenti karena ia tidak bisa
menderes.
4.4. Sistem Distribusi dan Pemasaran
4.4.1. Pola Saluran Distribusi
Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan
untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan
mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada
pembeli. Sementara distribusi merupakan bagian inti dari kegiatan pemasaran,
sebab jika barang tidak didistribusikan dengan cara yang tepat, penjualan
produk tidak akan sesuai dengan yang diharapkan khususnya untuk produk
pertanian. Untuk itu, diperlukan lembaga pemasaran sebagai perantara antara
produsen dan konsumen.
68
Dalam penelitian ini, lembaga pemasaran yang terlibat antara lain
pengepul, kelompok tani, koperasi dan eksportir. Berdasarkan wawancara
dengan para responden, setidaknya terdapat 3 pola saluran distribusi yang
digambarkan dalam gambar 4.3 dibawah ini.
Pada pola saluran 1, kehadiran ketua kelompok tani dianggap seperti
pengepul sekaligus kaki tangan atau perantara antara responden anggota
koperasi dan Koperasi Nira Satria sehingga ia tidak mendapat keuntungan dari
setiap kilogram gula semut. Dengan adanya ketua kelompok tani di masing-
masing desa, responden tidak perlu jauh-jauh membawa gula semutnya ke
koperasi dan koperasi juga tidak perlu mengunjungi responden satu persatu
untuk mengangkut gula semut. Setiap 5 hari sekali, responden hanya perlu
berjalan kaki menuju rumah ketua kelompok tani di wilayahnya. Setelah itu
koperasi akan mengangkut gula semut dari ketua kelompok tani menggunakan
Produsen
Ketua
Kelompok
tani
Koperasi Eksportir
Pengepul
Konsumen/
Pasar
domestik
Konsumen
/Pasar luar
negeri
1
2
I 3
I
Gambar 4.3. Diagram Pola Saluran Distribusi Gula Semut Kecamatan Cilongok
Sumber: Data primer (2015)
69
mobil jenis pick up untuk diberi perlakuan khusus dengan mesin pengering
berupa oven dan disortir sebelum akhirnya dikirim ke eksportir.
Namun sebagai lembaga pemasaran baru, Pak Zainal tidak mengelak
adanya persaingan atau „rebutan‟ barang antara koperasi dengan para „pemain
lama‟ yaitu para pengepul. Hubungan sosial antara pengepul dan produsen yang
terlanjur erat ini membuat koperasi tidak dapat berkutik menguasai pasar.
Seperti yang digambarkan pada pola saluran 2, ketua kelompok tani tidak serta
merta dapat menguasai produsen anggota koperasi yang telah lebih dulu
menjual gulanya kepada pengepul. Ketua kelompok tani Desa Kasegeran yaitu
Pak Yitno mengatakan para pengepul mengambil keuntungan sebesar Rp. 500
per kg. Selain itu, pengepul pada pola saluran 3 adalah pengepul yang memiliki
channel atau pelanggan domestik tertentu sehingga ia dapat menjual gula
semutnya dengan harga yang lebih mahal setelah ia mengemas atau
menyortirnya terlebih dahulu. Pengepul pada saluran ini sering menjadi
ancaman berkurangnya pasokan yang masuk ke Koperasi Nira Satria karena ia
membeli gula semut produsen dengan harga yang lebih tinggi dibanding
koperasi. Hal tersebut dikarenakan pengepul tidak memberikan berbagai
pelayanan atau jaminan seperti yang dilakukan Koperasi Nira Satria.
Berdasarkan analisis pola saluran distribusi diatas, ternyata masih
terdapat responden yang tidak langsung menjual gula semutnya kepada
Koperasi Nira Satria seperti yang tercantum pada Tabel 4.24. Hal ini senada
70
dengan pernyataan Pak Zainal bahwa terdapat sekitar 30% produsen anggota
koperasi yang tidak memasok gula semutnya ke Koperasi Nira Satria.
Tabel 4.24 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut Berdasarkan Lembaga Pemasaran yang digunakan
Lembaga Pemasaran yang digunakan Jumlah
Produsen %
Koperasi melalui ketua kelompok tani 29 60
Koperasi dan pengepul 12 25
Pengepul 7 15
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.4.2. Margin Pemasaran dan Farmer’s Share
Marjin pemasaran adalah selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui distribusi margin pada tiap tingkat
lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem pemasaran seperti yang
digambarkan pada Gambar 4.3. Namun penelitian ini hanya menganalisis pola
saluran 1 sebagai pola saluran yang paling banyak diikuti oleh responden
sebagai anggota koperasi.
Tabel 4.23. Margin Pemasaran Berdasarkan Lembaga Pemasaran
Macam
Lembaga
Pemasaran
Harga beli Harga jual Marjin
pemasaran
Marjin
pemasaran
(%)
Produsen - Rp 13.500 - -
Koperasi Rp 13.500 Rp 22.500 Rp 8.948 40
Eksportir Rp 22.500 Rp 60.000* Rp 37.500 63
Total marjin Rp 46.448 102 Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)
71
*) berdasarkan keterangan key informan pengurus Koperasi Nira Satria Bapak Zainal Abidin (2015)
harga jual di tingkat eksportir adalah 4 euro atau setara dengan Rp.60.000 dengan kurs euro pada
Bulan Desember 2015 terhadap rupiah sebesar Rp.15.000.
Berdasarkan informasi Tabel 4.25 dapat dilihat bahwa dibandingkan
koperasi, margin pemasaran pada tingkat eksportir menjadi lebih besar yaitu 63
persen. Hal ini menyebabkan bagian yang diterima responden menjadi rendah.
Bagian yang diterima responden (Farmer share) dapat diketahui dengan
membandingkan antara harga jual per kilogram di tingkat produsen Rp. 13.552
dengan harga jual ditingkat konsumen yaitu Rp. 60.000. Hasilnya, pada pola
saluran distribusi ini responden mendapatkan share atau bagian sebesar 22,6
persen. Hal ini disebabkan karena lembaga pemasaran memiliki wewenangnya
sendiri dalam mengambil keuntungan. Terlebih setiap lembaga memiliki
perbedaan jangkauan, biaya yang kemudian menyebabkan keuntungan yang
diperoleh masing-masing lembaga berbeda. Dalam pemasaran gula semut,
koperasi dan eksportir tentu saja memerlukan biaya-biaya pemasaran. Di
tingkat koperasi misalnya dibutuhkan biaya transportasi, biaya bongkar muat,
pajak, biaya pengiriman, sertifikasi, dokumen-dokumen (administrasi). Hal
serupa juga tentu dialami oleh eksportir. Dengan berbedanya biaya yang
dikeluarkan lembaga pemasaran yang dipengaruhi juga oleh jarak pemasaran,
maka keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga tentu berbeda-beda.
