bab iii pengajaran ilmu tauhid di pondok pesantren...
TRANSCRIPT
80
BAB III
PENGAJARAN ILMU TAUHID DI PONDOK PESANTREN
AT TAUHIDIYAH CIKURA BOJONG TEGAL
A. Kondisi Umum Pondok Pesantren at Tauhidiyah Bojong Tegal
1. Letak Geografis
Pondok pesantren at-Tauhidiyah merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam tradisional dengan tipe salafi murni, yang terletak di
sebelah selatan kota slawi tegal, tepatnya di Desa Cikura Kecamatan
Bojong Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Desa Cikura berbatasan
langsung dengan Desa Sitail Kec. Jatinegara dibagian Timur dan
Selatan, Desa Penyalahan Kecamatan Jatinegara, dan Desa Bojong di
Bagian Barat. Jarak dari pusat kota Tegal sekitar 50 KM.
Letaknya berada di dataran Tinggi atau pegunungan, dan
berdekatan dengan wisata alam Guci Tegal kira-kira 15 KM. Walaupun
tidak berpengaruh secara langsung, kedekatan dengan obyek wisata
Guci, mempengaruhi kemasyhuran pondok pesantren, karena papan
nama besar pondok pesantran at-Tauhidiyah dipasang di tepi jalan
besar yang mengarah ke Guci. Kondisi jalan penghubung ke pondok
pesantren at-Tauhidiyah Cikura baik melalui Kecamatan Jatinegara
maupun Kecamatan Bojong sudah beraspal hotmik, namun sayangnya
belum ada transportasi umum yang sampai ke pondok pesantren. Dari
arah Jatinegara kendaraan umum berupa angkudes hanya sampai ke
Desa Cerih, kira-kira 5 KM dari Cikura, sedangkan dari Arah Bojong,
81
kendaraan umum berupa minibus hanya sampai Kecamatan Bojong,
sehingga otomatis untuk sampai ke Cikura harus menggunakan ojek
sepeda motor. Namun, kesulitan transportasi membuat santri lebih
tenang belajar, karena tidak sering pulang ke rumah.
Namun, yang perlu diperhatikan, mengingat jalan diareal
pegunungan kondisinya turun naik dan penuh dengan tikungan tajam
sehingga cukup sulit untuk mencapai lokasi penelitian. Dampaknya,
santri lebih banyak menghabiskan waktu di pondok dan jarang bisa
pergi ketempat keramaian mengingat pondok pesantren jauh dari
tempat keramaian misalnya pasar.
2. Kondisi Pondok Pesantren
a. Bangunan Pondok
At-Tauhidiyah sebagai sebuah pesantren dengan sendirinya
tidak lepas dari ciri itu. Pesantren At-Tauhdiyah yang terletak di
Desa Cikura Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal memiliki 27
pondok/asrama/kamar/bilik atau (gothaan istilah yang digunakan
pondok pesantren di Jawa Timur (penulis), untuk para santri
dengan perincian 16 kamar laki-laki dan sisanya yang 11 kamar
untuk santri perempuan.
Di bagian lain terdapat ruang pengurus yang terdiri dari 3
ruang besar menyerupai aula. Ruang pertama tempat
berkumpulnya pengurus, kedua, penerima tamu, dan ketiga tempat
82
besuk orang tua santri. Tempat adminsitrasi menyatu dengan
kamar pengurus.
Ruang lainnya adalah aula yang berada tepat di samping
makam KH. Said bin Armiya digunakan untuk tempat
musyawarah, pengajian wetonan setiap malam Selasa dan Jum’at
kliwon. Aula ini dikelilingi oleh tanah pekarangan dengan halaman
yang cukup luas yang sengaja disediakan untuk menampung
pengunjung dari berbagai penjuru daerah sekitar Desa Cikura,
termasuk dari Kabupaten Tegal Sendiri, Kabupaten Pemalang, dan
Kabupaten Pekalongan, bahkan yang dari Kabupaten Purbalingga,
Banyumas, dan Kabupaten Batang (Wawancara dengan Abdul
Ghofur Pengurus Pesantren, tanggal 27 Juli 2009).
Pondok juga memiliki Waserda yang menjual aneka
kebutuhan santri, dari kebutuhan alat-alat pembelajaran meliputi
buku tulis, kitab, dan alat tulis, juga menyediakan kebutuhan
sehar-hari meliputi makanan ringan, minuman, pakaian, sendal dan
sepatu dan lain sebagainya.
Namun, jumlah bilik-bilik santri yang cukup banyak, masih
banyak yang kosong karena jumlah santri yang masih sedikit.
Pondok tersebut sebenarnya dapat menampung ribuan santri
namun, karena pergesaran oreientasi pendidikan masyarakat yang
lebih menyukai pendidikan pesantren dengan dibarengi pendidikan
formal, maka jumlah santri sewaktu dilakukan penelitian sekitar
83
300 santri menempati sejumlah bilik saja, mengingat bilik-bilik
kamar yang juga cukup besar yang dapat menampung sekitar 30
santri. Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan
tolak ukur atas maju mundurnya pesantren. Semakin banyak santri,
pesantren dinilai lebih maju dan sebaliknya (Dhofier, 1982: 56).
b. Pengasuh dan Pemimpin Pondok Pesantren
Penyelenggaraan pendidikan pesantren di pondok
pesantren at-Tauhidiyah Cikura, adalah kyai merupakan figur
sentral yang memiliki otoritas untuk merencanakan,
menyelenggarakan dan mengendalikan seluruh pelaksanaan
pendidikan. Ziemek (1986:138), menggambarkan bahwa profil
kyai adalah sosok yang mempunyai kecakapan dan pancaran
kepribadian yang kuat. Figur kyai menentukan kedudukan dan
peringkat suatu pesantren. Otoritas kyai tidak didasarkan atas
legalitas melainkan bersumber pada kharisma yang dimiliki.
Kharimasma tersebut muncul dari konsistensi kyai dalam
melaksanakan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari,
keikhlasan, dan dedikasi dalam mengembangkan pendidikan
Islam.
Karenanya, kyai dan keluarganya menjadi tauladan bagi
santri dan masyarakat sekitarnya. Kyai yang berwawasan luas dan
shaleh menjadi inspirasi bagi santri dan masyarakat sekitarnya.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, kyai
84
menghadapi beberapa krisis antara lain dalam kedudukannya
sebagai sumber tunggal dalam mencari ilmu, moral, ekonomi,
kelembagaan dan kepemimpinan (Mastuhu, 1994: 133-134).
