bab iii latar belakang konflik kepentingan dalam pwi tahun … · menumbuhkan kembali ekonomi...
TRANSCRIPT
51
BAB III
LATAR BELAKANG KONFLIK KEPENTINGAN DALAM
PWI TAHUN 1970-1971
A. Kondisi Sosial-Politik Awal Orde Baru
Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) menyebabkan
enam perwira tinggi dan satu perwira Angkatan Darat meninggal. Untuk mengisi
kekosongan Pimpinan Angkatan Darat, maka Presiden Soekarno melantik Mayjen
Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober 1965.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap Presiden Soekarno atas penanganan kasus
G30S membuat tidak stabilnya kondisi pemerintahan Indonesia. Akhirnya pada 11
Maret 1966 Soekarno mengeluarkan Surat Perintah (Supersemar) kepada Jenderal
Soeharto yang berisi perintah untuk atas nama Presiden/Pangti/Pemimpin Besar
Revolusi untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintahan.1
Berlandaskan pada Supersemar tersebut, Soeharto mengambil langkah-
langkah yang penting dan memberi arah baru bagi pemerintahan Indonesia. Pada
tanggal 12 Maret 1966 ditetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk
semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat ke daerah beserta semua
organisasi yang bernaung dibawahnya. Dalam membenahi kehidupan politik,
1 Soebagijo I.N, PWI Djaya Di Arena Masa, (Jakarta: PWI Jakarta, 1998),
hlm 220-223.
52
pemerintahan dan ekonomi serta untuk menanggulangi gangguan terhadap
stabilitas jalannya pemerintahan, maka Letjen Soeharto mengambil tindakan
“pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora dan tokoh-tokoh
yang terlibat dalam G30S.2 Peristiwa ini selanjutnya digunakan rezim Orba untuk
menanamkan kepada masyarakat bahwa masa Orla adalah periode yang penuh
kekacauan, dan rezim Orba hadir untuk melakukan penataan dan penertiban.
Masyarakat didoktrin untuk selalu bersih dari istilah PKI yang pada Orba
dimaknai sebagai bahaya tersembunyi dan setan yang dapat menghancurkan
diam-diam, masyarakat dapat memperoleh perlindungan terhadap bahaya PKI
tersebut hanya kepada Negara. Doktrin inilah yang menguasai pemikiran
masyarakat sejak lahirnya kekuasaan Orba.3
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto berlangsung secara
bertahap, proses ini dimulai sejak Oktober 1965, kemudian keluarnya Supersemar
pada tahun 1966, tahun 1967 Soeharto menjadi pejabat presiden, dan akhirnya
menjadi presiden pada tahun 1968 dengan TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968.4
Setelah Orba terbentuk sistem politik yang berkembang bergeser ke suatu situasi
politik yang bertolak belakang dengan situasi politik sebelumnya, yaitu dari suatu
kondisi yang cenderung ketat atau otoriter pada masa Demokrasi Terpimpin ke
arah yang lebih bebas. Warisan Orla dalam wujud konflik-konflik yang meletus
2 Ibid., hlm 223-224.
3 Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa Dan Kekuasaan: Politik
Wacana Di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1996), hlm 31-32. 4 Soebijono, et. al., Dwifungsi Abri Perkembangan dan Peranannya dalam
Kehidupan Politik di Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1992), hlm 39.
53
dan krisis ekonomi yang mengiringinya telah membangkitkan suatu aliansi besar
yang anggota intinya adalah Angkatan Darat, para intelektual sipil anti-komunis
dan pengusaha yang berkaitan dengan negara. Bersamaan dengan runtuhnya
pemerintahan Soekarno, hilanglah slogan “politik adalah panglima” dan muncul
slogan baru “ekonomi adalah panglima”. Slogan tersebut memperoleh dukungan
di kalangan anggota anti-komunis maupun rakyat pada umumnya, karena pasca
peristiwa G30S krisis ekonomi berkali-kali dialami oleh rakyat sehingga
perbaikan ekonomi merupakan hal yang sangat penting.5
Sebagai langkah untuk memajukan ekonomi Indonesia, Presiden yang
baru membenahi hubungan politik luar negeri dengan mengakhiri konfrontasi
dengan Malaysia dan menjalin hubungan kembali dengan negara-negara Barat.
Kapitalis internasional memiliki peranan yang sangat besar dalam memperbaiki
perekonomian Indonesia pada awal Orba, bantuan atau hutang luar negeri dan
investasi modal-modal asing berhasil diperoleh oleh pemerintah yang akhirnya
dapat membantu negara dalam mengatasi krisis ekonomi dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.6 Kemampuan komitmen pimpinan baru pada pemecahan
masalah-masalah ekonomi makin diperkuat ketika pemerintah memberikan
kesempatan kepada kelompok-kelompok intelektual untuk menyebarkan
pendapat-pendapat mereka tentang bagaimana memodernisasikan ekonomi dan
politik Indonesia. Pemerintah memberi kesempatan dan mensponsori seminar
5 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971,
(Jakarta: LP3ES, 1989), hlm 62. 6 Akhmad Zaini Abrar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia,(Yogyakarta: LkiS,
1995), hlm 41.
54
tentang ekonomi Indonesia digelar oleh para mahasiswa yang tergabung dalam
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian AD juga mengadakan
seminar yang sebagian besar tidak mendiskusikan tentang masalah militer,
melainkan mendukung kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan oleh
pemerintahan Orba.7
Keberhasilan pemerintah dalam mengatasi krisis dan
menumbuhkan kembali ekonomi Indonesia pada awal Orba telah memberikan
legitimasi politik maupun ekonomi terhadap Presiden Soeharto.
Kebijakan ekonomi pemerintah yang “berorientasi ke luar” pada tahap
selanjutnya justru menimbulkan kekacauan baru bagi perekonomian Indonesia.
Kebijakan ini mengharuskan adanya berbagai penyesuaian yang tidak
menguntungkan rakyat. Program stabilisasi yang drastis, yaitu APBN berimbang,
kredit ketat, penyesuaian harga, dan lain-lain mengakibatkan kenaikan harga yang
luar biasa pada hampir setiap barang dan jasa serta menimbulkan kemacetan
sektor-sektor produktif selama periode 1967-1969. Maraknya penggunaan barang-
barang impor membuat tersingkirnya barang-barang hasil dalam negeri yang
kemudian menyebabkan kebangkrutan dalam bisnis pribumi, dan akhirnya
menimbulkan masalah baru yaitu pengangguran. Hal ini memunculkan
ketidakpuasan dalam masyarakat khususnya pemuda dan para politisi anti-
komunis. Ketidakpuasan itu berkembang menjadi demonstrasi-demonstrasi
terbuka menentang program pemerintah yang terjadi pada akhir 1967 sampai
1968.8
7 Mochtar Mas’oed, op. cit., hlm 63-64.
8 Ibid., hlm 199-200.
55
Tuntutan dan kritik masyarakat terhadap negara tidak membawa
perubahan yang signifikan, seperti yang diungkapkan oleh Akhmad Zaini Abrar
bahwa dalam menghadapi tuntutan rakyat pemerintah hanya menciptakan realitas
simbolik melalui retorika pejabat negara atau keputusan politik di atas kertas dan
bukan realitas politik yaitu suatu realitas kehidupan nyata yang dapat dirasakan
dan dinikmati seluruh masyarakat. Posisi negara yang sangat kuat dan dominan
menjadi salah satu penyebabnya. Dominasi negara dalam mengendalikan politik
Indonesia dapat dilihat jelas dalam pengambilan keputusan politik, negara
menjadi sentral otoritas dan kekuasaan untuk menciptakan keputusan-keputusan
politik, sementara peran masyarakat tidak menentukan dan bahkan tidak
dibutuhkan. Kuatnya negara juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam
merestrukturisasi masyarakat sesuai dengan kepentingan politik dan ekonominya,
seperti “menata” partai-partai politik, DPR, organisasi massa, lembaga hukum,
dan lain-lain.9
Gambar 2
Karikatur dalam sebuah suratkabar yang menggambarkan pemecah belahan
organisasi masyarakat pada masa Orde Baru.
Sumber: Sinar Harapan, 21 Oktober 1970.
9 Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 210-212.
56
Program “menata” organisasi massa ini dilakukan dalam rangka
pembinaan politik pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik.
Rekayasa politik kerap dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut,
tugas rekayasa politik yang dikenal sebagai penggalangan atau rekayasa dari atas
ini dibebankan kepada Ali Murtopo sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus).
Opsus merupakan Operasi Intelijen yang pada awalnya didirikan oleh Presiden
Soeharto untuk melaksanakan proses rekonsiliasi antara Indonesia-Malaysia pada
awal Orba. Namun seiring dengan perkembangannya nama Opsus ini melembaga
dan menjadi cap bagi segala kegiatan operasi intelijen, tidak saja di bidang militer
tetapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Opsus bermanfaat dalam
memperkuat Sekber Golkar dalam rangka memenangkan pemilu 1971.
Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan intervensi ke dalam rapat-rapat atau
musyawarah partai untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi yang
telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan sehingga pada akhirnya
pemerintah memiliki kesempatan untuk mendorong kepemimpinan yang dianggap
dapat bekerjasama dengan pemerintah.10
Kemampuan pemerintah dalam menata organisasi sosial politik
masyarakat dapat dilihat dalam intervensi yang dilakukan terhadap PNI, IPKI,
Parmusi, Persahi, IDI, serta PWI. Intervensi Opsus pada PNI dilakukan dengan
berhasil terpilihnya Hadisubeno dan menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai
pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu disusul dengan rekayasa terhadap
10
Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15
Januari’74, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hlm 44-45.
