bab iii pendidikan yang membebaskan menurut paulo freire dalam perspektif pendidikan islam

26
BAB III PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN MENURUT PAULO FREIRE A. Konsep Pendidikan Paulo Freire Konsep pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lebih menonjolkan kemasalahan sosial. Sebagai realitas sosial, ilmu pengetahuan bukan barang yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi kemampuan atau keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang tepat. Pada tahap ini, secara tidak langsung, teori Freire membongkar positifisme ilmu pengetahuan Barat yang mengasumsikan bahwa pengetahuan adalah suatu yang positif, tetap dan pasti. Freire juga mengakui bahwa pendidikan juga merupakan momen kesadaran kritis manusia terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. 56 Paulo Freire telah menempatkan manusia dalam berbagai perannya sebagai subyek aktif. Baginya, pendidikan merupakan sebuah proyek percobaan dan agen untuk melakukan perubahan guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai proyek percoban, berarti kita berbicara tentang sistem politik kebudayaan (cultural politics) yang menyeluruh dan melampaui batas - batas teoritis dari doktrin politik tertentu, serta berbicara tentang keterkaitan antara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang sebenarnya. Sejatinya, politik kebudayaan telah mewakili wacana politik yang 56 Akhmad Muhaimim Azzet, op. cit., hlm. 14 42

Upload: muhammad-harir

Post on 29-Nov-2015

1.164 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Skripsi Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

42

BAB III

PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN

MENURUT PAULO FREIRE

A. Konsep Pendidikan Paulo Freire

Konsep pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lebih menonjolkan

kemasalahan sosial. Sebagai realitas sosial, ilmu pengetahuan bukan barang

yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi kemampuan atau

keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang

tepat. Pada tahap ini, secara tidak langsung, teori Freire membongkar

positifisme ilmu pengetahuan Barat yang mengasumsikan bahwa pengetahuan

adalah suatu yang positif, tetap dan pasti. Freire juga mengakui bahwa

pendidikan juga merupakan momen kesadaran kritis manusia terhadap

berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.56

Paulo Freire telah menempatkan manusia dalam berbagai perannya sebagai

subyek aktif. Baginya, pendidikan merupakan sebuah proyek percobaan dan

agen untuk melakukan perubahan guna membentuk masyarakat baru.

Menjadikan pendidikan sebagai proyek percoban, berarti kita berbicara

tentang sistem politik kebudayaan (cultural politics) yang menyeluruh dan

melampaui batas - batas teoritis dari doktrin politik tertentu, serta berbicara

tentang keterkaitan antara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang

sebenarnya. Sejatinya, politik kebudayaan telah mewakili wacana politik yang

56 Akhmad Muhaimim Azzet, op. cit., hlm. 14

42

Page 2: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

43

mula-mula tujuannya untuk melawan semua bentuk dominasi baik yang

bersifat subyektif maupun objektif, serta perjuangan untuk menciptakan

pengetahuan, keterampilan dan bentuk–bentuk hubungan sosial yang

menjamin adanya emansipasi sosial dan tentu juga emansipasi individu.

Untuk melakukan perubahan pendidikan yang merupakan wadah dan “surat

perjanjian khusus” dengan masyarakat yang memegang dominasi untuk

menentukan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bagi Freire,

pendidikan juga memuat konsep sekolah. Sekolah yang berarti hanyalah salah

satu bagian yang memang cukup pentig di mana pendidikan mengambil

tempat. Yakni di mana laki-laki dan perempuan menciptakan, sekaligus

menjadi hasil, hubungan-hubungan sosial dan pedagogis.57

Realitas merupakan medium pembelajaran kritis bagi manusia. Dalam

realitas tersebut seluruh potensi manusia berproses sampai membentuk suatu

kondisi kepribadian tertentu. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks

sosial yang lebih luas di mana ia berada. Bahkan, disadari atau tidak,

sebenarnya pendidikan merupakan ajang pertarungan antara pelbagai ideologi

yang membentuk sosial. Setiap bentuk praktik pendidikan secara politis adalah

ruang yang diperebutkan. Jika demikian halnya, pendidikan tidak bisa

dipisahkan dari pertarungan antar kepentingan. Pendidikan harus mengambil

peranan dalam memproduksi dan menciptakan kehidupan umum, bukan hanya

sekedar beradaptasi dengan realitas sosial belaka. Dalam realitas sosial yang

57 Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan), op. cit., hlm. 6

Page 3: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

44

sangat kompleks, telah didapati bermacam-macam masalah sosial mulai dari

kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan sebagainya.58

Konsep pendidikan yang dihadapkan pada realitas sosial bukan berarti

mencetak pesera didik menjadi robot atau mesin-mesin industri yang siap

bekerja demi kepentingan “kapitalisme global”. Bila demikian yang terjadi,

pendidikan justru akan menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang semestinya

harus di merdekakan. Namun, pendidikan yang dihadapkan realitas sosial

adalah pendidikan yang membangun kesadaran kritis peserta didik dalam

menghadapi realitas sosial. Kesadaran kritis ini penting agar peserta didik

bisa menilai secara jernih sekaligus bisa bersikap untuk bisa menyelesaikan

masalah yang sedang dihadapinya.

