bab iv analisa problem-problem transliterasi...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISA PROBLEM-PROBLEM TRANSLITERASI DALAM
PENGAJARAN BACA TULIS AL-QUR`AN (BTA) DI SDIT ASSALAMAH,
UNGARAN
A. Problem-Problem Transliterasi dalam Pengajaran BTA
Metode mengajar merupakan cara yang dipergunakan oleh guru
dalam berhubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya proses
pembelajaran. Oleh karena itu peranan metode mengajar adalah sebagai alat
untuk menciptakan proses belajar mengajar. Dengan metode ini diharapkan
tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan
mengajar guru. Sehingga terciptalah interaksi edukatif. Proses interaksi ini,
akan berjalan baik apabila guru dan siswa saling berpartisipasi aktif dalam
kegiatan belajar mengajar.
Dalam pemilihan metode yang tepat ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu : tujuan pembelajaran, kompetensi guru, kemampuan
siswa, materi, dan sarana prasarana.1 Selama hal-hal tersebut dapat terpenuhi,
ketepatan pemilihan metode akan tercapai. Begitu pula sebaliknya, apabila
hal-hal tersebut masih bermasalah, metodepun belum dapat diaplikasikan
dengan tepat. Berikut adalah masalah-masalah diluar metode yang
mempengaruhi pemilihan metode dalam pengajaran transliterasi di SDIT
Assalamah.
1. Perbedaan Persepsi Guru dalam Pengajaran Transliterasi
Dalam kurikulum sekolah dasar yang terbaru, muatan BTA
ditambah dengan materi transliterasi. Disamping menguasai huruf Arab,
siswa juga harus menguasai huruf transliterasi. Dengan kata lain, siswa
dituntut untuk dapat membaca dan menulis huruf Arab beserta
transliterasinya dengan baik. Dalam hal ini, para guru memegang peranan
penting. Oleh karena itu, mereka harus betul-betul memahami materi BTA
dan bagaimana cara menyampaikannya kepada siswa.
74
75
Dalam dataran konsep, guru belum mempunyai kesamaan visi
dalam transliterasi dan pengajarannya. Mereka masih berdiri dengan
keyakinan masing-masing dalam pengajaran transliterasi. Secara garis
besar, perbedaan visi itu membuat guru terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama, terdiri atas mereka yang berpendapat bahwa
transliterasi adalah lambang simbol huruf Arab saja. Kelompok kedua,
terdiri dari mereka yang menganggap transliterasi bukan hanya simbol
saja, tetapi huruf yang sudah dibakukan menurut Ejaan Yang
Disempurnakan.
Landasan teori kelompok pertama diambil dari firman Allah :
)2: يوسف (عربيا لعلكم تعقلون انا أنزلنه قرأنا ا
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan al-Qur`an dalam bahasa Arab, mudah-mudahan kamu memikirkannya. (Q.S Yusuf : 2)2
Ayat tersebut menyatakan bahwa al-Qur`an diturunkan dengan
bahasa Arab. Kata bahasa Arab, mencakup segala sesuatu yang
berhubungan dengan bahasa, huruf, cara membaca, lagak lagu membaca,
susunan kata dan artinya.3 Jadi bahasa al-Qur`an bukanlah bahasa Inggris,
bahasa Belanda, bahasa Indonesia ataupun bahasa Cina. Huruf-
hurufnyapun bukan huruf Latin, huruf Jawa maupun huruf Kanji.
Semuanya ditulis dalam kaidah tata bahasa Arab.
Cara membaca dan melagukannyapun bukan menurut lagu bahasa
Indonesia, lagu bahasa Inggris ataupun lagu bahasa Melayu. Akan tetapi
lagu dan bacaannya harus sesuai dengan makhraj huruf-huruf Arab.
Atas dasar inilah ada beberapa guru yang mengatakan bahwa
transliterasi bukanlah hal yang penting untuk diajarkan. Bahkan,
keberadaannya bisa mengganggu penguasaan baca tulis Arab, terutama
dalam hal pelafalan. Huruf transliterasi tidak dapat mewakili makharij al-
1 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2002), cet. 16,h. 76 2 Yunus Mahmud, Tarjamah al-Qur`an, (Bandung: al-Ma’arif, 1990), h. 213 3 Sirodjuddin Abbas, 40 Permasalahan Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995), h. 249
76
huruf Arab dengan tepat. Sehingga, siswa yang mampu membaca
transliterasi dengan lancar sekalipun belum tentu dapat melafalkannya
sesuai makharij al-huruf Arab yang benar.4
Pengalihhurufan istilah-istilah Arab ke tulisan Latin
menimbulkan lebih banyak masalah daripada tulisan Arab itu sendiri.
Walaupun sangat dibutuhkan untuk mencari lambang bunyi bahasa Arab
dalam tulisan Latin, akan tetapi belum dapat ditemukan pedoman yang
bisa menggambarkan bunyi huruf Arab dengan tepat.5 Alasannya sangat
mendasar, orang yang ingin menyusun pedoman pengalihan huruf itu,pasti
tidak akan terlepas dari latar belakang sosio-kultural yang sudah mendasar
pada dirinya. Orang Indonesia, akan cenderung membuat pedoman sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku di Indonesia. Orang Amerika, akan
cenderung mmembuat pedoman sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di
Amerika, dan begitu pula yang lainnya. Sehingga tidak akan pernah ada
pedoman yang bisa berlaku secara menyeluruh.
