tindakan hukum tata usaha negara terkait dikeluarkannya

184
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, yang artinya bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan. Tujuan dari negara hukum menurut Immanuel Kant adalah menjamin kedudukan hukum dalam masyarakat, kemudian Kant berpendapat bahwa suatu negara agar dapat dikatakan sebagai negara hukum, sedapatnya memiliki dua unsur pokok yaitu 1 , 1. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia; 2. Adanya pemisahan kekuasaan Menurut Abdul Latif, negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur 2 ; 1. Pemerintahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang (asas legalitas) di mana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang; 1 Pide, Andi Mustari, 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta h. 47 2 Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 20

Upload: ngotram

Post on 19-Dec-2016

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 3

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (UUD

1945), yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, yang artinya

bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

berdasarkan atas kekuasaan.

Tujuan dari negara hukum menurut Immanuel Kant adalah menjamin kedudukan

hukum dalam masyarakat, kemudian Kant berpendapat bahwa suatu negara agar

dapat dikatakan sebagai negara hukum, sedapatnya memiliki dua unsur pokok yaitu1,

1. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia;

2. Adanya pemisahan kekuasaan

Menurut Abdul Latif, negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur2;

1. Pemerintahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang (asas legalitas) di mana

kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata

ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang;

1 Pide, Andi Mustari, 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta

h. 47

2 Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan

Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 20

Page 2: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

2

2. Dalam negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa

yang bersangkutan;

3. Kekuasaan pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan,

tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu

melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu

keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan tersebut;

4. Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah

dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak

yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut

bersifat melawan hukum atau tidak.

Pemerintah sebagai unsur penting dalam negara hukum, memiliki fungsi

kekuasaan, dimana menurut Van Hollenhoven membagi fungsi kekuasaan ke dalam 4

fungsi atau yang biasa disebut sebagai catur praja3, yaitu:

1. Regeling (pengaturan) yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan

atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil

dari fungsi pengaturan ini tidaklah Undang-Undang dalam arti formil (yang

dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan Undang-Undang dalam arti

materiil yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah

mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari

suatu negara;

3 Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris Jenderal dan

Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 14 (Selanjutnya disebut Asshiddiqie, Jimly I )

Page 3: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

3

2. Bestuur (pemerintahan) yaitu Dalam negara yang modern fungsi bestuur

yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada

pelaksanan Undang-Undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan

kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun

politik;

3. Rechstpraak (peradilan) yaitu fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang

berarti fungsi ini melaksanakan yang konkrit, supaya perselisihan tersebut

dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya;

4. Politie yaitu fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (sosial

order) dan peri kehidupan bernegara.

Didalam fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat Pemerintahan (Bestuur),

diwujudkan dalam tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat publik yaitu

membuat peraturan yang bersifat umum dan abstrak (Regeling) dan membuat

peraturan yang bersifat individu dan konkrit (Beschikking)

Tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan tertulis yang

bersifat umum dan abstrak yang biasanya disebut sebagai Regeling dapat berbentuk

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, baik itu diwujudkan

bersama dengan Legislatif, ataupun oleh pemerintah sendiri.

Tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan tertulis yang

bersifat individu dan konkrit atau biasa disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara

(Beschikking). Pengertian Beschikking sebagaimana dirumuskan didalam Pasal 1 ayat

9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang

Page 4: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

4

No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha

Negara mengatakan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan

hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat Konkrit, Individual, dan Final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata”.

Maka dari rumusan Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang

Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara tentang Peradilan tata Usaha Negara dapat ditarik menjadi beberapa

unsur-unsur dalam Beschikking yaitu:

1.Penetapan Tertulis

2.Dikeluarkan Oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara

3.Tindakan Hukum Tata Usaha Negara

4.Bersifat Konkrit, Individual Dan Final

5.Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku

6.Akibat Hukum Bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Terkait dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara, dalam tesis ini penulis

mencoba menfokuskan kepada adanya suatu produk peraturan yang dikeluarkan oleh

menteri atau pejabat setingkat menteri, sebagai tindakan hukum Tata Usaha Negara

seperti Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008,

Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada

Page 5: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

5

Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

dan Warga Masyarakat. (selanjutnya disebut Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah)

Dasar hukum dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Yang memberikan perintah

dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan

bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri. yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut dalam bentuk suatu

Keputusan Bersama.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berisikan 7 point yaitu :

1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk

tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum

melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau

melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari

agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;

2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku

beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan

yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran

faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi

Muhammad SAW.

Page 6: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

6

3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana

dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, termasuk organisasi

dan badan hukumnya.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk

menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan

ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan

dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah

sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat

dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

6. Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk

melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan

pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.

7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan

Dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk

memberikan penjelasan terhadap 7 point diatas maka Sekretaris Jenderal Departemen

Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan

Politik Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris

Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal

Page 7: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

7

Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. Se/Sj/1322/2008, No.

Se/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, No: Se/119/921.D.III/2008 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008; No. Kep-033/A/JA/6/2008; No. 199

tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau

Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Dalam Surat Edaran memberikan penjelasan terhadap point-point yang ada pada

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu:

1. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut memberikan

penjelasan mengenai yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan

atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau

perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik

yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan

rumah ibadat dan bangunan lainnya.

2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut menjelaskan

tentang:

a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku

beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku

beragama Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau

perintah.

Page 8: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

8

b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan

penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan

yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang

adalah faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah

Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pengertian kegiatan yang

menyimpang adalah kegiatan melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran

adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian,

pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun

tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media

elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran

faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi

Muhammad SAW. termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk

dihentikan.

3. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran memberikan

penjelasan Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah

sanksi pidana yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Jo Pasal 3 Undang-Undang No. 1 /PNPS/

tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima

tahun penjara. Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi

Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenakan sanksi berupa

Page 9: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

9

pembubaran organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai

ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

4. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan

bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak

melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),

dengan tujuan untuk melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam

rangka memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan

ketertiban kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar

masyarakat mematuhi hukum dengan tidak melakukan tindakan anarkis

seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan perbuatan melawan hukum

lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya.

5. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan

bahwa warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main

hakim sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap

penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-

undangan, antara lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang penyebaran kebencian dan

permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau

Page 10: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

10

barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan,

Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang

perusakan barang, dan peraturan lainnya.

Jika dilihat baik dari tujuh point Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan

penjelasan point kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah dari Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen

Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan

Politik Departemen Dalam Negeri No: Se/Sj/1322/2008, No: Se/B-

1065/D/Dsp.4/08/2008, No: Se/119/921.D.III/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia No. 3 tahun 2008; No. Kep-033/A/JA/6/2008; No. 199 tahun

2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka penulis

melihat terdapat 2 ruang lingkup pengaturan yaitu berisikan peringatan dan perintah

kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) maka ini dapat disebut tindakan pemerintah yang bersifat individu, kemudian

dalam keputusan ini juga memberikan peringatan dan perintah juga di tunjukkan

kepada warga masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai tindakan pemerintah

bersifat mengatur secara umum.

Jika Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dikaitkan berdasarkan

pengkategorian norma hukum dalam kaitannya tindakan hukum pemerintah

Page 11: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

11

berdasarkan alamat yang dituju (addressat), dimana dalam pengertian norma hukum

berdasarkan alamat dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Norma hukum umum yaitu norma hukum tersebut ditunjukkan kepada orang

banyak atau kepada orang-orang yang tidak tertentu; dan

2. Norma hukum individu yaitu norma hukum yang dialamatkan (addressat)

kepada seseorang atau orang-orang yang telah ditentukan.

Maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah adanya ketidakjelasan dalam

menentukan alamat yang dituju, sebab di dalam Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah, satu sisinya berbentuk norma hukum individu karena ditujukan kepada

organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedangkan disisi yang lain berbentuk

norma hukum umum karena ditujukan untuk warga masyarakat dan jemaah

Ahmadiyah.

Sehingga Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah akan membuat suatu

kebingungan dalam menentukan bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara, apakah

bentuk Keputusan Bersama diatas digolongkan sebagai Peraturan (Regeling) yang

bersifat umum dan abstrak, atau digolongkan sebagai bentuk Keputusan atau

Ketetapan (Beschikking) yang bersifat individu dan konkrit atau tindakan hukum Tata

Usaha Negara yang lainnya.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang menimbulkan ketidakjelasan

dalam bentuk tindakan Hukum Tata Usaha Negara dapat menimbulkan norma konflik

antara Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah dengan Undang-Undang pemberi

kewenangan yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Page 12: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

12

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, sehingga dapat melihat

keabsahan dari dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, sehingga

dapat melakukan suatu upaya hukum terhadap Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah yang dilakukan oleh seseorang dalam artian individu atau sebuah badan

hukum.

Dengan latar belakang yang disampaikan oleh penulis diatas, maka penulis

menulis penelitian tesis ini dengan judul TINDAKAN HUKUM TATA USAHA

NEGARA TERKAIT DIKELUARKANNYA KEPUTUSAN BERSAMA

MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH

AHMADIYAH.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri

dalam Negeri No. 199 tahun 2008?

2. Bagaimanakah keabsahan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa

Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 Tahun 2008

dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama?

Page 13: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

13

3. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri

Dalam Negeri No. 199 tahun 2008?

1.3 Ruang Lingkup masalah

Ruang lingkup dalam pembahasan penulisan ini tentang bentuk tindakan hukum

Tata Usaha Negara mulai dari tindakan Tata Usaha Negara, tindakan nyata Tata

Usaha Negara, tindakan hukum Tata Usaha Negara, tindakan hukum publik Tata

Usaha Negara, tindakan hukum publik bersegi satu dan bersegi dua dari Tata Usaha

Negara dan bentuk keputusan tertulis Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa

Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008, dalam

konteks Beschikking, Regeling, Besluit Van Algemene Strekking, Het Plan,

Beleidsregel.

Keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-

03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008, yang dilihat dari Aspek

kewenangan, aspek prosedur, aspek substansialnya. Kemudian Keputusan Bersama

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3

tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199

tahun 2008 dilihat dalam perspektif Pancasila baik dilihat berdasarkan kedudukannya

serta dari nilai-nilai Pancasila. kemudian Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Page 14: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

14

Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa

Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 dilihat

kedudukannya dari Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Upaya hukum yang dilakukan yang berkaitan dengan dikeluarkannya Keputusan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam

Negeri No. 199 tahun 2008, apakah dapat digugat ke Peradilan Tinggi Tata Usaha

Negara (PTUN), Mahkamah Agung (MA), atau Mahkamah Konstitusi (MK).

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau

menambah khazanah pengetahuan di dalam konsentrasi hukum pemerintahan,

mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah serta penyelesaian sengketa terhadap dikeluarkannya Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai bentuk tindakan hukum

Tata Usaha Negara terutama bentuk dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

di dalam tindakan Tata Usaha Negara.

Page 15: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

15

2. Untuk mengetahui dimana kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

di dalam di dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-

Undang serta keabsahan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,

dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung

No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 di kaitkan

dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

3. Untuk mengetahui serta memahami tentang upaya hukum terkait dikeluarkannya

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis

yakni, memberikan sumbangan pemikiran untuk kepentingan akademis dan

pengembangan ilmu hukum terutama pada konsentrasi pemerintahan, mengenai

bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara serta keabsahan Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini diharapkan

memperoleh manfaat sebagai berikut :

1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan

pemahaman mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari suatu

Keputusan Bersama Menteri di Indonesia, kedudukan dari Keputusan

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam hierarki Peraturan

Perundang-undangan dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,

Page 16: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

16

dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa

Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008

di kaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta

mekanisme upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah.

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan dan

masukan serta pengetahuan yang lebih mendalam dalam kategori tindakan

Tata Usaha Negara.

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

wawasan serta kepastian tentang bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara

dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, letak kedududkan serta

keabsahan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam

hierarki Peraturan Perundang-undangan serta menentukan upaya hukum

terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Telaah mengenai Keputusan Bersama Menteri yang terkait dengan kebebasan

beragama dan Hak asasi manusia, dalam kaitannya dengan orisinalitas penelitian.

Penulis melakukan beberapa penelusuran memlalui situs internet, namun dalam

penelusuran melalui situs Program S2 Ilmu Hukum Unud4, penulis tidak menemukan

4 Universitas Udayana, 2010, Program S2 Ilmu Hukum Unud:

http://programs2ilmuhukumunud.blogspot.com/, Diakses pada, 14 Oktober 2010.

Page 17: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

17

judul tesis yang berkaitan dengan judul penelitian tesis milik penulis, kemudian

penulis melakukan pencarian di internet terkait dengan originalitas judul tesis,

ternyata terdapat penelitian yang juga mengangkat mengenai mengenai Keputusan

Bersama mengenai Ahmadiyah, yaitu :

1. Desi ratna Ningrum5 (Fakultas Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia) dalam

skripsi yang berjudul Kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri

Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tentang

Peringatan dan Perintah Kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Menurut

Undang-Undang No. 10 tahun 2004. mengenai dua masalah pokok yakni Surat

Keputusan Berasama (SKB) dapat menjadi sumber hukum dalam sistem hukum

di Indonesia dan kedudukan Surat Keputusan Berasama (SKB) tentang Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam sistem Peraturan Perundang-undangan

menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2004 dengan menggunakan metode

penelitian normatif.

2. Bayu Dwi Anggono6, (Fakultas Hukum Program magister kekhususan Hukum

Tata Negara Universitas Indonesia) dalam tesis yang berjudul Keputusan

5 Ningrum, Desi ratna , 2009, Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ,:

http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000678/uii-skripsi-04410173-desi%20ratna%20ningrum-

04410173-DESI%20RATNA%20NINGRUM-5198215752-bab%201.pdf, Diakses 10

September2012.

6 Anggono, Bayu Dwi, 2009, Keputusan Bersama Menteri dalam perundang-Undangan Republik

Indonesia,

:http://www.google.co.id/search?q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%29+Menteri+

Agama%2C+Jaksa+Agung%2C+Dan+Menteri+Dalam+Negeri+Republik+Indonesia+tentang+peringa

tan+dan+perintah+kepada+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-

Undang+Nomor+10+Tahun+2004&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-

US:official&client=firefox-a#sclient=psy-ab&hl=id&client=firefox-a&hs=VEV&rls=org.mozilla:en-

Page 18: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

18

Bersama Menteri dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia. dengan 3

permasalahan yang diteliti yaitu Keputusan Bersama Menteri merupakan

Perundang-undangan, kemudian letak keputusan Bersama Menteri dalam

hierarki Peraturan Perundang-undangan, dan bagaimana cara untuk menguji

legalitas Keputusan Bersama Menteri, dengan metode penelitian yuridis

normatif.

3. Agung Ali Fahmi (Fakultas Hukum Program Magister Hukum Kenegaraan

Universitas Indonesia) dalam tesis yang berjudul Implementasi Kebebasan

Beragama Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,

dengan pokok permasalahan, Implementasi Regulasi Kebebasan Beragama di

Indonesia dan Peran Pemerintah Dalam menjaga Kerukunan Beragama.

4. Novie Soegiharti (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen

Kriminologi Program Pascasarjana) dalam tesis yang berjudul Kajian Hegemoni

Gramsci Tentang Reaksi Sosial Formal terhadap kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan di Indonesia (studi kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan

Ahmadiyah) dengan permasalahan pokok aspek historis kebebasan beragama

dan Ahmadiyah di Indonesia dan analisis SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah,

dan analisis Hegemoni Gramsci.

US%3Aofficial&source=hp&q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%29+tentang+Jem

aat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-

Undang+Nomor+10+Tahun+2004&pbx=1&oq=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%

29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-

Undang+Nomor+10+Tahun+2004&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=19665l22250l0l24214l8l0l0l

0l0l0l0l0ll0l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=b7730b97b1285ed7&biw=1280&bih=863, Diakses

pada 10 Oktober 2010.

Page 19: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

19

5. Moh Zakki7 (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang), dalam

skripsi yang berjudul Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang

Pembubaran Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan sebagai Hak Konstitusional Rakyat, dengan pokok pembahasan

yaitu, Keberadaan Kelompok Ahmadiyah Di Tinjau Dari Prinsip Hak Kebebasan

Beragama Dan Berkeyakinan Sebagai Hak Konstitusuonal Rakyat, Isi

(Substansi) Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pembubaran ajaran

Ahmadiyah Ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Sebagai

Hak Konstitusional Rakyat, dan Kekuatan Hukum Surat keputusan Bersama

(SKB) tentang Pembubaran Ajaran Ahmadiyah Ditinjau Dari Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan.

6. Errie Darmawan (Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan) dalam skripsi

yang berjudul Implementasi Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 Undang-

Undang dasar 1945 tentang Kebebasan Beragama

Dari penelitian tersebut diatas dapat dilihat bahwa walaupun objek yang yang

diteliti ada beberapa memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yakni Keputusan

Bersama Menteri, namun fokus maupun lingkup masalah yang diteliti jauh berbeda,

karena fokus penelitian yang akan penulis kaji adalah mengenai bentuk tindakan

hukum Tata Usaha Negara.

7 Zakki, Moh, 2010, Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran

Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai Hak

Konstitusional Rakyat http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/366/jiptummpp-gdl-s1-2010-mohzakki05-

18260-PENDAHUL-N.pdf, 26 Oktober 2011.

Page 20: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

20

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Konsep Tindakan Pemerintah

Pemerintah dalam melaksanakan fungsinya, pemerintah melakukan tindakan-

tindakan pemerintahan atau Tata Usaha Negara, tindakan Pemerintah yang dengan

istilahnnya “Bestuurshandelingen”.

Tindakan pemerintah atau Tata Usaha Negara dapat berupa tindakan nyata dari

pemerintah (Feitelijk Handelingen) maupun tindakan hukum dari pemerintah

(Rechtshandelingen), tindakan nyata pemerintah merupakan zijn handelingen

waarmee niet wordt beoogd juridische gevolgen in het leven te roepen8 atau

tindakannya yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan konsekuensi hukum dalam

kehidupan dan tidak terdapat hubungan langsung dengan kewenangannya, sedangkan

perbuatan hukum pemerintah merupakan suatu perbuatan pemerintah yang dapat

menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur dari tindakan hukum pemerintah adalah

dilakukan oleh aparat pemerintah, dimana tindakan tersebut dilaksanakann dalam

menjalankan fungsi pemerintahan yang menimbulkan akibat-akibat hukum, dengan

prakarsa dan tanggung jawab sendiri, yang didasari atas Peraturan Perundang-

undangan.

Tindakan hukum pemerintah atau Tata Usaha Negara dibagi menjadi dua, yaitu

dan Tindakan hukum Privat Tindakan Hukum Publik Tata Usaha Negara. Tindakan

hukum privat merupakan tindakan yang mengatur hubungan pemerintah atau Taata

8 Ballegooij, G. A. C. M. Van, et.al, 2008, Bestuursrecht in het Awb-Tijperk, zesde, geheel

herziene druk, Kluwer,Oegstgeet, Nederland, h.64

Page 21: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

21

Usaha Negara dengan swasta atau disebut hubungan horizontal, sedangkan tindakan

hukum publik pemerintah atau Tata Usaha Negara mengatur hubungan antara

pemerintah dan pemerintahdan orang pribadi atau disebut hubungan vertikal.

Tindakan hukum publik pemerintah atau tata Usaha Negara dibagi lagi menjadi

tindakan hukum publik bersegi satu dan tindakan hukum publik bersegi dua.

Tindakan hukum publik bersegi satu yaitu adanya satu kehendak pemerintah atau

Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum publik, sedangkan tindakan

bersegi dua merupakan adanya dua kehendak yaitu kehendak pemerintah atau Tata

Usaha Negara dengan pihak lain dalam melakukan tindakan hukum publik

Maka dilihat dari penguraian di atas, akan menunjukkan suatu sketsa tindakan

Tata Usaha Negara:

Page 22: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

22

Konsep tindakan pemerintah pemerintah sangat berperan penting dalam tesis ini,

karena tesis ini membahas tentang tindakan hukum Tata Usaha Negara dari

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sehingga keberadaan atau posisi dari

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat diketahui.