B. Pendidikan Pembebasan Paulo Freire

1. Pengertian Pendidikan yang Mebebaskan

Pendidikan pembebasan menurut Pulo Freire merupakan proses bagi

seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling penting dalam

kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang

kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan.59 Bila

merujuk pada pemikirannya Freire, pendidikan yang mebebaskan adalah

pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong

kemampuan peserta didik untuk memiliki kedalaman menafsirkan

58 Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan ; Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, cet. ke-1, Yogyakarta, Pinus, 2008, hlm.82 59 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 9

Page 4: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

45

persoalan nyata dalam kehidupannya. Bila sudah demikian, pendidikan

yang membebaskan juga membangun kepercayaan pada diri pesera didik

untuk menyikapi keadaan yang terjadi. Oleh karena itu, proses pendidikan

dinilai lebih penting dari pada dengan hasilnya.

Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya memperoleh

pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan

antara peserta didik mesti terjadi dalam hubungan timbal balik.

Sumbangan pemikiran menjadi salah satu model pedidikan pembebasan

yang dikembangkan Freire dalam masyarakat yang cenderung terbelakang

dan miskin. Sebuah kebebasan memiliki batasan-batasan tertentu,

kebebasan tanpa batas akan membentur hak-hak orang lain dan akhirnya

menimbulkan anarki dan mendistorsi makna pembebasan, terkait dengan

upaya proses pendidikan yang selalu mengedepankan “kebebasan” sebagai

ruh spirit dalam melakukan pemaknaan akan keberadaan manusia sebagai

manusia yang benar-benar manusiawi. Kebebasan bukanlah cita-cita yang

letaknya diluar manusia; bukan pula sepotong gagasan yang kemudian

menjadi mitos. Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-

tawar lagi agar manusia dapat memulai perjuangan untuk menjadi manusia

utuh.60

60 Paulo Freire, Ivan Illich, et. all,. Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, cet ke-7, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 438

Page 5: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

46

2. Tujuan Pendidikan yang Membebaskan

Hal yang paling mendasar dari pendidikan yang membebaskan adalah

pendidikan yang memanusiakan manusia. Freire berpendapat bahwa

pendidikan yang membebaskan memang harus dijadikan sebagai

pendidikan humanis dan libertarian (merdeka).61 Untuk itu maka

pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan umat manusia, karena

tujuan tertinggi manusia adalah humanisasi. Sedangkan humnisasi dalam

pegertian Freire bukanlah pencarian kebebasan individu semata,

melainkan (karena tujuan humanisasi) sosial.

Pendidikan yang memanusiakan manusia yaitu pendidikan yang

berpusat kepada kepentingan peserta didik dan sesuai dengan

perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh perserta didik agar tumbuh

dan berkembang menjadi manusia yang merdeka. Karena hanya manusia

merdekalah yang bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup. Inilah hal

mendasar dalam pendidikan yang membebaskan.62 Pendidikan yang

humanis akan mereduksi dehumanisasi, dengan demikian dalam

praktiknya akan bisa menghargai hubungan dialektis antara kesadaran

manusia dan dunia, atau antara manusia dan dunianya.

Pada dasarnya salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai

sebuah kewajiban humanis dan pembebasan, disatu sisi dengan dominasi

dan dehumanisasi, di sisi yang lain adalah bahwa dehumanisasi merupakan

proses pemindahan ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan

61 Ibid., h. 446 62 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 22

Page 6: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

47

proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Memang

keduanya saling berlawanan, yang otomatis juga menciptakan prosedur

yang juga berlainan, yang berkisar pada hubungan antara kesadaran

manusia dan dunia.

Dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia, pendidikan

yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia

semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi ilmu pengetahuan,

bila wadah itu sudah penuh, maka berhasillah pendidikan itu. Sedangkan

pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi

memandang kesadaran itu sebagai sebuah hasrat terhadap dunia.

Bila demikian peserta didik akan selalu menjadi objek, sedangkan

pendidik menjadi subjek. Perserta didik tidak pernah ditanya apa yang

dibutuhkan dan disenanginya, namun pendidikan terus memberikan apa

saja yang dinilainya penting dibutuhkan oleh peserta didik. Peserta didik

mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima dan menjalani

proses pendidikan yang diberikan oleh sang pendidik atau lembaga

pendidikan yang diikutinya.

Dengan demikian dapatlah disebutkan bahwa pendidikan dalam

pandangan Freire tidak lebih dari sekedar jalan dalam rangka

membebaskan manusia dari dominasi sang penindas. Pendidikan berusaha

semaksimal mungkin untuk menyentuh penyadaran conscientizacao

sehingga manusia menyadari akan keharusannya mencapai tingkat

Page 7: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

48

kebebasan sosial untuk kepentingan kemanusiaan melalui aktivitas yang

revolusioner.