Namun, karena adanya keterbatasan waktu dan jangkauan peneliti, maka dalam
72
penelitian ini tidak dapat dilakukan analisis biaya pemasaran dan keuntungan
yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran.
Dari segi efisiensi dengan mengacu pada Agustono (Utomo, 2008), pola
saluran distribusi ini dikatakan masih belum efisien sebab nilai Farmer’s share
sebesar 22,6 persen masih kurang dari 50 persen serta nilai marjin pemasaran
yang lebih dari 50 persen.
Berdasarkan Tabel 4.26, jika dibandingkan dengan temuan Astuti et al
(2007) dan Utomo (2008), terdapat perbedaan pola saluran distribusi pemasaran
setelah gula kelapa berkembang menjadi gula semut. Perbedaan tersebut terlihat
pada jenis lembaga pemasaran, target pasar, marjin pemasaran, dan farmer’s
share.
Tabel 4.26. Temuan Perbedaan Pola Saluran Distribusi Pemasaran
dengan Penelitian Sebelumnya
Kriteria Astuti W et
al (2007) Utomo (2008) Peneliti (2016)
Lembaga
pemasaran
Pengumpul
dan pedagang
besar
Pengumpul,
pedagang
pengecer,
pedagang besar
Koperasi,
eksportir
Target pasar Lokal Lokal Lokal dan
Mancanegara
(Korea selatan,
Jepang, Eropa,
Amerika Serikat)
Farmer’s share 81,08% 86,7% 22,6%
Marjin pemasaran 49,6% 13,3% 103%
Sumber: Diolah dari Data Primer (2015)
73
Dalam Tabel 4.26, dapat diketahui bahwa gula semut memiliki margin
pemasaran tertinggi dengan farmer’s share yang paling kecil dibandingkan gula
kelapa cetak pada penelitian sebelumnya. Menurut Rahim dalam Utomo (2008)
faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran adalah volume penjualan,
harga di tingkat produsen dan lembaga pemasaran yang dilalui. Sementara
farmer’s share dalam penelitian ini dipengaruhi oleh harga di tingkat produsen
dan di tingkat konsumen. Sehingga perbedaan ini diakibatkan karena skala
pemasaran gula semut yang telah mencapai ekspor, sehingga lembaga
pemasaran yang dilalui juga membutuhkan biaya yang lebih besar yang
kemudian berpengaruh pada tingginya harga di tingkat konsumen.
4.4.3. Harga Keadilan
Tokoh ekonomi, Adam Smith mengajarkan bahwa dalam pertukaran
dagang diperlukan adanya keadilan (fairness). Artinya harga yang digunakan
haruslah yang menggambarkan keadilan dimana jika suatu barang dijual dan
dibeli, harga tersebut memiliki kedudukan yang setara dan seimbang antara
produsen dan konsumen atau dengan kata lain apa yang diperoleh adalah sesuai
dengan apa yang dikeluarkan. Produsen dalam bentuk harga yang diterima dan
konsumen dalam bentuk barang yang diperolehnya (50:50). Itulah kondisi
pertukaran dagang yang adil (http://nui-
duniamahasiswa.blogspot.co.id/2012/11/teori-keadilan-adam-smith_9.html)
Berdasarkan pembahasan pada butir 4.3.2.4 telah dijelaskan bahwa meski
telah memperoleh keuntungan dari industri ini namun keuntungan yang
74
diterima produsen tidaklah sebanding dengan korbanan yang dikeluarkan. “Rp.
14.000 masih rugi kalau gula semut, dengan proses yang seperti itu,” ungkap
Bu Yuliyah Ketua Kelompok Tani Desa Sokawera. Oleh karena itu, harga
dalam industri ini belum menggambarkan harga keadilan seperti yang dikatakan
oleh Adam Smith dalam teorinya.
4.5. Bentuk dan Peran Kelembagaan Ekonomi
Terbentuknya sebuah lembaga di pedesaan sama dengan mewujudkan harapan
masyarakatnya. Menurut Roland Bunch (Rintuh dan Miar, 2005) lembaga dianggap
paling dapat memecahkan masalah pedesaan baik itu lembaga di sektor publik,
swasta, maupun lembaga masyarakat. Kondisi tersebut juga terjadi di Kecamatan
Cilongok dimana dalam penelitian ini ditemukan berbagai lembaga yang berperan
dalam membangun ekonomi rumah tangga gula semut seperti pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, lembaga penelitian dari perguruan tinggi. Namun penelitian ini
hanya fokus pada peran kelembagaan swasta yang menjadi penggerak
diperkenalkannya gula semut ke mancanegara yaitu Koperasi Nira Satria.
4.5.1. Lahirnya Kelembagaan
Alasan lahirnya kelembagaan di dalam perkumpulan orang pada dasarnya
adalah karena adanya kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing
individu dalam kelompok tersebut yang kemudian diwujudkan secara
bekerjasama. Seperti yang terjadi pada saat membentuk koperasi Nira Satria,
mereka berkumpul dengan satu tujuan/tekad yang sederhana namun bermakna
besar dari para pendiri yaitu „untuk pendapatan petani yang lebih baik‟. Namun
75
ternyata pendiri tetap mengaku sulit untuk meyakinkan tujuannya tersebut
kepada para produsen. Menurut Pak Irwan wakil ketua kelompok tani Desa
Rancamaya, hal ini dikarenakan para produsen di beberapa desa pernah
memiliki kenangan yang buruk perihal koperasi simpan pinjam yang pernah
„mandeg‟ yang membuat produsen semakin tidak percaya dengan koperasi.
Oleh sebab itu Koperasi Nira Satria perlu menetralisir hal tersebut terlebih
dahulu dengan memberikan kejelasan tentang pengelolaan koperasi. Koperasi
memulai dengan melakukan pendekatan dan live in di rumah-rumah produsen
untuk memberikan perkenalan dan pelatihan tentang gula semut. Namun dalam
perjalanannya, tidak sedikit penolakan dan demonstrasi yang mereka dapatkan.