Tindakan Tata Usaha Negara/ Tindakan Pemerintah

(Bestuurshandelingen)

Tindakan nyata Tata Usaha

Negara/ Tindakan nyata

Pemerintah

(Feitelijke Handelingen)

Tindakan hukum Tata Usaha

Negara/ Tindakan Hukum

Pemerintah

(Rechtshandelingen)

Tindakan hukum Privat Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Privat Pemerintah

(Privaatrehtelijke

Rechtshandelingen)

Tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah

(Publiekrechtelijke

Rechtshandelingen)

Tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah yang

bersegi satu

(Eenzijdige Publiekrechtelijke

Handeling)

Tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah yang

bersegi dua

(Meerzijdige

Publiekrechtelijke Handeling)

Page 23: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

23

1.7.2 Teori Negara Hukum

Dalam prinsip Negara hukum, segala sesuatu perbuatan negara harus

berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan. Dalam perkembangan

mengenai negara hukum, adanya upaya untuk menghilangkan batasan pengertian

negara hukum antara Rechtstaat dan The Rule of Law. berdasarkan konteks sejarah

dan konteks Politik, Brian Tamanaha mencoba memformulasikan sebuah teori

alternatif baru dalam The Rule of Law, dimana Brian Tamanaha menawarkan

pemisahan kedalam dua kategori dasar, yang dikenal dengan teori sebagai Versi

”formal” dan versi “Substantif”, yang kedua-duanya masing-masing memiliki tiga

bentuk yang berbeda-beda9.

Alternative Rule of Law Formulations

Thinner to Thicker

FORMAL VERSIONS:

1. Rule by Law 2. Formal Legality 3. Democracy + Legality

-law as an instrument -general, prospective, -consent determines

of government action clear, certain content of law,

SUBSTANTIVE VERSIONS:

4. Individual Rights 5. Right of Dignity & 6. Social Welfare

-property, contract, /or Justice -substantive equality

Privacy, autonomy welfare, preservation of

Community

9 Tamanaha, Brian Z, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University

Press, United.Kingdom, h. 91.

Page 24: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

24

Menurut Brian Z. Tamanaha Alternative Rule of Law Formulations10

adalah

merupakan formulasi teori alternatif yang akan ber-elaborasi kedalam perkembangan

daripada dari Thinner( tipis) menuju Thicker (tebal), yang artinya bergerak dari

formulasi dengan persyaratan yang lebih sedikit untuk persyaratan yang lebih besar

(moving from formulations with fewer requirements to more requirements). Secara

umum, setiap formulasi berikutnya menggabungkan aspek utama dari sebelumnya

formulasi, membuat mereka semakin kumulatif.

Sedangkan dalam bukunya I Dewa Atmaja, menyebutkan11

The Thin theory Rule

of law, lebih mendekati pengertian negara hukum dalam artian sempit, yang

menekankan pada aspek formal atau instrumental dari Rule of Law, dan ciri

utamannya berfungsinya system hukum tertulis atau Undang-Undang secara efektif,

dan netral dari aspek moralitas politik. Sedangkan The Thick theory Rule of Law,

disebut juga konsep negara hukum Substantif, yang intinnya suatu negara disamping

harus memenuhi elemen-elemen dasar suatu negara hukum formal juga

menekankanpada elemen-elemen moralitas politik.

Konsepsi Formal dari The Rule of law adalah untuk mengatasi cara di mana

hukum harus diundangkan (oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal

tersebut sudah dianggap cukup jelas untuk menuntun perilaku seseorang, serta waktu

kapan norma itu berlaku. Kemudian konsepsi formal dari The Rule of Law tidak

berusaha untuk mendatangkan hukuman atas isi sebenarnya dari hukum itu sendiri.

10 Ibid

11

Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia sesudah

Perubahan UUD 1945,Setara Press, Malang, h.161

Page 25: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

25

Mereka tidak peduli dengan apakah hukum itu dalam arti hukum baik atau hukum

yang buruk, asalkan ajaran formal dari The Rule of Law itu mereka penuhi.

Sedangkan Mereka yang mendukung konsepsi substantif dari Rule of Law

berusaha untuk melampaui batas tersebut. Mereka menerima bahwa aturan hukum

memiliki atribut formal yang disebutkan di atas, tetapi mereka ingin mengambil

ajaran lebih lanjut.

Maka Dasar perbedaan dapat disimpulkan sebagai berikut: teori formal fokus

pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, sementara teori-teori substantif

juga mencakup persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang

harus menjunjung tinggi moralitas dengan keadilan atau prinsip moral). Sedangkan

perbedaannya informatif, tidak harus diambil sebagai ketat - versi resmi memiliki

implikasi substantif dan versi substantif menggabungkan persyaratan formal resmi12

.

Dari formulasi diatas, Tamanaha berpendapat bahwa prinsip negara hukum The

Rule of Law, sedikitnya memiliki enam bentuk, yaitu meliputi sebagai berikut13

:

No Bentuk Keterangan

1 Rule By Law Hukum hanya difungsikan sebagai instrumen dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Hukum hanya dimaknai

dan difungsikan sebagai instrument kekuasaan belaka.

Derajat kepastian dan prediktibilitasnya sangat tinggi,

12 Ibid. h. 92

13 Jafar, Wahyu, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:Sebuah Catatan atas

Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Jakarta, h. 163

Page 26: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

26

sehingga sangat disukai oleh para pelaku kekuasaan,

baik kekuasaan politik maupun ekonomi The Rule of

Law dalam tafsir kaum liberal

2 Formal Legality Dalam bentuk ini Negara hukum dicirikan memiliki

beberapa sifat yang meliputi: prinsip propektivitas dan

tak boleh retroaktif, berlaku umum-mengikat semua

orang, jelas publik, dan relative stabil. Dalam pengertian

ini pediktibilas hukum sangat diutamakan

3 Democracy and

Legality

Demokrasi yang dinamis yang diimbangi oleh hukum

yang menjamin kepastian hukum. Namun demikian,

sebagai a procedural mode of legitimation, demokrasi

juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang

serupa dengan formal legality, sehingga bias juga

memunculkan praktik-praktik buruk kekuasaan-

otoritarian.

4 Individual Rights Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak milik,

kontrak pribadi, dan otonomi seseorang

5 Rights of Dignity Jaminan terhadap martabat seseorang, termasuk jaminan

atas hak atas keadilan.

6 Social Welfare Persamaan yang sifatnya mendasar dan hakiki, jaminan

kesejahteraan, dan terjaganya-terpeliharanya seseoang

Page 27: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

27

dalam komunitas

Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa “negara Indonesia adalah negara

hukum. Sehingga rumusan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tidak membedakan lagi antara

istilah Rechtstaat dan The Rule of Law. Konsep negara hukum Indonesia menerima

prinsip kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam konsepsi Rechtsstaat,

sekaligus juga menerima prinsip rasa keadilan dalam The Rule of Law14

.”

Dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dapat dijadikan acuan untuk

menjawab permasalahan bentuk Tindakan hukum tata Usaha Negara terkait

dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dengan menggunakan

perkembangan konsep negara hukum yaitu konsep negara hukum modern, yang

bukan lagi membedakan antara konsep Rechtsstaat maupun The Rule of Law, karena

segala tindakan hukum Tata Usaha Negara yang dilakukan oleh pemerintah harus

berdasarkan pada prinsip negara hukum modern, yang didalamnya berisikan kepastian

hukum, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan menjamin untuk

melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi karena kuantitas

pemeluknya terutama terkait dengan isi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

14

MD Moh. Mahfud, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Orasi ilmiah

didepan Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2011.

Page 28: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

28

1.7.3 Teori Hierarki (Stufenbau Theory)

Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang

diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan

sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang

mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai

hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial15

. Norma yang menentukan

pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior.

Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas

keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. Seperti yang diungkapkan oleh

Kelsen “The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the

norm–the lower one-is determined by another-the higher-the creation of which of

determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest,

the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order,

constitutes its unity16

.

Maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum

yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus

berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut

Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit

(abstrak), Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.

15 Asshiddiqie, Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,Cet I,

Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 110

16

Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard

University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, h. 124

Page 29: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

29

Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf

Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum

memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya:

1. Norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada

diatasnya

2. Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi

norma yang dibawahnya

Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif

karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang

diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau

dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus

pula17

.

Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma

hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah

seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu

Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der

rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:18

1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);

2. Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz);

17 Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. h. 25

18

Atamimi, A, Hamid S, , 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang

Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas

Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h. 287

Page 30: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

30

3. Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome

Satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan

konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi

hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya

suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu

negara.19

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma

dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai

Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental

negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi

berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.20

Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya

dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia.

Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan

teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:21

1.Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).

19 Ibid

20

Ibid. h. 359

21

Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Page 31: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

31

2.Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3.Formell gesetz: Undang-Undang.

4.Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis

dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini untuk menjawab tentang letak atau posisi

dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam Peraturan Perundang-

undangan dan apakah Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung

En Autonome Satzung bertentangan atau tidak dengan dengan Peraturan Perundang-

undangan diatasnya yang sebagai Formell Gesetz.

Page 32: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

32

1.7.4 Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam

kajian hukum tata Negara dan hukum administrasi. Karena kewenangan atau

wewenang merupakan dasar atau keabsahan tolak ukur bagi pemerintah untuk

melakukan suatu tindakan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Maka

wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-Undang yang

berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum22

.

Istilah wewenang atau kewenangan digunakan dalam istilah bahasa Belanda

yaitu “bevoegdheid”, yang oleh Philipus M. Hadjion wewenang (bevoegdheid)

dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht)23

. Sedangkan pengertian

kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki pengertian yang sama

dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu24

.

Menurut F.P.C.L. Tonner dalam bukunya Ridwan HR berpendapat

Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief

recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen

overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap

sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat

diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara25

.

22 Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, h.154

23

Hadjon, Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 tahun XII, September-

Desember, h. 1 (Selanjutnya disebut Hadjon, Philipus I)

24

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170

25

HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 100

Page 33: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

33

Kemudian Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud dalam bukunya Irfan

Fachruddin adalah Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van

bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het

bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan

aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang

pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik)26

Adapun macam-macam kewenangan atau wewenang, berdasarkan bagaimana

cara memperolehnya, kewenangan atau wewenang diperoleh melalui 3 cara yaitu

a. Atribusi;

b. Delegasi; dan

c. Mandat.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu untuk menjawab segi kewenanngan

yang diberikan oleh Undang-Undang dalam hal ini Undang-Undang No. 1 /PNPS/

tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama kepada

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri untuk membuat suatu

keputusan yang berisikan peringatan dan perintah untuk setiap orang yang

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sehingga dapat menentukan posisi dari

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Peraturan Perundang-undangan

berdasarkan segi kewenangan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

26 Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,

Alumni, Bandung, h. 4

Page 34: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

34

1.7.5 Teori Kehendak (Wilstheorie)

Kehendak merupakan dorongan hati untuk melakukan sesuatu, tanpa

dipengaruhi oleh nilai-nilai baik atau buruk. Dorongan ini bersifat murni dari dalam

diri, tanpa melibatkan atau terpengaruh orang. Teori kehendak (wilstheorie) di

kembangkan Sarjana Hukum Von Hippel dan Simon. Menurut teori ini Sengaja

adalah kehendak yang di arahkan pada terbentuknya perbuatan seperti yang terumus

dalam undang-undang (de op verwerkerijking der wettelijke omsschrijving gerichte

wil27

). Menurut teori ini kesengajaan ditekankan kepada apa yang dikehendaki pada

waktu berbuat Dalam teori kehendak menunjukkan adanya suatu kuasa terhadap

pemegang hak yang jelas dan memiliki kewenangan untuk menggunakannya atau

melepaskannya.28

Dalam kaitannya dengan Tindakan Hukum Tata Usaha Negara,

beberapa ahli seperti Paul Scolten, Sybengan, Van Praag, Meyers yang menggunakan

Teori Kehendak (Wilstheorie) sebagai titik tolak untuk tidak menerima/membenarkan

adanya perbuatan hukum publik yang bersegi dua karena menurut teori ini perbuatan

mengeluarkan atau memberhentikan suatu peraturan, dalam hal ini hanya ada satu

kehendak yang menonjol yakni kehendak pemerintah.

Maka dalam kaitannya dengan tesis ini, Teori Kehendak memberikan landasan

atau jawaban terhadap letak instrument hukum atau keputusan hukum dari Pejabat

27

Keputusan Mahkamah Agung, No. 70/PID.B/2012/PN.WKB tentang Penetapan Ketua

Pengadilan Negeri Waikabubak No.70 / Pid.B/2012/PN.Wkb tertanggal 21 Juni 2012

28

Edmundson, William A, 2004, An Introduction To Rights, Cambridge Ubiversity Press, New

York, h.121-122 dalam Iskandar, Pranoto, 2012, Hukum Ham Internasional:Sebuah Pengantar

Kontekstual, IMR Prees, Cianjur, 29

Page 35: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

35

Tata Usaha didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara terkait diterbitkannya

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Adapun dalam penelitian yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofis,

perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup, dan materi, konsisten, penjelasan

umum, dan pasal demi pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu Undang-

Undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan

atau imlementasi, sehingga penelitian hukum normatif sering disebut “penelitian

hukum dokmatik” atau” penelitian hukum teoritis” (dogmatic or theoretical law

reseach)29

.

Penelitian ini bermaksud menganalisis permasalahan hukum yang berpedoman

pada landasan hukum, serta pandangan-pandangan dari para ahli hukum yang terkait

dengan permasalahan penelitian ini, yang mana penelitian ini meneliti tentang

kepastian hukum dalam suatu keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal

ini Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

29 Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 101-102

Page 36: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

36

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan sebagai langkah-langkah pemecahan masalah

(problem solution30

) dalam tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan

Perundang-undangan (statue approach), pendekatan analitis sejarah hukum

(approach of Historical analysis), dan pendekatan analitis konsep hukum (approach

of legal concdeptual analysis).

Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan mengkaji

dengan menelaah Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas, khususnya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memberikan

kewenangan terhadap Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

Pendekatan analitis Sejarah (approach of Historical analysis) dalam pendekatan

analitis Sejarah ini penulis ingin menganalisis sejarah terbentuknya Undang-Undang

No. 1 /PNPS/ tahun 1965, serta sejarah terbentuknya Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah. Kemudian pendekatan analisis konsep hukum (approach of legal

conceptual analysis) yaitu beranjak dari Peraturan Perundang-undangan maupun

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum,

sehingga dapat menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang

30 Ibid. h. 112

Page 37: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

37

dihadapi31

. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, digunakan untuk

mengkaji lebih mendalam mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara

dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dari penelitian proposal ini berasal dari penelitian

kepustakaan (Library Research), yang mana bahan hukum yang dipergunakan adalah

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder32

serta bahan hukum tersier. Bahan

hukum primer yang terdiri dari asas dan kaidah hukum yang ditemukan dalam

berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan topik kajian, yaitu UUD

1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun

1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Undang-

Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan

Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Undang–Undang No. 8 tahun 1985

tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang

Perubahan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 16

tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik

31 Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 93

32

Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Denpasar, h. 12

Page 38: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

38

Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8

tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.

3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang No. 12 tahun 2005

tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Undang-

Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara, Undang-Undang No. 51

tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, Peraturan Pemerintah No. 18 tahun

1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan, Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia

Jo Peraturan Presiden No. 62 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden

No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata

Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 10 tahun

2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia

Jo Peraturan Presiden No. 63 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian

Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang

Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara, Keputusan Presiden No. 86

Tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik

Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/puu-vii/2009 tentang Pencegahan

Page 39: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

39

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan

Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Keputusan Bersama

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3

tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199

tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau

Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat,

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15

Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan

Masyarakat (PAKEM), Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 tahun 2003

tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri, Peraturan Menteri

Agama Republik Indonesia No. 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Departemen Agama, Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep-

115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal

Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan

Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. se/sj/1322/2008, No. se/b-

1065/d/dsp.4/08/2008, No. se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No. 199 tahun 2008

Page 40: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

40

Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat

Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum (text book) yang terkait

dengan penelitian ini, isinya mempunyai nilai tetap yang pada umumnya merupakan

bahan pustaka yang paling umum dibidang hukum Tata negara, Hukum Administrasi

Negara terutama yang berkaitan dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara.

Bahan hukum tersier terdiri dari, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus ensiklopedia hukum,

internet dengan menyebut nama situsnya yang terkain dengan penelitian ini.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisasi,

mempelajari, dengan mengoleksi dan mengumpulkan bahan-bahan hukum, kemudian

dilakukan identifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara

pencatatan atau pengutipan dengan sistem kartu (Card System), yakni dengan

melakukan pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi

penelitian yang dilakukan, kemudian dilakukan kualifikasi data dan hukum33

.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan

yaitu kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta

33 Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni,

Badung, h. 50

Page 41: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

41

sumber darimana data tersebut diperoleh (nama/pengarang, judul buku/artikel,

halaman dan sebagainya34

.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam menganalisis bahan hukum ini, bahan-bahan hukum yang digunakan

dalam penelitian ini kemudian diolah dan dianalisis secara deskripsi untuk

menguraikan suatu bahan hukum yang telah dikumpulkan baik berupa Peraturan

Perundang-undangan maupun pendapat para sarjana yang terkait dengan pokok

permasalahan dalam penelitian ini, kemudian diinterprestasikan dengan

menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal,

historis, sistimatis, teleologis, kontektual, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan

permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya di evaluasi untuk memberikan

penilaian berupa tepat dan atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,

sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan

rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder, kemudian dilanjutkan dengan argumentasi sebagai hasil

akhir untuk mendapatkan sebuah kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.

34 Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 53

Page 42: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

42

BAB II

TINJAUAN UMUM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI

AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG

NO. KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199

TAHUN 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH

KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA

PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN

WARGA MASYARAKAT

2.1 Tugas Dan Fungsi Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia

Berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 tentang kementerian negara, di dalam ayat 1

menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, kemudian ayat 2

mengatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, ayat 3

mengatakan menteri membidangi urusan tertentu, dalam pemerintahan, dan dalam

ayat 4 menyatakan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara

diatur dalam Undang-Undang.

Hal tersebut berarti menteri-menteri merupakan pembantu Presiden yang

menjalankan tugasnya sesuai dengan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan, dan

Page 43: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

43

bertanggung jawab kepada Presiden, namun menteri-menteri negara tidak

bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Negara.

Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah perangkat

pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, seperti yang

tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 2008

tentang Kementrerian Negara.

Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yaitu terdiri

atas:

a. Urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan

dalam UUD 1945, seperti urusan luar negeri, dalam negeri, pertahanan. Yang

mana fungsi Kementrian negara dalam hal ini adalah perumusan, penetapan, dan

pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara

yang menjadi tanggung jawabnya, pengawasan atas pelaksanaan tugas di

bidangnya, dan pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

b. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945,

seperti urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia,

pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri,

perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi,

informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan,

dan perikanan. Adapun fungsi Kementerian negara dalam hal ini meliputi,

perumusan, penetapan, dan pelaksanaan, kebijakan di bidangnya, pengelolaan

barang milik/kekayaan negara yang, menjadi tanggung jawabnya, pengawasan

Page 44: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

44

atas pelaksanaan tugas dibidangnya, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise

atas pelaksanaan urusan Kementerian didaerah dan pelaksanaan kegiatan teknis

yang berskala nasional.

c. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi

program pemerintah, seperti: perencanaan pembangunan nasional, aparatur

negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan,

kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi,

koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan,

pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah

tertinggal.adapun fungsi Kementerian negara dalam hal ini meliputi, perumusan

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan

Dan Organisasi Kementerian Negara dan penetapan kebijakan di bidangnya,

koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; pengelolaan

barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan pengawasan

atas pelaksanaan tugas di bidangnya.

Berdasarkan, yang dimana dalam Pasal 1 menyebutkan “Dengan Peraturan

Presiden ini dibentuk Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut dengan

Kementerian sebagai berikut:

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian; 3. Kementerian Koordinator Bidang

Kesejahteraan Rakyat; 4. Kementerian Sekretariat Negara; 5. Kementerian Dalam

Negeri; 6. Kementerian Luar Negeri; 7. Kementerian Pertahanan; 8. Kementerian

Page 45: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

45

Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Kementerian Keuangan; 10. Kementerian Energi

dan Sumber Daya Mineral; 11. Kementerian Perindustrian; 12. Kementerian

Perdagangan; 13. Kementerian Pertanian; 14. Kementerian Kehutanan; 15.

Kementerian Perhubungan; 16. Kementerian Kelautan dan Perikanan 17.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18. Kementerian Pekerjaan Umum; 19.

Kementerian Kesehatan; 20. Kementerian Pendidikan Nasional; 21. Kementerian

Sosial; 22. Kementerian Agama; 23. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 24.

