bab iii teknologi lidar dalam pekerjaan eksplorasi tambang ... · pdf file48 bab iii teknologi...
TRANSCRIPT
48
BAB III
TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI
TAMBANG BATUBARA
3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi
Tambang Batubara
Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB I Dasar Teori sebelumnya, bahwa dalam
kegiatan eksplorasi di kawasan tambang batubara ini meliputi kegiatan pemetaan
topografi, pemetaan geologi dan pemboran. Hasil dari kegiatan pemetaan topografi
merupakan peta yang memiliki referensi tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan
kegiatan penambangan selanjutnya.
Penentuan lokasi untuk titik pengamatan dan/atau titik pengukuran, seperti lokasi
singkapan, lokasi contoh, lokasi sumur uji, lokasi pemboran dan sebagainya sangat
bergantung dari tahapan eksplorasi. Pada tahapan eksplorasi detail, lokasi singkapan,
sumur uji dan lainnya, ditentukan dengan menggunakan alat ukur (minimal T0) yang diikat
pada titik ikat terdekat yang sudah ada dan ditentukan dalam koordinat UTM. Lokasi
singkapan pada pemetaan geologi kemudian diplot pada peta dasar dengan skala minimal 1
: 5000 atau lebih besar.
Dari kegiatan eksplorasi ini, akan didapatkan hasil akhir berupa :
1) Peta lokasi/situasi skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000
2) Peta topografi skala 1 : 500 sampai 1 : 2.000
3) Peta kajian eksplorasi skala 1 : 2.000 sampai 1 : 10.000 (meliputi lokasi singkapan,
parit uji, pemboran, dan pengambilan contoh)
4) Peta geologi daerah skala 1 : 500 sampai 1 : 2000
5) Peta perhitungan cadangan skala 1 : 500 sampai 1 : 2000
6) Penampang geologi
7) Penampang sumur uji
8) Penampang bor, dll.
49
Peta geologi, singkapan, lokasi titik bor, sumur uji dan lainnya diperoleh dengan
melakukan pengeplotan di atas peta topografi (peta dasar) daerah tersebut. Dari skala yang
ada, dapat dilihat bahwa peta topografi dengan skala yang besar dan teliti sangat
dibutuhkan dalam kegiatan penambangan batubara khususnya dalam kegiatan eksplorasi.
Dengan skala yang besar juga berkaitan dengan interval kontur yang digunakan. Adapun
hubungan tersebut ditunjukkan sebagai berikut :
Interval kontur = 1/2000 x faktor skala peta [ Jawatan Topografi]
Untuk mendapatkan interval kontur dengan menggunakan ketentuan di atas, maka untuk
pemetaan terestrial akan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit jika
wilayah yang dipetakan sangat luas.
Selain itu, peta topografi dengan ketelitian yang tinggi sangat diperlukan dalam kegiatan
eksplorasi tambang batubara ini. Dalam skripsi ini, akan dibahas beberapa contoh kasus
yang berkaitan dengan kebutuhan informasi tinggi dalam kegiatan eksplorasi antara lain
dalam hal perhitungan cadangan batubara dan perencanaan kedalaman lubang bor untuk
kegiatan eksplorasi detil. Namun, dalam praktek kegiatan penambangan batubara sering
ditemukan masalah peta topografi yang tidak merepresentasikan kondisi topografi di
lapangan.
