bab iii memahami religiusitas masyarakat ......48 (ki pandan arang) yang mengemban tugas pengislaman...

38
46 BAB III MEMAHAMI RELIGIUSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN DI KOTA SEMARANG A. Sejarah singkat masuknya Islam di Semarang Ketika Kerajaan Islam Demak belum berdiri, kegiatan penyebaran Islam di Jawa berjalan tanpa didukung oleh kekuatan-kekuatan politik. Penyebaran Islam lebih banyak dilakukan melalui kegiatan perdagangan oleh para pedagang muslim juga para wali yang melakukan kegiatan dakwah. Begitu berdiri pada tahun 1481 M, Kerajaan Islam Demak berkembang menjadi pusat penyebaran Islam. Berdirinya Kerajaan Islam Demak yang ditopang oleh kekuatan politik Sultan Fatah yang memiliki “trah” Majapahit di satu sisi dan kekuatan legitimasi agama dari para wali di sisi yang lain menjadikan kerajaan Islam tersebut sebagai basis penyebaran Islam yang efektif. Bagaimanapun, dukungan politik dari pemerintahdaerah-daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada umumnya telah mengakui kedaulatan Demak mempermudah proses penyebaran Islam di wilayah lain, termasuk Kota Semarang. 1 Semarang yang berjarak tak terlampau jauh hanya berjarak kurang lebih 25 kilometer dari Demak memudahkan perhatian para pemegang otoritas politik dan keagamaan di Kesultanan Demak. Menurut informasi dalam naskah-naskah yang ditemukan oleh Residen Portman pada tahun 1928 di Kelenteng Sam Po Kong 1 Lihat juga hasil penelitian Tim Peneliti Masjid Agung Jawa Tengah tentang “Sejarah Masjid Besar Kauman dan Masjid Agung Jawa Tengah” (Semarang: MAJT Press, 2008), 21-23

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 46

    BAB III

    MEMAHAMI RELIGIUSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN DI KOTA SEMARANG

    A. Sejarah singkat masuknya Islam di Semarang

    Ketika Kerajaan Islam Demak belum berdiri, kegiatan penyebaran Islam di

    Jawa berjalan tanpa didukung oleh kekuatan-kekuatan politik. Penyebaran Islam

    lebih banyak dilakukan melalui kegiatan perdagangan oleh para pedagang muslim

    juga para wali yang melakukan kegiatan dakwah. Begitu berdiri pada tahun 1481

    M, Kerajaan Islam Demak berkembang menjadi pusat penyebaran Islam. Berdirinya

    Kerajaan Islam Demak yang ditopang oleh kekuatan politik Sultan Fatah yang

    memiliki “trah” Majapahit di satu sisi dan kekuatan legitimasi agama dari para wali

    di sisi yang lain menjadikan kerajaan Islam tersebut sebagai basis penyebaran Islam

    yang efektif. Bagaimanapun, dukungan politik dari pemerintahdaerah-daerah

    pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada umumnya telah mengakui

    kedaulatan Demak mempermudah proses penyebaran Islam di wilayah lain,

    termasuk Kota Semarang.1

    Semarang yang berjarak tak terlampau jauh hanya berjarak kurang lebih 25

    kilometer dari Demak memudahkan perhatian para pemegang otoritas politik dan

    keagamaan di Kesultanan Demak. Menurut informasi dalam naskah-naskah yang

    ditemukan oleh Residen Portman pada tahun 1928 di Kelenteng Sam Po Kong

    1 Lihat juga hasil penelitian Tim Peneliti Masjid Agung Jawa Tengah tentang “Sejarah Masjid

    Besar Kauman dan Masjid Agung Jawa Tengah” (Semarang: MAJT Press, 2008), 21-23

  • 47

    bahwa Sultan Fatah sempat singgah di kawasan Semarang. Pendaratan armada laut

    Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413 M dan sempat

    mengunjungi (membangun Masjid di kawasan Simongan) menjadi bukti bahwa

    sebelum terbentuknya Kesultanan Demak justru telah ditemukan komunitas

    Muslim di kawasan Semarang. Tentu sulit untuk dipastikan apakah komunitas

    Muslim yang ada di kawasan Semarang pada saat itu adalah penduduk pribumi

    atau pendatang dari seberang. Namun menilik naskah-naskah yang ditemukan di

    Kelenteng Sam Po Kong, sangat mungkin untuk dipastikan bahwa komunitas

    Muslim yang ada pada saat itu orang-orang Tionghoa. Sebagaimana cerita tutur

    yang berkembang bahwa banyak kalangan Muslim Tionghoa pengikut Laksamana

    Cheng Ho yang memilih untuk tetap tinggal di Semarang.2

    Sekelumit sejarah penyebaran Islam di Semarang mengantarkan kita

    bagaimana memahami karakteristik masyarakat Kota Semarang yang tak lepas dari

    sejarah lahirnya kota itu sendiri. Seperti yang ditulis Liem, Amen Budiman, bahwa

    lahirnya Kota Semarang bermula dari penamaan suatu daerah (kota, dusun,

    kampung, sungai, gunung) berdasarkan pada ciri khas daerah itu, keadaan alam

    atau pemandangan mencolok di sekitarnya (Liem 1933:2: Budiman 1978:82).

    Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah KBG NR.7, Lahirnya Kota Semarang

    diawali pada tahun 1938 saka (1476 M), dengan datangnya utusan Kerajaan Demak

    2 Sejarah Masjid,, (Semarang: MAJT Press, 2008), 22-26

  • 48

    (Ki Pandan Arang) yang mengemban tugas pengislaman di wilayah barat Kerajaan

    Demak, di Semenanjung Pulau Tirang (sekarang disebut dengan daerah Mugas dan

    Bergota, Semarang) (Liem 1993, Budiman 1978). Sesampainya di daerah ini, ia

    mendirikan pesantren tempat para santri mempelajari ilmu agama Islam. Di daerah

    yang subur ini tumbuh pohon asam (Jawa: asem) yang masih jarang (Jawa: arang).

    Muridnya dari waktu ke waktu semakin banyak, dan tempat itu kemudian semakin

    dikenal banyak orang: daerah asem-arang, Semarang.3

    Kedatangan pedagang timur asing ke Semarang telah mewarnai corak kota

    ini, selain pribumi dan orang Eropa. Antara tahun 1920-1930 Kota Semarang

    banyak didatangi orang-orang Eropa. Diduga mereka pergi ke Semarang dan kota

    lain di Hindia Belanda untuk mencari pekerjaan (Liem 1933:20). Sehingga,

    Semarang mempunyai penduduk dari beragam etnis: Jawa, Cina, Arab, Melayu,

    India, dan orang Eropa. Kota Semarang di abad ke-18 dikenal sebagai lojining

    nagoro sumawis (negara tempat semuanya tersedia), dengan luas tanah 25 ha. Di

    bawah pemerintahan Hindia Belanda, Kota Semarang mengalami tiga kali

    perubahan batas kota (perluasan kota), yaitu 1889 (Staatsblad van Nederlandsch-

    Indie 1886 No. 160), 1894 (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1894 No. 249), dan

    1902 (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1905 No. 211). Sejak abad ke-19,

    3 Lihat Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi

    (ed.), Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (Yogyakarta: Ombak, 2005),150-151.

  • 49

    Semarang disebut sebagai Kota Batavia kedua. Pertumbuhan wilayahnya lebih

    spesifik, yang diikuti perkembangan wilayah di luar Semarang.4

    Menelusuri jejak penyebaran Islam di Kota Semarang, di mana sisa-sisa

    kejayaan Islam masa itu hingga kini masih tersisa dengan bukti bangunan berupa

    masjid-masjid kuno. Di beberapa sudut Kota Atlas ini terdapat masjid kuno yang

    dibangun ratusan tahun silam. Salah satunya Masjid Menara yang terdapat di Jalan

    Layur, Kampung Melayu Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara. Masjid ini bisa

    dikatakan sebagai masjid tertua. Dalam prasasti yang pernah ditemukan pada masa

    lampau, masjid itu dibangun pada tahun 1802 masehi. Salah satu Imam Masjid

    Menara Al Mahsun Mengatakan, masjid ini dibangun oleh sejum saudagar dari

    Yaman yang bermukim di ibu kota Jawa Tengah. Para saudagar itu singgah di

    Semarang seiring dengan perdagangan antar negara melalui perairan.

    Diceritakannya, pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1743

    Masehi, kawasan ini merupakan tempat bermukim penduduk etnis Melayu. Lambat

    laun, saudagar-saudagar pedagang dari Melayu itu membentuk sebuah

    perkampungan sehingga membutuhkan tempat ibadah.