Kementerian Komunikasi dan Informatika; 25. Kementerian Riset dan Teknologi; 26.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 27. Kementerian Lingkungan

Hidup; 28. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 29.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 30.

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal; 31. Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional; 32. Kementerian Badan Usaha Milik Negara; 33.

Kementerian Perumahan Rakyat; dan 34. Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

Dengan disebutkannya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri

pada Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 2009 tentang

Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara yaitu Kementerian Dalam Negeri

pada point 5 dan Kementerian Agama pada point 22 .

Kementerian Agama memiliki tugas membantu Presiden dalam

menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan. Adapun

fungsi Departemen Agama menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agama

Page 46: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

46

berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia. No. 10 tahun 2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama yaitu :

1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keagamaan;

2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab

Kementerian Agama;

3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;

4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan

Kementerian Agama di daerah;

5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan

6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah

Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan dalam negeri untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan

pemerintahannya. Adapun fungsi dari Kementerian Dalam Negeri menurut Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Dalam Negeri antara lain :

1. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pemerintahan

dalam negeri;

2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara;

3. pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidang pemerintahan dalam negeri; dan

pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara

di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada Peraturan Perundang-undangan

Page 47: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

47

dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan Jaksa Agung diamgkat dan

diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Fungsi dan

kewenangan Kejaksanaa berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia meliputi:

1. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana, antara lain:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

Undang-Undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata dan Tata Usaha Negara,

Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar

pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut

menyelenggarakan kegiatan:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

Page 48: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

48

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia juga menyatakan Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan

membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta

badan negara atau instansi lainnya

2.2 Dasar Hukum Diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008,

Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199

Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,

Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan

Warga Masyarakat

Negara Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep negara hukum,

maka segala perbuatan pemerintah haruslah berdasarkan hukum, begitu juga produk

hukum yang diterbitkan oleh pemerintah haruslah memiliki dasar hukum dari

pembentukan produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintah tersebut.

Oleh sebab itu produk hukum yang di bentuk oleh pemerintah yang paling

rendah harus berpegangan pada produk hukum pemerintah/negara yang lebih tinggi,

dan kaidah hukum yang tertinggi. Seperti halnya Keputusan Bersama tentang

Page 49: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

49

Ahmadiyah yang diterbitkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia haruslah memiliki dasar hukum yang jelas agar tidak

bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan atau Undang-Undang yang ada

di atasnya.

Bahwa didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah haruslah menjamin

kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat serta menyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninnya, serta memberikan

kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kepada warga

masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI), sesuai dengan Pasal 28 E UUD 1945 yang menyatakan :

1) Setiap orang bebas, memeluk agama dan beribadat menutur agamannya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali;

2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;

3) Setiap orang bebas atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pendapat.

Keputusan Besama tentang Ahmadiyah harus menjamin adanya pemberian hak

untuk hidup, untuk tidak disiksa, merdeka pikiran hati nurani, beragama, untuk tidak

diperbudak, diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

Page 50: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

50

keadaan apapun kepada warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Seperti yang diatur dalam Pasal 28 I

ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan :

1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi du hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun.

2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

bersifat diskriminatif itu.

3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.

4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,

diatur, dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah harus menjamin adanya sikap

menghormati hak asasi manusia, serta adannya pembatasan yang ditetapkan dalam

Undang-Undang yang bertujuan menciptakan ketertiban kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, serta adanya jaminan pengakuan serta penghormatan atas

Page 51: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

51

hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menyatakan:

1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada

pmbatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalamsuatu masyarakat demokratis.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga mengakui bahwa negara Indonesia

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan adanya jaminan kemerdekaan untuk

memeluk dan beribadat menurut agamannya masing-masing bagi warga masyarakat

dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI), sebagaimana Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:

1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamannya dan

kepercayaannya itu.

Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi Barang siapa di

muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merandahkan

Page 52: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

52

terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap

bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya

karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan

menurut hukum tata negara35

. Serta dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana yang berbunyi dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun

barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan :

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, menyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agaman yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama manapun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa36

.

Hal tersebut dijadikan sebagai dasar acuan oleh Keputusan Bersama Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun

2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun

2008 apabila terjadi pelanggaran terhadap isi dari peringatan dan perintah dari

keputusan ini baik itu dari Ahmadiyah maupun warga masyarakat akan dikenakan

sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

35 Hamzah, Andi, 2005, KUHP & KUHAP, Cet 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 63

36

Ibid

Page 53: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

53

Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang dijadikan dasar dalam

pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang diterbitkan oleh Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

dijadikan sebagai dasar hukum oleh Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

mengenai ketentuan-ketentuan dalam organisasi kemasyarakatan yang berhubungan

dengan organisasi keorganisasian kemasyarakatan khususnya mengenai organisasi

Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa isi dari Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah tidak boleh bertentangan atau melanggar hak asasi manusia seseorang

atau siapapun juga.

Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan, yang mengenai bidang ketertiban umum dan kesejahteraan umum,

memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk turut menyelenggarakan kegiatan

yang salah satunya berisikan pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara, dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama,

sehingga Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

dijadikan sebagai dasar hukum dalam ikut sertanya Jaksa Agung dalam menerbitkan

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang berkenaan dengan kewenangan dari

Kejaksaan.

Page 54: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

54

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Menjadi Undang-Undang dijadikan sebagai landasan hukum oleh Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah mengenai batasan-batasan dari kewenangan pemerintah

daerah dalam menangani masalah Ahmadiyah.

Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional

Hak-hak Sipil dan Politik, menunjukkan bahwa pemerintah sangat konsisten dengan

perlindungan hak-hak sipil dan politik, maka dari itu Undang-Undang No. 12 Tahun

2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional dijadikan landasan dasar hukum

dalam penerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak boleh melanggar dari

Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-

Hak Sipil dan Politik.

Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai acuan bagi Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia berdasarkan

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai pelaksanaa dalam memberikan

peringatan dan perintah kepada organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo

Peraturan Presiden No. 62 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden

Page 55: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

55

No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,

Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagai menimbang

didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai tertib administrasi agar

jelas kedudukan, fungsi Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia, di Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah,

Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I

Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 tahun 2005

tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 10. tahun 2005 tentang Unit

Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagai

menimbang dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai tertib

administrasi agar jelas kedudukan, fungsi Ekselon I Kementerian Agama, Jaksa

Agung, dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, di dalam Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah.

Keputusan Presiden No. 86 tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah dalam hal batasan tata kerja kejaksaan menyangkut penyelesaian

masalah Amadiyah.

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun

1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri

Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia sebagai menimbang dalam Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai petunjuk-petunjuk tentang tata cara

Page 56: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

56

pelaksanaan penyiaran agama, dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di

Indonesia khususnya mengenai Ahmadiyah.

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP004/J.A/01/1994 tanggal

15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran

Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), sebagai menimbang di dalam Keputusan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia No 3 tahun 2008, yang mengenai Pembentukan Tim Koordinasi

Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyangkut penyelesaian

masalah Ahmadiyah.

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP-115/J.A/10/1999 tanggal

20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, mengenai

tata kerja Kejaksaan didalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 tahun 2003 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Departemen Dalam Negeri, sebagai menimbang Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah sebagai acuan dalam menentukan tata kerja Departemen Dalam

Negeri dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama sebagai menimbang Keputusan

Page 57: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

57

Bersama tentang Ahmadiyah sebagai acuan dalam menentukan tata kerja Departemen

Agama dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.

2.3 Kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri

Dalam menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,

Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa

Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun

2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,

Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan

Warga Masyarakat

Dalam setiap perbuatan pemerintah guna menyelenggarakan pemerintahan dan

tugas negara perlu adanya suatu legitimasi untuk mengesahkan setiap perbuatan

pemerintah. Dengan kata lain setiap keputusan pemerintah dalam hal ini menteri

harus didasarkan pada kewenangan yang jelas yang telah diatur, dimana wewenang

tersebut telah ditetapkan oleh aturan hukum yang terlebih dahulu ada37

.

Secara teori cara memperoleh kewenangan terdapat 3 cara yakni:

1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan

hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki

oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan

kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini

37 Sutarman, 2007, Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan Penegakan Hukum

Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga., h. 110

Page 58: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

58

menunjuk pada kewenangan asli atas dasar Konstitusi (UUD) atau Peraturan

Perundang-undangan.

2. Delegasi adalah wewenang yang bersumber dari pelimpahan suatu organ

pemerintahan kepada organ pemerintah yang lain dengan dasar Peraturan

Perundang-undangan

3. Mandat adalah wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur

pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang

lebih rendah.

Dalam kaitan dengan Atribusi, Delegasi, dan Mandat, J.G. Brouwer dan A.E.

Schilder, mengatakan38

:

a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an

independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say

that is not derived from a previously existing power. The legislative body

creates independent and previously non existent powers and assigns them to

an authority. (dengan atribution, kekuasaan diberikan kepada otoritas

administratif oleh badan legislatif independen. Daya awal (asli), yang

mengatakan bahwa tidak berasal dari kekuatan yang sudah ada sebelumnya.

Badan legislatif menciptakan kekuatan ada independen dan sebelumnya tidak

dan memberikan mereka otoritas)

38 Brouwer, J.G. dan Schilder,1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,

Nijmegen, h. 16-1

Page 59: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

59

b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one

administrative authority to another, so that the delegate (the body that the

acquired the power) can exercise power in its own name. (Delegasi adalah

transfer dari atribution diperoleh kekuasaan dari satu kewenangan

administratif yang lain, sehingga delegate (tubuh yang mengakuisisi

kekuasaan) dapat menjalankan kekuasaan atas namanya sendiri)

c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns

power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.(

Dengan mandat, tidak ada pengalihan, tetapi pemberi mandat (Mandans)

memberikan kekuatan untuk tubuh (mandataris) untuk membuat keputusan

atau mengambil tindakan dalam namanya)

Kemudian H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefinisikan Atribusi,

Delegasi dan Mandate sebagai sumber wewenang, sebagai berikut;39

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een

bestuursorgaan. (pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-

Undang kepada organ pemerintahan)

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een

ander. (pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan

kepada organ pemerintahan lainnya);

39 Konijnenbelt, H. D. Konijnenbelt Van Wijk/Willem, 1988, Hoofdstukken van Administratief

Recht, Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, h. 56 dalam H.R, Ridwan Op. Cit, h. 102

Page 60: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

60

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door

een ander. (ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan

oleh organ lain atas namanya).

Menurut Wim Voermans40

, atribusi adalah penciptaan dan penugasan yang

sebelumnya ada di otoritas publik kepada pemerintah. Kemudian kewenangan atribusi

adalah tindakan utama penciptaan yang entah dari mana, suatu kekuatan itu baru itu

diciptakan dan ditugaskan, maka dari itu kewenangan Atribusi diberikan oleh

legislator.

Adapun tiga karakteristik yang lain dari Atribusi, yaitu41

a. de attribuerende instantie oefent niet zelf de bevoegdheid uit die ze

attribueert. Zo oefent de grondwetgever of wetgever zelf niet de bevoegdheid

tot burgerlijke of strafrechtspraak uit, maar geeft daarvoor slechts de

bevoegdheid;

b. dat de attribuerende instantie onder omstandigheden zijn de bevoegdheid tot

attributie, bijvoorbeeld ter detaillering van de constitutie, over kunnen dragen

aan een andere instantie;

c. dat attributie een limitatief karakter draagt, dat wil zeggen dat

overheidsbevoegdheden slechts rechtens kunnen bestaan krachtens

toekenning of erkenning ervan door de constitutie.

40

Voermans, Wim, 2004, Toedeling Van Bevoegdheid, Meijers Instituut, Leiden, Nederland. h 19

41

Ibid

Page 61: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

61

Delegasi merupakan bentuk lain dari atribusi, namun si pemberi kewenangan

tetap bertanggung jawab sendiri. Dalam pendelegasian dapat terjadi pada tingkat

pemerintahan yang sama, akan tetapi dapat juga dilimpahkan ke pemerintahan lain

yang terkait42

.

Sedangkan Mandat menurut Wim Voermans, sering disebutkan dalam satu

napas dengan atribusi dan delegasi, sehingga Wim Voermans menganggap mandate

bukanlah bentuk pelimpahan asli. Yang artinya diman si pemberi mandat tetap

bertanggung jawab43

.

Dalam menentukan jenis dari kewenangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung,

dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah, hal tersebut dapt dilihat melalui aturan hukum yang menetapkan

kewenangan tersebut.

Di dalam Pasal 17 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada menteri untuk

membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri, dikarenakan setiap menteri

negara merupakan pembantu-pembantu Presiden yang membidangi urusan tertentu

pemerintahan. Hal tersebut sebagai mana dengan Menteri Agama dan Kementerian

Dalam Negeri yang juga merupakan pembantu Presiden yang membidangi urusan

agama dan urusan dalam negeri, sehingga Kementerian Agama dan Kementerian

Dalam Negeri mendapatkan kewenangan mengeluarkan suatu Keputusan berdasarkan

kewenangan Pasal 17 UUD 1945.

42 Ibid. h 39

43

Ibid, h 2

Page 62: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

62

Kewenangan Jaksa Agung untuk ikut serta membentuk Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah bersumber pada Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan. Di dalam undang-undang ini kejaksaan memiliki kewenangan untuk turut

menyelenggarakan pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat

dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama

di bidang ketertiban dan ketentraman umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30

ayat 3 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan”

dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan

kegiatan:

a. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

negara;

e. Mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic Kriminal.

Namun tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam Undang-Undang No. 16 tahun

2004 tentang Kejaksaan bersifat prevensif dan/atau edukatif sesuai dengan Peraturan

Perundang-undangan. Sehingga tugas dan kewenangan dari Jaksa Agung hanyalah

mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta

koordinasi dengan instansi terkait, dimana dalam hal Ahmadiyah Kejaksaan bekerja

sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri

Page 63: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

63

Dalam Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 2 ayat 1 yang

berbunyi ”Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah

dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan

bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”.

Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, kewenanngan Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitan Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan Atribusi yang merupakan

toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan,

yang artinya bahwa Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan44

.

Kewenangan atribusi dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(attributie van wetgevingsbevoegdheid), adalah bentuk kewenangan yang didasarkan

atau diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu

lembaga negara/pemerintahan. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat

keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti

materiel. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh

wewenang pemerintahan. Kewenangan tersebut terus menerus dan dapat

dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas

44 HR, Ridwan, Op Cit, h. 104-105

Page 64: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

64

yang diberikan. Di dalam kewenangan atribusi terdapat tiga (3) karakteristik dari

atribusi, yaitu :

1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-

undangan.

2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh Konstitusi, Undang-Undang atau

Peraturan Daerah kepada suatu organ.

3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas

pelaksanaan kewenangan bersangkutan.

Maka kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan

atribusi dapat dilihat dari ketiga point karakteristik diatas yaitu

1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-

undangan. yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

menerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-

03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang

Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat..

2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau

Peraturan Daerah kepada suatu organ. Yaitu dilihat dari Pasal 17 UUD 1945

memberikan kewenangan kepada para menteri negara selaku pembantu

Presiden untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri,

Page 65: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

65

kemudian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

memberikan kewenangan kepada jaksa agung untuk ikut serta dalam

menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana kewenangan

tersebut untuk pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan

dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum serta

bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan

instansi terkait. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang

berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi

perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam

suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri.

3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas

pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Yakni Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab atas diterbitkannya

serta dalam pelaksanaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008,

Jaksa Agung No. KEep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199

tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota,

dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga

Masyarakat.

Page 66: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

66

BAB III

BENTUK TINDAKAN TATA USAHA NEGARA DARI

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG,

DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3

TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008,

MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 TENTANG

PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,

ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT

AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA

MASYARAKAT

3.1 Jenis-Jenis Tindakan Tata Usaha Negara

Dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah

melalui pejabat atau badan Tata Usaha Negara melakukan beberapa jenis perbuatan

atau tindakan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah sebagai subyek hukum

atau sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban. Pemerintah melakukan suatu

Perbuatan atau tindakan Tata Usaha Negara atau tindakan-tindakan pemerintah

(Bestuurshandelingen), dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan nyata Tata Usaha

Negara atau tindakan Tata Usaha Negara berdasarkan fakta (Feitelijk Handelingen)

dan tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen). tindakan nyata Tata

Usaha Negara atau tindakan Tata Usaha Negara berdasarkan fakta (Feitelijk

Page 67: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

67

Handelingen ) yaitu tindakannya yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan

konsekuensi hukum dalam kehidupan dan tidak terdapat hubungan langsung dengan

kewenangannya, sedangkan perbuatan hukum pemerintah/ Tata Usaha Negara adalah

suatu perbuatan pemerintah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur dari

tindakan hukum pemerintah adalah dilakukan oleh aparat pemerintah, dimana

tindakan tersebut dilaksanakann dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang

menimbulkan akibat-akibat hukum, dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri,

yang didasari atas Peraturan Perundang-undangan..

Didalam tindakan hukum yang dilakukan oleh Tata Usaha Negara dalam hal ini

pemerintah terdapat beberapa unsur, menurut Muchsan unsur-unsur perbuatan atau

tindakan hukum pemerintah atau tindakan hukum tata Usaha Negara adalah sebagai

berikut :

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai

penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (bestuurorganen)

dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

2. Perbuatan tersebut di laksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah;

3. Perbuatan tersebut di maksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat

hukum di bidang hukum administrasi;

4. Perbuatan yang bersangkutan di lakukan dalam rangka pemeliharaan

kepentingan Negara dan rakyat45

.

45 Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan

Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h, 18-19

Page 68: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

68

Didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara dikategorikan menjadi dua

golongan, yakni tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat

(Privaatrehtelijke Rechtshandelingen), dan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang

bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen). tindakan hukum Tata

Usaha Negara yang bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen)

merupakan tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang

akibatnya berada dalam lapangan hukum perdata, sebagai contoh dapat dilihat pada

Pasal 1548 KUH Perdata mengenai hubungan sewa menyewa antara pemerintah

dengan pihak swasta, kemudian Pasal 1547 KUH Perdata mengenai penjualan tanah

eigendom. Sedangkan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum

publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen) merupakan tindakan yang dilakukan

oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang akibatnya berada dalam lapangan

hukum publik. Berkenaan dengan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara,

terdapat dua bentuk dari tindakan hukum publik Tata Usaha Negara, yang menurut

Utrecht yaitu sebagai tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu

(eenzijdige publiekrechtelijke handelingen) dan tindakan hukum publik Tata Usaha

Negara bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handelingen). Tindakan hukum

publik Tata Usaha Negara bersegi satu merupakan kehendak sepihak dari pemerintah

saja, sedangkan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi dua merupakan

adanya dua kehendak atau kemauan yang terikat, misalnya perjanjian kontrak kerja

dengan pemerintah atau kortverband contract (perjanjian kerja yang berlaku jangka

Page 69: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

69

pendek yang dilakukan antara swasta sebagai pekerja dengan pemerintah sebagai

pihak yang memberikan pekerjaan).

3.1.1 Skema Jenis-Jenis Tindakan Hukum Tata Usaha Negara

Tindakan Tata Usaha Negara/ Tindakan Pemerintah

(Bestuurshandelingen)

Tindakan nyata Tata Usaha

Negara/ Tindakan nyata

Pemerintah (Feitelijke

Handelingen)

Tindakan hukum Tata Usaha

Negara/ Tindakan Hukum

Pemerintah

(Rechtshandelingen)

Tindakan hukum Privat Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Privat Pemerintah

(Privaatrehtelijke

Rechtshandelingen)

Tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah

(Publiekrechtelijke

Rechtshandelingen)

Tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah yang

bersegi satu (eenzijdige

publiekrechtelijke

handelingen)

Tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah yang

bersegi dua (meerzijdige

publiekrechtelijke

handelingen)

Page 70: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

70

3.2 Bentuk-Bentuk Keputusan Tertulis Tindakan Hukum Publik Tata Usaha

Negara

Sebuah produk pengambilan sebuah putusan tertulis yang dilakukan oleh organ

atau pejabat Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan sebuah aturan hukum yang

mengikat subyek-subyek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa

larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere)46

.

Subyek hukum yang terkena tersebut menurut pada sifat perumusan subyek hukum,

jika subyek yang terkena akibat keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh organisasi

negara yang bersifat konkrit dan individu, maka norma atau kaedah hukum yang

terkandung di dalam keputusan tertulis tersebut merupakan norma hukum yang

bersifat individu–konkrit (individual congkret norm), tetapi apabila subyek

hukumnya bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkrit, maka norma

hukum yang terkandung di dalam keputusan tertulis tersebut disebut norma hukum

yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norm)47

.