Jumlah kyai di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah ada enam
orang, yaitu ; KH. Ahmad bin Said adalah pengasuh inti pesantren
at-Tauhidiyah, KH. Khasani bin Said, merupakan adik dari Kyai
Ahmad, keduanya tidak berdomisili di Cikura melainkan berada di
Giren Tegal. Pondok at-Tauhidiyah terdiri dari pusat dan cabang
yang pertama, pondok pesantren at-Tauhidiyah Giren Talang
Tegal pendirinya adalah KH. Said bin Armiya, dan itu merupakan
pusat pondok pesantren at-Tauhidiyah. Kedua, pondok pesantren
at-Tauhidiyah Cikura terletak di Cikura Bojong Tegal pendiri
utamanya Syaikh KH. Armiya, dan juga KH. Said.
Kyai Ahmad dan Kyai Hasani, datang ke pondok Cikura
setiap hari Senin malam Selasa, dan Kamis malam Jum’at untuk
mengisi pengajian kitab tauhid, dan juga memberikan ceramah
pengajian setiap malam Jum’at (Wawancara dengan Kyai Bisyri,
tanggal 26 Juli 2009).
Keempat kyai lainnya adalah ; Kyai Bisyri, Kyai
Muhaimin, Kyai Khozin dan Kyai Shalahudin, keempatnya yang
merupakan wakil tetap. Ketiganya merupakan pengasuh yang
selalu ada di pesantren at-Tauhidiyah Cikura, namun tidak
mempunyai otoritas seperti kedua kyai di atas. Ketiganya hanya
85
mengajar di madrasah diniyah pesantran at-Tauhidiyah dan
wetonan setiap pagi setelah waktu dluha sebelum masuk madrasah
diniyah (Wawancara dengan Abdul Ghofur Pengurus Pesantren,
tanggal 27 Juli 2009).
c. Guru / Ustaż
Ustaż merupakan santri senior yang dipercaya kyai untuk
mengajar agama kepada para santri dan dibimbing serta
disupervisi oleh kyai. Di pondok pesantren at-Tauhidiyah ustadz
bertugas mengajar di madrasah diniyah tingkat ibtidaiyah dan
tsanawiyah, dan sekaligus menjadi pengurus atau lurah pondok.
Ustaż di pondok pesantren tersebut berjumlah sekitar 13 orang
yaitu ; ustaż Aris Indris, Agus, Mahmud, Mustain, Syuhra wardi,
Abdul Ghofur, Fatihin, Muhammad Sibyan, Abdul Wahib,
Abdullah, Fauzan, Ahmad Thorikin, dan Mukhlisin.
d. Santri
Menurut tradisi pesantren pada umumnya, santri
dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu santri mukim dan
santri kalong. Akan tetapi, di pondok pesantren at-Tauhidiyah
terdapat empat kelompok santri yaitu sebagai berikut :
1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu murid-murid atau santri yang
berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam komplek
pesantren (Dhofier, 1982: 51). Santri mukim itu berasal dari
86
berbagai daerah misalnya Tegal, Pemalang, Pekalongan,
Batang, Kendal, Purbalingga, Kediri, Tegal, Brebes, Jakarta,
Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalsel. Santri mukim berjumlah
300 santri (Wawancara dengan Abdul Ghofur Pengurus
Pesantren, tanggal 27 Juli 2009).
2) Santri Kalong
Santri kalong yaitu murid-murid atau santri yang
berasal dari desa-desa sekitar atau di sekeliling pesantren, yang
biasanya tidak menetap dalam pesantren (Dhofier, 1982: 51).
Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren mereka bolak balik
(nglaju) dari rumahnya sendiri. Mereka berasal dari desa-desa
di sekitar dukuh Desa Cikura, Desa Sitail, Desa Penyalahan,
dan tetangga desa lainnya.
Santri kalong pada pengajian setiap malam Selasa dan
Jum’at jumlahnya sangat banyak, sampai ratusan orang dan
tidak dapat dikenali dan dikoordinir serta tidak diketahui
jumlah pastinya, bahkan kalau Jum’at kliwon jumlah sampai
ribuan orang, hal yang menarik adalah pengajian Jum’at
kliwonan menjadi sumber mata pencarian pesantren dan warga
sekitarnya (Wawancara dengan Kyai Bisyri, tanggal 26 Juli
2009).
Berdasarkan observasi langsung dalam pengajian
malam jum’at kliwon, jumlah santri kalong mencapai ribuan,
87
indikasinya adalah parkir kendaraan besar yang mencapai
hampir 1 KM dari pesantren, bahkan melewati desa Cikura ke
Desa Sitail, ditambah kendaraan roda dua yang mencapai
ratusan kendaraan yang memadati halaman masjid dan pondok
pesantren, serta halaman rumah warga sekitar (Observasi
tanggal 30 Juli 2009).
Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan
pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong dan
santri mukim. Semakin besar santri mukimnya, maka semakin
besar pula pesantren itu. Dengan kata lain, pesantren kecil akan
memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim
(Dhofier: 1982: 52)
Berdasar pendapat Zamakysari Dhofier tersebut, maka
pesantren at-Tauhidiyah termasuk pesantren bertipe tengah-
tengah / sedang, tidak besar dan tidak pula kecil. Namun bila
mengukur jumlah santri kalong termasuk pesantren besar.
3) Santri Karyawan
Santri karyawan adalah murid-murid atau santri mukim
yang berasal dari berbagai daerah dan menetap di pesantren.
Mereka menyerahkan diri sepenuhnya kepada kyai dan
biasanya hidupnya selama di pesantren ditanggung oleh kyai.
Sebagai imbalannya, mereka mengerjakan sawah-sawah milik
kyai, atau menyiapkan dan mengurus kebutuhan kyai.
88
Jumlah santri karyawan saat penulis melakukan
penelitian adalah 30 (tiga puluh) santri. Mereka berasal dari
berbagai daerah seperti Tegal, Pemalang, Brebes, Pekalongan
bahkan ada yang dari Lampung. Mereka menempati kamar atau
pondok tersendiri sejumlah 2 (dua) kamar. Para santri
karyawan setiap tahun mendapat dua stel pakaian lengkap
misalnya baju, celana dan sarung dari kyai. Mereka berasal dari
keluarga kurang mampu dalam bidang ekonomi, tetapi mereka
mempunyai minat yang tinggi dalam menuntut ilmu agama.
