bab iii pembahasan...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai...

55
47 BAB III PEMBAHASAN Pada Bab III ini tulisan akan diawali dengan konsep pembuktian yang berlaku secara umum dalam hukum baik itu publik maupun privat kemudian merujuk pada konsep pembuktian yang khusus digunakan dalam hukum persaingan usaha. Maksud dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam pembuktian yang berlaku dalam hukum persaingan usaha yang didasarkan pada sifat atau karakteristik dan jenis kasus yang diperkarakan dalam hukum persaingan usaha itu sendiri. Untuk melakukan hal tersebut maka pada pembahasan awal bab ini akan diawali dengan pembahasan mengenai parameter, asas dan relevansi pembuktian. Kemudian selanjutnya akan dibahas mengenai konsep pendekatan yang rule of reason dan illegal perse dan diikuti dengan pembahasan hukum positif mengenai alat bukti dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Hal hal yang telah disebutkan tadi penting untuk dibahas berkaitan dengan circumstantial evidence sebagai cara untuk membuktikan adanya kesepakatan kartel. Permasalahan yang paling mendasar dari penggunaan konsep circumstantial evidence adalah relevansi antara bukti komunikasi dan bukti ekonomi terhadap dugaan kartel. Pada bagian akhir Bab ini akan membahas pada analisa kasus atau perkara kartel minyak goreng curah dengan nomor perkara 24/KPPU-I/2009 dan kemudian dilanjutkan dengan kartel ban nomor perkara 08/KPPU- I/2014. Adapun alasan dari pemilihan kedua kasus tersebut adalah tim investigator dalam membuktikan dugaan

Upload: others

Post on 09-Dec-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

47

BAB III

PEMBAHASAN

Pada Bab III ini tulisan akan diawali dengan konsep pembuktian yang berlaku

secara umum dalam hukum baik itu publik maupun privat kemudian merujuk pada

konsep pembuktian yang khusus digunakan dalam hukum persaingan usaha. Maksud

dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal – hal khusus dalam

pembuktian yang berlaku dalam hukum persaingan usaha yang didasarkan pada sifat

atau karakteristik dan jenis kasus yang diperkarakan dalam hukum persaingan usaha

itu sendiri.

Untuk melakukan hal tersebut maka pada pembahasan awal bab ini akan

diawali dengan pembahasan mengenai parameter, asas dan relevansi pembuktian.

Kemudian selanjutnya akan dibahas mengenai konsep pendekatan yang rule of reason

dan illegal perse dan diikuti dengan pembahasan hukum positif mengenai alat bukti

dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Hal – hal yang telah disebutkan tadi

penting untuk dibahas berkaitan dengan circumstantial evidence sebagai cara untuk

membuktikan adanya kesepakatan kartel. Permasalahan yang paling mendasar dari

penggunaan konsep circumstantial evidence adalah relevansi antara bukti komunikasi

dan bukti ekonomi terhadap dugaan kartel.

Pada bagian akhir Bab ini akan membahas pada analisa kasus atau perkara

kartel minyak goreng curah dengan nomor perkara 24/KPPU-I/2009 dan kemudian

dilanjutkan dengan kartel ban nomor perkara 08/KPPU- I/2014. Adapun alasan dari

pemilihan kedua kasus tersebut adalah tim investigator dalam membuktikan dugaan

Page 2: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

48

kartel yang dilakukan terlapor berdasarkan analisis komunikasi dan analisis ekonomi.

Tujuan dari menganalisa kedua kasus tersebut adalah untuk menilai apakah bukti

komunikasi dan bukti ekonomi dapat dijadikan salah satu cara untuk membuktikan

dugaan kartel di Indonesia.

A. Parameter, Asas dan Relevansi Pembuktian

1. Parameter Pembuktian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “parameter” berarti ukuran seluruh

populasi dalam penelitian yang harus diperkirakan dari yang terdapat di dalam

percontoh.71 Kemudian pembuktian adalah berbagai macam cara yang dilakukan oleh

hakim untuk menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk

mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya

akibat hukum.72 Jadi parameter pembuktian dapat disimpulkan sebagai ukuran ataupun

percontohan hakim dalam menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan

untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan

adanya akibat hukum.

a. Bewijstheorie

Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian

oleh hakim di pengadilan yang terbagi lagi kedalam empat teori. Pertama adalah

71 Di unduh dari https://kbbi.web.id/parameter, tanggal 20 agustus 2017 pukul 6.43. 72 Lihat kembali : kesimpulan penulis mengenai arti pembuktian dalam hukum pada Bab II

Page 3: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

49

positief wettelijk bewijstheorie yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti

menurut undang – undang.73 Menurut ajaran ini cukup alat bukti yang diakui undang-

undang saja, ini positif dengan perkataan lain tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain

dalam hal ini keyakinan hakim.74

Kedua, conviction intime yang berarti keyakinan hakim semata.75 Artinya

dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata – mata diserahkan pada

keyakinan hakim.76 Hakim tidak terikat pada alat bukti, namun atas dasar keyakinan

yang timbul dari hati nuraninya dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat

menjatuhkan putusan.77

Negara yang masih memakai konsep conviction intime adalah Amerika Serikat.

Amerika Serikat menggunakan sistem unus judex atau hakim tunggal untuk memutus

perkara namun bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh juri. Hakim di Amerika

memiliki hak veto. Hak veto tersebut dapat digunakan hakim apabila keyakinannya

berbeda dengan juri.

Ketiga adalah conviction raisonnee. Teori ini mempunyai konsep bahwa hakim

dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan

suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang – undang,

tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut

73 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, h. 15 74 Latifah Amir, Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Dan Perkara

Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, 2015, h. 55 https://media.neliti.com/media/publications/43309-ID-

pembuktian-dalam-penyelesaian-sengketa-tata-usaha-negara-dan-perkara-pidana.pdf, dikunjungi pada

tanggal 22 juli 2017 pukul 00.58 75 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h.16 76 Ibid. 77 Ibid.

Page 4: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

50

pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan

pergunakan.78 Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim ini berada dalam batas –

batas tertentu dengan alasan yang logis, sehingga hakim diberi kebebasan untuk

memakai alat – alat bukti dengan alasan yang logis.79 Teori ini sering disebut juga

dengan teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan – alasan

keyakinannya (vrijs bewijstheorie) namun dengan batas – batas yang rasional.

Baik dalam conviction intime maupun conviction raisonnee keduanya

mempunyai kesamaan yaitu menempatkan keyakinan hakim sebagai dasar utama

dalam memutus suatu perkara. Namun yang menjadi pembeda dari kedua jenis

pembuktian ini adalah ada atau tidaknya alasan yang logis sebagai dasar keyakinan

seorang hakim. Dalam conviction raisonnee hakim wajib untuk memberikan alasan –

alasan rasional dalam putusannya, sedangkan conviction intime hakim tidak perlu

memberikan alasan apapun cukup dengan keyakinan saja.

Untuk menggunakan teori conviction raisonnee pada suatu perkara haruslah

diimbangi dengan kemampuan akal sehat, ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan dari

hakim itu sendiri. Teori ini dapat digunakan untuk memeriksa serta mengadili perkara

– perkara khusus yang dianggap rumit. Sebagai salah satu contoh hakim yang bijaksana

menggunakan keyakinannya dalam memutus suatu perkara yang rumit adalah Raja

Salomo (Abad X SM) mengenai sengketa perebutan bayi oleh dua orang perempuan.80

78 Wahyu Wiriadinata, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jurnal Bina Adhyaksa

Vol. Iv No. 1 - November 2011, h. 54,

https://ojs.kejaksaan.go.id/index.php/binaadhyaksa/article/download/165/80, dikunjungi pada tanggal

26 Juli 2017, pukul 03.45 79 Eddy hiariej, Op. Cit, h. 17 80 Baca Alkitab, 1 Raja – raja 3:16-28

Page 5: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

51

Ada dua perempuan yang tinggal serumah dan sama – sama memiliki bayi yang

baru lahir. Salah satu bayi dari perempuan tersebut mati dan ibu dari anak yang mati

tersebut tersadar bahwa anak yang mati tersebut bukanlah anaknya dan ia merasa

ditukar. Pertentangan antar kedua perempuan tersebut terus terjadi dan tidak ada

seorang pun saksi yang mengetahui kejadian tersebut. Raja Salomo dengan hikmat

yang ia miliki ia mencari jalan keluar untuk membelah bayi itu dengan pedang agar

kedua perempuan tersebut memiliki setengah bagian dari anak itu. Namun ada seorang

perempuan yang tidak menghendaki anak itu dibelah dan ia melerakan anak tersebut

diserahkan kepada perempuan satunya lagi, namun perempuan yang satunya lagi

berkehendak agar anak itu dibelah.

Segera setelah itu berdasarkan keyakinannya Salomo menjatuhkan putusan

bahwa ibu kandung dari bayi tersebut adalah perempuan yang mengalah. Alasan

Salomo adalah ibu kandung dari anak tersebut tidak mungkin tega melihat anaknya

mati, sehingga dengan demikian bayi yang dipersengketakan tersebut diserahkan pada

salah satu perempuan yaitu perempuan yang tidak ingin anak itu dibelah.

Keempat adalah negatief wetterlijk bewijstheorie. Negatief wetterlijk

bewijstheorie merupakan dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari

alat – alat bukti dalam undang – undang secara negatif.81 Sebagai salah satu contoh

norma hukum yang menganut pembuktian ini adalah pasal 183 Kitab Undang – Undang

Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang berbunyi “Hakim tidak boleh

menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

81 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h. 17

Page 6: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

52

ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

b. Bewijsmiddelen

Bewijsmiddelen adalah alat – alat bukti yang digunakan untuk membuktikan

telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Alat – alat bukti yang digunakan untuk

membuktikan suatu peristiwa hukum biasanya telah termuat secara tegas dalam undang

– undang. Sebagai contoh dalam hukum acara perdata alat bukti yang digunakan

termuat dalam Pasal 1865 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya

disebut KUHPer), kemudian dalam hukum acara pidana alat bukti yang digunakan

termuat dalam Pasal 184 Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya

disebut KUHAP).