Gambar 3.1 Peta Topografi Tidak Menggambarkan Kondisi Topografi Di Lapangan
50
1) Perhitungan Cadangan Batubara
Untuk mengetahui apakah batubara di suatu area layak atau tidak untuk ditambang, maka
ada beberapa parameter yang harus diperhitungkan, antara lain yaitu stripping ratio,
kualitas dan kuantitas dari batubara tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dasar
teori bahwa batubara layak ditambang jika kualitas dan kuantitas dapat memenuhi
permintaan, stripping ratio berkisar antara 1:3 hingga 1:20, jika lebih dari itu maka
cadangan yang ada tidak layak untuk ditambang. Stripping ratio merupakan perbandingan
antara batubara dan overburden (lapisan penutup batubara). Yang sering menjadi
permasalah dalam perhitungan cadangan batubara ini adalah perhitungan striping ratio
yang tidak tepat. Pada perhitungan ini, digunakan suatu software tertentu, dimana untuk
penentuan volume overburden dan seam batubara tersebut menggunakan batas atas (peta
topografi yang ada) dan batas bawah (berdasarkan hasil survey geologi). Jika peta
topografi yang ada merupakan representasi dari keadaan topografi di lapangan (ilustrasi
pada gambar 3.2), maka tidak 50ka nada masalah dalam perhitungan striping ratio ini.
Namun, jika peta topografi yang digunakan tidak merepresentasikan kondisi topografi
yang sebenarnya di lapangan, maka hal ini akan mengakibatkan masalah dalam
perhitungan cadangan batubara. Seperti yang diilustrasikan pada gambar 3.3) dimana peta
topografi yang digunakan berada di atas (lebih tinggi) dari keadaan topografi yang
sebenarnya di lapangan. Dalam perhitungan di software dikatakan bahwa cadangan
tersebut layak untuk ditambang, tapi kenyataannya di lapangan tidak demikian. Dan
sebaliknya (ilustrasi pada gambar 3.4). Hal ini akan berkaitan langsung dengan rencana
waktu, biaya dan tenaga yang dibutuhkan untuk kegiatan eksplorasi lanjut.
Gambar 3.2 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Benar
51
Gambar 3.3 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Tinggi dari
Ketinggian Topografi yang Sebenarnya)
Gambar 3.4 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Rendah dari
Ketinggian Topografi yang Sebenarnya )
52
2) Perencanaan Kedalaman Lubang Bor
Dalam perencanaan lubang bor, juga sama halnya dengan perhitungan cadangan batubara.
Dengan menggunakan software untuk menentukan kedalaman lubang bor rencana, juga
memanfaatkan peta topografi sebagai batas atas dari pemodelan tersebut. Jika peta
topografi yang ada menggambarkan kondisi topografi dilapangan secara benar, maka tidak
akan ada masalah dalam perencanaan kedalaman lubang bor. Akan tetapi, jika yang terjadi
adalah seperti gambar 3.5) dimana batas atas yang digunakan berada lebih tinggi dari
topografi di lapangan (ilustrasi gambar 3.6), maka kedalaman lubang bor yang
direncanakan harus dapat menembus seam batubara. Akan tetapi, yang terjadi setelah
diterapkan dilapangan, kedalaman lubang bor yang direncakan menjadi berlebihan
(ilustrasi gambar 3.7). Demikian juga sebaliknya, jika batas atas yang digunakan
ketinggiannya lebih rendah dibandingkan ketinggian topografi yang sebenarnya di
lapangan (ilustrasi gambar 3.8), maka setelah diterapkan di lapangan, lubang bor yang
direncanakan tidak menembus lapisan batubara (ilustrasi pada gambar 3.9). Hal ini
mengakibatkan informasi geologi yang diperoleh tidak lengkap. Perencanaan kedalaman
lubang bor ini menentukan estimasi dalam penentuan alat bor, metode pemboran, biaya,
tenaga dan waktu yang diperlukan. Semakin dalam kedalaman dari lubang bor tersebut,
maka semakin mahal biaya yang dibutuhkan, selain itu juga memerlukan waktu dan tenaga
yang tidak sedikit.
Gambar 3.5 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Benar
53
Gambar 3.6 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Tinggi dari
Ketinggian Topografi yang Sebenarnya )
Gambar 3.7 Kedalaman Lubang Bor Rencana Menjadi Berlebihan
54
Gambar 3.8 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Rendah dari
Ketinggian Topografi yang Sebenarnya )
Gambar 3.9 Kedalaman Lubang Bor Rencana Tidak Menembus Seam Batubara
55
3.2 Aplikasi Teknologi LIDAR dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa peta dengan informasi tinggi yang
teliti sangat dibutuhkan dalam pekerjaan eksplorasi tambang batubara. Khususnya dalam
perhitungan cadangan dan estimasi kedalaman lubang bor rencana. Hal ini sering menjadi
permasalahan dalam pekerjaan eksplorasi tambang batubara. Dimana peta topografi yang
digunakan memiliki informasi ketinggian yang kurang tepat.