Bentuk putusan tertulis Menurut Jimly Assiddiqie pada dasarnya terdapat tiga

bentuk pengambilan keputusan yaitu48

:

1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil pengaturan tersebut sudah

seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “Peraturan”

46 Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 7

(Selanjutnya disebut Asshiddiqie, II)

47

Ibid

48

Ibid, h. 8

Page 71: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

71

2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (Beschikkings). Hasil

kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan Administrasi ini sebaiknnya

hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan atau Ketetapan”, bukan

dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan dilingkungan pengadilan yang

menggunakan istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi

“Ketetapan” yang sepadan dengan istilah “Keputusan”. Sedangkan Penetapan

dalam bentuk “gerund”atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk

hasilnya, dan;

3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonis). Istilah ini

sebenarnya tidak jelas bagaimana bentuknya. Jika kata putusan dianggap

benar secara gramatikal, maka harusnya dapat disepadankan dengan “tetapan”

yang berasal dari kata “tetap”, dan ”aturan” yang berasal dari kata “atur”.

Namun karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi

konvensi bahwa keputusan judisial hakim atas perkara yang diadili disebut

putusan.

Dalam kaitannya dengan pengambilan sebuah putusan hukum tertulis yang

dilakukan oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara di dalam tindakan hukum

publik pemerintah atau Tata Usaha Negara, bagi penulis putusan hukum yang

dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara didasari atas Teori Kewenangan dan

Teori Kehendak, karena adanya suatu kewenangan yang diberikan kepada pejabat

pemerintah atau pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan

tertulis, sedangkan teori kehendak dilihat dari kehendak yang ada dalam keputusan

Page 72: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

72

tertulis, apakah hanya terdapat kehendak tunggal dari pejabat pemerintah/ Tata Usaha

Negara atau terdapat kehendak dari pihak lain diluar kehendak pejabat pemerintah

/Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan tertulis. Sehingga bagi

penulis menggunakan teori kewenangan dan teori kehendak untuk memperkuat

dikeluarkannya keputusan hukum tertulis dalam tindakan publik Tata Usaha Negara.

Adapun bentuk-bentuk dari putusan tertulis tersebut antara lain :

1. Regeling (Keputusan yang bersifat Umum, Abstrak dan Mengatur)49

;

2. Beschikking (Keputusan atau Penetapan);

3. Besluiten Van Algemene Strekking (Keputusan yang Berentang Umum);

4. Het Plan ( Perencanaan);

5. Pseude-wetgeving/ Beleidsregel (Peraturan Perundang-undangan Semu/

Peraturan Kebijakan;

Untuk lebih memahami bentuk-bentuk dari putusan tertulis diatas, akan sangat

membantu bila dikaitkan dengan struktur norma hukum Administrasi/ Tata Usaha

Negara sebagai norma pemerintahan. Berdasarkan konsep dari Van Wijk dan

Konijnenbelt tentang kategori-kategori norma hukum Administrasi/ Tata Usaha

Negara yaitu sebagai berikut50

:

1. Algemeen-Abstract (Norma yang bersifat Umum-Abstrak)

2. Algemeen-Concreet (Norma yang bersifat Umum-Konkrit)

3. Individueel-Abstract (Norma yang bersifat Individu-Abstrak)

49 Ibid h.7

50

Hadjon, Philipus M., dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet 11,Gajah Mada

University Press, Jogjakarta 125

Page 73: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

73

4. Individueel-Concreet (Norma yang bersifat Individu-Konkrit)

Philippus M Hadjon membuat suatu skema untuk dapat mengetahui kualifikasi

dari norma hukum administrasi yang berdasarkan pada alamat yang ditujukan

(Addressat) dan hal yang diatur atau perbuatannya:

Skema Norma Hukum Administrasi/ Tata Hukum Negara51

:

Umum a Abstrak

b c

Individu d Konkrit

3.2.1 Regeling (Keputusan yang Bersifat Umum, Abstrak dan Mengatur)

Regeling yang merupakan bentuk putusan tertulis tindakan hukum Publik Tata

Usaha Negara yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang memiliki

norma-norma hukum yang sifatnya mengatur dengan isi norma yang bersifat umum

dan abstrak (general and abstract norms) dituangkan dalam bentuk tertulis tertentu

yang disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan52

.

Menurut Bagir Manan yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan

adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh

51 Ibid.

52

Ibid. h.19

untuk siapa Apa dan bagaimana

Page 74: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

74

lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai atau menjalankan fungsi legislatif

sesuai dengan tata cara yang berlaku53

.

Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (Regeling) merupakan

kehendak dari pemerintah bersama dengan lembaga legislatif. Namun pemerintah

sendiri dapat membuat suatu peraturan yang mengikat secara umum, apabila badan

legislatif telah memberikan kewenangannya kepada pemerintah dalam suatu Undang-

Undang.

Unsur-unsur yang termuat dalam Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai

berikut54

:

1. Peraturan Perundang-undangan berbentuk “keputusan tertulis”. Karena

merupakan keputusan tertulis, maka Peraturan Perundang-undangan sebagai

kaidah hukum lazim disebut hukum (geschreven recht, written law)

2. Peraturan Perundang-undangan dibentuk oleh Pejabat atau lingkungan jabatan

(badan, organ) yang mempunyai wewenang yang membuat ”Peraturan” yang

berlaku umum atau mengikat umum (algemeen)

3. Peraturan Perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan

harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan

bahwa Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa

konkrit atau individu tertentu. Karena dimaksud sebagai ketentuan yang tidak

53 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, 1987, Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan

Hukum Nasional, Armico, Bandung, h. 13 dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Yang Baik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 38

54

Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,

Alumni, Bandung, h. 125

Page 75: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

75

berlaku pada peristiwa konkrit tertentu atau individu tertentu, maka lebih tepat

disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat

umum.

Menurut Jimly yang mengacu pada Halbury,s Law of England,edisi tiga, vol, 36

di dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat 4 katgori peraturan tertulis yaitu55

:

1. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum bagi

siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjukkan kepada hal, atau

peristiwa, atau kasus konkrit yang sudah ada sebelum peraturan ditetapkan;

2. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan

subyek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subyek hukum tertentu;

3. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan

wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku di dalam wilayah lokal tertentu;

4. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan daya

ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal.

3.2.2 Beschikking (Keputusan atau Penetapan yang bersifat Konkrit, Individual

Dan Final)

Beschikking (keputusan atau penetapan) yang merupakan tindakan hukum Publik

Tata Usaha Negara dibagi lagi yaitu Interne Beschikking dan Eksterne Beschikking.

Interne Beschikking atau disebut dengan keputusan intern merupakan keputusan yang

dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan antar organ pemerintah,

sedangkan Eksterne Beschikking atau keputusan ekstern merupakan keputusan yang

55 Asshiddiqie, Jimly III, Op Cit, h.13

Page 76: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

76

dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan hukum antara pemerintah

dengan pihak lain atau antara dua atau lebih alat negara56

.

Istilah Beschikking diperkenalkan di negeri Belanda oleh Vollenhoven dan C.W.

Van Der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D, Van

Wijk/Willemkonijnenbelt, dianggap sebagai “de vader van het modern

beschikkingsbegrip, (bapak dari konsep Beschikking yang modern)57

. Namun di

Indonesia istilah Beshikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Ada yang

menerjemahkan istilah Beshikking ini dengan “ketetapan”, seperti E.Utercht58

, Bagir

Manan,59

Sjachran Basah, dan lain lain, dan dengan “keputusan” seperti WF. Prins

dan SF. Marbun,60

dan lain lain.

Menurut Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan

kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Beschikking (keputusan atau penetapan)

merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individu, dan

final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

56

Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat,

Universitas Padjajaran, Bandung, h.70

57

F.C.M.A. Michiels, 1987, De Arob-Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., „s-Gravenhage, h. 23

dalam Dalam HR. Ridwan, Op.Cit, h 140

58

Utrecht, E, Op.Cit, h. 97

59

Manan, Bagir, 1985, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat

Daerah , LPPM Unisba, Bandung, h. 30

60

Marbun, SF. Op.Cit. h. 126.

Page 77: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

77

Unsur-unsur Beschikking (keputusan atau penetapan) berdasarkan Pasal 1 ayat 9

Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang

No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha

Negara yaitu

1. Penetapan Tertulis

Penetapan tertulis maksudnya adalah cukup ada hitam diatas putih karena

menurut penjelasan atas pasal tersebut adalah form tidak penting dan bahkan

nota atau memo saja sudah memenuhi sebagai ketetapan tertulis61

. Ketika

pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkrit dan pemerintah memiliki

motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan peristiwa tersebut, pemerintah

diberi wewenang untuk mengambil tindakan hukum sepihak dalam bentuk

ketetapan yang merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam

bentuk tertulis.

2. Dikeluarkan Oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara

Pengertian badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1

ayat 8 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas

Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa “Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”.

61 Hadjon, Philipus M., dkk, Op.Cit. h.138

Page 78: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

78

Penjelasan atas Pasal 1 angka 8 menyatakan Badan atau Pejabat di pusat dan

di daerah yang melakukan kegiatan eksekutif.

3. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara

Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata

Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.

4. Bersifat Konkrit, Individual Dan Final

Bersifat konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha

Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan,

umpamanya keputusan mengenai sumah si A, Izin usaha bagi si B,

pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.

Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan

untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang

dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu

disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan

dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena

keputusan tersebut.

Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat

hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau

instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu

hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan

Page 79: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

79

pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan

Administrasi Kepegawaian Negara.

5. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku

Bahwa keputusan itu harus didasarkan pada kewenangan dari pejabat tata

usaha negara, sedangkan kewenangan pejabat tersebut tentunya bersumber

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau dengan kata lain

bahwa keputusan itu berfungsi untuk melaksanakan peraturan yang bersifat

umum. jadi harus ada peraturan yang menjadi dasarnya.

6. Akibat Hukum Bagi Seseorang Atau Badan Hukum Perdata.

Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang

atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi

penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya.

Namun didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang perubahan

Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang

Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjelaskan secara tegas

pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yang karena sifat dan

maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata

Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :

a) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Perbuatan Hukum Perdata

Page 80: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

80

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata,

umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang dilakukan

antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan

hukum perdata

b) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Pengaturan Yang Bersifat

Umum

Yang dimaksud dengan "pengaturan yang bersifat umum" ialah pengaturan

yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan

yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.

c) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Masih Memerlukan Persetujuan

Yang dimaksud dengan "Keputusan Tata Usaha Negara yang masih

memerlukan persetujuan" ialah keputusan yang untuk dapat berlaku masih

memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain. Dalam kerangka

pengawasan administratif yang bersifat preventif dan keseragaman

kebijaksanaan sering kali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan

bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan

persetujuan instansi atasan lebih dahulu. Adakalanya peraturan dasar

menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain

tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh

keputusan itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan tetapi sudah

menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.

Page 81: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

81

d) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dikeluarkan Berdasarkan Ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana atau Peraturan Perundang-undangan Lain yang Bersifat Hukum Pidana.

Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang- Undang

Hukum Pidana ialah umapanya dalam perkara lalu lintas di mana terdakwa

dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya

perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu

merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka jaksa yang menurut

Pasal 14 huruf d Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi

dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu

mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti

pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya. Keputusan Tata Usaha

Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

ialah umpamanya kalau penuntut umum mengeluarkan surat perintah penahanan

terhadap tersangka.

Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan lain yang bersifat hukum pidana ialah umpamanya perintah jaksa

ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara

tindak pidana ekonomi. Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap

ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya

oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.

Page 82: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

82

e) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dikeluarkan Atas Dasar Hasil Pemeriksaan

Badan Peradilan Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Berlaku;

Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya:

1. Keputusan Direktur Jenderal Agraria yang mengeluarkan sertifikat tanah

atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan

Pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang

menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan

tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak.

2. keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar putusan Pengadilan

perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri Kehakiman, setelah

menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya

menurut ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang

Peradilan Umum.

f) Keputusan Tata Usaha Negara Mengenai Keputusan Tata Usaha Negara

Mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;

g) Keputusan Panitia Pemilihan, Baik di Pusat Maupun di Daerah, Mengenai Hasil

Pemilihan Umum.

Didalam mengeluarkan keputusan yang merupakan tindakan Tata Usaha Negara

bersegi satu dapat dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

Page 83: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

83

a. sepihak konkrit individual

contoh: keputusan tentang pengangkatan/pemberhentian seseorang sebagai

pegawai negeri sipil, keputusan tentang pengangkatan seseorang dalam suatu

jabatan publik, penetapan pajak seseorang.

b. sepihak konkrit umum

contoh: keputusan presiden tentang kenaikan gaji PNS, keputusan menteri

tenaga kerja tentang upah minimum, dsb.

c. lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, konkrit-umum

contoh: Keputusan Bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,

Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan perdagangan No. 1905

K/34/MeM/2001, No. 426/KMK.01/2001, dan No. 233/MPP/Kep/7/2001

tentang Ketentuan Import Pelumas.

3.2.3 Besluiten Van Algemene Strekking (Keputusan Yang Berentang Umum)

Besluiten Van Algemene Strekking termasuk keputusan yang bersifat umum yang

dibuat oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang bersifat

mandiri, dalam artian hanya dibentuk oleh pemerintah tanpa keterlibtan Dewan

Perwakilan Rakyat62

.

Keputusan Yang Berentang Umum (Besluiten Van Algemene Strekking)

mengandung pengertian yang lebih luas daripada pengertian Peraturan Perundang-

undangan (Algemeen Verbindende Voorschrift), juga mencakup keputusan-keputusan

yang bukan Peraturan Perundang-undangan, karena tidak mengikat secara umum dan

62 HR. Ridwan, Op Cit, h 138

Page 84: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

84

bukan pula penetapan (Beschikking) karena akibat-akibatnnya tidak bersifat konkret-

individu63

.

Menurut Johanes Usfunan Besluiten Van Algemene Strekking atau Keputusan

Tata Usaha Negara Yang Berentang Umum ini merupakan produk badan/pejabat Tata

Usaha Negara yang mengikat secara umum (algemene bindend), yang berarti bahwa

keputusan yang demikian mengikat masyarakat secara keseluruhan atau kelompok

orang tertentu dan yang bagi mereka yang terkena putusan tersebut tak dapat berbuat

kecuali mematuhinnya64

.

Prof. Johanes Usfunan berpendapat bahwa Besluiten Van Algemene Srekking

dapat digolongkan kedalam keputusan yang bersifat keputusan umum-konkrit65

.

Keputusan bersifat umum merupakan produk badan atau pejabat Tata Usaha Negara

yang bertujuan mengatur kepentingan dan ketertiban masyarakat.

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No.9 tahun 2004 tentang perubahan

Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan

adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh

badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah, serta semua keputusan adan atau pejabat tata usaha Negara, baik di tingkat

pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan pejabat Tata Usaha Negara

63 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana. Op Cit, h. 164

64

Usfunan , Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta.

h.119

65

Ibid 121-122

Page 85: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

85

dan atau badan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat

secara umum. Selain itu Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan Peraturan Perundang-

undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara

umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Maka dari hal tersebut keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang

merupakan pengaturan yang bersifat umum (Besluit Van Algemene Strekking)

termasuk ke dalam Peraturan Perundang-undangan (Algemeen Verbindende

Voorscriften).

Bentuk Keputusan Tata Usaha Negara yang berentang umum atau Besluit Van

Algemene Strekking demikian tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan

dalam arti Beschickkingsdaad Van De Administratie tetapi diklasifikasikan dalam

perbuatan tata usaha di bidang pembuatan peraturan (Regelend Daad Van De

Administratie) hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Philipus M.

Hadjhon yang mengatakan, bentuk keputusan Tata Usaha Negara demikian tidak

merupakan bagian dari perbuatan keputusan (dalam arti Beschickkingsdaad Van De

Administratie), tetapi termasuk perbuatan tata Usaha Negara di bidang pembuatan

Peraturan (Regelend Daad Van De Administratie)66

. Pengaturan yang bersifat umum

(Besluit Van Algemene Strekking) seperti halnya dengan Peraturan Perundang-

undangan lainnya, dimana Keputusan hukum dari Tata Usaha Negara yang

66 Hadjon, Philipus M. Op.Cit, h. 151

Page 86: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

86

merupakan keputusan hukum yang bersifat umum dapat pula dijadikan salah satu

dasar hukum bagi dikeluarkannya suatu keputusan (dalam arti Beschikking)67

.

Menurut A.D Belinfante terdapat beberapa jenis penetapan yang merupakan

Besluiten van algemene Srekking68

yaitu:

a) Norma Konkrit;

b) Rencana:

c) Perundang-Undangan Semu

Menurut Stroink, yang termasuk dalam Besluiten Van Algemene Srekking

adalah69

:

a. Keputusan Pengesahan (Goedkeuing), pembatalan (Vernietiging) suatu

Peraturan Perundang-Undangan

b. Norma Konkrit

c. Perencanaan

Sedangkan menurut Indroharto yang termasuk Besluiten Van Algemene Srekking

dari70

:

a. Norma konkrit:

b.Rencana:

c. Perundang-Undangan Semu

67 Ibid

68

Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha

Negara, Binacipta, Jakarta h.34-87

69

Stroink, Steenbeek, F.A.M-J.G., 1985, Inleiding in het Staats en Administratief Recht, Samson,

Alphen aan de Rijn, h105 dalam Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit

70

Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,

Pustaka Sinar Harapan, h 196.

Page 87: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

87

d.Keputusan Bersama

Dari jenis-jenis yang disebutkan diatas akan diuraikan menjadi 5 jenis dari

Besluiten Van Algemene Srekking yaitu:

a. Norma Konkrit,

Norma Konkret merupakan produk dari tindakan Tata Usaha Negara yang

bertujuan memberi suatu isi yang konkrit dari ketentuan Peraturan Perundang-

undangan sehingga dapat dilaksanakan dengan praktis. menurut Belinfante71

, Norma

Konkrit adalah suatu tindakan Tata Usaha Negara, tetapi isinya bersifat konkrit dan

pelaksanaannya praktis diterapkan untuk waktu dan tempat tertentu. Namun menurut

Balifante keputusan ini bukanlah Beschikking yang ditunjukkan kepada orang-orang

tertentu tetapi ditunjukkan pada semua orang.

A.D Belinfante menambahkan pengkonkritan peraturan yang bersifat umum

yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut dinamakan

norma konkrit72

. Norma konkret merupakan norma yang bersifat umum yang

mengatur suatu peristiwa tertentu atau beberapa peristiwa tertentu73

.

Menurut Attamimi Norma konkrit diartikan sebagai Norma yang sifatnya

pengaturannya lebih bersifat umum tentang beberapa peristiwa tertentu atau suatu

peristiwa tertentu atau suatu peristiwa tertentu tetapi bukan norma yang berbentuk

penetapan (Beschikking)74

71 Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, Op.Cit,h 50

72

Ibid ,h. 51

73

Attamimi, A. Hamid S., Loc Cit h. 316-317

74

Ibid

Page 88: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

88

b. Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan (vernietiging) suatu Peraturan

Perundang-undangan.

Bahwa bentuk putusan Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan

(vernietiging) suatu Peraturan Perundang-undangan ini tidak dapat dimasukkan

sebagai ketetapan karena pengesahan atau pembatalan tersebut mengandung yang

secara langsung mengakibatkan suatu Peraturan Perundang-undangan berlaku

(pengesahan) atau menjadi tidak berlaku (pembatalan). Dalam sistem Perundang-

undangan di Indonesia keputusan pengesahan dan pembatalan berlaku untuk

Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah.

c. Keputusan Bersama

Keputusan Bersama sejak Tahun 1966 menjadi cara yang popular dalam

mengatasi masalah, khususnya dalam penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral.

Sehingga dalam pelaksanaan urusan pemerintah, kerap kali menyangkut urusan yang

lebih dari satu badan atau pejabat Tata Usaha Negara. yang berarti dalam

pelaksanaannya pemerintah dapat atau harus melibatkan dua atau lebih badan atau

pejabat Tata Usaha Negara yang terkait dengan melakukan kerjasama atau koordinasi

untuk mencegah terjadinya tumpang tindih, kekakuan, atau urusan yang tidak

ditangani.

3.2.4 Het Plan (Rencana atau Perencanaan)

Rencana atau perencanaan (Het Plan) tidak hanya merupakan jenis dari

Besluiten Van Algemene Srekking, namun juga termasuk bentuk putusan tertulis dari

tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara.