Alat bukti yang digunakan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia termuat

dalam pasal 42 UU Antimonopoli. Alat bukti dalam pasal 42 UU Antimomopoli

tersebut lebih menyerupai atau mendekati dengan konsep alat bukti yang ada dalam

KUHAP. Hal ini disebabkan perkara yang diajukan ke KPPU merupakan perbuatan

perdata yang mempunyai sifat publik. Mengenai alat bukti akan dijelaskan lebih lanjut

dalam sub bab khusus dalam bab ini.

c. Bewijsvoering

Secara harafiah bewijsvoering diartikan sebagai penguraian bagaimana cara

menyampaikan alat – alat bukti pada hakim di pengadilan.82 Parameter pembuktian ini

82 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h. 20

Page 7: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

53

mempunyai peranan yang penting dalam hukum acara pidana. Alat – alat bukti yang

digunakan untuk membuktikan kejahatan dalam persidangan harus didapatkan sah

secara hukum. Herbert L. Parker menyatakan bahwa suatu bukti illegaly acquired

evidence (perolehan bukti secara tidak sah) tidak patut untuk dijadikan bukti di

pengadilan.83 Tidak diterimanya alat bukti yang diperoleh secara tidak patut oleh

majelis hakim dalam persidangan, merupakan konsekuensi dari parameter pembuktian

ini walaupun sebenarnya alat bukti tersebut mempunyai peran yang penting.

d. Bewijslast

Bewijslaat atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian yang

diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum. Pada

perkara bidang perdata pihak yang tergugat yang mendalihkan haknya dilanggar oleh

tergugat maka pihak penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalihnya

(baca : pasal 1865 KUHPer). Hal tersebut diwajibkan berdasarkan asas actori incumbit

probotio yang berarti yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Sebaliknya

dari pihak tergugat wajib membuktikan bantahannya.

Dalam ranah hukum pidana secara umum di seluruh negara kewajiban untuk

membuktikan dakwaan yang didakwakan kepada tersangka adalah kewajiban jaksa

penuntut umum. Namun pada delik khusus terdapat pengecualian terhadap parameter

ini. Pada perkara pemberian (gratification) yang berkaitan dengan suap (bribery), pada

pokoknya disebut bahwa pegawai pemerintah yang menerima, dibayarkan atau

83 Ibid,. h. 22

Page 8: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

54

diberikan dari dan atau oleh seseorang, maka pemberian harus dianggap korupsi,

sampai sebaliknya dibuktikan.84

e. Bewijskracht

Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing – masing

alat bukti dalam penilaian terbuktinya suatu dakwaan.85 Kekuatan permbuktian terletak

pada kesesuaian masing – masing alat bukti dengan alat bukti lainnya serta

relevansinya dengan perkara. Hakim mempunyai otoritas untuk menilai serta

menentukan kesesuaian dan relevansi alat bukti dengan perkara yang sedang

diperiksanya.

Dalam hukum acara perdata alat bukti tertulis seperti surat, sertifikat atau akta

authentic mempunyai kedudukan sangat kuat dalam pembuktian. Terlebih akta

authentic adalah probation plena yang berarti mempunyai kekuatan pembuktian yang

penuh dan sempurna yang kedudukannya, sangat kuat kecuali dapat dibuktikan

sebaliknya.86

f. Bewijs minimum

Bewijs minimum adalah bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian

untuk mengikat hakim.87 Secara umum dalam hukum acara perdata maupun pidana di

Indonesia mengadopsi asas ini. Hal ini dimaksudkan agar hakim memberi putusan

84 Wahyu Wiriadinata, Op. Cit.. 325 85 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit,. h. 25 86Ibid,. h. 26 87 Ibid.

Page 9: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

55

tidak hanya dari keyakinanannya semata melainkan harus berdasarkan alat bukti yang

diungkapkan dalam suatu pemeriksaan perkara. Mengenai keyakinan hakim itu sendiri

akan dibahas sendiri dalam sub-bab tersendiri dalam Bab III.

2. Asas – Asas yang Berkaitan dengan Pembuktian

a. Asas audi et alteram partem

Milton C. Jacobs mengatakan bahwa : General rules of evidence are the same

in equity as law”,88 ungkapan tersebut merupakan istilah klasiknya dinamis asas “audi

et alteram partem” atau “Eines Manres Reide Ist Keines Mannes Rede” yang apabila

diartikan secara bebas makna dari ungkapan tersebut adalah pada prinsipnya

pembuktian di muka pengadilan para pihak yang sedang berperkara mempunyai porsi

yang sama untuk membuktikan sesuatu. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh

memberi putusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar kedua belah

pihak, dengan demikian hakim harus adil dalam memberikan kesempatan beban

pembuktian yang sedang berperkara.89

b. Asas ius curia novit

Asas ius curia novit mempunyai pengertian bahwa setiap hakim itu harus

dianggap tahu hukumnya perkara yang diperiksanya, sehingga hakim tidak boleh

memutus sebuah perkara dengan alasan bahwa hakim tidak mengetahui hukumnya.90

88 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas – Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prena

media Grup, Jakarta : 2012, h 61. 89 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Ibid., h.62. 90 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Ibid., h. 63.

Page 10: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

56

Apabila perkara yang dihadapi oleh hakim ataupun majelis hakim belum ada undang –

undang atau Yurisprudensi yang mengatur maka hakim diharapkan dapat menciptakan

hukumnya.

c. Asas clear and convincing evidence

Asas ini diartikan sebagai standar pembuktian antara standar preponderance of

evidence dan beyond a reasonable doubt. Preponderance of evidence merupakan

kecukupan bukti yang biasanya digunakan dalam perkara perdata, di sini akan

diputuskan adalah pihak yang dapat membuktikan lebih banyak.91 Sementara beyond

reasonable doubt yang berarti di luar tingkat keraguan yang masuk akal, asas ini

digunakan dalam pembuktian perkara pidana.92 Demi menghindari terjadinya keraguan

bagi hakim untuk memutus salah tidaknya seseorang, tidaklah cukup dengan alat bukti

saja, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hakim pula.93

d. Unus testis nulum testis

Secara harafiah unus testis nullus testis berarti seorang saksi bukanlah saksi.94

Perihal mengenai satu saksi bukanlah saksi ini sudah dikenal sejak abad ke VII – V

sebelum masehi dari hukum Ibrani (Deuteronomion) yang dimana hal tersebut tercatat

dalam dalam Kitab Ulangan Pasal 19 ayat 15 yang berbunyi sebagai berikut 95:

91 Amir Ilyas dan Muhammad, Kumpulan Asas – asas Hukum, PT. Rajagrafindo Persada,

Jakarta 2016h. 3 92 Ibid. 93 Ibid. 94 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h. 45 95 John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Jakarta:

2001, h. 142 - 150

Page 11: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

57

“Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai

perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin

dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara

itu tidak disangsikan”.

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas ini menghendaki

akan adanya saksi yang lebih dari satu orang untuk memberikan kesaksian tentang apa

yang saksi tersebut ketahui mengenai perkara yang sedang diperiksa. Mengenai

maksud dari asas ini mempunyai hubungan dengan bewijs minimum yang merupakan

parameter dari suatu pembuktian.

e. Actori incumbit probation dan Actori incumbit onus probandi

Asas Actori incumbit probation merupakan asas yang dikenal dalam hukum

acara perdata, yang secara harafiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib

membuktikan.96 Sedangkan asas Actori incumbit onus probandi merupakan asas yang

berlaku dalam hukum acara pidana yang mempunyai arti, siapa yang menuntut dialah

yang membuktikan.97 Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha adalah apabila

KPPU dalam memeriksa dugaan terjadinya pelanggaran terhadap UU Antimonopoli

maka KPPU wajib untuk membuktikan kehadapan Majelis Komisi melalui alat bukti

yang cukup dan meyakinkan.

96 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h. 42 97 Ibid. h. 43

Page 12: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

58

3. Relevansi Alat Bukti dalam Pembuktian

Suatu alat bukti yang dipakai dalam membuktikan suatu peristiwa haruslah

relevan dengan perkara atau kasus yang sedang diperiksa oleh pengadilan, dan hakim

yang harus menilai dan memutuskan bahwa alat bukti tersebut relevan atau tidak

relevan dengan perkara tersebut. Untuk menentukan suatu alat bukti itu relevan maka

hakim harus mempunyai pedoman – pedoman umum sebagai tolak ukur dalam

menentukan relevansinya suatu alat bukti. Pedoman – pedoman umum tersebut adalah

sebagai berikut :98

1. Seseorang membuktikan bahwa dia mempunyai hak (Pasal 163 HIR)

2. Seseorang membuktikan untuk menguatkan haknya (Pasal 163 HIR)

3. Seseorang membuktikan untuk membantah hak orang lain (Pasal 163 HIR)

4. Seseorang membuktikan adanya suatu peristiwa (Pasal 163 HIR)

5. Karena yang perlu dibuktikan adalah masalah yang dipersengketakan, yang

tidak disangkal pihak lawan tidak perlu dibuktikan

6. Fakta – fakta yang telah diketahui umum (fakta Notoir) tidak perlu

dibuktikan (Pasal 184 ayat (2) KUHAP)

7. Karena membuktikan adalah untuk memberikan keyakinan hakim, segala

sesuatu yang sudah dilihat sendiri oleh hakim dipersidangan tidak perlu

dibuktikan lagi.

Apa yang telah disebutkan diatas merupakan pedoman umum bagi hakim

karena tindakan membuktikan mempunyai maksud untuk menumbuhkan atau

98 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, cetakan ke II, Citra Aditya

Bakti, Jakarta: 2012, h. 43

Page 13: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

59

menambahkan keyakinan hakim. Akan tetapi untuk menumbuhkan atau menambahkan

keyakinannya, seorang hakim haruslah kreatif dalam mencari pedoman lain misalnya

dari teroi – teori hukum pembuktian. Dengan begitu hakim dapat menentukan dengan

tepat apakah suatu alat bukti relavan atau tidak dengan kasus yang sedang diperiksa

oleh hakim tersebut.

B. Pendekatan Per se illegal dan Rule of reason

Untuk membuktikan serta memutus suatu perkara tentang adanya kegiatan

monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat, hukum persaingan usaha mengenal

dua hal prinsip atau pendekatan untuk digunakan, yaitu pendekatan per se illegal dan

pendekatan rule of reason. Berikut ini penjelasan mengenai apa itu per se illegal dan

pendekatan rule of reason dan bagaimana kedua pendekatan tersebut digunakan dalam

menyelesaikan perkara – perkara yang terjadi dalam hukum persaingan usaha.

