bab iv analisa studi kasus terhadap konflik...

22
BAB IV ANALISA STUDI KASUS TERHADAP KONFLIK INTERNAL GEREJA GMIST SAWANG 4.1 Pendahuluan Penulis telah mengatakan sebelumnya bahwa proses pengambilan data dalam penulisan tesis ini adalah dengan menggunakan metode observasi dan wawancara terhadap objek-objek penelitian yaitu mereka yang terkait dengan konflik dalam gereja GMIST sawang yang mengakibatkan perpecahan gereja dan disitegrasi masyarakat. Dalam bagian analisa akan diuraikan hasil penelitian yang kemudian akan diasah dengan teori konflik dan kekuasaan yang telah dijabarkan dalam bab dua. Tak dapat disangkal bahwa dalam proses pengambilan data penulis mendapatkan berbagai kendala dari responden yang nampaknya tak ingin begitu terbuka terhadap penulis sebab masalah konflik adalah masalah yang sensitif. Terutama responden yang telah menyatakan diri keluar dari GMIST dan yang sekarang merupakan anggota Jemaat KGPM Sidang Sentrum Sawang, yang hingga kini terlihat sikap antagonistiknya terhadap anggota jemaat GMIST, seperti yang telah penulis jabarkan dalam bab yang membahas tentang hasil penelitian. Meskipun demikian, pihak GMIST juga memiliki tindakan yang sama dengan mereka yang berpindah ke KGPM. Kendala yang lain dalam menganalisa hasil penelitian ini adalah sebagaimana telah saya sampaikan dalam latar pemikiran maupun dalam uraian hasil penelitian bahwa awal terjadinya konflik ini adalah dikeluarkannya surat keputusan mutasi terhadap pendeta X yang melahirkan dua pihak yang Pro dan Kontra terhadap keputusan

Upload: phamtuyen

Post on 17-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

ANALISA STUDI KASUS TERHADAP KONFLIK INTERNAL GEREJA

GMIST SAWANG

4.1 Pendahuluan

Penulis telah mengatakan sebelumnya bahwa proses pengambilan data dalam

penulisan tesis ini adalah dengan menggunakan metode observasi dan wawancara

terhadap objek-objek penelitian yaitu mereka yang terkait dengan konflik dalam gereja

GMIST sawang yang mengakibatkan perpecahan gereja dan disitegrasi masyarakat.

Dalam bagian analisa akan diuraikan hasil penelitian yang kemudian akan diasah

dengan teori konflik dan kekuasaan yang telah dijabarkan dalam bab dua.

Tak dapat disangkal bahwa dalam proses pengambilan data penulis mendapatkan

berbagai kendala dari responden yang nampaknya tak ingin begitu terbuka terhadap

penulis sebab masalah konflik adalah masalah yang sensitif. Terutama responden yang

telah menyatakan diri keluar dari GMIST dan yang sekarang merupakan anggota Jemaat

KGPM Sidang Sentrum Sawang, yang hingga kini terlihat sikap antagonistiknya

terhadap anggota jemaat GMIST, seperti yang telah penulis jabarkan dalam bab yang

membahas tentang hasil penelitian. Meskipun demikian, pihak GMIST juga memiliki

tindakan yang sama dengan mereka yang berpindah ke KGPM.

Kendala yang lain dalam menganalisa hasil penelitian ini adalah sebagaimana

telah saya sampaikan dalam latar pemikiran maupun dalam uraian hasil penelitian

bahwa awal terjadinya konflik ini adalah dikeluarkannya surat keputusan mutasi

terhadap pendeta X yang melahirkan dua pihak yang Pro dan Kontra terhadap keputusan

tersebut. Alasan ini terlihat begitu sederhana yang seharusnya tak pantas untuk

terciptanya konflik yang berbuah perpecahan, yang sebaiknya dapat dibicarakan dengan

bijak. Karena itu kecurigaan awal penulis ialah adanya faktor lain dalam perpecahan ini

yaitu kepentingan tersembunyi dari orang-orang yang berperan penting dalam konflik

tersebut. Maka, sebisa mungkin penulis akan menggunakan teori dalam bab dua untuk

menganalisa data yang diperoleh dilapangan dengan sikap yang senetral mungkin.

4.2 Analisa Terhadap Faktor-Faktor Konflik Internal Jemaat GMIST Sawang

4.2.1 Adanya Prakondisi Konflik dalam Jemaat GMIST Sawang yang puncaknya pada

mutasi pendeta X.

Konflik yang terjadi dalam Gereja GMIST sawang yang mengakibatkan telah

terpecahnya jemaat GMIST Sawang dan berdirinya Jemaat KGPM Sentrum Sawang

tetap terasa hingga saat ini di mana terjadi disintegrasi dalam masyarakat Kampung

Sawang. Dengan melihat dan menilai sikap antagonistik yang masih tergambar jelas di

wajah dan perilaku dari masing-masing anggota Jemaat. Satu hal yang ingin ditegaskan

oleh penulis bahwa tak semua anggota jemaat yang masih di GMIST dan yang sudah

pindah di KGPM bersikap antagonistik satu dengan yang lainnya. Sebab yang sangat

nampak adalah mereka yang turut aktif dalam menciptakan konflik tersebut. Sebagian

besar anggota yang tak berpindah atau yang telah ikut berpindah tidak tahu menahu

alasan yang tersirat dari perpecahan tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa alasan

berpindah itu karena mereka ingin menahan pendeta X untuk pelayanan lebih lama

sampai masa periodenya selesai dan anaknya bisa menyelesaikan sekolahnya di kelas III

SMP Negeri 1 Siau Timur Selatan.

Yang sebenarnya dihadapi dalam konflik internal GMIST ini adalah berdasarkan

Dictionary of English Language and Cultur yaitu sebuah konflik yang merupakan status

perselisihan paham atau argumen antara kelompok-kelompok yang berlawanan atau ide-

ide yang berlawanan atau prinsip-prinsip yang berlawanan.1 Ketika pihak yang pro

maupun yang kontra memiliki argumen, ide-ide dan bahkan prinsip-prinsip yang saling

bertabrakan mengakibatkan konflik internal itu lebih bertambah parah, mengingat

keinginan mereka telah benar-benar berbeda bahkan kepentingan yang ada di dalamnya

yang tak mungkin dibicarakan bersama.