4) Santri Alumnus dan Santri Luar
Arifin dan Sunyoto, sebagaimana dikutip Muthohar
mengemukakan di Pesantren Nurul Haq Surabaya ditemukan
bentuk kelompok santri yang lain (selain santri kalong dan
santri mukim), yaitu santi alumnus dan santri luar. Santri
alumnus adalah santri yang telah menamatkan pendidikannya
di pesantren, tetapi mereka sering datang ke pesantren pada
acara-acara insidental yang diadakan pesantren, memiliki tetap
memiliki komitmen hubungan dengan pesantren, terutama
dengan kyai pesantren. Santri luar adalah kyai yang tidak
terdaftar secara resmi di pesantren dan tidak mengikuti rutinitas
pesantren sebagaimana santri mukim dan santri kalong, tetapi
mereka mempunyai hubungan batin yang kuat dan dekat
dengan kyai dan memberikan sumbangan dan partisipasi yang
89
tinggi apabila pesantren membutuhkan sesuatu (Muthohar,
2007: 34-35).
Santri alumnus terdapat pula di pesantren at-
Tauhidiyah, mereka berperan ketika acara khaul pendiri
pesantren at-Tauhidiyah, yaitu khaul Syaikh Armiya. Para
santri alumnus ini punya peran dalam membawa calon santri
dari luar pondok menjadi ‘simpatisan’ pesantren at-Tauhidiyah.
Berdasarkan hasil wawancara penulis, santri alumni dan santri
luar memegang peran penting dan strategis dalam
pembangunan gedung pesantren yang tergolong megah.
Diantaranya dengan mencarikan donatur untuk membantu
pembangunan pondok pesantren.
Acara khaul membutuhkan dana besar bahkan sampai
ratusan juta, disamping dari masyarakat, anak santri, alumni
dan santri luar yang merupakan simpatisan juga membantu.
Ada yang memberikan bantuan dalam bentuk uang, kambing,
maupun makanan. Alumni membentuk kepengurusan dengan
membentuk koordinator-koordinator wilayah ditiap kecamatan,
maupun desa, koordinator ini dibentuk sesuai kondisi wilayah
berdasarkan ketersediaan alumni. Jadi, tiap daerah tidak sama
jumlah koordinatornya (Wawancara dengan Fathuri
Koordinator Alumni Desa Pakembaran tanggal 1 Agustus
2009).
90
e. Pengurus Pesantren
Pengurus Pesantren adalah warga pesantren yang
memegang manajemen pesantren, terutama dalam pelaksanana
manajemen adminsitrasi, mereka sebagai pembantu kyai dalam
hubungan dengan pihak di luar pesantren.
Pengurus pesantren at-Tauhidiyah Cikura dibagi dalam
beberapa unit yang dipimpin oleh ‘lurah pondok’ sebagai
penanggungjawabnya. Adapun bidangnya meliputi bidang
administrasi surat menyurat, bidang keuangan, bidang sarana dan
prasarana, bidang keamanan, dan bidang hubungan ke luar
pesantren.
Di bawah pengurus inti ada sub pengurus yang bertugas
menghubungkan antara pondok, lingkungan santri perempuan
dengan pengurus pusat yang berada di pondok lelaki. Pengurus
perempuan hanya berfungsi sebagai pembantu pengurus pusat
dalam bidang adminsitrasi, keuangan. Namun, tidak mempunyai
peran yang signifikan dalam menentukan kebijakan pesantren.
B. Karakteristik Pengajaran Ilmu Tauhid di Pondok Pesantren at
Tauhidiyah Bojong Tegal
1. Sistem Pengajaran Ilmu Tauhid
Sistem pembelajaran yang diterapkan di Pondok pesantren at-
Tauhidiyah menggunakan sistem klasikal dan non klasikal, penjelasan
dari masing-masing sistem sebagai berikut :
91
a. Sistem Klasikal
Sistem klasikal dilaksanakan melalui pembelajaran
Madrasah Diniyah yang terdiri dari tingkat persiapan 3 tahun,
tingkat ibtidaiyah 3 tahun, dan tingkat wustha 3 tahun. Sistem
klasikal dimulai pada waktu pagi hari setelah shalat dhuha (kira-
kira) jam 9 WIB), sampai dengan pukul 12.00 WIB. Walaupun
pondok pesantren at-Tauhidiyah mencirikan dirinya dalam bidang
ilmu tauhid dalam pembelajarannya, namun di Madrasah Diniyah
juga dilaksanakan pembelajaran disiplin ilmu umum lainnya
sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, walaupun
kajiannya tidak sedalam dibanding materi ilmu tauhid
(Wawancara dengan Ust. Abdul Ghofur, Pengurus Pondok
Pesantren at-Tahidiyah).
Sistem klasikal tersebut dilaksanakan pada pagi hari
mengingat pondok pesantren at-Tauhidiyah merupakan pondok
pesantren tipe salafiyah murni, Yaitu pondok pesantren yang
mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan
kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 dengan menggunakan
bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem
halaqah yang dilaksanakan di bilik-bilik, masjid atau surau.
Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai. Santrinya
ada yang menetap di pondok dan ada yang tidak menetap (Ghazali,
2002: 14).
92
Pondok pesantren at-Tauhidiyah tidak mempunyai pola
pendidikan formal, sehingga santri yang menetap murni santri
yang mempunyai motivasi tinggi untuk menuntut ilmu agama, hal
ini menjadikan jumlah santri yang menetap di pondok pesantren at-
tauhidiyah tidak begitu banyak, tidak sebanding dengan jumlah
gedung-gedung asrama yang telah dibangun dengan megah di
dalamnya. Jika dibandingkan dengan santri kalong, maka santri
yang menetap, masih sangat banyak santri kalong.
Pada sistem klasikal pembelajaran disamping menggunakan
pola bandongan atau wetonan, dan sorogan, juga sudah
menggunakan metode diskusi kelas, dimana didalamnya sudah
terjadi interaksi antara ustadz dan santri.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ustaż Abdul
Ghofur, (27 Juli 2009). diantara materi pelajaran yang diberikan
dalam pembelajaran sistem klasikal ini adalah sebagai berikut :
a. Disiplin ilmu alat atau tata bahasa Arab
Termasuk kitab yang berisi materi ilmu alat dalam bidang
nahwu antara lain : matan jurmiyah, syarah jurmiyah, syarah
amrithy, dan kitab alfiyah ibnu malik. Dalam bidang ilmu
sharaf antara lain kitab ; qawaid tashrifiyah, qawaid al-I’rab,
qawaid al-I’lal, nadzam maksud dan syarahnya, dan qawaid
al-lughah.