1. Pendekatan Per se Illegal

Per-se dapat dimaknai “dengan sendirinya”.99 Kemudian dalam Black’s Law

Dictionary kata illegal berarti not authorized by law; unlawful; contrary to law atau

bila terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak sesuai atau

bertentangan dengan hukum. Per-se juga merupakan suatu terminologi berkenaan

dengan keadaan yang tidak memerlukan bukti yang tidak berhubungan (extraneous

99 Henry Campbell Black Op. Cit., h.1142

Page 14: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

60

evidence) atau pendukung atas suatu kejadian.100 Jadi secara etimologi dapat

disimpulkan bahwa pendekatan per se illegal berarti dengan sendirinya telah

bertentangan hukum.

Selain itu ada beberapa pandangan mengenai pendekatan per se illegal yaitu

sebagai berikut:

a. Dr. A.M. Tri Aggraini, S.H. M.H., per se illegal adalah suatu pendekatan

yang menyatakan setiap perjanjian usaha atau kegiatan usaha tertentu

sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan

dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.101

b. Menurut Kissane dan Benerofe, per se rule adalah bahwa pengadilanlah

yang memutuskan bahwa telah terjadi adanya tindakan anti persaingan dan

tidak diperlukan lagi fakta – fakta tertentu dari perkara tesebut untuk

menyatakan bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum.102

c. Susanti Adi Nugroho mendefinisikan per se rule adalah apabila suatu

perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang diatur jika

perbuatan itu telah memenuhi rumusan undang – undang tanpa alasan

pembenaran dan tanpa perlu melihat akibat dari tindakan yang dilakukan.103

100 Dr. Sutrisno Iwantono MA Anggota/Ketua KPPU 1999-2005, “Perse Illegal dan Rule of

Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha” 16 januari 2011,

https://serambihukum.wordpress.com/2011/01/16/perseillegaldanruleofreasondalamhukumpersainganu

saha, dikunjungi pada tanggal 10 juni 2016 pukul 10 ; 30 WIB. 101 Dr. A.M. Tri Aggraini, S.H. M.H.. Penerapan Pendekatan “Rule of Reason ” dan “illegal

Per Se” dalam hukum persaingan, dalam Jurnal ilmiah hukum bisnis volume 24 no.2, 2005, h. 5 102 L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laras, Sidoarjo, 2015, h. 94 103 Susanti Adi N, Op. Cit., h. 701

Page 15: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

61

Lebih lanjut Susanti mengatakan bahwa mengenai apa yang dimaksud

dengan per-se illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi

yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan

dilarang secara mutlak, serta tidak perlu pembuktian, apakah pembuktian

tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha.104

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa per se illegal

adalah suatu perbuatan atau tindakan tertentu dari pelaku usaha dalam menjalankan

kegiatan usahanya akan dinyatakan melanggar hukum dan akan dikenakan sanksi tanpa

harus dibuktikan lagi bahwa perbuatan tersebut mempunyai dampak buruk bagi pihak

lain. Larangan bersifat per-se adalah larangan yang memang secara alamiah105 dilarang

tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada

dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Ilustrasi tentang

pendekatan per-se illegal dapat dilihat dalam Gambar 3. 106

Gambar 3. Per-se Illegal Approach

104 Ibid. 105 Alamiah disini berarti dengan sendiri perbuatan itu mempunyai akibat hukum. 106 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta: 2002, h. 66

Dugaan atas Perbuatan yang

dilarang

Perbuatan Tersebut Terbukti

Illegal dan dikenakan sanksi

Page 16: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

62

2. Pendekatan Rule of Reason

Pendekatan Rule of Reason adalah doktrin yang dibangun berdasarkan

penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust Act oleh Mahkamah Agung Amerika

Serikat yang diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New Jersey v. United State

pada tahun 1911, yang penerapan hukumnya mempertimbangkan alasan-alasan

dilakukannya suatu tindakan oleh pelaku usaha.107 Organisation For Economic Co-

operation and Development (OECD) mengartikan Rule Of Reason sebagai berikut :108

“The Rule of reason is a legal approach by competition authorities or

the courts where an attempt is made to evaluate the pro-competitive

features of a restrictive business practice against its anticompetitive

effects in order to decide whether or not the practice should be

prohibited”

Pendekatan Rule of Reason dalam persaingan usaha ini merupakan kebalikan

dan cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan pendekatan per-se illegal.109

Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang menentukan meskipun suatu

perbuatan telah memenuhi rumusan undang–undang, namun jika ada alasan obyektif

yang dapat membenarkan perbuatan tersebut maka perbuatan itu bukan merupakan

suatu pelanggaran.110 Dalam pendekatan rule of reason ada dua jenis teori pembuktian

yang sering dipakai oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu bright line

evidence theory dan hard line evidence theory.111

107 Hermansyah, Pokok – Pokok Hukum Persaingan Indonesia, cetakan ke 2, Kencana, Jakarta

:2009, h. 79 108 Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law, compiled by R. S.

Khemani and D. M. Shapiro, commissioned by the Directorate for Financial, Fiscal and Enterprise

Affairs, OECD, 1993. Diunduh dari https://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=3305, pukul 00:59

WIB, pada tanggal 21 Juni 2017 109 L. Budi Kagramanto, Op. Cit., h. 102 110 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 711 111 L. Budi Kagramanto, Op. Cit.,112

Page 17: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

63

Penggunaan pembuktian dengan bright line evidence theory, adalah dengan

menggunakan garis tipis atau sederhana, yaitu cukup dengan membuktikan tidak

adanya kompetisi (tidak ada persaingan).112 Salah satu contoh penggunaan bright line

evidence theory terletak pada kasus tender, dimana dalam melakukan tender

seharusnya diawali dengan adanya pengumuman lelang di media masa, apabila tidak

adanya publikasi lelang tender di media masa maka penyelenggara tender tersebut

dapat diputus bersalah karena menghilangkan persaingan. Metode pembuktian secara

rule of reason melalalui hard line evidence theory harus menggunakan pembuktian

dengan analisa ekonomi atau dengan analisa ekonomi terhadap hukum.113 Contohnya

adalah menangani kasus perkara predatory pricing (jual rugi). Predatory pricing

mempunyai tujuan untuk mematikan usaha pesaingnya ataupun dengan tujuan

menghambat pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar bersangkutan. Sehingga dengan

demikian diperlukan analisa bukti ekonomi yang dapat menilai kerugian yang dialami

sementara oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang akan diperoleh

dikemudian hari karena tidak adanya pesaing. Ilustrasi tentang pendekatan rule of

reason approach dapat dilihat dalam Gambar 4. 114

Gambar 4. Rule Of Reason Approach

112 Ibid. 113 Ibid. h. 113 114 Arie Siswanto, Loc. Cit

Tindakan Terbukti Faktor Lain

Unreaonable Illegal

Reaonable Legal

Page 18: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

64

Pada Tabel 1 dapat dilihat penggolongan pasal – pasal mana saja yang

termasuk per se illegal dan pasal – pasal mana saja yang termasuk rule of reson

dalam UU Antimonopoli.

Tabel 1. Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason di Dalam UU Antimonopoli

Jenis Larangan Rule of Reason Per se Illegal

Perjanjian yang

dilarang

- Pasal 4. Oligopoli

- Pasal 6 S.D. Pasal 8.

Penetapan Harga

Dibawah Pasar.

- Pasal 9. Pembagian

Wilayah

- Pasal 11 Kartel

- Pasal 12 Trust

- Pasal 13 Oligopsoni

- Pasal 14. Integrasi

Vertical

- Pasal 16. Perjanjian

dengan Luar Negeri.

- Pasal 5. Penetapan Harga

- Pasal 10 Pemboikotan

- Pasal 15 Perjanjian

Tertutup

Kegiatan yang

dilarang

- Pasal 17. Monopili

- Pasal 18. Monopsoni

- Pasal 19 S.D 21

Penguasaan Pasar

- Pasal 22 S.D. 23

Persekongkolan

- Pasal 24 Persekongkolan

Larangan posisi

dominan

- Pasal 26 Jabatan Rangkap

- Pasal 27 Kepemilikan

Saham

- Pasal 28 Merger

- Pasal 25 Posisi Dominan

C. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Dalam proses pemeriksaan perkara terkait pelanggaran UU Antimonopoli,

KKPU memerlukan adanya bukti – bukti yang menunjukan bahwa terlapor telah

melakukan perjanjian, kegiatan dan/atau posisi dominan yang dilarang oleh UU

Page 19: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

65

Antimonopoli tersebut. Dalam rangka untuk membuktikan hal tersebut maka KPPU

memerlukan alat bukti yang sah menurut hukum. Alat bukti yang dikenal dalam hukum

persaingan usaha di Indonesia mengacu pada pasal 42 UU Antimonopoli Pasal 72

Peraturan Komisi nomor 1 tahun 2010 (selanjutnya disingkat Perkom KPPU no.

1/2010), terdiri lima jenis alat bukti yaitu ; saksi, keterangan/pendapat Ahli, surat dan

atau dokumen, petunjuk, keterangan pelaku usaha.

1. Saksi

Saksi yang dihadirkan ke pengadilan adalah saksi fakta yang secara kebetulan

melihat, mendengar, atau megalami sendiri suatu peristiwa, namun ada juga saksi yang

dihadirkan dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum pada

saat peristiwa itu dilakukan dimasa lampau.115 Saksi dalam hukum publik khususnya

dalam acara pidana adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri

dan ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian saksi tersebut merupakan

saksi fakta.

Tugas dari seorang saksi adalah memberikan kesaksian. Kesaksian yang

dimaksud itu adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang

suatu peristiwa atau kejadian yang tentu saja ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri. Hal tersebut juga dikuatkan oleh Sudikno Mertokusumo yang

115 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h.85. Lihat juga : Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam Teori dan Prakteknya, Mandar Maju, Bandung, 2009,

h. 70.

Page 20: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

66

mengungkapkan bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang saksi harus tentang

peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang

diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian.116

Didalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai saksi.