Akhirnya sejak resmi berdiri tahun 2011, saat ini Koperasi Nira Satria telah
memiliki 1072 anggota.
4.5.2. Aktivitas Koperasi
Koperasi Nira Satria memiliki beberapa aktivitas diantaranya pemasaran,
simpan pinjam dan asuransi komunitas. Untuk aktivitas pemasaran, koperasi
telah berhasil menembus pasar ekspor Eropa dan Amerika. Hal ini dapat
terwujud karena proses produksi hingga perdagangan dijalankan secara organik
dengan menjalankan prosedur penjaminan mutu yang telah disepakati bersama.
Penjaminan mutu tersebut dilembagakan dalam ICS (Internal Control System)
”Nira Mas”. Pada tahun 2009, produk petani yang tergabung dalam ICS Nira
Mas didaftarkan ke lembaga sertifikasi organik Control Union Sertification.
76
Akhirnya dengan sertifikasi tersebut produk koperasi dapat menembus pasar
Eropa dan Amerika.
Selebihnya, koperasi Nira Satria menjalankan aktivitas seperti koperasi
pada umumnya yaitu membuat program Simpanan Masa Depan (SIMAPAN)
dan Asuransi Komunitas (ASKOM). Aturan mainnya adalah harga setiap
kilogram gula semut yang dijual kepada koperasi akan dipotong sebesar
Rp.500. Dalam hal ini, koperasi juga memiliki catatan sejenis laporan atau
ibarat rapor kinerja berapa kilogram yang dihasilkan produsen A, B sampai Z
dan berapa rupiah yang tersimpan untuk masing-masing produsen di koperasi.
Selain potongan harga jual, setiap tahun anggota koperasi juga wajib membayar
iuran tahunan sebesar Rp. 100.000. Uang-uang ini nantinya akan dikumpulkan
untuk memenuhi kebutuhan peralatan memasak nira atau mewujudkan cita-cita
koperasi saat ini yaitu mewujudkan dapur bersih (berlantai keramik) bagi
semua produsen. Dapur bersih ini menjadi penting karena termasuk standar
mutu produksi gula semut. Selain itu, koperasi juga memberikan asuransi bagi
para produsen yang mengalami kecelakaan kerja misalnya tersambar petir saat
memanjat pohon kelapa atau setidaknya terjatuh karena pohon yang licin.
Namun tidak semua produsen mengetahui dan ingin direpotkan untuk
memikirkan aturan main ini. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang
beragam mengenai berapa potongan harga jual yang dikenakan. Ada yang
mengatakan Rp. 1.000 ada juga yang tidak tahu. Tanggapan umumnya adalah
“biar orang koperasi saja yang urus, yang penting saya produksi dan terima
77
uang.” Berdasarkan data survei di lapangan yang ditunjukkan pada Gambar 4.4,
persentase jumlah produsen yang tidak mengetahui peraturan koperasi dan
pengurus koperasi lebih banyak dibandingkan persentase jumlah produsen yang
tidak mengetahui keuntungan menjadi anggota koperasi. Pengetahuan terhadap
peraturan ini misalnya seperti potongan pada harga jual, pembagian Sisa Hasil
Usaha (SHU) dan peraturan keorganikan untuk penjaminan mutu seperti yang
telah dijelaskan pada Bab dua.
Namun demikian, melihat Gambar 4.4, tidak bisa juga dikatakan bahwa
produsen apatis terhadap hal-hal teknis koperasi karena mereka juga pernah
mengikuti kegiatan yang diadakan koperasi melalui kelompok tani yaitu
pertemuan evaluasi kebersihan dan keorganikan. Selain itu, semua produsen
hampir tanpa pengecualian juga pernah mengikuti pelatihan cara memasak
sekaligus sosialisasi mengenai standard sertifikasi di awal usaha mereka.
Sehingga jika mereka tidak mengetahui peraturan koperasi, bisa jadi
disebabkan karena mereka tidak mengikuti kegiatan ini secara rutin akibatnya
mereka tidak memperbarui informasi atau perkembangan yang ada.
78
4.5.3. Struktur Kelembagaan
Untuk menjalankan berbagai aktivitasnya sebagai sebuah lembaga,
koperasi tentunya akan membagi tugas dengan para fungsionaris dengan
membuat struktur kelembagaan yang memiliki fungsi masing-masing untuk
mencapai tujuan bersama yang telah disepakati. Struktur dalam suatu
kelembagaan sangat penting karena ia menyediakan kejelasan bagian-bagian
pekerjaan dalam aktifitas kelembagaan, keterkaitan antara fungsi-fungsi dalam
susunan kelembagaan, serta hubungannya dengan lingkungan sekitar.
Struktur kelembagaan koperasi Nira Satria memiliki 3 unit. Dua unit
mengurus urusan eksternal dan 1 unit mengurus urusan internal. Bagian tersulit
dan terpenting dalam koperasi ini adalah bagian quality control dimana
koperasi memperketat penyortiran untuk mencegah kotoran ataupun benda lain
Peraturan Pengurus Keuntungan
menjadi anggota
58 65
90
42 35
10
Gambar 4.4. Grafik Persentase Pengetahuan Anggota
Koperasi Terhadap Peraturan, Pengurus dan
Keuntungan dari Koperasi
Tahu Tidak tahu
Sumber : Diolah dari data primer (2015)
79
seperti semut misalnya karena jika hal ini terlewat, koperasi harus membayar
ganti rugi sampai Rp 200 juta.
Setelah melalui proses sortir, kemudian gula semut dikeringkan dengan
mesin pemanas lalu dikemas dalam plastik 10 kg untuk kemudian di ekspor.
Setelah sampai di negara tujuan, gula semut dari Koperasi Nira Satria diolah
kembali dengan ditambah bahan lain seperti kacang hijau, cokelat dan lainnya.
Struktur kelembagaan Koperasi Nira Satria digambarkan dalam Gambar 4.5.
