bab iii metode perencanaan - umm
TRANSCRIPT
34
BAB III
METODE PERENCANAAN
3.1. Lokasi Perencanaan
Bandar Udara Toraja (IATA: TRT, ICAO: WAFB) adalah bandar udara
yang terletak di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi
Selatan, Indonesia. Tepatnya berada pada koordinat 03°11’09,00”S
119°55’03,90”E dengan ketinggian dpl 3026 kaki (922 m). Bandar udara buntu
kunik berjarak kurang lebih 20 km dari Kota Makale.
Lokasi Bandar udara Buntu Kunik dilihat dari satelit disajikan pada gambar
3.1
Gambar 3. 1 Lokasi Bandar Udara Buntu Kunik
3.2. Metode dan Tahap Perencanaan
Terdapat beberapa langkah yang dilakukan dalam perencanaan ini, di
antaranya sebagai berikut:
3.2.1 Tahap Persiapan Penelitian
Persiapan perencanaan meliputi penyusunan tujuan perencanaan,
penyusunan metodologi perencanaan dan penilaian awal hasil studi pustaka serta
perencanaan yang berkaitan dengan penelitian.
35
3.2.2 Tahap Pengumpulan Data
Terdapat dua data yang dibutuhkan dalam melakukan perencanaan, yaitu
data primer dan data sekunder.
a. Data primer berupa data lapangan hasil pengamatan ketebalan perkerasan,
panjang runway, kondisi apron dan kondisi taxiway di bandara Buntu Kunik
Tana Toraja.
b. Data sekunder adalah data dari bahan referensi, sumber lain di internet, dan data
dari instansi terkait.
Data sekunder yang dibutuhkan meliputi:
1) Layout Bandar Udara Buntu Kunik
Layout bandar udara termasuk landasan pacu (runway), taxiway, dan apron
serta luas dan panjangnya.
2) Jumlah Penumpang
Data jumlah penumpang di bandara selama 5 tahun terakhir.
3) Data dan Jumlah Pesawat Terbang
Data nomor pesawat merupakan salah satu hal yang diperlukan untuk
mengetahui kapasitas dan kebutuhan landasan pacu (runway), taxiway dan
apron saat mengoperasikan pesawat di Bandara Buntu Kunik Tana Toraja.
4) Jenis Pesawat Terbang dan Rute Perjalanan
Data jenis pesawat dan rute yang dioperasikan dari bandara Buntu Kunik
Tana Toraja.
5) Kondisi Lingkungan Banda Udara Buntu Kunik
Data lingkungan bandara meliputi suhu, angin permukaan, kemiringan
landasan pacu (runway), ketinggian dari muka air laut, serta kondisi
permukaan landasan pacu bandara.
6) Data CBR Tanah
Data CBR ground digunakan untuk menghitung perencanaan jalur untuk
landasan pacu bandara (runway), taxiway dan apron.
36
3.3. Diagram Alur Pengerjaan Tugas Akhir
Diagram alur dari desain akhir berikut ini ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3. 2 Diagram Alur Perencanaan
Mulai
Studi Pustaka dan Penelitian
Terdahulu
Data Sekunder • Layout Bandar Udara Buntu Kunik
Tana Toraja • Jumlah Penumpang • Data dan Jumlah Pesawat • Jenis pesawat terbang dan rute yang
dilayani • Kondisi lingkungan Bandar Udara
Buntu Kunik Tana toraja • Data CBR Tanah
Data Primer Kondisi tebal perkerasan
runway, taxiway dan apron pada
Bandar Udara Buntu Kunik Tana
Toraja.
Analisis Data Menggunakan Metode Federal Aviation Administration
(FAA)
Tebal Perkerasan Runway, Taxiway,
dan Apron di Bandar Udara Buntu
Kunik
Faktor yang Mempengaruhi
Pengembangan pada Bandara Udara
Buntu Kunik Tana Toraja
Pembahasan dan Hasil Perhitungan
Kesimpulan dan Saran
Selesai
37
3.4. Perencanaan Perkerasan Lentur Dengan Menggunakan Metode FAA
Metode perencanaan yang dibahas dalam draf akhir ini adalah metode
perencanaan yang terkait dengan FAA Advisory Circular (AC) No. 150 / 5320-6D.