Disamping itu, tujuan pengalihan huruf istilah-istilah Arab,
termasuk al-Qur`an, hanyalah untuk mendekatkan orang yang kurang
penguasaan Arabnya kepada pelafalan yang sebenarnya. Dalam hal ini,
Isma’il Raji al-Faruqi mengatakan, … the Latin alphabet transliteration
of Qur`anic passage, is not the holy al-Qur`an al-Karim, but, a means to
reaching and understanding it.6 Beliau menegaskan bahwa transliterasi
Arab-Latin dari ayat-ayat al-Qur`an bukanlah al-Qur`an yang suci itu
sendiri. Akan tetapi, itu hanya alat untuk mencapai dan memahaminya
saja.
Pertimbangan-pertimbangan diatas, membuat sebagian guru
enggan mengajarkan translierasi. Karena, itu dinilai tidak perlu dalam
penguasaan baca tulis Arab. Pengenalan huruf Arab langsug, lebih selamat
dari pada mengenalkannya dengan perantara transliterasi Arab-Latin.
4 Sirodjuddin Abbas, ibid, h. 254 5 A.F.L Beeston, The Arabic Language Today, (London: Hutchinson University Library,
1970), p. 28
77
Sedangkan kelompok kedua, mereka yang mengatakan bahwa
transliterasi bukanlah semata-mata simbol bunyi, akan tetapi transliterasi
merupakan huruf baku yang sudah disahkan oleh Ejaan Yang
Disempurnakan di Indoesia. Jadi, transliterasi merupakan bagian dari tata
bahasa Indonesia yang wajib diketahui oleh seluruh bangsa Indoesia.
Transliterasi disusun menggunakan prinsip satu fonem satu grafem.
Perlambangannya dilakukan dengan mengganti huruf Arab ke huruf Latin
yang mempunyai suara sama. Untuk huruf-huruf Arab yang tidak
mempunyai persamaan dalam huruf Latin, diberi tanda diakritik di atas
atau di bawah huruf agar mudah untuk diidentifikasi.
Transliterasi sudah diputuskan penerapannya melalui SKB
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, no. 158/ 1987
dan no. 0543 b/u/1987.7 Keputusan itu diberlakukan untuk seluruh bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal,
dapat menjadi salah satu wadah yang digunakan untuk mensosialisasikan
keputusan tersebut. Oleh karena itu, guru harus mengajarkan transliterasi
untuk membantu mereka yang kurang mampu, sekaligus mengenalkan
sistem penulisan yang baru yang sudah dibakukan di Indonesia.
Terlebih lagi, transliterasi sekarang sudah menjadi bagian dari
kurikulum sekolah. Semua materi yang sudah menjadi kurikulum sekolah,
harus diajarkan dan dikuasai siswa dalam kurun waktu tertentu. Jika
pelajaran BTA sudah dimasuki dengan muatan transliterasi, maka
seyogyanya diajarkan sebagaimana mengajarkan huruf aslinya.
Pengajaran transliterasi memang sangat dilematis bagi guru. Di
satu sisi, transliterasi merupakan sesuatu yang mengganggu pelafalan
huruf Arab, sedangkan di sisi lain transliterasi merupakan bagian dari
kurikulum sekolah yang harus dikuasai siswa. Sampai saat ini, transliterasi
masih diajarkan sesuai dengan keyakinan dan kemampuan guru. Dengan
kata lain, bagi guru yang masih khawatir dengan pengaruh negatif dari
6 Isma’il Raji al-Faruqi, Toward Islamic English, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1986), p. 18
78
transliterasi pada penguasaan huruf Arab, transliterasi diberikan
sekedarnya saja. Lain halnya dengan mereka yang merasa bahwa
transliterasi sangat penting untuk diajarkan, pengajaran transliterasi
mempunyai porsi yang sama dengan materi-materi yang lainnya dalam
proses pembelajaran.
Jalan tengah yang bisa menjembatani pro-kontra dalam
pengajaran transliterasi dapat dikembalikan pada kompetensi para guru itu
sendiri. Kompetensi penguasaan bahan dan cara-cara mengajarkannya
sangat dibutuhkan dalam hal ini. Dengan kompetensi itu, guru seharusnya
mempunyai strategi-strategi praktis agar dapat meminimalisir hal-hal
negatif yang terjadi pada proses belajar mengajar traaansliterasi.
Bagi guru-guru yang sudah banyak berpengalaman dalam dunia
mengajar, bisa jadi lebih mampu menyikapi permasalahan di atas dari pada
guru-guru yang lain. Untuk itu, mereka yang masih kesulitan dalam
pengajaran, sudah seharusnya menimba pengalaman dari yang sudah
berpengalaman untuk mengatasi hal itu. Sehingga, guru mempunyai visi
yang sama dalam pengajaran transliterasi. Dengan demikian proses dan
hasil pengajarannyapun sama antara satu guru dengan yang lainnya.
Kompetensi guru cukup menentukan keberhasilan proses
pembelajaran, seperti halnya sebuah pementasan, guru adalah sutradara
yang mempunyai otoritas untuk mengatur aktor-aktornya agar perannya
maksimal. Sutradara yang mempunyai kemampuan lebih dalam
penyutradaraan, pasti dapat membawa pementasan dalam kesuksesan.
Begitu pula guru yang berkompetensi bagus, pasti dapat membuat
siswanya memahami materi dengan mudah. Dengan begitu tujuan
pembelajaran akan dicapai dengan maksimal.
2. Kemampuan Dasar Baca Tulis Arab Siswa dan Kecenderungan Membaca
Transliterasi
7 Departemen Agama RI, Pedoman Transliterasi Arab-Latin, (Jakarta: t. pn, 2003), h. 15
79
Kemampuan siswa dalam baca tulis Arab sangat heterogen. Bagi
mereka yang sudah mendapat bekal agama yang cukup dari rumah,
kemampuan baca tulis Arabnya relatif lebih tinggi dari pada mereka yang
hanya mendapatkan pengajaran agama di sekolah saja. Atau mereka yang
mempunyai IQ (Inteligentie Quotient) yang tinggi lebih dapat mancerna
pelajaran agama dari pada mereka yang ber-IQ rendah. Rumah merupakan
faktor sosial dan IQ merupakan faktor individual yang mempengaruhi
siswa dalam belajar.8 Disamping itu masih ada faktor-faktor lain yang
mmempengaruhi siswa dalam belajar.