Unit Pelayanan
Anggota
Unit Pengembangan
Koperasi
Staff
Kasir
Unit Usaha
Gula Kelapa
RAT
Rapat Anggota Tahunan
Ketua Umum
Sekretaris
Bendahara
Pemasaran
Produksi
Quality
Control
Simpan pinjam
Asuransi komunitas
Pendidikan &
Pelatihan
Ternak & pembibitan
Saprodi pertanian
Gambar 4.5. Struktur Kelembagaan Koperasi Nira Satria
80
Tidak hanya bersama-sama membenahi Koperasi Nira Satria sebagai
sebuah lembaga yang hidup seperti sekarang dengan omset 2 Miliar per bulan,
beberapa pelopor berdirinya Koperasi Nira Satria juga saat itu mulai
membentuk organisasi kelompok tani di desanya masing-masing sebagai unit
dari koperasi. Pada umumnya struktur kelembagaan yang dibentuk terdiri dari
struktur inti yaitu ketua, sekertaris dan bendahara. Ada juga yang memiliki
wakil ketua. Salah satu lokasi penelitian yaitu Desa Sokawera memiliki struktur
kelembagaan kelompok tani dengan bidang permodalan, pemasaran, hubungan
anggota dan kontrol kualitas. Struktur organisasi yang dibentuk oleh masing-
masing kelompok tani pada dasarnya menyesuaikan dengan kebutuhan yang
dirasakan oleh kelompok tani tersebut. Namun secara umum setiap kelompok
tani memiliki bidang serupa khususnya bidang kontrol kualitas. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa kualitas merupakan hal terpenting untuk
menjamin mutu gula semut.
4.5.4. Kendala dan Tantangan
Dalam mengurus seluruh aktivitas koperasi, tentulah tidak terlepas dari
kendala dan tantangan. Hal pertama yang tidak dapat dihindari adalah koperasi
tidak bisa memastikan bahwa akan ada pasokan gula semut dengan kuantitas
yang sama setiap hari. Selain karena adanya persaingan dengan „pemain lama‟,
musim hujan juga memberikan kerugian bagi para produsen. Bagi para petani
sayuran seperti kol, brokoli, wortel, dan tomat musim hujan memberikan
keuntungan, namun tidak bagi penderes nira kelapa. Kualitasnya yang buruk,
81
membuat para produsen hanya bisa memproduksi gula kelapa cetak yang
harganya jauh lebih murah dibanding gula semut. Hal ini juga berakibat tidak
adanya pasokan bahan baku untuk koperasi.
Menyadari bahwa nasib 1072 anggotanya tergantung pada kekuatan
koperasi, menurut para pengurus Koperasi Nira Satria dan kelompok tani sejak
mereka mendirikan koperasi, masih banyak janji-janji yang belum mampu
dikabulkan kepada anggota terutama dalam hal harga yang adil. Selain itu cita-
cita utama koperasi saat ini yaitu menerapkan dapur sehat di semua dapur
produsen juga sangat sulit terwujud. Hal ini terjadi bukan karena kurangnya
kesadaran produsen melainkan karena ketidakmampuan mereka dalam hal
biaya. Bahkan koperasi sebagai sebuah lembaga tidak mampu membantu
banyak selain lewat program koperasi yaitu Simpanan Masa Depan
(SIMAPAN) yang mereka yakini melalui program tersebut semua dapur akan
masuk ke dalam kriteria dapur sehat secara bertahap. Hal inilah yang terkadang
juga menjadi tantangan bagi para pengurus koperasi dan kelompok tani untuk
mengajak semua penderes bergabung dengan koperasi.
Tantangan lain yang dihadapi koperasi juga datang dari segi aktivitas
ekspor. Sampai saat ini, untuk dapat melakukan ekspor, koperasi masih
bergantung pada sebuah perusahaan eksportir bernama PT. Profil Mitra Abadi
(PMA) sebuah perusahaan agribisnis perdagangan ekspor impor produk
makanan organik. Selain mengekspor gula semut, perusahaan yang salah satu
misinya meningkatkan pertanian Indonesia melalui pertanian organik dan
82
perdagangan yang adil tersebut juga mengekspor kacang mede, wild jungle
peanuts, keripik singkong dan madu. Hal ini dikarenakan koperasi belum
mampu menyiapkan dokumen-dokumen sebagai syarat menjadi eksportir.
Selain belum adanya dokumen-dokumen syarat ekspor, koperasi juga tidak
mampu memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat halal global (Kosher-
certified) karena harus membuat dapur umum yang membutuhkan lahan serta
kekompakan para petani sementara PT PMA sebagai eksportir telah memiliki
sertifikat tersebut dari Kosher London Beth Din (KLBD).
Menurut Pak Zainal, untuk dapat menjadi pemain ekspor yang kuat,
koperasi juga masih terkendala dengan tidak siapnya standarisasi dan
pengawasan kualitas dari pemerintah Indonesia sehingga gula semut tidak eksis
di pasar Eropa dan Amerika dengan lebel „Legine‟ seperti yang mereka buat
untuk pasar domestik. Meski begitu, pemerintah telah membantu dalam hal
pendanaan seperti biaya pendirian kantor koperasi yang baru melalui proposal
yang diajukan koperasi. Selain itu, pemerintah juga pernah menyediakan wadah
untuk memamerkan gula semut di Thailand dan menanggung biaya stand
namun tidak termasuk biaya transportasi dan penginapan.
4.5.5. Kekuatan Koperasi sebagai Harapan 1072 Rumah Tangga
Dengan segala pengelolaan diatas, Koperasi telah diakui para produsen
sebagai harapan bagi mereka untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Salah
satu produsen dari Desa Gunung Lurah, Ibu Laelaturohmah mengatakan bahwa
usaha gula semut yang ia jalani tidak bisa berjalan tanpa adanya koperasi. Ia
83
juga merasa terbantu dan aman dengan adanya asuransi dan program
SIMAPAN yang diberikan koperasi jika suatu saat terjadi hal yang tidak
diinginkan. Selain itu, menurut salah satu produsen dari Desa Sokawera yaitu
Bapak Rahmanto (44), koperasi telah membantu kelangsungan usaha produsen.
Beliau mengatakan “sebelum ada koperasi kita semua amburadul,” ungkapnya.
Hal ini berarti produsen merasa memperoleh keuntungan setelah bergabung
dengan koperasi. Bagi para responden, setidaknya terdapat 5 keuntungan yang
paling sering diutarakan para responden sebagai keuntungan yang ia rasakan
selama menjadi anggota koperasi yaitu (1) harga yang lebih baik (2) pasar
terjamin (3) memperoleh fasilitas (4) menambah pengalaman dan teman (5)
mendapat perhatian dan terpantau.