Konflik yang terjadi di jemaat GMIST Sawang adalah konflik yang sama dengan

pemikiran dari seorang pakar Sosiologi yaitu Lewis Coser yaitu konflik Internal yaitu

konflik yang muncul dalam sebuah kelompok yang memiliki hubungan yang sangat

intim seperti hubungan antar sesama anggota Jemaat GMIST Sawang. Konflik internal

itu muncul karena ketegangan dan perasaan-perasaan negatif yang merupakan hasil dari

keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan

sosial serta penghargaan-penghargaan. Sama halnya dengan anggota jemaar GMIST

Sawang yang berperan aktif dalam konflik seperti yang telah penulis jabarkan dalam

bab 3 yaitu mereka memiliki tujuan mengapa harus berkonflik. Dean G Pruitt dan

Jeffrey Z, Rubin mengungkapkan bahwa Objek Konflik pastilah terkait erat dengan

sebuah kepentingan dari pelaku konflik tersebut. Yang dimaksud dengan kepentingan di

sini ialah perasaan dari pelaku konflik tentang apa yang sesungguhnya ia inginkan.

Demikian halnya mereka yang berperan aktif dalam proses konflik di jemaat GMIST

Sawang baik yang Pro maupun yang Kontra atas keputusan mutasi pendeta X jelas

memiliki kepentingan sendiri-sendiri, apakah itu untuk kelancaran dan kebaikan

1 Longman, Dictionary of English Language and Culture (British: Longman Press, 2005), 287.

institusi maupun demi kepentingan pribadi. Sebut saja mereka yang berpindah ke

KGPM Sentrum Sawang, alasan berpindah mereka adalah karena tidak senang atas

keputusan mutasi pendeta X dan mereka merasa kasihan terhadap pendeta X yang harus

pindah sebelum masa pelayanannya selesai dan juga prihatin atas studi dari anak

pendeta X. Namun ada yang menarik dalam wawancara dengan anggota jemaat KGPM

Sentrum Sawang, mereka cenderung mengatakan bahwa “ kalau anggota jemaat GMIST

mengatakan mereka berpindah karena tetap menginginkan kedudukan dalam jemaat itu

salah, toh mereka di GMIST Sawang juga memiliki kedudukan sebagai majelis jemaat.

Tapi yang menyenangkan mereka adalah, mereka sampai mati pun akan tetap membawa

gelar sebagai penatua dan tidak dapat diganggu gugat, sebab kedudukan sebagai penatua

merupakan kedudukan tertinggi setelah pendeta. Berlaku di jemaat baik GMIST

maupun KGPM hanya yang berstatus penatua yang bisa menggantikan pendeta untuk

memimpin ibadah di mimbar gereja. Kedudukan sebagai seorang penatua merupakan

hal yang sangat membanggakan”. Ungkapan kebanggaan sebab mereka akan membawa

gelar penatua hingga keliang kubur mengungkapkan suatu makna kepentingan mereka

meskipun disangkal ketika ditanyakan. Kepentingan yang jelas tergambar dan juga

diakui oleh anggota jemaat GMIST Sawang yaitu ingin tetap memegang kedudukan

sebagai majelis jemaat. Sebab beberapa dari mereka sudah berumur mendekati masa

pensiun sebagai majelis jemaat yaitu mendekati umur 60 tahun. Untuk itu jabatan

sebagai penatua di jemaat KGPM adalah lebih memiliki kekuasaan dibandingkan

dengan di GMIST. Sebab di GMIST masih akan mencapai masa berhenti berbeda jelas

dengan di KGPM. Jabatan sebagai penatua sanggup memberikan mereka kuasa sejak

saat dilantik hingga meninggal.

4.2.2 Konflik internal berubah menjadi konflik eksternal karena kehadiran pihak ke

tiga.

Konflik internal yang muncul akibat adanya kepentingan tersebut akhirnya juga

berdampak pada konflik eksternal seperti yang juga dikemukakan oleh Lewis Coser

yakni konflik yang terjadi antara dua kelompok yang berbeda. Sebab hingga sekarang

konflik antara gereja GMIST Sawang dan KGPM Sidang Sentrum Sawang masih

terjadi. Sekat yang tinggi sangat terasa di sana, di mana tak tercipta komunikasi yang

baik antara anggota jemaat GMIST dan jemaat KGPM. Kalau pun komunikasi itu

tercipta semua berusaha mengetahui sisi lemah dari masing-masing. Pengalaman

tersebut terjadi ketika penulis berada di lokasi penelitian, di mana ketika penulis di

panggil oleh jemaat KGPM untuk memimpin ibadah Minggu di jemaat mereka, maka

penulis juga di minta oleh jemaat GMIST untuk memimpin ibadah minggu di jemaat

GMIST. Mereka bersaing ingin dikatakan baik dan bijak dalam berjemaat. Tak heran

ketika dalam warta jemaat sering di sampaikan oleh majelis jemaat agar harus rajin

beribadah jangan mau kalah dengan jemaat lainnya. Terjadi persaingan yang sengit

antara kedua jemaat ini. Hal lain juga yang menjadi keprihatinan penulis adalah ketika

ada anggota jemaat yang berselisih paham dengan sesama anggota jemaatnya, maka

pasti akan memutuskan diri berpindah ke jemaat lainnya (KGPM ke GMIST, demikian

sebaliknya GMIST ke KGPM). Seperti terjadi pada akhir tahun kemarin ada anggota

jemaat KGPM yang berpindah kembali ke GMIST karena alasan pribadi yang menjadi

faktornya. Sebab penulis juga sudah mewawancarai responden tersebut dan dengan

terang-terangan beliau menjelaskan alasannya. Demikian yang dari GMIST berpindah

ke KGPM sering kali karena alasan tak dihargai di GMIST makanya memilih jalan

untuk berpindah di KGPM.