Dengan istilah lain intisari dari pendidikan yang membebaskan adalah

pemanusiaan manusia seutuhnya, dan ini sangat punya keterkaitan dengan

upaya pendidikan pembebasan dan menempatkan manusia sebagai nilai

yang tertinggi (humanisasi). Pendidikan yang membebaskan merupakan

laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan

pengetahuan atau informasi belaka.63 Didalamnya tidak ada hubungan

kontradiktif antara pendidik disatu sisi dan peserta didik disisi lain.

Melainkan mencerminkan hubungan yang dialogis, egaliter dan

demokratis, disamping pendidikan dan pembebasan selalu berupaya

menyingkap akan realitas secara terus menerus dengan melibatkan

kesadaran kritis.

Demikianlah, pendidikan semestinya membangun kesadaran peserta

didik untuk berani bersiap kritis terhadap status quo. Hal ini bukan berarti

membangun kesadaran peserta didik agar selalu berfikir untuk

memberontak terhadap status quo. Sama sekali bukan, akan tetapi

kesadaran untuk berani bersikap dan kritis terhadap status quo ini sangat

penting agar jangan sampai manusia yang satu ditindas oleh manusia

lainnya. Jangan sampai kelompok yang satu mengebiri kemerdekaan

kelompok lainnya. Sudah barang tentu, pendidikan tidak boleh

membiarkan penindasan terjadi, apalagi mendukung keberadaannya.

63 Paulo Freire, Pendidikan kaum Tertindas, op. cit., hlm. 61

Page 8: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

49

Disinilah pentingnya membangun kesadaran peserta didik untuk berani

bersikap dan kritis terhadap status quo itu. Sebab pendidikan berkewajiban

membawa kehidupan manusia untuk senantiasa sejalan dengan hakikat

kemanusiaannya.64

3. Komponen Pendidikan yang Membebaskan

a. Guru / pendidik

Tugas para pendidik progresif revolusioner, menurut Freire,

membuka kesempatan dan menumbuhkan harapan kepada peserta

didik. Disamping itu juga bisa mencarikan cara yang tepat bagi peserta

didik untuk belajar, dan bantuan yang paling tepat dan bisa ditawarkan

kepada peserta didik, sehingga mereka dapat memerankan diri sebagai

subjek belajar selama mengikuti pendidikan untuk memberantas buta

huruf. Pendidikan minimal memuat empat hal yaitu guru, siswa, isi

(kurikulum) dan cara penyampaian isi (metode). Dalam pengertian ini,

cukup jelas bahwa Freire membatasi pendidikan dalam pengertian

pengajaran. Dari empat hal pokok itu dapat dilihat apakah suatu sistem

pendidikan itu demokratis atau otoriter memberdayakan atau

membelenggu peserta didik.

Sebagai sebuah proses, pendidikan adalah proses mencari

pengalaman. Seperti juga berlaku bagi simbol lain di atas, memperoleh

pengalaman hal yang utama. Peserta didik bukan makhluk yang

64 Paulo Freire, Ivan Illich, et. all,. Menggugat Pendidikan,op. cit., hlm. 457

Page 9: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

50

termarjinalkan, mereka seharusnya memiliki kesempatan seluas-

luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dan pengalaman. Di sini

tugas pendidik bukan menggunakan alat dan cara tersebut untuk

menemukan objek pengetahuan dan kemudian menawarkan secara

paternalistik kepada peserta didik, karena ini berarti mengingkari usaha

peserta didik untuk memperoleh pengetahuan.65

Sehubungan dengan pendidikan dipandang sebagai nila-cara, maka

pendidikan harus menjadi aksi atau tindakan kultural untuk

pembebasan dan revolusi kultural.66 Nilai dan cara pertama yang harus

diusahakan oleh pendidik adalah praksis peningkatan kesadaran bahwa

pendidikan merupakan proses. Maka tidak salah lagi jika Freire

memandang pendidikan sebagai alat paling penting untuk mencapai

perubahan-perubahan sosial.67

Karenanya dalam proses pembelajaran pola penyadaran haruslah

ditekankan dengan sebaik mungkin. Sebagai contoh dalam pendidikan

yang membebaskan dari Tomoe Gakuen dalam novel yang berjudul

Totto Chan ; The Little Girl at The Windows (Totto Chan ; Gadis Cilik

di Jendela), yang mana dalam novel tersebut ditulis atas kisah nyata

seorang gadis cilik (Totto Chan) yang saat itu bersekolah di Tomoe

Gakuen. Sekolahan tersebut telah berhasil mendidik murid-muridnya

65 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses, op. cit., hlm. 11 66 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, cet. ke-3, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2011, hlm. xvi 67 Ibid., h. 128

Page 10: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

51

dengan cara dan model pendidikan yang membebaskan. Di samping itu

novel tersebut juga mengenang Sosaku Kuboyasi (seorang pria yang

mendirikan dan mengelola sekolah Tomoe Gakuen).