Metode ini merupakan pengembangan perencanaan berdasarkan metode CBR.
Bagan dan tabel yang telah ditentukan digunakan dalam perencanaan konstruksi
jalan berdasarkan pengamatan yang ada. Dalam metode perhitungan yang berkaitan
dengan AC No. 150 / 5320-6D, dibuat diagram yang berhubungan dengan rencana
pemberangkatan tahunan, total massa pesawat dan nilai CBR dengan ketebalan
lapisan perkerasan.
Menurut Basuki (1986), ada beberapa tahapan yang harus diikuti dalam
perhitungan FAA, yaitu:
a. Klasifikasi Tanah
Metode perencanaan jalan FAA dibagi menjadi 13 kelas yang berhubungan
dengan perencanaan perkerasan, mulai dari E1 hingga E13. Klasifikasi ini
didasarkan pada Airport Paving FAA, Advisory Circular berikut:
1) Kelas E1
Jenis tanah pada kelas E1 termasuk dalam golongan tanah dengan gradasi baik,
kasar, dan butiran tanah yang stabil walaupun dengan drainase yang tidak baik.
2) Kelas E2
Tanah yang termasuk dalam kelas E2 sama dengan tanah pada kelas E1, yang
membedakan antara keduanya adalah pada kelas E2 kandungan pasir yang
lebih sedikit dan kandungan lumpur dan tanah liat lebih banyak. Tanah pada
kelas ini tidak stabil jika drainasenya tidak baik.
3) Kelas E3 dan E4
Kelas E3 dan kelas E4 merupakan tanah dengan butiran yang halus, dan pasir
dengan gradasi yang kurang baik dibandingkan dengan kelas E1 dan kelas E2.
Pada kelas ini terdapat tanah berpasir yang memiliki kualitas daya ikat yang
cukup baik hingga baik.
38
4) Kelas E5
Klasifikasi kelas ini terdiri dari tanah liat dan lumpur dengan persentase
gabungan lebih dari 35% dan kurang dari 45%. Pada kelas tanah ini gradasi
tanah juga kurang baik.
5) Kelas E6
Tanah pada kelas E6 merupakan tanah yang cukup stabil pada kondisi kering
namun stabilitasnya dapat berkurang dan bahkan dapat hilang pada saat kondisi
basah. Hal ini disebabkan oleh komposisi tanah yang terdiri dari lumpur yang
berpasir dengan indeks plastis (plasticity index) yang kecil.
6) Kelas E7
Tanah dengan komposisi tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir
berlempung, dan lumpur berlempung. Klasifikasi tanah ini berkisar dari keras
hingga lunak dalam kondisi kering dan fleksibilitas dalam kondisi basah.
7) Kelas E8
Tanah ini persis seperti klasifikasi tanah kelas E7, namun liquid limit yang
lebih tinggi menghasilkan lebih banyak kompresi, ekspansi, dan penyusutan
serta kurang stabil dalam kondisi basah.
8) Kelas E9
Tanah dengan komposisi campuran lumpur dan tanah liat yang sangat elastis
sehingga sangat sulit untuk dipadatkan, selain itu jenis tanah ini memiliki
stabilitas yang rendah baik dalam keadaan kering maupun basah.
9) Kelas E10
Karakteristik pada kelas ini merupakan tanah liat yang dapat membentuk
gumpalan pada saat kering dan menjadi sangat plastis pada saat basah
10) Kelas E11
Pada kelas ini sifat tanah sesuai dengan sifat-sifat tanah E10, tetapi memiliki
liquid limit yang lebih tinggi dari 70 hingga 80 dan plasticity index di atas 30.
11) Kelas E12
Tanah di kelas ini memiliki liquid limit yang sangat tinggi melebihi 80 dan
plasticity index-nya tidak dapat diukur.
39
12) Kelas E13
Tanah yang terdiri dari tanah rawa, seperti tanah gambut, mudah dikenal di
lapangan. Ciri-ciri tanah ini adalah kestabilan sangat rendah dan kadar air
sangat tinggi.
Di bawah ini adalah tabel klasifikasi permukaan yang dapat digunakan untuk
perencanaan jalur dengan menggunakan metodologi FAA yang ditunjukkan pada
Tabel 3.1.