Pergeseran dari konflik internal menjadi konflik eksternal terjadi dalam kasus

konflik di Jemaat GMIST Sawang menurut hasil analisa penulis adalah karena orang-

orang yang terlibat konflik internal menghadirkan kelompok lain yang menjadi orang ke

tiga dalam konflik tersebut. Sebutlah kehadiran KGPM sebenarnya adalah merupakan

pencetus terciptanya pergeseran konflik tersebut. Memang tidaklah serta merta penulis

menarik sebuah kesimpulan bahwa berarti yang paling bertanggung jawab atas konflik

eksternal ini adalah mereka yang kontra dan yang memutuskan untuk berpindah

tersebut. Sebab bagi penulis baik pihak yang pro maupun yang kontra keduanya

memiliki andil sebab masing-masing masih mempertahankan rasa marah dan kecewa

terhadap satu sama lain serta masih memiliki keinginan untuk berkonflik, yang disebut

oleh Lewis Coser Sebagai konflik Nonrealistik.

KGPM sebagai suatu aliran gereja diluar daerah pelayanan GMIST bisa sampai

di sana sebab memang diinginkan oleh pihak yang kontra dengan demikian seperti yang

dikemukakan oleh penulis bahwa KGPM menjadi pihak ketiga dalam kelompok pro dan

kontra dalam GMIST ini. Sesuai pandangan George Simmel pihak ketiga dapat

memanfaatkan perselisihan dalam kelompok, dan pihak ketiga dapat juga

memanfaatkan perselisihan antar dua pihak yang lain demi keuntungannya sendiri atau

menjadi sasaran yang dapat diperebutkan dua pihak lain. Yang menurut hemat penulis

bahwa memang ada manfaat yang luar bisa menguntungkan pihak KGPM sebab mereka

bisa “buka cabang” pelayanan di luar Minahasa, yang tentunya dengan jumlah anggota

yang luar biasa besar dibandingkan jemaat KGPM yang telah berdiri di Siau

sebelumnya. Sebab berdasarkan penuturan responden bahwa merekalah jemaat KGPM

yang terbesar yang ada di Siau dibandingkan dua jemaat KGPM lainnya seperti yang

ada di Balirangen dan Batu Senggo.

Pandangan lain dari George Simmel berkaitan dengan kehadiran pihak ketiga

adalah bahwa pihak ketiga pun dapat secara sengaja mendorong terjadinya konflik antar

dua pihak lain untuk memperoleh superioritas atau dengan kata lain memecah belah

dan menguasai. Pendapat Simmel tentang tindakan pihak ketiga ini tak bisa langsung

diiyakan oleh penulis mengingat penulis tak mendapatkan tanda dari fakta adanya unsur

kesengajaan dari kehadiran KGPM secara spontan, sebab yang menghadirkan KGPM

adalah mereka yang kontra. Namun memang penyesalan dari penulis sendiri bahwa

kalau tidak ada unsur sengaja untuk mendapatkan superioritas dari pihak KGPM,

mengapa mereka mau-mau saja datang, memberi izin dan mendukung proses

berpindahnya anggota yang kontra dalam konflik internal GMIST?.

Sehubungan dengan perpindahan anggota jemaat GMIST ke KGPM maupun

sebaliknya KGPM ke GMIST, menampakan bahwa kedua warga jemaat ini masing-

masing memiliki sikap antagonisme yaitu secara sosiologis dijabarkan oleh Dean G.

Pruitt dan Jefry Z. Rubin merupakan suatu unsur yang tidak pernah tidak ada dalam

suatu hubungan. Sikap antagonisme hanya dapat hilang ketika munculnya kesadaran

bahwa hal tersebut tidak memiliki manfaat atau karena telah jenuh berkelahi. Seperti

konflik yang tercipta dalam penelitian penulis ini, mereka tetap berkonflik sebab mereka

belum jenuh berkelahi dan kepentingan untuk memperebutkan anggota jemaat agar

menjadi kebanggaan bagi masing-masing masih ada.

4.2.3 Pecahnya konflik disebabkan oleh pendeta X

Kepentingan juga tergambar dengan penuturan responden bahwa yang membuat

adanya mereka yang kontra ini adalah pendeta X sendiri. Sebab pada dasarnya pendeta

X yang menghasut mereka untuk membela dan mempertahankan dia untuk tetap tinggal

di jemaat GMIST Sawang.2 Sehingga salah satu tindakan untuk menjalankan surat

permintaan tanda tangan bagi warga jemaat GMIST yang mau mempertahankan pendeta

X dilaksanakan. Tindakan mengadakan rapat tertutup antara pendeta X dengan mereka

juga menggambarkan kepentingan mereka. Yang di dalamnya mereka membawa 4 buku

gereja KGPM, yang kemudian ditunjukan kepada responden sebagai bukti bahwa

mereka tidak main-main dengan ancaman mereka.3 Maka, menurut penulis sendiri,

rencana ntuk pindah ke KGPM telah disusun sebelumnya sebagai antisipasi ketika

keinginan untuk mempertahankan pendeta X tidak terlaksana. Meskipun alasan

mempertahankan pendeta X bukan satu-satunya faktor terciptanya konflik.

Menarik dari sikap pendeta X yang menggambarkan bahwa beliaulah yang juga

menjadi profokator terjadinya konflik ini, karena pada saat kegiatan serah terima

pendeta tingkat resort Siau Timur yang dilaksanakan di jemaat GMIST Sawang, beliau

tidak hadir. Yang hadir hanya mereka yang kontra terhadap keputusan tersebut untuk

menyerahkan surat penolakan mereka terhadap pendeta baru yang akan melayani di

jemaat GMIST Sawang. Tindakan mereka ini sangat tidak disenangi oleh pimpinan BPS

GMIST maka setelah acara itu selesai, maka pimpinan BPS GMIST menjumpai beliau

dan berusaha menegur, tapi sia-sia sebab beliau melawan dengan memintah untuk

mengundurkan diri dari GMIST.

4.2.4 Rasa ingin bersaing antara dua jemaat yaitu GMIST dan KGPM yang

mengakibatkan masih adanya konflik meski telah terjadi perpecahan.

