bab iii pengaruh persia bagi masyarakat yehuda...

23
1 BAB III PENGARUH PERSIA BAGI MASYARAKAT YEHUDA DALAM EZRA 9-10 Teks Ezra 9-10 merupakan bagian cerita yang berhubungan erat dengan kehidupan orang Israel di Babylonia, yang harus berhadapan dengan bermacam-macam latar belakang sosial-politik, budaya dan ekonomi dalam kurun waktun beberapa abad. Oleh sebab itu penulis merasa penting untuk menjabarkan kehidupan masyarakat Israel di pembuangan, serta bagaimana pengalaman itu dibawah dan digunakan di Yehuda ketika mereka diizinkan pulang oleh Kores raja Persia. Sumber P juga merupakan unsur penting yang mewarnai aturan-aturan yang digunakan oleh Ezra sebagai seorang Imam di periode pasca pembungan. Maka bab ini akan diawali dengan pembahasan pengaruh Persia bagi masyarakat Yehuda, kemudian dilanjutkan dengan latar belakang kitab Ezra, dan kemudian penulis akan melakukan tafsiran teks Ezra 9-10. A. PENGARUH PERSIA BAGI MASYARAKAT YEHUDA Menurut sejarah Babilonia, pada tahun 539 ZSB raja Koresh menaklukan Babylonia dan menjadikan Persia sebagai kota metropolis dari kerajaan yang luas serta memerintah sebagaian besar Timur Dekat Kuno bahkan sampai ke Mesir selama beberapa abad. Untuk mencapai tujuannya Koresh menempuh jalan yang panjang dan berliku, yang diawali dengan mengalahkan pmerintahan Mades tahun 550 SZB. Dengan demikian situasi di Timur Tengah mulai berubah, dimana Raja Koresh dari Persia mulai memperluas kerajaanya dengan cepat dan menduduki beberapa wilayah kerajaan Babel. 1 Setelah penaklukan Kekaisaran Babilonia dan bangsa-bangsa Asia Kecil, Persia menaklukan pula negara-negara yang berbeda dari 1 Leo G. Pardue and Warren Caerter, “The Persian Empire and the Colony of Judah” dalam Coleman A. Baker, ed., Israel and Empire A Postcolonial History of Israel anf Early Judaism (London: Bloosmbury, 2015), 107.

Upload: trinhhanh

Post on 30-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB III

PENGARUH PERSIA BAGI MASYARAKAT YEHUDA

DALAM EZRA 9-10

Teks Ezra 9-10 merupakan bagian cerita yang berhubungan erat dengan kehidupan

orang Israel di Babylonia, yang harus berhadapan dengan bermacam-macam latar belakang

sosial-politik, budaya dan ekonomi dalam kurun waktun beberapa abad. Oleh sebab itu

penulis merasa penting untuk menjabarkan kehidupan masyarakat Israel di pembuangan,

serta bagaimana pengalaman itu dibawah dan digunakan di Yehuda ketika mereka diizinkan

pulang oleh Kores raja Persia. Sumber P juga merupakan unsur penting yang mewarnai

aturan-aturan yang digunakan oleh Ezra sebagai seorang Imam di periode pasca pembungan.

Maka bab ini akan diawali dengan pembahasan pengaruh Persia bagi masyarakat Yehuda,

kemudian dilanjutkan dengan latar belakang kitab Ezra, dan kemudian penulis akan

melakukan tafsiran teks Ezra 9-10.

A. PENGARUH PERSIA BAGI MASYARAKAT YEHUDA

Menurut sejarah Babilonia, pada tahun 539 ZSB raja Koresh menaklukan Babylonia

dan menjadikan Persia sebagai kota metropolis dari kerajaan yang luas serta memerintah

sebagaian besar Timur Dekat Kuno bahkan sampai ke Mesir selama beberapa abad. Untuk

mencapai tujuannya Koresh menempuh jalan yang panjang dan berliku, yang diawali dengan

mengalahkan pmerintahan Mades tahun 550 SZB. Dengan demikian situasi di Timur Tengah

mulai berubah, dimana Raja Koresh dari Persia mulai memperluas kerajaanya dengan cepat

dan menduduki beberapa wilayah kerajaan Babel.1 Setelah penaklukan Kekaisaran Babilonia

dan bangsa-bangsa Asia Kecil, Persia menaklukan pula negara-negara yang berbeda dari

1 Leo G. Pardue and Warren Caerter, “The Persian Empire and the Colony of Judah” dalam Coleman

A. Baker, ed., Israel and Empire A Postcolonial History of Israel anf Early Judaism (London: Bloosmbury,

2015), 107.

2

kawasan Mediterania Timur. Sekitar tahun 530-522 SZB Cambayes II menaklukan sebagaian

besar Mesir. Dengan demikian Persia dapat memperluas kekuasaanya dari sebelah barat daya

sampai Asia dan diperluas sampai ke selatan Mesir, dan ketimur sampai ke sungai Indus,

sehingga besar kerajaan ini (lebih dari 3000km di sebelah timur-barat dan lebih dari 1500 km

dari utara ke selatan), dan membuatnya sebagai wilayah kekuassan terbesar disejarah dunia

untuk saat ini.2

Ketika Achaemendis datang membangun sistem provinsi yang diawasi oleh gubernur

Persia, dengan langkah besar yang ditempuhnya yaitu meberikan otonomi daerah/lokal untuk

suku-suku dan kerajaan yang setia melalui praktek potlitik, sosial dan tradisi agama mereka

sendiri.3 Dalam pemerintahan asing, mereka digambarkan sebagai penguasa yang toleran dan

lunak.

Menurut Gottwald, dengan membiarkan masyarakat lokal untuk melanjutkan lembaga

tradisional (sosial-budaya), ditambah dengan propaganda dari raja Persia yang dipilih oleh

Allah untuk memerintah serta mengambalikan orang-orang Yahudi ke Yerusalem

mengandung dua sudut pandang; pertama, orang Yahudi beranggapan bahwa keluarnya

mereka dari pembungan sebagai bentuk keperpihakan Yahweh bagi bangsa Yahudi. Kedua,

bagi raja Koresh; keputusan tersebut sebagai contoh dari kebijakan untuk memulihkan

predikat kolonial yang mampu tampil dengan politik yang bijaksana, sebagaimana yang

dibuktikan dalm versi Aram yang lebih netral.4

Pendapat yang berbeda datang dari ahli seperti Sayce, menurutnya pengalaman telah

mengajarkan Koresh tentang adanya bahaya yang mungkin terjadi ketika orang-orang yang

tidak puas untuk hidup di negara penakluk mereka. Selain itu ada kemungkinan

2 Pardue and Caerter, The Persian, 107-108

3 Pardue and Caerter, The Persian, 108.

4 Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible; A Social Literary Introduction (Philadelphia: Foortress

Press, 1987), 428

3

dikembalikannya orang-orang Yahudi dari pengasingan bertujuan untuk melindungi bagian

selatan–barat daerah kekuasannya dari ancaman Mesir. Bagi Sayce, dari pertimbangan ini

menunjukan bahwa ada kesadaran dari Koresh bahwa Allah yang menggunakannya untuk

pemunuhan janji-janji yang telah dibuat beberapa tahun sebelumnya untuk orang-orang

pilihan.5 Pendapat serupa berasal dari Gafney yang mengatakan bahwa Persia dalam konteks

imperialisme dipandang sebagai agen yang digunakan oleh Allah Israel untuk menghukum