4.6. Kontribusi Industri Rumah Tangga Gula Semut Terhadap Tingkat
Kesejahteraan Ekonomi Produsen Gula Semut
Meningkatnya jumlah para penderes yang terjun dalam industri gula semut dan
bergabung bersama koperasi sejak tahun 2009 sampai saat ini, tentu saja bukan tanpa
alasan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, gula semut menjadi pilihan produsen
untuk meningkatkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan
hampir seluruh produsen dalam penelitian ini menjadikan gula semut sebagai
pekerjaan utama mereka.
Para pengurus kelompok tani di masing-masing desa mengungkapkan setelah
memproduksi gula semut, kesejahteraan ekonomi produsen menjadi lebih baik.
84
Ditemui di kediamannya, Pak Irwan sebagai wakil ketua kelompok tani menjelaskan
bahwa ia dapat melihat adanya perkembangan kondisi ekonomi rumah tangga
anggotanya di Desa Rancamaya. Begitu juga dengan para produsen di Desa Sokawera
yang menurut ketua kelompoknya yaitu Ibu Yuliyah sudah banyak terjadi perubahan.
Perubahan tersebut tampak dari perilaku produsen saat ini yang sudah mampu
menyekolahkan anak-anak mereka bahkan produsen telah dipercaya menerima kredit
dari bank atau memiliki daya beli meminjam uang atau Credit Worthiness yang baik.
Biasanya para produsen menggunakan pinjamannya untuk membeli motor ataupun
merenovasi rumah.
Pernyataan ini senada dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa terdapat
22,9 persen responden membeli motor, beberapa membeli dengan cicilan bank lebih
dari Rp.500.000 per bulan dan beberapa membeli secara tunai dari hasil menabung.
Hal ini terlihat dari hasil survei bahwa terdapat hampir 90 persen responden
menabung melalui arisan, koperasi, sekolah anak, atau tabungan di RT. Sementara
itu, hanya 7 persen responden yang menabung di bank umum. Hal ini berarti
responden juga memiliki pendapatan yang cukup sehingga menyisihkan
pendapatannya untuk menabung seperti teori yang dikemukakan J.M Keynes bahwa
tabungan dipengaruhi oleh pendapatan.
Selanjutnya mengacu pada Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) dimensi
standar kualitas hidup meliputi kondisi atap, lantai, dinding, sumber penerangan
(akses listrik), dan bahan bakar memasak yang dikeluarkan Ford Foundation,
lembaga pemikir Prakarsa dan Litbang Kompas pada Januari 2016, dalam satu tahun
85
terakhir terdapat 37 persen produsen melakukan renovasi rumah mereka sehingga
saat ini lebih dari 50 persen rumah produsen telah berlantai keramik dan berdinding
tembok. Serta hampir 100 persen rumah produsen telah beratap genteng. Seluruh
produsen juga telah mendapatkan sumber penerangan berupa listrik dan
menggunakan bahan bakar minyak atau gas.
Secara lengkap informasi kesejahteraan ekonomi produsen gula semut
tercantum pada Tabel 4.27 dimana kesejahteraan ekonomi dalam penelitian ini dilihat
dari pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga produsen.
Tabel 4.27 Pemenuhan Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Produsen
Gula Semut Kecamatan Cilongok
Karakteristik Rumah Tangga Jumlah
Produsen %
Rata-rata pengeluaran makan per bulan
a. < Rp.500.000 7 15
b. Rp.500.001 - Rp.1.000.000 23 48
c. > Rp. 1.000.000 18 38
Rata-rata biaya pengeluaran pendidikan per
bulan
a. Tidak Ada 19 39,6
b. < Rp.500.000 22 45,8
c. Rp.500.001 - Rp.1.000.000 6 12,5
d. > Rp. 1.000.000 1 2,1
Pengeluaran renovasi rumah satu tahun terakhir
a. Tidak Ada 30 62,5
b. Ada 18 37,5
Pengeluaran membeli alat transportasi satu
tahun terakhir
a. Tidak Ada 37 77,1
b. Ada 11 22,9
86
Pengeluaran membeli perhiasan satu tahun
terakhir
a. Tidak Ada 34 70,8
b. Ada 14 29,2
Pengeluaran membeli pulsa
a. Tidak Ada 21 43,8
b. Ada 27 56,3
Kepemilikan aset tabungan
a. Tidak Ada 7 14,6
b. Ada 41 85,4
Kepemilikan hewan ternak
a. Tidak Ada 27 56,3
b. Ada 21 43,8
Jenis lantai
a. Tanah 6 12,5
b. Semen 12 25,0
c. Keramik 26 54,2
d. Tanah dan semen 2 4,2
e. Keramik dan semen 2 4,2
Jenis dinding
a. Kayu 16 33,3
b. Bambu 4 8,3
c. Bata 2 4,2
d. Tembok 26 54,2
Jenis Atap
a. Genteng 44 91,7
b. Seng 4 8,3
Kepemilikan Perlengkapan Rumah Tangga
a. Televisi 48 100
b. Radio 13 27,1
c. DVD 10 20,8
d. Setrika listrik 26 54,2
e. Mesin cuci 4 8,3
Sumber penerangan
a. Listrik 48 100,0
b. Petromax 0 0
c. Teplok 0 0
87
Sarana Mandi Cuci Kakus
a. Pribadi 44 91,7
b. Umum 4 8,3
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Selanjutnya Tabel 4.28 menunjukkan kemampuan daya beli yang dicerminkan
dalam total biaya pengeluaran kebutuhan dasar diantaranya biaya makan, pendidikan,
renovasi rumah, membeli kendaraan, perhiasan dan pulsa dalam sebulan jika
menggunakan keuntungan pada skenario tanpa biaya tenaga kerja.