Konflik yang berlangsung di antara jemaat GMIST dan KGPM ini terarah jelas

pada jenis konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser yaitu konflik realistik dan Non

Realistik yang diuraikannya berdasarkan proses jalannya konflik. Kedua jenis konflik

2 TM(5 Januari 2013).

3 Ibid.

ini semua mencakup sifat konflik yang terjadi di Sawang di mana sudah pasti ada tujuan

khusus yang ingin dicapai oleh pihak yang pro dan kontra atas keputusan dari BPS

GMIST tentang keputusan mutasi tersebut meski bukan satu-satunya alasan konflik.

Konflik realistik senantiasa diarahkan pada objek konflik yang sebenarnya, yaitu

keinginan mereka mempertahankan pendeta X. Pertanyaannya, apakah hanya masalah

mutasi pendeta yang membuat mereka bersikeras menentang BPS GMIST? Demikian

halnya dengan mereka yang Pro dengan keputusan BPS tersebut, apakah memang hanya

karena ingin mengikuti keputusan BPS Sinode? Bagaimana dengan ketidakcocokan

antara majelis jemaat dengan sesama majelis jemaat dan juga antara majelis jemaat dan

pendeta X. Pada dasarnya sikap pro maupun kontra ini ada yang melatarbelakangi

hanya saja mereka tak menyampaikannya satu sama lain, hanya dipendam saja dan

mengakibatkan konflik yang besar dan yang harusnya selesai ketika telah ada ujung dari

konflik tersebut seperti yang diketahui dengan berpindahnya pihak yang kontra ke

KGPM. Sebagaimana konflik realistik menurut Coser berakhir ketika tujuan telah

tercapai. Situasi konflik yang berkelanjutan ini membawa pertanyaan lagi dalam benak

penulis, mengapa masih saja berkonflik? Pertanyaan inilah bisa dijawab dengan

pernyataan Coser yaitu jenis konflik yang non realistik. Konflik yang realistik tersebut

akhirnya berubah menjadi non realistik di mana kedua bela pihak yaitu jemaat GMIST

Sawang dan KGPM Sidang Sentrum Sawang masih terus berkonflik tapi sudah bukan

dengan alasan yang pertama, namun telah beralih pada alasan lain seperti bersaing satu

dengan yang lain, rasa kecewa dan amarah yang masih dipendam serta mereka belum

benar-benar lelah berkonflik sehingga menciptakan suasana damai yang gersang dalam

relasi sebagai masyarakat kampung Sawang. Menurut penulis tujuan yang tepat dalam

kasus konflik gereja GMIST dan KGPM ini, adalah bagaimana cara untuk

mengecewakan pihak lain.

Bagaimana mungkin konflik internal GMIST ini bisa selesai jika perbedaan

yang ada tak pernah coba untuk diselesaikan dan dibicarakan dengan baik. Sebab

menurut Morton Deutsch, konflik dalam gereja dapat selesai jika pihak yang berkonflik

berusaha menyelesaikan perbedaan dan dengan demikian, yang sanggup menyelesaikan

adalah mereka sendiri yaitu pihak yang berkonflik apakah yang pro atau kontra terhadap

keputusan mutasi pendeta X oleh BPS GMIST. Tapi perlu untuk diingat bahwa,

perpisahan telah tercipta dan sulit untuk dikembalikan seperti semula saat hanya ada

gereja GMIST Sawang di kampung Sawang. Meskipun berdasar pada hasil wawancara

dengan beberapa responden dari GMIST, mereka sangat merindukan persatuan itu lagi

dan kerinduan tersebut berbanding terbalik dengan keinginan dari pihak warga GMIST

yang telah berpindah ke KGPM.

4.2.5 Dampak Konflik

Dampak positif konflik yang terjadi di gereja GMIST Sawang ini adalah

berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, anggota jemaat yang tadinya

tidak aktif dalam ibadah semua menjadi aktif dan bahkan giat dalam beribadah.

Demikian juga dengan mereka yang telah resmi berpindah ke KGPM Sidang Sentrum

Sawang, mereka yang berpindah yang tadinya tidak aktif ibadah pada saat masih berada

di GMIST menjadi aktif. Sangat nampak adalah yang tidak pernah menjadi pelayaan

jemaat atau majelis di GMIST akhirnya menjadi majelis juga di KGPM dan yang tidak

pernah membawakan puji-pujian dalam paduan suara di GMIST menjadi pembawa

paduan suara di KGPM. Hal ini menampakan sikap solidaritas berdasarkan pemikiran

George Simmel yaitu ketika terjadi konflik dengan kelompok luar, solidaritas kelompok

dalam bertambah tinggi. Faktanya, dengan melihat keadaan ini penulis menarik

kesimpulan bahwa benar kata salah seorang responden bahwa telah ada prakondisi

konflik dalam jemaat GMIST antara beberapa oknum yang memiliki kepentingan dalam

gereja terkait dengan kedudukan dalam pelayanan dan rasa ingin di hargai lebih oleh

satu sama lain. Yang oleh George Simmel dikemukakan bahwa ketegangan dan

perasaan negatif merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan

kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial dan penghargaan-penghargaan.

Bagi George Simmel konflik internal seperti yang terjadi berdasarkan objek

penelitian penulis ini (konflik in group) memang sangat tidak diinginkan sebab ketika

kepentingan yang ada tak dapat diselesaikan dengan baik, dengan menggunakan

kerangka konsensus atau tidak ada lagi dasar untuk kesatuan kelompok, maka konflik

internal dapat mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan kelompok. Jelas sekali

bahwa disintegrasi yang terjadi dalam konflik gereja GMIST adalah dampak dari tidak

ditemukannya kerangka konsensus antara pihak yang Pro dan kontra. Sebab bagi

Simmel seharusnya sikap antagonistik yang ada dalam kelompok dikeluarkan dengan

jelas dan disampaikan dengan terbuka sehingga tidak menggunung dan menghasilkan

konflik yang lebih besar, tidak pernah dilakukan oleh pihak yang pro dan kontra

tersebut. Sebab seperti yang telah diuraikan oleh penulis dalam bab 3 bahwa sejak

terjadinya konflik, komunikasi tak terjalin dengan baik antara pihak pro dan kontra.