Babilonia, sehingga menyebabkan Israel mengalami “exodus atau peristiwa keluaran” dan

telah membebaskan Israel dari pembuangan.6

Dalam kekuasaan Achaemendis tidak adanya penekanan terhadap agama-agama lokal

selama mereka tidak menimbulkan kekacauan dalam kegiatan revolusioner. Tidak dapat

disangkal bahwa dengan adanya dukungan dari kuil-kuil lokal juga dapat memastikan

pengumpulan dan pembayaran pajak. Terlepas dari pemanfaatan dalam mencari keuntungan

politik dengan kebijakan „manusiawi‟ mereka, hal ini wajar untuk mengatakan bahwa

terciptanya hibriditas dari perubahan budaya Persia diakibatkan oleh kontak dengan orang

lain dan perubahan budaya kolonial merupakan akibat dari paparan tradisi asli lainnya,

menjadi gambaran terpenting dari periode pembuangan.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, para penguasa Persia menganggap diri mereka

sebagai orang-orang yang dipilih dewa dari bangsa-bangsa yang mereka takklukan untuk

menjadi pemimpin mereka. The Great King/raja besar adalah satu-satunya raja yang bisa

dipercaya yang berarti bahwa tidak ada raja yang lain selain the great king, maka sebab itu

hanya orang-orang tertentu yang disetujui oleh pemerintah Persia yang dapat bertindak

5 A. H. Sayce, To The Books Of Ezra, Nehemiah, and Esther (London: The Relegious Tract Society,

1889), 18-19. 6 Wilda Gafney, A Prophet-Terrorist (A) and An Imperial Sympathizer: An Empire-Critical,

Postcolonial Reading of the No’adyah/Nechemyah Conflict” BT 9.2 (Philadelphia: The Lutheran Theological

Seminary, 2011), 163-164.

4

mengatasnamakan raja Persia itu sendiri.7 Dalam pemahaman mereka the great king bukanlah

Tuhan, namun dipilih oleh dewa Ahura Mazda, cerita-cerita merupakan pengadopsian dari

tradisi Mesopotamia yang bertujuan untuk meligitimasi kekuasaan Persia. Penggunaan dan

pengerjaan ulang dari cerita Mesopotamia ke Persia menghasilkan simbolik baru, yakni

melegitimasi ikonografi. Salah satu contoh penting dari pengerjaan ulang tradisi adalah

tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan Darius I, komposisi tulisan Behistun mencakup

representatif tertulis dan visual tentang bangkitnya Darius dengan kekuasaan dan konsolidasi

kerajaannya. Citra Darius „berdiri‟ diatas penguasa lainnya menunjukan statusnya sebagai the

great king, legitimasi Ilahi Darius ditekankan dalam simbol dewa Ahura Mazda. Koresh juga

disebut sebagai salah satu cerita yang mengikuti genre sastra dari Mesopotamia. Koresh

menunjukan legitimasi Ilahi pertama, yang dapat dilihat dari agama Avesta.8

Sebagai bangsa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, Persia

terindikasi mengadopsi banyak kebiasaan masyarakat diwilayah tersebut. Kemudian mereka

juga tergabung dalam aspek adat dari Media, Assyria, Babylonia, dan Mesir. Sementara

banyak budaya Kekasairan menunjukan bahwa tidak ada upaya untuk memaksakan nilai-nilai

Persia pada orang-orang yang mereka taklukan. Ada beberapa indikasi pengaruh yang

mengarah pada hibridtas pernah berkembang dari bentuk Yehuda, seperti sastra, seni, dan

ideologi agama. Perubahan yang terjadi di mana tradisi budaya dari masa lampau Yehuda

yang selalu dirumuskan. Namun perubahan ini tidak hanya untuk alasan akomodasi, tetapi

juga termasuk dimensi subversi membongkar aturan Persia.9

7 Pardue and Caerter, The Persian, 111-1112.

8 Pardue and Caerter, The Persian, 113-114

9 Pardue and Caerter, The Persian, 114

5

Pengkolonisasian terhadap Yehud,10

termanifestasi dalam dominasi imperialisme

Persia terhadap kehidupan dan budaya Yehud serta penggunaan wilayah jajahan untuk

kepentingan-kepentingan Persia terkhususnya dalam hasil-hasil ekonomi dan militer.

Menurut Berquist, pengkolonialisasian ini dapat dijelaskan dalam istilah sosial sebagai sikap

ketergantungan mendominasi; atau yang dikenal dengan istilah “core atau hubungan antara

inti dan periphery atau pinggiran”.11

Dalam hal ini Berquist menyimpulkan bahwa,

kekaisaran Persia menggunakan provinsi-pronvinsi koloninya sebagai sumber tenaga kerja

lokal, sumber pajak dan pos militer. Dengan kata lain, proses pengkolonisasian ini berhasil

memperlakukan Yehud sebagai aset dalam memberikan penghasilan secara terus-menerus

bagi kehidupan kekasairan Persia; sebagai bentuk timbal baliknya kekasairan Persia turut

memperhatikan atau menunjang kelangsungan hidup dari koloninya.12

Kepemimpinan dalam komunitas Yahudi yang dipulihkan, dipecah menjadi bidang

sipil dan keagamaan; tanggung jawab masing-masing didelegasikan kepada gubernur dan

seorang imam kepala. Subdivisi administrasi utama dari Kekaisaran Persia adalah entitas

besar yang disebut protektorat (wilayah perlindungan), masing-masing dibagi lagi menjadi

provinsi. Yehuda jatuh dalam kesatrapan 'diluar sungai' yang termasuk seluruh Suriah dan

Palestina.13

Berdasarkan hubungan Persia dan Mayarakat Yehuda, kitab Ezra menghantarkan

pembaca untuk melihat peristiwa kembalinya orang-orang dari pembuangan, proses ini

berlangsung hampir satu abad lamanya. Peristiwa pembuangan dan kepulangan mereka ke

10

Dengan ditaklukannya seluruh wilayah Timur Dekat kecuali Mesir oleh Persia, maka tanah dan

orang yang pada awalnya dikenal sebagai Yehuda kemudian dikenal sebagai Yehud – bagian dari kekaisaran

Persia. 11

Jhon L. Berquist, “Psalm, Postcolonialism, and the Construction of the Self” dalam Jon L. Berquist,

Approaching Yehud: New Approaches to the Study of the Persian Period (Atlanta: Society of Biblical

Literature, 2007), 243-247 12

Jhon L. Berquist, Judaism in Persia’s Shadow: A Social and Historical Approach (Minneapolis:

Fortress, 1995), 195 13

Gottwald, The Hebrew Bible, 429-430

6

tanah kelahiranya di Israel, direpresentasikan melalaui perubahan mendasar dalam berbagai

pengalaman dan juga sebagai tantangan dalam mempertahanakan identitas etnik. Oleh karena

itu untuk bertahan hidup ditengah penduduk asing; perlu adanya penyesuian diri dengan

kehidupan yang baru. Sebagai upaya untuk mengambalikan unsur-unsur dari kehidupan

mereka yang hilang ketika pembuangan dan untuk mempertahankan identitas diri dari situasi

yang baru ini, maka yang diperlukan ialah rekonstruksi, atau bahkan penemuan kembali

identitas etnis mereka.