Karena faktor sosial dan faktor individual yang ada pada siswa
berbeda-beda, maka kemampuan merekapun berbeda-beda pula. Oleh
karena itu dalam satu kelas misalnya, ada anak yang pandai ada juga anak
yang kurang pandai. Dalam pelajaran BTA, siswa yang kurang pandai
cenderung lambat dalam menerima pelajaran. Sehingga dalam pelajaran-
pelajaran yang menggunakan lafal-lafal Arab, mereka tidak bisa mengikuti
pelajaran sebagaimana teman-temannya yang lain.
Salah satu cara untuk mengukur kemampuan dasar siswa SDIT
Assalamah dalam baca tulis Arab adalah dengan melihat tingkatan jilid
Qira`atinya. Sebagaimana yang telah dipaparkan di Bab III, Qira`ati
disusun berdasarkan tingkatan penguasaan baca tulis Arab siswa, dari
susunan huruf yang paling sederhana sampai kalimat yang kompleks.
Kelas I, rata-rata tingkatan Qira`atinya berkisar antara jilid I dan
II. Materi Qira`ati pada jilid I dan II adalah membaca huruf Arab dan
tanda bacanya. Itupun masih sangat sederhana, karena huruf-huruf dalam
satu kata hanya terdiri atas dua huruf saja. Dari sini dapat dilihat
bagaimana penguasaan siswa kelas I masih terbatas. Padahal, dalam
materi-meteri agama, mereka sering bertemu dengan lafal-lafal Arab dan
dalil-dalil Naqli yang ditulis dengan huruf Arab sambung. Sudah barang
8 Ngalim Purwanto, MP, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996),
cet. 2,h. 102
80
tentu mereka akan menemui kesulitan dalam membaca dan memahami
pelajaran.
Oleh karena itu, keberadaan transliterasi sangat dominan bagi
siswa kelas I. Kemampuan terbatas dalam membaca dan menulis Arab,
mendorong mereka untuk menggunakan transliterasi. Setiap kali mereka
bertemu dengan lafal-lafal Arab beserta transliterasinya, selalu mereka
memilih transliterasi, karena hanya dengan bantuan transliterasilah mereka
dapat membaca lafal-lafal tersebut. Tidak ada yang bisa melarang mereka
membaca transliterasi, bahkan guru kelas I-pun tidak dapat mengingkari
bahwa mereka juga membutuhkannya dalam pengajaran materi-materi
agama di kelas. Maka dari itu, guru harus mengenalkan dan mengajarkan
transliterasi dengan benar, agar siswa tidak selalu bergantung kepadanya,
sebab itu hanya alat bantu saja.
Kemampuan dasar siswa kelas II dalam baca tulis Arab, lebih
tinggi dari pada kelas I. Karena rata-rata mereka sudah mencapai jilid III
dan IV yang berisi kata Arab sambung dan beberapa bacaan Tajwid.
Walaupun mereka sudah bisa membaca huruf sambung, tapi itu masih
terbatas pada satuan kata saja, belum sampai pada kalimat. Maka dari itu,
tak heran apabila merekapun masih membutuhkan transliterasi dalam
menerima pelajaran.
Kecendurang siswa kelas II pada transliterasi masih relatif tinggi.
Guru mempunyai tanggung jawab besar dalam mengenalkan transliterasi.
Kesalahan guru dalam mengenalkan dan mengajarkan transliterasi akan
berdampak negatif pada siswa, baik pada pelafalan maupun penulisannya.
Untuk melafalkan huruf transliterasi, sebaiknya guru tetap berpegang
teguh pada kaidah pelafalan bahasa Arab, dengan kata lain, sesuai
makharij al-huruf yang benar. Karena, bagaimanapun juga transliterasi
merupakan lambang bunyi huruf Arab. Sedangkan dalam penulisa, guru
harus berhati-hati dalam mengenalkan huruf transliterasi, terutama huruf
yang memakai simbol-simbol diakritik.
81
Untuk siswa kelas III, materi transliterasi mulai dikurangi, karena
mereka dianggap sudah dapat membaca tulisan Arab tanpa bantuan
transliterasi. Lantaran tingkatan siswa kelas III seharusnya sudah mencapai
jilid V dan VI. Akan tetapi, menurut hasil observasi, kemampuan dasar
siswa kelas III sangat beragam, ada yang sudah sampai jilid VI, ada juga
yang masih jilid II (lihat tabel V).
Berdasarkan kemampuan siswa kelas III yang heterogen, guru
seharusnya tidak langsung mengurangi sebagian besar porsi pengajaran
transliterasi. Karena, mereka masih terpengaruh dengan kebiasaan
lamanya membaca transliterasi, di kelas I dan II. Bukan berarti siswa kelas
III masih ditolelir untuk selalu membaca transliterasi, akan tetapi kalau
pengajaran transliterasi dikurangi, secara otomatis kesan dalam memori
merekapun berkurang. Buktinya, sebagian siawa kelas III sudah mulai lupa
dengan huruf transliterasi, terutama dalam membaca huruf-huruf yang
bersimbol diakritik. Akhirnya, mereka sering kali melakukan kesalahan
dalam pelafalan huruf transliterasi. Hal ini sangat berbahaya ketika siswa
tidak dalam jam-jam pelajaran. Tanpa bimbingan guru, mereka akan
membaca lafal-lafal Arab dalam sistem penulisan transliterasi dengan
bacaan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang benar.