Namun penjelasan mengenai saksi dapat ditelusur dalam Pasal 1 angka 14 Perkom

KPPU no.1/2010 menyebutkan bahwa, saksi adalah setiap orang atau pihak yang

mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan

pemeriksaan. Selanjutnya dalam Pasal 73 Perkom KPPU no.1 Tahun 2010 menyatakan

bahwa keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dari terlapor dan atau pelapor, istri atau suami dari terlapor

meskipun sudah bercerai, anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun atau orang

sakit ingatan, tidak dapat di dengar keterangannya. Apabila Majelis Komisi

menganggap perlu maka keterangan dari orang – orang yang disebutkan dapat di

dengar terkecuali orang sakit ingatan.

2. Keterangan / Pendapat Ahli

Dalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai siapa saja yang

dapat dijadikan ahli dalam perkara persaingan usaha. Namun pengkualifikasian ahli

dapat ditelusur pada Pasal 75 Perkom KPPU no.1/2010 yang menyatakan bahwa orang

yang dapat menjadi ahli adalah orang yang wajib memiliki keahlian khusus yang

dibuktikan dengan sertifikat; atau memiliki pengalaman yang sesuai dengan

116 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.,, h. 169

Page 21: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

67

keahliannya. Pendapat ahli yang dianggap sebagai bukti merupakan pendapat yang

dikemukakan dalam Sidang Majelis. Penentuan lama pengalaman sesuai dengan

keyakinan Majelis Komisi. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 tidak boleh memberikan pendapat sebagai ahli.

Berbeda dengan saksi, ahli bukanlah orang yang dimintai keterangan mengenai

fakta – fakta tentang suatu perkara dalam persidangan. Seorang ahli dalam suatu

persidangan, mempunyai tugas untuk memberikan penilaian terhadap suatu fakta yang

diungkapkan kepada hakim berdasarkan keilmuannya untuk membantu hakim dalam

menilai fakta – fakta tersebut. Sudikno mengungkapkan bahwa bedanya keterangan

yang diberikan oleh seorang saksi dan ahli adalah seorang saksi dipanggil dimuka

sidang untuk memberikan tambahan keterangan peristiwanya, sedangkan seorang ahli

dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya.117

3. Surat dan/atau Dokumen

Dalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bukti surat

atau dokumen. Ketentuan mengenai alat bukti surat atau dokumen dapat dilihat dalam

Pasal 76 Perkom no.1/2010 yang menyatakan bahwa surat atau dokumen sebagai alat

bukti terdiri dari :

a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat

umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat

117 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit

Page 22: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

68

surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang

peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

b. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan

sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum

didalamnya;

c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang

berwenang;

d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha Terlapor, antara lain, data

produksi, data penjualan, data pembelian dan laporan keuangan;

e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, huruf b dan huruf c yang ada kaitannya dengan perkara;

f. Atas permintaan, Majelis Komisi dapat menyatakan data sebagaimana

dimaksud dalam huruf e sebagai rahasia dan tidak diperlihatkan dalam

pemeriksaan.

Surat atau dokumen yang diajukan sebagai alat bukti merupakan surat atau

dokumen asli atau bukan foto copy. Foto copy surat atau dokumen harus dinyatakan

sesuai aslinya, diparaf oleh petugas yang berwenang, dengan dibubuhi materai cukup.

4. Petunjuk

Alat bukti petunjuk merupakan salah satu jenis alat bukti yang digunakan untuk

membuktikan adanya dugaan pelanggaran terhadap UU Antimonopoli, yang termuat

Page 23: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

69

dalam pasal 42 ayat (1) huruf d UU Antimonopoli. Alat bukti petunjuk merupakan

pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Penjelasan mengenai alat bukti petunjuk ini termuat dalam pasal 72 ayat (3) Perkom

no.1/2010.

Penjelasan alat bukti petunjuk yang termuat dalam Perkom KPPU ini

mengakibatkan dua perspektif yaitu keyakinan hakim berdasarkan conviction in time

dan keyakinan hakim conviction raisonnee. Penulis berpendapat bahwa sebaiknya dan

seharusnya penjelasan mengenai alat bukti pertunjuk yang ada dalam Perkom no.1

tahun 2010 harus dimaknai sebagai conviction raisonnee. Jadi hakim dapat saja

menerima bukti-bukti yang tidak tercantum dalam undang – undang namun harus

dibatasi dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh nalar secara umum. Hal ini

dikarenakan sering kali undang – undang atau peraturan – peraturan lain yang mengatur

mengenai persaingan usaha di Indonesia tidak up to date atau tidak mengikuti

perkembangan pola perilaku pelaku usaha yang menggunakan berbagai macam cara

atau teknik dalam hal unfair competition.

Pada prakteknya Majelis komisi yang memeriksa dan memutus perkara

persaingan usaha biasanya terdiri dari lima orang hakim yang merupakan campuran

dari orang yang mempunyai kemampuan di bidang ilmu hukum dan ilmu ekonomi.

Kolaborasi antara para hakim yang paham mengenai ilmu hukum dan ilmu ekonomi

merupakan syarat yang mutlak dalam penyelesaian perkara persaingan usaha. Dengan

demikian apabila pembuktian yang diajukan oleh penyidik KPPU berupa perhitungan

analisis ekonomi dengan metode ekonomi maka para majelis komisi mempunyai

pengetahuan yang cukup untuk menganalisa dan menilai metode yang digunakan

Page 24: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

70

tersebut valid atau tidak. Dengan pemahaman alat bukti petunjuk dalam UU

Antimonopoli secara convition raisonnee, maka hal ini tentu saja dapat mengakomodir

penyelesian perkara-perkara yang rumit dikarenakan undang – undang belum mengatur

atau kurang jelas.

Namun apabila ditelusur dengan interpretasi sistematis maka mengenai alat

bukti petunjuk dapat ditemukan dalam KUHAP. Di dalam hukum pidana alat bukti

petunjuk diatur dalam pasal 188 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang

karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang

lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya

dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk

dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan

arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan

dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan

hati nuraninya.

Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti “yang tercipta”, berbeda dengan alat

bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat bukti petunjuk) yang bernilai dan

berkekuatan pembuktian atas hakikatnya sendiri, alat bukti petunjuk terwujud karena

adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu sama lain maupun dengan

tindak pidana itu sendiri.118

118 Drs.Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, alumni, Bandung :

2011, H.75

Page 25: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

71

Apabila dibanding dengan alat bukti yang ada dalam hukum acara pidana yang

berlaku di Belanda (wetboek van starfvordering) tidak dikenalnya alat bukti petunjuk,

melainkan pengamatan atau pengetahuan hakim (eigen waarneming van de rechter).

119 Pengetahuan hakim tidak hanya menyangkut teknis hukum semata melainkan lebih

dari itu, sehingga seorang hakim di Belanda harus mengikuti perkembangan jaman

dalam memeriksa suatu perkara.120 Hal tersebut tentu saja sangat berguna untuk

menyelesaikan kasus yang rumit ataupun kasus yang dalam undang – undang

rumusannya tidak jelas. Otomatis dalam keadaan seperti itu penafsiran atau interpretasi

hukum yang dipilih haruslah tepat dan sesuai dengan perkembangan jaman.

Kemudian dalam Hukum Acara perdata dapat ditemukan pula alat bukti yang

mempunyai makna serupa dengan alat bukti petunjuk yaitu alat bukti persangkaan.

Perkataan “persangkaan” dalam pasal 163 H.I.R. oleh karenanya agak kurang tepat,

seharusnya adalah persangkaan-persangkaan, persangkaan dalam hukum acara perdata

menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana, kurang tepat untuk mencampur

baurkan kedua pengertian ini sehingga dalam acara perdata harus memakai perkataan

persangkaan dan tidak menggunakan kata petunjuk. Persangkaan adalah kesimpulan

yang ditarik suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal

ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti.121

Pada umumnya jika hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan

tersebut tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu

119 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h. 18 120 Ibid. 121 Ny. Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata: dalam

Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung : 2009. H.77

Page 26: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

72

terbukti, dengan lain perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap,

apabila saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain yang

terdapat dalam perkara itu.122

5. Keterangan Pelaku Usaha atau Terlapor

Dalam Pasal 1 angka 13 Perkom 2010, terlapor adalah pelaku usaha dan atau

pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran. Sehingga dengan demikian keterangan

terlapor merupakan keterangan dari pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran

UU Antimonopoli. Keterangan yang sudah diberikan oleh terlapor tidak dapat ditarik

kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis Komisi.

Alat bukti yang disebutkan diatas lebih mirip dengan alat bukti yang tertuang

dalam Kitab Undang – undang hukum acara pidana ketimbang yang ada dalam hukum

acara perdata. Hal ini tentu saja terkait dengan sifat khas dari hukum persaingan usaha

yang merupakan sub bidang dari hukum ekonomi yang memiliki substansial antar

bidang hukum (hukum perdata dan publik). Salah satu contoh sifat khas substansi

hukum persaingan adalah pada kasus persengkongkolan jahat (kartel), dimana dalam

kartel terdapat unsur perdata yaitu adanya suatu perjanjian (kesepakatan) antar pelaku

usaha yang merugikan masyarakat luas (pelaku usaha lain maupun konsumen).

122 Ibid H.78

Page 27: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

73

D. Analisa Kartel Minyak Goreng Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009

1. Kasus Posisi

Tim investigator KPPU telah melakukan investigasi dugaan pelanggaran Pasal

4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU Antimonopoli terhadap beberapa perusahaan produksi dan

penjualan minyak goreng (minyak goreng kemasan maupun curah) di Indonesia yang

terdiri dari: PT Multimas Nabati Asahan (Terlapor I) PT Sinar Alam Permai (Terlapor

II), PT Wilmar Nabati Indonesia (Terlapor III), PT Multi Nabati Sulawesi (Terlapor

IV), PT Agrindo Indah Persada (Terlapor V), PT Musim Mas (Terlapor VI), PT

Intibenua Perkasatama (Terlapor VII), PT Megasurya Mas (Terlapor VIII), PT Agro

Makmur Raya (Terlapor IX), PT Mikie Oleo Nabati Industri (Terlapor X), PT Indo

Karya Internusa, PT (Terlapor XI), Permata Hijau Sawit (Terlapor XII), PT Nagamas

Palmoil Lestari (Terlapor XIII), PT Nubika Jaya (Terlapor XIV), PT Smart (Terlapor

XV), PT Salim Ivomas (Terlapor XVI), PT Bina Karya Prima (Terlapor XVII), PT

Tunas Baru Lampung (Terlapor XIII), PT Berlian Eka Sakti Tangguh (Terlapor XIX),

PT Pacific Palmindo Industri (Terlapor XX) dan PT Asian Agro Agung Jaya (Terlapor

XXI).