Tabel 3. 1 Klasifikasi Tanah Dasar Untuk Perencanaan Overlay Metode FAA
(Sumber: Basuki, 1986)
Kelas
Tanah
Analisa Saringan
Liquid
Limit
Plasticity
Limit
Subgrade Class
%
Bahan
tersisa
saringan
no. 10
% Bahan lebih kecil dari saringan no. 10
Drainase
Baik Drainase Jelek
Pasir kasar lolos
saringan no. 10
tapi ditahan
saringan no. 40
Pasir halus lewat
saringan no. 40
ditahan no. 200
Campuran
lumpur dan
tanah liat
lolos no. 200
Kerikil
E1 0 - 45 40 60 15 25 6 Fa / Fa Fa / Ra
E2 0 - 45 15 85 25 25 6 Fa / Ra F1 / Ra
E3 0 - 45 25 25 6 F1 / Fa F2 / Rb
E4 0 - 45 35 25 10 F1 / Ra F3 / Rb
Butiran
halus
E5 0 - 55 45 40 15 F3 / Rb
E6 0 - 55 45 40 10 F4 / Rc
E7 0 - 55 45 50 10 - 30 F5 / Rc
E8 0 - 55 45 60 15 - 40 F6 / Rc
E9 0 - 55 45 40 30 F7 / Rd
E10 0 - 55 45 70 20 - 50 F8 / Rd
E11 0 - 55 45 80 30 F9 / Re
E12 0 - 55 45 80 F10 / Fa
E13 Tanah Gambut, tidak bisa digunakan
40
41
Saat menentukan nilai CBR dalam pengujian laboratorium, Tabel 3.2
menunjukkan hubungan antara nilai CBR dan kualitas tanah FAA.
Tabel 3. 2 Hubungan Harga CBR dengan Klasifikasi Subgrade Menurut FAA
Klasifikasi CBR
Fa 20 (atau lebih)
F1 16 - 20
F2 13 - 16
F3 11 - 13
F4 9 - 11
F5 8 - 9
F6 7 - 8
F7 6 - 7
F8 5 - 6
F9 4 - 5
F10 3 - 4
(Sumber: Basuki 1986)
b. Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama
Komposisi roda pendaratan pada pesawat akan memengaruhi bagaimana
pendistribusian beban pesawat udara ke lapisan perkerasan landasan pacu (runway).
Bobot pesawat akan disalurkan oleh roda pendaratan depan (nose gear) dan roda
pendaratan utama (main gear). Roda pendaratan utama membawa sekitar 95% dari
berat pesawat, sedangkan pada roda pendaratan depan menanggung bobot pesawat
sekitar 5%. Berikut beberapa jenis konfigurasi pada roda pendaratan pesawat:
42
1) Sumbu Tunggal Roda Tunggal (Single Gear)
Gambar 3. 3 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat dengan Roda Tunggal
2) Sumbu Tunggal Roda Ganda (Dual Wheel)
Gambar 3. 4 Konfigurasi Roda Pendaratan untuk Pesawat dengan Roda Ganda
43
3) Sumbu Tandem Roda Ganda (Dual Tandem)
Gambar 3. 5 Konfigurasi Roda Pendaratan Pesawat untuk Pesawat dengan Roda
Tandem Ganda
4) Sumbu Tandem Roda Ganda (DDT)
Gambar 3. 6 Konfigurasi Roda Pendaratan Pesawat untuk Pesawat dengan Roda
Ganda Dobel
44
c. Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat yang direncanakan dapat diidentifikasi berdasarkan jenis pesawat
aktif, MSTOW (maximum structure take-off weight) dan jumlah keberangkatan
masing-masing pesawat sebagai pedoman perencanaan area runway. Kemudian
pilih jenis pesawat yang memberikan cakupan paling tebal. Pemilihan pesawat
sebagai acuan bukan karena bobotnya yang tinggi, melainkan karena jumlah take
off terbesar yang melewati landasan.