Menurut Gottwald, pemulihan Yehuda digambarkan terjadi dalam empat tahap, yang

masing-masing tahapnya dihubungkan dengan pemimpin Yahudi dari pembuangan yang

diutus ke Yehuda di bawah otoritas Persia, yakni:

1. Pemimpin misi dalam tahap ini ialah Sheshbazzar (Ezra 1), dikatakan sebagai

pangeran Yehuda „Judahite prince‟ yang mungkin disamakan dengan Shenazzar yang

diperhitungkan ke dalam garis Daud (1 Taw 1:5-11; 5:13-15). Adanya keraguan

tentang misi dalam tahap ini, apakah pembangunan Bait Allah adalah bagian dari misi

ini. Sheshbazzar tidak dikirim sebagai „gubernur‟ untuk provinsi tersebut tetapi

sebagai „kepala tim investigasi‟ untuk mengumpulkan informasi, mungkin dengan

biaya yang terbatas untuk memulai permurnian kultus.14

2. Misi Zerubabel dan Yosua di 520 SZB Dengan kematian penerus Cyrus Cambyses,

pemberontakan besar mengguncang Kekaisaran Persia. Sebagai bagian dari upaya

untuk menenangkan kerajaan, Darius memutuskan untuk meluncurkan drive lebih

serius untuk rekolonisasi Yehuda. Rombongan yang paling besar kembali ke

Yerusalem dipimpin oleh Zerubbabel dan Yosua ditahun 320 SZB.15

Zerubbabel

diangkat sebagai komisaris sipil dan Yosua sebagai kepala imigrasi. Orang-orang

14

Gottwald, The Hebrew Bible, 430 15

Gottwald, The Hebrew Bible, 430-431

7

yang kembali diverivikasi sebagai keturunan sejati dari orang buangan yang pertama.

Dengan kematian Koresh, terjadi pemberontakan besar yang mengguncang kerajaan

Persia. Sebagai usaha untuk menenangkan kerajaan, Darius memutuskan untuk

rekolonisasi Yehuda; seperti yang menonjol dalam militer dan politik yang strategis di

perbatasan dengan menggangu Mesir. Tujuan dari daftar silsilah orang-orang Yehuda;

ditafsirkan sebagai sensus Persia terhadap Yehuda. Sebagai daftar yang kembaliidan

berhak atas tanah atau sebagai legitimasi dari orang-orang yang berasal dari

komunitas kutus dan berwenang untuk mengambil bagian dalam pembangunan

kembali Bait Allah dan upacara kultus

3. Rombongan Nehemia kembali pada tahun 445-430 SZB yang diutus oleh raja

Artahsasta. Pengutusannya ke Yehuda sebagai Gubernur Provinsi dengan kekuatan

penuh untuk membentengi Yerusalem dan untuk menata kembali pola pemukiman

dan pemerintahan provinsi. Meskipum Bait Suci telah dibangun, namun Yerusalem

tidak kuat pertahannya dan tipis penduduknya. Dari sudut pandang Persia ini berarti

lemahnya pertahanan di barat, dan bagi orang Yahudi itu berarti masyarakat Yehuda

belum diperbaharui secara memadai dalam praktek keagamaan. Kemudian pada tahun

443, Nehemia dikembalikan ke Persia; mungkin setelah puncak dari reformasi

utamnya.

4. Rombongan ini kembali bersama-sama dengan Ezra pada tahun 458 SZB (Ezra:7-8) .

Ezra disebut sebagai Imam besar dan juru tulis (mungkin dapat dipahami sebagai

seketaris dalam pemerintahan Persia), ia melakukan perjalanan ke Yehuda dengan

sekitar lima ribu orang dari pembuangan, Ezra dalam misinya melahirkan komisi guna

menyelidiki kondisi internal di Yehuda dan menentukan bagaimana orang-orang

saling berhubungan dengan hukum agama. Ezra juga diberdayakan untuk menunjuk

hakim yang bertugas untuk menegakan hukum. Ukuran mengandaikan bahwa bentuk

8

hukum agama yang di bawah Ezra itu diputuskan oleh Persia sebagai hukum sipil

provinsi Yehuda.

Beberapa pendapat yang berbeda datang dari para ahli tentang kronologi Ezra dan

Nehemia. Penulis kelompok Tawarikh menyatakan bahwa Ezra datang ke Yerusalem pada

tahun ke tujuh masa pemerintahan Artahsasta, sendangkan Nehemia pada tahun ke 20.

Namun para ahli kesulitan untuk menentukan apakah raja Artahsasta zaman Ezra sama

dengan Arthasasta zaman Nehemia. Hipotesa yang lain menjelaskan bahwa Ezra datang

mendahului Nehemia; ada kemungkinan juga bahwa Ezra masih ada di Yehuda ketika

Nehemia melakuakan misinya di Yehuda. Menurut hipotesa itu ketika Nehemiah menjabat

sebagai Gubernur di tahun 445-430 SZB; dalam masa jabatannya yang pertama ini, Nehemia

berhasil membangun tembok Yerusalem namun keberhasilannya tidak mencakup semua

bidang seperti bidang material dan bidang keagamaan. Oleh karena alasan tersebut Nehemia

ditaraik dari Yerusalem, sekitar tahun 430 SZB Nehemia datang kemabali ke Yerusalem

bersama-sama dengan seorang imam dan ahli Taurat yang bernama Ezra. Dengan bantuan

Ezra inilah pembaruan agama dapat dijalankan. Tradisi Ezra dan Nehemia berasal dari

literatur yang berbeda dan kemudian berbaur menjadi satu (misi Nehemia dimasukan ke

dalam bagaian Ezra (Neh 8:9), dan kemudian Ezra menerobos ke dalam Nehemia (Neh

12:26)). Pada akhirnya berdasarkan beberapa hipotesa, para ahli berpendapat bahwa Ezra

datang ke Yerusalaem pada tahun 458 BCE dan Nehemia pada tahun 444 SZB.

