bab iv

19
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu yang telah memenuhi kriteria inklusi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 33 orang dengan rincian 11 orang pada setiap kelompok perlakuan. Tabel 4.1 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok kontrol atau perlakuan 1 (konsumsi nasi putih ) Karakteristik n (Jumlah orang) Persentase dari total subjek Penelitian (%) Rata-rata nilai IMT subjek pada perlakuan 1 Rata-rata nilai METS Subjek pada perlakuan 1 Jenis Kelamin Laki-laki 3 9 22.03

Upload: revaadenapio

Post on 17-Feb-2016

217 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

n m

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu yang telah

memenuhi kriteria inklusi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah

33 orang dengan rincian 11 orang pada setiap kelompok perlakuan.

Tabel 4.1 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok kontrol atau

perlakuan 1 (konsumsi nasi putih )

Karakteristik n

(Jumlah

orang)

Persentase

dari total subjek

Penelitian (%)

Rata-rata

nilai IMT

subjek pada

perlakuan 1

Rata-rata

nilai METS

Subjek pada

perlakuan 1

Jenis Kelamin

Laki-laki 3 9 22.03 ≤4

Perempuan 8 24Umur subjek18 - <19 - -19 - <20 - -20 - <21 6 1822 – 23 5 15

Page 2: BAB IV

Tabel 4.2 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok perlakuan 2

( Konsumsi Ubi Kayu)

Karakteristik n

(Jumlah

orang)

Persentase

dari total subjek

Penelitian (%)

Rata-rata

nilai IMT

subjek pada

perlakuan 2

Rata-rata

nilai METS

subjek pada

perlakuan 2

Jenis Kelamin

Laki-laki 4 12 21.31 ≤4Perempuan 7 21Umur subjek18 - <19 1 319 - <20 - -20 - <21 4 1222 – 23 6 18

Tabel 4.3 Persentase karakteristik sampel penelitian kelompok perlakuan 3

(Konsumsi Talas Bogor Kukus)

Karakteristik n

(Jumlah

orang)

Persentase

dari total subjek

Penelitian (%)

Rata-rata

nilai IMT

Subjek pada

perlakuan 3

Rata-rata

nilai METS

Subjek pada

perlakuan 3

Jenis Kelamin

Laki-laki 1 3 21.41 ≤4Perempuan 10 30Umur subjek18 - <19 3 919 - <20 2 620 - <21 1 321 - <22

22 – 23

3

2

9

6

Berdasarkan tabel 4.1, 4.2 dan 4.3 didapatkan sampel berjenis kelamin

laki-laki berjumlah 3 orang (9%) pada perlakuan kontrol (perlakuan 1),

sedangkan pada kelompok perlakuan 2, 4 orang (12%) dan perlakuan 3, 1

Page 3: BAB IV

orang (3%). Rentang usia pada kelompok perlakuan satu dan dua berkisar

antara 18-22 tahun, sedangkan untuk usia kelompok kontrol berkisar

antara 21-23 tahun. Indeks massa tubuh (IMT) rata-rata pada kelompok

kontrol adalah 22,03 , pada kelompok perlakuan dua 21,31 dan kelompok

perlakuan tiga yaitu 21,41. Nilai METS (Metabolic Equivalents) pada

setiap kelompok ≤ 4 hal ini menunjukan subjek penelitian di setiap kelompok

melakukan aktivitas yang ringan.

2. Hasil pengukuran kadar glukosa darah puasa dan postprandial

Selisih nilai dan rata-rata kadar gukosa darah puasa dan kadar

glukosa darah postprandial dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Rata-rata dan selisih nilai kadar gukosa darah puasa dan kadar

glukosa darah postprandial (mg/dl)

Kelompok

Rata-rata kadar glukosa darah puasa

Page 4: BAB IV

(mg/dL)

Rata-rata kadar glukosa darah postprandial

Page 5: BAB IV

(mg/dL)Selisih rata-rata kadar glukosa darah (mg/dL)

Kontrol (Nasi putih)

79,45

118,63

39,73

Perlakuan 2 (Ubi kayu rebus)