Permukaan yang direncanakan kemudian digunakan sebagai permukaan yang
membutuhkan ketebalan perkerasan terbesar. Jumlah penerbangan pesawat
bervariasi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, jumlah keberangkatan yang tepat
harus ditentukan untuk setiap pesawat sesuai dengan konfigurasi landing gear dari
pesawat yang direncanakan.
d. Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat (W2)
Pesawat yang berbadan lebar dianggap memiliki MOTW yang cukup tinggi
dan konfigurasi roda pendaratan utama tunggal, pada perhitungan keberangkatan
ekuivalen (R1) ditentukan oleh berat roda pada masing-masing pesawat sebesar
95% dari bobot keseluruhan pesawat yang ditahan oleh main gear, dalam
perhitungan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
W2 = P x MSTOW x 1
𝐴………………………………………………………….(3.1)
Keterangan:
W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing pesawat
P = Persentase berat yang diterima roda pendaratan utama
A = Jumlah roda konfigurasi pendaratan pesawat
MSTOW = Berat pesawat kotor lepas landas
(Sumber: Basuki, 1986)
e. Menentukan Nilai Ekuivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana
Merancang lalu lintas penerbang dan perkerasan haruslah dapat menghadapi
beragam pesawat yang mempunyai karakteristik yang beda-beda, salah satunya
perbedaan konfigurasi roda pendaratan dan bobot yang berbeda.
Dampak lalu lintas udara tersebut kemudian dikonversikan menjadi pesawat
rencana yang ekuivalen dengan keberangkatan tahunan untuk pesawat campuran,
45
sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini sangat berguna untuk
mendapatkan total keberangkatan berbagai pesawat yang dikonversi menjadi
pesawat plan. Untuk mencari nilai R1 dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut:
Log R1 = Log R2 (𝑊2
𝑊1)1
2……………………………………………………………………………………..(3.2)
Keterangan:
R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen pesawat udara desain
R2 = Keberangkatan tahunan yang dikonversi ke dalam main gear pesawat
udara desain
W1 = Beban roda pesawat udara bersih
W2 = Beban roda pesawat udara
(Sumber: Basuki, 1986)
Pesawat udara yang ukuran badan yang besar dan susunan roda pendaratan
yang berbeda dengan pesawat yang berukuran kecil, yang mana hal ini
memengaruhi pada perkerasan landasan pacu yang dihitung. Menggunakan massa
total selama lepas landas dengan konfigurasi roda pendaratan utama, satu roda
kemudian diubah menjadi nilai sekarang. Misalnya, keberangkatan tahunan
ekuivalen (equivalent annual departure R1) dapat dihitung seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 3.3.
Tabel 3. 3 Faktor Konversi Tipe Roda Pesawat
Poros Roda
Pendaratan Utama
Pesawat Sebenarnya
Poros Rida Pendaratan
Utama Pesawat Desain
Pengali untuk Keberangkatan
Sebenernya Untuk Mendapatkan
Keberangkatan Ekivalen
Roda Tunggal Roda Tunggal
Roda Ganda
0,5
0,8
Roda Ganda Roda Tunggal
Tandem Ganda
1,3
0,6
Tandem Ganda Roda Tunggal
Roda Ganda
2,0
1,7
46
Tabel 3. 3 (lanjutan)
Double Tandem
Ganda
Roda Ganda
Tandem Ganda
1,7
1,0
(Sumber: Horonjeff, 1993)
a. Menentukan Susunan Tebal Perkerasan
Metode pengerasan jalan FAA (Federal Aviation Administration) adalah
perencanaan teebal perkerasan untuk umur rencana, di mana dalam masa pelayanan
tetap harus dilakukan perawatan secara berkala. Saat ini, data awal tentang CBR
tanah dasar, CBR Subbase, dan Equivalent Annual Departure data tersebut
kemudian digunakan sebagai input untuk menentukan ketebalan perkerasan jalan.
Data tersebut dimasukkan dalam jadwal perencanaan yang ditetapkan oleh FAA
sebagai standar untuk menentukan ketebalan perkerasan awal yang akan
disesuaikan kemudian. Untuk perhitungan secara detail dijelaskan sebagai berikut:
1) Tebal perkerasan Total
Ketebalan perkerasan total dapat dihitung dengan memasukkan CBR
Subgrade, MTOW (Maximum Take Off Weight) dari pesawat yang
direncanakan dan nilai equivalent annual departure pada tabel pada Gambar
3.7. Grafik perencanaan perkerasan yang ditentukan oleh FAA menunjukkan
tebal perkerasan total yang dibutuhkan (tebal pondasi bawah + tebal pondasi
atas + tebal lapisan permukaan).
a) Tebal penuh T pada daerah kritis, digunakan oleh pesawat yang akan berangkat
seperti holding apron, bagian taxiway dan Runway.
b) Untuk rute selanjutnya tebeal perkerasana 0,9 T digunakan untuk belokan
landasan pacu kecepatan tinggi.
c) Ketebalan jalur lintasan 0,7 T digunakan untuk area yang jarang dilintasi
pesawat, misal bagian luar landasan hubung dan bagian luar landasan pacu.