Mereka masing-masing mencari jalan penyelesaiannya tanpa adanya perundingan

bersama. Yang kontra melakukan rapat sendiri dan yang pro juga mengadakan rapat

sendiri. Rapat yang diadakan saat itu oleh pihak yang pro juga mengundang mereka

yang kontra untuk membicarakan tentang berapa uang yang akan dikeluarkan untuk

diserahkan kepada pendeta X. Pada saat itu kesepakatan rapat uang yang akan

diserahkan sebesar Rp.10.000.000. Sedangkan rapat yang dilakukan oleh mereka yang

kontra hanya terdiri dari mereka saja bersama pendeta X, itupun rapat tertutup dalam

pastori gereja yang bahkan lampu pun di matikan. Situasi itu membuat gempar pihak

yang pro dan datang langsung untuk menghentikan rapat tersebut. Rapat tersebut tak

sengaja disaksikan oleh seorang responden ketika beliau datang ke pastori dengan

tujuan untuk menjumpai pendeta X menyampaikan hasil rapat bersama segenap majelis

jemaat menyangkut kegiatan serah terima pendeta yang akan diadakan di jemaat

GMIST Sawang. Sebab ternyata bukan hanya pendeta X yang dipindahkan tapi ada 3

pendeta dari jemaat lainnya, yang menurut penuturan responden itu akal-akalan

pimpinan gereja agar tak dicurigai bahwa yang utama akan dipindahkan adalah pendeta

X.

Sisi positif konflik internal oleh George Simmel adalah tidak terpendam lebih

lama lagi perasaan antagonistik dan permusuhan yang ada sehingga dampak pun tidak

begitu parah. Sisi positif ini juga nampak dalam konflik yang menjadi objek penelitian

penulis yaitu berdasarkan penuturan beberapa responden, memang telah ada situasi awal

konflik sebab adanya keinginan mendasar dari pihak kontra untuk merealisasikan

keinginan mereka untuk memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam jemaat, hanya

saja nanti dikeluarkan saat ada keputusan mutasi pendeta X. Demikian juga dari pihak

pro, telah ada ketidaksenangan terhadap kepemimpinan dari pendeta X. Sehingga telah

ada tindakan dari anggota jemaat GMIST Sawang pada masa itu untuk meminta kepada

pihak Resort GMIST Siau Timur agar memutasi pendeta X. Alasannya karena pendeta

X terlalu suka ikut campur dalam hal keuangan jemaat dan bahkan dalam pengadaan

bahan keperluan jemaat semua ditangani oleh pendeta X. Yang tadinya bahan-bahan

tersebut dibeli atau diambil dahulu ditempat langganan gereja yang memiliki perbedaan

harga yang signifikan dibandingkan harga di pasar, yang membuat pendeta X lebih

memilih untuk membeli di pasar yang harganya jauh lebih murah dari pasar. Untuk itu

penulis merasa bahwa sikap antagonis dari dua pihak baik yang pro dan kontra ini, jika

ditahan lebih lama maka akan lebih rumit masalah yang dihadapi. Memang dengan

berpindahnya pihak yang kontra tidak menyelesaikan masalah dan hanyalah mengukir

sejarah kelam di jemaat GMIST Sawang yang merupakan jemaat tertua ketiga di pulau

siau, yang sekarang ini telah berusia 156 tahun. Setelah jemaat GMIST Ulu dan jemaat

GMIST Karalung. Konflik yang mengakibatkan perpecahan jemaat ini yang sekaligus

disintegrasi masyarakat tadinya hadir untuk mengatasi dualisme yang berbeda dan

dianggap sebagai cara untuk mencapai taraf keseragaman tertentu, tapi karena telah

berlapis kepentingan maka bukannya mencapai keseragaman melainkan kehancuran.

Sebuah organisasi dalam kasus ini gereja adalah juga merupakan sebuah sistem

sosial yang unit-unit kerjanya (subsistem) seperti juga dikemukakan oleh Wirawan di

mana para anggotanya saling membantu dan saling bergantung satu sama lain dalam

mencapai tujuan organisasi. Konflik dapat merusak sistem dan menciptakan sinergi

negatif, yang menyebabkan ketidakpastian pencapaian tujuan organisasi.4 Konflik yang

terjadi di jemaat GMIST Sawang benar-benar menghasilkan ketidakpastian tujuan dari

organisasi tersebut sebab orang-orang di dalamnya dalam hal ini para majelis tidak lagi

berjalan bersama untuk mencapai tujuan organisasi, melainkan ingin mencapai tujuan

pribadi mereka.

4.2.6 Keberadaan Oknum-oknum yang tidak menyenangi pelayanan pendeta X.

Alasan lain berdasarkan fakta yang dikemukakan oleh beberapa responden

bahwa ada alasan lain juga selain beberapa yang telah penulis uraikan sebelumnya

4 Wirawan, 108-109.

yaitu, pelayanan pendeta X tidak disenangi oleh pendeta sebelum dirinya sebab pendeta

sebelumnya dianggap gagal dalam pelayanan jika dibandingkan dengan pendeta X.

Untuk itu pendeta sebelumnya juga turut mendorong mutasi pendeta X. Fakta konflik

semacam ini oleh Dean G Pruitt dikatakan bahwa konflik biasanya terjadi ketika orang

cenderung mengidentifikasi diri dengan para anggota kelompok lain yang dekat

dengannya atau yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan anggota

kelompoknya sendiri. Sikap mengidentifikasi diri seperti ini sering terjadi pada individu

dan Dean G Pruitt menyebutnya sebagai invidious comparison (perbandingan yang

menyakitkan hati).

4.2.7 Ketidakjelasan alasan pihak Resort, BPS Sinode GMIST dalam mengeluarkan

keputusan Mutasi terhadap pendeta X.