93
Berbeda dengan pesantren pada umumnya yang
menjadikan materi nahwu dan sharaf sebagai materi utama, dan
wajib dihapalkan, maka di pesantren at-Tauhidiyah ilmu nahwu
dan ilmu sharaf tidak dipelajari secara intensif, dan tidak
dihapalkan. Ilmu ini dipelajari sebagai alat untuk mempelajari
kitab-kitab tauhid dan kitab-kitab lain yang diajarkan.
b. Disiplin Ilmu Fiqih
Untuk disiplin ilmu fiqih, kitab yang diajarkan antara lain
; Safinatun Najah dan Syarahnya, as-Sulam at-Taufiq, fath al-
qarib atau taqrib, dan fathul mu’in. Sedangkan untuk kitab
dalam disiplin ilmu ushul fiqih tidak diajarkan di pondok
pesantren at-Tauhidiyah. Dalam fiqih faraid diajarkan kitab
ringkas mengenai faraid, yaitu kitab Faraid al-Ghazaliyah pada
kelas satu tingkat tsanawiyah.
Pengajaran kitab fiqih diajarkan semata-mata untuk
membekali santri dalam memahami ilmu agama, terutama fiqih
ibadah, sehingga pada akhirnya santri bisa memahami akidah
dengan benar yang didukung dengan ketekunan dalam
beribadah.
c. Disiplin Hadits dan ilmu Hadits
Untuk disiplin hadits dan ilmu hadits, kitab yang
digunakan antara lain ; Arbain Nawawi, Jawahirul Bukhori,
Abi Jamrah, dan Qawaid al-Asasiyah, dalam bidang ilmu
94
musthalah al-hadits. Untuk disiplin hadits dan ilmu hadits baru
diajarkan pada kelas dua dan tiga tingkat tsanawiyah.
Hadits dipelajari agar santri memahami dalil-dalil naqli
tentang berbagai amaliah, khususnya dalil-dali naqli tentang
tauhid.
Uraian ini menggambarkan bahwa pembahasan hadits
dan ilmu hadits hanya sedikit sekali mendapat porsi dalam
pembelajaran di pondok pesantren at-Tauhidiyah Cikura
Bojong Tegal.
d. Disiplin ilmu Akhlak
Untuk ilmu akhlak diantara kitab yang diajarkan antara
lain ; Syi’ir Ala-laa tanal al-ilm, Taisir al-Khalaq, dan Ta’lim
al-Muta’allim. Hal ini sangat berbeda dengan pesantren pada
umumnya yang mengajarkan akhlak sampai pada level tingkat
atas dengan pembahasan yang cukup beragam, kitab besar
sekaliber ihya ulum ad-din juga tidak mendapat tempat untuk
diajarkan di pondok at-Tauhidiyah Cikura.
e. Disiplin Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Disiplin ilmu al-Qur’an dan tafsir dapat dipastikan tidak
dipelajari dalam pembelajaran di pesantren at-Tauhidiyah
Cikura Bojong, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan
pondok at-Tauhidiyah hanya mengajarkan tentang ilmu tajwid
95
saja, itupun hanya pada tingkat ibtidaiyah kelas awal, yaitu
kitab kecil Syifa al-Jinan
Tidak ada satupun kitab tafsir yang diajarkan dalam
pendidikan pada madrasah diniyah di pondok pesantren at-
Tauhidiyah Cikura Bojong Tegal.
f. Disiplin ilmu Tauhid
Sesuai dengan visi dan misi pesantren, ilmu tauhid
menjadi kajian utama pendidikan di pondok pesantren at-
Tauhidiyah, baik pada tingkat madrasah diniyah maupun
pengajian kitab dengan sistem wetonan. Hampir disetiap
tingkatan kelas pembahasan ilmu tauhid masuk dalam
kurikulum pendidikan, diantara kitab yang diajarkan di madin
pondok pesantren at-Tauhidiyah antara lain ; Durus al-
Mubtadiin fi Dalail Aqaid ad-din, Aqidatul Awam, Sanusiyah,
Fath al-Majid, Kifayatul Awam, dan Lathaif al-Isyarat.
Dan pada tingkat musyawarah dan halaqah adalah kitab
Hidayat al-Mubtadiin Fi Aqaid ad-din juz 1 & 2, Kitab Dasuki,
dan Syarah Sanusiyah, Syarah al-Kubra, dan lain sebagainya.
b. Sistem Non Klasikal
Sistem non klasikal merupakan bentuk sistem pendidikan
pesantren pada awalnya. Pada awalnya pengajian dasar
dilaksanakan di rumah-rumah, di langgar dan di masjid, diberikan
secara individual. Seorang murid (santri) mendatangi seorang guru
96
yang akan membacakan beberapa baris ayat al-Qur’an, atau kitab-
kitab berbahasa Arab dan menterjemahkannya ke dalam bahasa
Jawa. Pada gilirannya, murid mengulangi dan menterjemahkan
kata demi kata sepersis mungkin seperti yang dilakukan gurunya
(Dhofier, 1982: 28).
Sistem yang paling sesuai dengan sistem non klasikal
adalah sistem bandongan atau sistem weton, dan sistem sorogan.
Di pondok pesantren at-Tauhidiyah implementasi sistem
bandongan atau weton, dan sorogan adalah sebagai berikut :
1) Sistem Bandongan atau Weton
Istilah weton berasal dari kata wektu yang berarti
waktu, sebab pengajian diberikan pada waktu-waktu tertentu,
yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardlu
(Chirzin, dalam Dawam Raharjo, 1988:88). Metode weton ini
merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti
pelajaran duduk disekeliling kyai yang menerangkan
pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-
masing dan membuat catatan padanya (Bisyri, 2002: 46).
Sistem bandongan atau wetonan di pondok pesantren
at-Tauhidiyah dilaksanakan pada pembelajaran non klasikal,
diantaranya di waktu setelah shalat dluha yaitu mengaji kitab
Kifayatul Akhyar, yang diajarkan oleh kyai dan diikuti oleh
semua kalangan santri dari semua tingkatan.
97
Kemudian pengajian ba’da dluhur, pengajian malam
selasa, dan pengajian malam jum’at. Khusus untuk pengajian
malam selasa tidak hanya diikuti oleh santri mukim, tetapi
juga diikuti oleh santri kalong yang jumlah pesertanya ribuan
orang. Hal ini dikarenakan pada malam selasa dan jum’t kitab
di baca oleh Syaikh KH. Ahmad bin Said pengasuh utama
pondok pesantren at-Tauhidiyah, kesemua kitab yang dibaca
adalah kitab tauhid yaitu kitab Kifayatul Awam, untuk malam
selasa pahing dan malam selasa manis, kitab Fathul Majid
pada malam Selasa wage, selasa legi, dan selasa kliwon.