Pelaksanaan pendidikan yang membebaskan di sekolahan tersebut

bisa dilihat ketika diawal jam pelajaran pertama, sang pendidik mulai

membuat daftar semua soal dan pertanyaan mengenai hal - hal yang

akan diajarkan. Kemudian guru berkata, “Sekarang, mulailah dengan

salah satu dari ini. Pilih yang kalian suka”. Dengan demikian, di

sekolah Tomoe, tidak akan menjadi masalah jika seorang murid

memulai dengan belajar bahasa, berhitung, menggambar atau yang

lain. Murid yang suka bahasa langsung membaca atau bahkan menulis

karangan sedangkan murid yang suka menghitung langsung memulai

pelajaran dari hari itu dengan menghitung. Metode belajar mengajar

yang seperti itu membuat para pendidik akan bisa sangat mengerti dan

sejalan dengan waktu ketika peserta didik melanjutkan ke jenjang kelas

yang lebih tinggi. Bidang apa yang diminati peserta didik, termasuk

cara berfikir dan karakter mereka. Sungguh, hal ini adalah cara yang

sangat ideal bagi para pendidik untuk benar - benar menganal para

peserta didik mereka dengan baik.

Dengan demikian, belajar di sekolah itu adalah hal yang bebas dan

mandiri. Peserta didik bebas untuk bertanya kepada gurunya kapan

saja yang dirasa mereka perlu. Pendidik akan senang hati mendatangi

peserta didik jika diminta dan menjelaskan setiap hal sampai peserta

Page 11: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

52

didik itu benar-benar mengerti. Kemudian setelah itu baru diberi

latihan-latihan untuk dikerjakan sendiri dengan mata pelajaran yang

dipilihnya. Jika memperhatikan cara dan metode proses belajar

mengajar di sekolah Tomoe sebagaimana tersebut, berarti tidak ada

peserta didik yang hanya duduk menganggur dengan sikap tak peduli

kepada sang pendidik yang sedang menjelaskan pelajaran. Dengan

demikian, peserta didik seperti itulah bisa benar-benar secara aktif

dalam mengikuti pembelajaran. Jika seperti itu, maka peran seorang

pendidik tugasnya hanya mendampingi dan membimbing peserta didik

untuk belajar. Karena, kemerdekaan peserta didik dalam belajar adalah

hal yang sangat perlu diperhatikan dalam proses belajar mengajar.68

Peran pendidik seperti yang disebut di atas juga pernah dialami

Freire ketika berdiskusi langsung dengan para petani dan pekerja urban

di Amerika Latin. Posisi Freire pada waktu itu sebagai pengajar yang

lebih menekankan kepada pembimbingan atau pengarahan dan

bertugas menolong mereka untuk mempersoalkan kenyataan sosial

mereka dengan beberapa pertanyaan yang disodorkan dan prinsip

pertanyaan itu pun tidak termasuk menggurui. Usaha seperti itu akan

akan sangat membantu pendidik dan peserta didik untuk untuk

menyelesaikan realitas yang menyatu dan untuk mendapatkan

pemahaman tentang keseluruhan ilmu pengetahuan.69

68 Tetsuko Kuroyanagi, Totto Chan; Gadis Cilik di Jendela, cet. ke-9, terj. Widya Kirana, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 38 69 Paulo Freire, Politik Pendidikan, op. cit., hlm. 61

Page 12: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

53

b. Peserta didik

Pendidikan yang membebaskan adalah sebuah model pendidikan

yang peserta didik bisa berperan aktif dalam proses belajar yang

sedang berlangsung. Seorang guru / pendidik yang lebih berperan aktif

dalam proses belajar mengajar dinilai tidak membuat pesrta didik

kurang bisa berkembang dengan baik dalam menjalani proses

pendidikan. Bila demikian yang terjadi, maka proses pembelajaran di

kelas hanya berjalan satu arah, yakni dari guru kepada peserta didik.

Model pendidikan seperti ini biasa disebut sebagai pendidikan yang

monologal. Pendidikan model seperti inilah yang dahulu dikritik Freire

sebagai model pendidikan yang tidak manusiawi. Artinya, pendidikan

semacam ini tidak semakin memanusiakan manusia (dehumanisasi)

terhadap peserta didik. Hal ini karena peserta didik berperan secara

pasif dalam pendidikan sehingga tidak bisa mengembangkan potensi

yang ada pada dirinya secara maksimal.