Tabel 4.28. Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan
Saldo Per Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok
Berdasarkan Volume Produksi Tanpa Biaya Tenaga Kerja
Volume
Produksi
Gula
Semut
Per Hari
(Kg)
Juml
ah
Prod
usen
%
Keuntunga
n Bersih
(Rp/Bulan)
Rata-rata
Pengeluara
n
(Rp/Bulan)
Rata-rata
Tabungan
(Rp/Bula
n)
Saldo
(Rp/Bula
n)
1 - 3 8 17 489.210 1.861.666 112.571 -1.273.955
4 - 6 23 48 1.266.513 1.707.176 99.263 -358.663
7 - 9 14 29 2.361.573 2.006.876 323.333 631.839
10 - 12 2 4 3.131.895 2.462.583 60.000 729.312
13 - 15 1 2 4.489.230 1.575.600 115.000 3.028.630
Jumlah 48 100 1.601.219 1.849.071 165.585 -106.414
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Pada tabel tersebut terlihat bahwa 65 persen responden dengan volume
produksi kecil memiliki pengeluaran yang lebih besar dibandingkan keuntungan yang
diperoleh dari gula semut sehingga mengalami saldo yang defisit.
88
Tabel 4.29. Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan
Saldo Per Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok
Berdasarkan Volume Produksi Dengan Biaya Tenaga Kerja
Volume
Produksi
Gula
Semut
Per Hari
(Kg)
Juml
ah
Prod
usen
%
Keuntunga
n Bersih
(Rp/Bulan)
Rata-rata
Pengeluara
n
(Rp/Bulan)
Rata-rata
Tabungan
(Rp/Bula
n)
Saldo
(Rp/Bula
n)
1 - 3 8 17 -1.160.789 1.861.666 112.571 -2.923.955
4 - 6 23 48 -383.486 1.707.176 99.263 -2.008.663
7 - 9 14 29 711.573 2.006.876 323.333 -1.018.160
10 - 12 2 4 1.481.895 2.462.583 60.000 -920.688
13 - 15 1 2 2.839.230 1.575.600 115.000 1.378.630
Jumlah 48 100 -48.780 1.849.071 165.585 -1.756.414
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Apabila dihitung menggunakan keuntungan pada skenario dengan biaya tenaga
kerja, dapat terlihat pada Tabel 4.29 bahwa 98 persen responden mengalami defisit
pada saldonya. Meskipun begitu, hasil survei menunjukkan 90 persen responden
memiliki tabungan. Hal ini mengindikasikan adanya pendapatan yang diperoleh dari
kegiatan lainnya atau kepercayaan dari pihak tertentu seperti bank untuk memberikan
pinjaman kredit. Pada Tabel 4.30 dan 4.31, dengan menggunakan dua skenario yaitu
tanpa dan dengan biaya tenaga kerja, keuntungan yang diperoleh responden dengan
status usaha sampingan ternyata lebih besar dibandingkan responden dengan status
usaha utama. Hal ini berarti responden dengan status usaha sampingan lebih efisien
memanfaatkan bahan input mereka sehingga memperoleh keuntungan yang lebih
besar. Dengan pendapatan yang besar, tentu saja pengeluaran responden dengan
status usaha sampingan lebih besar dibanding responden dengan status usaha utama.
Sehingga pada Tabel 4.30 responden yang menjadikan gula semut sebagai usaha
89
utamanya justru memiliki saldo yang negatif dibandingkan responden yang
menjadikan gula semut sebagai status usaha sampingan karena keuntungan yang
diperoleh dari usaha gula kelapa hanya menutup sebagian kebutuhannya. Dengan
demikian dapat diindikasikan adanya pengeluaran yang diperoleh dari kredit/hutang
yang dilakukan oleh responden dengan usaha utama. Kemungkinan lainnya adalah
bahwa usaha sampingan mereka seperti beternak, berdagang, dan bertani mampu
memberikan pendapatan tambahan untuk menutup kebutuhan mereka. Sementara
skenario pada Tabel 4.31 dapat diketahui bahwa keuntungan masih terlalu kecil untuk
menutup kebutuhan responden.
Tabel 4.30 Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan Saldo Per
Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok Berdasarkan Status
Usaha Tanpa Biaya Tenaga Kerja
Status
Usaha
Jumlah
produse
n
%
Keuntunga
n Bersih
(Rp/Bulan)
Pengeluara
n
(Rp/Bulan)
Tabungan
(Rp/Bulan)
Saldo
(Rp/Bulan)
Utama 45 94 1.555.935 1.836.418 171.815 -135.394
Sampingan 3 6 2.280.483 2.038.866 86.666 328.283
Jumlah 48 100 1.601.219 1.849.071 165.585 -106.414
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Tabel 4.31 Rata-Rata Keuntungan Bersih, Pengeluaran, Tabungan dan Saldo Per
Bulan Responden Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok Berdasarkan
Status Usaha Dengan Biaya Tenaga Kerja
Status
Usaha
Jumlah
produs
en
%
Keuntunga
n Bersih
(Rp/Bulan)
Pengeluaran
(Rp/Bulan)
Tabungan
(Rp/Bula
n)
Saldo
(Rp/Bulan)
Utama 45 94 -94.064 1.836.418 171.815 -1.785.394
Sampingan 3 6 630.483 2.038.866 86.666 -1.321.716
Jumlah 48 100 -48.780 1.849.071 165.585 -1.756.414
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
90
4.7. Dampak Ikutan
Adanya industri rumah tangga gula semut di Kabupaten Banyumas ternyata
tidak memberikan efek negatif baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.
4.7.1. Bidang Ekonomi
Di bidang ekonomi, industri rumah tangga gula semut mampu
memberikan manfaat bagi masyarakat berupa penciptaan lapangan pekerjaan
dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sementara bagi pemerintah
Kabupaten Banyumas, industri rumah tangga gula semut mampu memberikan
andil terhadap PDRB Kabupaten Banyumas. Selain itu, di sektor lain diluar
sektor industri, industri ini secara langsung maupun tidak langsung
menggerakkan sektor perdagangan dan jasa.
4.7.1.1. Penciptaan Lapangan Pekerjaan Baru
Sektor industri yang terdapat di Kabupaten Banyumas diantaranya adalah
88,41 persen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan (IHPK); 5,74 persen
Industri Logam, Mesin, dan Elektronika (ILME) ; 5,85 persen Industri Kimia
Anorganik (IKA). Industri rumah tangga gula semut sendiri termasuk ke dalam
IHPK yang mampu menyerap 87.714 orang tenaga kerja hingga tahun 2014.
Berdasarkan data publikasi BPS Kabupaten Banyumas, industri menjadi salah
satu sektor yang paling banyak menjadi sasaran tenaga kerja bersama sektor
perdagangan dan pertanian.