Teknologi LIDAR merupakan teknologi yang mampu mengatasi masalah di atas. LIDAR
mampu memetakan wilayah yang relatif luas dalam waktu singkat dan biaya yang relatif
murah. Selain itu, ketelitian yang tinggi untuk informasi ketinggian juga dapat diperoleh
dengan teknologi LIDAR ini. Dalam aplikasi pemetaan, LIDAR diintegrasikan dengan
ortofoto. Sehingga dalam skripsi ini juga dilengkapi dengan beberapa penjelasan mengenai
ortofoto tersebut. Adapun fungsi dari ortofoto di sini adalah untuk memperoleh informasi
planimetrik dan untuk memudahkan dalam penginterpretasian objek-objek yang ada di
permukaan bumi. Selain itu juga digunakan untuk proses penurunan peta garis. Berikut ini
akan dijelaskan kemampuan LIDAR dalam memperoleh informasi tinggi yang teliti dalam
pembuatan peta.
Gambar 3.10 Kemampuan LIDAR dalam Pengukuran Multiple Retur [lidar.com,
2009]
56
Gambar di atas menunjukkan kemampuan sensor LIDAR dalam hal pengukuran multiple
return. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari objek atau vegetasi yang
menutupi permukaan tanah. Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak hanya
mengenai permukaan tanah tapi juga mengenai objek-objek yang ada di atas permukaan
tanah. Masing-masing pantulan yang dihasilkan diukur intensitasnya, sehingga diperoleh
gambaran atau bentuk dari objek yang menutupi permukaan tanah tersebut. Pantulan
pertama akan mengukur jarak dari objek pertama yang ditemui, contohnya pohon.
Pantulan terakhir akan mengukur jarak objek terakhir, contohnya tanah. Dengan
memperhatikan data pertama dan terakhir secara simultan, maka akan diperoleh tinggi
pohon dan topografi permukaan tanah. Multiple return biasanya diaplikasikan untuk
daerah-daerah yang vegetasinya sangat padat.
Selain itu, LIDAR juga mampu menghasilkan data dengan interval antar titik yang sangat
rapat. Untuk vegetasi yang rapat dan jika model topografi tanah merupakan produk akhir
yang diinginkan, maka harus menggunaan sistem yang memiliki kemampuan seperti
kecepatan dalam melakukan penyiaman yang tinggi, kecepatan terbang yang rendah, dan
sudut pancar yang kecil. Kesemuanya berfungsi untuk menghasilkan spasi titik yang rapat
dan memungkinkan pulsa sampai ke tanah.
Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan pemetaan topografi wilayah penambangan
batubara skala besar (1:1000 sampai 1:2500), dengan luas wilayah ± 10.000 Ha sampai
dengan 15.000 Ha.