77

113,18

36,09

Perlakuan 3 (Talas bogor kukus)

79,81

108,63

28,82

Tabel 4.4 rata-rata dan selisih nilai kadar glukosa darah puasa dan

postprandial dari kelompok kontro (perlakuan 1), perlakuan dua, dan perlakuan

tiga. Berdasarkan data ini didapatkan selisih kadar glukosa darah pada

kelompok kontrol adalah 39,73 mg/dL, pada kelompok yang mengonsumsi ubi

kayu rebus adalah 36,09 mg/dL, dan kelompok yang mengonsumsi talas bogor

kukus adalah 28,82 mg/dL.

3. Hasil Analisis Data

Analisis data menggunakan uji one way Anova. Syarat menggunakan uji

ini dibutuhkan sebaran data harus normal dan varians data harus sama. Uji

Shapiro-Wilk bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Hasil

uji Shapiro-Wilk dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Uji Shapiro-Wilk

No Selisih Kadar Glukosa

Darah

Signifikansi (p) Keterangan

Page 6: BAB IV

1 Kontrol (nasi putih) 0,055 Normal

2 Perlakuan 2 (ubi kayu

rebus)

0,853 Normal

3 Perlakuan 3 (talas bogor

kukus)

0,471 Normal

Uji varians dilakukan untuk mengetahui varians data sama atau tidak.

Hasil uji varians data dapat dilihat pada Tabel 4.6 :

Tabel 4.6 Hasil Uji Varians

Levene Statistic df 1 df 2 sig

0,922 2 30 0,409

Hasil uji Shapiro-Wilk diperoleh nilai p untuk ketiga kelompok ≥ 0,05

yang berarti bahwa sebaran data normal. Pada uji varians diperoleh nilai p= 0,4

p ≥ 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varians data antara kelompok yang

dibandingkan adalah sama, karena sebaran data normal dan varians data

sama maka uji analisis data yang digunakan adalah uji one way Anova.

Tabel 4.7 Selisih kadar glukosa darah puasa dan postprandial menggunakan one

way Anova

Selisih Kadar Glukosa Darah

Rerata ± simpang baku 39,73±3,289 36,09±3,859 28,82±1,991

Signifikansi (p) 0,000

Hasil uji one way anova untuk selisih kadar glukosa diperoleh nilai 0,000,

Perlakuan 3 (Talas Bogor Kukus)

Kontrol putih Perlakuan 2 (Ubi kayu rebus)Keterangan

Page 7: BAB IV

dimana apabilah nilai signifikansi <0,05 maka data tersebut memiliki perbedaan

yang signifikans antara selisih kadar glukosa darah postprandial kelompok

perlakuan 1, perlakuan2, dan perlakuan 3.

Uji one way anova kemudia dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD untuk

menentuan adanya perbedaan antara kelompok.

Tabel 4.8 Rerata selisih kadar glukosa darah dan hasil analisis stastik

menggunakan Post Hoc Test-LSD

Kelompok Rerata Signifikansi (p)

Kontrol (perlaku-

an 1)

Perlakuan 2 3,636 0,011Perlakuan 3 10,909 0,000

Perlakuan 2 Kontrol -3,636 0,011

Perlakuan 3 7,273 0,000

Perlakuan 3 Kontrol -10,909 0,000

Perlakuan 2 -7,273 0,000

Pada uji Post Hoc Test-LSD antar kelompok didapatkan perbedaan

bermakna selisih kadar glukosa darah antara kelompok kontrol dengan

kelompok perlakuan satu yang mengonsumsi Ubi kayu rebus dengan nilai p<

0,05 (p=0,011) dan kelompok perlakuan dua yang mengonsumsi Talas Bogor

kukus rebus dengan nilai p< 0,05 (p=0,000). Pada uji Post Hoc Test-LSD

pada kelompok perlakuan satu dan perlakuan dua terdapat perbedaan

bermakna nilai selisih kadar glukosa darah dengan nilai p<0,05 (p=0,01)

Page 8: BAB IV

BAB V

PEMBAHASAN

Subjek penelitian laki-laki berjumlah 8 orang (24,24%) dimana subjek

penelitian perempuan 25 orang (75,75%) hal ini menunjukan perempuan lebih

banyak dibandingkan laki-laki karena mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Bengkulu memang mayoritas berjenis kelamin perempuan.