1. Pembuangan dan Paska Pembuangan

Dari sudut pandang sejarah, sejarah Israel dalam kurun waktu 600 dan 400 SZB dapat

dikarakteristikkan oleh perubahan-perubahan dari periode pembuangan dan pulang dari

pembuangan. Pada awal abad ke-6, Yehuda kehilangan kemerdekaannya yang masih tersisa

di Yerusalem di tangan Babilonia, di mana kota dan Bait Allah dihancurkan. Untuk melihat

9

kehidupan Bangsa Israel di bawah kekuasaan Babilonia, penulis menggunakan pendekatan

dalam kitab Yerimia 40:1-2; 29:5-7. Tulisan Yerimia dipelihara dan ditransformasikan untuk

dipakai baik oleh mereka yang tinggal di Yerusalem maupun yang di buang ke Mesir dan di

Babilonia. Kitab Yerimia mencatat bahwa hanya sekitar 10% orang-orang Israel yang

dibuang ke Babilonia terkhususnya dari kelompok elite, dan 90% penduduk tetap tinggal di

Yerusalem sehinga ada perpindahan dari kota kembali ke desa-desa kecil. Kekuasan berpusat

pada para tuan tanah kecil dan kelas bawah yang tidak memiliki tanah yang tetap tinggal di

Yerusalem, ditandai dengan perubahan agricultural yang menempatkan kepemilikan tanah

dalam kekuasaan petani kecil. Hal ini juga berdampak pada perubahan sosial, ekonomi dan

kepemimpinan di Yerusalem.16

Dinamika bangsa Israel dipembuangan terlihat dari

terbentuknya dua kelompok di Babilonia, yakni mereka yang tinggal di wilayah pedesaan di

pembuangan dan bekerja dalam dunia pertanian, serta mereka yang tinggal di kota dan

bekerja di administrasi pemerintahan. Kelompok ini tetap memelihara tradisi Daud, ideology

raja beserta teologi Zion, yang adalah bentuk anti-Babilonia di bawah kepemimpinan

Yehoakin.17

Kitab Yeremia juga bergumul dengan masalah ketercabutan bangsa Israel dari tanah

asal mereka. Menurut Davidson Yeremia 29:5-7 merupakan surat yang ditulis Yeremia untuk

menyampaikan pesan bagi mereka yang di Babilonia. Tujuannya agar mereka dapat

melakukan penyesuaian terhadap situasi baru yang ditimbulkan akibat kekuasaan Babilonia.18

Ketercabutan mereka dari „rumah‟ menyebabkan mereka harus menciptakan rumah baru di

stituasi yang baru dan asing bagi mereka, yakni Babilonia. Surat Yeremia memberikan

pentunjuk tentang strategi untuk merekonstruksi rumah yang jauh dari tanah kelahiran

mereka. Surat Yeremia berfungsi sebagai mekanisme yang dibutuhkan oleh orang-orang yang

16

Stead Vernyl Davidson, Empire and Exile: Postcolonial Readings of the Book of Jeremiah, (New

York: T & T Clark Internasional, 2011), 91-97. 17

Davidson, Empire and Exile, 106-110 18

Davidson, Empire and Exile, 130.

10

terbuang untuk memilihara identitas mereka dan subjektivitas mereka ditangah konteks

diaspora.19

Dalam proses mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh keadaan tanpa negara,

orang-orang dipembuangn kembali pada sistem institusi kekeluargaan yang memegang peren

penting dalam mengisi kekosongan. Dalam situasi ini, peran perempuan dalam fungsi

reproduksi mempertajam bentuk penjajahan terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat

kolonia.20

Ketika Raja Persia mengalahkan Babilonia dan menaklukkan ibu kota kerajaan

mereka. Sejak saat itu, orang-orang Yehuda kembali menetap di Yerusalem dan mendirikan

kembali Bait Allah dan menyembah Yahweh sebagai satu-satunya Tuhan.21

Beberapa

gambaran yang muncul dalam periode pembuangan dan paska pembuangan: 22

1. Mitos tentang wilayah Israel yang kosong pada masa pembuangan.

2. Jarak waktu pulang dari pembuangan yang dicatat dalam Ezra 1-2 menggambarkan

adanya pemulangan awal dari pembuangan. Namun Baruch Halpern, dengan

mempertimbangkan bagian-bagian yang ditulis di dalam bahasa Aram sebagai yang

asli, mengatakan bahwa perintah Koresh pada tahun 539 sebenarnya terjadi pada

tahun 521 SZB. Tidak ada bukti Persia yang menunjuk pada kepulangan awal. Ada

pula yang mengatakan bahwa bukti arkeologi mungkin bisa menunjukkan bahwa

gelombang yang kembali ini bisa berlangsung selama 1 abad.

3. Otorisasi Imperial. Apakah Yudaisme muncul sebagai pembentukan kembali tradisi

Yahwestik lokal ataukah merupakan produk akhir dari hasil campur tangan kekaisaran

19

Davidson, Empire and Exile, 145-150. 20

Davidson, Empire and Exile, 170-171. 21

Bob Becking, “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introdunctory Remaks ”. Dalam

Bob Becking and Marjo C.A. Korpel, ed,. In The Crisis Of Israelite Religion – Transformation of Religious

Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. (Korpel. - Leiden ; Boston ; Köln : Brill, 1999), 1. 22

Becking, Continuity and, 2-3.

11

Persia pada masalah-masalah lokal seperti yang digambarkan di Ezra dan Nehemiah?

Debat yang terjadi condong pada kemungkinan yang kedua.

Menurut Becking, peralihan dari periode kerajaan ke periode Persia memicu adanya

pemahaman diri, „menjadi Israel‟ telah berubah menjadi „bagian bangsa Yudea‟, untuk

menjadi bagian dari sebuah keluarga Yahudi atau „menjadi anggota serikat, baik itu Yehud

atau Diaspora‟. Ketika situasi sosial, politik dan mental berubah memicu bentuk agama di

bawah tekanan. Agama menurut Clifford Geertz ialah sebuah sistem simbol yang berfungsi

untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, mengakar dan bertahan

lama di dalam diri manusia yang dilakukan dengan merumuskan konsep tatanan umum dan

kemudian membalut beragam konsep ini dengan sebuah aura kenyataan sehingga suasana

hati dan motivasi-motivasi ini dapat kelihatan seolah-lah merupakan suatu realita yang unik.

Ada kurang lebih empat cara orang menghadapi realita yang baru:23

1. Meninggalkan tradisi keagamaan dan memeluk cara pandang yang dimiliki oleh

kekuasaan Babilonia yang menaklukkan mereka.

2. Penekanan kembali pada adat istiadat, unsur-unsur Kanaan di dalam agama

Yahwistik.

3. Pengkonsentrasian pada Yahwisme di dalam bentuk yang ortodoks, ekslusif, dan

monoteistik,

4. Usaha untuk pembentukan kembali agama Yahwistik di dalam konteks sosial dan

politik.

Ezra-Nehemiah mereflesikan sebuah bentuk agama yang dapat dilabeli sebagai

fundamentalis. Yesaya kedua yang merupakan produk akhir dari tradisi Pentateuk dan DH

menulis kembali sejarah Israel Kuno di dalam bentuk kitab Tawarik. Keduanya merupakan

23

Becking, Continuity and, 3-4.