Minyak goreng curah biasanya dipasarkan oleh para produsen secara jual putus

dalam bentuk bulk/drum/tangki karena produsen hanya melayani pembelian dalam

jumlah atau volume yang besar. Kualitas minyak curah ini relatif cukup rendah karena

dihasilkan dari CPO dengan komposisi 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga karena

memiliki kualitas rendah apabila dilihat dari sisi kejernihan produk relatif tidak sejernih

minyak goreng kemasan (bermerek). Selain itu, ketahanan waktu penyimpanan minyak

Page 28: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

74

curah ini tidak terlalu lama yaitu sekitar 1 (satu) minggu sehingga sebagian besar hanya

melayani penjualan di gudang milik produsen.

Selanjutnya, untuk minyak kemasan atau bermerek biasanya dipasarkan

melalui distributor yang ditunjuk oleh produsen dengan sistem komisi yang besarannya

berkisar 5% (lima persen). Secara umum, produsen mendistribusikan atau memasarkan

dalam bentuk kemasan khusus dengan kantong plastik 1 liter, 2 liter atau dengan

jerigen. Kualitas minyak goreng kemasan (bermerek) ini lebih tinggi dibandingkan

minyak goreng curah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 45% (empat puluh

lima persen) hingga 65% (enam puluh lima persen) setelah melalui beberapa kali proses

penyaringan sehingga menghasilkan minyak goreng yang lebih jernih dan kadar olein

yang tinggi. Oleh karena itu, minyak goreng kemasan (bermerek) ini memiliki

ketahanan waktu simpan yang cukup lama yaitu sekitar 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan.

Pasar geografis, dimana pasar geografis ini direlevansikan dengan jangkauan

atau daerah pemasaran minyak goreng baik curah maupun kemasan (bermerek). Secara

umum pemasaran minyak goreng baik curah maupun kemasan (bermerek) mencakup

seluruh wilayah Indonesia tanpa adanya hambatan regulasi.

2. Pertimbangan Majelis Komisi

Dalam bagian pertimbangan Majelis Komisi terdapat 3 hal pokok yang

diutarakan yaitu, price parallelism, indirect evidence dan kerugian konsumen. Ketiga

pertimbangan Majelis Komisi tersebut kemudian akan digunakan untuk menjadi dasar

pertimbangan pemenuhan unsur kartel yang dituduhkan kepada para terlapor. Dibawah

ini akan diurai mengenai pertimbangan tentang price parallelism, tentang indirect

Page 29: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

75

evidence dan tentang kerugian konsumen, kemudian dilanjutkan dengan pertimbangan

Majelis Komisi tentang pemenuhan unsur pasal 11.

a. Price paralelism

Dalam menentukan ada atau tidaknya price paralelism dalam suatu industri

dapat dilakukan dengan metode uji statistik yaitu Uji Homogenity of Varians. Uji

statistik dilakukan untuk membandingkan varian dari harga minyak goreng masing-

masing perusahaan, sehingga bisa mengetahui kesamaan pola pergerakan harga antar

perusahaan. Apabila perubahan harga dari setiap pelaku usaha memiliki probabilitas

dibawah 5%, maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, namun sebaliknya jika

nilai probabilitas lebih besar dari 5% maka perubahan variasi harga antar perusahaan

sama atau ada price parallelism. Berdasarkan uji nilai probabilitas tersebut, Majelis

Komisi berpendapat bahwa terdapat fakta adanya price parallelism pada pasar minyak

goreng curah maupun kemasan (bermerek) karena nilai probabilitas lebih besar dari

5%.

b. Tentang Indirect evidence

Dalam perkara tersebut muncul pernyataan dari Terlapor XV yang menyatakan

bahwa price parallelism belum cukup membuktikan tentang adanya penetapan harga

atau kartel harga. Kemudian Majelis Komisi memberikan pendapat bahwa dalam

pembuktian hukum persaingan, pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan

dengan hanya menggunakan indirect evidence yang terdiri dari bukti komunikasi

Page 30: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

76

dengan bukti ekonomi. Kemudian tentang indirect evidence Majelis Komisi

mengulasnya sebagai berikut :

1) Bukti komunikasi dapat berupa fakta adanya pertemuan dan/atau

komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan

dan/atau komunikasi tersebut. Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau

komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh

para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009.

Bahkan dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain

mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi;

2) Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung

maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29

Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam pertemuan

dan/atau komunikasi tersebut dibahas mengenai harga, kapasitas produksi

dan struktur biaya produksi;

3) Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam

kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan -

pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.

Selanjutnya Majelis Komisi menjelaskan contoh praktek pembuktian adanya

sebuah kartel dengan menggunakan indirect evidence tercermin dari kasus kartel baja

dan kasus kartel Sao Paulo airlines di Brazil. Pada kasus kartel baja tersebut, Brazil’s

Council for Economic Defence (selanjutnya disebut CADE) memutuskan para pihak

dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti

penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan

Page 31: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

77

permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada

pemerintah. Pada kasus kartel Sao Paulo airlines investigasi yang dilakukan oleh

CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut

melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin

perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga.

c. Tentang kerugian konsumen

Dalam pertimbangannya, Majelis komisi berpendapat bahwa tidak

responsifnya pergerakan harga minyak goreng yang ditetapkan para terlapor terhadap

penurunan harga CPO periode bulan April 2008 tersebut telah mengakibatkan

terjadinya kerugian bagi konsumen untuk memperoleh harga minyak goreng yang lebih

rendah, karena kontribusi CPO sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total biaya

produksi minyak goreng. Majelis Komisi dapat menghitung kerugian konsumen

dengan cara menghitung selisih rata-rata harga penjualan minyak goreng dengan rata-

rata harga perolehan CPO masing-masing terlapor. Setelah perhitungan selisih harga

rata-rata tersebut pada periode bulan Januari 2007 hingga bulan Maret 2008 dengan

periode bulan April 2008 hingga Desember 2008.

Berdasarkan hasil perhitungan, Majelis Komisi menemukan fakta kerugian

konsumen selama periode bulan April 2008 hingga bulan Desember 2008 setidak-

tidaknya sebesar Rp. 1.270.263.632.175,00 (satu trilyun dua ratus tujuh puluh milyar

dua ratus enam puluh tiga juta enam ratus tiga puluh dua ribu seratus tujuh puluh lima

rupiah) untuk produk minyak goreng kemasan dan sebesar Rp. 374.298.034.526,00

Page 32: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

78

(tiga ratus tujuh puluh empat milyar dua ratus sembilan puluh delapan juta tiga puluh

empat ribu lima ratus dua puluh enam rupiah) untuk produk minyak goreng curah.

d. Pertimbangan pemenuhan unsur Pasal 11

Menurut pendapat Majelis Komisi para terlapor merupakan pelaku usaha

bergerak di bidang usaha produksi dan penjualan minyak goreng curah dan atau minyak

goreng kemasan (bermerek) di wilayah Indonesia maka unsur pelaku usaha yang saling

bersaing terpenuhi. Kemudian Majelis Komisi berpendapat bahwa perjanjian yang

dilakukan oleh terlapor adalah perjanjian tidak tertulis yang didasarkan pada inidirect

evidence.

Bukti komunikasi didasarkan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi

baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal

29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Berkaitan dengan bukti ekonomi,

Majelis Komisi menilai berdasarkan fakta-fakta terkait dengan struktur dan perilaku

dimana secara struktur pasar merupakan oligopoli yang semakin terkonsentrasi dan

perilaku para terlapor yang dapat dikategorikan sebagai price parallelism dan

facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling.

Kemudian mengenai unsur monopoli atau persaingan usaha tidak sehat Majelis

Komisi berpendapat bahwa dengan adanya perjanjian antar pesaing yang mempunyai

dampak terhadap harga dan produksi maka hal tersebut dikategorikan sebagai tindakan

yang tidak jujur dan/atau menghambat persaingan usaha. Oleh karena itu Majelis

Komisi berpendapat bahwa unsur praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

terpenuhi.

Page 33: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

79

3. Putusan Majelis Komisi

Kemudian Majelis Komisi yang memeriksa serta mengadili perkara aquo

berdasarkan pertimbangannya yang telah menyatakan bahwa seluruh unsur yang ada

pada Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU Antimonopoli maka Majelis Komisi

memberikan putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT

Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor

VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor

VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor

X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa,

Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh,

dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar

minyak goreng curah.

2. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor XV: PT

Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII:

PT Bina Karya Prima terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal

4 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan

(bermerek).

3. Menyatakan Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT

Nagamas Palmoil Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XVIII:

PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XX: PT Pacific Palmindo

Industri tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam

pasar minyak goreng curah;

Page 34: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

80

4. Menyatakan Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XVIII:

PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung

Jaya tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar

minyak goreng kemasan (bermerek).

5. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT

Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor

VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor

VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor

X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa,

Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya,

Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung,

Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT

Pacific Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya

terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun

1999 untuk pasar minyak goreng curah.

6. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor X: PT

Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI:

PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima,

Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian

Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5

UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek);

7. Menyatakan Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari tidak terbukti

melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng

curah.

8. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor X: PT

Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI:

PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima,

Page 35: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

81

Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian

Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11

UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek);

9. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar

Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT

Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor

VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor

VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor

X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa,

Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil

Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XV: PT Smart, Tbk,

Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian

Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri dan

Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya tidak terbukti melanggar Pasal

11 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah.

4. Analisa Hukum

Analisa hukum yang diberikan adalah khusus mengulas pemenuhan aspek yang

ada pada Pasal 11 pada pertimbangan tentang hukum Majelis Komisi. Selain itu analisa

pada kasus ini difokuskan pada konsep pembuktian yang sudah diurai penulis dalam

Bab III. Dalam perkara aquo bahwa para terlapor diduga melanggar ketentuan Pasal 11

UU Antimonopoli menyatakan:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat”

Page 36: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

82

Badan Hukum (Perseroan Terbatas) yang melakukan kegiatan usaha di bidang

produksi dan penjualan minyak goreng curah dan bermerek yang saling bersaing di

pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu aspek pelaku usaha pada perkara aquo ini

sudah sesuai dengan hal yang dimaksud dalam rumusan Pasal 11.