Tabel 3.1 Perbandingan pemetaan Terestrial, Fotogrametri dan LIDAR
Terestrial Fotogrametri LIDAR
Luas Area
Efektif Relatif kecil (<1000 Ha)
Relatif Luas
(>1000Ha)
Relatif Luas
(>1000Ha)
Ketelitian
Planimetrik
Relatif Tinggi
(0.3 x faktor skala peta) Relatif Tinggi
Relaif Kurang
(0.2-1 m)
Ketelitian
Tinggi
Relatif Tinggi
(Faktor skala peta/2000) Relatif Sedang
Relatif Tinggi
(10-15 cm)
Kecepatan
Proses Relatif Lama Relatif Sedang Relatif Cepat
Biaya Mahal Murah Relatif Murah
57
Jumlah
Informasi
Terbatas pada objek yang
diukur
Sebanyak yang
mampu
diinterpretasikan
dari foto yang ada
Sebanyak yang
mampu
diinterpretasikan
dari foto yang ada
Berdasarkan tabel di atas, untuk area penambangan batubara dengan luas daerah lebih dari
1000 Ha, maka pemetaan dengan metode terestris sangat efektif. Sehingga metode
fotogrametri dan LIDAR merupakan salah satu alternative pemetaan untuk cakupan area
yang luas. Akan tetapi, jika produk akhir yang diharapkan berupa peta topografi dengan
ketelitian tinggi yang bagus, maka pemetaan dengan metode fotogrametri tidak tepat
diterapkan untuk area dengan tutupan lahan berupa hutan. Karena untuk mendapatkan
informasi ketinggian dari metode fotogrametri, diperlukan sepasang sinar dari dua foto
yang bertampalan (ilustrasi pada gambar di bawah ini).
Gambar 3.11 Metode Fotogrametri Efektif Untuk Wilayah yang tidak Tertutup Pepohonan
Gambar 3.12 Tinggi yang Diperoleh dari Fotogrametri Bukan Tinggi Topografi yang
Sebenarnya
58
Sedangkan dengan teknologi LIDAR sangat tepat jika diterapkan untuk area penambangan
yang didominasi pepohonan. Karena LIDAR memiliki kemampuan penetrasi (melewati
celah-celah pepohonan) yang sangat baik dan multiple return. Dengan kemampuan sinar
laser untuk melakukan pentrasi tersebut, maka informasi topografi permukaan tanah akan
dapat diperoleh. Seperti ilustrasi pada gambar 3.13) berikut ini.
Gambar 3.13 Metode LIDAR Sangat Efektif Untuk Wilayah yang Tertutup Pepohonan
Berikut ini akan dijelaskan mengenai perolehan informasi planimetrik dari pemetaan
dengan menggunakan metode fotogrametri dan tinggi dengan menggunakan LIDAR.
3.2.1 DTM LIDAR dan fotoudara
Ada beberapa definisi DTM yang dapat diperoleh dari literatur-literatur yang ada. Salah
satu diantaranya LINKWITZ (1970), dikutip dari Budiana, 1982 memberikan definisi
sebagai berikut :
“Digital Terrain Model adalah suatu sistem pembentukan model permukaan tanah yang
terdiri dari dua bagian, yaitu :
1) Pengambilan data terhadap titik yang dapat mewakili keseluruhan bentuk terrain,
kemudian data tersebut disimpan pada memori Komputer, dan
2) Rangkaian pekerjaan interpolasi titik-titik yang baru dari hasil pengumpulan data tadi.”
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa teknik DTM terdiri dari dua tahapan, yaitu :
1) Pengumpulan parameter-parameter posisi (X,Y,Z) dari titik-titik yang dapat dianggap
mewakili keseluruhan terrain ke dalam suatu komputer.
59
2) Pekerjaan komputer untuk menghasilkan informasi dari hasil pengumpulan data-data
tadi.
Untuk wilayah yang ditutupi oleh vegetasi yang sangat lebat, akan sangat sulit untuk
mendapatkan DTM dengan ketelitian yang tinggi pada daerah yang dilingkupi oleh hutan
jika menggunakan metode fotogrametri. Karena, suatu titik akan dapat diketahui
ketinggiann dengan menggunakan metode fotogrametri jika titik tersebut berada pada
minimal dua foto yang saling bertampalan. Sedang jika kondisi liputannya berupa hutan,
akan sangat sedikit titik ketinggian yang diperoleh pada satu model yang ada, bahkan
biasanya ketinggian yang diperoleh dengan metode fotogrametri ini untuk wilayah hutan
merupakan ketinggian dari pepohonan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan interval
kontur yang rapat dengan metode fotogrametri, perlu dilakukan interpolasi antar titik
ketinggian yang diperoleh dari digitasi ketinggian pada pengolahan foto udara. Akan
tetapi, interval ketinggian yang diperoleh dari hasil digitasi tersebut sangat besar, sehingga
hasil interpolasi antar titik yang dihasilkan kurang teliti.