Juga berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden alasan

dipindahkanya pendeta X merupakan keputusan yang sudah benar oleh BPS GMIST

dan tidak dapat diganggu gugat. Mengapa para responden merasa telah benar keputusan

tersebut? Sebab mereka tidak tahu jelas alasan dari pihak resort mengajukan mutasi

pendeta X terhadap Sinode. Mereka hanya tahu bahwa pendeta X terlalu suka

mengkoordinir keuangan jemaat. Padahal kalau menurut dua responden mereka melihat

tindakan pendeta X ini sebagai suatu tindakan positif untuk mengatur keuangan jemaat.

Sebab pendeta X adalah orang yang sangat menginginkan kedisiplinan dalam pelayanan

dan keuangan gereja. Pertanyaan juga muncul, mengapa meskipun ada gejala konflik

yang muncul setelah dikeluarkannya surat keputusan mutasi tersebut tidak diindahkan

oleh pimpinan gereja dalam hal ini pihak Resort GMIST Siau Timur dan BPS GMIST.

Mereka benar-benar menggunakan “kekuasaan” yang oleh Max Weber dijelaskan

bahwa kekuasaan merupakan suatu tindakan dari aktor dalam hubungan sosial untuk

melaksanakan keinginannya tanpa memperhatikan hal mendasar seperti adanya

perlawanan. Jelas bahwa, pihak BPS tidak mempedulikan respon yang menghasilkan

konflik terhadap keputusan pemutasian pendeta X. Keinginan untuk mendominasi atau

yang menurut Max Weber adalah kemungkinan suatu perintah untuk diberikan dengan

tujuan yang spesifik akan diikuti oleh sekelompok orang yang diberikan perintah dalam

hal ini anggota jemaat GMIST Sawang dan juga pendeta X, benar-benar harus

mendengar dan melaksanakan keputusan yang dibuat oleh pihak BPS GMIST. Alasan

Mereka untuk memindahkan pendeta X sebab menurut penuturan responden keberadaan

pendeta X berbahaya bagi jemaat GMIST Sawang. Sebab selain suka mengkoordinir

keuangan jemaat, beliau juga jarang mengikuti rapat yang diadakan oleh pihak Resort.

Sikapnya yang suka melawan dan merasa tahu inilah yang sama sekali tidak diinginkan

oleh pihak Resort maupun beberapa anggota majelis jemaat. Bukankah karena ada yang

melaporkan pendeta X? Yang alasanya jelas berdasarkan ulasan analisa penulis

sebelumnya yaitu pendeta X mengatur pembeliaan berbagai bahan baik bahan bangunan

maupun bahan makanan dalam gereja?. Mengapa pihak resort dan BPS GMIST hanya

mendengarkan oknum-oknum tersebut? Analisa penulis jelas bahwa orang tersebut

cukup berpengaruh posisinya di jemaat GMIST Sawang, sehingga membuat pihak

resort dan BPS GMIST mengindahkan keluhannya, yang mengatas namakan

kepentingan gereja GMIST Sawang, yang ternyata hanyalah kepentingan segelintir

orang saja. Mengetahui hal ini yang terpikirkan oleh penulis bahwa ternyata sebuah

relasi individu dapat mempengaruhi keputusan publik Terbukti berdasarkan hasil

wawancara penulis terhadap anggota jemaat GMIST dan KGPM sehubungan dengan

konflik ini, mereka hanya tahu bahwa keputusan mutasilah yang mengakibatkannya.

Tanpa tahu peran aktor yang memiliki kepentingan di dalamnya.

Figur pemimpin yang bijaksana menurut pandangan penulis adalah pemimpin

yang benar-benar mendengar suara anggota yang dipimpinnya, asalkan mereka benar-

benar mengerti maksud dan tujuan dari suara yang disampaikan. Retnowati dalam

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat mengungkapkan betapa pentingnya sebuah

organisasi bahkan negara untuk memiliki seorang pemimpin sebab pemimpin berperan

dalam menentukan pencapaian suatu tujuan kelompok atau organisasi, sebab pengaruh

pemimpin atau kepemimpinan yang dijalankan bisa berdampak positif maupun negatif

terhadap perilaku dan keyakinan kelompok yang dipimpinnya.5 Keputusan pimpinan

GMIST untuk memutasi pendeta X benar-benar tidak memperhatikan dampaknya

seperti yang telah terjadi sekarang ini. Mereka benar-benar tidak memperhatikan situasi

saat itu, di mana mendapatkan respon negatif dan tidak hanya mempetahankan

keputusan dengan alasan yang kurang jelas itu. Untuk itu bagi penulis pimpinan gereja

GMIST juga bertanggung jawab penuh terhadap perpecahan gereja GMIST Sawang

serta disintegrasi masyarakat di sana.

Mengapa penulis mengatakan demikian, meskipun alasan mereka ada benarnya

juga? Sebab, pada saat gejala-gejala konflik mulai muncul tak ada tindakan dari mereka.

Mereka hanya membiarkan saja ketidaksepakatan yang terjadi dalam gereja GMIST

antara pihak yang Pro dan pihak yang Kontra. Nanti setelah masalah menjadi rumit

barulah mereka mencoba untuk membicarakannya. Sehingga banyak responden juga

berpendapat bahwa mereka terlambat untuk turun melerai konflik yang ada.

4.2.8 Respon pendeta X terhadap keputusan Resort dan BPS GMIST.

Bukan hanya pihak Resort GMIST Siau Timur dan BPS GMIST yang

menggunakan kekuasaannya tanpa memperhatikan dampak terhadap organisasi, tapi

5 Retnowati, Waskita, Jurnal Study Agama dan Masyarakat, Kepemimpinan dan Perubahan Budaya:

Refleksi Gaya Kepemimpinan di Era Global, Perspektif Teori Kebudayaan. (Salatiga: UKSW, Fakultas

Teologi, Magister Sosiologi Agama, 2012), 37-38.

pendeta X juga menggunakan kekuasaannya untuk menghasut anggota jemaat yang Pro

terhadapnya agar mempertahankan dirinya untuk tidak boleh dimutasi ke jemaat lain

sesuai keinginannya. Yang juga ada benarnya sebab dia merasa masa pelayanannya

masih belum sampai pada masa akhir dan merasa tidak bisa menerima keputusan mutasi

dari pihak BPS GMIST.