    “Iya betul. Masjid ini dibangun oleh para pedagang keturunan Arab. Menurut cerita sih para saudagar itu kebanyakan dari Yaman yang bongkar muat dagangan di kali Berok. Lama kelamaan mereka tak sekedar dagang, tapi bermukim hingga membentuk perkampungan (Rabu, 2/4).

    4 Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.),

    Kota Lama, Kota Baru,,,,

  • 50

    Perkembangan agama Islam di Semarang pada awalnya dapat dipetakan

    melalui syiar islam yang dibawa oleh Made Pandan atau Maulana Abdussalam

    (nama lain dari pendiri kota Semarang Ki Ageng Pandanaran) pada pertengahan

    abake-15, atas perintah dari Sultan Demak, Raden Patah. Menurut Amen Budiman,

    Ki Ageng Pandanaran memulai mengajarkan agama Islam di Pulau Tirang yang

    merupakan pusat pertengahan kota yang masih dihuni oleh penghuni pemeluk

    agama Hindu. Wilayah inilah mula-mula pusat perkembangan agama Islam di kota

    Semarang. Perkembangan ini hingga berbuah pada pendirian Masjid dan

    Pesantren-Pesantren sebagai pusat pembelajaran agama Islam. Masjid Sekayu yang

    dibangun 1666 pada masa pemerintahan Bupati Semarang ke-14 menjadi salah

    satu pusat pembelajaran agama Islam awal di Semarang. Kemudian beralih ke

    wilayah Terboyo, Kaligawe.5

    Identitas dan karakteristik masyarakat urban di kota Semarang adalah

    salah satu ekspresi keberagamaan dalam multikulturalisme di Indonesia. Di

    samping itu masyarakatnya yang mayoritas pedagang, kota Semarang secara

    geografis juga merupakan salah satu kota dengan nuansa kampung santri dari

    sekian banyak kota di Indonesia. Meminjam apa yang disampaikan Djawahir

    Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang bahwa Semarang sebagai kota

    yang disiapkan Belanda sebagai kota perdagangan, masyarakatnya selain

    5Djawahir Muhammad, Semarangan Lintas Sejarah dan Budaya (Semarang: Pustaka

    SEMAWIS, 2016), 230-231.

  • 51

    kosmopolit juga punya spirit sebagai pedagang. Pasalnya pedagang memiliki prinsi

    bahwa lebih baik jadi juragan kecil daripada jadi kacung besar. Hal ini yang

    kemudian berpengaruh terhadap pola keberislamannya.6 Diceritakan Djawahir

    Muhammad dalam wawancara di kediamannya, dalam perkembangannya pasca

    reformasi apa yang menjadi tradisi dan simbol-simbol Islam di Kota Semarang

    mengalami perubahan cukup signifikan. Bahkan di aras nilai-nilai atau filosofi dari

    simbol-simbol keislaman itu pula kini mulai hilang.

    “Perubahan simbol-simbol Islam memang secara sistematis tidak tampak, tetapi kalau kita perhatikan dari acara-acara semarangan seperti prosesi pernikahan misalnya. Nilai-nilai filosofi dari simbol-simbol keislaman itu mulai hilang.” Salah satu syarat bagi masyarakat yang ingin berkembang adalah kesediaan

    mereka untuk menerima spirit keberagaman (pluralisme), kesetaraan

    (multikulturalisme) dan keterpaduan (akulturasi, hybridasi), yang hanya dapat

    dimungkinkan apabila anggota komunitas itu bersedia melakukan proses menerima

    kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam konteks pengembangan tradisi

    dan budaya Semarangan, pertemuan sumber-sumber tradisi, budaya dan kearifan

    lokal di atas merupakan suatu kondisi yang niscaya terelakan. Dari sini ada

    kekhawatiran kehilangan identitas dan personal integritasnya. Kekhawatiran ini

    dapat diamati dari peningkatan apresiasi masyarakat terhadap elemen-elemen

    6Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, pada tanggal 27 Maret

    2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

  • 52

    visual budaya hybrid (pluralisme, multikulturalisme) masyarakat di kota ini.

    Misalnya pemilihan selera makanan, itu sama sekali tidak menunjukkan

    keberpihakan terhdap unsur kearifan lokal. Tidak ada yang salah dengan akulturasi,

    pluralisme, multikulturalisme dan hybrid culture. Tradisi lokal semarang

    mengintegrasikan keragaman nudaya dan toleransi pada sesama etnis.

    Perkembangan kota memberikan berbagai pengaruh bagi masyarakat

    secara luas, baik pengaruh positif maupun negatif. Pembangunan kota - kota besar

    seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan kota besar lainnya di Indonesia cenderung

    pada perencanaan dan pengembangan pembangunan kawasan-kawasan perumahan

    eksklusif, gedung-gedung perkantoran, pusat pembelanjaan dan sarana-sarana

    rekreasi modern. Pengaruh dari perencanaan dan pengembangan kota yang

    demikian jelas akan menguntungkan masyarakat berduit, dan akan meminggirkan

    masyarakat biasa. Hal ini telah dilakukan besar-besaran pada rezim orde baru, yang

    hanya mengejar laju perekonomian tinggi tapi tidak kemakmuran masyarakat.7

    Seiring berkembangnya Kota Semarang sistem perdagangan mengalami

    perkembangan signifikan. Masyarakat memilih untuk beraktivitas di pusat kota

    sebagai sentral bisnis. Meski pembangunan pemukiman kini semakin ke pinggir,

    namun masyarakat memilih tetap pergi ke kota sebagai wahana aktivitas ekonomi.

    Menilik dari sejarahnya, di masa pemerintahan Kotapraja Semarang berkembang

    7 Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.),

    Kota Lama, Kota Baru,,, 148.

  • 53

    industri pabrik, sementra industri pribumi yang berskala kecil masih beroperasi.

    Pada tahun 1909 masih tercatat berbagai industri pribumi: batik (Kampung Batik),

    pewarna biru, pembuatan alat-alat gerabah (Kampung Pekunden), penyamakan kuli

    (Kampung Kulitan), pakaian, kereta, dan pembuatan gong. Industri-industri pabrik

    menggunakan mesin uap, gas, dan listrik, perkembangannya pesat.8

    B. Deskripsi sosio-kultural masyarakat Muslim urban di Kota Semarang Pasca

    Reformasi

    Dinamika keagamaan masyarakat Muslim urban mengalami perubahan

    signifikan. Pegaruh teknologi yang terjejaring di dunia menjadi ladang ekspresi

    keagamaan dengan sangat terbuka. Dukungan televisi, media sosial memudahkan

    perkembangan ekspresi keagamaan. Dakwah-dakwah serta majlis dzikir salah satu

    aktivitas spiritualitas masyarakat Muslim urban. Ungkapan-ungkapan sufisme baru

    di indonesia, misalnya yang mengandung tren global dalam pemikiran keagamaan

    dan kultur sekuler telah menjadi menarik bagi Muslim kelas menengah dan kelas

    atas sejak akhir abad yang lalu. Bentuk-bentuk sufisme ini telah dipromosikan

    melalui jalur-jalur komunikasi baru, terutama institusi-institusi pendidikan Islam

    bergaya universitas dan siaran-siaran di televisi islami.9

    8Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.),

    Kota Lama, Kota Baru,158. 9 Greg Fealy dan Sally White, Ustadz Seleb; Bisnis Moral dan Fatwa Online (Jakarta:

    Komunitas Bambu, 2012), 54.

  • 54

    Relasi sosial keagamaan pasca reformasi berkembang sangat signifikan.

    Tersedianya ruang terbuka yang dikonstitusionalkan tentu berkontribusi dalam

    mengekspresikan ritus-ritus keagamaan yang terbuka. Hal demikian berpengaruh

    pula pada pola dan karakteristik masyarakatnya. Terkhusus di wilayah masyarakat

    urban, situasi zaman di era pasca reformasi ini menjadikannya lebih terbuka.

    Sehingga, berbicara tentang karakteristik masyarakat urban konteks masyarakat

    kota Semarang yang bukan hanya terdiri dari suku Jawa dan berbagai etnis lain

    menarik dan unik diteliti sebagai karya akademik. Mengingat bahwa pergumulan

    budaya dengan beragam bangsa dan sub-sub etnis di Nusantara selama puluhan

    abad itu, terbentuklah budaya lokal10 Semarangan. Tetap mempertahankan nilai-

    nilai lokalnya11, ekspresi budaya yang bernuansa religious Islam, dan budaya hybrid

    yang memadukan beragam elemen budaya, etnis dan agama.12 Masyarakat Muslim

    urban di kota Semarang juga terdapat beberapa wilayah dengan tradisi

    keagamaannya sangat tradisional, misalnya di kawasan Kauman kota lama,

    10Budaya lokal yang dimaksudkan disini adalah perilaku sehari-hari masyarakat Semarang

    yang berbasis pada nilai-nilai tradisi yakni ekspresi budaya yang berorientasi pada spirit Jawa pesisiran.

