bab iii metode penelitian a. pendekatan dan metode...

29
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu 94 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Tujuan akhir penelitian adalah terumuskannya model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Model penelitian adalah penelitian dan pengembangan pendidikan (Educational R&D). Untuk mendukung model penelitian R&D, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa: (1) Perilaku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, dan (2) Keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif. Metode partisipatif kolaboratif digunakan untuk memvalidasi instrumen, uji kelayakan model hipotetik, dan uji kelayakan model operasional. Metode partisipatif kolaboratif dilakukan dengan bantuan para ahli bidang konseling (validator isi) serta para konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (validator empiris). Metode eksperimen digunakan untuk menguji dan mengevaluasi kebermanfaatan model konseling, yaitu Efektifitas model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Desain eksperimen yang digunakan adalah penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) dengan Multiple Baseline Design, yang meliputi tiga variasi, yaitu: (1) multiple baseline cross subjects, (2) multiple

Upload: phamphuc

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

94

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Tujuan akhir penelitian adalah terumuskannya model konseling teman

sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa

tunanetra di sekolah inklusif. Model penelitian adalah penelitian dan

pengembangan pendidikan (Educational R&D). Untuk mendukung model

penelitian R&D, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, metode

partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode deskriptif digunakan

untuk mendeskripsikan dan menganalisa: (1) Perilaku siswa tunanetra dalam

berinteraksi sosial di sekolah inklusif, dan (2) Keterampilan interaksi sosial oleh

siswa tunanetra di sekolah inklusif. Metode partisipatif kolaboratif digunakan

untuk memvalidasi instrumen, uji kelayakan model hipotetik, dan uji kelayakan

model operasional. Metode partisipatif kolaboratif dilakukan dengan bantuan

para ahli bidang konseling (validator isi) serta para konselor sekolah dan guru

pembimbing khusus (validator empiris). Metode eksperimen digunakan untuk

menguji dan mengevaluasi kebermanfaatan model konseling, yaitu Efektifitas

model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk

meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Desain eksperimen yang digunakan adalah penelitian Subyek Tunggal

atau Single Subject Research (SSR) dengan Multiple Baseline Design, yang

meliputi tiga variasi, yaitu: (1) multiple baseline cross subjects, (2) multiple

Page 2: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

95

baseline cross conditions, dan (3) multiple baseline cross variables (Sunanto,

2005: 74). Desain SSR ini untuk mengetahui perkembangan setiap subyek pada

suatu kondisi dan setiap jenis keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di

sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan.

B. Operasionalisasi Variabel

Variabel bebas penelitian ini adalah konseling positive peer culture dengan

metode behavioral melalui teknik pembentukan perilaku model. Variabel terikat

penelitian ini adalah interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi. Variabel

interaksi sosial ini terdiri dari dua aspek, yaitu: (1) Tingkah laku siswa tunanetra

di sekolah inklusif; (2) Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah

inklusif. Aspek-aspek dalam interaksi sosial tersebut didasari oleh konsep-konsep

yang dikemukakan para ahli bidang sosial. Libet dan Lewinsohn (Carledge, 1992:

7) menyampaikan bahwa pola interaksi psikososial yang terbentuk pada individu

akhirnya akan mewarnai tindakan atau keterampilan interaksi sosialnya. Dalam

kegiatan sosial, Morgan (Carledge, 1992: 11) mengemukakan bahwa secara

umum keterampilan interaksi sosial dipandang sebagai perilaku yang dipelajari,

diterima secara sosial yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan orang

lain yang menimbulkan tanggapan positif dan membantu dalam menghindari

tanggapan negatif dari mereka. Menurutnya dalam berinteraksi sosial seseorang

melibatkan keinginan secara psikologis untuk berinteraksi secara positif serta

mengembangkan keterampilan interaksi sosial. Dua pendapat tersebut

menunjukkan bahwa aspek keterampilan interaksi sosial sangat dipengaruhi oleh

Page 3: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

96

pola interaksi psikososialnya. Sehingga kedua aspek tersebut dalam pengkajian

perkembangan interaksi sosial harus dibahas secara bersama.

1. Tingkah laku sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Secara konseptual, Martin (2007: 3) menyampaikan kata-kata yang sering

disinonimkan dengan `perilaku` adalah kegiatan, aksi, kinerja, tanggapan, respon,

dan reaksi. Menurutnya, pada dasarnya perilaku adalah segala sesuatu yang

seseorang ucapkan atau lakukan. Secara teknis perilaku adalah setiap kegiatan otot

atau kelenjar dari suatu organisme. Penelitian ini mendeskripsikan bentuk-bentuk

perilaku negatif siswa tunanetra yang menghambat proses interaksi sosial yang

muncul setelah terjadinya interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Secara operasional, indikator konkrit tingkah laku sosial menggunakan

identifikasi problem tingkah laku dalam berinteraksi sosial berupa Positive Peer

Culture (PPC) Problem-Solving List yang disusun oleh Vorath (1985: 30-31),

dengan daftar ini dapat dikenali problem tingkah laku manakah yang dihadapi

klien siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, meliputi :

(1) Gambaran diri rendah (Self-Image): mempunyai gambaran yang lemah tentang

diri sendiri, sering merasakan harga dirinya rendah; (2) Kurang perhatian pada

orang lain: perilaku yang bisa merusakkan hubungan dengan orang lain;

(3) Kurang perhatian pada diri sendiri: perilaku yang bisa merusak diri sendiri;

(4) Masalah otoritas: tidak ingin diatur oleh seseorang; (5) Menyesatkan orang

lain: menggambarkan bahwa orang lain berperilaku negatif; (6) Mudah

disesatkan: klien digambarkan memiliki perilaku negatif oleh orang lain;

(7) Menjengkelkan orang lain: menganggap negatif kepada orang yang

Page 4: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

97

merawat/membantu, memperlakukan sebagai musuh; (8) Mudah marah: sering

mengganggu atau bikin gusar atau pemarah;(9) Mencuri: mengambil berbagai hal

kepunyaan orang lain; (10) Masalah alkohol atau obat: Penyalahgunaan zat-zat

aditif yang bisa menyakiti diri; (11) Pembohong: tidak bisa dipercaya untuk

menceritakan tentang kebenaran; (12) Menghadapi (fronting): suka berpura-pura

dan bukannya riil/ kenyataan.

2. Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif

Secara konseptual, pakar ilmu sosial Libet dan Lewinsohn (Carledge,

1992: 7) menyampaikan bahwa pengertian keterampilan berinteraksi sosial adalah

sebagai kemampuan yang kompleks untuk menampilkan perilaku baik positif atau

negatif, dan bukan perilaku yang tampil karena hukuman oleh orang lain. Dalam

konteks kelembagaan, Combs dan Slaby (Carledge, 1992: 9) mengemukakan

bahwa keterampilan berinteraksi sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi

dengan orang lain dalam konteks sosial tertentu dengan cara tertentu yang secara

sosial dapat diterima atau dihargai dan pada saat yang sama secara pribadi

menguntungkan, saling menguntungkan, atau bermanfaat terutama untuk orang

lain atau masyarakat lingkungannya. Greca (Carledge, 1992: 17) mengidentifikasi

daerah-daerah untuk pembelajaran keterampilan interaksi sosial yang

berkontribusi positif dalam hubungan teman sebaya, meliputi: tersenyum/tertawa,

menyapa orang lain, aktif dalam kegiatan, mengikuti ajakan bersama, terampil

berbicara, bekerjasama, dan penampilan/perawatan fisik. Tindakan atau perilaku

keterampilan sosial yang seharusnya dikuasai oleh remaja, menurut

Goldstein,1985, Gershaw, & Sprafkin,1995 (Samad, 2007: 3), meliputi dua unsur,

Page 5: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

98

yaitu keterampilan sosial awal, keterampilan sosial lanjut, dan ditambahkan oleh

Cooks, 2003 (Samad, 2007: 3) yaitu unsur keterampilan sosial reseptif dan

ekspresif, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself),

kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar

yang baik (be a good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments),

dan kemampuan menunjukkan empati (show empathy), yang penting

dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain.

Secara operasional, indikator konkrit keterampilan interaksi sosial siswa

tunanetra di sekolah inklusif diwujudkan dalam bentuk keterampilan sosial awal:

mendengarkan, memulai percakapan, menikmati percakapan, mengajukan

pertanyaan, mengucapkan terimakasih, memperkenalkan diri, memperkenalkan

orang lain, dan memberi pujian. Keterampilan sosial lanjut: meminta bantuan

kerjasama, memberi instruksi, mengikuti instruksi, meminta maaf, dan

meyakinkan orang lain. Unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif yang

lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a

good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan kemampuan

menunjukkan empati (show empathy), yang penting dikembangkan dalam

membangun interaksi sosial dengan orang lain.

3. Konseling positive peer culture (PPC).

Secara konseptual, menurut Vorrath (1985: 9) PPC mengharapkan bahwa

seseorang akan menghentikan perilaku tidak responsif pada yang lain dan mulai

membantu orang yang lain, PPC berusaha untuk membangun suatu iklim yang

Page 6: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

99

ditandai oleh kepercayaan dan keterbukaan, dan orang yang dibantu dan masuk

dalam kelompok PPC tidak ditempatkan sebagai terdakwa atau orang sakit,

melainkan ia pada hakekatnya adalah dalam proses bantuan, dan peer group nya

menunjukkan perhatian yang baik. Adalah aktivitas kelompok sebaya yang

ditandai oleh persatuan (association) dan kerjasama tatap muka yang bersifat

intim yang benar-benar menyentuh aspek kesiapan psikologis. Snell (2000: 52)

menyampaikan bahwa fokus konseling dengan positive peer culture (PPC) adalah

membantu dan mengawasi klien untuk dapat mengembangkan harga diri (self-

worth), berarti, bermartabat, dan tanggung jawab, agar menjadi merasa terikat

dengan nilai-nilai yang positif dalam hubungan dengan orang lain. Azas konselor

PPC adalah harus mempedulikan hubungan antar pribadi, berhadapan dengan

konseli, dan penuh cinta dalam membantu.

Secara operasional, pendekatan pembentukan kelompok PPC dengan

mengikuti langkah-langkah (Snell, 2000: 54), sebagai berikut: (a) Selubung

(casing), para siswa teman sebaya kelompok peer mencari informasi tentang suatu

hal satu sama lain, (b) Batas Uji (Limit Testing), siswa kelompok peer

mengungkapkan kepribadian dan perilaku sebenarnya, mengungkapkan

pernyataan dan perasaan diri dalam kelompok, siswa kelompok peer mulai

mengenali permasalahan diri sendiri, (c) Polarisasi yang bernilai (Polarization of