12

contoh proses kreatif pembentukan kembali tradisi. Sebelum jatuhnya Yerusalem oleh

Babilonia, agama di Yehuda dapat dikategorikan sebagai yang bersifat Yahwistik;

monoteistik, aniconic, dan terpusat pada satu tempat ibadah. Pada pertengahan abad ke-4

SZB, agama Yahudi didokumentasikan dengan baik. Ada dua unsur: Pertama, Yudaisme

tidak hanya memiliki satu karakter, Kedua, sulit untuk menentukan apakah keagamaan orang-

orang yang tinggal di Yehuda yang percaya pada Yahweh masih merupakan Yahwism atau

sudah menjadi Yudaisme. Keduanya harus dibedakan.24

Kekuasaan Persia berlangsung hampir kurang lebih 2 abad, berapa banyak kekayaan

dan sumber daya yang berhasil dikumpulkan. Darius, kaisar yang ketiga 522-486 mengubah

cara kepemimpinannya yaitu tidak terlalu fokus pada ekspansi militer melainkan pada jenis

yang kedua sehingga ia dikenal melalui inovasinya di dalam organisasi sosial dan

administrasi legal. Keterlibatan Darius di Yehuda dalam menetapkan gubernur, membiayai

pembangunan bait Allah yang berfungsi sebagai pusat keagamaan dan pusat administrasi

politik dan kemungkinan juga sebagai lumbung penampungan barang-barang yang akan

disetorkan kepada kekaisaran. Jadi Darius melihat Yehuda sebagai sumber dana jangka

panjang.25

Dengan kata lain, gubernur setempat dan pemerintahannya tidak hanya mewajibkan

membayar pajak dan upeti ke Persia pada jadwal yang ditetapkan, tetapi mereka juga

mengontrol Yehuda dan ideologinya sehingga mereka melihat adanya ideologi koloni dari

kekaisaran Persia. Agar Persia dapat terus memberlakukan agendanya maka ia membutuhkan

satu tatanan institusi yang kompleks yang dapat memelihara dan memberlakukan ideologi

kolonialisme melalui langkahlangkah utuk “dominasi, akomodasi dan perlawanan.26

24

Becking, Continuity and, 3-4. 25

Jhon L. Berquist, “Poscolonialism and Imperial Motivies of Canonization,” dalam R. S.

Sugirtharajah, ed., The Postcolonial Biblical Reader (USA: Oxford, 2006), 78-79 26

Berquist, Poscolonialism and, 80-81.

13

Stategi Persia bagi bangsa jajahanya ialah, penggunaan bahasa yang sama yaitu Aram,

pembentukan birokrasi propinsi, penunjukkan orang-orang Persia untuk peran-peran di dalam

struktrur-struktur pemerintahan kolonial, kontrol militer diwilayah yang luas, pajak dan

pendistribuasian sumber daya, pengerahan berbagai orang di dalam pelayanan kekaisaran

(lokal maupun pusat), dan pemberian ideologi-ideologi ras dan etnis di dalam kekaisaran

dalam bentuk produksi dokumen-dokumen resmi dan sah.27

Masa Darius tidak tertarik untuk penstandarisasian bentuk ibadah seluruh kekaisaran,

memperkenalkan satu bahasa atau sistem koin, penyelarasan cara perkaian yang sama dan

juga keramik-keramik. Melainkan ia mengijinkan setiap koloni untuk menetapkan sistem

legalnya sendiri, sejarahnya dan tradisinya. Setiap dokumen harus melewati sensor

kekaisaran kemungkinan karna ditulis di bawah bimbingan juru tulis Persia. Seperti tubuh

sastra akan terdiri dari bahan narasi menjelaskan akar masyarakat Yehud dan membenarkan

statusnya sebagai koloni, serta bahan hukum yang menjelaskan bagaimana masyarakat harus

berfungsi. Albert Memmi mencatat bahwa imperialis membangun sebuah citra dari terjajah,

dan mereka menggunakan gambar ini sebagai pembenaran untuk aktivitas kolonial mereka

sendiri.28

B. Latar Belakang Kitab Ezra

1. Ezra Sebagai Representatif Imam

Guna untuk memahami siapa Ezra sebenarnya, penting untuk melihat bagaimana

fungsi dan peran para imam sebelum dan sesudah pembuangan. Pada periode pra-

pembuangan, Bait Suci adalah tempat beribadah, tempat menyimpan harta benda, pengadilan

dan arsip penyimpanan tulisan-tulisan penting., sehingga menjadikannya pusat kehidupan

bangsa dibawah kekuasan wangsa Daud. Kultusnya dipimpin oleh imam-imam yang

27

Berquist, Poscolonialism and, 81. 28

Berquist, Poscolonialism and, 82

14

mendapat dukungan penuh dari istana supaya dapat melaksanakan tugasnya sebagai

pemotong daging, pemohon kultus, para penulis, ahli hukum, hakim, pembina, nabi dan

prajurut. Dalam dunia biblikal, kultus dan hukum selalu dikombinasikan, dari kultus paling

kecil ke kultus paling besar , karena hukum dianggap sebagai penyataan Ilahi. Di Bait Suci,

atas nama para raja, para imam adalah penentu terkahir bagi kriteria-kriteria negara, norma,

peraturan, cara, hukuman, hal-hal ketabuan dan sanksi dalam bentuk tertulis. Semua inilah

yang membentuk taurat.29

Ketika Yerusalem jatuh ke tangan Babylonia dan Bait Allah yang dibangun Salomo

dihancurkan, terjadilah krisis identitas yang dialami orang Israel. Hal ini desebabkan

pemahaman mereka tentang Bait Allah sebagai tempat kediaman Yahweh dibumi. Timbul

pertanyaan dari bangsa Israel terkhususnya para imam sebagai pemimpin agama, apakah

Yahweh mereka kalah dari dewa bangsa Babylonia?. Pertanyaan ini mereka jawab dengan

mengatakan bahwa ini bukanlah bentuk kekalahan dari Yahweh, akan tetapi bangsa Israel

yang dihukum Yahweh akibat mereka tidak taat dan tidak melakukan perintah-peritah

Yahweh.30

Berdasarkan gambaran inilah ide-ide tentang kemurniaan menjadi sentral utama

dari para imam, yang bertujuan untuk menata kembali kehidupan mereka agar sesuai dengan

kehendak Yahweh.

Dalam konteks inilah peran para imam semakin menguat setelah Bait Allah II

dibangun. Sebagai pusat kegiatan bangsa Yahudi, baik secara politik, ekonomi, maupun

secara keagaaman, peran bait Allah semakin meningkat, maka meningkat pula peran para

imam. Imam-imam yang berperan pada masa Bait Allah II ialah imam-imam keturunan

Zadok. Pada masa inilah Keyahudian baru muncul, yang merupakan suatu campuran antara

29

Robert B. Coote dan David Robert Ord, Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimanan (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2011) 43-44 30

Jhon A. Titaley, “Kata Pengantar,” dalam Robert B. Coote & David R. Ord, Pada Mulanya:

Penciptaan & Sejarah Keimanan (Salatiga-Jakarta: Universitas Kristen Satya Wacana-BPK Gunung Mulia,

2011), xii

15

kehidupan keagamaan dengan kehidupan sosial politik dengan imam yang berperan secara

terpusat, menggantikan raja dalam kerajaan Yehuda sebelumnya.31

Dalam situasi seperti itu,

salah satu tema utama yang berkembang dalam kehidupan bangsa Yahudi adalah tema

eskatalogi.32

Tema eskatologi ini muncul dengan kuatnya dalam konsep kudus, bangsa

Yahudi haruslah kudus sama seperti Tuhan mereka yang kudus supaya terhindar dari

pengkhakiman hari akhir itu.

Sebagai seorang Imam, aturan-aturan yang digunakannya dipengaruhi oleh sumber P.