    11 Bagaimana penghayatan spiritualitas orang Jawa yang kental dengan ritus-ritus lokalitas. Di mana kesadaran manusia dalam pencapaiannya akan kehadiran realitas ketuhanan dan dapat ditempuh melalui pengalaman titah dari pusat hati, lewat suara tanpa rupa sebagai upaya menemukan kesucian sejati. Lihat juga bukunya Setyo Hajar Dewantoro, Suwung Ajaran Rahasia Leluhur Jawa (Banten: Javanica, 2017), 10.

    12Muhammad, Semarangan Lintas,, 104.

  • 55

    Gunungpati, Tembalang. Mereka masih melakukan kegiatan amalan keagamaan

    tradisional13, dari cara beribadahnya teridentifikasi warga Nahdlatul Ulama.14

    Spirit Jawa pesisiran15 merupakan bagian dari budaya lokal sebagai

    identitas masyarakat kota Semarang. Di mana, masyarakat Jawa pesisiran itu

    disebabkan karena sejumlah sebab, antara lain secara geografis Semarang memang

    berada dalam enclave budaya pesisir yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk

    Islam. Namun selama ratusan tahun Semarang juga berada dibawah penjajah,

    hingga jika dilihat dari bentuk ekspresinya, kearifan lokal masyarakat Semarang

    dapat dikategorisasikan sebagai orang pesisir yakni berkebudayaan secara Jawa dan

    Islam, bertabiat merdeka dengan kata lain mandiri, dan berorientasi pada gaya

    hidup yang kosmopolit (berciri kota, dinamis), bukan bergaya hidup “ndeso” yang

    statis atau berorientasi pada kemapanan.16

    13Semarang memiliki upacara rutin sebagai tradisi masyarakat Semarang, yakni Tradisi

    Dugderan, salah satu tradisi yang selalu ditunggu-tunggu oleh warga Kota Semarang dalam setiap tahunnya. Tradisi ini berawal dari adanya suara duk-duk-duk beduk Masjid Agung Kauman yang kini diistilahkan Masjid Agung Semarang, dan der-der-der suara petasan yang dinyalakan di Kanjengan. Suara tersebut merupakan tanda bahwa esok hari adalah pertama bulan Ramadhan. Dalam perkembangannya, terciptalah tradisi Dugderan dan diakhiri dengan karnaval. Pada awalnya karnaval tersebut diikuti oleh masyarakat Kauman. Seiring perkembangannya kini selain masyarakat Kauman, karnaval ini telah pula diikuti oleh warga Semarang khususnya yang beragama Islam. Lihat juga karyanya Wijanarka, Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 16.

    14Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, pada tanggal 27 Maret 2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

    15Spirit Jawa pesisiran ditafsirkan sebagai penghargaan terhadap kebebasan individu yang bersifat religious, berwatak kosmopolit, bersikap mandiri dan berjiwa egaliter (tidak membedakan manusia berdasarkan derajat, namun meletakkan manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat yang sama atau bersifat equal).

    16 Muhammad, Semarangan Lintas,,

  • 56

    Kota Semarang merupakan kota metropolitan yang didalamnya memiliki

    beragam etnik, kiranya hal ini dapat mempengaruhi bagaimana karakteristik

    keberagamaan masyarakat urban di Semarang. Kecenderungan Pluralisme itu

    bahkan telah berkembang sejak kota ini didirikan oleh Ki Ageng Pandanarang 469

    tahun silam. Pluralisme budaya dan heteroginitas masyarakat Semarang telah

    mendorong tumbuhnya persemaian dua budaya atau lebih dari etnis yang berbeda,

    yang melahirkan sebuah entitas budaya “baru”.17 Di samping itu masyarakatnya

    yang mayoritas pedagang, kota Semarang secara etnografis juga merupakan salah

    satu kota dengan nuansa kampung santri dari sekian banyak kota di Indonesia.

    Meminjam apa yang disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di

    Semarang bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota

    perdagangan, masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai

    pedagang. Pedagang itu punya karakter lebih baik jadi juragan kecil, daripada jadi

    kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pola

    keberislamannya.18

    Di Kota Semarang, terdapat Masjid tua yang berjasa besar dalam

    penyebaran Islam di Jawa. Masjid Jami’ Pekojan adalah salah satu di antara masjid-

    masjid tua yang mempunyai arti sejarah di Kota Semarang. Masjid ini secara

    administratif berada di Jalan Petolongan 1, Kampung Pekojan, Kelurahan

    17Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1978), 96. 18Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, 27 Maret 2017 dilakukan

    di kediamannya, di Semarang.

  • 57

    Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah. Tempat ini masih menjadi satu

    dengan perkampungan tua yang kini terkenal di Semarang yakni Pecinan. Untuk

    dapat mengakses masjid ini cukup mudah, dari Jalan Pekojan sudah tampak Jalan

    Petolongan. Selain itu, masjid ini sangat popular, hampir semua orang mengetahui

    keberadaannya. Meskipun di tengah-tengah hiruk pikuk perdagangan di kawasan

    Pecinan, masjid ini selalu ramai ketika tiba waktu shalat. Masjid ini berada di

    perkampungan padat penduduk, dikelilingi bangunan-bangunan besar dengan ciri

    khas bertembok tebal ala Eropa. Kebanyakan dari bangunan ini dipergunakan

    untuk berdagang, sehingga banyak karyawan yang shalat di masjid tersebut.

    “Alhamdulillah, keberadaan masjid ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Jamaahnya setiap hari selalu banyak, paling tidak ketika Duhur dan Ashar ada tiga hingga empat shaf di bangunan ini. Daerah sini kan banyak sekali pertokoan dan pergudangan. Karena itu, selain masyarakat setempat, jamaah masjid ini juga banyak karyawan atau pendatang. Biasanya usai shalat, jamaah berduduk-duduk santai sejenak untuk melepas lelah”.19 Masih tentang Masjid Pekojan, dalam prasasti yang tertulis di dinding

    terbuat dari marmer, masjid itu berdiri di atas tanah wakaf pemberian saudagar

    Gujarat, India, Khalifah Natar Sab. Setelah menetap di Semarang, kemudian

    membangun sebuah mushala kecil dengan dikelilingi makam. Sayangnya tak ada

    data otentik kapan awal mula mushala yang kemudian menjadi masjid itu dibangun.

    Tulisan dengan menggunakan Arab pegon gundul itu menyebutkan bahwa mushala

    dipugar oleh lima panitia utama masjid yaitu habib seperti H. Muhammad Ali, H.

    19Disampaikan Ketua Takmir Masjid, Ali Baharu (24/3).

  • 58

    Muhammad Asyari Akwan, H. Muhammad Yaqub, Alhadi Ahmad, H. Muhammad

    Nur dan H. Yaqub. Masjid ini dipugar sekitar tahun 1309 Hijriah atau 1878 Masehi.

    Masjid ini telah mengalami banyak renovasi, dimana renovasi besar-

    besaran dilakukan pada tahun 1975-1980. Bangunan asli masjid ini hanya seluas

    sekitar 16 meter persegi menggunakan kayu. Kala itu, mushala kecil hanya

    digunakan oleh kebanyakan pedagang dari Gujarat yang melakukan bongkar muat

    perdagangan di Kali Berok Kota Semarang. Sebelum menjadi perkampungan padat

    penduduk, daerah Pekojan merupakan area labuhan barang dagangan dari berbagai

    negara. Hal ini terbuktu dengan terbentuknya kampung-kampung yang berlatar

    belakang nama wilayah atau suku sebuah negara. Perkampungan itu bisa dijumpai

    di Semarang Utara dan Tengah tak jauh dari Kali Semarang. Dalam

    perkembangannya, wagra sekitar banyak yang mewakafkan tanah untuk bangunan

    Masjid Pekojan hingga sekarang berdiri di lahan seluas 3.515 meter persegi.

    Serambi masjid terlihat megah, namun bangunan inti dengan empat pilar yang

    berusia ratusan tahun itu masih dipertahankan.