57
partai kecil IPKI pada bulan Mei 1970 sehingga kongres tahunannya
menghasilkan pimpinan yang pro-pemerintah. Masyarakat merasa jika setiap kali
pemerintah hadir dalam suatu Kongres, maka akan tinbul perpecahan dalam
golongan tersebut. Diharapkan agar pemerintah segera meninggalkan politik
Divide et impera terhadap organisasi-organisasi massa yang terdapat dalam
masyarakat.11
B. Kehidupan Pers Indonesia Pada Awal Orde Baru
Pelantikan Soeharto dilakukan tanggal 12 Maret 1967, kemudian
pemerintahan baru mencanangkan program pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Berpindahnya tampuk kekuassan ke tangan Soeharto
membawa perubahan dalam banyak hal. Pembaruan dilaksanakan di berbagai
bidang, termasuk penyederhanaan organisasi-organisasi politik serta penetapan
Pancasila sebagai satu-satunya asas pembangunan hukum dan perundang-
undangan, penetapan asas ini salah satunya diterapkan pada pers Indonesia. Pada
masa Orba, pers lebih dikenal dengan sebutan pers Pancasila, karena pada masa
tersebut pers yang terbit kembali maupun pers yang baru saja lahir menganut
falsafah Pancasila. Peletakan dasar-dasar pers Pancasila dan pelaksanaannya
diatur dalam Undang-Undang no 11 tahun 1966, yang ditetapkan sebagai
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.12
11
Ibid. 12
Aditia Muara Pradiatra, Korupsi Dalam Tajuk Rencana: Analisis Sikap
Harian Pedoman Awal Orde Baru 1969-1974, (Skripsi Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012), hlm 13.
58
Undang-undang No.11 tahun 1966 diundangkan di Jakarta tanggal 12
Desember 1966 oleh Sekretaris Negara Moch Ichsan. Penyusunan tentang
ketentuan-ketentuan pokok pers ini didasarkan pada kenyataan sejarah bahwa pers
nasional merupakan salah satu pencerminan dari kehidupan dan kegiatan bangsa
dalam perkembangan masyarakat Indonesia serta merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjuangan bangsa. Adanya ketentuan-ketentuan pokok pers ini
diharapkan agar pers dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya.
Undang-undang ini menjamin kebebasan pers dalam menyatakan dan
menegakkan kebenaran serta keadilan yang berhubungan erat dengan keharusan
adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sensor pers
dan pembreidelan terhadap pers tidak boleh dilakukan.13
Kewajiban pers nasional juga diatur dalam Undang-undang No.11 tahun
1966, dalam Pasal 2 tertulis pers nasional merupakan alat revolusi dan sebagai
mass media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, edukatif, informatoris serta
mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis,
progresif meliputi segala kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia. Pers
nasional berkewajiban untuk mempertahankan, membela, mendukung Pancasila
secara murni dan konsekuen, memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan
Rakyat yang berdasarkan Demokrasi Pancasila, memperjuangkan kebenaran dan
keadilan atas dasar kebebasan pers, membina persatuan dan kekuatan-kekuatan
progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme serta menjadi
13
Djoko Prakoso, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1988), hlm 4-5.
59
penyalur pendapat umum yang kontruktif dan progressif revolusioner. Semua
penerbitan pers diharuskan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut.14
Pada awal berdinya rezim Orde Baru, hubungan pers dan pemerintahan
berjalan sangat baik, periode ini sering disebut sebagai masa bulan madu antara
pemerintah dengan pers. Hal ini karena pemerintah menganggap bahwa kekuatan
pers sangat diperlukan dalam menyebarluaskan informasi pembangunaan dari
pemerintah ke masyarakat maupun menyampaikan aspirasi masyarakat ke
pemerintah. Pada UU Pokok Pers 1966 pasal 4 dijelaskan bahwa terhadap pers
nasional tidak ada sensor dan pembredelan. Juga pada pasal 8 terdapat penegasan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif
sesuai dengan hakekat Demokrasi Pancasila. Pada pasal 12 tertulis, pemerintah
memberikan bantuan berupa fasilitas-fasilitas untuk terjaminnya kehidupan dan
kebebasan pers.15
Selain sebagai penyalur informasi, pers digunakan pemerintah yang baru
sebagai sarana untuk memerangi komunis. Pada awal kebangkitan Orba, sikap dan
perlakuan pemerintah terhadap pers berubah, terutama pers anti-komunis.
Penguasa memandang dan memperlakukan pers non-komunis sebagai partnernya
untuk memerangi PKI dan simpatisan-simpatisannya. Pemberitaan yang
mengeksploitasi segala kekejaman dan kebrutalan PKI terhadap lawan-lawan
politiknya sangat efektif untuk meningkatkan kebencian terhadap PKI. Dari
14
Ibid., hlm 7-8. 15
Aditia Muara Pradiatra, op. cit., hlm 14.
60
pemberitaan-pemberitaan tersebut AD merasa mendapatkan rekan seperjuangan
yang mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan opini publik dan politik,
yakni pers, untuk memobilisasi massa anti-komunis untuk menghancurkan PKI.16
1. Pers Nasional Memerangi Pers PKI dan Pers Golongan Kiri
Pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni Demokrasi Terpimpin, pers
Indonesia mengalami polarisasi sesuai dengan kepentingan politiknya masing-
masing. Tanggal 26 Maret 1965, Mayjen Achmadi selaku Menteri Penerangan
mengeluarkan Keputusan Menteri Penerangan No.29/SK/M65 mengenai Norma-
norma Pokok Pers Dalam Rangka Pembinaan Pers Indonesia. Keputusan tersebut
mewajibkan media massa untuk berafiliasi dengan partai politik atau organisasi
massa yang diakui oleh pemerintah. Berdasar ketentuan terseb59ut, gambaran
media massa yang terbit pada masa akhir Demokrasi terpimpin adalah sebagai
berikut:17
a. Suluh Indonesia, harian milik PNI dengan 8 Afiliasi
b. Harian Rakjat, harian milik PKI dengan 14 afiliasi.
c. Duta Masyarakat, harian milik NU dengan 7 afiliasi.
d. Banteng Rakjat dan Bintang Timur, harian milik Partinda dengan 5
afiliasi.
e. Api Pantjasila, harian milik IPKI dengan 3 afiliasi.
f. Nusa Putera, harian milik PSII dengan 4 afiliasi.
16
Akhmad Zaini Abrar, op.cit., hlm 65-67. 17
Yohanes Koko Anton Wibowo, Media Propaganda: Posisi Pers
Indonesia Dalam Peristiwa 1965, (Skripsi Fakultas Sastra Dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm 137-138.
61
g. Sinar Bhakti dan Kompas, harian milik Partai Katolik dengan 4 afiliasi.
h. Sinar Harapan, harian yang berafiliasi dengan Parkindo.
Selain media massa yang berafiliasi dengan partai politik tersebut, AD
menerbitkan suratkabar yang baru terbit setelah BPS dibubarkan, yaitu Berita
Yudha dan Angkatan Bersendjata. Berita Yudha lahir dibawah kontrol Kepala
Pusat Penerangan AD, sedangkan Angkatan Bersendjata berada dibawah kontrol
Kepala Penerangan Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua suratkabar ini
diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik AD atas dilarangnya sebagian besar
pers BPS. Dibubarkannya BPS membuat pers komunis dapat dengan bebas dan
leluasa untuk menyebarkan ideologinya. Untuk membendung laju informasi pers
komunis itulah, maka AD mengeluarkan harian-harian tersebut.18
Dominasi pers komunis yang sangat kuat pada Demokrasi Terpimpin
mengalami perubahan yang sangat besar setelah terjadinya peristiwa G30S.
Seluruh pers komunis dan simpatisannya dilarang terbit oleh penguasa militer,
terdapat 46 buah suratkabar yang dilarang terbit. Hal ini dilakukan karena PKI
dituduh terlibat dan mendukung peristiwa G30S. Berbagai suratkabar yang
berafiliasi pada PKI dibreidel secara permanen pada tanggal 1 Oktober 1965.
Untuk melihat suratkabar yang dibreidel dapat dilihat pada tabel 1.
18
Akhmad Zaini Abrar, op.cit., hlm 53-54.
62
Tabel. 1
Suratkabar Yang Dibreidel Pasca G30S
Kota Suratkabar
Jakarta Harian Rakjat, Kebudayaan Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti,
Ekonomi Nasional, Gelora Indonesia, Ibu Kota, Huo Chi Pao,
Chung Cheng Pao, Suluh Indonesia, Bintang Minggu, dan Berita
Minggu.
Bandung Warta Bandung.
Semarang Gema Massa.
Yogyakarta Waspada.
Surabaya
Jalan Rakjat, Jawa Timur, Trompet Masyarakat, Indonesia, dan
Generasi.
Palembang Pikiran Rakjat dan Trikora.
Padang Suara Persatuan.
Pekanbaru Sinar Massa dan Berita Revolusi.
Medan Harian Harapan, Gotong Royong, Bendera Revolusi,
Pembangunan, Patriot, Angin Timur, Tavip dan Bintang Rakyat.
Sumber: Yohanes Koko Anton Wibowo, “Media Propaganda: Posisi Pers
Indonesia Dalam Peristiwa 1965”, Skripsi, 2004, hlm 185.
Pelarangan terbit terhadap suratkabar komunis tersebut berdasar pada
Istruksi Menteri Penerangan RI No. 12/Instr/M/65 yang berisi larangan terbit bagi
suratkabar baik harian maupun berkala yang dalam pemberitaannya mendukung
G30S. Sementara itu delapan suratkabar yang dipercaya mendukung garis politik
AD diijinkan terbit kembali, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Indonesian Herald,
63
Duta Masyarakat, Fikiran Rakyat, dan lain-lain.19
Momen ini dijadikan
momentum bagi pihak militer dan pers anti-komunis untuk menjatuhkan PKI
beserta simpatisan-simpatisannya.