Values), sering terjadi perdebatan dalam kelompok, siswa bermasalah

memutuskan benar-benar ingin berubah, mengembangkan tujuan sesuai saran-

saran kelompok, sistem nilai baru telah terikat dengan suatu perasaan dan

pengertian yang kuat tentang kesetiakawanan dan mulai terbentuk identitas

Page 7: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

100

kelompok, (d) Budaya teman sebaya positif (positive peer culture), siswa

kelompok peer memiliki kekuatan yang kompak, mewujudkan sistem nilai

kepedulian timbal balik dan berhubungan, mempercayai kepemimpinan dan siswa

ada keinginan menghadapi masalah mereka secara individu. Indikator sudah

terbentuknya suatu kelompok positive peers, oleh Snell (2000: 32) ditunjukkan

oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan toleransi mereka terhadap orang

lain; (2) Belajar untuk bersimpati kepada siswa yang memiliki kecacatan/

berkebutuhan khusus; (3) Meningkatkan konsep diri mereka; (4) Lebih sadar akan

prasangka orang lain; (5) Mengembangkan prinsip pribadi yang baru dengan

memahami kelebihan dan kekurangan orang lain;(6) Membangun persahabatan;

(7) Belajar untuk memperhatikan orang lain yang adalah berbeda; (8) Mereka

cukup rendah hati; (9) Meningkatkan refleksi diri dan melihat tindakan sendiri

dalam pandangan berbeda.

Teknik konseling yang digunakan untuk memberi bantuan meningkatkan

interaksi sosial dengan pendekatan Positive Peer Culture (PPC) adalah dengan

mengaplikasikan teknik-teknik konseling behavioral. Model konseling Positive

Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial bagi siswa tunanetra di

sekolah inklusif ini menggunakan teknik yang disesuaikan dengan problem

tingkah laku yang dialami klien siswa tunanetra serta jenis kemampuan interaksi

sosial yang akan dikembangkan, yaitu menggunakan teknik pembentukan perilaku

model dan teknik Assertive Training.

Page 8: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

101

C. Pengembangan Alat Pengumpul Data/ Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan cara pengukuran sikap dengan Measurement by

scales yaitu pengukuran sikap atau perilaku dengan menggunakan kuesioner skala

sikap serta menggunakan lembar observasi. Instrumen penelitian ini dikonstruksi

untuk memperoleh data tentang: (1) data tingkah laku psikososial siswa tunanetra di

sekolah inklusif, dibuat dalam bentuk: (a) kuesioner bagi siswa tunanetra dan kuesioner

yang diisi oleh siswa awas yang sekelas dengan masing-masing siswa tunanetra,

dilakukan karena siswa awas dalam satu kelas dipandang sebagai sumber informasi

utama yang secara langsung mengetahui perilaku sosial siswa tunanetra di kelasnya; (b)

lembar observasi berupa pengamatan oleh dua orang pengamat, yaitu oleh

konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (2) data penguasaan keterampilan

interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dikumpulkan melalui

kuesioner dan observasi.

Untuk mengungkap data penelitian ini diperlukan alat pengumpul data penelitian,

yang disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1.

Data dan Alat Pengumpul Data Penelitian

Aspek Indikator Alat

Pengungkap

Sumber

Data

1. Tingkah

laku

siswa

tunanetra

di sekolah

inklusif

a. Gambaran diri rendah (Low

Self-Image):

b. Kurang perhatian pada

orang lain (Inconsiderate of

others)

c. Kurang perhatian pada diri

sendiri (Inconsiderate of

self)

Kuesioner

Siswa

tunanetra

(dalam

kelas

inklusif)

Page 9: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

102

d. Masalah otoritas (Authority

problem)

e. Menyesatkan orang lain

(Misleads others)

f. Mudah disesatkan (Easily

misled)

g. Menjengkelkan orang lain

(Aggravates other)

h. Mudah marah (Easily

angered)

i. Mencuri (Stealing)

j. Masalah alkohol atau obat

(Alcohol or drug problem)

k. Pembohong (Lying)

l. Menghadapi (Fronting)

Observasi

Siswa awas

(kelas

inklusif)

2. Pengu-

asaan

keteram-

pilan

interaksi

sosial

oleh

siswa

tunanetra

di

sekolah

inklusif

Keterampilan

sosial awal:

Mendengarkan (be a good

listener)

Melakukan percakapan

(making conversation) :

memulai percakapan

menikmati

percakapan

Melakukan perkenalan

(introducing):

memperkenalkan diri

memperkenalkan orang

lain

Memberi pujian (give

compliments)

Mengajukan pertanyaan

Mengucapkan terimakasih

Keterampilan sosial lanjut:

Meminta bantuan

Kerjasama

Memberi instruksi

Mengikuti instruksi

Meminta maaf

Meyakinkan orang lain

Menunjukkan empati

Kuesioner

Observasi

Siswa

tunanetra

(dalam

kelas

inklusif)

Siswa awas

(kelas

inklusif)

Page 10: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

103

3. Validitas

Instrumen

Kuesioner `Kondisi Interaksi

Sosial siswa Tunanetra di

sekolah inklusif`

Instrumen

Penilaian

Konselor

ahli

4. Validitas

Model

Model Hipotetik/ teoretik

Model Operasional/ empirik

Instrumen

Penilaian

Instrumen

Penilaian

Konselor

ahli

Konselor

Sekolah

5. Kualitas

Instrumen

Aplikasi

a. Pedoman Pembentukan

Kelompok Positive Peer

Culture (PPC)

b. Pedoman operasional

Konseling teman sebaya

positif (Positive Peer

Culture).

c. Tayangan Power Point

`Bagaimana sikap kita

dalam berinteraksi sosial`

dan VCD `Hadapilah

masalah`.

Penilaian

Konselor

Sekolah

dan

Siswa awas

(kelompok

PPC +

Tim

monitor

SSR)

Pengembangan alat pengumpul data kuesioner adalah menggunakan skala

sikap atau penilaian/pengamatan dengan metode `Likert`s Summated Rating

(LSR)`. Prosedur penskalaan adalah dengan metode rating yang dijumlahkan

(method of summated rating ) dari Likert.