Usia subjek penelitian juga tidak jauh berbeda antar kelompok perlakuan, usia

subjek penelitian berkisar antara 18-23 tahun. Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT)

pada ketiga kelompok perlakuan masih dalam rentang normal menururt

Departemen Kesehatan RI , (2003) yaitu masih berkisar antara 18,5-25,0 kg/m2.

Nilai METS (Metabolic Equivalents) pada setiap kelompok ≤ 4 yang berarti bahwa

subjek penelitian di setiap kelompok memiliki aktivitas yang ringan.

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa selisih rata-rata kadar glukosa darah antara

kelompok kontrol (perlakuan 1) lebih besar (39,73 mg/dL) daripada kelompok

perlakuan 2 (36,09 mg/dL) dan perlakuan 3 (28,82 mg/dL), dan selisih rata-rata

kadar glukosa darah antara kelompok perlakuan dua lebih besar daripada kelompok

perlakuan tiga. Menururt peneliti hal ini disebapkan oleh kandungan pati resistensi

yang berbeda antara perlakuan 1 (kontrol), perlakuan 2, dan perlakuan 3, dimana

kandungan pati resistensi didalam 100 gram nasi putih adalah 0,97% (Li et al.,

2010), di dalam 100 gram Ubi kayu rebus adalah 80.8 % (Chen et al., 2010), dan

di dalam 100 gram talas kukus 17,0 % (Raguparan et al., 2008). Hasil penelitian

ini juga didukung oleh penelitian Zhou Y et al., (2014) yang membandingkan

karakterisasi struktur dan efek hypoglikemi pada pati modifikasi dari pati beras

indican. Beras indican akan di lakukan proses modifikasi secara fisik dan enzim

modifikasi sehingga beras mengandung 47% pati resistensi. Pada pemberian pati

beras indican di dapatkan pengaruh pada berat badan, gula darah, dan lipid serum.

Pengaruh pati resistensi terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tabel

Page 9: BAB IV

4.4 juga di dukung oleh penelitian Lobley et al., (2013) tentang konsumsi pati

resistensi dalam jangka waktu yang pendek terhadap peningkatan insulin sensitifitas

posprandial pada subjek yang sehat. Pada penelitian ini 10 subjek sehat melakukan

diet tinggi pati resistensi selama 24 jam dan diet rendah pati resistensi selama 24 jam

sebelum penelitian. Basal diet menggunakan makanan yang memiliki nilai nutrisi

yaitu 33% energi dari lemak, 24% dari protein, dan 42% dari karbohidrat. Untuk diet

tinggi pati resistensi mengkonsumsi basal diet ditambah 100 g pati jagung tinggi

amilosa (60 g RS, 40% pati cepat cerna), sedangkan untuk diet rendah pati resistensi

mengkonsumsi basal diet ditambah 40 g tepung jagung (40% pati cepat cerna). Pada

diet tinggi pati resistensi di dapatkan peningkatan sensitifitas insulin jaringan,

pembersihan insulin di hati dan metabolisme asam lemak.

Penelitian Ou et al., (2001) dan Okoniewska dan Witwer (2007) tentang pati

resistensi menunjukkan kandungan pati resisten pada berbagai jenis makanan

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah melalui tiga mekanisme yaitu

penghambatan aktivitas enzim α-amilase yang fungsinya mengubah pati menjadi

glukosa, meningkatkan visikositas di usus halus sehingga menghambat penyerapan

glukosa dan peningkatan produksi asam lemak rantai pendek yaitu asam lemak

propianat yang dihasilkan oleh bakteri anaerob di usus besar. Penelitian Febrine et

al tentang nilai index glikemik dan kadar gizi mie gandum (Triticum aestivum)

utuh varian dewata, menunjukan mie yang di tambah gandum utuh memiliki nilai

index glikemik lebih rendah dibandingkan mie yang berasal dari tepung terigu, hal

ini di sebapkan tingginya pati resistensi dan amilosa pada mie yang menggunakan

tepung gandum utuh. Ratnaningsih, (2010) menjelaskan daya cerna pati

dipengaruhi oleh kadar amilosa, amilopektin, protein, lemak, serat, dan peroses

pengolahan.