Pasca peristiwa G30S, militer berhasil menguasai dan mengontrol media
massa dan pers nasional. Pers militer mendominasi arus opini publik dan politik
dmelalui pemberitaannya yang memojokkan PKI dan ajakan untuk
menghancurkan komunis. Pers lainnya yang terbit kembali juga tidak terlepas dari
pengaruh militer, mereka bekerjasama melakukan konspirasi untuk mengganyang
PKI. Namun pers yang terbit kembali harus meminta izin khusus kepada penguasa
militer agar dapat melanjutkan penerbitannya, karena penguasa perang
mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemberitaan pers, baik yang berhubungan
dengan aktivitas militer maupun aktivitas politik harus sesuai dengan versi
penguasa militer.20
Menguatnya posisi militer pasca peristiwa G30S membuat mereka dapat
mengendalikan berlangsungnya pers nasional. Pada tanggal 7 Oktober 1965,
Kapuspen TNI-AD Brigjen Ibnu Subroto melalui harian Berita Yudha
mengumumkan dan mengundang beberapa pemimpin redaksi untuk diberikan
pengarahan atau koordinasi dalam rangka memihak garis politik AD dalam rangka
menyikapi peristiwa G30S. Terlihat begitu besarnya pengaruh AD dalam
mengendalikan pers nasional, karena koordinasi atau pengarahan dalam bidang
pers seharusnya dilakukan oleh Departemen Penerangan atau PWI sebagai induk
19
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 185. 20
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 55.
64
organisasi wartawan dan media di Indonesia. Tidak hanya media massa yang
mengalami pengontrolan, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara
sebagai kantor berita resmi juga dikuasai oleh pihak AD. Dengan hanya
menggunakan sebuah surat legalisasi berupa Keputusan Perperda No. KEP-
04/1965 diambil alih tanpa adanya persetujuan dari Presiden Soekarno.21
Pengaruh pers militer yang dominan dalam peta ideologi pers Indonesia
mencerminkan menguatnya pengaruh dan kekuatan politik militer. Yohanes Koko
Anton Wibowo dalam skripsinya menggambarkan bagaimana pengaruh pers
militer begitu kuat sebagai alat propaganda dalam menghancurkan PKI. Perang
propaganda yang dilakukan pers militer pada masa itu merupakan kunci sukses
militer dalam menyingkirkan lawan politiknya, karena dengan propaganda
tersebut jelas sekali telah merubah kepercayaan publik sehingga dapat
membangun sentimen publik dan mengarahkan opini publik untuk memihak
kepada militer sehingga dapat dijadikan sebagai justifikasi militer untuk bergerak
menghancurkan PKI. 22
Kesamaan tujuan yang dimiliki pers dan AD dengan sendirinya
membuat keduanya berada dalam hubungan partnership, bukan karena persamaan
ideologi dan kepentingan politik diantaranya keduanya melainkan lebih
disebabkan oleh kebencian terhadap PKI. Pers memberikan sambutan yang positif
bagi gerakan politik AD dan menaruh kepercayaan dan simpati yang besar kepada
militer yang dianggap membela rakyat serta sebagai kekuatan yang dapat
21
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 187-188. 22
Ibid., hlm 207.
65
mengatasi krisis politik. Hal ini dapat dilihat dari julukan-julukan positif pers
untuk mereka. Ahmad Zaini Abrar dalam bukunya mengutip hasil penelitian
Agassi menyebutkan bahwa berbagai media memberikannya julukannya masing-
masing kepada AD, julukan-julukan tersebut adalah:23
a. Kompas memberikan julukan pada militer sebagai sang juru selamat.
b. Kami memberikan julukan pada militer sebagai stabilisator dan unsur
dinamis masyarakat Indonesia yang pluralis.
c. Suluh Marhaen memberikan julukan kepada militer sebagai pelindung
Pancasila dan pelaksana setia amanat rakyat.
d. Duta Masyarakat memberikan julukan kepada militer sebagai
pendukung utama Orba.
e. Mimbar Umum memberikan julukan kepada militer sebagai alat
negara dan kekuatan sosial-politik.
f. Kedaulatan rakyat memberikan julukan kepada militer sebagai
benteng anti-komunis, pengawal utama keamanan dan sebagai
kekuatan politik
g. Surabaya Post mengatakan militer sebagai simbol prestise nasional.
h. Warta Harian mengatakan militer sebagai motor penggerak untuk
kemakmuran ekonomi.
23
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 67.
66
2. Kebebasan Pers dan Kritik-Kritik Tajam Terhadap Pemerintah
Setelah suratkabar-suratkabar lama yang dibreidel terbit kembali,
kemudian ditambah dengan terbitnya suratkabar baru yang mayoritas dikelola
oleh mahasiswa dan intelektual kampus, maka dominasi pers militer dalam
penciptaan opini publik mulai berkurang. Sejak pertengahan 1966 pers indonesia
mulai seimbang, tidak ada pers atau kelompok pers yang mendominasi
pemberitaan dan menciptakan opini publik serta politik. Pers nasional pada
pertengahan 1966 terdiri dari pers militer (Angkatan Bersendjata, Berita Yudha,
Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian), pers nasionalis (Suluh
Marhaen dan El-Bahar), pers kelompok intelektual (Kami, Nusantara, Indonesia
Raya, Pedoman), pers kelompok Muslim (Duta Masyarakat, Angkatan Baru,
Suara Islam dan Mercu Suar), pers kelompok Kristen (Kompas dan Sinar
Harapan), dan pers kelompok independen (Merdeka, Jakarta Times dan
Revolusioner).24
Beragamnya jenis pers yang muncul pada masa Orde baru
merupakan salah satu gambaran bahwa pada masa ini pers mendapatkan kembali
kebebasannya.
Tahun 1966 sampai tahun 1969 pemerintah memberikan kebebasan yang
sangat besar terhadap pers. Tahun-tahun pertama Orde Baru membawa harapan
bagi orientasi media massa dalam membela kepentingan rakyat dan
memperjuangkan keadilan serta tegaknya hukum dan asasi manusia. Pada
hakekatnya, kebebasan pers adalah kebebasan untuk menyiarkan tanpa rasa takut
ataupun khawatir sedikitpun mengenai berita apa saja yang menurut penilaian dari
24
Ibid., hlm 56-58.
67
wartawan dan redaksi pengasuhnya perlu atau penting untuk diketahui masyarakat.
Ditambah lagi dengan adanya landasan hukum yang cukup jelas terhadap
kebebasan pers maka pers nasional mendapatkan angin segar dan perkembangan
yang cukup signifikan.25
Mengenai kebebasan pers ini tertuang dalam UU No.11
tahun 1966, pasal 3 yang meyebutkan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik
dan korektif yang bersifat konstruktif, dalam pasal 4 ditegaskan bahwa pers
nasional tidak akan dikenakan sensor dan pembreidelan, dan pasal 5 menjabarkan
mengenai kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia.26
Pers
bebas mulai melakukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai kebijakan yang
dijalankan oleh pemerintah serta mengangkat suara-suara yang ada dalam
masyarakat.
Pada tahun 1970 pers mengedepankan pemberitaannya mengenai
peningkatan keprihatinan masyarakat atas berbagai masalah sosial, ekonomi dan
politik. Misalnya tuntutan mengenai harga-harga yang makin melambung dan
pembaharuan struktur politik lama. Selanjutnya pers juga memusatkan
perhatiannya pada perlakuan pemerintah yang melancarkan politik devide et
empera nya kepada organisasi massa. Intervensi yang dilakukan pemerintah pada
urusan intern berbagai organisasi sosial-politik masyarakat santer diberitakan di
berbagai suratkabar baik di ibukota maupun daerah-daerah.27
25
Aditia Muara Pradiatra, op. cit., hlm 18. 26
J.C.T. Simorangkir, Pers, SIUPP, dan Wartawan, (Jakarta: Gunung
Agung, 1986), hlm 37-38. 27
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 113-122.
68
3. Munculnya Tindakan Anti-Pers dari Pemerintah
Semakin kerasnya kritik-kritik tajam yang diluncurkan pers terhadap
pemerintah mengakibatkan berubahnya sikap penguasa terhadap pers, ditandai
dengan dimulainya tindakan-tindakan anti-pers yang dilakukan oleh penguasa.
Bagi penguasa rezim Orba kritik-kritik tajam yang dilakukan pers terhadap
pemerintah dapat mengganggu stabilitas politik nasional, sehingga suara-suara
pers yang berbeda dengan pendapat pemerintah harus dihilangkan. Tekanan-
tekanan terhadap pers dilakukan dan selalu dibenarkan dengan alasan untuk
menjaga kesatuan nasional dan stabilitas politik.28
Perubahan sikap pemerintah terhadap pers disebabkan karena kekuasaan
Orba yang semakin bertambah kuat dan besar, serta tidak adanya lagi penghalang
atau lawan politik AD untuk meratakan kekuasaannya. Selain itu sejak tahun 1967
sikap pers semakin kritis terhadap kekuasaan Orba membuat penguasa berhati-
hati terhadap pers. Pemerintah mulai menunjukkan sikapnya yang anti-pers,
walaupun pada awalnya mereka cenderung lebih menahan diri untuk melakukan
tindakan-tindakan yang keras terhadap pers. Perubahan ini terjadi pada tahun
1969, ketika penguasa tidak lagi menganggap pers sebagai partner dan sebagai
bagian dari koalisi kekuasaan Orba. Namun tindakan anti-pers yang dilakukan
28
Haris Firdaus, Konstruksi Kompas Dalam Dua Blog: Analisis Wacana
Kritis tentang Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan
Inside Kompas, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret, 2009), hlm 488.