Sumber P (Priestly) adalah sumber terkahir dalam teori sumber yang terdapat dalam

Pentateukh. Sumber ini ditulis oleh para Imam pada waktu restorasi tahun 550-540 BCE.33

Maksud penulisan sumber P ialah untuk mengingatkan bangsa Israel bahwa merekalah

bangsa kudus Allah. Dalam kerangka ini sumber P sangat menekankan peranan kultus.

Dengan demikian tulisan-tulisan P banyak menyangkut aturan-aturan kebaktian dan semua

hal berhubungan dengan imamat. Puncak sumber P ini ialah tentang persekutuan perjanjian

antara Allah dan Nuh dan Abraham dengan sunat sebagai tanda; dan persekutuan perjanjian

antara Allah dan Musa (sebagai wakil bangsa Israel) dengan sunat sebagai tanda.34

Tema

eskatologi ini muncul dengan kuatnya dalam konsep kudus, bangsa Yahudi haruslah kudus

sama seperti Tuhan mereka yang kudus supaya terhindar dari pengkhakiman hari akhir itu.

Semua tema ini dimeteraikan oleh imam sumber P dalam cerita penciptaan dalam kitab

kejadian pasal 1. Cerita ini berupa penciptaan yang terjadi dalam waktu 6 hari itu dan

berhenti pada hari ketujuh dan menguduskannya. Kisah-kisah penciptaan memaparkan

peristiwa-peristiwa yang memainkan peran dalam kehidupan manusia sehari-hari,

rekonstruksi tentang penciptaan dilakukan oleh bangsa Israel ketika berada dalam

pembuangan. Sehingga cerita ini muncul bahwa Allah menciptakan manusia untuk

31

Titaley, Kata Pengantar, xiii 32

Jhon Bright, A History of Israel, Thirid Edition (Philadelphia: Westminster Press, 1981), 253-255. 33

Gottwald, The Hebrew, 139. 34

Robet B. Coote & Mary P. Coote, The Bible’s Historis (Philadelphia: Fortress Press, 1989), 8.

16

melakukan pekerjaan dan pelayanan didunia, khususnya di kultus untuk menggantikan kelas

dewa, narasi tentang penciptaan manusia sepertinya diadopsi dari cerita-cerita dari bangsa-

bangsa yang bersama Israel dibawah pemerintahan Persia. Semua tema ini dimeteraikan oleh

imam sumber P dalam cerita penciptaan dalam kitab kejadian pasal 1.

Cerita ini berupa penciptaan yang terjadi dalam waktu 6 hari itu dan berhenti pada

hari ketujuh dan menguduskannya. Kisah-kisah penciptaan memaparkan peristiwa-peristiwa

yang memainkan peran dalam kehidupan manusia sehari-hari, rekonstruksi tentang

penciptaan dilakukan oleh bangsa Israel ketika berada dalam pembuangan. Sehingga cerita

ini muncul bahwa Allah menciptakan manusia untuk melakukan pekerjaan dan pelayanan

didunia, khususnya di kultus untuk menggantikan kelas dewa, narasi tentang penciptaan

manusia sepertinya diadopsi dari cerita-cerita dari bangsa-bangsa yang bersama Israel

dibawah pemerintahan Persia. Misalkan cerita yang disajikan Babilonia tentang penciptaan

Esagila dan kultusnya yang diberikan nama menurut kedua kata pertamanya Enuma Elish.

Sebelum karya penciptaan, dunia berada dalam keadaan kacau balau, penciptaan sebagai

karya keimaman tertutama terdiri dari serangkaian perintah. Melalui tatanan pencipataan,

keseluruhan kosmos menunjukan kepatuhan namun saat dimana prinsip kepatuhan dilangar,

seperti saat seseorang berbuat dosa dalam komponen tertentu dari tatanan ciptaan harus

bekerja untuk mengatasi pelanggaran tersebut.35

Serangkaian tentang peciptaan ditandai juga

dengan kisah-kisah perjanjian Allah dengan Nuh, Abraham dan Musa dengan menggunakan

tanda sebagai lambang perjanjian.

1) Perjanjian Allah dengan Nuh dengan pelangi sebagai tanda (Kej 9)

Perjajian ini tidak hanya dengan nuh atau manusia, tetapi juga dengan segala yang

bernyawa, karena perjanjian itu menyangkut memakan „yang bernyawa‟ daging. Isu

yang mendasar dalam menentukan kemurnian adalah apakah makhluk dalam batas

35

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 50-61

17

tertentu „tercemar‟ dalam kaitannya dengan rana yang untuknya ia diciptakan

menurut tatanan dunia keimanan di dakalam Kejadian1. Makhluk-makhluk yang

termasuk lebih dari satu rana atau tidak sesuai dengan model untuk rana tertentu

adalah tersemar.ini berarti mereka menunjukan ciri-ciri ketidaktertiban. Dengan

kata lain ternoda, adalah masalah ketidaktertiban, tercampur dengan dengan ranah

yang bukan ranah mereka.36

Gerrits merampung pandangan para ahli dalam

menyikapi air bah, bahwa motivasi Ilahi bagi air bah adalah esensi kisah itu sendiri,

yang diubah oleh penulis PL menjadi sebuah perempamaan yang nilai moralnya

sangat tinggi, tentang penghukuman da pengampunan Allah yang menenggapi

sikap umatnya yang jahat, oleh sebab itu kisah ini menuntut tanggung jawab

manusia atas kejahatannya. Gerrits berpendapan bahwa mereka yang mati dalam

kisah air bah adalah orang-orang yang salah kedaden (cerita tentang anak-anak

Allah yang menikah dengan anak-anak manusia yang menghasilkan raksasa-

raksasa).37

2) Perjanjian Allah dengan Abraham dengan Sunat sebagai tanda (Kej 17)

Hak istimewa kaum keimanan dinyatakan dalam perjanjian kedua dalam tradisi

keimanan, perjanjian dengan Abraham, yang berkaitan dengan oragan-organ

reproduksi dengan lelehan darahnya. Tanda dari perjanjian kedua adalah sunat,

dimana organ reproduksi pria dibuat berdarah dalam sebuah prosedur dibahawa

kendali kaum pria. Sunat adalah sebuah ritual pengawasan, sebuah cara untuk

memastikan loyalitas anak laki-laki terhadap sukunya. Hak istimewa ini dalam

kaitannya dengan lelehan darah pada perempuan menetapkan prioritas serta hak

36

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 75-76. 37

Emanuel G. Singgih, Dari Eden ke Babel: Sebuah Tafsiran Kejadian 1-11 (Yogyakarta: Kanisius,

2011), 200-201

18

istimewa yang dapat dinikamati dengan kaum pria.38

Perempuan juga terlibat dalam

perjanjian Allah dengan Abraham, untuk memenuhi perintah untuk „beranak cucu

dan bertmabah banyak‟, dan demikian menjadikan perempuan itu najis.