Sedangkan pada malam Jum’at dibaca kitab Dasuki ala Umm
al-Barahain, dan khusus pada malam Jum’at kliwon
disamping pengajian kitab juga diadakan pengajian rutinan
yang dihadiri oleh ribuan orang, terkadang juga dihadiri oleh
ulama dari Timur Tengah, misal dari negara Libanon dan
Yaman.
Pengajian kitab tauhid pada malam Jum’at dan selasa,
khususnya Jum’at Kliwon juga dihadiri oleh warga
masyarakat yang hanya mendengarkan saja tanpa membawa
kitab untuk diapsahi. sistem mengaji seperti ini disebut
dengan istilah ‘jiping’ artinya ngaji dengan hanya menguping
(mendengarkan saja).
98
Di samping itu juga dibuka pengajian kitab kelas
khusus untuk santri senior, para alumni atau ustadz. Syaikh
KH. Ahmad bin Said mengajarkan kitab Syarah kitab
Sanusiyah, dan Syarah Kitab Dasuki.
Sistem bandongan atau wetonan ini juga dipakai
dalam pengajaran ilmu tauhid di pondok pesantren at-
Tauhidiyah melalui pengajian pasaran setiap bulan
Ramadhan.
2) Sistem Sorogan
Sistem sorogan ini termasuk belajar secara
individual, di mana seorang santri berhadapan dengan
seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara
keduanya. Sorogan sendiri berasal dari kata sorog (bahasa
Jawa) yang berarti menyodorkan kitabnya dihadapan kyai
atau pembantunya (assisten kyai). Sistem sorogan ini
termasuk belajar secara individual, sistem sorogan ini
terbukti sangat bagi santri pada tingkat awal.
Dari sisi teoritis pendidikan, metode sorogan
sebenarnya termasuk metode modern, karena antara kyai-
santri dapat saling mengenal, kyai dapat memperhatikan
perkembangan belajar santri, sementara santri belajar aktif
dan selalu mempersiapkan diri sebelum ngapsahi kitab, atau
menyetorkan hapalan suatu materi kitab. Metode sorogan di
dalamnya tidak ada unsur paksaan karena timbul dari
99
kebutuhan santri (Ainurrafiq, dalam Abudin Nata, 2001:
178).
Namun demikian bagi santri yang tidak dapat
menyetorkan atau menyodorkan materi kitab tepat pada
waktunya ia akan terlambat atau tertinggal untuk
menamatkan isi kitab dengan cepat. Pada kasus santri yang
malas, yang berulang kali tidak dapat menyodorkan materi
akan mendapatkan hukuman dengan istilah ta’zir, hukuman
tetap dengan bentuk yang bermanfaat dan tidak menyakitkan,
misal dengan membersihkan WC, membersihkan seluruh
komplek pesantren, ngangsu atau mengambil air bersih di
sungai dan sebagainya.
Sistem sorogan di pondok pesantren at-Tauhidiyah
diterapkan dalam pembelajaran al-Qur’an pada waktu pagi
setelah subuh, dan setoran hapalan kitab Ta’lim al-Mubtadiin
fi Aqaid ad-din jilid I dan jilid II, sistem sorogan
dilaksanakan dengan menyetorkan hapalan sesuai
kemampuan santri dan setoran hapalan dilaksanakan setiap
ba’da maghrib di setiap harinya kepada beberapa ustaż yang
telah diberi mandat.
Penyelesaian hapalan dua kitab tersebut antara santri
yang satu dengan lainnya berbeda-beda sesuai dengan
kemampuan masing-masing santri. Bagi santri yang cerdas
maka ia akan dapat menyelesaikan hapalan dengan cepat.
100
Hapalan dilaksanakan secara berjenjang, artinya kitab yang
dihapalkan dimulai dari juz I kemudian baru juz II. hal ini
sessuai dengan petunjuk penyusun Ta’lim al-Mubtadiin fi
Aqaid ad-din, KH. Said bin Armiya menyatakan diakhir kitab
Ta’lim al-Mubtadiin fi Aqaid ad-Diin juz I :
“Tanbihun!, Para Sederek kita sedaya ingkang sami ngajeng-ngajeng kabekjaan lan keselametan ingdalem dunia akhirat, maka becik ngapalaken ing iki mu’takod, kerana iki mu’takod iku nembe sa kedar ingkang fardu belaka. Dadi lamon ora ngapalaken iki mu’takod sanget nguwatiri ingdalem rusake iman. Anapun lamon para sederek ngarepaken ing keterangane iki mu’takod mangka insya Allah arep ditutur ingdalem risalah tsaniyah, tetapi ora peryoga ngapalaken risalah tsaniyah sa’durunge ngapaleken risalah awal” Terjemah bebasnya adalah sebagai berikut :
“Perhatian!, wahai saudaraku, kita semua adalah orang-orang yang mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia akhirat, maka sangat baik menghapalkan mu’takod (beberapa aqidah yang wajib diyakini), karena mu’takod (yang ada dalam kitab) ini, merupakan sekedar yang fardlu saja. Jadi, apabila tidak menghapalkan mu’takod ini, maka sangat mengkhawatirkan dapat merusak iman. Adapun apabila menghendaki untuk mengetahui penjelasan mu’takod ini maka insya Allah akan dibahas dalam risalah kitab jilid yang kedua, tetapi tidak seyogyanya menghapalkan risalah kitab kedua sebelum menghapalkan risalah kitab pertama” Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, metode
sorogan dengan menyetorkan hapalan kitab Ta’lim al-
Mubtadiin fi Aqaid ad-Diin merupakan kewajiban bagi setiap
santri pondok pesantren at-Tauhidiyah Cikura Bojong Tegal.
101
Metode hafalan dalam pengajaran ilmu tauhid
biasanya juga diterapkan untuk menghapal syair-syair yang
terdapat dalam kitab tauhid dengan pola nadhom, misalnya
kitab Aqidat al-Awwam, Inarat ad-Dzolam, dan kitab
Nadham lainnya. Di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah Cikura
Bojong Tegal metode hafalan sangat digalakkan, terutama
untuk memahami isi dari kitab Hidayat al-Mubtadiin li aqaid
ad-din, kitab lokal pondok tersebut.