69
masih terbilang wajar, penyelesaian kasus pers yang melakukan pelanggaran
diselesaikan lewat jalur hukum atau pengadilan bukan dengan pembreidelan.29
Sikap menahan diri penguasa terhadap pers menurut Akhmad Zaini
Abrar disebabkan oleh tiga alasan. Alasan pertama, masih dibutuhkannya pers
untuk melegitimasi etis dan politis rezim Orba untuk mengidentifikasi dirinya
sebagai penguasa yang demokratis sesuai dengan amanat yang diemban, yaitu
melaksanakan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
sehingga dapat membedakan dirinya dengan penguasa atau rejim yang
sebelumnya. Alasan kedua, kesadaran bahwa belum adanya konsolidasi yang kuat
di tubuh militer yang menjadi penyokong jalannya Orba, realitas politik yang
belum stabil dan maraknya “demam demokratisasi” dalam masyarakat membuat
kekuatan-kekuatan politik negara belum siap untuk berhadapan dengan kekuatan
masyarakat tersebut, sehingga militer atau penguasa menghindari tindakan-
tindakan yang anti-demokrasi seperti pembreidelan terhadap pers. Alasan ketiga,
persepsi penguasa mengenai kritik-kritik tajam dari pers masih dapat ditolerir dan
juga dipandang cukup bermanfaat untuk memperbaiki diri sesuai dengan harapan
masyarakat.30
Langkah yang dilakukan untuk menekan kebebasan pers dengan
mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No.03/1969 yang menjelaskan
mengenai masalah SIT. Pada Bab IV pasal 11,12 dan 13 diterangkan bahwa
kepada penerbitan yang telah enam bulan berturut-turut tidak terbit, setelah tiga
29
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 68-69. 30
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 70.
70
bulan dari tanggal SIT yang telah diserahkan pada yang bersangkutan tidak
dipergunakan atau belum menerbitkan maka SIT dikenakan pembatalan. Adanya
pembaruan peraturan mengenai SIT ini sangat bertolak belakang dengan
kebebasan pers yang sebelumnya telah dijamin dalam Undang-undang No. 11
tahun 1966. Namun Menpen menegaskan bahwa SIT terpaksa diadakan
berhubung dengan banyaknya berita yang mengandung unsur pornografi. 31
Menyikapi kasus pornografi yang meluas di kalangan pemberitaan pers
PWI Pusat bersama dengan PWI Jaya dan SPS mengeluarkan pernyataan bersama
yang memperingatkan anggota organisasi-organisasi itu untuk mencegah praktek-
praktek pemberitaan pornografis. Pernyataan tersebut dikeluarkan tanggal 17
April 1969 yang berisi:
a. Pembinaan terhadap pers nasional pada dasarnya merupakan
kewajiban organisasi PWI dan SPS bersama-sama Pemerintah.
b. PWI dan SPS akan melakukan tugas pembinaan itu dengan jalan
melakukan tuntutan menurut ketentuan-ketentuan organisasi. Tugas
tersebut akan berhasil dengan baik apabila Pemerintah sendiri
melakukan tugas dan pelaksanaan pembinaannya secara aktif pula.
c. Khusus mengenai pornografi, usaha mencegah pers yang mengandung
unsur porno harus dilakukan dengan jalan pembinaan dan
mengefektifkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masa
31
Soebagijo I.N., Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers, 1977), hlm
159-160.
71
transisi seperti kewajiban-kewajiban memikul tanggungjawab dalam
memperoleh SIT.
d. Bilamana usaha pembinaan tersebut tidak ditaati, kedua organisasi
akan melakukan tindakan-tindakan disiplin organisasi, misalnya
skorsing atau penarikan dukungan terhadap rekomendasi SIT.
e. Penarikan dukungan terhadap rekomendasi SIT dari PWI dan SPS
dengan sendirinya membebankan kewajiban bagi Pemerintah
(Departemen Penerangan) untuk mencabut SIT.
f. Kedua organisasi tidak sependapat jika tindakan pencabutan SIT
dilakukan berdasarkan penilaian tanpa berkonsultasi dahulu dengan
PWI dan SPS. 32
Menpen Budiarjo juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan
melakukan pembreidelan terhadap pers. Menurutnya pembreidelan yang
dilakukan pers tidak ada manfaatnya, karena kehidupan pers sangat erat kaitannya
dengan nasib para wartawan. Mengenai kasus pornografi yang sering dimuat
dalam suratkabar, pemerintah telah mengeluarkan peringatan dan pemanggilan
terhadap pimpinan penerbitan yang bersangkutan. Namun mengingat
kesejahteraan wartawan yang sangat berkaitan dengan hidup matinya suratkabar
maka untuk membreidel suatu suratkabar pemerintah masih menggunakan tepo
seliro.33
32
Ibid., hlm 169 33
Kompas, 15 Februari 1971.
72
C. PWI Dalam Pemerintahan Orde Baru
1. Pemecatan Anggota PWI Pasca G30S
Pada peralihan sistem pemerintahan dari Demokrasi Terpimpin ke Orba,
PWI berada dibawah kepemimpinan Karim D.P yang merupakan salah satu
wartawan golongan kiri. Kepengurusan ini merupakan masa kepengurusan
terakhir bagi para wartawan kiri yang kemudian pasca peristiwa G30S berganti
kepengurusan baru yang disponsori pihak AD. Sehubungan terjadinya peristiwa
G30S, PWI mengeluarkan perintah pemecatan terhadap anggota yang diduga
terlibat peristiwa G30S, ini berarti pemecatan terhadap seluruh wartawan
kelompok kiri. Perintah harian PWI dengan No.14/PP/1965 ini dikeluarkan pada
tanggal 12 Oktober 1965 yang ditandatangani oleh Mahbub Djunaidi dan Satya
Graha. Isi dari perintah Harian PWI tersebut adalah sebagai berikut:34
a. Sambil menantikan Kongres PWI ke-XII yang akan datang, memecat
untuk sementara dari kedudukan dan keanggotaan PWI mereka yang
suratkabar, majalahnya diberhentikan penerbitannya akibat
pemberitaan, tajuk atau pojoknya yang bernada mendukung gerakan
kontra-revolusioner Gestapu.
b. Menginstruksikan agar untuk tetap menjaga jalannya organisasi akibat
terjadinya pemecatan sementara anggota yang mempunyai jabatan
sebagai anggota Pengurus Cabang Perwakilannya hendaknya
pengisian lowongan jabatan dilakukan dengan musyawarah mufakat.
34
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 191.
73
c. Menginstruksikan kepada segenap anggota PWI untuk melaksanakan
dengan baik amanat PYM Presiden Soekarno dalam rangka
menciptakan suasana tenang dan tertib untuk penyelesaian politik
akibat Gerakan Kontra-revolusioner yang menamakan dirinya Gestapu
serta membantu alat-alat negara memulihkan keamanan.
Akibat dari dikeluarkannya Perintah Harian PWI tersebut, maka
wartawan-wartawan dari berbagai suratkabar beraliran kiri mengalami pemecatan.
Misalnya dari Harian Rakjat, Kebudajaan Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti,
Gelora Indonesia dan Ekonomi Nasional. Pada tanggal 26 dan 27 Oktober terjadi
pemecatan pada seluruh cabang PWI di Indonesia, di Jakarta terjadi pemecatan
sebanyak 44 wartawan. PWI Surabaya memecat 36 wartawan, sedangkan di
Medan memecat 29 wartawan. Untuk melihat nama-nama wartawan yang dipecat
oleh PWI lihat tabel 2.
Tabel. 2
Wartawan Suratkabar Golongan Kiri Di Jakarta yang Dipecat PWI
Suratkabar Nama Wartawan
Harian Rakjat dan
Kebudajaan Baru
Nyoto, M. Naibaho, Macfud, Zain Nasution, J.H.M
Samosir, Sjamsudin, Amarzam Ismais Hamid, Liliek
Margono, Baroto, Zazamir Hamzah, Nurzaman, Wahjudi,
Samtlar, Erma, Moedjalih, Aris Pranowo, Tantiwang
Boen, Hardjito, Dwijono, Agam Wispi, Bambang
Sukowati Dwantoro, Banda Harahap, Nurlan, Amir
74
Djaja, Pardede Simon, Isman Muljadi, Salim, Machmud
Jusmanoor, Dahono, Sukiman, Sutopo, Hurbakti, Udjang
Rana, Juliarsi, Mula Naibaho, Surjono, Sunarjo, Kasimah
Widjaja, Lim Swie Tang, Malon Tampubolon, Sunardjo,
A. Kohar Ibrahim, Sutikno WS, Toga Tambunan.
Warta Bhakti A. Karim D.P., Sadeli Setiawan, Suwardja, Sjafei Saleh,
Amir Alwi, Ang Hong To, Amaran Bakar, Drs. Sujono,
Djanadi, Bujung Sjahri, Djampok Lampung, Zaidin
Wahab, Naniek Soemarni R., Fachruddin Rambe,
Zaclulisljas, M. Zain Hamid, Prof. Dr. Oei Hong Peng,
Tan Hwie Kiat, Ng Tot Kie Oen, Tio Keng Hok, Ng Poen
Kie, Tjla Pen Hwa, Januar Arief, Djoni Hendra S, Nj.
Lies Said, Lie Eng Soo, Wong A Slang, Tan Noo Pow,
Lie Boen Hui, Ong Welly, Pang So Jai, Law Siong Kim,
Oey Sam Hway, Oey Hok Tjin, M. Sjarief Saleh, Tan
Djoek Paw, Lia Boen Hoew, Djamil Werjo Sudarno.
Bintang Timur Hasjim Rachman, A.A. Harahap, Tom Anwar, Josef
Semaun, Anwary Z, Yoni R.H. Mulijakusuma, Eka
Rahendra, R.R Sudarsih, Sri Noerasih, Herry Dwie Teti,
M. Rais Rajab, Rasjid Al, Le Siong Djien, Achmad
Terbina, Idris S.H, Thammrie Tahar, Idries H.S., H.
Azhari, Lie Siong Seng, Boer Haswir D, Mahalan
Haibaho, Soehanda Atmanegara.
75
Ekonomi Nasional A. Umar Said, S. Sutadiredja, Christ Hutabarat,
Mardjono, Kustar H. Djajaatmadja, Adil Nan Arif, Nj Sri
Soekatno, So Siek Hoe, Eko Sunarijusni, Rahaju, Tono
Hurin Manung, Lukimin, Thamrin Tobing.
Ibu Kota Chikmatin, Liung Lioeng Koen, Mosoe Sen, Tjie Kong
Hoe, Ten Kui Fong.