    “Bangunan sekitar 16 meter persegi sebagai bangunan inti masjid masih utuh. Bangunan inti itu berada di tengah empat tiang dengan ciri ubin yang masih asli. Meskipun sama-sama ubin tua, namun bangunan inti berbeda, coba saja dilihat di bawah karpet, pasti corak ubinnya berbeda”.20

    Pada bagian dalam, pada dinding depan dan ruang imam, plafon dari kayu

    jati masih utuh. Mimbar masid dari kayu jati bercat hijau, yang biasanya digunakan

    20 Disampaikan salah satu pengurus masjid, Yunan Fahlevi (24/3).

  • 59

    ceramah atau hutbah juga masih tertata rapih. Pda bagian atas ruang imam ada

    ukiran bulan sabit bertuliskan syahadat dan bintang. Ciri khas bangunan kuno

    bagian tembok tebal, daun pintu tinggi berukir kipas. Ada jendela kecil dihiasi kaca

    patri dan teralis berbentuk bungan. Saat ini masjid dibangun dua lantai dengan

    dilengkapi aula di bagian depan.

    1. Tradisi Dugderan dalam Relasi Sosial Masyarakat Semarang

    Relasi sosial masyarakat urban di kota Semarang dapat dibangun

    dengan pendekatan tradisi dan kebudayaan lokal yang telah berkembang

    sejak berabad-abad. Perayaan tradisi Dugderan sebagaimana disinggung di

    awal, bahwa tradisi ini merupakan ritual tahunan yang diselenggarakan

    oleh masyarakat Kota Semarang. Tradisi ini berkembang sejak tahun 1881

    M di Masjid Besar Kauman Semarang. Dalam tradisi ini terdiri dari tiga

    agenda utama, yakni pasar malam (Dugder), prosesi ritual pengumuman

    awal puasa (Ramadhan)21 dan kirab budaya Warak Ngendok. Tiga agenda

    tersebut kini menjadi satu kesatuan dalam tradisi Dugderan yang kini masih

    dilestarikan dan dirayakan dengan segala dinamika dan perkembangannya.

    Melihat sejarah awal kemunculannya, Warak Ngendok bukanlah

    dimaksudkan sebagai simbol akulturasi budaya Cina, Jawa, dan Arab. Ia

    21Pengumuman awal bulan Ramadhan bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh

    masyarakat Semarang mengenai penetapan awal puasa. Selain itu segala saana untuk berkumpulnya masarakat Semarang yang multietnis dalam suasana menyenangkan. Bahkan suasana semakin membaur dengan hadirnya simbol bintang khayalan yang dinamakan Warak Ngendok.

  • 60

    hanyalah sebuah binatang rekaan hasil rekayasa ulama pada masa itu yang

    ditujukan sebagai sarana penanaman nilai-nilai ke-islaman kepada

    masyarakat untuk memacu semangat dalam menyambut datangannya

    bulan suci Ramadhan.22 Semangat seperti ini yang digambarkan oleh

    Clifford Geertz melahirkan sebuah kebudayaan sebagai pedoman dan

    strategi adaptasi dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup

    dengan menyesuaikan dan memanfaatkan sumber daya yang ada di

    lingkungan sekitar.23

    Penduduk masyarakat yang ada di Kota Semarang24 termasuk

    masyarakat yang religius. Di mana setiap individu memeluk dan

    menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak lepas

    dari sejarah kota Semarang yang merupakan salah satu kota obyek

    persinggahan dan penyebaran agama, terutama agama Islam yang

    mayoritas penduduk kota Semarang beragama Islam.25

    22 Lihat Zainal Mawahib, “Kebudayaan Masyarakat Semarang: Warak Ngendok sebagai

    Simbol Akulturasi dan Tradisi Dugderan Menjelang Ramadhan” (Makalah, Semarang: UIN Walisongo, 2014), 6-7.

    23 T.R. Rosidi, Kesenian Suatu Pendekatan Kebudayaan (Bandung: Penerbit STISI, 2000), 3. 24 Kota Semarang merupakan salah satu kota yang ada di pesisir utara di Jawa Tengah.

    Secara geografis, Kota Semarang berada di garis 6o 50’-7o 10’ Lintang Selatan dan garis 109o 35’ – 110o 50’ Bujur. Sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah timur dibatasi oleh Kabupaten Demak, sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Semarang dan sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Kendal. Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan dengan luas wilayah 373,70 Km-2. Selengkapnya lihat, Pemerintah Kota Semarang, Semarang dalam Angka 2012, Semarang: Pemerintah Kota Semarang bekerjsama dengan Bappeda Kota Semarang dan Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2013, 2.

    25Pemerintah Kota Semarang, Semarang dalam Angka 2012,,,

  • 61

    Dalam catatan sejarah, Kota Semarang ini didirikan oleh seorang

    pemuda bernama Ki Pandan Arang pada tahun 1476 M. Ki Pandan Arang

    inilah dalam msyarakat Semarang disebut sebagai pendiri Kota Semarang

    dan sekaligus menjadi bupati26 Semarang yang pertama.27 Ki Pandan Arang

    diberikan izin dari Kesultanan Demak untuk membuka wilayah yang berada

    di sebelah barat Demak, yang belakang hari disebut Semarang.28 Sehingga

    inilah yang menjadikan mayoritas masyarakat Kota Semarang beragama

    Islam. Selain agama Islam, penduduk kota Semarang juga mengakut agama

    lain seperti Katholik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu dan lain-lain.

    Dalam kehidupan beragama, masyarakat Semarang juga memiliki

    ritual-ritual simbol keagamaan yang dilaksanakan sebagai tradisi

    masyarakat. Selain ritual ibadah yang telah diwajibkan agama masing-

    masing, ritual tersebut telah mentradisi dan dilakukan kolektif oleh

    masyarakat secara turun-temurun dengan tata cara tertentu. Dalam proses

    tersebut terjadi akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut dengan

    budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi multikultural

    26 Mulai tahun 1945, pemerintahan dipimpin oleh Walikota, lihat Triyanto dkk, Warak

    Ngendhog: Simvol Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa, Jurnal Komunitas, Edisi 5, Vol. 2, 2013, 164.

    27 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1978, 36. 28 Selengkapnya baca Ibid.,47. Mengenai asal-usul nama “Semarang” berasal dari kata

    “Asam Arang”. Karena di daerah Semarang dulu banyak tumbuh pohon Asam yang sangat berguna untuk masyarakat dan daunnya yang tumbuh bergerombol dan arang-arang (bahasa Jawa untuk Jarang) hingga disebut dengan Semarang. Lihat juga Jongkie Tio, Kota Semarang dalam Kenangan (Semarang: Lembaga Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, 2007), 8-9.

  • 62

    (hibryd culture). Terlebih dalam sejarahnya Semarang menjadi kota banyak

    disinggahi dari berbagai etnis pendatang dari berbagai negara.

    Keberagaman etnis ini tergambar dengan adanya pemukiman

    seperti wilayah Pacinan dan Pedamaran. Wilayah ini sekarang berada di

    sekita jalan Gang Pinggir sampai jalan Mataram. Pemukiman ini didirikan

    oleh pendatang dari daratan Cina pada masa Laksamana Chen Ho.

    Kemudian ada pemukiman orang-orang muslim melayu yang mendirikan

    pemukiman di kawasan Kampung Darat dan Kampung Melayu. Demikian

    juga orang muslim Arab, India, Pakistan dan Persia yang datang mendirikan

    pemukiman di wilayah Pakojan. Kawasan ini di sekitar jalan Kauman, jalan

    Wahid Hasyim sampai jalan Petek di Semarang Bagian Utara.29

    Keberagaman penduduk tersebut juga membuat keberagaman

    kebudayaan. Setiap warga Semarang mempunyai kebudayaannya sendiri-

    sendiri berdasarkan negara asalnya. Namun seiring berjalannya zaman

    terjadi sebuah pembauran secara kultur. Seolah tidak ada batas antara

    kelompok masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sehingga jadi

    sebuah masyarakat yang multikultul dan multietnis.

    Keberadaan Semarang yang termasuk dalam wilayah budaya Jawa

    pesisiran menjadikan tempat pergumulan budaya lokal dengan berbagai

    29Supramono, Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang

    (Tesis, Universitas Negeri Semarang, 2007), 50.

  • 63

    ragam etnis berhasil menghasilkan mozaik budaya lokal yang plural.

    Tampak pada aktivitas kultur upacara atau tradisi yang berkembang.