3) Sistem Halaqah
Dalam metode ini, beberapa orang santri – dengan
jumlah – tertentu membentuk halaqah yang dipimpin
langsung oleh seorang kyai atau ustaż untuk membahas
masalah ilmu tauhid yang diajarkan, atau mungkin juga santri
senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang
ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri
dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan ataupun
pendapatnya. Dengan demikian metode ini lebih
menitikberatkan kemampuan perseorangan di dalam
menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan
argumen logika yang mengacu pada kitab tauhid yang
diajarkan.
Halaqah ini merupakan bentuk musyawarah untuk
membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang
102
dianggap rumit untuk memahaminya. Musyawarah pada
bentuk ini bisa digunakan oleh santri tingkat menengah untuk
membedah topik materi tertentu (Bisyri, 2002: 52-53).
Sistem halaqah di pondok pesantren at-Tauhidiyah di
laksanakan untuk membahas kitab masalah-masalah fiqih
dengan rujukan utama kitab Fath al-Qarib al-Mujib, dan
membahas permasalahan-permasalahan ilmu tauhid,
khususnya mendiskusikan kitab Ta’lim al-Mubtadiin fi Aqaid
ad-Diin, terutama Juz II yang membutuhkan penjelasan dan
pembahasan yang ekstra.
Halaqah dilaksanakan setiap Sabtu malam Ahad,
dengan peserta dari semua tingkatan dengan dipimpin ustad
senior. Pelibatan santri tingkat bawah dimaksudkan untuk
melatih cara berargumen, ataupun untuk memberikan
wawasan dari masalah yang dibahas.
2. Metode Pendidikan dan Pengajaran Ilmu Tauhid
Dari observasi langsung yang penulis lakukan metode pendidikan
dan pengajaran yang dominan dipergunakan oleh pondok pesantren at-
Tauhidiyah Cikura Bojong Tegal terdiri dari :
a. Tariqat at-Talqin (metode memahamkan dengan lisan),
Modus dominan dalam sistem pendidikan tradisional adalah
pembelajaran secara lisan. Transfer ilmu pengetahuan berlangsung
melalui interaksi verbal di sebuah ruangan atau kelas (Muhtarom,
103
2005: 174). Realitas ini ditemukan di Pondok pesantren at-
Tauhidiyah Cikura Bojong Tegal dalam pembelajaran kitab klasik
terutama kitab-kitab tauhid dengan bentuk sorogan, bandongan,
dan wetonan oleh kyai maupun ustaż
Bahasa lisan yang dipakai dalam pembelajaran di pesantren
tersebut adalah bahasa Jawa (Muhtarom, 2005: 175). Contoh
penggunaan bahasa Jawa dalam sistem belajar ini terlihat ketika
Kyai Ahmad dan kyai lainnya, membacakan kitab Syarah
Mandumah Aqidat al-Awam karya Sayyid Ahmad Marzuki
halaman 3, beliau (Kyai Ahmad) menterjemahkan teks kitab ke
dalam bahasa Jawa sebagai berikut.
Ya’ni : Ngersa aken sopo Nadzim;
Annahu : Ing Setuhune kelakuan;
Yajibu : Iku Wajib;
‘Ala Mukallafin : Ingatase wong mukallaf;
An ya’rifa : opo nyento ngaweruhi sopo
mukallaf;
‘Isrina : Ing rongpuluh;
Shifatan : Apane sifate…
Pengajaran terhadap kitab klasik di kelas-kelas madrasah di
pondok pesantren at-Tauhidiyah juga memakai bahasa Jawa yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, atau bahasa
lain yang lebih mudah untuk dipahami sebagai penjelasan.
104
b. Thariqah Takwin al-‘adah al-Hasanah, (metode membentuk
tradisi atau kebiasaan baik).
Metode pembiasaan ini merupakan salah satu bentuk metode
pengajaran yang cukup efektif dalam menanamkan hal-hal baik,
atau menerapkan konsep-konsep penanaman nilai-nilai tauhid
dalam kehidupan santri secara terus menerus untuk diamalkan
sepanjang hidup santri.
Bentuk-bentuk pembiasaan dalam kaitannya dengan
pembelajaran ilmu tauhid maupun lainnya tersebut antara lain ada
yang bersifat insidental, harian, mingguan, dan bulanan. Untuk
kebiasaan insidental misalnya membiasakan mengucapkan salam
ketika bertemu sesama santri, diharapkan kegiatan ini dapat
diterapkan lebih luas setelah santri pulang mengembangkan ilmu
di masyarakat.
Sedang yang bersifat harian antara lain melakukan puji-
pujian sebelum melakukan shalat jama’ah, dan puji-pujian yang
dibiasakan tersebut adalah isi kitab Ta’lim al-Mubtadiin fi Aqaid
din juz I dengan cara hapalan, kebiasaan ini mempunyai tujuan
lain untuk melestarikan hapalan santri tentang kitab tersebut, hal
dikarenakan adanya aturan bahwa menghapalkan kitab tersebut
merupakan kewajiban.
Yang bersifat mingguan antara lain ziyarah ke makam
Syaikh Armiya pendiri pondok pesantren at-Tauhidiyah setiap hari
105
Jum’at, membaca Maulid Nabi SAW., tiap malam Jum’at, untuk
tradisi bulanan antara lain pertemuan rutinan antara santri dengan
para alumni dan pengurus Majlis Ta’lim Wadakwah at-Tauhidiyah
setiap malam Jum’at Kliwon, fungsinya adalah untuk konsilidasi
dan evaluasi program pendidikan pesantren.
c. Thariqah al-qudwah, (metode keteladanan).
Konsep ketauladanan dalam pesantren berpijak pada pola
pendidikan Rasulullah SAW., yang menanamkan syariat Islam
dengan menggunakan metode keteladanan. Banyak orang Arab
suku quraish masuk Islam dan menjadi muslim yang taat serta
militan karena melihat keteladanan sikap Rasul SAW., hal tersebut
sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab : 21 ;
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu…. (QS. Al-ahzab : 21).
Kaitannya dengan pengajaran ilmu tauhid, di pesantren at-
Tauhidiyah metode ini dikaitkan dengan sifat-sifat yang
berhubungan dengan nilai-nilai tauhid misalnya sifat wara’ yang
merupakan cerminan sikap orang beriman, sifat sabar, qanaah
yang menerima apa adanya dari Allah. Metode ini dilakukan
misalnya dengan menjalankan puasa, perilaku yang baik yang
dilakukan oleh para kyai atau ustaż dan santri senior.