Gelora Indonesia Hari Judhi, Hanif Ginting, R. Harie Soeharto, Ruslan,
J.A. Bachtiar Riwi.
LKBN Antara Djawoto, Soepeno, Soeroto, Walujo, F.Palenewan, Kadir
Said.
Sumber: Yohanes Koko Anton Wibowo, “Media Propaganda: Posisi Pers
Indonesia Dalam Peristiwa 1965”, Skripsi, 2004, hlm 191-194.
Dua minggu setelah dikeluarkan perintah pemecatan terhadap wartawan
golongan kiri, PWI segera melaksanakan Kongres ke-XII di Jakarta pada tanggal
4-7 Nopember 1965. Kongres menghasilkan kepengurusan PWI yang baru yakni,
Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, Jakob Oetama sebagai Sekretaris
Jenderal, dan Moh. Nahar sebagai Bendahara. Keputusan yang dicapai yaitu
pemecatan terhadap anggota PWI yang ditahan untuk pemeriksaan yang berwajib,
dan anggota-anggota PWI yang berasal dari Orpol serta Ormas yang dibekukan
karena terlibat G30S. Kongres meninjau kembali mengenai keputusan Kongres
sebelumnya yang menempatkan Djawoto sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan
Wartawan Asia-Afrika (PWAA), karena Djawoto merupakan salah satu
wartawan yang mengalami pemecatan, sehingga kedudukannya dalam PWAA
76
tersebut diserahkan kepada pengurus baru yaitu Jakob Oetama. Peraturan Dasar
dan Peraturan Rumah Tangga PWI serta masalah Kode Ethik Jurnalistik juga
menjadi salah satu bahasan dalam Kongres PWI ke-XII.35
Kongres juga
menghasilkan pembentukan Dewan Kehormatan Pers yang anggotanya terdiri
dari pejabat birokrasi pemerintahan sipil dan militer. Anggota-anggota Dewan
Kehormatan Pers terdiri dari Menpen Achmadi, Jaksa Agung, Direktur
Penerangan Staf Angkatan Bersenjata Brigjen Sugandhi, Kolonel Nawawi, Drs.
Frans Seda (Menteri Perkebunan), H.M. Djambek, H. Aminuddin Aziz serta
beberapa anggota lainnya yang mewakili seluruh cabang PWI di seluruh
Indonesia.36
Masuknya tokoh militer dalam Dewan Kehormatan pers menunjukkan
kontrol militer yang sangat kuat terhadap media massa. PWI sebagai organisasi
profesi wartawan juga turut terbawa dalam arus kekuasaan militer tersebut. PWI
semakin menampakkan jati dirinya sebagai salah satu instrumen keberhasilan
politik pihak militer dalam menghancurkan G30S. Organisasi ini memantapkan
langkahnya dalam mendukung kebijakan-kebijakan yang diambil oleh militer
dalam rangka penumpasan PKI. Keberhasilan militer dalam menjadikan PWI
sebagai partnernya sudah terlihat sejak Kongres PWI ke-XII di Jakarta. Pada
Kongres tersebut, Menpen Mayjen Achmadi berpidato dan memerintahkan agar
para wartawan sebagai alat revolusi harus menumpas habis gerakan kontra-
revolusi G30S. Hal yang sama juga diucapkan oleh Mayjen Soeharto yang
35
Soebagijo I.N., Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, Lintasan
Sejarah PWI, (Jakarta: PWI Pusat, 1977), hlm 35-36. 36
Yohanes Koko Anton, op. cit., hlm 196-197.
77
menyatakan PWI harus dibersihkan dari oknum-oknum kontra-revolusi. Pidato
kedua pejabat militer ini kemudian menjadi perintah dan legalisasi bagi PWI
untuk membuat peraturan pemecatan wartawan golongan kiri yang terlibat dalam
peristiwa G30S. Berawal dari perintah tersebut, kemudian PWI merumuskan
mengenai “Kriteria Wartawan G30S” dan dengan rumusan ini setiap anggota
wartawan yang memasuki kriteria dapat dipecat dari keanggotaan PWI. Isi dari
“Kriteria Wartawan G30S” adalah sebagai berikut:37
a. Anggota PWI yang menjadi anggota Parpol/Ormas yang terlibat
dalam gerakan kontra-revolusioner G30S.
b. Anggota PWI dari suratkabar dan majalah karena ada indikasi
mendukung gerakan kontra-revolusioner G30S.
c. Anggota PWI yang karena tulisannya/sikapnya/ucapannya
mengindikasikan terlibatnya anggota tersebut pada gerakan kontra-
revolusi G30S.
d. Anggota PWI yang ditahan oleh pemerintah karena terlibat dalam
gerakan kontra-revolusioner G30S.
2. Piagam Pasir Putih dan Dukungan PWI Terhadap Pemerintahan Orde
Baru
Dominasi militer dalam bidang pers dan keberhasilannya dalam
menggandeng PWI dapat dilihat pada Konferensi Kerja PWI di Pasir Putih, Jawa
Timur. Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 13-15 Oktober 1966
37
Ibid.
78
menghasilkan Piagam Pasir Putih dan Deklarasi Wartawan Indonesia. Dua hal
tersebut merupakan bentuk dukungan organisasi pers kepada pemerintahan yang
baru, yaitu pemerintahan Orde Baru, dan menolak terhadap pemerintahan yang
lama, yaitu pemerintahan Soekarno. Hal ini sejalan dengan tuntuntan masyarakat
yang menuntut mundurnya Presiden Soekarno.
Isi dari Deklarasi Wartawan Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Kami wartawan Indonesia adalah warga negara Kesatuan Republik
Indonesia yang bersendikan Pancasila dan berlandaskan UUD ’45.
b. Kami Wartawan Indonesia adalah pendukung, pengawal, serta
pembela ideologi negara dan UUD ’45 dan bertanggung jawab dan
konsekwen
c. Kami wartawan Indonesia memegang teguh kepribadian Indonesia,
berwatak kesatria, berjiwa patriot dalam membela kebenaran dan
keadilan dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
d. Kami wartawan Indonesia mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa, kepentingan rakyat dan negara.
e. Kami wartawan Indonesia di dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya senantiasa menjunjung Kode Ethik Jurnalistik serta
memelihara kesatuan dan persatuan wartawan Indonesia sebagai korps
profesi. 38
38
Soebagijo I.N., Abdurrachman Surjomiharjo, P. Swantoro, op. cit., hlm
36-37.
79
Piagam Pasir Putih berisi mengenai keputusan untuk mengeluarkan Nota
Perubahan PD dan PRT serta Kode Ethik Jurnalistik sekaligus pernyataan mental
dalam bentuk sebuah “Piagam” yang mengikat seluruh organisasi dan anggota
PWI di seluruh Indonesia. Perubahan PD dan PRT didasari oleh perkembangan
politik dan ketatanegaraan menuju penyusunan suatu Orde Baru.39
Terlihat bahwa
PWI sudah menyesuaikan program-programnya agar sesuai dengan laju
pertumbuhan pemerintahan Orba. Bentuk lain dukungan PWI terhadap
pemerintah terlihat dari hasil keputusan Konferensi Kerja Gabungan BPK (Badan
Pengurus Kongres) – PWI Pusat di Kinilow Manado tanggal 17-21 Juni 1969.
Hasil keputusan konferensi secara aklamasi mendukung peraturan Menpen
No.02.Per/Menpen/69 tentang syarat atau pengakuan seseorang agar resmi
dinyatakan berprofesi sebagawai wartawan Indonesia maka orang tersebut harus
merupakan anggota PWI. Keputusan ini mendapat dukungan dari cabang-cabang
PWI kecuali cabang Jakarta. 40
Harmoko yang merupakan pengurus PWI Jaya sangat menentang keras
keputusan tersebut, menurutnya keputusan itu tidak mencerminkan penghayatan
terhadap aspirasi pokok profesi kewartawanan karena yang menciptakan
wartawan bukan PWI atau pemerintah, melainkan pers itu sendiri. Keadaan ini
bertentangan dengan PD/PRT PWI yang tidak pernah membebankan paksaan dan
kewajiban terhadap wartawan untuk berserikat dalam PWI. Tindakan PWI Jaya
mendapat dukungan dari sejumlah cendekiawan, budayawan dan wartawan
39
Ibid. 40
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, Wartawan Terpasung: Intervensi
Negara Di Tubuh PWI, (jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998), hlm 84.
80
Indonesia, isu ini ramai dibicarakan di suratkabar-suratkabar khususnya di Jakarta
yang menuntut agar Menpen Budiarjo mencabut kembali peraturan tersebut.
Peraturan yang dikeluarkan Menpen dianggap sebagai pembatasan kemerdekaan
pers karena mengandung unsur-unsur yang mengikat kebebasan wartawan dengan
mengontrol PWI. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan Harmoko terhadap
kepemimpinan Mahbub Djunaidi.41
Kontrol pemerintah terhadap PWI secara jelas dilakukan saat Kongres
PWI ke-XIV di Palembang tahun 1970. Pada Kongres Palembang mayoritas
cabang-cabang PWI lebih condong kepada kehendak agar organisasi wartawan
dipimpin oleh mereka yang dapat membawa pers Indonesia yang lebih bebas dan
terbebas dari bimbingan Negara.42
Untuk menetralisir PWI dari unsur wartawan
idealis yang cenderung bersifat oposan pemerintah memajukan wartawan-
wartawan yang bersifat kompromis yang dapat bekerjasama dan dapat membantu
kekuatan politik pemerintah dalam rangka konsolidasi kekuatan dalam
menghadapi pemilu 1971. Keadaan ini menjadi alasan utama bagi penguasa untuk
mempercepat pergantian Mahbub Djunaidi sebagai Ketua PWI periode 1968-1971.
PWI menyelenggarakan Kongres ke-XIV di Palembang tahun 1970 setahun lebih
cepat dari waktu semestinya, hal ini menunjukkan keberhasilan kekuatan
kelompok wartawan kompromis mendesak dominasi kelompok wartawan idealis
dalam kepemimpinan PWI. Namun hal tersebut ternyata menimbulkan konflik
41
Ibid., hlm 85-87. 42
Merdeka, 17 Oktober 1970.