Dengan berbagai kendala yang ada pada metode terrestrial, satelit, dan fotogrametri
tersebut, untuk wilayah tambang batubara yang membutuhkan peta topografi dengan
interval kontur yang rapat dan teliti, maka teknologi LIDAR merupakan salah satu
alternatif yang tepat untuk digunakan di wilayah pertambangan batubara. Ketelitian tinggi
suatu titik di permukaan bumi dapat diperoleh dengan teknologi ini dalam waktu yang
singkat dan biaya yang relatif lebih murah. Berikut ini diperlihatkan DTM yang diperoleh
dengan menggunakan metode fotogrametri dan LIDAR. DTM yang diperoleh dengan
fotogrametri tidak dapat memperlihatkan bentuk-bentuk relief permukaan topografi secara
menyeluruh. Akan tetapi, dengan menggunakan teknologi LIDAR, bentuk representasi
permukaan bumi, seperti lereng, patahan, cekungan dan sebagainya.dapat diperlihatkan
dengan jelas.
60
DTM Fotogrametri DTM LIDAR
Gambar 3.14 DTM LIDAR dan Fotogrametri
3.2.2 Planimetrik LIDAR dan Ortofoto
Untuk informasi planimetrik dan untuk keperluan pembuatan peta garis, maka yang baik
digunakan yaitu ortofoto. Karena dalam hal ini ada beberapa pertimbangan antara lain :
1) Ortofoto menggunakan proyeksi orthogonal, dimana efek kemiringan dan pergeseran
relief sudah dikoreksi (efek beda tinggi objek tidak dikoreksi). Sedangkan dalam
LIDAR, untuk koordinat planimetrik kurang teliti karena setiap titik data LIDAR
memiliki 7 parameter (ϕ,ω,κ,X,Y,Z,dan jarak). Hal ini akan mengakibatkan semakin
besarnya akumulasi kesalahan yang diakibatkan oleh IMU dan GPS. Sedangkan pada
ortofoto, dalam satu foto (terdapat mencapai ribuan titik planimetrik) hanya ada 7
parameter (ϕ,ω,κ,X,Y,Z,dan skala). Sehingga akumulasi kesalahan akibat kesalahan
alat IMU maupun GPS lebih sedikit dibandingkan dengan LIDAR.
2) Ortofoto yang didapat dari foto udara berwarna asli (contoh : foto pankromatik
berwarna), dalam hal ini menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik cahaya
tampak, sehingga foto udara yang dihasilkan menunjukkan warna yang sebenarnya dari
objek tersebut. Hal ini akan mempermudah dalam hal penginterpretasian objek yang
ada dipermukaan bumi. Jika dibandingkan dengan LIDAR dimana hasil ploting titik-
titik yang diperoleh bersifat monokromatik, sehingga lebih sulit dalam
penginterpretasian suatu objek.
61
Gambar 3.15 Ploting LIDAR dan Ortofoto[Karvak, 2009]
3.2 Perencanaan Pengambilan Data LIDAR dan Foto Udara
Pengambilan data LIDAR dan foto udara dilakukan secara bersamaan dengan
menggunakan wahana yang sama (misal : pesawat). Oleh karena itu, dalam perencanaan
harus memperhitungkan mengenai teknis pengambilan data LIDAR maupun foto udara.
Untuk perencanaan sebaran base station sebaiknya antara satu dengan yang lainnya
berada pada radius ≤ 20 km. Hal ini berkaitan dengan tingkat ketelitian data yang
dihasilkan, semakin jauh radius base stasion yang satu dengan yang lainnya maka semakin
tidak teliti data yang dihasilkan.
Adapun untuk perencanaan tinggi terbang dilakukan pada ketinggian yang memungkinkan
pesawat tidak berada di atas awan atau kabut tebal. Karena sensor LIDAR tidak dapat
menembus awan maupun kabut tebal tersebut. Selain itu, harus dilakukan pada kondisi
cuaca yang bagus (tidak ekstrim).