Dalam kritik Freire dikala itu, pendidikan di Brazil (dan mungkin

masih terjadi sampai kini di berbagai banyak negeri, termasuk di

Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk

membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya

bahwa ia telah menderita dan tertindas. Sehingga Freire menyatakan

dalam bukunya Pedagogy Of The Oppressed bahwa :

Education thus becomes an act of depositing, in which the students are the depositories and the teacher is the depositor. Instead of communicating, the teacher issues communiques and makes deposits which the students patiently receive, memorize, and

Page 13: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

54

repeat. This is the “banking” concept of education, in which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filing, and storing the deposits.70

Konsep pendidikan “gaya bank” adalah model pembelajaran dalam

pendidikan yang hanya satu arah (monologis). Asumsinya bahwa ilmu

pengetahuan adalah sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka

(baca; guru) yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka

(baca; peserta didik) yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-

apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain. Hal itu

menunjukkan sebuah ciri dari ideologi penindasan, yang berarti

mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian jati

diri manusia seutuhnya.

Pendidikan yang membebaskan terletak pada usaha ke arah

rekonsiliasi. Pendidikan seperti itu harus dimulai dengan pemecahan

masalah kontradiksi guru dan peserta didik tersebut. Dengan

merujukkan katup-katup dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya

secara bersamaan adalah guru dan peserta didik. Freire membangun

ide-idenya dengan cara mempertimbangkan dua hal yang kontradiktif.

Pikiran dialektis ini dimulai dengan ide atau praktek (tesis) yang harus

ditolak, kemudian diusulkan antitesisnya, yaitu ide atau praktek yang

terbalik atau melawan tesis yang ditolak. Istilah terkenal dalam

pemikiran Freire adalah konsep pendidikan “gaya bank”. Namun

ketika proses pembelajaran dengan memposisikan guru dan peserta

70 Paulo Freire, Paedagogy Of The Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos, New York, Continuum, 2006, pg. 72

Page 14: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

55

didik sebagai phatnership, yang terjadi kemudian adalah proses

pendidikan yang memanusiakan manusia (humanis).71

Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan

“gaya bank” itu sebagai berikut:

1) The teacher teaches and the student are tought (Guru mengajar,

peserta didik diajar).

2) The teacher knows everyting and the students know nothing (Guru

tahu segalanya, peserta didik tidak tahu apa-apa).

3) The teacher thinks and the students are thought about (Guru

berpikir, peserta didik dipikirkan).

4) The teacher talks and the student listen – meekly (Guru bicara,

peserta didik mendengarkan).

5) The teacher disciplines and the students are disciplined (Guru

menentukan peraturan, peserta didik diatur).

6) The teacher chooses and enfores his choose, and the students

comply (Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, dan peserta

didik menyetujui).

7) The teacher act and students have the illusion of acting trough the

action of the teacher (Guru bertindak, peserta didik

membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan

gurunya).

71 Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan, op. cit, hlm. 76

Page 15: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

56

8) Te teacher chooses the program content, and the student (who

were not consulted) adapt to it (Guru memilih bahan apa yang

akan diajarkan, peserta didik menyesuaikan diri dengan pelajaran

itu).

9) The teacher confuses the authority of knowledge with this or her

own professional authority, which she and he sets in opposition to

the freedom of the students (Guru mencampuradukkan kewenangan

ilmu pengetahuan dengan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan

untuk menghalangi kebebasan peserta didik).

10) The teacher is the subject of the learning process, while the pupils

are mere object (Guru adalah subejek proses belajar, sedangkan

peserta didik objeknya belaka.72

Tidak mengherankan jika pendidikan “gaya bank” memandang

manusia hanya sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah

benda dan gampang diatur. Pendidikan banking tersebut berarti ilmu

pengetahuan yang ditransfer dari pendidik kepada peserta didik.

Mungkin peserta didik menerima pengetahuan seperti itu sebagai

hadiah atau barang dibeli. Tetapi peserta didik mendominasikan yang

harus menerima apa saja yang dikasih oleh gurunya.

Pendidikan yang menonjolkan masalah sosial dimulai dengan

asumsi-asumsi egaliter dimana setiap orang termasuk yang buta huruf

72 Paulo Freire, Paedagogy Of The Oppressed, op. cit., pg. 73

Page 16: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

57

berharga dan mempunyai pandangan, pendekatan dan ilmu

pengetahuan sendiri. Teori banking hanya melaksanakan pendidikan

dalam suatu arah dari atas ke bawah, tanpa kesadaran bahwa pendidik

juga terbatas dan mempunyai ideologi kepentingan-kepentingan

sendiri. Pendidikan banking melaksanakan pandangan, teori atau

penafsiran sang pendidik supaya peserta didik hanya bisa menerima,

menghafal dan takluk kepada pendidiknya. Tetapi pendidikan yang

menonjolkan sosial, harus menghargai jati diri setiap orang yang

diberi tugas untuk membangun pengetahuan sendiri.73

Praktik dalam pendidkan “gaya bank”, pendidik harus mengganti

‘ekspresi diri’ dengan ‘penyetoran’ yakni menganggap peserta didik

sebagai modal (capital). Semakin efesien peserta didik dalam belajar,

berarti dia dianggap semakin terdidik. Padahal Praktik pendidikan

yang membebaskan tidak menempatkan pendidik pada posisi nomor

satu dan peserta didik pada nomer dua. Karena pendidik atau guru

adalah pihak yang memberi dan peserta didik adalah pihak yang

menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya jawab atau

berdiskusi dalam model pembelajarannya. Jika seorang pendidik

memberikan sesuatu kepada peserta didik, ini sesungguhnya tak lebih

dari proses berbagi kepada semua anak manusia perihal ilmu dan

pengetahuan.