81
karena kelompok wartawan idealis menolak adanya campur tangan pihak luar ke
dalam PWI. 43
D. Konflik Kepentingan Persatuan Wartawan Indonesia 1970-1971
1. Kongres PWI ke-XIV di Palembang Tahun 1970
Konflik kepentingan yang terjadi dalam PWI diawali dengan
berlangsungnya Kongres PWI ke-XIV di Palembang pada tanggal 14-19 Oktober
1970. Kongres ini memiliki dampak panjang yang tidak hanya mengguncangkan
tubuh PWI sendiri namun juga menarik perhatian masyarakat Indonesia karena
melahirkan kepengurusan kembar di tingkat pusat. Dua kepengurusan tersebut
adalah PP PWI-Rosihan dan PP PWI-Diah. Pemilihan pengurus pusat dilakukan
dalam Kongres dengan membentuk formatur yang terdiri dari berbagai cabang
PWI yaitu Jakarta (Zulharmans), Makassar (Arsal Alhabsyi), Banjarmasin (A.S.
Musaffa), Surabaya (A.Azis) dan Medan (Mayor A. Manan Karim). Terdapat dua
konsep formatur, konsep pertama menghendaki agar formatur terdiri dari Ketua
Sidang Mohammad Ali B.A, sekretaris sidang (cabang Manado), seorang dari
pengurus lama dan dua orang dari cabang (dikenal sebagai Pola Yogya). Konsep
kedua menghendaki agar formatur terdiri dari masing-masing satu orang dari
cabang Banjarmasin, Makassar, Medan, Jakarta dan Surabaya (dikenal sebagai
Pola Besuki).44
43
Afrizal Munir, PWI Dalam Kostelasi Politik Orde Baru 1966-1985,
(Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992), hlm
79. 44
Sinar Harapan, 23 Oktober 1970.
82
Penentuan konsep formatur dilakukan dengan pemungutan suara. Hasil
dari pemungutan suara Pola Yogya mendapat 31 suara, sedangkan pola Besuki
mendapat 36 suara. Sehingga pemilihan pengurus dilakukan sesuai dengan
formatur Pola Besuki. Pada saat tepilihnya formatur, peserta Kongres tidak ada
yang keberatan atau menyatakan tidak setuju terhadap terpilihnya pola Besuki.
Unggulnya Pola Besuki dalam pemungutan suara sudah sesuai dengan PRT PWI
tentang pengaturan pemilihan Pengurus Pusat dalam pasal 16 ayat 1 yang
berbunyi “Pengurus Pusat dipilih oleh Kongres” dan ayat 2 yang berisi “Tata
tertib pemilihan Pengurus Pusat ditetapkan oleh Kongres dengan persetujuan
suara terbanyak dengan memperhatikan dasar-dasar musyawarah”.45
Gambar 3.
Hasil voting pemilihan pola formatur pada Kongres PWI ke-XIV
Sumber: Ekspress, 7 Nopember 1970
Formatur yang terpilih mengadakan rapat selama tiga jam untuk
membentuk kepengurusan PWI. Saat formatur akan menyerahkan hasil pengurus
pusat untuk periode 1970-1973, Ketua Sidang Kapten Ali B.A menunda sidang
yang akan membacakan hasil kerja formatur. Saat sidang kembali dibuka, Ketua
45
Kompas, 27 Oktober 1970.
83
Sidang bukannya menerima berita acara hasil para formatur tetapi membuka
babak baru dengan memberikan kesempatan kepada wakil Yogya Subadhi dari
Suluh Marhaen yang menggugat bahwa pemilihan formatur bertentangan dengan
pasal 24 PRT ayat 1e yang berbunyi “Keputusan Kongres diambil dengan hikmah
kebijaksanaan musyawarah sehingga rapat memperoleh kata sepakat yang bulat
dari semua utusan yang hadir. Apabila hal ini tidak dapat dilaksanakan maka
dilakukan pemungutan suara baik secara lisan maupun tulisan (rahasia) dan
mendapat hasil persetujuan dari sekurang-kurangnya 2/3 jumlah suara utusan-
utusan yang hadir. Apabila jalan diatas ini juga tidak dapat dilaksanakan, maka
diadakan penentuan suara terbanyak biasa dari para utusan yang berhak
memberikan suara. Abstain dalam pemungutan suara dipandang tidak
memberikan suara dan tidak dihitung dalam jumlah suara yang masuk”. Adanya
protes yang datang dari Subadhi ini membuat kegaduhan dalam kongres, utusan
cabang Banjarmasin menyatakan keheranannya mengapa hal tersebut tidak
digugat sebelumnya, para formatur juga menyatakan protesnya atas munculnya
gugatan Subadhi tersebut.46
Tindakan sepihak Ketua Sidang dalam menunda jalannya sidang dan
membuka kesempatan kepada Subadhi untuk melayangkan gugatannya tidak
disetujui oleh sebagian besar para peserta kongres, sehingga peserta kongres
46
Sinar Harapan, 23 Oktober 1970. Delegasi PWI cabang Yogyakarta
menolak bahwa suara Subadhi merupakan suara PWI Yogyakarta, disebutkan
kemudian bahwa Subadhi membawa polanya sendiri dan segala sesuatu yang
dilakukannya dalam kongres akan menjadi tanggung jawabnya sendiri dan
Subadhi bertindak secara pribadi. Lihat Kompas,29 Oktober 1970. Pengumuman
lengkap yang dikeluarkan PP PWI-Rosihan dapat dilihat pada lampiran 2.
84
mendesak kepada Ketua Panitia Pusat Kongres PWI ke-XIV untuk bersedia
menerima hasil formatur dan membacakannya kepada peserta kongres. Kemudian
Ketua Panitia Pusat membacakan hasil formatur tersebut yang berisi:47
1. Susunan Pengurus Baru PWI Pusat periode 1970-1973, yang terpilih
menjadi Ketua Umum adalah Rosihan Anwar, dan Sekjennya adalah
Jakob Oetama.
2. Sebuah rencana yang menghendaki agar Kongres menerima baik H.
Mahbub Djunaidi, bekas Ketua Umum PWI Pusat sebagai anggota
Dewan Kehormatan PWI, mengingat jasa-jasanya bagi PWI.
Setelah membacakan hasil dari para formatur tersebut, Ketua Panitia
Pusat Kongres PWI ke-XIV menutup sidang dan menyatakan sidang selesai.
Kemudian pada malam harinya tanggal 19 Oktober 1970 diadakan malam
penutupan Kongres.48
Terpilihnya Rosihan Anwar jelas tidak sejalan dengan
kebijaksanaan pemerintah yang menghendaki agar pengurus organisasi politik,
organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi adalah orang-orang yang
dianggap bisa bekerjasama dengan pemerintah. Oleh karena itu, bersamaan
dengan dilaksanakan penutupan kongres, pada pukul 24.00 tanggal 19 Oktober
1970 kelompok yang tidak menyetujui terpilihnya Rosihan Anwar sebagai Ketua
Umum melaksanakan sidang dibawah pimpinan Ketua Sidang. Sidang kemudian
47
Ibid. 48
Ibid.
85
menghasilkan kepengurusan lain diluar kepengurusan Rosihan Anwar. B.M. Diah
terpilih menjadi Ketua Umum hasil dari sidang lanjutan ini.49
Pemilihan B.M. Diah dilakukan melalui formatur yang terdiri dari 5
orang, yaitu Ketua Sidang Moh. Ali B.A, Simo Sangkay (Manado), Tarmizi Iljas
(Tanjung Pinang), Farchan Jacoeb (Pontianak) dan J. Lasamahu (Ambon).
Menurut grup formatur Pola Yogya sidang ini dianggap sebagai sidang lanjutan
dari sidang sebelumnya yang telah ditunda sehingga tidak memerlukan kuorum.
Oleh karena itu, meskipun grup Pola Besuki tidak hadir maka sidang lanjutan itu
harus dianggap sah.50
Diumumkannya Rosihan Anwar sebagai Ketua Umum PWI
merupakan suatu usaha dari oknum-oknum tertentu yang memaksakan
kemauannya sendiri karena hasil kepengurusan tersebut diumumkan tanpa
persetujuan Ketua Sidang. Atas dasar inilah maka mereka melakukan sidang
lanjutan dibawah pimpinan Ketua Sidang yang sah, yakni Moh. Ali B.A. Hasil
sidang lanjutan diumumkan oleh Ketua Sidang Kongres yang bernomor
001/kongres_PWI_IV//1970, yang menjadi Ketua Umum adalah B.M. Diah dan
Sekretaris Jenderalnya P.G. Togas. Dengan demikian Kongres PWI ke-XIV di
Palembang telah menghasilkan dualisme kepemimpinan dalam PWI. 51
Susunan dua PP PWI mulai diumumkan ke masyarakat sehari setelah
Kongres Palembang berakhir. Pengumuman tersebut dikeluarkan pada berbagai
media yang menjadi pendukungnya disertai dengan penjelasan mengenai
49
Kompas, 21 Oktober 1970. 50
Sinar Harapan, 24 Oktober 1970. 51
Merdeka, 21 Oktober 1970. Pengumuman lengkap PP PWI-Diah dapat
dilihat pada lampiran 1.
86
jalannya Kongres Palembang. Suratkabar Merdeka milik B.M. Diah dan Suluh
Marhaen serta Api Pancasila mengumumkan kepengurusan PWI-Diah, dalam
pengumuman tersebut yang menjadi Ketua Umum adalah B.M. Diah dan
Sekretaris Jenderalnya adalah P.G. Togas. Sedangkan kepengurusan PWI-Rosihan
diumumkan pada suratkabar Pedoman, Kompas, dan Pos Kota yang menjadi
Ketua Umum adalah Rosihan Anwar, dan Sekretaris Jenderalnya Jacob Oetama.