LIDAR memiliki angle field of view(AFOV) yaitu sudut pancar sensor dan kamera pada
metode fotogrametri juga memiliki angle field of view yang berbeda. Akan tetapi, untuk
besarnya angle field of view yang dimiliki oleh kamera sebaiknya sama besar atau lebih
besar dari angle field of view sensor LIDAR (gambar 3.16). Hal ini karena dalam
62
perencanaan jalur penerbangan mengikuti jalur penerbangan LIDAR, sehingga jika AFOV
dari kamera lebih kecil dibandingkan dengan LIDAR maka aka nada area yang tidak
terpotret (ilustrasi pada gambar 3.17). Hal ini mengakibatkan informasi yang didapat
kurang.
Gambar 3.16 Angle Field of View dari Kamera Sama Besar atau Lebih Besar dari Angle
Field of View sensor LIDAR
Gambar 3.17 Jalur Penerbangan untuk Pengambilan Data LIDAR dan Foto Udara
3.3 Integrasi LIDAR dan Fotogrametri untuk Kebutuhan Kegiatan Eksplorasi
Tambang Batubara
Dengan memanfaatkan informasi planimetrik yang diperoleh dengan menggunakan
fotogrametri dan informasi ketinggian dengan menggunakan LIDAR, maka peta topografi
dengan ketelitian planimetrik dan tinggi yang baik akan dapat diperoleh. Informasi
63
planimetrik dari fotogrametri diperoleh dari orto foto yang telah dikoreksi dengan
melakukan orthorectifikasi. Dibawah ini adalah diagram pengolahan data untuk melakukan
integrasi antara LIDAR dan foto udara. Pada pengolahan data fotogrametri, biasanya
untuk mendapatkan kontur ketinggian peta garis maupun foto, maka perlu dilakukan
pendigitasian terhadap model yang ada. Akan tetapi, kali ini, kontur didapat dari turunan
data LIDAR (dengan menurunkannya dari DTM LIDAR) dan untuk planimetrik didapat
dari foto udara.
Diagram 3.1 Pengintegrasian Data LIDAR dan Foto Udara
Adapun flow chart pengolahan data dan pengintegrasian/penggabungan data LIDAR dan
foto udara dapat dilihat pada diagram di atas. Hasil akhir yang didapat dari sini yaitu
berupa peta garis (X,Y,Z) dan/atau peta foto yang berkontur.
3.4 Sistem Referensi LIDAR dan Fotogrametri
Dalam kegiatan penambangan batubara, peta topografi yang digunakan merupakan peta
yang memiliki arti fisik dipermukaan bumi, khususnya untuk tinggi yang digunakan yaitu
64
tinggi orthometrik dimana bidang acuannya adalah geoid atau MSL (Mean Sea Level).
Pemetaan topografi dengan menggunakan LIDAR dan foto udara, tinggi yang diperoleh
merupakan tinggi terhadap ellipsoid WGS 1984 (koordinat titik kontrol berdasarkan
pengukuran GPS diferensial). Sehingga untuk memperoleh tinggi terhadap geoid (dalam
praktis didekati dengan Mean Sea Level (MSL), diperlukan model datum global (EGM 96)
atau dengan melakukan pengamatan pasut untuk memperoleh tinggi muka air laut rata-rata
(MSL).
Gambar 3.18 Hubungan antara Permukaan Bumi, Geoid (MSL), dan Ellipsoid
H = h - N
Dimana :
H = tinggi orthometrik,
h = tinggi geodetik,
N = Undulasi geoid
Geoid memiliki peran yang penting dalam berbagai hal seperti untuk keperluan aplikasi
geodesi, oseanografi, dan geofisika. Contoh untuk bidang ilmu geodesi yaitu penggunaan
teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis
seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan infomasi geoid teliti. Hal Ini
disebabkan karena tinggi GPS bersifat geometrik.