Tabel 4.5 tentang uji Shapiro-Wilk menujukan hasil signifikansi >0,05 hal ini

menujukan sebaran data normal sedangkan tabel 4.6 menunjukkan hasil analisis

uji varian diperoleh nilai p = 0,409 (p≤0,05) berarti terdapat data varian sama, karna

Page 10: BAB IV

terdapat sebaran data normal dan varian sama maka dapat dilanjutkan dengan uji one way

anova. Tabel 4.7 tentang uji one way anova menunjukan nilai signifikansi 0,000 (<0,05)

yang menunjukan untuk perlakuan1, perlakuan 2, dan perlakuan 3 memiliki memiliki

perbedaan selisih kadar glukosa darah postprandial pada ke tiga kelompok perlakuan.

Tabel 4.8 menunjukkan hasil uji Post Hoc Test-LSD antara 3 kelompok

perlakuan. Pada tabel tersebut terlihat nilai p 0,000 pada setiap kelompok yang

dimana apa bila pada uji one way anova terdapat nilai bandingkan ≤0,05, hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna nilai kadar glukosa darah antara

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 2 dan kelompok perlakuan 3.

Menurut peneliti terdapat perbedaan selisih kadar glukosa darah pada tabel 4.7 dan

4.8 dipengaruhi oleh kandungan pati resistensi, cara pengolahan bahan makanan, dan

kandungan amilosa. Amilopektin dan amilosa pada masing-masing perlakuan memiliki

kandungan yang berbeda-beda dimana pada Ubi kayu mengandung 83% amilopektin

dan 17% amilosa, sedangkan talas Bogor mengandung 79% amilopektin dan

21% amilosa (Kusnandar, 2007). Amilosa merupakan fraksi terlarut yang merupakan

polimer rantai lurus glukosa sedangkan amilopektin ada polimer gula rantai sederhana.

Amilosa merupakan polimer glukosa yang tidak bercabang dengan struktur kristal yang

lebih dominan sedangkan amilopektin memiliki struktur yang rapuh, karna sifat

cristalnya ini menyebapkan peroses pencernaan amilosa lebih lambat. Amilosa juga

memiliki ikatan hidrogen yang kuat dibandingkan amilopektin sehingga akan susah

dicerna oleh enzim pencernaan (Behall dan Hallfrisch 2002).

Pengaruh amilosa terhadap kadar glukosa darah juga di tegaskan oleh

penelitian Indrasari et al., (2008) tentang pengaruh kadar amilosa pada beras

terhadap nilai index glikemik, dimana beras yang memiliki kadar amilosa yang

rendah (<20%) memiliki index glikemik (IG) yang tinggi, sedangkan yang memiliki

kadar amilosa tinggi (>25%) memiliki IG yang rendah. Frei et al., (2003)

menunjukan beras yang memiliki kadar amilosa yang tinggi dapat memperlambat

pencernaan pati sehingga memiliki nilai IG yang rendah serta amilosa yang tinggi

Page 11: BAB IV

berpengaruh terhadapa glukosa darah yang rendah. Penelitian frei di pertegas lagi

dengan penelitian Willet et al., (2002), karbonhidrat yang diserap secara lambat akan

menghasilkan puncak kadar glukosa darah yang rendah dan berpotensi dalam

mengendalikan daya cerna pati yang dipengaruhi oleh amilosa.

Selain kadar pati resistensi dan amilosa amilopektin ternyata pengolahan pada

makanan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar

glukosa darah, di mana proses pengolahan makanan dapat menyebapkan amilosa

mengalami proses retrogasi menjadi gelatin. Kadar amilosa yang tinggi di

bandingkan amilopektin berpengaruh terhadap rendahnya index glikemik makanan.