73 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, op. cit., hlm. 50

Page 17: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

58

c. Materi / isi pelajaran

Menurut Freire, isi pelajaran atau kurikulum memang senantiasa

harus dikritisi. Pendidik dan peserta didik perlu bekerja sama dalam

menentukan isi yang mau dipelajari. Dalam pendidikan hadap masalah

problem posing dengan jelas bahan itu ditentukan peserta didik

sementara pendidik mengambil keadaan dari situasi hidupnya.

Pendidik seharusnya mengemban transformatif dengan cara “berdialog

dengan yang lain” bukan berusaha mewakilinya. Hubungan yang ideal

antara pendidik dan peserta didik bukanlah hierarkikal sebagaimana

dalam “pendidikan gaya bank”, tetapi merupakan hubungan dialogikal.

Melalui hubungan yang bersifat dialogikal, (the teacher-of-the-

students and the students-of-the-teacher cease to exist and a new term

emerges: teacher-student with students-teachers).74 Jadi, Guru bukan

semata-mata sosok tunggal yang mengajar, tetapi orang yang mengajar

dirinya melalui dialog dengan para peserta didik, yang pada gilirannya

di samping diajar mereka juga mengajar. Peserta didik bukan hanya

pendengar yang semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang

kritis dalam dialog bersama guru. Guru bertugas mengedepankan

suatu materi di hadapan murid-muridnya untuk meminta pertimbangan

mereka tentang materi tersebut. Guru mempertimbangkan ulang

materi ketika peserta didik mengekspresikan perspektif mereka tentang

materi tersebut.

74 Paulo Freire, Paedagogy Of The Oppressed, op. cit., pg. 80

Page 18: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

59

Peserta didik, bagi Freire yaitu “Students, as they are increasingly

posed with problems relating to themselves in the world and with the

world, will feel increasingly challenged and obliged to respond to that

challenge”.75 Murid diharapkan tidak demikian saja menerima

keberadaannya, tetapi berani untuk secara kritis mempertanyakan

keberadaannya, bahkan mengubahnya. Menurut Freire, tugas

pendidikan yang demokratis adalah membantu kelompok-kelompok

mengembangkan bahwa mereka sendiri bukan bahasa yang dibuat oleh

pendidik atau atasan mereka sendiri perlu menciptakan bahasa lewat

kehidupan dan peristiwa mereka sehari-hari. Cara yang digunakan

adalah dengan dialog dan kerja sama antar guru dan siswa.

d. Metode

Gaya mengajar atau cara bagaimana suatu mata pelajaran itu

disampaikan asih dinilai memperlihatkan kondisi yang statis, Sehingga

dalam proses pendidikan membawa kelesuan-kelesuan bagi peserta

didik. Akibat ulah dari para guru yang tidak tahu metode pengajaran

yang baik sampai harus mengorbankan peserta didik. Metode seperti

itu merupakan hasil dari metodologi warisan dari kolonial yang

sebenarnya sudah usang. Metodologi konservatif merupakan metode

pendidikan yang ditujukan untuk “belajar pada guru”. Pendidikan yang

menjadikan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar merupakan

75 Ibid., p. 81

Page 19: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

60

jebakan dalam metode pembelajaran “gaya bank” yang mana dalam

siklus metode belajarnya hanya berpusat pada guru atau trainer.

Banyak fasilitator, yang meskipun menggunakan istilah atau

mengklaim sebagai fasilitator sejati tetapi kenyataan dalam praktiknya

sama halnya seperti guru yang selalau memberikan model

pembelajaran yang monologis kepada peserta didik.76

Menurut Freire, kebalikan dari pendidikan yang monologis yaitu

pendidikan yang berjalan dua arah atau pendidikan yang dialogis.

Pendidikan yang dua arah ini adalah senantiasa menempatkan peserta

didik sebagai sahabat dalam proses belajar mengajar. Dalam

pendidikan yang bersifat dialogis, sudah tidak lagi menempatkan

seorang pendidik sebagai subyek yang menentukan semuanya,

sedangkan peserta didik sebagai objek yang pasif dan tinggal

menerima segala apa yang telah dibuat dan diberikan oleh pendidik.