Permasalahan kecenderungan dalam membaca transliterasi sudah
banyak berkurang di kelas IV dan V. Karena mereka memang sudah
mampu membaca kalimat dalam tulisan Arab. Dengan kemampuan ini,
mereka sudah mampu membaca dan memahami lafal-lafal Arab dalil-dalil
Naqli dengan baik tanpa bantuan transliterasi. Sehingga, kecenderungan
mereka dalam membaca transliterasi lama kelamaan akan berkurang.
Akan tetapi, bukan berarti siswa kelas IV dan V sama sekali tidak
diajarkan transliterasi lagi. Walaupun kenyataannya mereka sudah tidak
membutuhkan bantuan transliterasi lagi, tapi guru harus tetap
mengajarkannya. Karena transliterasi tidak hanya digunakan untuk
membantu siswa yang kurang mampu membaca Arab, tapi juga digunakan
untuk menuliskan istilah-istilah Arab dalam buku-buku keagamaan.
82
Mengajarkan transliterasi untuk kelas atas sudah barang tentu berbeda
dengan mengajarkannya di kelas bawah. Di kelas I dan II, pengajarannya
bersifat pengenalan, sedangkan kelas IV dan V, pengajarannya bersifat
pemantapan.
Uraian di atas, menyatakan bahwa kecenderungan membaca
transliterasi sedikit banyak dipengaruhi oleh kemampuan dasar baca tulis
Arab siswa. Tiap-tiap kelas mempunyai tingkat penguasaan baca tulis
Arab yang berbeda, dengan demikian secara otomatis kecenderungan
membaca transliterasipun berbeda. Maka, guru harus pandai memilih
tehnik yang tepat dalam mengajarkan transliterasi di tiap-tiap kelas.
3. Keterbatasan Alat Peraga Bantu ( Audio Visual Aids)
Pengajaran transliterasi merupakan bagian dari pengajaran
bahasa asing, khususnya pada pelafalan. Dalam pengajaran bahasa asing,
keberadaan alat peraga sangat dominan dalam membantu siswa
mempercepat pengenalan huruf dan memperkuat ingatan. Alat peraga
bantu dalam proses pembelajaran ada dua macam, yaitu alat-alat yang
dapat didengar dan alat-alat yang dapat dilihat. Alat-alat yang dapat
didengan meliputi, tape, radio dan video dan sebagainya. Sedangkan alat-
alat yang bisa dilihat mencakup film, slide, lembar-lembar peraga dan
sebagainya. Untuk pelafalan bunyi huruf, yang tidak lain adalah bunyi
huruf Arab, dapat digunakan tape recorder yang berisi latihan-latihan
pelafalan ataupun ataupun berita berbahasa Arab di radio yang disiarkan
oleh penutur bahasa asli (native speaker). Dengan begitu, siswa dapat
mengukur tingkat kefasihannya sesuai dengan bunyi yang diucapkan oleh
penutur bahasa asli. Sedangkan untuk membantu siswa dalam penulisan
transliterasi, diperlukan alat bantu yang dapat dilihat oleh siswa.
Terutama dalam huruf-huruf transliterasi yang menggunakan simbol-
simbol diakritik, alat peraga sangat membantu dalam memberikan
gambaran konkrit yang tahan lama diingat siswa.
83
Secara detail, fungsi alat peraga bantu pada proses pembelajaran
adalah sebagai berikut :
- penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran bukan
merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi tersendiri
sebagai alat bantu untuk menciptakan situasi belajar mengajar yang
efektif
- penggunaan alat peraga merupakan bagian yang integral dari
keseluruhan situasi mengajar
- alat peraga dalam proses pembelajaran selalu berhubungan dengan
tujuan pelajaran dan isi pelajaran. Dengan kata lain, penggunaan alat
peraga harus melekat kepada tujuan dan bahan pelajaran
- penggunaan alat peraga lebih diutamakan untuk mempercepat proses
pembelajaran dan membantu siswa dalam menangkap pengertian
guru
- penggunaan alat peraga bukan semata-mata hiburan bagi siswa
- penggunaan alat peraga dapat membuat hasil belajar yang dicapai
akan selalu diingat siswa, sehingga pelajaran mempunyai nilai
tinggi.9
Keenam fungsi itu membuat keberadaan alat peraga menjadi sebuah
keharusan dalam proses pembelajaran.
Akan tetapi sayang, di SDIT Assalamah alat peraga elektronik
masih kurang dan belum dapat dioptimalkan fungsinya, karena dana masih
terpusat untuk pembangunan lokal kelas. Sehingga, sebagian besar guru
hanya memakai papan tulis sebagai alat peraga. Hanya guru tertentu saja
yang sudah membuat lembar peraga untuk pengajaran transliterasi.
Keterbatasan alat peraga di proses belajar mengajar, seharusnya
dapat disiasati dengan pengoptimalan kreatifitas guru. Kekurangan
bukanlah alasan yang cukup untuk membuat mereka tinggal diam tanpa
usaha pengadaan alat peraga. Mereka bisa mencari alternatif lain yang
9 Nana Sudjana, op. cit, h. 99-100
84
lebih mudah dan terjangkau oleh kemampuan mereka. Alat peraga tidak
harus mahal dan mewah, yang terpenting dapat menunjang pencapaian
tujuan pembelajaran transliterasi di kelas.
4. Materi Transliterasi dalam Pelajaran BTA
Materi transliterasi, saat ini, dimasukkan dalam pelajaran Baca
Tulis Al-Qur`an (BTA). Berarti, dalam pelajaran BTA, siswa tidak hanya
belajar baca tulis Arab, akan tetapi juga transliterasinya. Bukan sesuatu hal
yang mudah untuk mengajarkan kedua materi ini, karena masing-masing
mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Sehingga keberadaan
transliterasi, terkadang masih menimbulkan permasalahan dalam proses
pembelajaran.