Page 89: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

89

Menurut A.D Belinfante rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling

berkaitan dari Tata Usaha Negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan

tertentu yang tertib75

.

Indroharto yang mengkutip Den Haan dan Fernhout mengenai bentuk-bentuk

rencana yaitu76

1. Rencana yang Informative yaitu kumpulan prognosa yang meramalkan apa

yang terjadi pada masa mendatang. Rencana semacam ini tidak menimbulkan

akibat hukum bagi warga masyarakat.

2. Rencana yang Indikatif yaitu kumpulan rencana-rencana kebijaksanaan ,

misalnya nota mengenai struktur perkembangan dan pembaharuan pendidikan

dasar. Rencana ini tidak menimbulkan akibat hukum secara langsung, tetapi

merupakan kerangka kebijaksanaan untuk tindakan-tindakan hukum maupun

tindakan material oleh pemerintah.

3. Rencana yang bersifat Normatif yaitu mengandung norma yang mengikat

baik bagi pemerintah maupun warga masyarakat. misalnya rencana tata ruang

(Bestemmingsplan), yang menurut berbagai keputakaan mengandung

beberapa karakter77

:

a. Perencanaan merupakan Ketetapan (Beschikking)

75 Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan. Op Cit. h. 75

76

Indroharto. Op Cit, h 207

77

Stroink, Steenbeek F.A.M-J.G. Op.Cit, h 106 dalam Manan Bagir dan Magnar Kuntana , Op

Cit,137 dan 165

Page 90: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

90

b. Perencanaan, sebagian merupakan ketetapan (Beschikking) dan sebagian

merupakan peraturan (Regeling).

c. Perencanaan merupakan suatu bentuk hukum tersendiri (een rechtfigur sui

generis).

d. Perencanaan adalah suatu bentuk peraturan (Regeling)

3.2.5 Pseude-wetgeving/ Beleidsregel (Peraturan Perundang-undangan Semu/

Peraturan Kebijakan

Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau dikenal dengan istilah

Beleidsregel (Peraturan Kebijakan). yang mana Beleidsregel (Peraturan Kebijakan)

tidak hanya merupakan jenis dari Besluiten Van Algemene Srekking, Beleidsregel

(Peraturan Kebijakan) juga termasuk bentuk putusan tertulis dari tindakan hukum

Publik Tata Usaha Negara.

Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan

Kebijakan) disebut sebagai peraturan kebijaksanaan karena Perundang-undangan

Semu pada dasarnya memuat suatu garis kebijaksanaan yang ditetapkan sendiri oleh

administrasi78

. Peraturan Kebijaksanaan bukan Peraturan Perundang-undangan yang

sebenarnya, karena badan atau pejabat yang mengeluarkan peraturan kebijaksanaan

tersebut tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid).

78.Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan. Op Cit. h. 84

Page 91: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

91

Namun peraturan kebijakan merupakan sarana hukum Tata Usaha Negara yang

bertujuan mendinamisir keberlakuan Peraturan Perundang-undangan79

.

Dalam prakteknya peraturan kebijakan dapat dirumuskan dalam beberapa bentuk

yaitu, Keputusan, instruksi, edaran, pengumuman80

. Seperti pendapat Phillipus M.

Hadjon bahwa produk semacam peraturan kebijaksanaan tidak terlepas dari

penggunaan Freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata Usaha Negara yang

bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk” jurisdische

regel”, seperti peraturan, pedoman, pengumuman, dan surat edaran dan

pengumuman kebijaksanaan81

. Suatu Perundang-undangan Semu (pseude-

wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) pada hakekatnya merupakan

produk dari perbuatan Tata Usaha Negara yang bertujuan menampakkan keluar

suatu kebijakan tertulis (naar buiten gebracht schriftelijk beleid) namun tanpa

disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat Tata Usaha

Negara yneg menciptakan pereaturan kebijakan tersebut82

.

Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan

Kebijakan) tidak mengikat secara langsung namun mempunyai relevansi hukum.

Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan

Kebijakan) memberikan peluang bagaimana suatu badan atau organ Tata Usaha

Negara menjalankan kewenangan pemerintahan (Beschikkingbevoegheid).

79 Marzuki, Laica, 1996, Peraturan Kebijaksanaa (Beleidsregel) serta FungsinyaSelaku sarana

Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi

Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 26-31 agustus 1996. h. 9

80

Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, Op Cit 171

81

Hadjon, Phillipus. M. , dkk, Op Cit, h. 84

82

Ibid

Page 92: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

92

Pembentukan peraturan kebijakan diperlukan dalam rangka menjamin ketaatan

asasan tindakan Tata Usaha Negara dan untuk setiap peristiwa yang mengandung

persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat dipercaya karena

didasarkan pada peraturan yang sudah ditentukan83

.

Menurut Van Wijk, ada dua bentuk utama peraturan kebijakan:

1. Peraturan kebijakan yang dibuat dan berlaku bagi pembuat peraturan

kebijakan itu sendiri

2. Peraturan kebijakan yang dibuat dan berlaku bagi badan atau pejabat

administrasi yang menjadi bawahan pembuat peraturan kebijakan84

.

Van Kreveld mengatakan sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk, walau

didasarkan pada azas Freies ermessen, Beleidsregel ini harus memenuhi syarat-syarat

tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-syarat tersebut antara lain85

:

1. Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang

diskresioner yang dijabarkannya;

2. Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat;

3. Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari

instansi yang berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan

mempertimbangkan alternatif yang ada;

83 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit, h.137 dan h.169

84

Wijk/Konijnenbelt, Van, 1984, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga,s‟Gravenhagen,h

243 dalam Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit. h 170

85

Nugraha, Safri, dkk. 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Depok, h. 93

Page 93: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

93

4. Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang

terkena dan ada kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang

bersangkutan (kepastian hukum formal);

5. Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya;

6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah

diperoleh dari warga yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah

ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Page 94: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

94

3.2.6 Skema Bentuk-Bentuk Keputusan Tertulis Tindakan Hukum Publik Tata

Usaha Negara :

Bentuk Putusan Tata Usaha Negara

dengan bentuk (Regeling)

Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan

Publik Pemerintah (eenzijdige publiekrechtelijke

handeling)

Berdasarkan pada

teori kehendak (wilstheorie) dan teori Kewenangan

Bentuk Putusan Tata Usaha Negara

dengan bentuk

Keputusan atau

Penetapan (Beschikking)

Bentuk Putusan Tata Usaha Negara

dengan bentuk Keputusan yang

Berentang Umum (Besluiten Van

Algemene Strekking)

Bentuk Putusan Tata Usaha Negara

dan/atau Besluiten Van

Algemene Strekking

jenis Perencanaan

(Het Plan)

Bentuk Putusan Tata Usaha Negara

dan/atau Besluiten Van

Algemene Strekking jenis

Peraturan Perundang-undangan

semu/ Peraturan Kebijakan (Pseude-

wetgeving/ Beleidsregel)

Besluiten Van Algemene Strekking

Jenis Norma kongkret

Besluiten Van Algemene Strekking

Jenis

Keputusan Pengesahan

(goedkeuing), pembatalan

(vernietiging) suatu Peraturan

Perundang-undangan

Besluiten Van Algemene Strekking

Jenis

Keputusan Bersama

Page 95: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

95

3.2.7 Skema letak keputusan tertulis tata Usaha Negara di dalam Norma

Hukum Administrasi/ Tata Hukum Negara:

Umum Regeling, Het Plan, Abstrak

Besluiten Van Algemene Strekking,,Pseude-wetgeving/ Beleidsregel,het Plan

Individu Het Plan,Beschikking Konkrit

Regeling (Umum –Abstrak)

Besluiten Van Algemene Strekking antara (Umum-Konkrit)

Pseude-wetgeving/Beleidsregel (Umum-Konkrit)

Beschikking (Individual –Kongkrit)

Het Plan (Umum–Abstrak, Umum-Konkrit, Individual-Abstrak,

Individual–Konkrit)

untuk siapa/ alamat

yang ditujukan

(Addressatnya)

Apa dan bagaimana/ hal

yang diatur atau

perbuatannya

Norma

Page 96: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

96

3.3 Bentuk Tindakan Tata Usaha Negara Dari Keputusan Bersama Menteri

Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3

Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri

No. 199 Tahun 2008

Dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah

melalui pejabat atau badan Tata Usaha Negara melakukan beberapa jenis perbuatan

atau tindakan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah sebagai subyek hukum

atau sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban.

Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, pemerintah

dalam hal ini Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri melakukan

tindakan Tata Usaha Negara (Bestuurshandelingen), namun Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah bukan merupakan tindakan nyata Tata Usaha Negara ( Feitelijke

Handelingen) sebab Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menimbulkan akibat-

akibat hukum berupa dikenai sanksi, seperti yang tetulis dalam Point ketiga dan

kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana point ketiga Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah berbunyi “Penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan

dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA

dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan,

termasuk organisasi dan badan hukumnya‟, dan point kelima Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah berbunyi “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan

peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum

Page 97: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

97

KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah masuk kedalam tindakan

hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen).

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat melalui Unsur-unsur dari

tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen) yaitu:

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai

penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen)

dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri. Bahwa perbuatan dalam

menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilakukan ialah Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri selaku alat perlengkapan

pemerintah (Bestuurorganen) dengan kewenangan atribusi yaitu tanggung jawab

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri);

2. Perbuatan tersebut di laksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah

(bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan

Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah ini dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan);

3. Perbuatan tersebut di maksudkan sebagai sarana untuk menumbulkan akibat

hukum di bidang hukum administrasi. (bahwa penerbitan Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah dapat manimbulkan akibat hukum berupa pembatasan

aktivitas yang dilakukan oleh organisasi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI);

4. Perbuatan yang bersangkutan di lakukan dalam rangka pemeliharaan

kepentingan negara dan rakyat. (bahwa penerbitan Keputusan Bersama tentang

Page 98: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

98

Ahmadiyah dalam rangka untuk untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat

beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat);

Didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara dikategorikan menjadi dua

golongan, yakni tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat

(Privaatrehtelijke Rechtshandelingen), dan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang

bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen). Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah bukan merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang

bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen) karena Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah tidak berada pada ranah privat, melainkan pada ranah

Publik, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan tindakan hukum

Tata Usaha Negara yang bersifat hukum publik karena didalamnya mengatur tentang

warga masyarakat (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen)

Kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam Tindakan hukum

publik Tata Usaha Negara (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen), berdasarkan asas

legalitas (Due Proses Of law) seperti diungkapkan oleh Jimly Assiddiqie dalam 13

prinsip pokok negara hukum modern86

, dijadikan sebagai dasar dalam

menyelenggarakan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum, sehingga

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, sebagai subyek hukum

yang mewakili institusi yaitu sebagai pejabat pemerintah atau badan hukum dalam

86 Assiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Kontemporer, dalam orasi ilmiah pada Wisuda

Sarjana Fakultas HukumUniversitas Sriwijaya, Palembang.

Page 99: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

99

mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, harus berdasarkan

kewenangan dan Peraturan Perundang-undangan.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama,

Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, dapat dikatakan sebagai sebagai tindakan

hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu dikarenakan keputusan ini dapat

menimbulkan akibat-akibat hukum, hal tersebut dapat dilihat pada point ketiga dan

kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana point ketiga Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah menyatakan “Penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan

dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA

dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan,

termasuk organisasi dan badan hukumnya”. Serta pada point kelima Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah menyatakan” Warga masyarakat yang tidak

mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum

KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan”.

Kemudian Tindakan hukum publik Tata Usaha Negara (Publiekrechtelijke

Rechtshandelingen), dibagi menjadi dua yaitu Tindakan hukum Publik Tata Usaha

Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke

handeling) dan Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik

Pemerintah yang bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handeling).

Page 100: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

100

Kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berada pada yaitu Tindakan

hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu

(eenzijdige publiekrechtelijke handeling) sebab Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah dibuat secara sepihak yaitu dibuat atas kehendak organ pemerintah yaitu

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri berdasarkan Pasal 2 ayat 1

Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama yang menyatakan “ Barang siapa melanggar ketentuan

tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan

perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa

Agung dan Menteri Dalam Negeri dan ditunjukkan kepada publik atau berada pada

ranah publik, dan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk melaksanakan

peraturan guna menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum di dalam

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dimaksudkan untuk menjaga dan memupuk

ketentraman beragama dan ketertiban bermasyarakat, baik itu ditujukan kepada

penganut dan/ atau anggota serta pengurus Jemaah Ahmadiyah maupun warga

masyarakat.

Untuk melihat apakah bentuk keputusan tertulis dari Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah, dimana judul dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiayh adalah

Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka Keputusan

Bersama tentang Ahmadiayh yang dikeluarkan oleh aparat pemerintah dalam

kedudukannya sebagai penguasa, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Page 101: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

101

dalam Negeri selaku alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen) dengan

kewenangan atribusi. Dimana Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini dibuat

untuk menjalankan fungsi pemerintah yaitu dalam rangka untuk untuk menjaga dan

memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan

bermasyarakat.

Di lihat dari judul Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang berisikan kata

peringatan dan perintah yang merupakan salah satu sifat norma hukum dalam

Peraturan Perundang-undangan yaitu Perintah (Gebog) selain norma hukum lainnya

yaitu Larangan (Verbod), Pengizinan, (Toesnemming), dan Pembebasan

(Vrijstelling)87

. Selain itu Austin dalam bukunya Hans Kelsen yaitu General Theory

of Law and State mengatakan “where a command, "obliges generally to acts or

forbearances of a class, a command is a law or rule, yaitu jika suatu peintah

mewajibkan secara umum untuk suatu tindakan dari suatu golongan tindakan, maka

perintah itu merupakan suatu hukum atau peraturan88

. Selain itu Austin juga

mengatakan perintah juga memiliki sifat khusus, yaitu bahwa norma itu tidak hanya

mewakili sifat umum saja namun norma-norma khusus89

. Noerma khusus dapat

dimasukkan kedalam norma Peraturan Perundang-undangan apabila norma khusus

tersebut memberikan karakteristik hukum yang esensial, serta mengikat secara

87 Atamimi ,A Hamid, S, Loc Cit, h. 314

88

Kelsen, Hans, Op.cit, 38

89

Ibid

Page 102: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

102

umum90

. Maka norma yang terdapat dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

dapat dikatakan sebagai norma di dalam Peraturan Perundang-undangan (Regeling).

Selain itu maksud dan tujuan dikeluarkannnya Keputusan Bersama tentang

Ahmadiah bertujuan dan bermaksud untuk menjaga dan memupuk ketenteraman

beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat serta pemerintah melakukan

upaya persuasif upaya mengajak secara halus Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat agar

menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak

menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman

dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, maka dapat dilihat bahwa keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah ini berlaku keluar (Naar buiten werken.)91

. yang

merupakan salah satu unsur dari Peraturan Perundang-undangan.

Adanya kata Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka dapat dilihat adanya

subyek umum dan individu, yaitu yang bersunbyek umum dapat dilihat pada kata

warga masyarakat dan penganut, sedang kan subyaek individu dapat dilihat pada kata

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mana

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mewakili organisasi Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) yang berbadan hukum karena Organisasi Jemaat Ahmadiyah terdaftar

di Departemen Kehakiman RI (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah

90 Ibid

91

Atamimi ,A Hamid S, Loc Cit,

Page 103: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

103

vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.

J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik

Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 195392.

Menurut Jimly Assiddiqie terdapat jenis Peraturan Perundang-undangan yang

bersifat khusus karena kekhususan subyek yang diatur, yaitu hanya berlaku pada

subyek tertentu93

. Walaupun Jimly Assiddiqie menganggap tidak lazim di dunia

moden sekarang ini, namun disetiap negara terdapat juga hukum yang bersifat

konkret dan individual seperti itu yang tercantum di dalam satu-dua Undang-

Undang94

. Jika dilihat lagi dalam Alternative Rule of Law Formulationsnya Brian Z.

Tamanahan yeng menggunakan Thinner to Thicker, Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah merupakan salah satu aturan yang bergerak dari Thinner (tipis) to Thicker

(tebal) sehingga semakin komulatif, maka disini bentuk Peraturan Perundang-

undangan (Regeling) bukan hannya bersifat umum-abstrak, namun juga terdapat

bentuk Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus yaitu

subyeknya individu, yaitu adanya suatu penambahan norma dan subyek dalam

Peraturan Perundang-undangan yang bertujuan sesuai dengan konsepsi formal dari

The Rule of law adalah untuk mengatasi cara di mana hukum harus diundangkan

(oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal tersebut sudah dianggap

cukup jelas untuk menuntun perilaku seseorang, serta waktu kapan norma itu berlaku

92 Zulkanain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, LKis Pelangi Aksara, Yogyakarta.

h. 196

93

Assiddiqie, Jimly II Op Cit

94

Ibid. h15-16

Page 104: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

104

menuju ke konsepsi substantif dari Rule of Law yang berusaha untuk melampaui

batas tersebut. Mereka menerima bahwa aturan hukum memiliki atribut formal yang

disebutkan di atas, tetapi mereka ingin mengambil ajaran lebih lanjut. Jadi adanya

kekhususan dari Peraturan Perundanga-undangan juga meupakan salah satu bentu

pelampauan batas dari norma dan subyek dari Peraturan Perundang-undangan

(Regeling) yang mana tetap pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, namun juga

mencakup persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang

harus menjunjung tinggi moralitas dengan keadilan atau prinsip moral).

Jadi Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah walaupun mengatur tentang subyek

individu namun dilihat dari maksud dan tujuannya serta normannya yang bersifat

umum, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai

Peraturan Perundang-undangan ( Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan

subyek yang sesuai dengan Alternative Rule of Law Formulationsnya Brian Z.

Tamanaha.

Page 105: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

105

BAB IV

KEABSAHAN DARI KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI

AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO.

KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199

TAHUN 2008 DI KAITKAN DENGAN PASAL 2 AYAT 1

UNDANG-UNDANG NO. 1 /PNPS/ TAHUN 1965 TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN

AGAMA

4.1 Kedudukan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Dalam

Perspektif Filsafat Hukum Pancasila

Pancasila merupakan falsafat negara indonesia yang secara yuridis tertuang

dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi:

”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam

Page 106: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

106

suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan

Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan

Indonesia, dan Kerakyatam Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia”.

Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara,

khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar

negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang

sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia.

Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.

Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.95

Pancasila bagi bangsa Indonesia disebut sebagi norma fundamental Negara

(Staatsfundamentalnorm) Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm

pertama kali disampaikan oleh Notonagoro96

. Pancasila dilihat sebagai cita hukum

(rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan

95

Bahar, Saafroedin, dkk),1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22

Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta , h. 63, 69, dan 81. Dalam Kusuma,

RM. A.B.,2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 117, 121, 128 – 129.

96

Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara

Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, Pantjuran Tudjuh , Jakarta.

(selanjutnya disebut Notonagoro I).

Page 107: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

107

hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan

untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai

Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya

tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila97

.

Nilai-nilai dari Pancasila dijadikan suatu tolak ukur dari semua sistem dalam

pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dimana Pancasila bersifat abstrak-umum –

universal, sedangkan sistem pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bersifat umum-

kolektif.

Pancasila yang bersifat abstrak dapat dilihat melaului sila-sila Pancasila, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa, (yang memiliki inti Ketuhanan dengan bentuk

dasar Tuhan.

2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab (yang memiliki inti Kemanusiaan

dengan bentuk dasar Manusia)

3. Persatuan Indonesia (yang memiliki inti Persatuan dengan bentuk dasar Satu)

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam

Permusyawaratan / Perwakilan (yang memiliki inti Kerakyatan dengan bentuk

dasar Rakyat

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (yang memiliki inti Keadilan

dengan bentuk dasar Adil)

97

Atamimi, A, Hamid S, , Loc.Cit, h. 309.

Page 108: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

108

Jadi dengan bentuk dasar Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, Adil dalam sila-sila

Pancasila menunjukkan pengertianumum-universal, karena sifatnya yang abstrak-

umum dan universal menunjukkan dengan sendirinya memiliki sifat yang tetap dan

tidak berubah98

. Sedangkan sedangkan sistem pelaksanaan dan penyelenggaraan

negara bersifat umum-kolektif, sebab umum-kolektif terbatas pada suatu kelompok

penjumlahan, dimana dalam pelaksanaannya mengandung unsur-unsur kesamaan,

namun juga mengandung perbedaan-perbedaan yang berada dalam penjumlahan.

Sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan suatu

sumber nilai bagi pelaksanaan negara secara nyata, yang artinya pelaksanaan dari

nilai-nilai pancasila tersebut dapat berbeda-beda dan berlainan namun tetap dalam

batas isi, arti dan pengertian Pancasila99

. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan

daripada Pancasila memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem hukum di

Indonesia yang mana digunakan sebagai acuan atau dijadikan sebagai sumber dari

segala sumber hukum dari aturan-aturan hukum yang diterapkan dalam masyarakat..

Hal tersebut dapat dilihat bahwa Pancasila secara yuridis sebagai filsafat hukum

Indonesia tertuang didalam Pembukaaan UUD 1945 alenia ke IV mempunyai isi arti

yang abstrak-umum-universal yang dijadikan sebagai pedoman praktis dalam

pelaksanaan dan penyelenggaraan negara Indonesia dalam bentuk UUD 1945,

Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan

98 Kaelan,2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta,

h. 104 ( selanjutnya disebut Kaelan I),

99

Ibid h, 108

Page 109: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

109

pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten, hingga sebuah kebijakan yang berbentuk suatu Keputusan.

Dalam teori Hierarki yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen dan selanjutnya

dikembangkan oleh muridnya yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan

theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut

adalah:100

1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);

2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);

3. Undang-Undang formal (formell gesetz); dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya

dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia.

Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan

teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:101

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3) Formell gesetz: Undang-Undang.

4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota

100

, Atamimi, A, Hamid S, Loc. Cit h. 287 101

Ibid.

Page 110: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

110

Maka dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, maka

kedudukan filsafat hukum Pancasila sebagai pedoman yang bersifat abstrak-umum-

universal, yang memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem hukum di

Indonesia yaitu sebagai Staatsfundamentalnorm, sedangkan Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah merupakan wujud pelaksanaan dan penyelenggaraan dari

Staatsfundamentalnorm yang melalui Formal gezet yaitu Undang-Undang No. 1

/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

yang memiliki sifat umum-kolektif sebagai Verordnung en Autonome Satzung.

4.2 Nilai-nilai Pancasila Di Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008,

Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199

Tahun 2008

Nilai (value) diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat

bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dan bagi manusia nilai dijadikan

landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari atau

tidak102

.

Nilai itu sendiri menurut Notonagoro dibagi menjadi tiga, yakni103

:

1. Nilai materiil yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani;

102 Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.233

103

Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta. h. 140-141 (selanjutnya

disebut kaelan II)

Page 111: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

111

2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan

kegiatan atau aktivitas;

3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rokhani manusia.

Nilai kerokhanian ini dibedakan atas 4 macam yaitu:

a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada unsur akal manusia (Cipta);

b. Nilai kebaikan, yang bersumber pada unsur kehendak manusia (Karsa);

c. Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (Perasaan);

d. Nilai religious, yang merupakan nilai ketuhanan dan bersumber pada

kepercayaan.

Undang-Undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksana dari

seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah104

. Kemudian “legal Policy” yang

dituangkan dalam Undang-Undang menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang

memusatkan kebijaksanaan yang hendak di capai pemerintah, untuk mengarahkan

nilai-nilai baru. Lev juga mengatakan, “where culture myths and values have

emphasized means of social political regulation and intercourse other than an

antonomous sphere of law, legal institution are consequently less likely to developed

the kind of independent power they have in a few European countries and the United

State105

( yang mana budaya mitos dan nilai-nilai telah menegaskan cara peraturan

sosial politik dan hubungan selain lingkup otonomi hukum, lembaga hukum secara

104 Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, edisi

ke III, Airlangga University Press, Surabaya, hal 12

105

Lev, Daniel, S, 1972, Judicial and Legal Culture in Indonesia , dalam Cultuur and Politic in

Indonesia, Cornell Univercity Press, Itaca, h.318

Page 112: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

112

konsekuen cenderung mengembangkan jenis kekuatan mandiri yang mereka miliki

dalam beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat.). Namun dalam masyarakat

Indonesia lebih mengutamakan harmoni, keselarasan, kekeluargaan, di atas konflik.

Nilai-nilai tersebut tercantum dalam Pancasila dan Penjelasan UUD 1945, yang

mengatakan “UUD 1945 bersifat kekeluargaan, tetapi apabila penyelenggaraan

negara bersemangat perorangan individu atau kelompok, maka UUD 1945 tersebut

tidak ada gunannya106

. Secara implisit, pembuat UUD 1945 sesungguhnya menyadari

kultur hukum sebagai unsur sistem hukum., Melalui nilai-nilai yang ada di

masyarakat, yang kemudian diimlementasikan oleh pemerintah melalui sebuah

peraturan, dapat menjaga keadilan dan/ atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.

Keadilan memang merupakan suatu yang bersifat luas dan abstrak, tetapi sebagai

tujuan dari setiap individu masyarakat dan setiap bangsa di dunia. Selama ribuan

tahun manusia mencari makna dan definisi dari keadilan, pada jaman dahulu, pada

budaya dan sejarah di Indonesia dalam kaitannya dengan harapan untuk mencapai

keadilan, setiap kali para Dalang mendalang dalam pergelaran wayang kulit, maka Ki

Dalang selalu melantunkan “Suluk” yang merujuk pada sebuah image Universal

Nusantara Indonesia, yaitu tentang Negara yang “tata tentrem kerta raharja, subur

kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku” (tertib atau tertata, tentram atau

damai, makmur, tumbuh subur segala yang ditanam, murah segala yang dibeli). Kata-

106 Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik, PT

Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 48 (selanjutnya disebut Rahadjo, Satjipto I)

Page 113: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

113

kata dalang tersebut mewakili “the cry for justice” seluruh masyarakat107

. Dimana

hal tersebut juga menjadi tujuan bangsa Indonesia dewasa ini yang berakar dari nilai-

nilai nusantara Indonesia jaman dahulu yang dimuatkan kedalam Pancasila yaitu sila

kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Di dalam Pancasila terkandung di dalamnya nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,

Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan. Ini merupakan nilai dasar bagi kehidupan

kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai-nilai Pancasila tergolong nilai

kerokhanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara lengkap dan

harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran (kenyataan), nilai kebaikan

(etis), nilai keindahan (estetis) maupun religius. Hal ini dapat dilihat pada susunan

sila-sila Pancasila yang sistematis-hierarki, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang

maha Esa, sampai Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sebagi berikut:

1. Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap

Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab.

107 Ibid. h. 2

Page 114: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

114

(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk

agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan

Yang Maha Esa.

(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah

yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah

sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa kepada orang lain.

2. Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap

manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan,

jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.

(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.

(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

Page 115: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

115

(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.

(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.

(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa

lain.

3. Sila ketiga: Persatuan Indonesia

(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan

bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi

dan golongan.

(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila

diperlukan.

(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.

(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial.

(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.

(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan / Perwakilan

(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia

mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.

(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.

Page 116: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

116

(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan

bersama.

(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.

(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai

hasil musyawarah.

(6) Dengan i‟tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan

hasil keputusan musyawarah.

(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan

pribadi dan golongan.

(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang

luhur.

(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral

kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat

manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan

kesatuan demi kepentingan bersama.

(10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk

melaksanakan pemusyawaratan.

5. Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan

suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.

(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Page 117: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

117

(4) Menghormati hak orang lain.

(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.

(6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan

terhadap orang lain.

(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan

gaya hidup mewah.

(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan

kepentingan umum.

(9) Suka bekerja keras.

(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan

kesejahteraan bersama.

(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata

dan berkeadilan sosial.

4.2.1 Nilai Pancasila, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki inti kata Tuhan, sehingga secara

morfologis mengandung makna abstrak atau suatu hal yaitu kesesuaian dengan

hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, dan realisasinya adalah berupa nilai-nilai

agama. Sehingga konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum positif di Indonesia

harus diukur dan sesuai dengan aturan yang berasal dari tuhan yang memegang budi

Page 118: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

118

pekerti kemanusiaan yang luhur, yang dalam hal ini memberikan penjabaran yang

lebih lanjut dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yang mengatur manusia

harus sesuai dengan nilai-nilai agama.

Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam

keputusan ini berisikan tentang adanya suatu kepercayaan dan ketakwaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, hal tersebut dilihat bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri

Agama, Menteri Dalam Negeri serta Jaksa Agung didalam Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah tidak melarang penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan ibadah keyakinanan mereka.

Serta didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak ada pemaksaan bahwa

penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),

harus melaksanakan ajaran agama tertentu di Indonesia. Mengenai pengaturan

tentang masalah agama dalam UUD 1945 dapat dilihat Pasal 28 E dan Pasal 29

sebagai pelaksana dan penyelenggaraan dari nilai Pancasila sila Ketuhanan Yang

Maha Esa, yang secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk memilih agama dan

melaksanakan ajaran agamannya, serta disisi lain juga secara tegas menyatakan

kewajiban Negara menjamin setiap orang untuk memilih agamanya dan menyakini

agama serta kepercayaan yang dianut olehnya tanpa ada yang mengganggu. Maka

disini negara melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjamin warga

masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) untuk memeluk dan melakukan ibadahnya masing-masing tanpa ada

yang mengganggu.

Page 119: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

119

Didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah senantiasa juga menjaga

kerukunan hidup antara sesama umat beragama, serta adanya sikap untuk mengajak

hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut

kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dilihat

pada point pertama Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu Memberi

peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang

suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang

menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok

ajaran agama itu. Serta dalam point Kedua yakni: Memberi peringatan dan

memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk

menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-

pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi

dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Dan dalam pioint ke Empat

yaitu: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk

menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan

ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau

tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Bagi penulis Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak mengatur tentang

keyakinan seseorang, hanya mengatur tentang perbutan seeorang yang dianggap

Page 120: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

120

melanggar aturan hukum dengan diberikan sebuah sanksi, dimana hal tersebut dilihat

pada point Ketiga: Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana

dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan

hukumnya. Kemudian point Kelima yakni: Warga masyarakat yang tidak

mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum

KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Hal senada juga seperti yang terdapat di dalam ICCPR (International Convenant

on Civil and Political Rights atau disebut dengan Konvenan Internasional Hak-Hak

Sipil dan Politik pun mengatur tentang agama, atau kebebasan beragama atau

berkeyakinan didalam pasal 18 yaitu:

1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion.

This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his

choice, and freedom, either individually or in community with others and in

public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance,

practice and teaching. (Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,

keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan

agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara

sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau

Page 121: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

121

tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan

ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran)

2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have

or to adopt a religion or belief of his choice. (Tidak seorang pun dapat

dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan

agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.)

3. Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such

limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public

safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of

others. (Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan

seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang

diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral

masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.)

4. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the

liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the

religious and moral education of their children in conformity with their own

convictions.( Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati

kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk

memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka

sesuai dengan keyakinan mereka sendiri)108

.

108 Ketentuan dalam International Convenant on Civil and Political Right article 18

Page 122: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

122

Kemudian inti normatif dari hak asasi manusia atas kebebasan beragama atau

berkeyakinan dapat disingkat menjadi 8 element yakni109

:

1. Kebebasan Internal: setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,

berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang

memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.

2. Kebebasan eksternal: setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau

bersama-sama dengan orang lain, di depan umum atau tertutup untuk

menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,

pengamalan, ibadah dan penataan.

3. Tanpa dipaksa: tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu

kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya

sesuai dengan pilihannya.

4. Tanpa diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin

hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada

dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yuridiksinya,

hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa perbedaan apapun seperti

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau keyakinan, politik atau

pendapat lain, kebangsaan atau asal usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau

status lainnya.

109 Anonym, 2010, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Kanisius,

Yogyakarta, hal 20

Page 123: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

123

5. Hak orang tua atau wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan

orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa

pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan

mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas

kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas

anak yang sedang berkembang.

6. Kebebasan korporat atau kedudukan hukum: komunitas keagamaan sendiri

mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi

dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak

ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim

diakui bahwa mereka mempunyai hakuntuk memperoleh kedudukan hukum

sebagai bagian dari ha katas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan

khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan

kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama

dengan orang lain.

7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal: kebebasan

memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh

ketentuen berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi

keamanan public, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar

orang lain.

8. Tidak dapat dikurangi: Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan

beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.

Page 124: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

124

Maka dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai dari Pancasila, sila

pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa terdapat didalam Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah.

4.2.2 Nilai Pancasila, Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab di

dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No.

KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008

Sila kedua Pancasila yaitu sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab mengakui

bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang maha Esa. Dimana inti kata

dari sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab adalah manusia.

Unsur-unsur hakikat manusia adalah110

:

1. Susunan kodrat manusia yaitu:

a. Raga yang terdiri dari unsur benda mati, unsur binatang (animal), dan

unsur tumbuhan (vegetative)

b. Jiwa yang terdiri dari unsur akal, rasa dan kehendak

2. Sifat-sifat kodrat manusia yaitu:

a. Makhluk individu

b. Makhluk sosial

3. Kedudukan kodrat manusia yaitu

a. Makhluk berdiri sendiri

b. Makhluk tuhan

110 Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. h.87-88

Page 125: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

125

Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam

keputusan ini berisikan tentang Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai

dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta adanya

pengakuan terhadap persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap

manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis

kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dimana hal tersebut dapat

dilihat bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah hanya bersifat memperingati

dan memerintahkan yang berarti bahwa keputusan ini tidak langsung memberikan

suatu sanksi, namun berharap dengan memberikan peringatan dan perintah kepada

Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

dan warga masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melanggar Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang Penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga

masyarakat untuk hidup, bekerja, dan menjalankan kehidupan manusia bagai mana

kodratnya. Dan di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, disini negara

menjamin dan menjaga kehidupan Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), hal tersebut dapat dilihat pada point Keempat,

dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan

kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama

serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan

perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau

Page 126: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

126

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Dan apabila wraga

masyarakat melanggar daripada point Keempat, maka negara wajib memberikan

sanksi, sesuai dengan point Kelima, dimana di dalam Point Keempat berbunyi

“Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana

dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Maka didalam Point Kelima

ini mengandung keinginan untuk menciptakan keadaan sikap saling mencintai sesama

manusia, dan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-

mena terhadap orang lain walau memiliki keyakinan yang berbeda. Serta memberikan

sanksi kepada siapapun yang menentang sikap tersebut.

4.2.3 Nilai Pancasila, Sila Ketiga Persatuan Indonesia di dalam Keputusan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008

Sila ketiga Pancasila yaitu sila Persatuan Indonesia menghendaki keadaan

Indonesia harus sesuai dengan hakikat satu yaitu mutlak tidak dibagi. Dimana inti

kata dari sila Persatuan Indonesia adalah satu.

Walaupun Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang memiliki

kebudayaan serta adat-istiadat yang beraneka ragam. Namun keseluruhannya

merupakan satu kesatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia seperti tertuang dalam

semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Page 127: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

127

Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah, bahwa dalam keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memiliki tujuan

persatuan dan keselamatan bangsa sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan

pribadi dan golongan, hal tersebut dilihat, bahwa Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah ini, tidak mengikuti keinginan kelompok agama tertentu, untuk

membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau melarang Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) melakukan ibadah di Indonesia, namum di dalam Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah ini di keluarkan tujuannya untuk menjaga dan memupuk

ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat serta

mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia serta.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak menyatakan suatu permusuhan

terhadap agama atau aliran tertentu, serta tidak melarang atau menyinggung aliran

Ahmadiyah di seluruh dunia, maka dapat dikatakan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah juga ikut menjaga dan memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

4.2.4 Nilai Pancasila, Sila Keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan di dalam

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008

Sila keempat Pancasila yaitu sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menghendaki keadaan Indonesia

Page 128: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

128

harus sesuai dengan hakikat rakyat yang artinya suatu negara hakekatnya adalah

lembaga masyarakat, yang terdiri dari manusia-manusia yang bersatu.

Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah, bahwa Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai

kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga masyarakat yang lain,

dimana hal tersebut dapat dilihat pada point kesatu, kedua dan keempat dimana

Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

dan warga masyarakat sama-sama diberikan peringatan dan perintah untuk tidak

melakukan kegiatan penafsiran suatu agama tertentu di Indonesia, yang mengarah

pada penistaan dan penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia, serta

memberi peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk menjaga

dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban

kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan

melawan hukum.

Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak membedakan

antara Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) dengan warga masyarakat lainnya dalam memberikan sanksi apabila terjadi

perbuatan yang melanggar hukum.

Dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak terdapat suatu pemaksaan

kehendak kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Page 129: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

129

Indonesia (JAI) atau warga masyarakat untuk menjalani salah satu agama yang dianut

di Indonesia. Serta Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini juga memperhatikan

hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 12 Mei 2005, hasil Rapat Tim

Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 15 Januari 2008, hasil Rapat Tim Koordinasi

PAKEM Pusat tanggal 16 April 2008 sebagai simbul dari musyawarah bersama untuk

mencapai mufakat dengan semangat kekeluargaan untuk kepentingan umum.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga merupakan keputusan yang

diambil oleh menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri

dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan

mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

4.2.5 Nilai Pancasila, Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No.

KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008

Dalam sila kelima Pancasila yang berbunyi” Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia, yang mengandung cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakekat

adil. Berarti harus dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak dalam hubungan

hidup kemanusiaan sebagai suatu yang wajib, hal tersebut merupakan isi dari arti sila

Keadilan Sosial yang terdalam yang bersifat abstrak, umum universal, tetap dan tidak

berubah. Inti dari Keadilan Sosial kemudian diperinci lebih lanjut dalam

pelaksanaanya yaitu dalam lingkungan Keadilan Sosial masyarakat dan Negara.

Page 130: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

130

Dalam kehidupan bersama itu harus terdapat suatu keadilan sosial. Karena hanya

demikian kepentingan dan kebutuhan hidup setiap warga Negara secara individu,

bangsa dan Negara dapat saling terpenuhi. Karena pada hakekatnya Keadilan Sosial

adalah merupakan bawaan kodrat manusia yang memiliki kepentingan dan kehidupan

yang mutlak, yang tertanam didalam hati sanubari manusia dan sebenarnya hal ini

yang menjadi pangkal dasar dari keadilan sosial. Sehingga keadilan sosial tersebut

selain sebagai sifat bawaan Negara juga merupakan sifat bawaan kodrat manusia

sebagai mahkluk sosial dan sebagai mahluk individu yang merupakan sifat kodrat

manusia dan Negara yang monodualisme (dwitunggal)111

.

Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah, adanya sikap adil, yaitu dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

tidak memihak salah satu pihak yaitu Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga masyarakat atau kelompok tertentu

yang memnginginkan Ahmadiyah untuk dibubarkan di Indonesia, serta dalam

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan sanksi kepada siapapun yang

melakukan perbuatan melawan hukum, yang mana hal tersebut dapat dilihat pada

point ketiga dan kelima dari Keputusan bersama tentang Ahmadiyah.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan pengembangkan sikap adil

terhadap sesame, Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati

hak orang lain. Yang mana Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan hak

kepada seluruh Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

111 Kaelan,Op.Cit.., hal 233

Page 131: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

131

Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk melakukan ibadahnya masing-masing

dan melakukan kewajiban untuk tidak melakuakan perbuatan melanggar hukum atau

suatu perbuatan yang dapat menimbulkan suatu ketidaktertiban dan kenyamanan

dalam masyarakat. Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

mengharapkan di dalam masyarakat untuk adanya sikap Suka menghargai hasil karya

orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama dan

melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan

berkeadilan sosial.

Maka dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Didalam Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah terdapat nilai-nilai dalam sila Pancasila, yaitu nilai

Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

4.3 Kedudukan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung

No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 Tahun 2008

Didalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

yang terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Page 132: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

132

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Bentuk Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Pasal 7 Undang-

Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang tidak

disebutkan tentang Keputusan Bersama dalam hierarki Peraturan Perundang-

undangan di atas.

Dilihat berdasarkan teori hierarki yang diutarakan oleh Nawiaky, A. Hamid S.

Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur

tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum

Indonesia dengan menggunakan pendapatnya Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,

struktur tata hukum Indonesia adalah:112

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).

2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD RI tahun 1945, Tap MPR, dan

Konvensi Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

112

, Atamimim, A, Hamid S, Loc Cit.

Page 133: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

133

Jadi berdasarkan pandangan A, Hamid S, Atamimi, kedudukan dari Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah berada pada Verordnung en Autonome Satzung yang

secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau

Walikota, berarti terdapat keputusan menteri diatas keputusan Bupati atau Walikota .