Keteladanan ini dapat diambil dari seluruh Nabi dan Rasul
karena mereka merupakan petunjuk dan model yang tepat bagi
106
pelaksanaan kebaikan, keutamaan, dan pendidikan yang terarah
(Budaiwi, 2002: 13). Dan ulama yang dalam istilah pesantren
dikenal dengan kyai merupakan pewaris para Nabi. Sehingga
merupkan figur sentral di pesantren yang harus diteladani.
Thariqah qudwah (keteladanan) di pondok pesantren at-
Tauhidiyah nampak pada sikap kyai dan ustadz dalam memberikan
imitasi dalam bentuk perilaku nyata kepada santri.
d. Tariqah al-syugl auqat al-faragh, (metode mengisi waktu kosong)
Sesuai dengan pola pendidikan pesantren yang mengenal
pendidikan sepanjang waktu, hampir tiada waktu yang kosong
dalam kegiatan pesantren. Pengisian waktu luang yang dimaksud
disini adalah waktu dimana tidak ada kegiatan pesantren secara
terjadwal. Misalnya pengisian waktu setelah shalat subuh
memasuki waktu dluha dengan mewajibkan santri untuk shalat
dluha, mengisi waktu setelah shalat dluhur dengan menghapal
kitab ta’lim al-mubtadiin dan kitab tauhid lainnya. Para santri
diberi kebebasan memilih tempat yang paling baik menurut santri
untuk menghafal, baik dimakam, di masjid, di kamar, maupun di
kebun di sekitar pesantren.
Yang tak kalah penting adalah mengisi waktu kosong pada
tengah malam untuk istighosah, mujahadah, dan lain sebagainya.
e. Tariqah al-masubah wa-al-‘uqubah, (metode memberikan
ganjaran dan hukuman).
107
Imbalan adalah salah satu dari alat pendidikan, jadi dengan
sendirinya maksud Imbalan itu ialah sebagai alat untuk mendidik
anak-anak supaya anak dapat merasa senang karena perbuatan atau
pekerjaannya mendapat penghargaan, karena umumnya anak
mengetahui bahwa pelajaran atau perbuatannya yang
menyebabkab ia mendapat Imbalan itu baik (Purwanto, 2002:
182).
Kemudian, Hukuman adalah penderitaan yang diberikan
atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orangtua, guru,
dan sebagainya) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan atau
kesalahan (Purwanto, 2002: 186). Dalam pendidikan Islam konsep
imbalan dan hukuman sangat erat kaitannya dengan proses untuk
menumbuhkan minat dan motivasi siswa secara ekternal.
Tujuan pedagogis dari hukuman ialah untuk memperbaiki
tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak kearah
kebaikan. Jadi maksud imbalan itu yang terpenting bukanlah
hasilnya yang dicapai seorang anak, melainkan dengan hasil yang
telah dicapai anak itu pendidik bertujuan membentuk kata hati dan
kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak (Purwanto,
2002: 182).
Metode hukuman di pondok pesantren at-tauhisiyah
biasanya diberikan pada kasus santri yang malas, yang berulang
kali tidak dapat menyodorkan materi hapalan atau melanggar
108
peraturan pesantren, misal tidak mengaji tanpa udzur syar’i,
melakukan tindakan tidak terpuji, pulang tidak izin, santri yang
melakukan pelanggaran akan mendapatkan hukuman dengan
istilah ta’zir, hukuman tetap dilaksanakan dengan bentuk yang
bermanfaat dan tidak menyakitkan, misal dengan membersihkan
WC, membersihkan seluruh komplek pesantren, ngangsu atau
mengambil air bersih di sungai, membayar denda dan lain
sebagainya.
3. Sarana dan Media Pembelajaran
Sarana esensial yang dipakai dalam kegiatan KBM di pondok
pesantren at-Tauhidiyah Cikura dan sekaligus merupakan ciri khas
pondok pesantren pada umumnya adalah ; masjid, rumah kyai, rumah
ustadz, pondok / asrama santri, gedung madrasah, kantor, aula, dan
makam pendiri pesantran.
Mengingat pesantren at-Tauhidiyah merupakan pesantren
tradisional, maka media pendidikan dalam KBM yang digunakan masih
sebatas media sederhana antara lain ; kapur tulis, papan tulis, gambar-
gambar sederhana mengenai kegiatan ibadah, tulisan mengenai sifat
lima puluh, asmaul husna dan simbol huruf Arab. Penggunaan
komputer dan media canggih lainnya belum diimplementasikan di
pondok pesantren at-Tauhidiyah, namun demikian kitab-kitab atau
buku-buku pegangan santri dan ustadz telah dicetak sendiri oleh pihak
pesantren.
109
C. Kitab yang Digunakan Dalam Pengajaran Ilmu Tauhid di Pondok
Pesantren At-Tauhidiyah Bojong Tegal
Menurut hasil penelitian Martin Van Bruinissen, sebagaimana
dikutip oleh Affandi Mochtar bahwa pada akhir abad 20 ada 900 judul kitab
kuning yang beredar di lingkungan pesantren Jawa dan Madura. 20 %
substansinya tentang fiqih, sedang sisanya menyangkut disiplin ilmu
lainnya, misalnya 17 % tentang aqidah, 12 % tentang bahasa Arab (nahwu,
saraf, balaghah), 8 % tentang Hadis Nabi SAW, 7 % masalah tasawuf, 6 %
masalah akhlak, 5 % menyangkut wirid atau do’a-do’a, dan 6 % puji-pujian
kenabian (qisasul ambiya, maulid, manaqib) (Mochtar, 2001: 55).
Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan oleh L.W.C. Van Den Berg
hanya menyebutkan 54 judul saja. Dia tidak satupun mencatat kitab ushul
fiqih, sedang tafsir hanya disebut dua karya, yaitu kitab tafsir jalalin karya
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, serta kitab tafsir Baidhawi
(Van Bruinessen, 1999: 29).
Peningkatan yang sangat tajam jumlah judul kitab kuning dalam
kurun waktu sekitar satu abad tersebut disebabakan beberapa hal,
diantaranya :
1. Banyak kyai yang mulai menulis kitab sendiri, baik dengan
menggunakan bahasa Arab, maupun hanya sekedar tulisan Arab
Meralya (peson) dengan bahasa lokal.
2. Beberapa kyai juga ada yang melakukan penyederhanaan (muhtasar)
terhadap kitab-kitab yang sudah ada.
110
3. Mulai dapat diterimanya kitab-kitab yang semula dianggap
membahayakan karena tidak sepaham, seperti kitab-kitab diluar
mazhab Syafi’i.