Sampai saat ini, transliterasi masih menimbulkan permasalahan
bagi siswa yang mampu maupun yang kurang mampu dalam membaca dan
menulis Arab. Bagi siswa yang sudah mampu membaca huruf Arab,
transliterasi sangat membingungkan. Karena sejak lama, dalam memori
mereka sudah tertanam bentuk huruf Arab beserta bunyinya. Maka, ketika
disodorkan huruf-huruf transliterasi yang melambangkan bunyi bahasa
Arab, mereka banyak yang masih kesulitan.
Begitu pula siswa yang kurang mampu membaca dan menulis
huruf Arab, walaupun mereka suka membaca transliterasi tapi cara
membacanyapun masih banyak yang salah. Transliterasi memang
menggunakan sistem penulisan huruf Latin, tapi ada beberapa huruf yang
tampak asing karena menggunakan titik di atas dan di bawahnya,
misalnya, huruf s, s, z, z, dan d. Oleh karena itu, tak heran apabila mereka
sering mengabaikan titik-titik itu, karena yang ada pada memori mereka
adalah bentuk huruf Latin yang biasa mereka lihat.
Pokok permasalahan transliterasi terletak pada pembiasaan. Siswa
dalam kelompok pertama, belum terbiasa membaca dan menulis huruf
Arab dengan menggunakan sistem penulisan Latin. Sedangkan kelompok
kedua, belum terbiasa membaca dan menulis huruf Latin yang ada titik di
85
atas dan di bawahnya. Memang bukan sesuatu yang mudah untuk merubah
suatu kebiasaan yang sudah lama tertanam pada diri siswa, menjadi sebuah
kebiasaan baru.
Guru, sangat berperan penting dalam pembentukan kebiasaan ini.
Mereka harus sering memunculkan kata atau kalimat dalam sistem
penulisan transliterasi agar siswa terbiasa melihat dan membacanya.
Latihan-latihan pelafalan harus dilakukan sesering mungkin, sampai alat
ucap siswa terlatih untuk mengucapkan huruf-huruf itu. Penggunaan alat
peraga juga dapat membantu dalam membentuk kesan-kesan dalam
memori mereka.
Kebiasaan melihat bentuk huruf dan melafalkan bunyi huruf
transliterasi yang kurang, melahirkan kesulitan-kesulitan bagi siswa dalam
mempelajari transliterasi. Kesulitan-kesulitan itu berupa ;
- perbedaan graphics Arab dan Latin sangat jauh. Hal ini menyulitkan
siswa untuk mengidentifikasi huruf Arab dan perlambangannya dalam
huruf Latin. Dalam hal ini PROF. DR Ramelan, M.A mengatakan, “…
the degree of difficulty of learning is also determined by the degree of
difference between two languages…”,10 bahwasannya tingkat kesulitan
bahasa ditentukan oleh tingkat perbedaan antara kedua bahasa itu (
bahasa ibu dan bahasa asing). Jelas sekali, bahwa perbedaan huruf
dalam bahasa Arab dan Indonesia menimbulkan kesulitan-kesulitan
dalam belajar.
- siswa masih terkontamiasi dengan sistem penulisan Latin, baik dalam
bentuk huruf, cara penulisan maupun pelafalannya. Dalam bentuk
huruf, siswa masih terkecoh dengan betuk huruf yang hampir sama
dalam transliterasi, misalnya s, s, s, atau z, z, z. walaupun sudah ada
titik-titik di atas dan di bawah huruf yang membedakan bentuk dan
bunyi, tapi siswa tetap melafalkan dengan bunyi yang sama. Cara
penulisannya dan pelafalannyapun sering terbalik antara huruf satu
dengan huruf lain.
86
Pembentukan kebiasaan membaca dan menulis transliterasi harus
diusahakan melalui pelajaran di kelas maupun di luar kelas. Usaha yang
dapat dilakukan di dalam kelas yaitu memperbanyak latihan pelafalan dan
mempersering munculnya kata-kata Arab dalam sistem penulisan
transliterasi. Di luar kelas, guru dapat menempelkan huruf dan kata Arab
beserta transliterasinya di dinding, sehingga di luar jam-jam pelajaran,
siswa dapat terbiasa membaca transliterasi.
Problem-problem yang terjadi pada guru, siswa, sarana prasarana
dan materi pelajaran, harus segera disikapi. Karena kesemuanya itu
merupakan unsur-unsur dari satu kesatuan sistem pengajaran yang saling
menguatkan satu sama lain. Apabila ada masalah yang terjadi pada unsur-
unsur tersebut akan mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar
di kelas.
5. Alokasi Waktu
Dengan masuknya meteri transliterasi dalam pelajaran BTA,
muatan pelajaranpun semakin bertambah. Dalam durasi waktu 30 menit,
guru harus menyampaikan materi tentang baca tulis Arab dan
transliterasinya sekaligus. Penambahan materi ini, sudah barang tentu akan
mempersempit ruang gerak guru dalam kelas. Guru tidak lagi leluasa
untuk berinovasi dalam metode dan alat peraga yang mendukungnya.
Setiap guru ingin menerapkannya, selalu saja terbentur dengan alokasi
waktu yang ada. Karena pemadatan materi ini, memakan sebagian besar
waktu dalam satu jam pertemuan.
Permasalahan alokasi waktu juga dirasakan oleh siswa. Dalam
waktu 30 menit, mereka harus mencerna materi-materi baca tulis Arab dan
transliterasinya sekaligus. Padahal, belum tentu materi dapat dipahami saat
itu juga. Siswa membutuhkan waktu tanya jawab yang cukup untuk
memperdalam pemahaman.