Jika dilihat lagi kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berdasarkan

Pasal 97 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Undang-Undang menyatakan “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam

Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan

dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua

Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua

Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan

Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan

Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan

DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota,

Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.

Kemudian dalam Pasal 100 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Undang-Undang yang berbunyi ”Semua Keputusan Presiden,

Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau

keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya

mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai

sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.

Page 134: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

134

Dimana dalam Pasal 97 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Undang-Undang menyatakan “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang

diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik

penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD,

Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi,

Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan,

Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan,

Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat,

Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan

DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau

yang setingkat.

Berdasarkan pernyataan pasal 100 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Undang-Undang, maka Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah merupakan keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang

merupakan pengaturan yang bersifat umum (Regeling) yang termasuk ke dalam

Peraturan Perundang-Undangan (Algemeen Verbindende Voorscriften), sehingga

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah selanjutnya dimaknai sebagai peraturan.

Dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Undang-Undang sangat jelas menyatakan “Jenis Peraturan Perundang-

undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Page 135: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

135

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,

atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah

atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa

atau yang setingkat. Serta penjelasan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang mengatakan “Yang dimaksud

dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri

berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam

pemerintahan.

Dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Undang-Undang menyatakan “Peraturan Perundang-undangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan kewenangan seperti

dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 2 mengatakan “Berdasarkan Kewenangan

adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan”.

Keberadaan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah diakui keberadaannya

dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangnya yaitu

Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Page 136: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

136

dan/atau Penodaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang.

4.6 Keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No.

KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam

Undang-Undang No. 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Dalam melihat suatu keabsahan dari suatu tindakan hukum pemerintah/Tata

Usaha Negara dapat dilihat dari aspek Kewenangannya, aspek Prosedurnya, dan

aspek substansinya113

. Dalam kaitannya dengan tulisan ini penulis akan menguji

keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam Undang-

Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama berdasarkan tiga aspek diatas.

4.6.1 Aspek Kewenangan

Aspek kewenangan dari suatu Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan

tindakan pemerintahan harus bertumpu kepada kewenangan yang sah. Dalam hal ini

Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, dan Mandat114

. Yang mana tiap

113 Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum dalam Mewujudkan Pemerintahan yang

Bersih. Makalah Disampaikan Pada Pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas

Hukum Universitas Airlangga. Surabaya 10 Oktober

114

Ibid

Page 137: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

137

kewenangan dibatasi oleh isi (materi), wilayah, dan waktu. Yang mana cacat didalam

aspek isi (materi), wilayah, dan waktu menimbulkan cacat kewenangan

(onbevoegdheid)115

.

Berkaitan dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah jenis

kewenangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, maka

kewenangannya adalah kewenangan Atribusi yang merupakan toekenning van en

bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan, yang artinya bahwa

atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang

kepada organ pemerintahan116

. Yaitu dalam bentuk Undang-Undang No. 1 /PNPS/

tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dalam

Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ”Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam

Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di

dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri”.

Selain itu di dalam kewenangan Atribusi terdapat tiga (3) karakteristik dari

atribusi, yaitu :

1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-

undangan.

2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh Konstitusi, Undang-Undang atau

Peraturan Daerah kepada suatu organ.

115 Ibid h. 9

116

HR, Ridwan, Op Cit, h. 104-105

Page 138: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

138

3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas

pelaksanaan kewenangan bersangkutan.

Maka kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan

Atribusi dapat dilihat dari ketiga point karakteristik diatas yaitu

1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-

undangan. yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

menerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-

03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang

Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat..

2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau

Peraturan Daerah kepada suatu organ. Yaitu dilihat dari Pasal 17 UUD 1945

memberikan kewenangan kepada para menteri negara selaku pembantu

Presiden untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri,

kemudian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

memberikan kewenangan kepada jaksa agung untuk ikut serta dalam

menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana kewenangan

tersebut untuk pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan

dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum serta

Page 139: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

139

bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan

instansi terkait. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang

berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi

perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam

suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri.

3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas

pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Yakni Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab atas diterbitkannya

serta dalam pelaksanaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa

Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008,

Jaksa Agung No. KEep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199

tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota,

dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga

Masyarakat.

Dilihat dari segi materi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dapat

dilihat berdasarkan aspek sejarah sejarahnya yaitu mulai dari pembentukan

Konsiderans Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia

tahun 1965 No. 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2726)

dinyatakan bahwa pembentukan Penpres a quo dilakukan dalam rangka pengamanan

Page 140: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

140

negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional

semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, untuk mencegah penyalahgunaan

atau penodaan agama, serta untuk pengamanan revolusi. Penetapan Presiden adalah

salah satu jenis (bentuk) Peraturan Perundang-undangan yang terbentuknya dilandasi

oleh Surat Presiden Republik Indonesia No. 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan-

Peraturan Negara, bertanggal 20 Agustus 1959, yang dikirimkan oleh Presiden

Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat Presiden tersebut

selain dinyatakan tiga peraturan negara yang secara tegas tertulis dalam Undang-

Undang Dasar 1945, yaitu, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, juga menetapkan adanya beberapa

peraturan negara lainnya, antara lain sebagai berikut: “Disamping itu Pemerintah

memandang perlu mengadakan beberapa Peraturan Negara lainnya, yakni117

:

“Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi

Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang “Kembali kepada Undang- Undang

Dasar 1945”.

Dengan diterimanya surat Presiden tersebut dibentuklah sejumlah 129 (seratus

dua puluh sembilan) Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang berlangsung

dari tahun 1959 sampai tahun 1966. Oleh karena Penetapan Presiden dan Peraturan

Presiden yang dibentuk selama kurun waktu tersebut secara substansi banyak yang

117

Mahkamah Konstitusi, 2010, Risalah Sidang Perkara Nomor 140/Puu-Vii/2009 Perihal

Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan

Agama Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah

konstitusi, Jakarta, h.313

Page 141: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

141

tidak tepat maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara kemudian

memerintahkan untuk dilakukan peninjauan dengan landasan Ketetapan MPRS No.

XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali.

Produk-produk Legislatif Negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan

UUD 1945 dan Ketetapan MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan

Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966. Berdasarkan kedua Ketetapan MPRS

tersebut dibentuklah Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai

Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 1969 No. 36, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia No. 2900).

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan

Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang

dalam Pasal 1 menyatakan “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini,

menyatakan Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden

sebagaimana termaksud dalam Lampiran I Undang-undang ini, sebagai Undang-

Undang.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai

Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang tersebut

dirumuskan sebagai berikut: “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini,

menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden

sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-Undang ini, sebagai

Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan

Page 142: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

142

Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi

penyusunan Undang-Undang yang baru”. Penjelasan Pasal 2 a quo menyatakan

sebagai berikut: “Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden

sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dinyatakan sebagai Undang-Undang

dengan ketentuan bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-

peraturan Presiden tersebut ditampung dan dituangkan dalam Undang-Undang baru

sebagai penyempurnaan, perubahan atau penambahan dari materi yang diatur dalam

Undang-Undang terdahulu”.

Maka atas dasar dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang

Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-

Undang, Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 /PNPS tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menjadi sebuah Undang-

Undang, yaitu Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan “Setiap orang dilarang

dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan

dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di

Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-

kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari

pokok-pokok ajaran agama itu. Berarti pada Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/

tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditujukan

Page 143: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

143

bagi siapa pun baik itu perseorangan maupun sebuah organisasi berbadan hukum,

untuk tidak dengan sengaja melakukan kegiatan yang menyimpang baik itu

menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum dari ajaran agama

yang dianut di Indonesia, yaitu Agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,

Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu.

Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan “Barang siapa

melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras

untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri

Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Terdapat beberapa unsur dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1

/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

yaitu:

1. Ditunjukkan kepada seseorang secara individu (disebutkan identitas yang

jelas);

2. Adanya pelanggaran terhadap Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun

1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama;

3. Tujuannya memberikan perintah dan peringatan keras uintuk menghentikan

perbuatan;

4. Adanya pelimpahan kewenangan dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1

/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Page 144: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

144

Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri

untuk membuat suatu keputusan bersama.

Dari unsur diatas maka Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berbentuk Tindakan

Hukum Publik Tata Usaha Negara berbentuk Beschikking, yaitu Individual dan

kongkret. Hal ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi yang dibaca oleh Hakim

Anggota Ahmad Fadlil Sumadi dalam Risalah Sidang Perkara No.140/PPU-VII/2009

Perihal Pengujian Undang-Undang No 1 /PNPS/ tahun 1965 Tentang

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945, dalam point (3.59) menyatakan118

118

Ibid, h.80-81, Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang Surat Keputusan

Bersama (SKB), Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang

Pencegahan Penodaan Agama yang memerintahkan dikeluarkannya SKB adalah benar karena dibuat

atas perintah Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat

bahwa keberadaan surat keputusan bersama yang dikeluarkan bersama-sama antara Menteri Agama,

Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri merupakan bukti dari kehati-hatian dalam pelaksanaan

kewenangan negara untuk melakukan tindakan hukum terhadap orang/kelompok yang dianggap

menyimpang. Mahkamah berpendapat, menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-undangan adalah,

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Akan tetapi, Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menentukan, “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Menurut Mahkamah, surat

keputusan bersama (SKB) sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan

Agama, bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebuah penetapan konkrit

(beschikking). Tetapi terlepas dari soal apakah SKB tersebut berupa regeling atau beschikking,

substansi perintah UU Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar konstitusi”.

Page 145: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

145

Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 dari Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama memberikan

kewenangan Atribusi kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam

Negeri dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, namun

kewenangan tersebut haruslah mengatur Ditunjukkan kepada seseorang secara

individu (disebutkan identitas yang jelas); yang tujuannya memberikan perintah dan

peringatan keras uintuk menghentikan perbuatan dalam bentuk keputusan bersama

dalam bentuk Ketetapan (Beschikking), namun Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah berbentuk Peraturan Perundang-Undangan (Regeling, kemudian

seharusnya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak mengatur tentang suatu

organisasi badan hukum yaitu Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena hal tersebut

adalah kewenangan Peresiden seperti termuat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang

No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama menyatakan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh

Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat

membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai

Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan

dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Dari penjelasan diatas mengenai Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dapat dilihat

kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, berdasarkan Teori Hierarki

diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang merupakan merupakan sistem anak tangga

Page 146: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

146

dengan kaidah berjenjang, yaitu norma hukum yang paling rendah harus berpegangan

pada norma hukum yang lebih tinggi, jadi Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

yang norma hukumnya lebih rendah harus berpegangan pada Undang-Undang No. 1

/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

yang norma hukumnya lebih tinggi. Karena Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

sebagai Verordnung en Autonome Satzung bersumber pada Pasal 2 ayat 1 Undang-

Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama sebagai Formell gesetz.

Maka berdasarkan penjelasan diatas berdasarkan segi materi dari aspek

kewenangan terjadi suatu cacat yang mengakibatkan pertentangan norma antara

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung en Autonome Satzung

bersumber pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai Formell gesetz

dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Yaitu dilihat

berdasarkan kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Pasal 2 ayat

1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah itu harusnya

berbentuk tindakan hukum publik Tata Usaha Negara yang berbentuk Beschikking

yaitu individu dan konkrit dengan bentuk sebuah Keputusan Bersama. Namun pada

norma hukum Administrasi Negara/ Tata Usaha Negara berdasarkan penjelasan pada

Bab III diatas penulis mendapatkan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

tidak merupakan berbentuk Beschikking karena Keputusan Bersama tentang

Page 147: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

147

Ahmadiyah namun berbentu Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat

khusus, yaitu kekhususan karena subyeknya.

Kemudian jika ditinjau berdasarkan dari segi wilayah dari aspek kewenangan,

yaitu menunjukkan wilayah berlakunya diseluruh wilayah Indonesia, baik itu

berdasarkan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

maupun Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Maka jika dilihat berdasarkan

wilayah dari segi kewenangannya tidak menimbulkan cacat segi wilayahnya.

Kemudian jika ditinjau berdasarkan segi waktu dari aspek kewenangannya,

dimana Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak menentukan batasan waktu kepada

oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam membuat

Keputusan Bersama, sedangkan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah setelah jauh diundangkannya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka berdasarkan

waktu dari segi kewenangannya tidak menimbulkan cacat.

Maka dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah berdasarkan aspek kewenangannya menimbulkan cacat secara isi

(materi), sehingga dapat disebutkan sebagai cacat kewenangan (onbevoegdheid).

Page 148: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

148

4.6.2 Aspek Prosedur

Melihat dari aspek prosedur maka harus bertumpu pada asas negara hukum yang

berkaitan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia atau hak-hak dasar manusia,

asas Demokratis yang berkaitan dengan keterbukaan dan asas instrumental yang

meliputi asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan asas efektivitas

(doeltreffenheid, hasil guna)119

.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas negara hukum

yang berkaitan dengan hak-hak dasar manusia, bahwa didalam Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah tidak melarang penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan ibadah keyakinanan mereka.

Serta didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak ada pemaksaan bahwa

penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),

harus melaksanakan ajaran agama tertentu di Indonesia. Mengenai pengaturan

tentang masalah agama dalam UUD 1945 dapat dilihat Pasal 28 E dan Pasal 29

sebagai pelaksana dan penyelenggaraan dari nilai Pancasila sila Ketuhanan Yang

Maha Esa, yang secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk memilih agama dan

melaksanakan ajaran agamannya, serta disisi lain juga secara tegas menyatakan

kewajiban Negara menjamin setiap orang untuk memilih agamanya dan menyakini

agama serta kepercayaan yang dianut olehnya tanpa ada yang mengganggu. Maka

disini negara melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjamin warga

masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

119 Hadjon, Philipus M. Op.Cit

Page 149: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

149

Indonesia (JAI) untuk memeluk dan melakukan ibadahnya masing-masing tanpa ada

yang mengganggu.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiya berisikan tentang Mengakui dan

memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa serta adanya pengakuan terhadap persamaan derajad,

persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,

keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan

sebagainya. Dimana hal tersebut dapat dilihat bahwa Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah hanya bersifat memperingati dan memerintahkan yang berarti bahwa

keputusan ini tidak langsung memberikan suatu sanksi, namun berharap dengan

memberikan peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat tidak melakukan

perbuatan yang melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Kemudian

dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang Penganut, anggota,

dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga

masyarakat untuk hidup, bekerja, dan menjalankan kehidupan manusia bagai mana

kodratnya. Dan di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, disini negara

menjamin dan menjaga kehidupan Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), hal tersebut dapat dilihat pada point Keempat,

dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan

kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama

serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan

Page 150: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

150

perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Dan apabila wraga

masyarakat melanggar daripada point Keempat, maka negara wajib memberikan

sanksi, sesuai dengan point Kelima, dimana di dalam Point Keempat berbunyi

“Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana

dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Maka didalam Point Kelima

ini mengandung keinginan untuk menciptakan keadaan sikap saling mencintai sesama

manusia, dan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-

mena terhadap orang lain walau memiliki keyakinan yang berbeda. Serta memberikan

sanksi kepada siapapun yang menentang sikap tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa

Keputusan bersama tentang Ahmadiyah sesuai dengan asas negara hukum,

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas Demokratis

yang berkaitan dengan keterbukaan bahwa sebelum dikeluarkannya Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui ser

angkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesai kan permasalahan Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI), dimana dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah

menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008, namun

dikarenakan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)

menyimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa butir yang telah dilaksanakan

namun masih terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sehingga

Page 151: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

151

dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat maka

dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang bertujuan untuk

menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan

bermasyarakat.

Kemudian dalam mewujudkan asas keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan,

Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan

Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Bersama

Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur

Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. :

se/sj/1322/2008, Nomor : se/b-1065/d/dsp.4/08/2008, No. : se/119/921.d.iii/2008

Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,

dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 tahun 2008; nomor: kep-

033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada

Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

dan Warga Masyarakat.

Dalam Surat Edaran memberikan penjelasan terhadap point-point yang ada pada

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu:

1. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut memberikan

penjelasan mengenai yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan atau

mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau

perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik

Page 152: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

152

yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan rumah

ibadat dan bangunan lainnya.

2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut menjelaskan

tentang:

a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku

beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku beragama

Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau perintah.

b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan penyebaran

penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang.

Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang

mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan pengertian kegiatan yang menyimpang adalah kegiatan

melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya Nabi setelah Nabi

Muhammad SAW.

Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian,

pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan,

dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik

yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang

mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan.

Page 153: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

153

3. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran memberikan penjelasan

Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah sanksi pidana

yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 jo Pasal 3 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965

dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun

penjara. Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi Jemaah

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenakan sanksi berupa pembubaran

organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

4. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan

bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan

perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan tujuan untuk

melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam rangka memelihara kerukunan

umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Hal

tersebut dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hukum dengan tidak

melakukan tindakan anarkis seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan

perbuatan melawan hukum lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya.

5. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan

bahwa warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main hakim

Page 154: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

154

sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat

dikenai sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, antara lain

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal

156 tentang penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan

kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351

tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal

406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya.

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas instrumental

yang berdasarkan asas instrumental berdasarkan pada asas efisiensi (doelmatigheid,

daya guna) dan asas efektivitas (doeltreffenheid, hasil guna)

Asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) didalam Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Dalam Negeri merupakan langkah yang cepat dalam meredam tindak kekerasan

yang disebabkan masyarakat kepada penganut Ahmadiyah, sehingga tidak perlu

melalui proses Dewan perwakilan Rakyat yang bertele-tele dan memerlukan dana

yang cukup besar.

Asas efektivitas (doeltreffenheid, hasil guna) didalam Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan

Menteri Dalam Negeri yaitu dapat dilihat bahwa disatu sisi negara menjaga

keberadaan Ahmadiyah dari ancaman-ancaman yang melawan hukum, dan disisi

yang lain warga masyarakat yang merasa perbuatan Jemaah Ahmadiyah yang

Page 155: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

155

menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang

mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW,

diberikan peringatan dan pemerintah oleh pemerintah melalui Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya apabila menganggap dirinya

bagian dari Islam.

Sehingga harapan dari pemerintah tidak terjadi terciptannya keresahan dalam

kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan

bermasyarakat, serta pemerintah mengharapkan warga masyarakat dan Jemaah

Ahmadiyah bersama-sama wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat

beragama untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat

demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional;

Maka menurut penulis dapat disimpulkan bahwa Menteri Agama, Jaksa Agung,

dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dalam mengeluarkan Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah tidak bertentang dengan asan negara hukum dan asas

demokrasi, dan asas instrumental maka dari itu dapat dikatakan bahwa Keputusan

Bersama tentang Ahmadiyah tidak melanggar dari aspek prosedur.

4.6.3 Aspek Substansial

Di dalam aspek substansial yang menyangkut mengenai “apa dan untuk apa”,

terjkait dengan “apa” berkaitan dengan legalitas ekstern atau sewenang-wenang,

sedangkan “untuk apa” terkait dengan penyalahgunaan wewenang atau legalitas

intern.

Page 156: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

156

Terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam

aspek substansial mengenai “apa”, bahwa tindakan Menteri Agama, jaksa Agung dan

Menteri Dalam Negeri telah melakukan tindakan sesuai dengan Undang-Undang No.

1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama, yaitu membuat seuatu Keputusan Bersama yang bertujuan memberi

peringatan dan perintah bagi orang yang melakukan penistaan suatu agama yang ada

di Indonesia.

Dalam point KEDUA Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang menyatakan

Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota

pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam,

untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari

pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya

nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Maka adanya kata

sepanjang mengaku beragama Islam, mengindikasikan bahwa apabila penganut,

anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak

mengaku dirinya sebagai agama Islam. Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Dalam Negeri dapat mengijinkan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk melakukan penyebaran keyakinannya dan

melakukan kegiatan sesuai dengan faham Ahmadiyah. Sehingga menurut penulis,

bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak terdapat tindakan sewenang-

wenang yang dilakukan Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri dalam Negeri.

Page 157: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

157

Terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam

aspek substansial mengenai “untuk apa”, yaitu adanya penyalahguanaan kewenangan,

yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1

/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

yang menyatakan Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh

Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat

membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai

Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan

dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Sedangkan isi yang terdapat dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

dalam berisikan Jemaah Ahmahdiyah Indonesia (JAI) yang merupakan suatu

organisasi berbadan hukum (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah

Vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.