47
Gambar 3. 7 Grafik perencanaan Perkerasan Lentur untuk Pesawat Dual Wheel
Gear
Grafik perencanaan pada Gambar. 3.7 digunakan dengan menggambar garis
vertikal lurus dari sumbu CBR ke kurva massa total lepas landas kotor pesawat
(MSTOW) dan kemudian secara horizontal ke kurva keberangkatan tahunan
ekuivalen. Pada tahap terakhir, garis lurus digambar di sepanjang tanda tebal
di sepanjang vertikal. Sehingga ketebalan perkerasan dan total luas perkerasan
diperoleh.
2) Menentukan Tebal perkerasan Subbase
Dengan CBR, MTOW, dan equivalent annual departure dari grafik pada
Gambar 3.7 menunjukkan ketebalan lapisan atas dari subbase, yaitu lapisan
surface dan lapisan base course. Dengan demikian, tebal subbase merupakan
hasil pengurangan total tebal lapis perkerasan dan lapis atas subbase.
3) Menentukan Tebal Perkerasan Base Course
Ketebalan base course adalah hasil dari pengurangan lapisan dasar (subbase
course) dan ketebalan lapisan atas perkerasan (surface course). Hasil
pengurangan ini harus dicek kembali dengan membandingkannya dengan
48
ketebalan lapisan dasar minimum. Karena lapisan dasar minimum lebih besar
dari hasil yang dihitung, perbedaan dengan lapisan dasar berubah.
Gambar 3. 8 Grafik Penentuan Tebal Base Course Minimum
Untuk lapisan base coarse sendiri memiliki tebal lapisan minimum yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam merencanakannya. Adapun untuk tebal
minimum untuk base coarse akan disajikan pada tabel 3.4
Tabel 3. 4 Tebal Minimum Base Course
Design
Aircraft
Desgin Load Range Minimum Base
Course Thickness
(pound) (kg) (in) (cm)
Single Wheel 30.000-50.000
50.000-70.000
(13.600-22.700)
(22.700-34.000)
4
6
100
150
Duel Wheel 50.000-100.000
100.000-200.000
(22.700-45.000)
(45.000-90.700)
6
8
150
200
Duel Wheel 100.000-250.000
250.000-400.000
(45.000-113.400)
(113.400-181.000)
6
8
150
200
49
Tabel 3. 4 (Lanjutan)
B-757
B-767 200.000-400.000 (90.700-181.000) 6 150
DC-10
L101 I 400.000-600.000 (181.000-272.000) 8 200
Design
Aircraft
Desgin Load Range Minimum Base
Course Thickness
(pound) (kg) (in) (cm)
B-747 400.000-600.000
600.000-850.000
(181.000-272.000)
(272.000-385.700)
6
8
150
200
C-130 75.000-125.000
125.000-175.000
(34.000-56.700)
(56.700-79.400)
4
6
100
150
(Sumber: Basuki 1986)
Dalam gambar. 3.7 adalah grafik yang menunjukkan frekuensi keberangkatan
tahunan maksimum dari 25.000 keberangkatan. Sedangkan untuk jumlah
pemberangkatan tahunan yang melebihi 25.000, grafik yang digunakan tetap
dengan cara mengakali total tebal perkerasan yang diperoleh dari grafik
keberangkatan dengan persentase yang ditunjukkan pada Tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 3. 5 Persentase Pengali Untuk Tingkat Keberangkatan Tahunan di atas
25.000
Tingkat Keberangkatan Tahunan % Tebal Total Keberangkatan Tahunan
>25.000
50.000 104
100.000 108
150.000 110
200.000 112
(Sumber: Basuki 1986)