Dalam menentukan nilai skala dengan cara ini, untuk pernyataan bersifat :

Favorable Unfavorable

( + ) ( - )

Sangat Sesuai (SS) a nilai 5 a nilai 1

Sesuai (S) b nilai 4 b nilai 2

Ragu-ragu (R) c nilai 3 c nilai 3

Tidak Sesuai (TS) d nilai 2 d nilai 4

Sangat Tidak Sesuai (STS) e nilai 1 e nilai 5

Page 11: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

104

Bentuk laporan data dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan

kemungkinan jawaban sebagai berikut: untuk pernyataan tentang tingkah laku siswa

tunanetra di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa

tunanetra, alternatif jawabannya adalah: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R),

Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Kuesioner dikembangkan berdasarkan prosedur dan kebakuan alat ukur, yaitu

sebagai berikut: (1) menyusun kisi-kisi kuesioner/instrumen awal; (2) menimbang

(judgement) butir-butir pernyataan oleh tiga orang pakar (dua orang Doktor BK dan satu

orang Doktor PLB); (3) uji coba dilapangan sebagai dasar penentu tingkat kebakuan

pernyataan-pernyataan yang akan digunakan dalam penelitian; dan (4) merumuskan

butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian.

1. Kisi-kisi kuesioner/instrumen awal

Langkah pertama, dengan menyusun kisi-kisi dan merumuskan butir-butir pernyataan

kuesioner awal sejumlah 135 item pernyataan untuk aspek interaksi sosial siswa

tunanetra .

2. Penimbangan instrumen (judgement validity)

Langkah kedua, adalah penimbangan instrumen yang dimaksudkan untuk memperoleh

kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator variable yang akan diukur.

Dengan penimbangan tersebut diharapkan instrumen penelitian layak dipakai. Untuk

keperluan penimbangan instrumen peneliti meminta bantuan kepada dua pakar konseling

dan satu pakar pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada Universitas Pendidikan

Indonesia, yang berkualifikasi minimal Doktor pada bidangnya.

Page 12: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

105

Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak, baik mengenai

konstruk isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai

dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Untuk lebih mendapatkan

kevalid-an tentang keterbacaan naskah instrumen, peneliti melakukan uji keterbacaan

terhadap setiap butir item pernyataan dengan meminta bantuan kepada satu guru konselor

sekolah dan tiga siswa awas.

Setelah divalidasi oleh para pakar kemudian diadakan revisi terhadap item

kuesioner, dan ditetapkan sejumlah 131 item pernyataan untuk aspek interaksi sosial

siswa tunanetra di sekolah inklusi . Instrumen yang telah di revisi sesuai kesalahan yang

ditemukan dan saran-saran perbaikan, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen.

3. Uji coba instrumen

Langkah ketiga, kuesioner diujicobakan dan di hitung bobot nilai skala

pernyataannya, maka diperoleh item pernyataan yang dinyatakan valid untuk digunakan

sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah 78 item pernyataan untuk aspek interaksi

sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Langkah-langkah try out` atau uji coba

instrumen di lokasi penelitian adalah sebagai berikut.

a. Lokasi dan Subyek Uji Coba

Uji coba instrumen penelitian berupa kuesioner interaksi siswa tunanetra di

sekolah inklusif dan sikap siswa awas terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif

diberikan kepada responden siswa dalam kelas inklusif, yaitu 40 siswa yang bersekolah

di MAN Maguwoharjo, D.I. Yogyakarta.

Page 13: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

106

b. Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan

Setelah dilakukan uji coba instrumen berupa pengisian kuesioner oleh siswa,

langkah selanjutnya adalah pengujian bobot nilai skala terhadap instrument dalam

bentuk skala sikap. Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji

ketepatan bobot skala setiap pernyataan, sehingga hasil pengukurannya dapat

dipergunakan untuk menilai butir item pernyataan mana yang valid untuk dipergunakan

dalam pengumpulan data penelitian, sedangkan butir item pernyataan yang tidak valid

harus dibuang atau tidak dipergunakan. Sebagaimana disampaikan oleh Azwar (2008:

139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan, dengan asumsi :

(a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk

pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel

(b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus

diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh

responden yang mempunyai sikap negatif.

Hasil dari pengujian bobot nilai skala pernyataan diperoleh hasil item-item

pernyataan yang dinyatakan valid sejumlah 78 butir pernyataan, yaitu item nomor

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 32,

35, 36, 37, 38, 40, 43, 45, 47, 50, 52, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 63, 66, 67, 69, 70, 72,

74, 75, 78, 79, 80, 81, 83, 86, 87, 89, 90, 91, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 104, 105,

108, 109, 113, 114, 117, 120, 126, 127, 128, 130, dan 131, sedangkan item

pernyataan tidak valid adalah sebanyak 53 item (lihat lampiran tabel

penghitungan bobot nilai skala).

Aspek sikap siswa awas terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif

untuk pembentukan kelompok PPC dinyatakan valid sejumlah 25 item

pernyataan, yaitu item nomor 1, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12, 14, 16, 18, 21, 22, 26, 27,

Page 14: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

107

30, 31, 32, 36, 37, 38, 39, 40, 43, dan 44, sedangkan pernyataan yang tidak valid

sebanyak 20 item.

Rekap analisis butir/item sejumlah 131 butir, jumlah subyek 40, rata-rata

468.65, dan tingkat reliabilitas instrumen 0.58.

4. Merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian.

Interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif memiliki dua aspek variabel,

yaitu: tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif dan

penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Tabel 3.2.

Tabel Distribusi Item/ Butir Pernyataan

Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif

Jumlah Item = 78 butir pernyataan.