Proses pengolahan pada Ubi kayu dan talas Bogor di penelitian ini juga

menjadi salah satu faktor yang menentukan indeks glikemik makanan tersebut.

Pada makanan yang mengandung pati dalam bentuk makanan basah memiliki

jumlahn amilosa yang tinggi di bandingkan makanan yang kering hal ini

disebapkan proses gelatinisasi pada pati yang terkena air yang menyebapkan

struktur amilosa akan melemah dan membentuk gelatin (Suardi, 2002).

Penelitian Gerald et al., (2013) yang menghubungkan pengaruh jangka pendek

melakukan diet tinggi pati resistensi (RS) atau non-starch polysaccharidae(NSP)

dengan penurunan berat badan sedang pada index sensitifitas insulin pada subjek

yang mengalamin gangguan metabolisme, sangat mendukung hipotesis penelitian

tentang manfaat dari pati resistensi dimana, pada penelitian ini laki-laki dan

perempuan yang obesitas akan di lakukan pemberian energi secara teratur selama 1

minggu yang mengandung 27g NSP dan 5g RS . Setelah itu akan di lanjutkan dengan

intervensi selama 3 minggu dengan menjalankan diet tinggi NSP (42g NSP dan 2,5 g

Rs) atau diet tinggi RS (16 g NSP dan 25 g RS), penelitian ini menunjukan hasil

dimana yang melakukan diet tinggi RS memiliki sensitifitas insulin yang lebih

tinggi di bandingkan diet tinggi NSP. Penelitian ini juga membahas waktu yang di

butuhkan RS agar terjadi fermentasi di tubuh yaitu 3-4 hari yang berarti efek

peningkatan sensitifitas insulin akan meningkat mulai 3 hari dan akan meningkat

Page 12: BAB IV

maksimal pada 3 minggu perlakuan diet tinggi RS, tetapi pada penelitian peneliti

waktu yang digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah hanya satu hari.

Kelemahan pada penelitian ini adalah subjek penelitian yang kurang patuh

saat diminta untuk berpuasa. Subjek seringkali lupa dan pada akhirnya harus

mengulang berpuasa kembali keesokan harinya. Penggunaan dua glucometer (Accu-

chek Active® Alat monitor gula darah) juga menyebabkan pengukuran kadar

glukosa darah yang dilakukan secara duplo memiliki hasil yang berbeda sehingga

hasil pengukuran dilakukan rawan bias. Pengukuran glukosa darah pada sampel

yang di lakukan hanya pada menit ke 30 dimana seharusnya dilakukan pengkuruan

di menit 30, 60, dan 90.

Page 13: BAB IV

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Peningkatan kadar glukosa darah postprandial pada kelompok yang

mengonsumi Ubi kayu rebus (Manihot esculenta crantz) dan kelompok yang

mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih

rendah daripada kelompok kontrol yang mengonsumsi nasi putih.

2. Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang

mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih

rendah daripada kelompok Ubi kayu rebus (Manihot esculenta crantz)

3. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa Ubi kayu rebus

dan talas Bogor kukus dapat menjadi sumber pangan alternatif pengganti

nasi putih untuk penderita diabetes melitus namun talas Bogor kukus

merupakan sumber pangan alternatif terpilih.

B. Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pati resisten terhadap efeknya pada

penurunan kadar glukosa darah postprandial dengan cara mengekstrak pati

resistennya.

2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai cara pengolahan terhadap kadar pati

resisten dan kemampuannya dalam menurunkan kadar glukosa darah

postprandial.

3. Perlu dilakukan perbandingan dengan kelompok yang sudah mengalami

diabetes melitus untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih baik.

Page 14: BAB IV

4. Untuk penelitian selanjutnya baiknya menggunakan subjek yang memiliki

kepatuhan tinggi.

5. Untuk pengambilan data kadar glukosa darah sebaiknya di lakukan sebanyak

3 kali yaitu pada menit ke 30, 60, 90.