    Karakter masyarakat pesisir yang bersemangat kerakyatan, terbuka, apa

    adanya dan religius diimplementasikan dalam bentuk tradisi, seminal

    sedekah laut di kampung nelayan Tambak Lorok dan Bandarjo.30

    Dalam hal tradisi keagamaan yang masih diselenggarakan oleh

    pendudukan muslim Semarang misalnya tradisi selamatan atas syukuran,

    Yasinan, Tahlilan, Khataman, Manaqiban, Berzanzii, Takbiran dan

    Dugderan. Selain tradisi keagamaan umat Islam, di Kota Semarang juga

    memiliki tradisi ritual yang dikembangkan oleh warga umat yang lain.

    terutama dari etnik Tionghoa. Semenjak berakhirnya orde baru, tradisi-

    tradisi budaya maupun ritual warga Tionghua kembali semarak hingga

    sekarang ini. Tradisi tersebut seperti arak-arakan Dewa Bumi, perayaan

    Imlek, arak-arakan Sam Po Kong dan larung sesaji untuk Dewa Samudra.31

    Setiap menjelang datangnya bulan Suci Ramadlan, masyarakat

    Kota Semarang mengenal tradisi Dugderan. Sebuah pasar malam yang

    berlangsung meriah dan seru dilakukan hingga sekarang ini dengan

    berbagai macam perkembangannya. Tradisi ini sudah mulai berlangsung

    30 Triyanto dkk, Warak Ngendhog: Simvol Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa, Jurnal

    Komunitas, Edisi 5, Vol. 2, 2013, 61. 31 Triyanto dkk, Warak Ngendhog,,

  • 64

    sejak zaman pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT)

    Purbaningrat.

    Pada tahun 1881 M, di Kota Semarang pada masa Bupati KRMT

    Purbaningrat, berkembanglah serbuah tradisi berupa arak-arakan

    menyambut datangnya bulan Ramadlan atau bulan Puasa. Masyarakat Kota

    Semarang menyebutkanya dengan istilah Dugderan. Setelah sesaat umat

    Islam melaksanakan shalat Ashar, tepat sehari menjelang bulan Ramadlan,

    dipukullah bedug Masjid Besar Kauman disusul dengan penyulutan meriam

    di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan. Begud mengeluarkan bunyi

    “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der” yang berkali-kali pada

    akhirnya digabungkan menjadi istilah Dugderan.32

    Mendengar suara Dug dan Der yang keras dari sekitar alun-alun

    pusat kota (sekarang Kota Lama, Kauman), masyarakat pun berbondong-

    bondong datang untuk menyaksikan apa yang terjadi. Masyarakat pun

    berkumpul di alun-alun di depan masjid, keluarlah Kanjeng Bupati dan

    Imam Masjid Besar memberikan sambutan dan pengumuman. Pada saat itu

    yang menjadi Imam Masjid Besar Kauman adalah Kyai Tafsir Anom.33 Bagi

    Tubagus P. Svarajati, seniman yang juga orang semarang asli menyatakan

    keunikan masyarakat muslim urban kota Semarang, terkhusus yang ada di

    32Selengkapnya baca juga Edy Muspriyanto dkk, Semarang Tempo Doeloe; Meretas Masa

    (Semarang: Terang Publishing, 2006), 111-112. 33Triyanto dkk, Warak Ngendhog,,, 165.

  • 65

    wilayah Kauman Kota Lama. Bahwa ritual yang dikemas dengan sederhana

    menjelang bulan suci Ramadhan melalui perayaan Dugderan, merupakan

    representasi nilai-nilai keislamannya cukup kental. Makna, nilai-nilai ritual

    simbol Dugderan, sebagai representasi keberagamaan Muslim urban

    Semarang ini yang perlu dirawat dan diketahui oleh masyarakat Muslim

    pada umumnya.34

    Selain itu, tujuan dari diciptakannya tradisi Dugderan tersebut

    untuk mengumpulkan lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untu

    bersatu, berbaur dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat

    dipastikan pula awal bulan Ramadlan secara tegas dan serentak untuk

    semua paham agama Islam berdasarkan kesepakatan Bupati dengan imam

    Masjid. Sehingga terlihat semangat pemersatu dangat terasa dalam tradisi

    yang diciptakan tersebut.35

    Proses ritual diawali dengan persiapan peserta arak-arakan

    Dugderan dan pentas Warak Ngendok serta tari Semarangan di Balaikota.

    Rombongan yang dipimpin oleh Walikota Semarang yang memerankan

    Bupati Semarang mulai berangkat dari Balaikota menuju Masjid Besar

    Kauman sekitar pukul 14.00 WIB dengan rute melewati jalan Pemuda.

    Rombongan Bupati Semarang dikawal oleh prajurti patang puluh dan arak-

    34 Interview Tubagus P. Svarajati, Senin, 30 April 2018. 35Supramono, Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang

    (Tesis, Universitas Negeri Semarang, 2007), 65-66.

  • 66

    arakan Warak Ngendok. Sementara itu di serambi Masjid Besar Kauman

    telah berkumpul puluhan ulama dan habaib termuka di Semarang. Para

    ulama dan habaib membahas tentang awal bulan puasa dari berbagai dasar

    ilmu perhitungan. Musyawarah dipimpin oleh ulama tertua Masjid Besar

    Kauman. Setelah diambil keputusan bahwa puasa dimulai pada besok hari,

    maka dibuatlah surat keputusan ualama pada selembar kertas.36

    Tidak lama kemudian, rombongan Bupati dan hadir pul Gubernur

    Jawa Tengah yang memerankan pemimpin Kesultanan Mataram atasan dari

    Bupati Semarang. Para ulama menyambut kedatangan para umara dengan

    suka cita di pelataran masjid. Setelah itu diteruskan dengan ramah tamah

    dan penyampaikan keputusan ulama tentang awal bulan puasa di serambi

    masjid. Dalam hal ini Bupati mengikuti keputusan para ulama dan sebagai

    pengukuhan atas keputusan ulama, Bupati berdiri dan membacakan teks

    surat keputusan ulama dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadlan. Setelah

    Bupati selesai membakan surat keputusan, Bupati memukul Bedug Masjid

    Besar Kauman disaksikan segenap undangan. Bunyi meriam berdentuman

    dari kawasan Kanjengan seusai tabuhan bunyi gedug. Suasana semakin

    36Supramono, Makna Warak Ngendog.,, 82.

  • 67

    meriah dengan datangnya arak-arakan Warak Ngendog dan rombongan

    lainnya.37

    Perkembangan selanjutnya tradisi ini tidak lagi menggunakan

    meriam sebagai penggantinya digunakankanlah bom udara dan sekarang

    sirene untuk menandai dimulainya tradisi Dugderan. Saat ini, tradisi ini

    sudah berkembang lebih semarak ditandai dengan datangnya para

    pedagang “tiban” yang menjajakan aneka permainan anak, makanan dan

    banyak lagi yang lain. Kondisi demikian memberikan warna baru terhadap

    trasidi Dugderan.38

    Peninggalan sejarah yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa

    manusia, salah satunya adalah bangunan-bangunan yang memiliki nilai

    penting (sejarah, budaya maupun ilmu pengetahuan), baik yang berdiri

    sendiri maupun yang berada dalam satu kawasan seperti kawasan seperti

    kawasan kota lama yang terdapat di beberapa kota di Indonesia termasuk

    Semarang didalamnya, dimana banyak terdapat bangunan-bangunan tua

    peninggalan kolonial yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Terbentuknya

    suatu kota dalam banyak sisi dapat dilihat sebagai suatu produk dari

    perkembangan kebudayaan. Didalamnya terdapat perwujudan ideologi,

    sosial serta perkembangan teknologi yang membantu mengkontruksi suatu

    37 Supramono, Makna Warak Ngendog, 83-87. 38 Edy Muspriyanto dkk, Semarang Tempo Doeloe; Meretas Masa (Semarang: Terang

    Publishing, 2006), 113.

  • 68

    daerah menjadi kota yang kita kenal dewasa ini. Dengan demikian,

    terbentuknya kota sedikit banyak berdasarkan atas pengetahuan, norma,

    kepercayaan dan nilai-nilai budaya dari masyarakat dimasa lalu.39

    2. Warak Ngendok sebagai Simbol dalam Tradisi Dugderan

    Menurut penuturan sejarawan Semarang, Amin Budiman dan

    Djawahir Muhammad, tidak pernah bisa menyebutkan siapa pembuat Warak

    Ngendok karena tidak pernah ada dalam catatan sejarah.40 Akan tetapi

    seperti halnya dengan sejarah Dugderan, Warak Ngendok diyakini juga

    sebagai kreasi dari Kyai Saleh Darat dan Bupati KRMT Purbaningrat, bisa

    sebagai kreasi perorangan di antara mereka atau kolaborasi keduanya.