J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik

Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 1953120. Sehingga Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah melakukan penyalahgunaan kewenangan, dimana sebenarnya hal tersebut

merupakan kewenangan Presiden, namun dengan dikeluarkan Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah menjadi seolah-olah kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung,

Menteri Dalam Negeri, padahal jika menyangkut mengenai organisasi yang berbadan

hukum Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri hanya memberikan

pertimbangan bukan mengeluarkan sebuah keputusan bersama terkait dengan

120 Zulkarnain, Iskandar, Op.Cit

Page 158: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

158

penodaan atau penyimpangan agama yang duilakukan organisasi atau aliran

kepercayaan. Sehingga menurut penulis, bahwa Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah merupakan terjadi kecacatan secara Substansial yang mengenai “untuk

apa” yaitu melakukan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir).

Keabsahan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat dari aspek

Kewenangannya, aspek Prosedurnya, dan aspek substansinya121

. Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah tidak memiliki keabsahan hukum karena dalam dengan aspek

kewenangan, cacat kewenangan (onbevoegdheid) dari segi isi (materi). Karena

menimbulkan norma konfik antara Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/

tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan aspek substansialnya berdasarkan

“untuk apa” karena adanya cacat substansial dalam hal “untuk apa“ merupakan

penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir), karena tidak sesuai dengan

tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-

Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama.

121 Hadjon, Philipus M, Loc. Cit

Page 159: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

159

BAB V

UPAYA HUKUM TERKAIT DIKELUARKANNYA KEPUTUSAN

BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3

TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008,

MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 SEBAGAI

TINDAKAN HUKUM TATA USAHA NEGARA

5.1 Lembaga Peradilan Negara Yang Berwenang Melakukan Pemyelesaian

Sengketa Terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung

No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008

Seperti apa yang dijelaskan diatas pada Bab III bahwa bentuk Keputusan tertulis

dari Keputusan Bersana tentang Ahmadiyah sebagai Peraturan Perundang-undangan

(Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek. Maka yang lembaga

peradilan negara yang berwenang melakukan penyelesaian sengketa terhadap

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah adalah Mahkamah Agung (MA).

Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 yang

menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang,

dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”,

Page 160: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

160

Di dalam Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:

a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada

di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain;;

b. menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap

Undang-Undang; dan

c. kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang

Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Jo

Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 31 ayat 1 menyatakan”

Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan Perundang-undangan di

bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”.

Selain itu kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji Peraturan Perundang-

Undangan dibawah Undang-Undang diatur juga melalui Peraturan Mahkamah Agung

/ PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun

l999, dan kemudian PERMA No. 1 tahun 2004 juga telah diubah dengan PERMA

No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dimana di dalam Pasal 1 PERMA No. 1

Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ini menyatakan bahwa Hak Uji Materiil adalah

Hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan

Page 161: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

161

dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih

tinggi.

Judicial Review (Hak Uji Materill) merupakan kewenangan lembaga peradilan

unuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh

lembaga eksekutif legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku.

Menurut Prof Satjipto Rahardjo, Judicial Review adalah kekuasaan pengadilan untuk

menentukan apakah suatu produk Peraturan Perundang-undangan itu sah atau

tidak122

. Sedangkan menurut Sri Soemantri hak uji materiil adalah suatu wewenang

untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundang-

undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenement) berhak

mengeluarkan suatu peraturan tertentu123

. Di samping itu, Muhammad Ridwan Indra

memberikan suatu pengertian tentang hak menguji (judicial review) adalah hak untuk

menguji apakah suatu Peraturan Perundang-undangan itu bertentangan yang tingkatan

lebih tinggi124

Pengujian judicial bersifat formil (formele toetsingsrecht) dan materiil (materiele

toetsingsrecht)125

. Hak menguji formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang

untuk menilai , apakah suatu produl legislatif seperti Undang-Undang, yang biasanya

terkait dengan soal-soal produceral dan berkenaan dengan legalitas kompentensi

122 Rahardjo, Satjipto,,2010, Penegakan Hukum Progresif, PT kompas Media Nusantara, Jakarta

h.186 ( selanjutnya disebut Rahardjo, Satjipto II)

123

Soemantri, Sri , 1997, Hak Uji material di Indonesia, Alumni, Bandung, h 6-15

124

Indra, Muhammad Ridwan, 1987, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji

Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, Jakarta, h. 135.

125

Sri Soemantri, Op Cit

Page 162: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

162

institusi yang membuatnya. Sedangkan hak menguji materiil (materiele

toetsingsrecht), suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah

suatu Peraturan Perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi drajatnya atau menyangkut kekhususan-kekhususan yang

dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum, serta

apakah kekuasaan tertentu (verodenende macht) berhak mengeluarkan suatu

peraturan tertentu.

5.2 Alasan Mengajukan Gugatan Terhadap Keputusan Bersama Menteri

Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3

Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri

No. 199 Tahun 2008JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008

Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, alasan untuk mengajukan

gugatan uji materiil terdapat pada Pasal 31 A ayat 2 point b terdapat dua macam

yaitu:

1. Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Peraturan Perundang-undangan

dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi; dan/atau

2. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang

berlaku.

Dalam kaitannya dengan diterbitkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah

yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi yaitu Undang-

Page 163: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

163

Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama Jo. Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai

Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Yang dapat

menjadi sebuah alasan untuk melakukan uji materiil terhadap Keputusan Bersama

tentang Ahmadiyah yaitu:

1. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, memberikan

kewenangan kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam

Negeri untuk mengeluarkan sebuak keputusan terkait dengan penyalahgunaan

dan penyimpangan penafsiran terhadap agama-agama yang dianut di

Indonesia berupa sebuah tindakan hukum publik Tata Usaha Negara yang

berbentuk Beschikking yaitu individual dan konkret dengan bentuk

Keputusan Bersama. Namun keputusan yang dikeluarkan Oleh Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan

Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan tindakan hukum tata

Usaha Negara yang berbetuk Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang

bersifat khusus karena kekhususan subyek, termasuk dalam Peraturan

Perundang-undangan. berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang, maka Keputusan

Bersama.

2. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Undang-

Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Page 164: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

164

dan/atau Penodaan Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan

Menteri Dalam Negeri dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah tersebut harusnya ditunjukkan (Adresstat) untuk pribadi atau

seseorang tertentu, bukan ditujukan kepada suatu Organisasi berbadan hukum

seperti Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mana Organisasi Jemaat

Ahmadiyah terdaftar di Departemen Kehakiman RI (sekarang Kementerian

Hukum dan HAM) sebagai sebuah vereneging atau perkumpulan berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953

dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal

31 juni 1953126. Karena yang memiliki kewenangan dalam hal berkaitan

dengan organisasi atau aliran kepercayaan adalah kewenangan Presiden

untuk langsung membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau

aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, dengan mendapatkan

pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam

Negeri. Maka disini tugas dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

dalam Negeri hanya memberikan pertimbangan bukan mengeluarkan sebuah

keputusan bersama terkait dengan penodaan atau penyimpangan agama yang

dilakukan organisasi atau aliran kepercayaan.

126 Iskandar Zulkarnain, Op Cit

Page 165: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

165

5.3 Pihak Yang Berhak Mengajukan Gugatan Uji Materiil (Judicial Review)

terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008JA/6/2008,

Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Ke Mahkamah Agung (MA)

Di dalam 31 A ayat 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 menyebutkan bahwa Permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang

menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-undangan di

bawah Undang-Undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang; atau

c. Badan hukum publik atau badan hukum privat.

Kemudian dalam Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

No. 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil menyebutkan bahwa pemohon keberatan

adalah sekelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan

keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu Peraturan Perundang-

undangan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang. Namun didalam

Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2011

Page 166: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

166

tentang Hak Uji Materiil tidak menyebutkan dengan jelas kriteria atau syarat-syarat

mengenai pemohon dari kelompok masyarakat tidak ditentukan lebih lanjut, apakah

harus berbadan hukum (seperti Legal Standing) atau tidak perlu berbadan hukum.

Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah pihak yang

dapat mengajukan gugatan Uji materiil (Judicial Review) adalah warga masyarakat

atau warga negara Indonesia, penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI), baik secara perseorangan ataupun melalui badan hukum

atau organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau Badan hukum publik atau

badan hukum privat lainnya.

Termohon dalam gugatan Uji Materiil ini diatur dalam Pasal 1 ayat 5 Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2004 tantang Hak Uji Materiil

yang menyebutkan Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan Keputusan

Bersama tentang Ahmadiayah, pihak termohon adalah Menteri Agama, Jaksa Agung,

Menteri Dalam Negeri sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah.

5.4 Prosedur Pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) Ke

Mahkamah Agung (MA)

Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Keputusan Bersama

tentang Ahmadiayah dapat diajukan dengan membuat permohonan tertulis yang

menyebutkan alasan-alasan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah

bertentangan Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Page 167: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

167

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan sebagai dasar keberatan dan

ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya, serta membayar biaya permohonan pada

saat mendaftarkan permohonan keberatan besarnnya diatur tersendiri.

Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) dapat diajukan dengan dua cara

yaitu:

a. Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)

Dalam hal pernnohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan ke

kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan datam buku register tersendiri

dengan menggunakan kode/nomor "...... P/HUM/Th -----";

Panitera Mahkamah Agung setelah memeriksa kelengkapan berkas dan apabila

terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon keberatan atau

kuasanya yang sah;

Panitera Mahkamah Agung wajib menirimkan salinan permohonan tersebut

kepada pihak Termohon setelah terpenuhi kelengkapannya:

Termohon wajib mengirimkan/menyerahkan jawabannya kepada Panitera MA

dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan

tersebut;

Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung

untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan

keberatan tersebut;

Page 168: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

168

Penetapan majelis sebagai mana dimaksud di atas, dilaksanakan oleh Ketua

Muda Bidang Tata Usaha negara atas nama Ketua Mahkamah Agung .

b. Diajukan Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat

kedudukan pemohon

Bahwa dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri,

didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam buku

register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode :

.....,P/HUM/Th....../PN ......, setelah pemohon atau kuasannya yang sah

membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;

Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang

telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasannya yang sah, dan apabila terdapat

kekurangan dapat meminta langsung kepadapemohon atau kuasannya yang sah.

Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada

Mahkamah Agung pada hari berikut setelah pendaftaran;

Penetapkan majelis senagaimana dimaksud diatas dilaksanakan oleh Ketua Muda

Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.

5.2 Putusan Gugatan Terhadap Permohonan Keberatan Pengajuan Uji Materiil

Dalam Putusan Gugatan Hak Uji Materiil (Judicial Review) di Mahkamah

Agung pada dasarnya terdapat dua kemungkinan yaitu:

1. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonanan keberatan

itu beralasan, karena Peraturan Perundang-undangan tersebut bertentangan

Page 169: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

169

dengan Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih

tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan keberatan tersebut.

Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan Perundang-

undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau berlaku

untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera

pencabutannya

2. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonana keberatan itu

tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.

Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan

disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan Putusan Mahkamah

Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui

Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah

Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim

Page 170: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

170

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

1. Bentuk Tindakan Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama Menteri Agama,

Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008,

Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun

2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau

anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat

merupakan tindakan hukun Publik Tata Usaha Negara bersegi satu, dengan

bentuk keputusan tertulis Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang

bersifat khusus karena kekhususan subyek.

2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak memiliki keabsahan hukum

karena dalam dengan aspek kewenangan, memiliki cacat kewenangan

(onbevoegdheid) dari segi isi (materi). Karena menimbulkan norma konfik antara

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan Keputusan Bersama tentang

Ahmadiyah dan aspek substansialnya berdasarkan “untuk apa” karena adanya

cacat substansial dalam hal “untuk apa“ merupakan penyalagunaan wewenang

(detournement de pouvoir), karena tidak sesuai dengan tujuan dan maksud

pemberian wewenang tersebut, yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1

Page 171: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

171

/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama.

3. Upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama

Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam

Negeri No. 199 tahun 2008 sebagai tindakan hukum Tata Usaha Negara dengan

bentuk keputusan tertulis Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang

bersifat khusus karena kekhususan subyek, yaitu melakukan Uji materiil

(Judicial Review) ke Mahkamah Agung.

6.2 Saran

1. Karena Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP-

03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang

Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat

merupakan sebuah bentuk Regeling atau Peraturan Perundang-undangan yang

bersifat khusus karena kekhususan subyeknya, maka nama Keputusan

harusnya diganti dengan nama Peraturan, sehingga menjadi Peraturan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri

Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada

Page 172: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

172

penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) dan Warga Masyarakat.

2. Dalam menentukan kebijakan agar lebih memperhatikan sisi hukum dan

keadilan dari seluruh rakyat dan seluruh komponen di Indonesia, serta

berdasarkan atas Undang-Undang Dasar tahun 1945 serta Pancasila dan

mengkaji lebih dalam mengenai keabsahan dari sebuah peraturan sebelum

diundangkan, serta tidak tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan yang

dikarenakan tuntutan politik serta tuntutan dari pihak mana pun baik itu dari

mayoritas maupun minoritas, baik dari penguasa, organisasi yang

megatasnamakan golongan, agama, maupun suku tertentu di Indonesia.

3. Dalam sebuah perjalanan proses persidangan diharapkan hakim atau

Mahkamah Agung bersikap netral dan memutuskan suatu perkara berdasarkan

pembuktian di persidangan, sehingga tercipta suatu keadilan yang dirasakan

semua pihak dalam memutuskan perkara gugatan atau Judicial Reviev terkait

dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No.

KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang

Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Page 173: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

173

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Anonym, 2010, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Kanisius,

Yogyakarta.

Asshiddiqie, Jimly,2006, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris

Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

________________, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

________________, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang

Hukum,Cet I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI,

Jakarta.

Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia

sesudah Perubahan UUD 1945,Setara Press, Malang.

Ballegooij, G. A. C. M. Van, et.al, 2008, Bestuursrecht in het Awb-Tijperk, zesde,

geheel herziene druk, Kluwer,Oegstgeet, Nederland.

Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, 1983, Pokok-Pokok Hukum

Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta.

Brouwer, J.G. dan Schilder,1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars

Aeguilibri, Nijmegen.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 174: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

174

Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, Alumni, Bandung.

Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta.

Hadjon, Philipus M., dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet 11,

Gajah Mada University Press, Jogjakarta.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20,

Alumni, Badung.

Hamzah, Andi, 2005, KUHP & KUHAP, Cet 12, PT Rineka Cipta, Jakarta.

HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Indra, Muhammad Ridwan, 1987, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak

Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, Jakarta.

Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,

Buku I, Pustaka Sinar Harapan.

Iskandar, Pranoto, 2012, Hukum Ham Internasional:Sebuah Pengantar Kontekstual,

IMR Prees, Cianjur.

Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.

_______, 2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma,

Yogyakarta.

Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders

Wedberg, Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA.

Kusuma, RM. A.B., 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi

Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Page 175: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

175

Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada

Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta.

Lev, Daniel, S, 1972, Judicial and Legal Culture in Indonesia , dalam Cultuur and

Politic in Indonesia, Cornell Univercity Press, Itaca.

Manan, Bagir, 1985, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan

Tingkat Daerah , LPPM Unisba, Bandung.

___________dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia, Alumni, Bandung.

Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan

Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil

Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat,

Pantjuran Tudjuh, Jakarta.

__________, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta.

Nugraha, Safri, dkk. 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Page 176: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

176

Pide, Andi Mustari , 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media

Pratama, Jakarta.

Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan

Nasional, edisi ke III, Airlangga University Press, Surabaya.

Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang

baik, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

_______________,2010, Penegakan Hukum Progresif, PT kompas Media Nusantara,

Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemantri, Sri , 1997, Hak Uji material di Indonesia, Alumni, Bandung

Tamanaha, Brian Z, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge

University Press, United.Kingdom.

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar.

Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan

Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung.

Usfunan , Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan,

Jakarta

Page 177: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

177

Voermans, Wim, 2004, Toedeling Van Bevoegdheid, Meijers Instituut, Leiden,

Nederland.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang

Baik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Zulkanain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, LKis Pelangi Aksara,

Yogyakarta.

JURNAL / MAJALAH ILMIAH

Jafar, Wahyu, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:Sebuah

Catatan atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal

Konstitusi, Vol. 7, No 5, Jakarta.

Hadjon, Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 tahun XII,

September-Desember.

DISERTASI

Atamimi, A, Hamid S, , 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia

dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai

Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–

Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,

Jakarta.

Sutarman, 2007, Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan

Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga.

Page 178: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

178

PERTEMUAN ILMIAH

Asshiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Kontemporer, dalam orasi ilmiah pada

Wisuda Sarjana Fakultas HukumUniversitas Sriwijaya, Palembang

Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih. Makalah Disampaikan Pada Pengukuhan jabatan

Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Surabaya 10 Oktober .

Marzuki, Laica, 1996, Peraturan Kebijaksanaa (Beleidsregel) serta FungsinyaSelaku

sarana Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara

dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

Ujung Pandang 26-31 agustus 1996.

MD Moh. Mahfud, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Orasi

ilmiah didepan Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2011.

ARTIKEL ELEKTRONIK (INTERNET)

Anggono, Bayu Dwi, 2009, Keputusan Bersama Menteri dalam perundang-

Undangan Republik Indonesia,

:http://www.google.co.id/search?q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%2

8SKB%29+Menteri+Agama%2C+Jaksa+Agung%2C+Dan+Menteri+Dalam+Ne

geri+Republik+Indonesia+tentang+peringatan+dan+perintah+kepada+Jemaat+A

hmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-

Undang+Nomor+10+Tahun+2004&ie=utf-8&oe=utf-

Page 179: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

179

8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a#sclient=psy-

ab&hl=id&client=firefox-a&hs=VEV&rls=org.mozilla:en-

US%3Aofficial&source=hp&q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28S

KB%29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undan

g-

Undang+Nomor+10+Tahun+2004&pbx=1&oq=Kedudukan+Surat+Keputusan+

Bersama+%28SKB%29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+

menurut+Undang-

Undang+Nomor+10+Tahun+2004&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=19665

l22250l0l24214l8l0l0l0l0l0l0l0ll0l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=b7730b

97b1285ed7&biw=1280&bih=863, Diakses pada 10 Oktober 2010.

Ningrum, Desi ratna , 2009, Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,

Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ,:

http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000678/uii-skripsi-04410173-

desi%20ratna%20ningrum-04410173-DESI%20RATNA%20NINGRUM-

5198215752-bab%201.pdf, Diakses 10 September2012.

Universitas Udayana, 2010, Program S2 Ilmu Hukum Unud

http://programs2ilmuhukumunud.blogspot.com/, Diakses pada, 14 Oktober 2010.

Zakki, Moh, 2010, Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran

Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

sebagai Hak Konstitusional Rakyat

Page 180: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

180

http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/366/jiptummpp-gdl-s1-2010-mohzakki05-

18260-PENDAHUL-N.pdf, 26 Oktober 2011.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

International Convenant on Civil and Political Right article 18

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang No 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama.

Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden

dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.

Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Undang-Undang

No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985.

Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-

Undang No.9 tahun 2004 tentang perubahan Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan

Page 181: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

181

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi

Undang-Undang.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-

Hak Sipil dan Politik.

Undang-Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara.

Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5

tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-

undangan.

Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8

tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan

Presiden No. 62 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 9

tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata

Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I

Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 Tahun

2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 10 tahun 2005

tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik

Indonesia.

Page 182: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

182

Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan Dan Organisasi

Kementerian Negara, Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1989 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 140/puu-vii/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

No. 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan

Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2004 tantang Hak Uji

Materiil.

Keputusan Makamah Konstitusi mengenai Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010

tentang Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor

18 tahun 2004 tentang Perkebunan,vide bukti P-17.

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Risalah Sidang Perkara Nomor 140/Puu-

Vii/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang

Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama,

Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008,

Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun

2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau

Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Page 183: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

183

Keputusan Mahkamah Agung, No. 70/PID.B/2012/PN.WKB tentang Penetapan

Ketua Pengadilan Negeri Waikabubak No.70 / Pid.B/2012/PN.Wkb tertanggal

21 Juni 2012.

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15

Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran

Kepercayaan Masyarakat (PAKEM),

Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Departemen Dalam Negeri.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Departemen Agama.

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-115/J.A/10/1999 tanggal

20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan

Republik Indonesia,

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No: 199

tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,

dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga

Masyarakat.

Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda

Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen

Dalam Negeri No: se/sj/1322/2008, No: se/b-1065/d/dsp.4/08/2008, No:

Page 184: Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Terkait Dikeluarkannya

184

se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang

Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.