Majelis Komisi berpendapat kartel merupakan perjanjian tidak tertulis yang

terjadi pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009 dalam suatu

pertemuan. Dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain

mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi. Karena jenis

perjanjian ini merupakan perjanjian tidak tertulis maka dibutuhkan keterangan saksi

untuk membuktikan adanya suatu kartel di dalamnya. Selain keterangan saksi notulen

pertemuan dapat dijadikan alat bukti akan adanya suatu kesamaan kehendak dari para

terlapor untuk mempengaruhi harga.

Kemudian dengan adanya yaitu bukti ekonomi yang mengungkapkan adanya

price pararellism perubahan harga minyak goreng bermerek dapat dijadikan sebagai

bukti tambahan yang memperkuat keyakinan hakim bahwa telah terjadi kolusi

(concerted action) dalam pertemuan yang terjadi pada tanggal 29 Februari 2008 dan

tanggal 9 Februari 2009. Walaupun dalam pertemuan tersebut tidak diungkapkan

secara tegas kesepakatan kartel namun apabila tindakan atau perilaku dikemudian hari

yang dilakukan sesuai dengan kehendak para pihak maka para pihak tersebut telah

melakukan perjanjian. Kemudian majelis komisi juga menambahkan asosiasi sebagai

facilliating practices untuk melakukan price signaling.

Dalam memutus pelaku usaha telah melanggar Pasal 11 UU Antimonopoli

Majelis Komisi tidak hanya melihat adanya perbuatan yang dilanggar, namun rumusan

Page 37: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

83

pasal mengharuskan untuk perlu dilihat juga akibat dari perjanjian tersebut apakah

menyebabkan monopoli atau persaingan yang sehat atau tidak sehat (pendekatan rule

of reason).

Pada kasus kartel minyak goreng Majelis Komisi menyatakan bahwa telah

terjadi kesepakatan tidak langsung dengan menggunakan pembuktian tidak langsung

atau indirect evidence. Bukti komunikasi pada Tabel 2 dipakai oleh Majelis Komisi

sebagai fakta mengenai pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun

tidak langsung yang dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan

tanggal 9 Februari 2009. Menurut Majelis komisi dalam pertemuan dan/atau

komunikasi tersebut membahas mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya

produksi.

Tabel 2. Bukti Komunikasi Kartel Minyak Goreng

No Yang Menjadi Dasar Bukti

Komunikasi

Keterangan

1 Adanya pertemuan tanggal 29

Februari 2008

Tidak mengurai secara spesifik

mengenai komukasi tersebut yang

dipakai sebagai patokan bahwa telah

terjadi kesepakatan, kolusi ataupun

concerted action sehingga dengan

demikian nilai dari bukti komunikasi

kurang kuat.

2 Adanya pertemuan tanggal 9

Februari 2009

Tidak mengurai secara spesifik

mengenai komukasi tersebut yang

dipakai sebagai patokan bahwa telah

terjadi kesepakatan, kolusi ataupun

concerted action sehingga dengan

Page 38: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

84

demikian nilai dari bukti komunikasi

kurang kuat.

3 Faciliating Practices Tidak dikronologikan pertemuan –

pertemuan asosiasi yang mengandung

price signaling.

Kemudian bukti ekonomi pada Tabel 3 dipakai Majelis Komisi dalam perkara

industri minyak goreng baik curah dan kemasan memiliki struktur pasar yang

terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha (oligopoli). Adapun bukti ekonomi yang

berupa perilaku tercermin dari adanya price parallelism. Majelis Komisi di dalam

pertimbangannya memakai contoh kasus kartel baja dan kartel pesawat komersil

sebagai contoh penyelesaian kasus kartel dengan menggunakan indirect evident atau

bukti tidak langsung.

Tabel 3. Bukti Ekonomi Kartel Minyak Goreng

No YANG MENJADI DASAR

BUKTI EKONOMI

TANGGAPAN

1 Struktural - Merupakan produsen serta penjual

minyak goreng curah dan bermerek

yang di pasarkan di Indonesia.

Sehingga maka terlapor merupakan

pelaku usaha yang saling bersaing.

2 Penentuan Motivasi Kartel - Produk yang dihasilkan terbagi dua

yaitu minyak goreng curah dan

minyak goreng bermerek. Tingkat

homogen produk tinggi tetapi dalam

perhitungan price parallism harus

dipisah antar keduanya sebab

Page 39: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

85

keduanya berbeda segmen pasar.

Oleh karena itu hal tersebut dalam

indikator produk homogeni.

2 Analisa Perubahan - Adanya price parallelism pada pasar

minyak berdasarkan uji nilai

probabilitas minyak goreng curah

maupun kemasan (bermerek) karena

nilai probabilitas lebih besar dari

5%. Walaupun analisa tersebut valid

tetapi analisa tersebut tidak bisa

dikatakan sebagai bukti adanya

kartel.

Pada pokoknya bukti ekonomi merupakan bukti tambahan untuk memperkuat

bukti komunikasi. Yang pertama harus dinilai oleh majelis hakim yaitu melihat dengan

detil bukti komunikasi yang mengandung kesepakatan antara para terlapor. Karena

dalam penguraian bukti komunikasi secara detil maka disitu bisa dinilai apakah terjadi

kesepakatan kehendak untuk melakukan pengaturan harga atau penjualan. Pada kasus

kartel minyak goreng ini Majelis Komisi menyatakan ada komunikasi tetapi tidak

mengurai secara mendalam wujud dari komunikasi yang menjadi kesepakatan diantara

pelaku usaha minyak goreng tersebut. Seharusnya wajib bagi Majelis Komisi untuk

mengurai secara spesifik komunikasi yang terjadi dalam pertemuan yang dimaksud

memberi pendapat tentang komunikasi itu apakah mengandung kesepakatan atau tidak.

Page 40: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

86

E. Analisa Kartel Ban Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014

1. Kasus posisi

Pada tahun 2014 tim investigator KPPU telah melakukan investigasi dugaan

pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU Antimonopoli terhadap beberapa

perusahaan yang bergerak dibidang usaha industri ban kendaraan bermotor roda empat

yang dilakukan oleh : Terlapor I (PT Bridgestone Tire Indonesia), Terlapor II (PT Sumi

Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah Tunggal, Tbk.), Terlapor IV (PT Goodyear

Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang Perdana Tyre Industry) dan Terlapor VI (PT

Industri Karet Deli). Dugaan kartel yang dilakukan oleh terlapor terkait dengan

produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda empat kelas passenger car

(penumpang) untuk ban Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 periode 2009-2012 di

Wilayah Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan ban yang

tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (selanjutnya disingkat APBI).

Diketahui dari sekitar tahun 2009 - 2011 APBI telah melakukan beberapa

pertemuan resmi berupa rapat presidium APBI. Berikut rentetan agenda pertemuan

rapat presidium yang dimaksud :

a. Rapat presidium APBI tanggal 21 Januari 2009 bertempat di Hotel Inter

Continental di Jakarta, yang dipimpin oleh Ketua APBI dan dihadiri oleh: PT

Goodyear Indonesia, PT Bridgestone Tire Indonesia Shigeru, PT Gajah

Tunggal, PT Industri Karet Deli, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Suryaraya

Rubberindo Industries, PT Elangperdana Tyre Industry, PT Banteng Pratama,

PT Hung-A Indonesia dan perwakilan APBI. Pada risalah termuat hal pokok

sebagai berikut :“Pada bulan Desember 2008, Sales Director’s APBI telah

Page 41: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

87

mengadakan pertemuan rutin setiap bulan bertempat di Ruang Rapat PT Sumi

Rubber Indonesia. Kesimpulan pertemuan tersebut adalah “Anggota APBI

jangan melakukan banting membanting harga”, karena jika pasar dibanjiri

ban dengan harga murah, sekali harga turun akan sulit bagi Anggota APBI

untuk dapat mengakselarasi harga dikemudian hari. Lagi pula dalam kondisi

permintaan turun (lesu) akibat krisis, menurunkan harga juga belum tentu

dapat meningkatkan penjualan”.

b. Rapat presidium 24 November 2010 yang dihadiri oleh PT Goodyear

Indonesia, PT Bridgestone Tire Indonesia Shigeru, PT Gajah Tunggal, PT

Industri Karet Deli, PT Elangperdana Tyre Industry, PT King Land dan

perwakilan APBI. Bahwa disampaikan keinginan dari Tim Teknis/TAC APBI

mengenai peninjauan kembali masa jaminan klaim ban (warranty claim) dari

3 tahun menjadi 5 tahun. Peninjauan ini menurut Tim mendesak karena di

pasar ban, terdapat ban impor yang memberikan jaminan klaim lebih dari 5

tahun (Michelin 6 tahun). Bila tidak dirubah dikhawatirkan akan mengganggu

pasar ban dalam negeri. Pada risalah tersebut juga termuat penolakan PT. MAS

untuk masuk dalam APBI karena APBI terlalu jauh mengatur urusan desain

dan harga ban.

c. Rapat presidium 29 Maret 2011 yang dihadiri oleh : PT Goodyear Indonesia,

PT Bridgestone Tire Indonesia, PT Gajah Tunggal, PT Industri Karet Deli, PT

Sumi Rubber Indonesia, PT Suryaraya Rubberindo Industries, PT

Elangperdana Tyre Industry dan APBI. Risalah rapat membahas dan

Page 42: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

88

menyepakati pengaturan warranty claim ban yang disepakati dirubah dari 3

(tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun.

Setiap hasil rapat presidium diberikan kepada seluruh anggota APBI dengan

cara mengirimkannya kepada para anggota. Adapun PT. MAS yang merupakan

produsen dan penjual ban di Indonesia yang keberatan untuk masuk dalam APBI

karena aturan main dalam APBI terlampau jauh mengatur sampai pada desain dan

harga ban.