    Menurut Supramono, bahwa ide Warak Ngendok berkaitan dengan tradisi

    Dugderan menyambut bulan Ramadlan tidak lain untuk memeriahkan acara

    sesuai ritual musyawarah dan pembacaan pengumuman awal puasa perlu

    dipukul bedug dan disulut meriam sebagai simbol pemersatu antara ulama

    dengan pemerintahan.

    Pada tahun 1881 an, Warak Ngendok terbuat dari bahan-bahan

    yang sangat sederhana seperti kayu, bambu dan sabut kelapa. Namun pada

    sekarang ini, bahan-bahan yang digunakan adalah kayu, kertas minyak

    39 Mundardjito, “Research Method For Historical Urban Heritage Area”, Makalah

    dipresentasikan pada Three Days Partical Course On Planning And Design Method For Urban Heritage, USAKI-T.U. Darmstadt, Jakarta, 10-12 April 2002, 1.

    40 Hamzah Sahal, “Ihwal Warak Ngendok dan Dugderan”, Senin, 01 Agustus 2011, NU Online. Diakses 30 Maret 2018.

  • 69

    ditambah berbagai ornamen dari kertas karton, gabus dan sebagainya. Dalam

    perkembangannya ditemukan tiga kelompok Warak Ngendok berdasarkan

    bentuknya,41 yaitu:

    a. Menilik bentuk Warak Ngendok Klasik, Warak Ngendok yang

    masi menampilkan unsur dan struktur asli serta diciptakan turun-temurun

    dalam wujud yang sama. Di mana kepalanya terdiri dari bagian mulut bergigi

    tajam, mata melotot, telinga tegak atau tanduk, jenggot yang panjang lebat.

    Begitu pun dengan badan, leher dan keempat kakinya ditutup bulu yang

    terbalik dengan warna berselang-seling merah, kuning, putih, hijau dan biru.

    Warak Ngendok Klasik juga terdapat ekor panjang, kaku melengkung berbulu

    serupa badan dan terdapat surai di ujungnya. Bentuk telur atau endhok

    terletak di antara dua kakai belakangnya.

    b. Warak Ngendok yang bentuknya sudah dimodifikasi, secara

    umum sama dengan Warak Ngendok Klasik. Perbedaannya hanya dibagian

    kepala yang mirip dengan kepala naga. Ada kesamaan bentuk naga Cina atau

    naga Jawa. Mocong yang mirip buaya dengan deretan gigi tajam, lidah

    bercabang menjulur, mata melotot, berkumis dan berjanggut, bertanduk

    kecil bercabang seperti rusa, kulit bersisik, bersurai di bagian belakang

    kepala. Naga Jawa biasanya memakai mahkota di atas kepalanya.

    41 Hamzah Sahal, Ihwal Warak Ngendok,,,.. 93-95.

  • 70

    c. Sedangkan bentuk Warak Ngendok Kontemporer, secara

    struktur sama dengan Warak Ngendok Klasik, namun detail-detail kepala dan

    bulu tidak sesuai. Misalnya kepalanya seperti harimau, bulunya tidak terbalik,

    tidak berbulu tapi bersisik dan sebagainya.

    Ada ragam pendapat mengenai binatang Warak ini. Ada yang

    berpendapat bahwa binatang Warak ini merupakan perwujudan dari

    binatang sakti dalam kebudayaan Islam. Ada pula yang mengatakan, karena

    kota Semarang merupakan kota pelabuhan maka, tidak mustahil terjadi

    pembauran kebudayaan berbagai bangsa pendatang, di mana Warak ini

    menyerupai binatang dalam mitos kebudayaan Cina.42

    Perbedaan pandangan tentang binatang yang disebut Warak ini

    diakui oleh Supramono dalam penelitiannya. Supramono mengatakan bahwa

    ada anggapan bahwa Warak ini berasal dari perpaduan beberapa simbol

    budaya. Binatang itu berkepala Kilin sebagai binatang paling berkuasan dan

    berpengaruh di Cina dengan badan Buroq sebagai binatang Nabi

    Muhammad saat Isra’ Mi’raj. Ada juga yang berpendapat bahwa Warak

    berkepala naga, binatang simbol milik orang cina dengan badan kaming,

    binatang yang banyak dimiliki orang pribumi Jawa dan sering digunakan

    untuk berkorban saat Idul Adha.

    42 Jongkie Tio,, 37. Lihat juga Jongkie Tio, Semarang City, a Glance into the Past (Semarang:

    Lembaga Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, 2007), 143.

  • 71

    Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan bahwa Warak

    merupakan hadiah dari warga Cina agar digunakan untuk memeriahkan

    tradisi ritual Dugderan sebagai bukti ketulusan mereka untuk bersatu dan

    berdamai guna menebus kesalahannya waktu membakar masjid besar saat

    pemberontakan warga Pecinan dulu. Namun pendapat tersebut sangat

    lemah dasarnya, karena hanya mengacu pada pembentukan kepala Kilin atau

    naga pada Warak Ngendok. Sementara dari unsur nama, bentuk keseluruhan

    dan makna karya lebih dominan pengaruh kebudayaan Jawa dan Islam.43

    Sebagaimana yang dikutip dalam buku Semarang Tempo Doeloe

    menyebutkan bahwa Legirah, seorang pembuat Warak Ngendok dari

    Kampung Purwodinatan Semarang, tidak mengetahui Warak itu binatang

    apa, dia hanya bisa membuat. Dia menuturkan bahwa dia juga berpikir terus

    kenapa binatang kakinya empat dan punya daun telinga tapi bisa memiliki

    telur.44

    Belum lama ini, ada warga Trimulyo Genuk, H Kholid yang

    mengaku mempunyai sanad kesaksian atas sejarah awal mula Warak

    Ngendok dan tradisi Dugderan. Dia mengau bahwa Warak Ngendok

    diciptakan oleh Kyai Abdul Hadi seoarang seniman, mantan tukang kau dan

    pandai mendalang dan membuat patung hewan yang sampai sekarang

    43 Supramono,,,88-89 44 Edy Muspriyanto,,, 114.

  • 72

    dikenal dengan Warak Ngendok. Menurutnya Kyai Abdul Hadi merangkai

    kayu dan rumput menjadi hewan sebagai simbol nafsu manusia, yaitu

    bersisik, mulutnya menganga dengan gigi bertaring, serta bermuka seram

    dengan badan seperti kambing. Itu gambaran nafsu yang harus dikalahkan

    dengan puasa. Maskot yang dilengkapi dengan telur (endhok) ini maksudnya

    apabila seseorang bisa bersikap wirai atau warak yang artinya menjaga

    nafsunya, maka akan mendapatkan ganjaran yang disimbolkan dengan telur

    atau endhok.45 Meskipun demikian, keragaman budaya multietnik sampai

    dalam keutuhan karya yang disebut dengan Warak Ngendok.

    Desiminasi sebuah tradisi melalui simbol-simbol lokalitas etnis

    salah satu upaya membangun solidaritas sosial keagamaan. Di Kota

    Semarang, hal tersebut tumbuh sdengan proses yang panjang sejak kota

    tersebut dibentuk. Salah satu simbol yang menguat ditengah masyarakat

    Semarang, yakni Warak Ngendok dalam festival tahunan, Dugderan. Menilik

    pada proses perkembangannya, bahwa binatang imajiner Warak Ngendok

    dan festival Dugderan yang dpercaya sebagai waliyullah menurut pengakuan

    seorang tokoh yang mengaku punya sanad kesaksian atas sejarah awal mula

    Warak Ngendok dan tradisi Dugderan. H Kholid (50), warga Trimulyo Genuk,

    mendapat cerita dari gurunya, almarhum KH Masrur. Masrur adalah mursyid

    45 Hamzah Sahal, Ihwal Warak Ngendok,,,

  • 73

    (pembimbing) tarekat asal Jawi, Demak. Ia murid dari Kiai Zaid Girikusumo,

    Mranggen, Demak. Lanjut Kholid, Kyai Zaid adalah ayah dari Kiai Zuhri. Zuhri

    adalah ayah dari ulama toriqoh terkenal di Jateng, KH Munif Muhammad

    Zuhri.

    “Guru Saya, Kiai Masrur mendapat cerita dari gurunya, Kiai Zaid. Kiai Zaid yang merupakan kakek dari Mbah Munif Girikusumo ini mendapat riwayat dari gurunya, Kiai Abdul Hadi. Mbah Hadi inilah sahabat sekaligus guru ngaji Adipati Surohadimenggolo alias Simbah Terboyo. Kita tahu, beliau adalah waliyullah yang makamnya ada di belakang masjid keramat Terboyo”.