Salah satu tujuan pendidikan Freire adalah keadilan. “Keadilan berasal

dari fakta bahwa fase-fase perkembangan merupakan sebuah ukuran

universal untuk menilai eksistensi manusia, karena keadilan berasal

dari proses dialogis yang melahirkan pertumbuhan”77. Konsekuensi

dari hal itu, keadilan akan mendorong pertumbuhan menuju aktualisasi

diri, integrasi atau tingkat kesadaran, sedangkan ketidak adilan

menghambat pertumbuhan.

76 Mansour Fakih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, et. all., Pendidikan Popular, op. cit., hlm. 63 77 William A. Smith, Concientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 117

Page 20: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

61

Pembelajaran yang masih menggunakan gaya mengajar statis, tidak

ada prinsip dialogis dan partisipatoris dalam tiap-tiap

pembelajarannya, yang terjadi kemudian peserta didik dalam posisi

sebagai objek tertekan untuk menerima transfer nilai-nilai keilmuan

dari guru. Malah peran guru semakin dioptimalkan dengan sekaligus

memberikan kesan kalau guru itu sosok yang maha tahu. Hal ini

tentunya akan menciptakan jurang pemisah antara guru dan peserta

didik. Kesenjangan ini dalam pendidikan semakin menciptakan kondisi

yang statis dalam proses pembelajaran.

Jika secara dialog tidak mengharapkan apa-apa dari sebagian

hasil dialog mereka, maka perkumpulan itu menjadi sesuatu yang

kosong, hampa, birokratis dan menjemukan.

Dan akhirnya, dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan

melewatkan pemikiran kritis yang melihat suatu hubungan yang tak

tepisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi antar

keduanya pemikiran yang memandang realitas sebagai proses dan

perubahan, bukannya entitas yang statis. Pemikiran kritis senantiasa

bergumul dengan problematika dan realitas sosial tanpa gentar

menghadapi resiko. Pemikiran kritis berlawanan dengan pemikiran

naif, pemikiran yang melihat waktu sejarah sebagai sebuah beban dan

bersikap reserve dan menerima begitu saja (taken for grated). Hanya

dialoglah yang menuntut adanya pemkiran kritis, yang mampu

melahirkan pemikiran kritis. Karena itulah nilai-nilai kemanusiaan

Page 21: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

62

dalam proses dialog memiliki pengaruh yang sangat substansial karena

itu pula sifat biologis dari pendidikan sebagai praktek pembebasan.

4. Tahap–tahap Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan bagi Freire, adalah jalan menuju pembebasan umat manusia

yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa

dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka dan melalui

praksis merubah kesadaran itu. Tahap kedua dibangun atas yang pertama

dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang memang benar-benar

membebaskan.

Tahap pertama dalam pendidikan pembebasan Paulo Freire ialah upaya

penyadaran (consientization) akan ketertindasannya dari berbagai macam

penindasan baik berupa pembodohan, perbudakan ganda, kebisuan dan

monolog, sehingga ia dapat keluar dari kemelut itu menuju terciptanya

manusia yang bebas, merdeka tanpa penindasan. Maka penyadaran

bukanlah tujuan sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan

puncak dari pendidikan untuk kaum tertindas.78

Adapun tahap kedua dimaksudkan sebagai tindak lanjut atas

penyadaran itu dalam rangka pembudayaan sikap pemanusiaan manusia

yang sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Intinya adalah disebut

dengan humanization, ketika manusia membuat dirinya mampu

menyingkap kenyataan aktif realita sosial sehingga mereka mengetahui

78 Ibid, h. 5

Page 22: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

63

dan memahami apa yang sudah diketahuinya.79 Dari dua tahap yang sudah

disebutkan diatas itulah yang nantinya akan mengantarkan para subjek

penddikan untuk menjadi manusia yang seutuhnya.

C. Filosofi Pendidikan Pembebasan Paulo Freire

Bertolak dari pandangan filsafat Freire yang revolusioner tentang manusia

dan dunia, kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakikat

pendidikan dalam suatu demensi yang sifatnya sama sekali baru dan

pembaharu. Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan

realitas diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya

bersifat objektif atau subjektif, tetapi harus kedua-duanya. Kebutuhan objektif

untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan

subyektif (kemampuan subjektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan

yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang objektif. Objektivitas

dan subjektifitas dalam pengetian ini menjadi duan hal yang tidak saling

bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis.

Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi dialektif

yang tetap dalam diri manusia hubungannya dengan kenyataan yang saling

bertentangan yang harus dihadapinya. Memandang kedua fungsi ini tanpa

dialektika semacam itu menjebak dalam kerancuan berfikir. Objektifitas pada

pengertian si penindas bisa saja berarti subyektifitas pada pengertian si

tertindas dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti

79 Paulo Freire, Politik Pendidikan, op. cit., hlm. 289

Page 23: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

64

persoalan mana yang lebih benar atau lebih salah. Dan menurut Freire bahwa

melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang konstan,

yaitu:

1. Pengajar

2. Pelajar atau anak didik

3. Realitas dunia

Yang pertama dan yang kedua adalah subjek yang sadar (cognitive),

sementara yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari (cognizable).