Koperasi Nira Satria sendiri selain memiliki 16 pengurus koperasi, juga
mempekerjakan 17 pekerja ibu rumah tangga. Adanya hubungan antara
91
koperasi dengan sebuah perusahaan eksportir juga membuat terciptanya
lapangan pekerjaan bagi perusahaan tersebut. Hal ini berarti keberadaan
koperasi telah mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Selain itu menurut Pak Suyitno sebagai ketua dari kelompok tani Desa
Kasegeran yang baru 1 tahun terbentuk, industri rumah tangga gula semut ini
juga sering menjadi pilihan ladang usaha bagi warga desa yang berhenti bekerja
dan kembali ke desa setelah merantau ke kota. Tidak sedikit pengusaha pemula
yang menjadi anggotanya. Menurutnya, Meski sulit menjadi penderes kelapa,
Pak Suyitno mengatakan cukup dengan kemauan dan niat maka para pemula ini
dapat mengikuti pendahulunya.
4.7.1.2. Pendapatan Masyarakat
Peningkatan pendapatan masyarakat dipengaruhi oleh adanya
keterbukaan lapangan pekerjaan pada industri rumah tangga. Hal ini berarti
gula semut menyebabkan masyarakat menjadi lebih produktif sehingga mampu
menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup.
Industri ini mampu menyerap 2 tenaga kerja per keluarga dengan
keuntungan yang diperoleh per bulan rata-rata sebesar Rp. 1.601.219 jika
dihitung tanpa biaya tenaga kerja. Ditambah lagi dengan beroperasinya
Koperasi Nira Satria di Kecamatan Cilongok juga dapat menambah pendapatan
bagi ibu rumah tangga yang menjadi tenaga kerja penyortir di koperasi tersebut.
Dalam sehari mereka mampu menyortir sebanyak 55 kg gula semut selama 8
jam kerja per hari dengan upah Rp. 500 per kg. Sehingga dalam sehari mereka
92
akan memperoleh Rp. 27.500 atau Rp. 825.000 per bulan. Upah ini setara
dengan upah buruh tani di desa seperti yang dikemukakan Mirza (2016) dalam
penelitiannya dimana upah petani di Desa Tlogoweru dan Desa Godog
Kabupaten Demak juga rata-rata sebesar Rp. 25.000 untuk tenaga kerja wanita.
4.7.1.3. Peningkatan Pendapatan Daerah dan Cadangan Devisa
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah ukuran produktivitas
yang mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
wilayah dalam satu tahun. PDRB menjadi cerminan pertumbuhan ekonomi
suatu daerah. Berdasarkan Tabel 4.32, PDRB Kabupaten Banyumas meningkat
dari tahun 2012 sampai 2014 baik itu atas dasar harga berlaku maupun konstan.
Tabel 4.32. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar
Harga Konstan 2010 Kabupaten Banyumas Tahun 2012 – 2014
Tahun PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku (Miliar Rupiah)
PDRB Atas Dasar Harga
Konstan (Miliar Rupiah)
2012 28.486 25.982
2013 31.307 27.772
2014 34.420 29.098
Sumber: BPS Kabupaten Banyumas (2016)
Industri gula semut sendiri termasuk kedalam industri mikro kecil yang
ikut berkontribusi dalam PDRB Kabupaten Banyumas. Hal ini terlihat dari sisi
distribusi penyebarannya dimana PDRB Kabupaten Banyumas atas dasar
harga berlaku tahun 2014 masih didominasi oleh sektor industri pengolahan
sebesar 23,38%. Selanjutnya diikuti oleh sektor perdagangan sebesar
93
16,61%, sektor pertanian sebesar 13,63%, dan sektor konstruksi sebesar
12,23% seperti yang tercantum pada Tabel 4.32.
Tidak hanya berdampak positif bagi PDRB Kabupaten Banyumas,
industri gula semut ini juga tentunya menyumbang cadangan devisa karena
telah menembus pasar ekspor, disaat pemerintah sedang mengeluarkan devisa
untuk impor gula pasir sebanyak 200 Ton tahun 2016 (Arkhelaus, 2015).
Bersamaan dengan hal tersebut, mulailah bermunculan kegiatan penelitian
untuk menjadikan gula semut sebagai diversifikasi industri gula nasional dari
yang berbasis tebu menjadi berbasis palmae atau gula kelapa (palm sugar).
Tabel 4.33 Distribusi Persentase dan Pertambahan Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Banyumas Atas Dasar Harga Berlaku dan
Konstan (2010) Menurut Beberapa Lapangan Usaha 2013-2014
Lapangan Usaha
Harga berlaku Harga konstan
2013 2014 Pertamb
ahan 2013 2014
Pertam
bahan
Industri Pengolahan 22,11 23,38 1,27 11,54 12,77 1,23
Perdagangan 17,05 16,61 -0,44 4,87 3,4 -1,47
Pertanian 15,02 13,63 -1,39 5,26 -6,82 -12,08
Konstruksi 11,89 12,23 0,34 2,04 4,44 2,4
Sumber: Data sekunder (BPS Kabupaten Banyumas,2016)
4.7.1.4. Peningkatan Sektor-Sektor Lain
Industri gula semut telah berkontribusi dalam menggerakkan sektor
perdagangan dan jasa. Meningkatnya produktivitas pada sektor industri
memberikan keuntungan di sektor perdagangan sebab industri ini melibatkan
pembeli dari dari dalam maupun luar kota bahkan luar negeri. Selanjutnya
94
pembeli luar kota yang memesan khusus mengharuskan para produsen atau
koperasi menggunakan jasa pengangkutan atau jasa pengiriman barang. Selain
itu, dengan adanya permintaan dalam negeri, koperasi juga menyediakan gula
semut dalam bentuk kemasan cantik. Koperasi dalam hal ini memanfaatkan jasa
desain dan percetakan sehingga jasa tersebut juga ikut menerima dampak dari
adanya industri gula semut.