    Inti dari kisah bersambung tersebut, jelas Kholid, Adipati

    Surohadimenggolo yang memerintah di masa VOC berkeluh kesah kepada

    gurunya, Mbah Hadi. Sang adipati ingin berbuat sesuatu untuk membimbing

    ibadah rakyatnya dalam berpuasa. Mbah Hadi menyarankan agar Bupati

    membuat pertemuan dengan rakyat dan membuat tengara masuknya bulan

    puasa. Usul Kiai Abdul Hadi diterima Adipati Hadimenggolo. Dia pun meminta

    tolong guru sekaligus sahabatnya itu untuk membuat maskot acara

    pertemuan besar yang digagasnya itu. Kiai Abdul Hadi yang seorang seniman,

    mantan tukang kayu dan pandai mendalang, membuat patung hewan yang

    sampai sekarang kita kenal sebagai Warak Ngendok.

    “Mbah Hadi merangkai kayu dan rumput menjadi hewan simbol nafsu manusia. Yaitu bersisik, mulutnya menganga dengan gigi bertaring, serta bermuka seram dengan badan seperti kambing. Itu gambaran nafsu yang harus dikalahkan dengan puasa. Maskot ciptaan Kiai Hadi itu dilengkapi telur. Sang guru ini menerangkan

  • 74

    kepada adipati muridnya, bahwa jika orang bisa bersikap wirai atu Warak yang artinya menjaga nafsunya, maka akan dapat ganjaran. Simbolnya telur alais endog. Puas dengan maskot tersebut, Adipati Hadimenggolo lantas mengumumkan kepada warga Semarang untuk berkumpul di alun-alun (depan Masjid Kauman sekarang). Dia lalu meminta takmir masjid Kauman membunyikan meriam tanda akan datangnya bulan Ramadhan. Sejak saat itu, masyarakat membuat Warak Ngendok sebagai simbol datangnya Ramadhan”. Bunyi meriam dug dan der itulah yang kemudian melahirkan istilah

    Dugderan. Yaitu nama festival menyambut bulan puasa. Sedangkan

    masyarakat desa, termasuk Demak, mengenal istilah megengan untuk

    menyebut masa itu. Megengan dalam bahasa Jawa berarti mengekang atau

    manahan. Maksudnya mengekang hawa nafsu istilah Arabnya Warak itu.

    “Sampai sekarang, orang desa menyebut festival jelang Ramadhan adalah megengan. Kalau orang kota lebih sering mendengar istilah dugderan. Sebab memang penanda datangnya puasa adalah bunyi meriam di masjid kauman. Dug dan Der”.

    Lantas, pertanyaan pun muncul mengapa selama ini Pemkot

    Semarang menyebut festival Dugderan dicanangkan oleh Adipati Aria

    Purbaningrat pada tahun 1881?. Berkaitan hal ini Kholid sebagai sejarawan

    Semarang, mengaku tidak tahu dasar Pemkot mengambil tokoh tersebut.

    Yang jelas, Kholid mendapat cerita seperti yang selama ini beredar di

    masyarakat.

  • 75

    “Saya mendapat cerita secara mutawatir dari jalur keilmuan. Guru saya hingga gurunya Adipati. Saya kira sejarah Semarang memang perlu diteliti kembali dan dicari titik temunya”.46

    3. Tradisi Nyadran; Transformasi religiusitas masyarakat Semarang

    Ritual Nyadran dengan menyembelih kambing dalam rangka

    memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini sudah sejak zaman

    nenek moyang masyarakat Kota Semarang. Tradisi ini dilakukan sebagai

    ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ritual Nyadran bagi

    masyarakat Kota Semarang, ini dilakukan dengan ziarah kubur merupakan

    dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam rius dan

    objeknya. Di mana Nyadram tersebut ditentukan waktunya oleh pihak yang

    memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.

    Tradisi Nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur,

    sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah

    pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga

    sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat

    yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung

    tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak heran jika

    pelaksanaan Nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Budha dan

    animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Walisongo.

    46 Hamzah Sahal, Ihwal Warak Ngendok,,,..

  • 76

    Secara sosio-kultural, implementasi ritus Nyadran tidak hanya sebatas

    membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri dalam istilah

    Jawa) sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran menjadi

    ajang silaturahmi keluarga sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya dan

    religiusitas masyarakat Kota Semarang.47

    Relasi sosial keagamaan melalui tradisi Nyadran ini menunjukkan

    bahwa tradisi masyarakat tradisional tetap terjaga. Warna keislaman

    masyarakat Kota Semarang memiliki kekhasan dengan basis islam tradisional

    yang masih kuat di wilayah pinggir.

    4. Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman

    Tradisi Gebyuran48 merupakan tradisi yang dilakukan seminggu

    menjelang bulan Ramadhan dan melibatkan seluruh warga di Kampung

    Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kota Semarang. Secara administratif

    kampung ini terdiri atas 2 (dua) RT dengan jumlah penduduk sekitar kurang

    lebih 330 warga. Kita bisa mengaksesnya tidak terlalu jauh dari pusat kota

    lama di era Hindia Belanda. Kampung ini juga bisa diakses dari jalan MT

    47 Lihat juga https://budayajawa.id/tradisi-nyadran-di-kota-semarang/, diakses 21 April

    2018. 48 Gebyuran dalam bahasa Jawa, Gebyur yang artinya menyiram dengan menggunakan

    wadah air. Berbagai alat digunakan, seperti ember, gayung, tong, selang air dan air yang diikat dalam kantong plastik lalu dilempar digunakan untuk membasahi warga.

    https://budayajawa.id/tradisi-nyadran-di-kota-semarang/

  • 77

    Haryono, jalan Petudungan, Pekojan Tengah maupun Bustaman Gedong.49

    Kampung Bustaman diambil dari nama seorang Kiai yang juga dikenal sebagai

    kampungya leluhur Raden Saleh, di mana wilayah ini merupakan warisan

    yang diberikan oleh Belanda kepada Kiai Kertoboso Bustam (leluhur Raden

    Saleh0 setelah keberhasilannya mendamaikan orang Tionghoa dengan

    Belanda pasca Geger Pecinan abad ke-18. Atas jasanya, Kiai Bustam

    kemudian diwarisi sebidang tanah yang pada waktu itu di dekat kota

    Semarang, sehingga kemudian dinamakan kampung Bustaman (Baharudin

    Marasutanfi Raden Saleh 1807 – 1880).50

    Tradisi Gebyuran merupakan ritual yang dapat menguatkan

    solidaritas sosial, masyarakat kampung Bustaman. Kampung kecil dan padat

    penduduk ini mampu merumuskan simbol-simbol ritual warisan leluhur

    sebagai tameng tradisi yang kuat sebagai masyarakat urban. Masyarakat

    urban membangun tradisi kolektif tidak melulu dihubungkan dengan

    pembagian kerja, namun masih banyak masyarakat urban yang memiliki

    perayaan kebudayaan mengikat sebagai solidaritas sosial. Meminjam

    argumentasinya Victor Turner, ia menyatakan bahwa salah satu fungsi ritual

    yakni menghadirkan kembali nilai-nilai yang sering dilupakan karena

    49Akhmad Khairudin “Srawung Kampung Kota” (KampungnesiaPress, 2017

    http://kampungnesia.org/berita-gebyuran-bustaman--tradisi-gengsi-dan-solidaritas.html#ixzz5GoYBGgL8 50 http://semarang-tempo-doeloe.blogspot.co.id/2015/02/kyai-bustam-dan-kelenteng-

    tan.html

    http://kampungnesia.org/berita-gebyuran-bustaman--tradisi-gengsi-dan-solidaritas.html#ixzz5GoYBGgL8http://semarang-tempo-doeloe.blogspot.co.id/2015/02/kyai-bustam-dan-kelenteng-tan.htmlhttp://semarang-tempo-doeloe.blogspot.co.id/2015/02/kyai-bustam-dan-kelenteng-tan.html

  • 78

    kesibukan keseharian. Fungsi ritual ini, selain menguatkan kembali

    masyarakat (Kampung Bustaman) juga sebagai pengingat hal-hal lain yang

    penting ketimbang kesibukan bekerja. Menurut Rudjanysah, ritual adalah

    indeks bagi sebuah struktur yang terbangun dari kelompok-kelompok itu.