Komponen Obyek Sikap

Total

1. Tingkah laku siswa tunanetra dalam interaksi

sosial di sekolah inklusif

42

2. Keterampilan interaksi social oleh siswa

tunanetra di sekolah inklusif

36

T o t a l 78

Setelah ditetapkan jumlah total item pernyataan untuk instrumen pengumpul

data, maka disusunlah kisi-kisi instrumen tentang kondisi interaksi sosial siswa tunanetra

di sekolah inklusi.

Page 15: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

108

Tabel 3.3

Kisi-Kisi Instrumen

Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra pada Sekolah Inklusif

No Komponen

Obyek Sikap

Indikator

Nomor Item ∑

Positif Negatif

1. `Problem

tingkah laku`

siswa tunanetra

dalam

berinteraksi

sosial pada

Sekolah Inklusif

a. Gambaran diri rendah (Low

Self-Image):

4,5 1,2,3,6 6

b. Kurang perhatian pada

orang lain (Inconsiderate of

others)

7,9 8,10 4

c. Kurang perhatian pada diri

sendiri (Inconsiderate of

self)

11,13 12,14 4

d. Masalah otoritas (Authority

problem)

15,16,18 17 4

e. Menyesatkan orang lain

(Misleads others)

20,22 19,21 4

f. Mudah disesatkan (Easily

misled)

24,25 23 3

g. Menjengkelkan orang lain

(Aggravates other)

27 26,28 3

h. Mudah marah (Easily

angered)

29 30,31 3

i. Mencuri (Stealing) 32 33 2

j. Masalah alkohol atau obat

(Alcohol or drug problem)

35 34 2

k. Pembohong (Lying) 37 36,38 3

l. Menghadapi (Fronting) 39,41 40,42 4

Jumlah

20

22

42

2.

Penguasaan

keterampilan

interaksi sosial

oleh siswa

tunanetra pada

sistem

pendidikan

Inklusif

Keterampilan

sosial awal:

a. Mendengarkan (be a

good listener) Melakukan

percakapan

(making conversation):

b. memulai percakapan

c. menikmati

percakapan

Melakukan perkenalan

44

45,47

48

43

46

49

2

3

2

Page 16: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

109

No Komponen

Obyek Sikap

Indikator

Nomor Item ∑

Positif Negatif

(introducing):

d. memperkenalkan diri

e. memperkenalkan orang

lain

f. Memberi pujian (give

compliments)

g. Mengajukan pertanyaan

h. Mengucapkan

terimakasih

50,52

54

56,58

60

62,63,65

51,53

55

57

59,61

64

4

2

3

3

4

Keterampilan sosial

lanjut:

i. Meminta bantuan

j. Kerjasama

k. Memberi instruksi

l. Mengikuti instruksi

m. Meminta maaf

n. Meyakinkan orang lain

o. Menunjukkan empaty

66

68

70

-

73

-

76,77

67

69

71

72

-

74

75,78

2

2

2

1

1

1

4

Jumlah 19 17 36

Jumlah keseluruhan

39

39

78

Berdasarkan kisi-kisi tersebut, kemudian disusun pernyataan-pernyataan yang

terdiri dari pernyataan positif (+) sebanyak 39 butir dan pernyataan negative (-) sebanyak

39 butir. Untuk mengukur problem tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi

sosial terdiri 42 pernyataan dan penguasaan keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra

terdiri 36 pernyataan. Jumlah keseluruhan item/butir pernyataan dalam

kuesioner/instrumen pengumpul data `Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah

Inklusi adalah 78 butir pernyataan.

Page 17: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

110

D. Subyek dan Seting Penelitian

Penelitian dilakukan di sekolah reguler MAN Maguwoharjo Yogyakarta

yang menyelenggarakan layanan sekolah inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dipilihnya D.I. Yogyakarta sebagai daerah penelitian adalah untuk memperoleh

jumlah sampel subyek (Tunanetra klasifikasi low vision berat dan klasifikasi

totally blind) yang memenuhi syarat penelitian. Yogyakarta adalah penyelenggara

layanan sekolah inklusif dengan siswa tunanetra yang cukup banyak.

1. Subyek penelitian meliputi:

a) dua ahli yang memiliki kepakaran bidang konseling dan satu ahli pendidikan

anak berkebutuhan khusus yang akan digunakan sebagai validator isi model,

minimal bergelar Doktor.

b) konselor sekolah dan Guru Pembimbing Khusus yang akan digunakan sebagai

validator empiris model operasional sebanyak dua orang dan uji keterbacaan

instrumen sebanyak satu orang.

c) siswa tunanetra (klasifikasi kurang penglihatan berat dan klasifikasi buta total)

yang bersekolah di sekolah inklusif, sebanyak sembilan orang.

d) siswa awas yang digunakan dalam uji keterbacaan sebanyak tiga siswa, uji

coba kuesioner sebanyak 40 siswa awas dan pengisian kuesioner penelian

sebanyak 152 siswa awas.

e) siswa awas dan siswa tunanetra yang tergabung dalam kelompok PPC

sebanyak 28 siswa (terdiri empat kelompok dan setiap kelompok terdiri tujuh

siswa) dan kelompok teman sebaya Non PPC sebanyak 21 siswa (terdiri tiga

kelompok/kelas dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa).

Page 18: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

111

f) tim monitor treatmen desain Penelitian Subyek Tunggal, yaitu kelompok siswa

yang bertugas mencatat kemajuan hasil treatmen model konseling Positive Peer

Culture pada kegiatan eksperimen Single Subject Research (SSR), sebanyak 7

siswa (satu siswa dalam satu kelas inklusif).

2. Seting penelitian

Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang masuk

di sekolah umum/reguler adalah alumni sekolah dasar dan sekolah lanjutan

pertama yang masuk dalam layanan Sekolah Luar Biasa (SLB dan SDLB).

Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang

membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan baru/lingkungan awas,

kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan kemampuan

beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola

hubungan sosial di sekolah inklusif.

MAN Maguwoharjo Yogyakarta mendistribusikan siswa tunanetra

dengan menempatkan satu siswa tunanetra pada setiap kelas yang berbeda. Tujuan

dari penempatan ini adalah agar siswa tunanetra dan siswa awas di sekolah segera

dapat beradaptasi, sehingga harapan menjadi sekolah yang inklusif terwujud.

Kondisi lingkungan sekolah dan perilaku siswa awas pada awalnya dirasakan

sangat asing bagi siswa tunanetra. Selama sesi konseling dalam penelitian kondisi

dan perilaku ini tidak di ubah, karena tujuan diterapkan penelitian model

konseling PPC adalah agar siswa tunanetra segera bisa beradaptasi. Siswa awas

dalam sekolah inklusif dibimbing untuk dapat menjadi kelompok sebaya positif

yang memiliki validitas dan aksebilitas bagi siswa tunanetra. Selama sesi

Page 19: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

112

penelitian uji model setiap siswa tunanetra didampingi oleh siswa kelompok

postive peer culture (PPC) di kelasnya. Tugas kelompok PPC adalah

memberikan motivasi kepada siswa tunanetra untuk melakukan tugas interaksi

sosial, memberi bimbingan dan contoh berinteraksi sosial, memberi semangat

dengan ucapan pujian `...naah gitu loooh..., .... naaah ituu baru Brian (nama

tunanetra),...` dan sebagainya. Perubahan perilaku yang terjadi selama sesi

konseling atau intervensi uji model pada siswa tunanetra akan dicatat dalam

catatan kejadian oleh siswa awas pengamat yang duduk sekelas dengan siswa

tunanetra.

E. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan model konseling Positive Peer

Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah

inklusif. Prosedur penelitian mendasarkan pada pendekatan penelitian dan

pengembangan (research and development), adalah sebagai proses yang

digunakan untuk mengembangkan, memvalidasi produk atau model, dan menguji

keefektifan model tersebut (Borg and Gall, 1989). Prosedur R&D digunakan

karena kajian ini berangkat dari adanya potensi atau masalah, dilakukan dengan

menempuh beberapa langkah : Survey awal Potensi dan Masalah – Pengumpulan

Data/ informasi – Merancang Desain Produk – Validasi Desain – Revisi Desain –

Ujicoba Terbatas Produk – Revisi Produk – Ujicoba Luas Pemakaian – Revisi

Produk – Model Akhir, Diseminasi dan Sosialisasi (Sugiyono, 2007: 409).

Page 20: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

113

Langkah-langkah penelitian tersebut dapat diringkas ke dalam empat

tahap, yaitu: tahap I studi pendahuluan, tahap II pengembangan dan validasi

model, tahap III uji lapangan efektifitas model, dan tahap IV diseminasi/ distribusi

model, digambarkan dalam skema penelitian sebagai berikut:

Page 21: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

114

Tahap 1: Studi Pendahuluan

TAHAP I

TAHAP II

TAHAP III

KEGIATAN

KEGIATAN

KEGIATAN

HASIL

HASIL

HASIL

Studi Pendahuluan

Uji Lapangan

Efektifitas Model

Pengembangan & Validasi Model

Pengenalan Model

Kegiatan: Seminar Nasional, Pembuatan Buku Pedoman

Survey awal,

kaji konsep/literatur,

kaji hasil penelitian,

Merancang model

Validasi Isi, Validasi

Empiris, Revisi Model

Uji Terbatas + Revisi, Uji

Efektifitas Model dengan

desain Single Subject

Research + Revisi Model

Model

Hipotetik

Model

Operasional

Model

Teruji

TAHAP IV

Gambar 3.1.

Alur Proses Pengembangan Model

Page 22: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

115

Tahap 1: Studi Pendahuluan

Dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi awal, untuk memotret kondisi

obyektif di lapangan tentang kesiapan psikologis dan kemampuan interaksi sosial

tunanetra, yang akan dijadikan dasar serta digunakan untuk merencanakan atau

merancang model teoretik-hipotetik. Kegiatan ini dilakukan dengan survey awal

melalui observasi dan wawancara kepada siswa tunanetra dan siswa awas,

konselor, Guru Pembimbing Khusus, kepala sekolah. Kegiatan lain adalah

menelaah konsep, mengkaji hasil-hasil penelitian yang terkait. Kegiatan meliputi:

a) Survey awal, dilakukan untuk memperoleh kejadian aktual dan faktual

berkaitan dengan problem sosial dan kemampuan keterampilan interaksi sosial

pada tunanetra yang belajar di sekolah inklusif.

b) Mengkaji konseptual melalui telaah literatur, untuk memperoleh informasi

teoretik berkaitan dengan konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk

mengembangkan kemampuan keterampilan interaksi sosial.

c) Kajian empiris, dilakukan dengan telaah hasil-hasil penelitian yang berkaitan

dengan keterampilan interaksi sosial yang relevan.

d) Merencanakan dan merancang model awal (Model Hipotetik) konseling

Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial

siswa tunanetra.