4.7.2. Bidang Sosial
4.7.2.1. Solidaritas dan Gotong Royong
Adanya industri gula semut yang diikuti dengan terbentuknya koperasi
dan kelompok tani selain telah menimbulkan efek positif berupa terbukanya
lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat juga menimbulkan adanya
interaksi antar individu dalam masyarakat antar desa di Kecamatan Cilongok
serta menumbuhkan solidaritas yang kuat. Hal tersebut terbentuk dari adanya
pertemuan rutin kelompok tani atau rapat koperasi. Para produsen merasa
pertemuan ini dapat menambah dan mempererat pertemanan mereka. Konsep
gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi juga dirasakan beberapa
produsen. Mereka mengaku senang dapat membantu meringankan beban antar
produsen, meskipun beban mereka sendiri belum seluruhnya teratasi.
4.7.2.2. Kemiskinan
Menurut Jamieson et al (Chotimah, 2012), kemiskinan dapat
mempengaruhi akses terhadap layanan-layanan yang disediakan oleh
pemerintah sehingga akan berdampak pada kualitas hidup masyarakat dan
95
beban bagi pemerintah daerah. Garis kemiskinan dari tahun ke tahun
meningkat, namun persentase penduduk miskin Kabupaten Banyumas sejak
2007 sampai 2014 cenderung menurun. Pada tahun 2014 jumlah penduduk
miskin sebanyak 296.800 jiwa berkurang dari tahun 2007 sebanyak 333.000
jiwa (Banyumas dalam angka 2015). Hal ini menunjukkan kualitas hidup
masyarakat Kabupaten Banyumas yang semakin baik.
Untuk melihat kemajuan pembangunan manusia di suatu wilayah
adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
Kabupaten Banyumas tahun 2014 sebesar 69,25 persen, masih di atas rata-rata
IPM Jawa Tengah yang hanya 68,78. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten
Banyumas, dibandingkan IPM sekaresidenan yang terdiri dari Kabupaten
Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, IPM Banyumas
mempunyai IPM paling tinggi.
4.7.2.3. Kualitas Lingkungan
Dalam proses produksi gula semut dari mulai pengambilan nira kelapa
sampai pemasarannya, tidak terdapat banyak pengaruh negatif yang berarti bagi
lingkungan. Dalam pemanfaatan bahan pengawet organik misalnya, meskipun
para produsen memetik cangkang manggis maupun daun selatri setiap hari di
kebun, hal ini tidak menyebabkan kerusakan pada pohon. Namun sebelum para
produsen mengenal cangkang manggis, pernah terjadi kelangkaan pohon selatri
di Desa Kasegeran akibat para produsen yang tidak mengetahui bahwa selain
batang pohon selatri, daunnya juga bisa dijadikan bahan pengawet seperti yang
96
dilakukan produsen di desa lain. Akhirnya saat itu, karena batangnya habis
dikuliti, pohon tersebut mati. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama
karena para produsen langsung menggunakan cangkang manggis sebagai
penggantinya. Selain itu untuk hal bahan bakar, meskipun mereka tetap harus
mengeluarkan biaya, para produsen telah berhasil memanfaatkan limbah
gergajian kayu dari pabrik kayu disekitar desa.
4.8. Alasan Responden Memproduksi Gula Semut
Seiring dengan perubahan pola konsumsi masyarakat dan perkembangan
kemajuan teknologi, gula kelapa yang sering dikenal dalam bentuk cetak berbentuk
batok kelapa atau bulat saat ini telah mengalami perkembangan inovasi bentuk
menjadi gula kelapa kristal organik (jawa: gula semut). Hal ini menjadi salah satu
usaha diversifikasi produk yang diharapkan dapat memberikan keuntungan tidak
hanya bagi produsen, tapi juga bagi konsumen. Bagi konsumen, gula semut
mengandung manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan nutrisi pada gula tebu
karena mengandung serat pada warna cokelatnya, kalori, kalsium, protein kasar,
mineral, vitamin, dan senyawa-senyawa yang berfungsi menghambat penyerapan
kolesterol di saluran pencernaan (Kristianingrum, 2009). Gula semut yang dijual
dengan rasa jahe misalnya juga dapat mencegah dan menyembuhkan masuk angin,
batuk, flu.
Sehubungan dengan hal tersebut, permintaan akan gula semut semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan produsen yang awalnya hanya memproduksi gula
kelapa dalam bentuk cetak mencoba peruntungan dengan memproduksi gula semut.
97
Berdasarkan data di lapangan, semua responden yang memproduksi gula semut
menyatakan pernah memproduksi gula kelapa cetak. Namun meski telah
memproduksi gula semut, produsen juga tetap memproduksi gula kelapa cetak hanya
jika kualitas nira kelapa buruk (biasanya saat musim hujan).
Berdasarkan hasil survei, alasan responden memproduksi gula semut adalah
karena harga gula semut yang lebih tinggi dan stabil sehingga mereka percaya
keuntungan yang mereka peroleh akan lebih besar dan dapat mencukupi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Selebihnya, hanya 2,1 persen responden yang beralasan
memproduksi gula semut untuk mendapatkan keuntungan dari koperasi.
Menurut responden, keputusan mereka untuk mulai memproduksi gula semut
bukan hanya karena kemauan mereka sendiri melainkan karena adanya peran dari
Koperasi Nira Satria, kelompok tani dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) seperti Pusat Pengembangan Produk Rakyat (P3R), Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lingkungan Hidup (LPPSLH), dan Agro Wilis. Dalam
mengajak responden untuk memproduksi gula semut, awalnya lembaga tersebut
mengadakan pelatihan cara membuat gula semut dan keorganikan serta juga
memberikan pengertian bahwa harga gula semut lebih mahal dibandingkan gula
kelapa cetak sehingga lebih menguntungkan dan memberikan peningkatan terhadap
penghasilan mereka.
Selain itu, dengan memproduksi gula semut, responden juga mengaku dapat
memperoleh keuntungan karena diajak menjadi anggota Koperasi Nira Satria. Selama
menjalankan usahanya dan menjadi anggota Koperasi Nira Satria, ternyata masih
98
terdapat 56 persen yang belum memperoleh bantuan. Sementara sisanya mengatakan
pernah memperoleh bantuan baik itu dari koperasi, pemerintah, kelompok tani
maupun LSM. Seperti yang diceritakan sebelumnya oleh pengurus koperasi, bantuan
ini memang belum mampu diterima secara menyeluruh oleh anggota. Bantuan yang
dimaksud adalah berupa peralatan masak dan menyadap. Ada juga yang pernah
memperoleh asuransi komunitas dari koperasi dan pelatihan.