Berdasarkan fakta, tindakan Resort, BPS GMIST dan pendeta X jelas

menampakan sikap dominasi (otoritas) menurut Max Weber, di mana mereka benar-

benar ingin agar keputusan mereka harus dipatuhi dan tidak boleh tidak. Weber

mengungkapkan dominasi berlangsung ketika adanya figur tertentu yang sungguh-

sungguh berhasil memberikan perintah kepada orang lain untuk itu suatu organisasi

dapat hidup dan berkembang sejauh mana anggota-anggotanya tunduk kepada dominasi

berdasarkan perintah. Perintah mutasi pendeta X ditentang oleh beberapa oknum yang

berkepentingan namun yang juga akhirnya diikuti oleh 265 Jiwa yang berpindah ke

KGPM yaitu sebabnyak 86 KK (kepada keluarga) Yang sangat disayangkan dominasi

yang dilakukan oleh pihak Resort dan BPS GMIST tidak terlaksana sebab ada anggota-

anggota jemaat yang tidak tunduk kepada dominasi berdasarkan perintah yang mereka

tetapkan.

Sikap yang tidak ingin tunduk pada peraturan dan ketetapan yang diperintahkan

oleh Resort GMIST Siau Timur dan BPS GMIST adalah merupakan sikap yang tidak

“disiplin” dari anggota jemaat GMIST Sawang dalam hal ini mereka yang pro terhadap

pendeta X yang sekarang ini telah berpindah ke KGPM. Peristiwa ketidak disiplinan ini

dikemukakan oleh Max Weber merupakan poin penting dalam suatu organisasi, di mana

baik kekuasaan maupun dominasi dari aktor tidak akan pernah bisa lepas dari

kedisiplinan atau dengan kata lain takkan pernah terwujut kekuasaan dan dominasi

ketika disiplin hilang dari anggota organisasi meskipun hanya sebagian saja dari

mereka. Sebagaimana telah penulis jabarkan pada paragraf sebelumnya bahwa yang

menggunakan kekuasaan dan yang mendominasi adalah pihak Resort dan BPS GMIST

serta Pendeta X bahkan ada oknum-oknum lain yang berkepentingan di dalamnya

semua tak berhasil sebab menghadapi bentrokan dengan pihak yang tidak disiplin.

Pihak pro merasa pihak kontra yang tidak disiplin terhadap keputusan mutasi yang

dikeluarkan. Demikian juga pihak kontra, merasa keinginan mereka tak mampu

didengar apa lagi dimengerti oleh pihak pro, maka masing-masing mengambil jalannya

sendiri-sendiri, yang hasil akhirnya telah nampak yaitu perpecahan jemaat dan

disintegrasi dalam masyarakat.

4.2.9 Faktor Ekonomi atau keuangan dijadikan alasan perpecahan.

Meskipun pada saat sedang maraknya konflik alasan yang terkait dengan faktor

ekonomi sangatlah tak nampak, namun yang pada akhirnya nampak juga setelah konflik

internal ini berubah menjadi konflik eksternal sebab sudah terpisah antara anggota yang

pro dan kontra terhadap keputusan mutasi tersebut. Yang kontra telah membangun

gedung gereja Jemaat KGPM Sidang Sentrum Sawang. Sekarang permasalah antara dua

jemaat ini adalah terkait dengan jumlah pundi persembahan dan bahkan jumlah sampul

syukur termasuk di dalamnya sampul persepuluhan yang menjadi kewajiban anggota

jemaat GMIST. Mereka mulai mengatakan itulah salah satu alasan mengapa mereka

ingin keluar dari GMIST, sebab GMIST terlalu banyak memberikan pungutan

persembahan terhadap anggota jemaatnya. Sehingga ada istilah yang mereka gunakan

yang sangat membuat kesal hati anggota jemaat GMIST “sampul panjang pendek” yang

selalu di bagikan kepada masing-masing anggota jemaat GMIST.

Terkait dengan alasan tersebut di atas, konflik internal GMIST Sawang ini

merupakan konflik yang didefinisikan sebagai perbedaan persepsi mengenai

kepentingan yang dicetuskan oleh Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, yakni konflik

yang terjadi ketika tak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua

belah pihak, atau yang terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau

alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapatkan. Aspirasi yang lama terpendam

dari mereka yang telah pindah KGPM tersebut telah lama tak disalurkan terkait dengan

pemungutan persembahan sehingga keputusan untuk berpindah dicetuskan. Meskipun

terkait dengan pemungutan persembahan yang dijadikan alasan keluar dari GMIST

tidak begitu logis sebab jika demikian halnya alasan yang mereka gunakan, mengapa

mereka ingin mempertahankan pendeta X? Sedangkan yang mencetuskan keharusan

perpuluhan adalah pendeta X?. Melalui fakta ini jelas sekali terlihat dari banyaknya

alasan mereka ingin keluar dari GMIST alasan keuangan tidak begitu tepat, hal tersebut

hanya digunakan untuk menjadi bahan ejekan bagi anggota GMIST.

Tindakan yang dilakukan oleh pendeta X dalam mengkoordinir keuangan jemaat

juga merupakan tindakan yang baik sejauh apa cara pikir anggota jemaat apakah

mengambil makna positifnya atau negatifnya. Anggota jemaat yang tidak senang

dengan cara pendeta X mengkoordinir keuangan, kemudian mengambil keputusan

untuk meminta agar pendeta X harus segera dikeluarkan dari jemaat GMIST Sawang

dengan menjumpai pihak Resort, dan oleh pihak Resort diteruskan ke BPS GMIST.

Alasan mereka yang melaporkan pendeta X adalah bahwa sikap pendeta X ini nantinya

akan menimbulkan masalah dalam jemaat GMIST Sawang. Sedangkan pihak yang

setuju dengan tindakan pendeta X yaitu mereka yang pro terhadapnya dan kontra

terhadap keputusan Resort dan BPS GMIST berusaha untuk mempertahankan diri.

Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ada kepentingan lain di dalamnya seperti yang

telah penulis jabarkan sebelumnya.