Lebih jelasnya, yang melandasi pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan

pembebasan yaitu relitas yang dialami sebagian besar manusia yang menderita

lantaran ketidakadilan dan pendistorsian nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu

Freire berusaha untuk rehumanisasi agar tidak menjadi produk “budaya bisu”.

Bagi Freire pendidikan harus beririentasi pada pengenalan realitas diri

manusia dan relitas diri sendidri secara subjektif dan objektif.80

Pola pendidikan juga harus mampu merubah penafsiran seseorang terhadap

situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah relitas dirinya

sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga

mudah dipahami mengapa suatu revolusi paling revolusioner sekalipun pada

awal mulanya, tetap digerakkan oleh orang-orang yang dihasilakn oleh sistem

pendidikan yang mapan seperti itu, yang pada akhirnya hanyalah

80 Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan), op. cit., hlm. ix

Page 24: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

65

menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya

terkadang jauh lebih buruk.

Akhirnya, Paulo Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya

sendiri, yang dinamakan sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem

pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan kaum

penindas, bukan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Sistem pendidikan

pembaharu ini, kata Paulo Freire, adalah pendidikan untuk penguasaan

(dominasi). 81

Dalam epistemologi pendidikan pembebasan, Paulo Freire bertitik tolak

dari filosofi kemanusiaan. Segala konsep yang ia gagas khusunya dalam

konteks pendidikan, telah diarahkan untuk menciptakan suatu kesadaran yang

benar-benar kodrati bagi manusia, yang dengan ini akan mengantarkan

manusia pada pemahaman tentang hakikat penciptanya. Manusia sebagai tema

sentral dalam konsepsi pendidikan Paulo Freire di tempatkan sebagai tokoh

kunci yang perannya sangat menentukan terhadap bagaimana tatanan dunia ini

kedepan, baik buruknya struktur dan sistem dunia beserta isinya ditentukan

oleh sejauh mana manusia bisa mngaktualisasikan potensinya dengan

kesadaran yang ia miliki untuk menjadi sutradara dalam realitas kehidupan.

Pada dasarnya Freire lebih memperlihatkan eksistensi itu sendiri, apakah

manusia memiliki sense of belonging terhadap fenomena atau sesuatu yang

ada di alam ini dan melakukan refleksi atas respon yang dilakukan atu menjadi

masyarakat bisu, yang tidak memiliki hasrat untuk memaknai dunia ini.

81 Ibid., h. xii

Page 25: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

66

Manusia memainkan peranan yang menentukan perwujudan dan penggantian

kurun-kurun sejarah. Dapat tidaknya manusia menangkap tema-tema

zamannya dan terutama, bagaimana mereka menangani realitas yang

melahirkan tema-tema itu.

Sebagian besar akan menentukan apakah mereka mengalami humanisasi

atau dehumanisasi. Hanya bila manusia mampu menangkap tema-tema

zamnnya, akan dapat campur tangan dalam realitas, tidak lagi tinggal diam

sebagai pengamat semata-mata. Dan hanya dengan terus-menerus

mengembangkan sikap kritis, manusia dapat mengatasi kecendrungan

menyesuaikan diri dan menjadi terintegrasi dengan semangat zamannya.

Landasan pendidikan Freire yang menjadikan manusia sebagai pijakan

utama berangkat dari sebuah pemahaman bahwa eksistensi manusia memang

tidak pernah terpisah dari dunia. Ada sebuah simbiosis mutualisme antara

manusia dan realitas dunia.82 Dsamping itu, filsafat pendidikan Paulo Freire

mempunyai visi filosofis yakni manusia yang terbebaskan (liberated

humanity). Visi ini berpijak pada penghargaan terhadap manusia dan

pengakuan bahwa harapan dan masa depan yang disampaikan kepada kaum

tertindas tidak hanya menjadi hiburan, sebagai mana juga bukan untuk terus

menerus mengecam dan menentang kekuatan objektif kaum tertindas.

Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial

budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan arena itu secara

metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni

82 Umiarso, Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, cet. ke -1, 2011, hlm. 148

Page 26: BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam

67

prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi

simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas

dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut. Inilah makna

dan hakikat makna praxis itu:

Tindakan (Action) Kata = Kata = Praxis (word) (word) Pikiran (reflection) Dengan kata lain, “praxis” adalah manunggal karsa, kata dan karya. Karena,

manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, bicara dan

berbuat. Ketiga fungsi atau aspek tersebut sebagai bagian yang tak

terpisahkan, tetapi padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai

manusia seutuhnya. Jika hal tersebut dibuat terpisah, akan ada dua kutub

ekstrem yang terjadi, yakni pendewaan berlebihan pada kerja, atau pendewaan

berlebihan pada kerja. Prinsip “praxis” inilah yang menjadi kerangka dasar

sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire. Setiap

waktu dalam prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah direfleksikan

kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian

seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan

berfikir yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup seseorang.