10 Ramelan, English Phonetics, (Semarang: UNNES Press, 2003), p. 5
87
Untuk memberikan keleluasaan pada guru yang mengajar dan
siswa yang belajar, alokasi waktu BTA, sebaiknya ditambah. Dengan
demikian, proses belajar mengajar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Guru dan siswapun akan lebih nyaman dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar.
B. Problem-Problem dalam Penerapan Metode Pengajaran Transliterasi
Sedangkan masalah-masalah yang terjadi di dalam metode
pengajaran transliterasi di SDIT Assalamah, berkaitan dengan metode-metode
yang sudah diterapkan dalam proses pembelajaran transliterasi selama ini.
Metode-metode tersebut adalah ;
1. Metode Meniru dan Menghafal (Mimicry-Memorization Method)
Metode meniru dan menghafal merupakan metode utama dalam
pengajaran transliterasi. Metode ini diterapkan dengan menggunakan
latihan pengucapan (pronuciation drill) pada alat ucap siswa. Pertama-
tama guru melafalkan satu huruf atau kata, dan siswa mendengarkan.
Setelah itu siswa mengulanginya secara berulang-ulang sampai hafal.
Dalam metode ini guru bertindak sebagai drill master.11
Metode menghafal sangat berguna untuk mempertajam memori
tentang simbol-simbol diakritik dalam transliterasi. Latihan-latihan
pengucapan yang dilakukan sedikit demi sedikit, membentuk pembiasaan
siswa dalam baca tulis transliterasi dengan benar.
Akan tetapi, dalam dataran praktisnya di kelas, metode ini
terbentur dengan keadaan siswa yang bermacam-macam, karena beberapa
hal, yaitu : siswa malas untuk mengulang huruf atau kata-kata
transliterasi, hafalan siswa lemah, bekal pengetahuan Arab yang kurang
dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak heran kalau siswa SDIT Assalamah
sebagian kurang menguasai pelafalan bunyi Arab sesuai dengan makharij
al-huruf yang ada.
11 Muljanto Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing,, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 39
88
Dalam hal tulisan, mereka memang unggul, tetapi tidak dalam hal
pelafalan. Sehingga pelajaran BTA yang bertujuan agar siswa mampu
membaca dan menulis Arab beserta transliterasinya dengan baik dan
benar, belum dapat dicapai sepenuhnya. Dalam membaca lafal Arab, siswa
harus memahami makharij al-huruf yang benar. Apabila tidak ia akan
merusak makna yang terkandung didalamnya.
Permasalahan ini, berawal dari kurangnya latihan-latihan
pelafalan yang dilakukan oleh guru.karena, siswa sangat sulit untuk
dikondisikan dalam latihan-latihan itu. Seramai atau sebandel apapun
siswa, bukanlah suatu alasan bagi guru untuk tidak melakukannya. Karena
latihan pelafalan merupakan kunci utama dalam metode ini. Dengan
begitu, siswa mampu menghafal dan melafalkan huruf dengan benar.
Penulisan tidak akan terlepas dari pelafalan. Karena dalam
penulisan ada huruf-huruf yang melambangkan bunyi dalam pelafalan.
Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pelajaran BTA, apalagi dalam hal
ini, pelajaran BTA sangat didukung oleh pelajaran Qira`ati. Seharusnya
kedua pelajaran itu bekerja sama dalam memperbaiki bacaan sekaligus
tulisan Arab siswa. Apabila perana keduanya bisa optimal, siswa dapat
membaca lafal-lafal Arab dengan fasih sekaligus menulisnya dengan
benar.
2. Metode Kulliyyah
Metode kulliyyah adalah metode yang memandang bahasa
sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Pengajarannyapun haruas bersifat
menyeluruh, tidak terbagi-bagi.12 Penerapan metode ini dalam proses
pembelajaran, dimulai dengan mengajarkan kata-kata Arab secara
keseluruhan, kemudian baru mengenalkan huruf-huruf yang
merangkainya.
Metode kulliyyah sering kali dipakai di pelajaran BTA. Ketika
guru akan mengajarkan huruf Qalqalah misalnya, pertama-tama ia
12 Jassem Ali Jassem, Turuq Ta’lim al-lugah al-‘Arabiyyah li al-Ajanib,(Kuala Lumpur:
A.S Noordeen, 2001), s. 94
89
menuliskan kata yang ada huruf Qalqalah dalam tulisan Arab dan
transliterasinya. Contoh, kata َيْقِبُضْوَن atau “yaqbiduna”, setelah
menuliskan kata tersebut, guru lalu membahas huruf satu persatu dari
pertama sampai terakhir. Setelah itu ia menerangkan bahwa huruf ق yang
dilambangkan dengan huruf ”q”, termasuk salah satu huruf Qalqalah.
Selama guru dapat memahami kemampuan membaca siswa,
metode ini tidak akan bermasalah. Siswa kelas I, yang perbendaharaan
katanya masih dua huruf yang terpisah, tidak akan mampu mencerna kata-
kata Arab sambung yang terdiri dari tiga huruf atau lebih. Sedangkan
siswa siswa kelas IV dan V, karena penguasaan baca tulis Arabnya sudah
jauh, maka contoh-contoh yang diambil dari tiga huruf sambung atau
lebih, sangat mudah untuk dipahami. Jelas sekali bahwa, dalam metode
kulliyyah, kemampuan siswa tidak dapat diabaikan begitu saja.
3. Metode Baca Simak
Metode baca simak, hampir diterapkan di setiap pelajaran.