3) Perjanjian Allah dengan Musa dengan Sabat sebagai tanda (Kel 6)

Konsep hari sabat merupakan kebiasaan yang digunakan di Babylonia ketika bangsa

Israel dalam masa pembuangan yang dirumuskan kembali oleh para imam. Dalam

pemahaman penulis keimanan, istilah sabat mungkin memiliki makna yang jauh

berbeda dengan makna yang dimaksud dalam Kejadian 1. Dalam konsep keimanan

hari sabat ialah hari ketujuh.39

Dilihat dari penjelasan diatas menunjukan bahwa dunia menurut sumber P, ialah

dunia yang penuh dengan keteraturan, seperti kisah penciptaan yang digunakan kaum Imam

dalam mengatur kosmos yang diakitkan dengan tanda-tanda sebagai perjajian Allah dengan

manusia. Timbul pertanyaan bahwa, mengapa sumber P menciptakan dunia seperti ini dan

apa yang melatar belakangi sumber P ?. Kemungkinannya ialah sumber P ditulis oleh imam-

imam yang ikut dalam pembuanagan di Babilonia, krisis identitas dan realitas pembuangan

memicu adanya upaya pengaturan kembali atau uapaya rekonstruksi identitas bangsa Israel.

2. Kitab Ezra

Kitab-kitab Perjanjian Lama dibagi atas tiga kelompok, yaitu kitab taurat (Kejadian,

Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan), kitab para nabi (Yosua, Hakim-hakim, Samuael,

Raja-raja, nabi-nabi terdahulu: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan 12 nabi kemudian), tulisan-

tulisan yang dikelompokan dalam tiga gulungan (gulungan puitis: Mazmur, Ayub, Amsal;

lima gulungan perayaan: Kidung Agung, Ruth, Ratapan, Pengkhotbah, Ester; Daniel, Ezra,

38

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 83-87 39

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 92

19

dan Nehemiah, Tawarikh yang lebih berbentuk nubuat dan sejarah).40

Penempatan kitab Ezra

pada urutan terakhir dari kumpulan ketubim ialah untuk membentuk mitra dalam

menyimbangkan buku-buku sejarah (Kejadian-Raja-raja) dimana awal tradisi ini

dikumpulkan. Maka dapat disimpulkan bahwa kelompok ketubim ini berisikan keberagaman

liturgi refleksi, sejarah dan dokumen-dokumen kenabian yang dikomposisikan sesudah

kejatuhan wangsa Daud.41

Menurut Charles Fensham, kitab Ezra-Nehemia merupakan suatu kesatuan dapat

dilihat dari tulisan-tulisan para rabi. Menarik bahwa dalam catatan Masoret; kitab Ezra tidak

ditempatkan setelah kitab Daniel dan sebelum kitab Nehemia serta kitab-kitab sejarah; hal

ini mungkin menunjukan bahwa Ezra-Nehemiah diterima dalam kanon sebelum Tawarikh.42

Dalam Alkitab Ibrani pembagian kitab Ezra dan Nehemiah dalam satu kitab, baru dilakukan

pada abad 15, dan tampaknya dilakukan oleh bapa gereja, seperti Oregenes.43

Tetapi oleh

bapa gereja lainnya seperti Jarome, dalam suratnya kepada Paulinus; kedua buku tersebut

disatukan dan disebut sebagai Kitab Nehemia. Menurut Sayce, walaupun kitab Ezra-Nehemia

berkaitan dengan periode sejarah yang sama dan mencakup batas tanah tertentu yang sama;

namun memiliki penulis yang berbeda. Masing-masing kitab memiliki gaya bahasa sendiri

dan berisi kata-kata atau ungkapan yang khas.44

Menurut Zuns, terdapat kemiripan yang juga berhubungan dengan kepenulisan antara

Kitab Ezra dan Kitab Tawarikh; berdasarkan empat argumen, yakni: variabel antara Ezra-

Tawarikh, adanya bukti dari 1 Esdras, kesamaan linguistik, dan persamaan ideologi. Variabel

antara Ezra-Tawarik, terlihat dengan adanya pengulangan dari 2 Tawarikh 26:22-13 dan

dalam Ezra 1:1-3a. Berdasarkan 1 Esdras, ditemukan adanya keperpihakan yang sama untuk

40

Robert B. Coote dan Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2004), 5. 41

Coote dan Coote, Kuasa, 6. 42

F. Charles Fensham, The New Internasional Commentary On The Old Testamens – The Books of

Ezra And Nehemiah (Michigin: Grand Rapids, 1983),1. 43

W.S Lasor. D.A. Hubbarad, Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 245. 44

Sayce, To The Books, 30-31.

20

daftar silsilah, serta keunggulan yang diberikan kepada orang-orang Lewi. Kemudian

berdasarkan linguistik dan ideologi ialah terdapat kesamaan pada setiap frasa anatara Ezra-

Tawarikh serta cara berfikir yang sama dalam memahami dosa-dosa Yahudi.45

Namun dalam

tesisnya di tahun 1832, Zuns merumuskan bahwa ke empat argument tersebut tidak dapat

dijelaskan oleh teori kepenulisan; sehingga Zuns mengusulkan bahwa Kitab Ezra-Tawarikh

harus diperlakukan sebagai pekerjaan independen Tawarikh dan bukan sebagai bagain karya

penulis kronik.46

Dalam pengutusannya Ezra dibebani dua bentuk tanggunag jawab yakni, tanggung

jawab keagamaan (untuk mengajarkan hukum Taurat dan untuk memperbaik Bait Suci), dan

tanggung jawab politik (untuk melaksanan perintah raja). Oleh karena itu Ezra dan mereka

yang kembali dari Babel, disebut dengan istilah “golah community”; orang-orang yang

memiliki kesetian dan tanggung jawab ganda terhadap Allah dan Pemerinthan Persia. Mereka

berusaha memperbaharui agama, dan mereka juga harus memastikan bahwa hasil dari

pemungutan pajak harus diserahkan kepada raja Persia.47

Williamson berpendapat bahwa dalam keseluruhan kitab Ezra mengandung ide

teologis tradisional yang berisikan seperangkat proposisi Tuhan dalam atribut Illahi, dosa

manusia berserta sanksi Illahi; yang membagi kitab Ezra dalam bentuk sejarah (Ezra1-8), dan

gagasan tentang dosa atau pelanggaran (Ezra 9-10).48

Dalam cakupan yang lebih luas para

sarjana Alkitab melakukan pendekatan terkadap kita Ezra dengan menggunakana istilah

sistem kepercayaan, karena implikasinya bahawa „agama‟ memainkan peranan penting dalam

sistem kepercayaan dari masyarakat disaat itu. Berdasarkan pendekatan sitem kepercayaan,

Bob Becking membagi Kitab Ezra dalam tiga narasi, yaitu: 1) Ezra 1-2 berkaitan dengan

45

Harold Williamson, Israel in the Books of Chronicles (Cambridge: Cambridge University Press,

1977), 1-70. 46

Kyung-Jin Min, The Levitical Authorship Of Ezra-Nehemiah (London: T.T Clark International ,

2002), 21-22. 47

Berquist, Judaism, 199. 48

H.G.M. Williamson, Ezra and Nehemiah (Sheffield: Academic Press, 1987), 77-78

21

perpindahan sekelompok orang dari Babylonia untuk hidup di Yerusalem dan sekitarnya. 2)