Berdasarkan data hasil penelitian bahwa yang bersikeras memperjuangkan

pendeta X dengan menggunakan berbagai cara agar pendeta X tetap ada di jemaat

GMIST Sawang hanya berjumlah delapan orang saja. Namun yang kemudian setelah

permohonan yang mereka ajuhkan tidak diindahkan mereka memutuskan untuk keluar

dari GMIST dan mendirikan KGPM, bukan hanya mereka delapan orang saja tapi yang

pindah ke KGPM berjumlah 265 orang. Mengapa begitu banyak yang berpindah

sedangkan yang memperjuangkan perpindahan tersebut hanya delapan orang saja?.

Jawabannya adalah sebagian besar yang berpindah tersebut adalah mereka yang tidak

mengerti benar alasan didalamnnya hanya main ikut saja. Bagi mereka alasan mereka

berpindah hanya karena mereka merasa kasian dan simpati dengan pendeta X. Faktor

penyebab mereka hanya berpindah dan main ikut saja karena dengan mudahnya terhasut

oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dibalik perpindahan itu adalah karena

faktor pendidikan. Berdasarkan data pendidikan dari kedua jemaat tersebut

menggambarkan bahwa sebagian besar yang berpindah ke KGPM adalah yang tingkat

pendidikannya sangat minim, yakni tingkat TK-SMP saja. Yang membuat mereka tidak

begitu pekah dan melihat lebih dalam latar belakang alasan mendirikan jemaat baru

tersebut. Sedangkan ada yang tidak pernah aktif namun yang akhirnya terpilih sebagai

majelis jemaat menurut pengamatan penulis adalah mereka yang telah mendapatkan

iming-iming janji kedudukan dalam jemaat yang baru. Sebab, konflik juga akhirnya

terjadi antara sesama mereka ketika salah seorang tak mendapatkan posisi sebagai

majelis jemaat yang hingga kini tidak beribadah lagi di KGPM.

4.3 Relasi Pendeta X dan Pendeta L Dengan Anggota Jemaat GMIST Sawang dan

KGPM Sidang Sentrum Sawang

Menjadi pelayan jemaat seorang pendeta dituntut untuk memiliki relasi yang

baik dengan anggota jemaat. Demikian halnya terjadi dengan pendeta X dalam masa

kepemimpinannya di luar tindakannya yang suka mendominasi dalam pengaturan

keuangan jemaat, pendeta X adalah satu-satunya pendeta dengan cara pelayanannya

yang menyentuh setiap pribadi anggota jemaat. Bahkan dia kenal betul setiap anggota

jemaatnya secara umum dan majelis jemaat, sampai pada nama panggilannya. Beliau

begitu pekah dan karenanya tak sedikit juga anggota jemaat yang senang terhadapnya.

Konflik yang muncul karena masalah ingin mempertahankan dirinya untuk

pelayanan sebenarnya tak akan mungkin tercipta jika saja mau dibicarakan dengan

benar, dan tidak dilapisi kepentingan dari anggota jemaat, baik yang pro maupun kontra.

Juga dengan adanya keberadaan oknum-oknum yang tidak senang atas pelayanan

pendeta X menggambarkan bahwa konflik yang tercipta di jemaat GMIST Sawang tak

semata-mata kesalahan dari pendeta X. Memang benar beliau ingin tetap tinggal

pelayanan di jemaat GMIST Sawang dan menghalalkan segala cara untuk

mempertahankan diri. Yang salah ialah ia telah kehilangan sikap sebagai figur yang

menjadi sumber panutan dalam jemaat dengan tak memperhatikan dampak dari

tindakannya yaitu perpecahan seperti yang telah terjadi dalam gereja GMIST Sawang.

Hingga sekarang relasinya dengan anggota jemaat GMIST Sawang tidak baik, sebab

anggota GMIST Sawang sangat marah dan kecewa atas tindakkannya dan seperti yang

dikatakan oleh beberapa responden jika bisa, mereka ingin agar pendeta X datang ke

jemaat GMIST Sawang untuk memperbaiki jemaat yang telah pecah tersebut. Memang

nampaknya pendeta X yang bertanggung jawab atas perpecahan jemaat GMIST

Sawang. Tapi jangan salah, tak sepenuhnya kesalahan pendeta X sebab yang

bertanggung jawab juga adalah pihak resort dan BPS GMIST yang entah dengan alasan

apa ingin memindahkan pendeta X. Apa hanya karena mendengar berbagai laporan dari

oknum-oknum tersebut? Sebagai pimpinan gereja haruslah lebih jelih dan teliti

mengetahui alasan dibalik alasan yang dikemukakan oleh oknum yang menghendaki

pendeta X untuk di mutasi. Sebab berdasarkan hasil wawancara, penulis tidak menemui

alasan yang lebih realistis atau lepas dari kepentingan atas pemutasian pendeta X

tersebut.

Berbeda dengan pendeta L beliau memang tidak terlalu mengenal anggota

jemaat GMIST Sawang sampai pada nama masing-masing anggota jemaat. Sebab dia

tidak melakukan pelayanan seperti yang dilakukan oleh pendeta X yaitu pergi ke rumah-

rumah anggota jemaat dan berkenalan satu per satu sambil melayani sembayang

sehubungan dengan masalah keluarga yang di jumpainya. Tapi berdasarkan penuturan

responden pendeta L memiliki sikap yang baik dengan menggunakan kalimat “pendeta

L memiliki jiwa kenabian yang lebih baik dari pendeta X”.6 Pendeta L sangat

mempercayai pelayan jemaat yang terpilih melayani dan tidak menekan anggota jemaat

untuk memberikan sampul syukur. Pendeta L tidak turut serta dalam konflik jemaat.

Hingga sekarang jika ada anggota jemaat KGPM Sentrum Sawang datang memohon

untuk kembali ke jemaat GMIST Sawang, beliau menerima dengan lapang dada. Hanya

saja sikap antagonis dari anggota jemaat KGPM terhadapnya tetap ada mengingat beliau

tidak menjalin komunikasi dengan mereka sejak beliau datang menempati posisi

pendeta jemaat GMIST Sawang.

6 YM(6 Januari 2013)