2. Pertimbangan Majelis Komisi

Dalam bagian pertimbangan Majelis Komisi terdapat hal – hal pokok yang

diutarakan yaitu tentang industri ban, tentang pasar bersangkutan, tentang metode

deteksi kartel Harrington, tentang perjanjian dan tentang keuntungan (profit). Berikut

urain pertimbangan Majelis Komisi tersebut.

a. Tentang Industri Ban (pasar bersangkutan)

Menurut Majelis Komisi pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah pasar

produk dan pasar geografis. Pasar Produk, dimana dalam perkara ini pasar produknya

adalah ban untuk kendaraan roda 4 yang digunakan sebagai ban mobil penumpang

(passenger car) untuk ban Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16. Pasar geografis,

dimana dalam perkara ini pasar geografisnya adalah mencangkup seluruh wilayah

Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan ban yang tergabung dalam

APBI. Dalam pasar bersangkutan yang memproduksi ban dalam periode tahun 2009

sampai dengan tahun 2012 yang tergabung dalam APBI, antara lain PT Bridgestone

Page 43: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

89

Tire Indonesia, PT Goodyear Indonesia Tbk, PT Sumi Rubber Indonesia, PT Gajah

Tunggal, Tbk, PT Elang Perdana Tyre Industry, PT Industri Karet Deli, PT Multistrada

Arah Sarana (non APBI).

b. Tentang metode deteksi kartel Harrington

Bahwa Metode Harrington adalah penggabungan dari berbagai metode dan jika

dilihat seperti kartel check list (seperti competition check list yang dimiliki KPPU)

karena dia melihat kartel dari berbagai sisi. Model dari Harrington menggunakan

metode analisis hubungan error atau residual regresi antar perusahaan dari hasil

estimasi data panel tersebut. Dalam ekonometrika, error atau residual regresi ini selalu

dijadikan dasar untuk melihat perilaku dari suatu kartel. Bahwa ahli ekonometrika

menggunakan analisis perilaku menggunakan pola residual baik antar waktu maupun

antar individu.

Metode Struktural (Structural Methods) merupakan suatu cara untuk

melakukan identifikasi karakteristik pasar yang kemungkinan menjadi kondusif untuk

terjadinya kartel. Dalam penelitian ini digunakan analisis struktural, diantaranya

analisis Jumlah perusahaan, analisis hambatan masuk dan analisis konsentrasi dan

ukuran perusahaan. Bahwa Metode Perilaku (Behavioral Methods) terkait dengan

observasi cara-cara yang dilakukan perusahaan atau industri untuk melakukan kartel

atau observasi hasil akhir dari kartel. Cara-cara yang dilakukan bisa dalam bentuk

komunikasi langsung antar anggota kartel atau melihat dampak terhadap pasar dari

koordinasi pada harga dan kuantitas yang dilakukan perusahaan pada industri.

Page 44: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

90

c. Tentang perjanjian

Berdasarkan penafsiran historis dalam memorie van toelichting (risalah

pembahasan) UU Antimonopoli, pembuat undang – undang diketahui mempunyai

keinginan untuk memperluas definisi perjanjian dalam UU Antimonopoli. Perluasan

definisi ini dimaksudkan, bahwa definisi perjanjian mengacu pada namun tidak terbatas

sebagaimana definisi perjanjian yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Keinginan pembuat undang – undang untuk memperluas definisi perjanjian

tersebut dapat dilihat pada Matrik Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU tentang

Larangan Praktek Monopoli usul inisiatif DPR-RI sebagai berikut: “Untuk

menghindari lolosnya praktik persaingan curang tertentu dari undang-undang ini,

perjanjian harus mencakup baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk tindakan

bersama (concerted action) pelaku usaha. Walaupun tanpa mengikatkan dirinya satu

sama lain”.

Majelis Komisi sependapat dengan pendapat ahli Paripurna P. Sugarda dalam

sidang Majelis Komisi yang menyatakan bahwa Tindakan yang dilakukan secara

bersama acting in concert dikenal di Australia. Tidak terlihat ada kesepakatan tetapi

ada gejala terpola yang muncul, yang kurang lebih sama. Majelis Komisi berpendapat

perjanjian dalam konteks ini harus dilihat pada pengujian apakah terdapat rangkaian

perilaku pelaku usaha (concerted action) untuk saling mengikatkan diri satu pelaku

usaha dengan pelaku usaha lain.

Page 45: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

91

d. Tentang rapat presidium

Perjanjian penetapan harga diantara anggota APBI dalam hal ini Terlapor I

sampai dengan Terlapor VI diduga dilakukan melalui sarana pertemuan-pertemuan

yang difasilitasi oleh APBI. Dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan

tersebut, akhirnya anggota APBI, dalam hal ini Terlapor I sampai dengan Terlapor VI

mencapai suatu kesepakatan dengan menyetujui substansi yang dituangkan dalam

bentuk Risalah Rapat Presidium. Pada tanggal 21 Januari 2009 dalam rapat presedium

dibacakan kesimpulan pertemuan rutin sales director, yaitu “Anggota APBI jangan

melakukan banting membanting harga” maksud dari frase tersebut adalah agar tidak

terjadi perang harga baik untuk harga intra maupun harga antar merek dengan tujuan

harga ban di pasar tidak turun. Risalah rapat yang membahas dan menyepakati

pengaturan warranty claim ban yang disepakati dirubah dari 3 (tiga) tahun menjadi 5

(lima) tahun memperkuat adanya indikasi penetapan harga. Selain itu Majelis Komisi

menilai perlu menunjukkan hasil analisis ekonomi untuk mengetahui efektifitas

dan/atau dampak adanya perjanjian penetapan harga dan pengaturan produksi dan/atau

pemasaran terhadap ban roda 4 Ring 13, 14, 15 dan 16 yang dilakukan oleh para

terlapor dalam perkara aquo.

e. Tentang keuntungan (profit)

Bahwa Majelis Komisi berpendapat konsentrasi industri secara rata-rata

memiliki pengaruh positif terhadap price cost margin tetapi memiliki pengaruh negatif

terhadap efisiensi teknis. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan PCM sebagai akibat

kenaikan CR4 tidak didorong oleh efisiensi dalam perusahaan tetapi lebih didorong

Page 46: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

92

oleh kekuatan pasar dari perusahaan yang terdapat di pasar. Kekuatan pasar yang

timbul berasal dari adanya koordinasi antara perusahaan baik yang bersifat

tersembunyi maupun eksplisit. Lebih jauh lagi, PCM lebih besar setelah adanya

kesepakatan atau koordinasi yang dilakukan oleh APBI pada tahun 2009 dan

setelahnya.

3. Putusan Majelis Komisi

Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisa dan kesimpulan

di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang nomor 5 Tahun 1999,

Majelis Komisi memutuskan :

a. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,

Terlapor V dan Terlapor VI, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999;

b. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,

Terlapor V dan Terlapor VI, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar

Pasal 11 Undang- Undang nomor 5 Tahun 1999;

4. Analisa Hukum

Analisa hukum yang diberikan khusus mengulas pemenuhan aspek yang ada

pada Pasal 11. Selain itu analisa pada kasus ini difokuskan pada konsep pembuktian

yang sudah diurai penulis dalam Bab III. Bahwa dalam perkara aquo bahwa para

terlapor diduga melanggar ketentuan Pasal 11 UU Antimonopoli menyatakan:

Page 47: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

93

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat”

Majelis Komisi dalam pertimbangan memuat pasar produk, dimana dalam

perkara ini pasar produknya adalah ban untuk kendaraan roda 4 yang digunakan

sebagai ban mobil penumpang (passenger car) untuk ban Ring 13, Ring 14, Ring 15

dan Ring 16. Kemudian pasar geografis, dimana dalam perkara ini pasar geografisnya

adalah mencangkup seluruh wilayah Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh

perusahaan ban yang tergabung dalam APBI.

Untuk memenuhi aspek subyek dalam Pasal 11 maka para terlapor haruslah

pelaku usaha yang saling bersaing. Pelaku usaha yang bersaing mempunyai arti bahwa

mereka bergerak dibidang usaha yang sama dan barang dan atau jasa yang sama di

pasar yang bersangkutan. Setelah terpenuhi aspek subyektif maka selanjutnya melihat

aspek perjajian. Tentang larangan membuat kesepakatan yang isinya untuk

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran.

Majelis Komisi berpendapat, keinginan pembuat UU Antimonopoli untuk

memperluas definisi perjanjian tersebut dapat dilihat pada Matrik Daftar Inventaris

Masalah (DIM) RUU tentang Larangan Praktek Monopoli Usul Inisiatif DPR-RI

sebagai berikut:123

“Untuk menghindari lolosnya praktik persaingan curang tertentu dari

undang-undang ini, perjanjian harus mencakup baik tertulis maupun

tidak tertulis, termasuk tindakan bersama (concerted action) pelaku

usaha. Walaupun tanpa mengikatkan dirinya satu sama lain”

123 Surat salinan putusan perkara nomor 08/KPPU- I/2014, h. 87-88

Page 48: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

94

Selain itu Mejelis Komisi dalam memaknai perjanjian yang dimaksud dalam

UU Antimonopoli juga menggunakan penafsiran komparatif dengan hukum persaingan

usaha di Amerika yaitu Section 1 Sherman Act. Dalam Section 1 Sherman Act

perjanjian atau agreement yang termasuk contract, combination, atau conspiracy yang

mewajibkan adanya tindakan bersama-sama (concerted action) dari dua orang atau

lebih untuk membentuknya. Dan tindakan bersama harus ada unity of purpose, atau

understanding, atau telah terjadi diantara mereka meeting of minds.

Menurut Majelis Komisi, perjanjian yang dilarang tersebut dilakukan dengan

cara mewajibkan suatu tindakan tertentu secara bersama dengan pertemuan asosiasi

sebagai wadah komunikasi mereka yang terjadi dalam rentan waktu tahun 2008 – 2011.

Pada kasus kartel ban ini Majelis Komisi menggunakan pembuktian tidak langsung

atau circumstantial evidence dalam menentukan ada atau tidaknya kartel diantara

pelaku usaha ban. Dalam kasus kartel ban ini Majelis Komisi mengutamakan bukti

komunikasi yang disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5 sebagai pembuktian kartel.

Tabel 4. Bukti Komunikasi Kartel Ban

No Yang Menjadi Dasar Bukti

Komunikasi

Keterangan

1 Pertemuan Sales Director’s APBI

pada bulan Desember 2008.

Menyimpulkan agar tidak membanting

harga antar anggota APBI.

2 Risalah Rapat Presidium APBI

tanggal 21 Januari 2009.

Membasas hasil kesimpulan Sales

Director’s APBI pada bulan Desember

2008. Pada rapat presidium ini ada

penegasan kembali oleh ketua APBI untuk

tidak membanting banting harga.

Page 49: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

95

3 Risalah Rapat Presidium 24

November 2010

Perencanaan perubahan warranty claim

dari 3 tahun menjadi 5 tahun. Dan

membahas penolakan PT MAS masuk

dalam asosiasi.