    Menurut Victor bahkan lebih penting dari struktur karena merupakan

    ekspresi langsung dari struktur pengelompokan itu sendiri (Rudjansyah,

    2015). Lebih lanjut menambahkan bahwa, ritual tak hanya mengekspresikan

    tetapi juga menguatkan kembali penghormatan yang orang miliki terhadap

    obyek-obyek sakral. Dalam hal ini, kampung Bustaman, masyarakat telah

    mewujudkannya dalam bentuk ritual Gebyuran Bustaman.51 Menilik proses

    ritual yang berkembang sepanjang sejarah secara inten setiap tahunnya,

    penulis melihat setidaknya kampung Bustaman bagian dari representasi

    salah satu kampung di kota Semarang yang masih berkomitmen dalam

    menjaga tradisi leluhur yang sudah lama berkembang sejak abad 18. Tentu di

    sini memiliki keunikan tersendiri.

    Pola relasi keberagamaan dan ritual simbol-simbol kebudayaan di

    atas menjadi khas bagi kalangan masyarakat urban di Kota Semarang.

    Masyarakat yang notabenenya sangat individualis dan rasional, namun masih

    terdapat banyak wilayah perkampungan yang masih menjaga tradisi

    51 Akhmad Khairudin, Srawung Kampung Kota,,,

  • 79

    lokalitasnya. Barangkali ini terjadi tidak hanya di Kota Semarang, tetapi paling

    tidak Semarang salah satu dari kota-kota lain di Indonesia yang masih kental

    denga nuansa santri dan hibriditasnya.

    5. Aktivitas Perekonomian Tradisional

    Aktivitas ekonomi tradisional merupakan salah satu kontribusi

    penting atas perkembangan masyarakat urban di kota Semarang. Di mana

    perkembangan kampung Kauman, salah satu wilayah kota Semarang, tidak

    lepas dari pasar Johar yang menjadi sumber penghidupan sebagian

    masyarakat Kampung Kauman Semarang. Pasar Johar telah menjadi urat nadi

    kehidupan masyarakat Kampung Kauman sejak awal berdirinya, yang juga

    ditopang oleh peran etnis Tionghoa dalam perkembangan ekonomi

    masyarakat Kampung Kauman. Artinhya, relasi sosial masyarakat urban

    Semarang telah dibangun sejak lama. Di mana etnis Tionghoa menjadi salah

    satu etnis yang turut berperan dalam perkembangan ekonomi masyarakat

    Kampung Kauman Semarang.52

    C. Hibriditas dan Identitas Masyarakat Muslim Urban di Kota Semarang

    Secara geografis, masyarakat Muslim tradisional di Kota Semarang, tampak

    lebih dominan di wilayah pinggir yang berbatasan dengan Kabupaten Demak,

    52 Desimo Egasanti Martono, Sejarah Kampung Kauman Semarang: Menguak Sisi Sosial-

    Ekonomi Tahun 1992-2012, (Semarang: Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2014), 39.

  • 80

    Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang. Kebudayaan masyarakat muslim yang

    berada di pinggir itu merefleksikan sebuah pola keberagamaan yang berbeda

    dengan mereka yang berada di tengah. Warga kota semarang yang berada di pinggir

    lebih banyak memerankan pola-pola solidaritas mekanis. Ciri seperti ini, sangat

    melekat pada kategori masyarakat tradisional. Dalam pengertian ini masyarakat

    bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung

    solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama

    dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi

    perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri

    melainkan juga kebaikan ketika diri telah dihadapkan dengan kehidupan sosial.

    Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif

    timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah masuk dalam

    batin dan memaksi individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan

    karena proses pembatinan itu, untuk menyesuaikan diri.53

    Hasil penelitian Tedi Kholiludin dalam bukunya, Menjaga Tradisi di Garis

    Tepi, menggambarkan bahwa jika ditilik secara historis, kekuatan kelompok

    tradisional pada awal mula perkembangan Islam di Kota Semarang justru dari pusat

    atau tengah, yakni wilayah yang kini dikenal sebagai Kauman. Basis muslim

    tradisional setidaknya hingga tahun 1970an, ada di wilayah tersebut. Masjid Agung

    53Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi Di Garis Tepi; Identitas, Pertahanan dan Perlawanan

    Kultural Masyarakat Etno-Religius (Semarang: eLSA Press, 2018), 46-47.

  • 81

    Semarang atau yang lazim dikenal sebagai Masjid Kauman adalah sentrum aktivitas

    kelompok ini. Di mana sekelilingnya diwarnai dengan kegiatan perekonomian

    tumbuh subur dengan pasar tradisional sebagai penyangganya. Aktivitas

    perdagangan mereka di pasar tradisional pada gilirannya turut memberikan

    kontribusi pada perkembangan kehidupan umat Islam tradisional yang berproses di

    masjid.54

    Hal demikian lekat dengan pengaruh karakteristik dan pola hidup

    bermasyarakat masyarakat kota semarang secara umum. Kota sebagai pusat

    pertukaran barang dalam interaksi ekonomi bukan satu-satunya media interaksi

    sosial masyarakat urban di semarang, tetapi dengan tersedianya perkampungan di

    tengah kota juga pemukiman di wilayah pinggiran salah satu upaya yang

    membangun karakteristik masyarakatnya, juga pola keberagamaannya. Identitas

    yang telah dirumuskan melalui simbol-simbol ritual sosial budaya dan keagamaan

    membuka jalan transformasi pola keberagamaan masyarakat urban kota semarang.

    Dari beragam bentuk ekspresi budaya hybrid di kota Semarang,

    persentuhan budaya Jawa dengan budaya Islam adalah yang paling kental.

    Implementasinya terdapat mulai dari upacara turun tanah (tedhak siti) bagi anak-

    anak, khitanan atau supit (khitan) bagi remaja, perhelatan nikah atau upacara

    perkawinan, sampai upacara pemakaman. Dalam upacara-uoacara itu orang

    54Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi di Garis Tepi,,, 48.

  • 82

    Semarang dengan nyaman menjalankan bersama-sama tradisi Jawa dengan tradisi

    Islam. Mereka tidak menyoalkan apakah hal itu diklarifikasi sebagai khufarat atau

    sinkretik, yang penting dapat melakukannya dengan nyaman (menjalankan secara

    bersama-sama tradisi Jawa dengan tradisi Islam). Pada sisi yang lain orang

    Semarang memiliki warisan budaya sebagai seorang pedagang. Seorang pedagang

    memiliki kebebasan lebih banyak dari seorang pegawai. Mereka boleh mengatur

    jadwal kegiatannya sendiri, boleh menentukan sendiri berapa target

    penghasilannya. Perilaku yang cenderung barangkali berasal dari lingkungan pesisir

    yang dipengaruhi ajaran agama Islam; tidak membeda-bedakan drajat atau

    egaliter. Mereka juga memiliki karakter equal (setara), dapat menerima budaya

    dari manapun datangnya.55

    Keberagaman ekspresi kebudayaan di lingkungan masyarakat urban kota

    Semarang berkembang seiring dengan transisi pemerintahan dari era Orde Baru

    hingga pasca Reformasi yang kini sangat terbuka, demokratis. Sehingga pola

    keberagamaan yang dinamis (pengaruh reformasi) menjadi salah satu jembatan

    penting dalam membangun dan menjaga tradisi keagamaan moderat-tradisionalis

    bagi masyarakat urban di kota Semarang. Semarang menjadi salah satu kota di

    Indonesia yang telah mengalami perubahan sosial secara signifikan pasca reformasi

    didengungkan. Sebagai contoh perubahan yang berkembang adalah menguatnya

    55 Muhammad, Semarangan Lintas,, 122-123.

  • 83

    komunitas pemuda lintas iman, yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan

    Lintas Agama (PELITA) Semarang. Peran penting organisasi ini salah satu komponen

    masyarakat yang mampu menjembatani relasi sosial keagamaan di kota Semarang.

    PELITA kerap menjadi salah satu organisasi pemuda yang melakukan negosiasi

    ketika terdapat potensi ketegangan sosial dalam masyarakat kota Semarang.

    Pantauan terhadap aksi-aksi intoleran salah satu visi penting yang dikembangkan

    oleh PELITA56. Baik bekerjasama dengan pihak kepolisian maupun elemen

    masyarakat yang memiliki komitmen bersama menjaga semarang inklusif.

    56 Organisasi yang dipelopori oleh pemuda lintas agama, salah satu organisasi penting yang

    berkembang di Semarang. Tentu masih banyak organisasi-organisasi lain yang memiliki komitmen bersama menjaga keragaman kota Semarang.