Metode baca simak dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, siswa
membaca secara klasikal dan tahap kedua siswa membaca secara
individual sedang yang lainnya menyimak.13 Hal ini sesuai dengan
kesepakatan guru SDIT Assalamah dalam pembuatan Persiapan Harian
(PH), di mana guru harus melakukan penanaman konsep secara klasikal
dan siswa membaca secara klasikal pula. Kemudian dilakukan evaluasi
dengan menunjuk beberapa anak saja sedangkan yang lainnya
mendengarkan. Misalnya, guru akan mengenalkan huruf transliterasi dari
alif ( ا ) sampai kha ( خ ). Untuk penanaman konsep secara klasikal, guru
mengulang bunyi huruf yang dinilai sulit, seperti sa ( ث ), ha ( ح ), dan
kha ( خ ). Memang, dalam penanaman konsep hanya dipilih untuk materi-
materi yang sulit dan yang perlu ditekankan saja. Bukan berarti kemudian
guru tidak menerangkan materi yang lainnya, karena penanaman konsep
13 Imam Murdjito, Op. Cit,h. 24
90
itu hanya berkisar antara 5 – 10 menit saja, selebihnya digunakan untuk
menerangkan keseluruhan materi.
Permasalahannya, dalam proses pembelajaran, penanaman konsep
itu tidak didukung dengan sistem evaluasi yang semestinya. Sehingga,
guru kurang mengetahui apakah siswa mampu menguasai materi yang
ditanamkannya. Ada guru yang hanya mengevaluasi secara klasikal saja.
Akibatnya, guru tidak dapat mengukur tingkat kemampuan masing-
masing siswa dalam menangkap pelajaran. Padahal, sudah seyogyanya
guru mengevaluasi secara individual apabila ingin mengetahui
keberhasilan mengajarnya. Kalaupun alokasi waktu tidak mencukupi, guru
harus menguji siswa-siswa yang dinilai kurang mampu di kelas sebelum
menyelesaikan pelajaran.
Metode ini banyak memberikan kesempatan belajar bagi siswa.
Pada saat guru menerangkan di depan kelas atau saat guru menyuruh
teman sekelasnya untuk membaca sekalipun, siswa dapat mengambil
pelajaran. Dengan kata lain, walaupun dia tidak ditunjuk untuk membaca,
ia tetap dapat belajar dengan mendengarkan melalui teman-teman
sekelasnya.
Secara garis besar, metode-metode diatas sudah diterapkan
dengan baik. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus diperbaiki, seperti
dalam latihan-latihan pelafalan dan evaluasi proses pembelajaran.
Sehingga, masalah-masalah dalam penerapan metode diatas segera diatasi
dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang maksimal.
Uraian tentang masalah-masalah pendukung metode dan masalah-
masalah metode diatas, harus segera disikapi. Karena kesemuanya itu
merupakan unsur-unsur dari satu kesatuan sistem pengajaran yang saling
menguatkan satu sama lain. Keberhasilan pengajaran sudah barang tentu
tergantung kepada kekuatan unsur-unsur di dalamnya. Apabila ada satu unsur
saja yang lemah, secara otomatis kekuatan unsur-unsur itu akan melemah.
Begitu pula sebaliknya, apabila semua unsur-unsur itu kuat, proses
pengajaranpun akan mencapai tujuan yang dicanangkan.
91
C. Beberapa Solusi Terhadap Problem-Problem Transliterasi dalam
Pengajaran BTA
SDIT Assalamah mempunyai potensi-potensi yang besar yang dapat
di kembangkan dalam proses belajar mengajar. Walaupun masih ada beberapa
kekurangan di sana-sini. Di era desentralisasi pendidikan, dimana kekuasaan
Pemerintah pusat dilimpahkan ke daerah, sekolah mempunyai otoritas penuh
untuk menentukan masa depannya sendiri.14 Begitu pula dalam menyikapi
masalah-masalah yang ada, pihak sekolah bisa menentukan sendiri jalannya
dengan mengoptimalkan potensi yang sudah ada.
Dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity and Treath), SDIT Assalamah dapat mengatasi kekurangannya
dengan kelebihan yang dimilikinya. Sehingga kekurangan itu dapat diolah
menjadi sebuah kelebihan yang akan memperkuat posisi sekolah. Kemudian
dapat diciptakan kesempatan-kesempatan untuk maju dan menghadapi segala
tantangan yang ada. Usaha yang dapat dilakukan SDIT Assalamah adalah
sebagai berikut :
1. Optimalisasi Peran KKG
Tugas guru dalam program pengajaran adalah menjabarkan isi
kurikulum pengajaran secara lebih rinci dan operasional kedalam program
tahunan, semester, dan bulanan.15 Dalam hal ini, guru mempunyai wadah
tersendiri untuk mengaplikasikan tugas tersebut, yang disebut dengan
Kelompok Kerja Guru (KKG). KKG biasanya disesuaikan dengan bidang
studi yang diampu oleh guru. Para guru yang mengajar Bahasa Indonesia,
tergabung dalam KKG Bahasa Indonesia, sedangkan para guru yang
mengajar agama tergabung dalam KKG agama, dan seterusnya.
Kaitannya dengan pelajaran transliterasi, KKG agamalah yang
bertanggung jawab. KKG agama di SDIT Assalamah pada semester
pertama, belum berjalan aktif. Karena terbentur dengan padatnya kegiatan
14 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), cet.
3, h. 22 15 E. Mulyasa, Ibid, h. 41
92
sekolah. Sehingga permasalahan-permasalahan dalam pengajaran belum
dibahas dalam dataran KKG. Permasalahan itu masih berada di pundak
masing-masing guru agama. Sampai saat ini, solusi permasalahan dalam
pengajaran transliterasi diserahkan kepada tiap-tiap guru yang
bersangkutan.
Pada dasarnya, KKG tidak membahas tehnik-tehnik mengajar
secara detail. KKG hanya membahas program semester, bulanan dan
tahunan saja. Namun, sesekali KKG juga membahas problem-problem
yang dihadapi di kelas. Apabila metode pengajaran transliterasi masih
bermasalah, apa salahnya bila diangkat dalam KKG agama ?. Agar
masalah tersebut dapat dipikul dan dicarikan jalan tengahnya bersama-
sama.