4 Risalah Rapat Presidium 29

Maret 2011

Kesepakatan bersama mengenai

perubahan warranty claim.

Tabel 5. Analisis Ekonomi Kartel Ban

No Yang Menjadi Dasar Bukti

Ekonomi

Keterangan

1 Metode Harrington Metode tersebut terdiri dari metode

structural dan metode perilaku.

Bahwa Metode Struktural (Structural

Methods) merupakan suatu cara untuk

melakukan identifikasi karakteristik pasar

yang kemungkinan menjadi kondusif

untuk terjadinya kartel. Dalam penelitian

ini digunakan analisis struktural,

diantaranya analisis Jumlah perusahaan,

analisis hambatan masuk,dan analisis

konsentrasi dan ukuran perusahaan.

Bahwa Metode Perilaku (Behavioral

Methods) terkait dengan observasi cara-

cara yang dilakukan perusahaan atau

industri untuk melakukan kartel atau

observasi hasil akhir dari kartel.

2 Perhitungan CR4 CR4 merefleksikan total pangsa pasar

yang dimiliki oleh empat perusahaan

terbesar dalam suatu industri. CR4 = S1 +

S2 + S3 + S4.

Page 50: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

96

Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan

Price Cost Margin sebagai akibat kenaikan

CR4 tidak didorong oleh efisiensi dalam

perusahaan tetapi lebih didorong oleh

kekuatan pasar dari perusahaan yang

terdapat di pasar. Kekuatan pasar yang

timbul berasal dari adanya koordinasi

antara perusahaan baik yang bersifat

tersembunyi maupun eksplisit.

Yang menjadi perdebatan adalah pemahaman “jangan melakukan membanting

banting harga” sebagai perjanjian. Menurut pendapat para terlapor frasa tersebut

merupakan himbauan saja dari ketua APBI oleh karena itu himbauan tersebut bukan

merupakan suatu perjanjian. Menurut terlapor hal ini disebabkan bahwa dalam

melaksanakan suatu perjanjian harus ada penawaran (offer) dan penerimaan

(acceptance) dan frasa tersebut bukan termasuk penawaran. Untuk menanggapi hal

tersbut penulis berpendapat bahwa keberatan dari terlapor tersebut merupakan suatu

perjanjian biasa yang diatur dalam hukum perdata, sedangkan pemahaman perjajian

dalam hukum persaingan usaha telah diperluas sebagaimana yang dimaksud oleh

pembuat undangundang. Sehingga dengan demikian dengan mengingat asas lex

specialis deroget lex generalis maka pendapat terlapor mengenai perjanjian sewajarnya

tidak dapat diterima.

Pada Tabel 6 diuraikan tentang pemenuhan aspek pasal 11 UU Antimonopoli

melalui alat bukti yang ada dalam pasal 42 UU Antimonopoli.

Page 51: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

97

Tabel 6. Pemenuhan Aspek Pasal 11 UU Antimonopoli Melalui Alat Bukti dalam

Pasal 42 UU Antimonopoli

No. Aspek Pemenuhan aspek Alat bukti yang digunakan

1 Subyek - Produknya sejenis dan

pasarnya seluruh

Indonesia.

- Keterangan terlapor tentang

usahanya.

- Akta pendirian perusahaan.

2 Bentuk dan

isi

perjanjian.

- Bentuk perjanjian tidak

langsung concerted

action.

- Isi perjanjian tentang

tidak saling bersaing

dengan tidak menekan

harga jual diantara

terlapor.

- Notulen rapat.

- Kesaksian para wakil

perusahaan yang hadir dalam

rapat.

- Kesaksian PT. MAS yang tidak

mau bergabung dalam APBI

3 Akibat - Hasil analisa ekonomi

tentang keuntungan

yang di dapat terlapor

berdasarkan pasar

bukan dari efektifitas

perusahaan.

- Analisa price cost margin dari

investigator.

- Keterangan ahli tentang analisa

tersebut.

F. Perbandingan Kedua Kasus

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, Majelis Komisi dalam menimbang

serta memutus perkara dugaan kartel wajib untuk membuktikan unsur – unsur yang

ada pada Pasal 11 UU Antimonopoli dengan menggunakan alat bukti yang tercantum

dalam Pasal 42 UU Antimonopoli. Unsur – unsur yang dimaksud, pertama adalah

unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaingnya, yang kedua adalah unsur perjanjian

Page 52: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

98

dengan maksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan atau

penjualan, yang ketiga unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Untuk memenuhi unsur pelaku usaha dan pelaku usaha bersaing, maka yang

harus diperhatikan adalah para pelaku usaha yang dilaporkan tersebut merupakan

pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia yang memiliki

pasar produk dan pasar geografis yang sama. Kemudian untuk memenuhi unsur

perjanjian dengan maksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi

dan atau penjualan, yang harus diperhatikan adalah adanya kesepakatan yang

diinginkan oleh pelaku usaha untuk mengatur produksi dan atau pemasaran yang

mempunyai imbas pada harga produk yang akan dijual ke pasar. Kemudian unsur

dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat mempunyai makna bahwa kartel

yang dilakukan oleh pelaku usaha dimaksudkan untuk keperluan atau kepentingan

anggota kartel saja dengan meniadakan persaingan diantara mereka. Kartel tersebut

dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen ataupun pelaku usaha lain yang tidak

termasuk dalam anggota kartel. Kemudian alat bukti yang dipakai sebagai alat bukti

pemenuhan unsur – unsur tersebut adalah keterangan saksi, bukti surat atau dokumen,

keterangan ahli, petunjuk dan keterangan terlapor.

Kesamaan utama pada kedua perkara kartel tersebut adalah tidak

ditemukannya bukti langsung mengenai kartel yang dilakukan oleh para terlapor.

Untuk dapat mendeteksi kartel tanpa ditemukannya bukti langsung, investigator dan

Majelis Komisi menggunakan konsep circumstantial evidence dalam membuktikan

adanya kartel.

Page 53: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

99

Apabila dilihat dari segi teori pembuktian, konsep circumstantial evidence ini

cenderung lebih dekat dengan teori pembuktian convictio raisonnee daripada

pembuktian negative. Hal tersebut disebabkan konsep circumstantial evidence pada

kedua kasus tersebut lebih banyak membutuhkan keyakinan hakim dengan alasan

yang rasional. Alasan yang rasional yang tercermin dalam kedua kasus kartel tersebut

adalah kolaborasi antara makna perjanjian yang sudah diperluas dengan penilaian

analisis ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dibidang ekonomi menciptakan suatu

kronologi sebab - akibat. Oleh sebab itu dalam perkara perkara kartel yang dibuktikan

dengan menggunakan konsep circumstantial evidence. Dapat disimpulkan Majelis

Komisi menggunakan metode penemuan hukum secara interpretasi inter-multi

disipliner, interpretasi ekstensif dan interpretasi komparatif dalam memahami maksud

dari perjanjian dalam hukum persaingan usaha.

Namun meski demikian, bukan berarti Majelis Komisi tidak memperhatikan

bewujsminimum sebagai parameter dalam pembuktian. Dalam perkara kartel minyak

goreng dan kartel ban alat bukti yang sah yang diperoleh investigator adalah bukti

surat (notulen rapat, dokumen – dokumen perusahaan), keterangan saksi, keterangan

ahli dan keterangan terlapor. Sehingga sebenarnya Majelis Komisi dalam memberikan

pertimbangan dengan menggunkan konsep circumstantial evidence, tidak keluar

dari konsep bewijs minimmum yang merupakan salah satu parameter dalam

pembuktian.

Relevansi dari tiap – tiap alat bukti yang diperhadapkan dalam persidangan

dengan fakta – fakta sangat penting dalam hal memasukkan alat bukti sebagai

pertimbangan. Relevansi alat bukti yang tercipta konsep circumstantial evidence

Page 54: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

100

dalam perkara kartel minyak goreng dan kartel ban adalah hubungan antara bukti

komunikasi dengan bukti ekonomi sebagai suatu kesatuan sebab – akibat untuk

membuktikan kartel dengan akibat dari kartel. Relevansi antar bukti komunikasi

dengan bukti ekonomi pada circumstantial evidence secara serta merta akan memberi

hasil perhitungan yang akan digunakan sebagai pembuktian unsur yang

mengakibatkan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang terkandung

dalam Pasal 11 UU Antimonopoli (pendekatan rule of reasons). Dengan demikian

sebenarnya dengan menggunakan konsep pembuktian circumstantial evidence itu

dapat menjangkau keseluruhan unsur dalam pasal 11 UU Antimonopoli (satu konsep

tiga empat unsur dijangkau).

Kelemahan atau kekurangan Majelis Komisi dalam perkara kartel minyak

goreng adalah bukti komunikasi yang harusnya menjadi sorotan utama untuk

mebuktikan tentang adanya kesepakatan tidak diurai dengan baik. Majelis Komisi

dalam kasus kartel minyak goreng menggunakan hasil analisa ekonomi sebagai peluru

utama dalam menjatuhkan putusan. Padahal harusnya bukti ekonomi merupakan bukti

tambahan atau bukti penguat adanya kartel. Pada kasus kartel ban Majelis Komisi

menggunakan bukti komunikasi sebagai cara untuk membuktikan adanya kartel. Pada

kasus tersebut majelis komisi mengurutkan kronologi peristiwa dengan baik apa yang

menjadi kartel. Pada kasus kartel ban alat bukti yang digunakan memenuhi syarat

bewijsminimum sehingga dengan demikian nilai dari bukti komunikasi semakin kuat.

Kemudian setelah bukti komunikasi kuat barulah Majelis Komisi dapat menganilisis

bukti ekonomi sebagai bukti tambahan.

Page 55: BAB III PEMBAHASAN...dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang –

101

Selain dari pada yang sudah disebutkan diatas, peran dan kualitas dari seorang

hakim dalam memeriksa serta mengadili kasus kartel sangat penting. Hakim (dalam

hal ini Majelis Komisi) dituntut untuk tidak saja memiliki kemampuan di bidang

hukum saja melainkan memiliki kemampuan lintas bidang keilmuan khususnya

bidang pada ekonomi supaya dalam memberikan putusan bukan hanya di dasarkan

keyakinan dan minimal alat bukti saja, melainkan juga keyakinan berdasarkan alasan

yang rasional.