Tahap 2: Pengembangan dan Validasi Model

Model Hipotetik yang telah dirumuskan merupakan landasan untuk

memasuki tahap pengembangan dan validasi model hipotetik tersebut. Tahapan

ini meliputi kegiatan:

Page 23: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

116

a) Validasi Isi, model hipotetik divalidasikan kepada tiga ahli yang memiliki

kepakaran dalam bidang konseling, yang berkualifikasi Doktor. Model

hipotetik yang tervalidasi merupakan model yang sudah valid dalam rumusan

isi, kesesuaian teoretik, efisiensi, implementatif.

b) Validasi empirik, model hipotetik divalidasikan kepada para praktisi yang

terlibat langsung dalam pelaksanaan konseling di lapangan, yaitu konselor serta

guru pembimbing khusus yang bertugas pada MAN di sekolah inklusif bagi

tunanetra. Validasi praktisi ini dimaksudkan untuk mengkaji model hipotetik

dan memperoleh informasi tentang kemungkinan kelayakan aplikasi model

konseling tersebut sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan/ sekolah.

c) Validasi Isi dan Validasi Empirik dari para pakar dan praktisi akan

memberikan informasi dan masukan yang akan digunakan peneliti untuk

merevisi model hipotetik dan mengembangkan menjadi Model Operasional.

Tahap 3: Uji Lapangan Efektifitas Model

Model Operasional yang telah dirumuskan, kemudian diaplikasikan dan

dilakukan uji keefektifan model di lapangan melalui kegiatan uji operasional atau

uji empirik. Kegiatan ini meliputi:

a. Uji coba terbatas, dilaksanakan untuk mendapatkan masukan kritis dari guru

dan siswa awas maupun tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusif dengan

melibatkan 2 orang siswa tunanetra dan 6 orang siswa awas. Kegiatan pada

tahap ini meliputi: menyusun teknis uji coba terbatas, menunjuk dan

bekerjasama dengan konselor sekolah serta Guru Pembimbing Khusus,

melaksanakan uji coba (pengisian kuesioner, pembentukan dan bimbingan

Page 24: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

117

kelompok positive peer culture (PPC), adegan konseling), diskusi dan refleksi

sebagai bahan masukan dan revisi model.

Setelah dilakukan uji kelayakan dan dilakukan revisi model konseling,

langkah selanjutnya adalah uji coba terbatas. Uji coba terbatas ini dilakukan

dengan tujuan agar model konseling dapat dipahami oleh pengguna model dan

dengan mudah dapat diaplikasikan dilapangan. Uji coba terbatas dilakukan

melalui diskusi terfokus (focus group discussion).

Dalam diskusi terfokus dipandu langsung oleh peneliti, sedangkan

unsur yang dilibatkan dalam uji terbatas adalah konselor, guru pembimbing

khusus, siswa awas, dan siswa tunanetra. Dari uji terbatas dihasilkan beberapa

saran-saran sebagai masukan untuk perbaikan model operasional dan pedoman

operasional model konseling PPC.. Saran-saran yang disampaikan dalam

diskusi terfokus tersebut lebih banyak terkait dengan perbaikan redaksi dan

penggunaan beberapa istilah teknis yang masih terasa terasing.

Beberapa aspek yang dibahas serta saran-saran perbaikan dalam diskusi

terfokus, diantaranya: a) tujuan dirumuskannya model konseling PPC; b) peran

konselor; dan c) sesi-sesi pelaksanaan konseling PPC. Hasil diskusi terfokus ini

menjadi dasar dilakukannya revisi untuk penyempurnaan model konseling

operasional sebelum dilakukannya uji lapangan atau uji empirik.

b. Sebelum dilakukan uji efektifitas model, diawali dengan `pembentukan

konselor sebaya` yang diarahkan untuk memiliki sikap positive peer culture,

konselor sebaya tersebut nantinya digunakan sebagai pelaksana model di

lapangan. Materi pelatihan adalah berkaitan dengan pembentukan kelompok

Page 25: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

118

sebaya yang memiliki sikap positif sebagai peer support, bagaimana

melaksanakan konseling untuk memecahkan masalah kesulitan berinteraksi

sosial bagi tunanetra dalam kelompok positive peer culture.

c. Uji Lapangan Efektifitas Model dilakukan menggunakan eksperimen penelitian

Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) desain Multiple Baseline,

yang digunakan untuk mengetahui variasi perkembangan kemampuan interaksi

sosial tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan.

Dengan melihat tabel identifikasi problem interaksi sosial siswa tunanetra pada

tiap kelas serta tabel masalah interaksi sosial yang tergolong masalah kategori

berat, maka uji kelayakan efektifitas model konseling PPC untuk meningkatkan

interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif meliputi:

Kelompok Kelas Nama Siswa

Tunanetra

Target Behavior

PPC X C

X E

X F

XI IPS 2

Febri

Dhono

Dodo

Setyo

1. bergaul dengan teman

awas

2. merespon percakapan

dengan gerakan atau

ucapan

3. bertanya dalam suatu

percakapan

NON PPC X A

X B

X D

Dulah

Tosin

Priyo

d. Uji kelayakan juga dilakukan dengan metode partisipatif kolaboratif melalui

diskusi dengan para ahli, teman sejawat, konselor, dan unsur-unsur yang

terlibat dalam pengembangan interaksi sosial, selanjutnya memperbaiki

pengembangan model operasional secara kolaboratif.

Hasil uji keefektifan model operasional akan dijadikan bahan informasi

untuk mengadakan revisi kembali serta menyempurnakan menjadi Model Teruji

Page 26: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

119

atau Model Akhir. Model akhir inilah yang akan direkomendasikan untuk dapat

dilaksanakan sebagai salah satu model implementatif yang dapat digunakan oleh

sekolah.

Tahap 4: Diseminasi dan Distribusi Model

Kegiatan diseminasi dan distribusi akan dilakukan dengan penyebarluasan

model teruji melalui publikasi pada kegiatan seminar nasional, penyusunan serta

penerbitan buku dan buku saku panduan pembentukan positive peer culture, yang

dilakukan setelah kegiatan pokok penelitian selesai dan dihasilkan Model Teruji.