Susunan lengkap kepengurusan PWI-Diah dan PWI-Rosihan dapat dilihat dalam
tabel 3.
Tabel. 3
Susunan Pengurus Pusat PWI Hasil Kongres ke-XIV Palembang
Tahun 1970-1973
Jabatan PWI-Rosihan PWI-Diah
Ketua Umum Rosihan Anwar B.M. Diah
Ketua-ketua - L.E. Manuhua
- Kol. Sugiarso Surojo
- Manai Sophian
- H.M. Hamidy
Sekjen Jakob Oetama P.G. Togas
Wakil Sekjen Zein Effendi T. Jously Sjah
Bendahara H.M. Said Budairy Deddy Sumitro
Wakil Bendahara R.P. Hendro Moegianto
Sumber: Merdeka, Kompas 20 Oktober 1970.
Masalah dualisme kepemimpinan yang dialami oleh organisasi wartawan
ini menurut S. Tasrif dikarenakan adanya usaha-usaha dari golongan-golongan
87
yang mengumpulkan kekuatan untuk merebut posisi pimpinan dalam PWI, dan
hal ini merupakan hal yang wajar terjadi saat Kongres. Pada kasus PWI dua
kelompok yang muncul adalah kelompok wartawan profesi yang ingin
memurnikan profesi wartawan (Rosihan Anwar) dan didukung oleh sebagian
besar anggota Kongres, serta kelompok politik (B.M. Diah). Dalam masyarakat
pertentangan-pertentangan itu tidak dapat dihilangkan karena berfungsi bagi
perkembangan dan perubahan struktur sosial.52
Perbedaan kepentingan menjadi
landasan munculnya dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat sehingga
memunculkan konflik kepentingan dalam PWI.53
Kelompok wartawan profesi
mendukung Rosihan Anwar karena sifatnya yang liberalis sehingga diharapkan
dapat membawa PWI menjadi organisasi yang independen, sedangkan kelompok
wartawan politik mendukung B.M. Diah karena sifatnya yang menginginkan PWI
menjadi partner pemerintah dalam rangka konsolidasi negara.54
B.M. Diah pernah
menjadi anggota Dewan Nasional, Menteri Penerangan dalam Kabinet Ampera.
Pada masa menjadi Menteri Penerangan tahun 1967, subsidi atas kertas koran
dicabut pemerintah. Hal ini tentu memberikan penilaian negatif dari kalangan
pers.55
Selain dianggap sebagai pro-pemerintah, B.M. Diah juga dikatakan
52
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2003), hlm 138. 53
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta
Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi Dan Pemecahannya, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm 283. 54
Merdeka, 22 Februari 1970. B.M. Diah mengharapkan jika pers dan
pemerintah dapat bekerjasama dalam rangka pembangunan negara, serta
mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan pers nasional. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial pers agar dapat menjadi partner
dan pendukung pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Lihat lampiran 23. 55
Afrizal Munir, op. cit., hlm 84.
88
mendapat dukungan dari Opsus yang pada masa orba melakukan rekayasa politik
pada organisasi-organisasi massa untuk dapat menciptakan kepemimpinan
organisasi yang dianggap dapat bekerjasama dengan pemerintah.56
Pencalonan
B.M. Diah tidak disukai oleh PWI Jaya yang dipimpin oleh Harmoko dan
beberapa cabang lainnya (Surabaya, Medan, Makassar dan Banjarmasin).
Harmoko dan Zulharmans melihat bahwa calon yang akan mereka ajukan
(Zein Effendi) tidak akan menang menghadapi Diah, mereka lalu menjagokan
Rosihan Anwar. Hal inilah yang menjadi alasan PWI Jaya untuk melakukan
dukungan yang kuat terhadap Rosihan dan menolak keras kepengurusan Diah.57
Penolakan Harmoko dan cabang-cabang PWI terhadap calon Ketua PWI yang
pro-pemerintah sangat kuat karena ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan
Mahbub Djunaidi (Ketua PWI 1968-1970) yang pada Konferensi Kerja di
Manado tahun 1969 menyetujui syarat atau pengakuan terhadap seseorang
wartawan harus merupakan anggota PWI. Hal ini dianggap sebagai bentuk
pembatasan kebebasan wartawan oleh pemerintah. Oleh karena itu mereka
mencalonkan Rosihan Anwar yang dianggap lebih independen.58
2. Perang Wacana Dalam Suratkabar Pendukung PP PWI
Munculnya dualisme kepemimpinan dalam organisasi profesi
kewartawanan tentu saja menimbulkan kehebohan di kalangan media massa.
56
Heru Cahyono, ibid. 57
Tribuana Said (ed), H. Rosihan Anwar Dengan Aneka Citra, (Jakarta:
Kompas, 1992), hlm 147. Belakangan Rosihan mengatakan jika sekiranya ia
sudah tau sejak semula kekuatan-kekuatan apa yang berdiri di belakang kelompok
B.M. Diah yaitu bahwa Opsus turut mengaturnya, maka ia akan menolak
pencalonannya. 58
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, ibid.
89
Bukan hanya suratkabar di ibukota saja yang memuat berita seputar konflik dalam
organisasi wartawan tersebut, koran-koran di daerah juga diliputi oleh
pemberitaan seputar konflik PWI. Sehari setelah berakhirnya Kongres PWI ke-
XIV di Palembang berbagai media sudah mulai memberitakan mengenai
kericuhan yang terjadi dalam Kongres. Berita yang dimuat tidak hanya satu atau
dua judul saja, bahkan dalam satu hari pada koran yang sama dapat memuat
sampai beberapa judul dengan tema yang sama, yakni perpecahan dalam tubuh
PWI. Dalam harian Ampera misalnya, pada tanggal 26 Oktober 1970 harian ini
memuat berita “Pengurus Pusat PWI diterima Menpen” pada halaman pertamanya,
masih di halaman yang sama dimuat pula pernyataan bahwa “PWI Djaya Menolak
PWI Diah”. Di halaman kedua Ampera memuat mengenai kepengurusan PWI-
Diah yang berjudul “Ketua PWI Jang Baru”.59
Hal ini menunjukkan bahwa berita
konflik PWI ini sudah menjadi fokus tersendiri sejak Kongres Palembang berakhir,
namun pemberitaanya hanya seputar pengumuman yang dikeluarkan kedua
Pengurus Pusat PWI dan bagaimana jalannya Kongres dengan versi yang berbeda-
beda dalam masing-masing suratkabar.
Gambar 4.
Guntingan suratkabar mengenai pertentangan yang terjadi dalam Kongres PWI
ke-XIV di Palembang
Sumber: Merdeka, 17 Oktober 1970. Merdeka, 20 Oktober 1970. Kompas, 21
Oktober 1970
59
Kompas, 29 Oktober 1970.
90
Gambar 5.
Karikatur dalam suratkabar yang menggambarkan dukungan pemerintah terhadap
PP PWI Diah.
Sumber: Pos Kota, 29 Oktober 1970. Sinar Harapan, 22 Oktober 1970.
Keadaan pemberitaan yang awalnya hanya seputar Kongres menjadi
heboh dan memuncak setelah dikeluarkannya pengumuman secara sepihak oleh
Deppen dalam TVRI dan Antara untuk menyiarkan kepengurusan versi Diah saja.
Reaksi beruntun mulai bermunculan setelah itu, hampir seperempat dari halaman
pertama suratkabar di Jakarta dan daerah menyiarkan perang dingin antara PWI-
Rosihan dan PWI-Diah. Saat suasana masih panas, tiba-tiba Menpen
mengeluarkan pengumuman yang mengakui sahnya PWI-Diah. Pernyataan yang
dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1970 berisi pengakuan hanya ada satu
Pengurus Pusat yang mewakili wadah organisasi pers, yaitu PWI yang diketuai
oleh B.M. Diah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Kongres PWI ke-XIV di
Palembang.60
Keputusan yang dikeluarkan Menpen ini menambah ramainya
perang dingin antara suratkabar pendukung masing-masing pihak. Perang dingin
terkait konflik PWI yang dimuat dalam berbagai suratkabar saling balas-
membalas dan saling menyebut valid-tidak valid. Berita-berita mengenai PWI
60
Warta Berita, 25 Oktober 1970. Isi pernyataan Departemen Penerangan
mengenai masalah PWI dapat dilihat pada lampiran 3.
91
disajikan dalam berbagai karikatur dan tajuk pojok dan ulasan-ulasan menghiasi
berbagai suratkabar Indonesia.
Pengakuan terhadap PP PWI-Diah menurut Brigjen Harsono (Dirjen Pers
& Grafika) dilakukan dengan mempertimbangkan tiga alternatif. Alternatif
pertama membiarkan segala sesuatu terjadi dan pemerintah tidak mencampuri
urusan intern PWI. Kedua, pemerintah memperhatikannya dengan mengusahakan
mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Ketiga, pemerintah menentukan
sikap dan memilih salah satu pihak. Mengenai tiga alternatif ini Menpen
berpendapat bahwa alternatif pertama akan merugikan masyarakat dan membuat
persoalan PWI semakin berlarut-larut, sedangkan alternatif kedua dilihat tidak ada
kemungkinannya, sehingga hanya alternatif ketiga yang dapat dilaksanakan oleh
pemerintah.61
Sikap Menpen mengakui kepengurusan B.M Diah menimbulkan
tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang menganggap tindakan Menpen
bukan merupakan tindakan yang tepat dan dapat memperkeruh keadaan. Bung
Hatta mengatakan bahwa tindakan Menpen Budiardjo bertentangan dengan
keputusan Kongres PWI dan sekaligus merupakan pelanggaran terhadap
demokrasi. Dirjen Khusus Departemen Dalam Negeri Wang Suwandhi S.H.
mengatakan tindakan merestui salah satu pihak bila terjadi perpecahan dalam
organisasi masyarakat adalah tidak tepat sama sekali.62
Wartawan generasi muda
langsung menemui Menpen dan meminta agar tidak mencampuri urusan intern
61
Sinar Harapan, 30 Oktober 1970. 62
Soebagijo I.N, op. cit., hlm 231.