4. Mulai masuknya kitab-kitab al-‘as’ariyah (modern) ke dalam pondok
pesantren. Kitab-kitab ini masuk ke dalam pondok seiring dengan
perkembangan teknologi pada awal abad 20, yang ditandai dengan
kerendahan orang-orang Indonesia untuk melakukan ibadah haji dan
belajar baik di Makkah, Madinah, Kairo, Yaman dan pusat-pusat
belajar yang ada di Timur Tengah (Depag RI, 2001: 32).
Kedudukan kitab kuning dengan sosok kyai dalam dunia pesantren
merupakan dua dimensi yang saling menentukan. Kitab kuning sebagai
kodifikasi suatu tata nilai yang harus dianut, karena tetap diyakini sebagai
pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sedang kyai adalah
sosok personifikasi yang utuh dari sistem tata nilai itu, sehingga kedudukan
kyai semakin kuat dan pondok pesantrennya semakin dipercaya karena
pengasuhnya benar-benar telah memahami dan mendalami ajaran-ajaran
dalam kitab kuning dan mengamalkannya dengan penuh kesungguhan dan
keikhlasan. Para santri juga semakin bertambah kepercayaan dirinya ketika
kyai memberikan ijazah (restu) untuk mengamalkan yang biasanya juga
disertai dengan pemberian silsilah gurunya sampai kepada pengarang kitab
tersebut. Disinilah sehingga banyak santri-santri senior melakukan
pengarbaraan untuk mencari kyai dengan melakukan pengajian “kilat”
hanya untuk mencari “barokah” atau silsilah.
111
Ajaran yang terkandung dalam kitab kuning komprehensif. Secara
keseluruhan meliputi berbagai aspek yang sangat luas, baik yang mencakup
keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik, maupun pandangan dan
tata nilai kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat yang diharapkan
kesemuanya bermuara pada satu titik tujuan, yaitu terbentuknya suatu
kwalitas manusia yang sempurna, berkepribadian mulia baik terhadap
Tuhannya, diri sendiri, maupun terhadap sesama manusia dan lingkungan
sekitarnya.
Dari 900 judul kitab kuning yang beredar di pondok pesantren
sebagaimana hasil penelitian Martin Van Bruinisser, tidak semua beredar
secara merata di kalangan masyarakat pesantren. Ada kitab yang di
kalangan awam pesantren populer tetapi di kalangan elit (khawas)-nya tidak,
dan sebaliknya (Masdar, dalam Dawam Raharjo, 1985: 57). Ada yang di
satu pesantren dikaji, tetapi di pesantren lainnya tidak dikaji. Dari segi
disiplin keilmuannya, kitab-kitab itu setidaknya dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa disiplin keilmuan, yaitu bahasa Arab, ilmu akidah/ilmu
tauhid, akhlak dan tasawuf, fiqih, usul fiqih, tajwid, tafsir Al-Qur’an, ilmu
tafsir, hadis, ilmu hadis dan tarikh (sejarah Islam).
Mata pelajaran ilmu tauhid atau ilmu akidah merupakan suatu mata
pelajaran yang sangat prinsip dan mendasar di pondok pesantren. Tujuan
dari pengajaran mata pelajaran itu adalah menanamkan keyakinan kepada
para santri tentang ketauhidan Allah SWT dan rukun-rukun iman yang
lainnya. pada tingkatan menengah, di samping tujuan tersebut di atas
112
disertai pula dengan pengetahuan tentang argumentasi dari keyakinan-
keyakinannya, baik menggunakan akal (aqli) maupun norma-norma agama
(naqli). Sedang pada tingkatan tinggi tujuan pengajarannya lebih
ditingkatkan lagi, yaitu memperkuat pemahaman dan argumentasi dengan
memperbandingkan dengan keyakinan-keyakinan dari agama lain. Pada
prinsipnya tujuan-tujuan tersebut bermuara pada pembentukan pribadi
mukmin yang mengetahui, meyakini dan memahami dasar keimanannya.
Adapun kitab-kitab ilmu tauhid yang biasanya diajarkan di pondok-
pondok pesantren at-Tauhidiyah adalah :
Tabel 1 : Daftar Kitab Ilmu Tauhid yang Diajarkan di pondok pesantren at-Tauhidiyah.
TINGKAT NAMA KITAB PENYUSUN
Dasar
- ‘Aqidah al-‘awam
- Tijan Darari
- Matn al-Bajuri
- Sanusiyah
- Ta’lim al-Mubtadiin fi Aqaid
ad-Din Juz I & II
- Durus al-Mubtadiin
- Syeh Ahmad Marzuki
- Ibrahim al-Bajuri
- Ibrahim al-Bajuri
- Muhammad bin
Yusuf as-Sanusi
- KH. Said Armiya
- Tim pon pes at-
Tauhidiyah
Menengah
- Kifayah al-‘ Awam
- Ad-Dasuqi
- Al-Jawahir al-Kalamiyah
- Umm al-Barahin
- Muhammad al-Fadali
- Muhammad ad-
Dasuqi
- Tahir bin Salih
113
- Fathul Majid
- Sayyid Muhammad
Sanusi
- Imam Nawai al-Jawi
Tinggi
- Husn al-Hamidiyyah
- Syarah Syughra
- Risalah Tsalisah
- Sayyid Hussain
Affandi
- Imam Muhammad
Sanusi
- KH. Ahmad bin Said
bin Armiya
(merupakan kitab
khusus yang
diberikan kepada para
ustadz).
Di samping kitab-kitab tersebut tentu masih banyak lagi yang berada
di pesantren. Kebanyakan kitab kuning tidak memberikan pembahasan yang
berbelit dan abstrak dalam soal-soal ketuhanan. Ajarannya mengikuti
prinsip-prinsip ajaran Sunny yang telah dirumuskan oleh Abu Hasan al-
Asy’ari (873 - 935) dan Imam Muhammad al-Maturidi (825 - 944). Dalam
hal ini Al-Gazali dengan karya-karyanya terutama Ihya’ Ulumuddin telah
membuat paham Asy’ari menjadi semakin populer yang pada akhirnya
praktis merupakan sistem teologi yang banyak dikenal dan diterima di
hampir seluruh dunia Islam, termasuk masyarakat pesantren (Masdar, dalam
Dawam Raharjo, 1985: 58).
114
Kitab karya Imam Ghazali ini tidak dibahas dalam pembelajaran di
pondok pesantren at-Tauhidiyah, kalaupun ada hanya merupakan catatan
dan pengajian yang bersifat individual dan diajarkan secara pasaran pada
bulan Ramadlan (Wawancara dengan Kyai Bisyri tanggal 30 Juli 2009).