F. Teknik Analisis Data

1. Analisis Kelayakan Model Konseling positive peer culture untuk

Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif

Teknik yang digunakan dalam menganalisa kelayakan model meliputi uji

validitas, uji keterbacaan, dan uji kepraktisan. Uji validitas (validity) rasional dan

uji keterbacaan (readability) kelayakan model hipotetik dilakukan oleh dua pakar

bidang BK dan satu pakar bidang PLB, minimal berpredikat Doktor. Model

hipotetik yang sudah dirumuskan dilakukan uji kelayakan model melalui penilaian

oleh para pakar (expert judgment). Uji kelayakan model untuk validasi rasional

dilakukan melalui konsultasi dan diskusi dengan dua pakar konseling dan satu

pakar pendidikan anak berkebutuhan khusus. Para pakar yang dilibatkan untuk

memberikan penilaian, pengkajian dan penimbang (uji validitas) model konseling

positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di

sekolah inklusif, yaitu: Dr. Mubiar Agustin, M.Pd., Dr. Ipah Saripah, M.Pd, dan Dr.

Djadja Rahardja, M.Ed.

Page 27: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

120

Uji kepraktisan (usebility) dan uji keterbacaan (readability) kelayakan

model operasional dilakukan oleh konselor sekolah, guru pembimbing khusus,

dan siswa awas di sekolah inklusif. Uji ini dilakukan melalui diskusi terfokus

setelah diadakan uji terbatas model konseling positive peer culture untuk

meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Pokok-pokok penimbangan dan pengkajian yang di lakukan oleh para

pakar dan praktisi konseling mencakup aspek struktur model dan isi model.

Struktur model meliputi judul, penggunaan istilah, sistematika, keterbacaan,

kelengkapan, dan kesesuaian antar komponen model. Sedangkan dari aspek isi

model meliputi rasional, tujuan, ruang lingkup, pendukung sistem layanan,

peranan konselor, prosedur pelaksanaan, dan evaluasi dan indikator keberhasilan.

Hasil uji kelayakan model hipotetik konseling positive peer culture untuk

meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dilakukan

oleh para pakar diperoleh hasil, yaitu: a) komponen-komponen yang termuat

dalam model konseling hipotetik yang dikembangkan sudah memadai sebagai

suatu model; b) rasional model dipertegas dengan pendekatan teori yang relevan

dan mendukung. Hasil uji kelayakan model operasional diperoleh saran perlu

lebih terinci kejelasan tahap-tahap atau sesi-sesi pelaksanaan konseling. Hasil

penilaian dan beberapa saran menjadi dasar revisi model hipotetik dan model

operasional konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial

siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Page 28: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

121

2. Analisis Efektifitas Konseling positive peer culture untuk Meningkatkan

Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif.

Pencatatan data pada desain eksperimen yang dirancang dengan

pendekatan penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) adalah

pencatatan dengan Observasi Langsung, adalah kegiatan observasi secara

langsung yang dilakukan untuk mencatat data variabel terikat pada saat kejadian

atau perilaku terjadi. (Sunanto, 2005: 20). Jenis pencatatan data yang

menggunakan prosedur observasi secara langsung, meliputi: 1) pencatatan

kejadian, yaitu dengan cara memberikan tanda tally pada kertas setiap perilaku

terjadi; 2) pencatatan durasi, yaitu pencatatan tentang berapa lama suatu kejadian

atau target behavior terjadi; 3) pencatatan latensi, adalah pencatatan terhadap

berapa lama waktu yang diperlukan subyek untuk memulai suatu perilaku setelah

mendapat stimulus; 4) pencatatan interval, adalah pencatatan yang dilakukan

dengan membagi periode waktu observasi kedalam interval waktu yang lebih

kecil dan mencatat kejadian yang terjadi pada setiap interval waktu tersebut secara

terus menerus (continue); dan 5) pencatatan sampel waktu, adalah pengamatan

terjadi atau tidak terjadinya target behavior hanya dilakukan pada akhir setiap

interval.

Jenis pencatatan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur

observasi secara langsung dengan pencatatan kejadian, yaitu dengan cara

memberikan tanda tally pada tabel setiap perilaku/ target behavior terjadi.

Pencatatan kejadian ini dilakukan dalam berbagai baseline, meliputi: cross

subject, cross conditions, dan cross variables.

Page 29: BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode …repository.upi.edu/7684/4/d_bp_0602457_chapter3.pdf · lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan

Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

122

Teknik analisis data dengan sistem pencatatan dan pengukuran Single

Subject Research yang analisis datanya dilakukan subyek per subyek (Heppner,

2008: 188), adalah memperolah gambaran kelayakan operasional desain model

konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa

tunanetra di sekolah inklusif. Komponen analisis data untuk desain multiple

baseline adalah dengan metode analisis visual (Sunanto, 2005: 96), yaitu:

1) banyaknya data point (skor) dalam setiap kondisi; 2) banyaknya variabel

terikat yang akan diubah; 3) tingkat stabilitas dan perubahan level data dalam

suatu kondisi atau antar kondisi; dan 4) arah perubahan dalam kondisi maupun

antar kondisi.

Penelitian ini menggunakan dua kelompok subyek siswa tunanetra, yaitu:

1) kelompok siswa yang tergabung dalam konseling dengan pendekatan Positive

Peer Culture (selanjutnya disebut kelompok PPC); dan 2) kelompok siswa yang

tergabung dalam konseling sebaya (selanjutnya disebut kelompok NON PPC).

Penggunaan kelompok yang berbeda ini untuk menguji atau melihat perbedaan

efektifitas antara konseling sebaya biasa dengan konseling dengan pendekatan

Positive Peer Culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di

sekolah inklusif.

Studi

Pendahuluan