Untuk itu, KKG agama sudah seharusnya diaktifkan kembali.
Pertemuannyapun harus rutin, agar masalah-masalah yang terjadi pada
proses belajar mengajar dapat segera diatasi secara akurat. Para gurupun
nantinya dapat menyamakan visi dan misi dalam pengajaran, sehingga
mereka bersatu padu dalam pencapaian tujuan daripada pengajaran.
2. Pengajaran Transliterasi yang Proporsional
Langkah ini, tidak lain untuk menjaga keseimbangan antara
pengaruh huruf Arab dan transliterasinya pada siswa. Pengajaran yang
tidak proporsional akan merugikan salah satu pihak. Apabila transliterasi
terlalu banyak dipergunakan, bisa jadi para siswa akan selalu tergantung
kepadanya dalam membaca lafal-lafal Arab. Merekapun akan malas untuk
membaca huruf Arab asli. Begitu pula sebliknya, apabila guru hanya
mengajarkan huruf Arab, maka ketika siswa menjawab latihan menyalin
huruf Arab ke dalam huruf Latin, pasti akan merasa kesulitan. Oleh karena
itu, keduanya harus diajarkan sesuai porsi yang dibutuhkan siswa.
3. Baca Tulis Arab Harus Dikuasai Sebelum Penguasaan Transliterasinya
Bagaimanapun juga, huruf Arab harus dikuasai terlebih dahulu
sebelum siswa menguasai transliterasi. Bukan berarti penguasaan
93
transliterasi tidak penting, tapi pengajarannya seharusnya tetap mengikuti
langkah-langkah pengajaran huruf Arab asli.
Walaupun transliterasi sudah dibakukan, tidak berarti ia
dibekukan. Tetapi, pada suatu saat nanti dapat berubah-ubah sesuai
kebutuhan masyarakat pada saat itu. Dengan demikian transliterasi Arab-
Latin yang berlaku sekarang akan berubah dalam lima atau sepuluh tahun
yang akan datang. Secara otomatis, siswapun kelak akan mempelajari
pedoman baru yang berbeda dengan pedoman yang ada pada saat ini.
Huruf Arab, sampai kapanpun, tidak akan berubah. Pelafalannya
tetap sesuai prinsip-prinsip kebahasaan. Sehingga, siswa yang sudah
menguasai baca tulis Arab, dengan bentuk apapun bunyi huruf itu akan
dilambangkan, siswa tidak akan merasa kesulitan.
4. Optimalisasi Kreatifitas Guru
Usaha optimalisasi kreatifitas guru akan menjawab permasalahan
pemilihan metode pengajaran dan keterbatasan alat peraga bantu dalam
proses belajar mengajar di kelas. Kreatifitas merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai oleh guru. Sehingga, guru tidak akan
mudah menyerah apabila ada kendala-kendala yang menghambat proses
pembelajaran.
Dalam penerapan metode pengajaran yang digunakan dalam suatu
proses belajar mengajar, guru sebaiknya tidak hanya memakai satu metode
saja. Akan tetapi, dalam satu jam pertemuan, guru bisa mengkombinasikan
beberapa metode yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Selama
metode itu tidak bertentangan, tidak akan menimbulkan masalah apa-apa.
Dalam rangka mengenalkan transliterasi kepada siswa, guru sebaiknya
tidak hanya memakai metode baca simak saja, akan tetapi bisa dipadu
padankan dengan metode audio lingual atau yang lainnya. Dengan ini,
pelajaran di kelas tidak akan monoton dan membosankan.
Pengadaan sarana prasarana yang terbatas, seyogyanya tidak akan
menghentikan langkah-langkah guru dalam mengajar. Seharusnya itu bisa
94
merangsang daya kreatifitas dalam mencari alternatif-alternatif lain yang
bisa dijangkau oleh kemampuannya. Sarana prasarana dalam proses
belajar mengajar tidak harus bagus dan mahal, yang penting adalah
kegunaannya dalam mendukung pencapaian tujuan pengajaran. Secanggih
apapun alat yang ada, bila tidak digunakan semestinya oleh guru, tak
ubahnya seperti besi tua yang tidak bermanfaat sama sekali. Dengan
ilustrasi ini, sebenarnya berpengaruh atau tidaknya alat peraga bantu
dalam proses belajar mengajar tergantung pada kreatifitas guru yang
menjalankannya. Kertas manilapun, dengan sedikit sentuhan, akan
menjadi alat peraga yang baik apabila diolah dengan kreatifitas yang
dimiliki guru.
5. Penambahan Alokasi Waktu
Untuk memberikan keleluasaan pada guru yang mengajar dan
siswa yang belajar, alokasi waktu BTA, sebaiknya ditambah. Karena,
dalam pelajaran BTA, materi yang harus disampaikan tidak hanya baca
tulis Arab saja, akan tetapi juga transliterasinya. Durasi waktu 30 menit,
masih begitu sempit untuk mengajarkan dua materi itu sekaligus. Begitu
pula untuk menerapkan beberapa metode dan penggunaan alat peraga
bantu, sudah barang tentu akan sangat terbatas dengan padatnya materi
BTA. Dengan demikian, proses belajar mengajar dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Guru dan siswapun akan lebih nyaman dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Usaha-usaha di atas, dapat menjadi alternatif-alternatif jalan keluar
dalam permasalahan pengajaran transliterasi, khususnya dalam pemilihan
metode pengajaran. Dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada, SDIT
Assalamah dapat memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Suatu lembaga
tidak akan jatuh hanya karena menyadari kekurangan-kekurangannya. Bahkan
namanya akan bertambah besar di mata masyarakat, karena selalu
memperbaiki setiap kekurangan yang ada.