Ezra 3-6 dilihat sebagai narasi yang bertalian secara logis, inti dari narasi ini ditandai dengan

penghapusan dari perbudakan sebagai perayaan non paskah; pembangunan Bait Allah,

perubahan „altar‟ ke „bait‟ adalah narasi yang melekat dengan kegiatan perayaan paskah. 3)

Ezra 7-10 merupakan cerita kedatangan Ezra ke Yerusalem dan tindakan-tindakan yang

dilakukannya. Melalui tiga bagian narasi ini penulis menceritakan tentang kedatangan

kelompok Ezra, dan dua masa sebelumnya. Tujuan penulisannya secara tidak langsung

terindikasi tentang politik. Kitab Ezra telah di tulis sebagai legitimasi satu bentuk dari Ke-

Yahudian.49

Kitab Ezra juga ditulis sebagai alat untuk meyakinkan kelompok dan orang-

orang pada masa Persia tentang cara pandang Yehuda terhadap dunia pada masa itu. Ada

empat elemen penting tentang sistem kepercayaan kitab Ezra.50

1. Waktu dan Masa Lalu atau Sejarah : cerita dalam kitab Ezra mengandung runtutan

dari berbagai kejadian yang dialami oleh bangsa Israel sampai pada pembuangan di

Babylonia. Oleh sebab itu, penulis kitab Ezra seolah-olah menginginkan adanya pemahaman

akan keberadaan Tuhan di masa lalu adalah hal yang paling tepat.

2. Kekuasaan: ada dua kekuatan besar yang bekerja dalam penulisan kitab Ezra: Allah

dan Kekaisaran. keduanya baik Yahweh dan Raja Persia sebagai agen-agen yang kuat dalam

mengontrol sejarah. Seperti halnya, Koresh yang ditampilkan sebagai raja sekaligus orang

yang mengijinkan bangsa Israel untuk kembali dan membangun Bait Suci di Yehuda (Ezra 1:

1-4; 6: 3-5), raja Darius yang juga mendukung upaya pembangunan Bait Suci (Ezra 6: 1-13),

ataupun Artasasta dalam Ezra:7 yang ditampilkan sebagai raja yang mendukung mizi Ezra.

Kekuasan YHWH dipercayai penulis Kitab Ezra dapat diteksi dari ketiga narasi yang

menunjukan karakteristek dari kekuasan YHWH, seperti: dalam Ezra 1:1 suatu tindakan yang

49

Bob Becking, “Continuity and Community: The Belief System of the Book Ezra”. Dalam Bob

Becking and Marjo C.A. Korpel, ed,. In The Crisis Of Israelite Religion – Transformation of Religious

Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. (Korpel. - Leiden ; Boston ; Köln : Brill, 1999), 259-260. 50

Becking, Continuity, 262-275

22

memulai proses pengambalian orang-orang Israel; dalam Ezra 5:1 YHWH ditampilkan

sebagai yang mengutus nabi Hagai dan Zakharia; dan dalam Ezra 5:5 menapilkan penyertaan

Allah terhadap tua-tua Yahudi.

3. Ruang Kudus atau Kuil (Bait Allah): Bait Allah merupakan tempat yang sangat

penting dari kitab Ezra. Satu dari tema naratif diangkat tentang pengumpulan dana untuk

pembangunan Bait suci. Banyak kalangan yang juga setuju bahwa Bait Suci sangat penting

sebagai identitas agama Yudaisme pasca-pembuangan, Bait Suci sebagai tempat unttuk

menyembah YHWH.

4. Komunitas yang Terkurung (Eksklusif): dari kitab Ezra nampaknya ada

sekelompok orang yang menafsirkan dirinya sebagai Israel sejati dan mensampingkan

kelompok tertentu. Indikasi kelompok ini dapat ditemukan dalam Ezra 9:2.

Kesimpulan: Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan

dinamika kehidupan bangsa Israel sebagai berikut. Kitab Ezra disunting pada awal paska

pembuangan, ketika bangsa Israel berada dalam pengaruh kekuasaan Persia. Kitab Ezra juga

merupakan kitab yang menyajikan kepada para pembaca suatu kehidupan baru bagi bangsa

Israel dari kerterpurukan selama 50 tahun sebelumnya ketika penaklukan oleh Babilonia.

Suatu masa kehidupan yang memperhadapkan bangsa israel dengan krisis jati diri yang

dikarenakan oleh ketercabutan mereka secara paksa dari tanah yang disimbolkan sebagai

tanda perjanjian antar Allah dan Abraham serta hacurnya Bait Allah yang merupakan pusat

dari kehidupan kultus bangsa Israel. Ketercabutan mereka dari „rumah‟ menyebabkan mereka

harus menciptakan rumah baru di stituasi yang baru dan asing bagi mereka, yakni Babilonia.

inilah gambaran dinamika kehidupan bangsa Israel dibawah kekuasaan Babilonia.

Bertolak dari pengalaman-pengalaman inilah orang-orang dipembuangan membentuk

suatu pemahaman akan keberadaan mereka ditengah bangsa Asing di Babilonia, dengan cara

23

mengidentifikasikan diri sendiri maupun kelompok yang bertujuan untuk merekonstruksi

identitas dan kemudian diterapkan dalam suatu komunitas. Disituasi ini juga terciptalah

narasi tentang penciptaan, suatu konsep yang melambangkan keteraturan dan pemisahan-

pemisahan yang jelas antara yang najis dan bukan najis, yang cemar dan bukan cemar.

Kehidupan bangsa Israel mulai mengalami perubahan ketika raja Koresh menaklukan

Babilonia, dan memberikan ijin bagi mereka kembali ke Yerusalem. Kehadiran raja Koresh

dengan propaganda kepemimpinan secara tidak langsung membentuk ideologi penjajah yang

hadir dengan kebijaksanaannya. Bagi bangsa Israel tanpa bangsa Persia mereka tidak akan

dipulangkan ke Yerusalem, sehingga terciptalah suatu keinginan untuk menyenangkan

keksairan Persia lewat aturan-aturan yang juga menguntungkan kedua belah pihak tersebut,

bangsa Persia dan juga bangsa Israel.

Konsep-konsep pemikiran inilah yang digunakan bangsa Israel ketika kembali ke

Yerusalem dan semakin mengkristal ketika terjadi perjumpaan dengan orang-orang yang

tidak ikut dalam pembungan. Narasi-narasi tentang penciptaan yang pada awalnya diciptakan

sebagai pengenal yang mencirikan identitas Israel dipembuangan dipelintirkan atau

digunakan dalam melihat perempuan-perempuan asing disaat itu. Dunia dalam sumber P

yang diciptakan oleh para imam-imam di periode pembungan dihadirkan kembali ketika

orang-orang Israel dari pembuangan mengalami perjumpaan dengan orang-orang negri

terkhususnya bagi perempuan asing, hal ini jelas terlihat terhadap pelabelan yang diberikan

bagi perempuan asing sebagai orang-orang yang cemar.

Bertolak dari dinamika kehidupan bangsa Israel, pada bab selanjutnya penulis akan

menjelaskan siapa perempuan asing yang didalam teks Ezra 9-10 serta mengapa mereka

dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan Israel. Oleh sebab itu penulis akan melakukan

studi hemeneutik terhadap teks Ezra 9-10 dan menganalisa dengan mengaitkan berbagai teori.