92
PWI, keberpihakan yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu bentuk
pelanggaran terhadap kemerdekaan pers, jika pemerintah ingin menjaga ketertiban
umum hendaknya semua penyelesaian yang diambil harus didasarkan pada pasal
28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan untuk berserikat bagi masyarakat
Indonesia.63
Tidak semua pihak menyalahkan keputusan Menpen yang mengakui
PWI-Diah, ada juga yang setuju dan mendukung sepenuhnya. Menteri Dalam
Negeri Amirmachmud, berpendapat jika segala kebijaksanaan yang ditempuh
Menpen dalam masalah PWI Pusat adalah benar dan ia mendukung sepenuhnya.
Amirmachmud yakin dalam melaksanakan kebijaksanaannya pemerintah
mempertimbankannya dengan itikad baik sehingga beleid pemerintah tidak
mungkin merugikan karena kebijaksanaan pemerintah untuk kepentingan nasional.
Deputi KSAD Letjen M. Jasin juga menyatakan dukungannya terhadap keputusan
yang diambil Menpen. Sekelompok wartawan muda yang tergabung dalam
Kelompok Wartawan Reporter Ibukota menegaskan mendukung beleid Menpen
Budiardjo tentang pengakuannya terhadap PP PWI-Diah.64
Diakuinya PP PWI-Diah oleh Menpen menunjukkan bahwa B.M. Diah
memperoleh kemenangan atas konflik PWI. Kedekatannya dengan pemerintah
menjadi faktor penting dalam memperoleh kemenangannya atas Rosihan Anwar.
Pengakuan politis Menpen atas PP PWI-Diah pada perkembangan selanjutnya
ternyata menyulitkan Menpen Budiarjo, karena dukungan terhadap PP PWI-
63
Berita Yudha, 27 Oktober 1970. 64
Soebagijo I.N, loc. cit.
93
Rosihan sangat besar. PWI-Rosihan menolak hasil keputusan Menpen yang
mengakui kepengurusan B.M. Diah. Pada tanggal 25 Oktober 1970 PP PWI-
Rosihan mengadakan rapat yang menghasilkan keputusan bernomor
6/Sek/2/sd/1970 berisi penolakan atas keputusan Menpen. PP PWI-Rosihan tetap
pada pendiriannya, di tambah dengan pernyataan ke-16 cabang/perwakilan PWI
tanggal 19 Oktober 1970 yang dianggap sebagai pengulangan pemberian
kepercayaan kepada PP PWI-Rosihan. Selanjutnya Rosihana mempertimbangkan
kemungkinan untuk memajukan gugatan di Pengadilan agar membatalkan
keputusan Deppen tersebut.65
Pernyataan PP PWI-Rosihan yang menyatakan
bahwa 16 cabang/perwakilan dianggap mendukungnya dibantah oleh Suluh
Marhaen dalam headline yang berjudul “Apa Guna Kongres Kalau Anggap2an
Dianggap Sjah”. Melihat keadaan cabang-cabang saat Kongres dan pasca Kongres
yang menunjukkan banyak perubahan, misalnya cabang Jakarta yang saat
Kongres memiliki satu suara namun pasca Kongres terpecah menjadi dua, sama
halnya dengan cabang Bandung, Banjarmasin, Palu dan Makassar. Berita-berita
yang saling bantah banyak terjadi pada masing-masing suratkabar pendukung PP
PWI.66
Pada suratkabar Pos Kota tanggal 7 Nopember 1970 dimuat keterangan
bahwa berita yang dilansir oleh Merdeka hanya sekedar isapan jempol.
Sebelumnya Merdeka memuat mengenai wawancaranya terhadap Rusli Desa
65
Sinar Harapan, 26 Oktober 1970. S. Tasrif selaku kuasa dari Rosihan
mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 9 Nopember 1970.
terdiri dari 35 gugatan, Menpen sebagai tergugat 1 dan PWI-Diah sebagai tergugat
2. Gugatan PP PWI Rosihan dapat dilihat pada lampiran 6-9. 66
Suluh Marhaen, 2 Nopember 1970.
94
wartawan Angkatan Bersenjata edisi Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa
wartawan-wartawan daerah Banjarmasin mendukung PP PWI dibawah
kepemimpinan Diah. Di dalamnya disebutkan adanya Petisi Sabtu dari wartawan-
wartawan Banjarmasin dengan tujuan mendukung PWI-Diah. Menurut suratkabar
Mimbar Mahasiswa yang terbit di Banjarmasin wawancara yang dilakukan
terhadap Rusli Desa tidak pernah terjadi, keterangan yang sama juga disampaikan
oleh Rusli Desa yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa
memberikan wawancara dengan wartawan Merdeka.67
Gambar 6.
Headline suratkabar Merdeka yang dibantah oleh Berita Yudha.
Sumber: Merdeka, 27 Oktober 1970. Berita Yudha, 29 Oktober 1970.
Pada salah satu kesempatan harian Merdeka memuat berita mengenai
diakuinya kepengurusan B.M. Diah oleh Menpen dengan judul “Sambutan Positip
atas Kep. Pemerintah”. Dalam berita yang dimuat pada tanggal 27 Oktober 1970
tersebut disebutkan bahwa keputusan pemerintah dalam mengakui hanya satu
PWI dibawah pimpinan B.M Diah adalah cukup supel dan dapat
dipertanggungjawabkan baik politis maupun yuridis, disebutkan bahwa pendapat
tersebut keluar dari beberapa perwira menengah dan tinggi di Departemen
Hankam. Berita tersebut dinyatakan tidak valid oleh suratkabar Berita Yudha
dengan alasan sumber yang dicantumkan tidak valid. Penyebutan “Beberapa
67
Pos Kota, 7 Nopember 1970.
95
perwira menengah dan tinggi di Departemen Hankam” ditulis oleh Merdeka tanpa
menyebutkan siapa dan dalam jabatan apa. Ketua Puspen Hankam juga
menyatakan bahwa seharusnya Merdeka menyebutkan secara jelas nama dari
perwira yang dimaksud dalam berita tersebut dan menjelaskan untuk keterangan
pers mengenai Hankam seharusnya saluran resminya adalah Penerangan
Hankam.68
Perang wacana lainnya terjadi dalam suratkabar Kompas dan Suluh
Marhaen mengenai suratkabar yang menyatakan dukungannya kepada PP PWI-
Rosihan. Pada Kompas dimuat berita mengenai “47 Penerbitan di Jakarta
Mendukung Sikap dan Beleid PWI Jaya”.69
Suluh Marhaen membantah hal ini
dengan menyatakan bahwa 5 penerbitan (Suara Baru, Suara Indonesia, Ekonomi,
Perintis Minggu) yang dikatakan turut mendukung Rosihan tidak tahu menahu
mengenai statemen PWI Jaya yang mendukung Rosihan. Marhaen menyebutkan
bahwa pertemuan yang dilakukan PWI Jaya mengundang para penerbit di Jakarta
dilakukan untuk memberikan laporan-laporan, bukan untuk menyatakan
persetujuan dan dukungan atas PWI-Rosihan. Kompas membalas bantahan
tersebut dengan menjelaskan bahwa ke-lima penerbitan yang disebutkan diatas
secara sadar menerima dan menyetujui pernyataan dukungannya terhadap PWI-
Rosihan. Dengan adanya pemberitaan-pemberitaan yang bertolak belakang seperti
ini tentunya menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.70
68
Berita Yudha, 29 Oktober 1970. 69
Kompas, 26 Oktober 1970. Lihat lampiran 17. 70
Kompas, 2 Nopember 1970. Lihat juga Suluh Marhaen, 2 Nopember 1970.
96
Pemberitaan sekitar soal PWI yang sudah saling berat sebelah pada
proses selanjutnya akan memberikan efek pecah belah atau mengadu domba antar
pejabat-pejabat pemerintah dan juga pada masyarakat. Kebebasan pers seharusnya
digunakan untuk menunjang pembangunan dan perkembangan negara, bukan
untuk menimbulkan kegoncangan-kegoncangan yang akan mengancam stabilitas
negara. Presiden Soeharto menyampaikan harapannya terhadap pers dalam
pidatonya yang dikemukakan saat ulang tahun PWI ke-25 di Solo yang berisi
sebagai berikut:
Konflik antara kepentingan pribadi atau kepentingan golongan dan
kepentingan umum memang sering terjadi, terutama di lingkungan pers yang
sedang menuju dewasa dan belum menyadari bagaimana peranannya di dalam
masyarakat dan lebih-lebih di lingkungan pers yang tujuannya hanya meniup
sensasi untuk mengeduk keuntungan yang sebesar-besarnya. Setiap wartawan
juga benar-benar menyadari profesinya cukup mengetahui apa yang dimaksud
dengan etik dan tanggungjawab pers, sosial dan etik kewartawanan yang
merupakan pilar-pilar yang menunjang tumbuh dan tegaknya pers yang bebas.
Jaminan atas kebebasan pers tidak dapat dilepaslan dari kesadaran akan
tanggungjawab dan tatakrama pers. Tanggungjawab pers harus merupakan
jamiman bahwa ia tidak akan digunakan dengan wenang-wenang, tidak
memanipulasi berita atau memutar balik fakta dan tidak akan secara sadar
melancarkan hasutan-hasutan atau mebentuk pendapat umum yang
bertentangan dengan kepentingan nasional.
Pers merupakan alat yang efektif untuk menggerakkan seluruh daya manusia
yang dimiliki dalam kancah pembangunan. Pers disamping memberi
penerangan sekaligus juga mendidik rakyat. Tetapi dilain pihak, pers juga
dapat menjadi suatu kekuatan negatif yang bukannya mempercepat, tetapi
justru merintangi usaha-usaha pembangunan. Presiden mengharapkan agar
para wartawan dan pers Indonesia pada umumnya, benar-benar menyadari
tanggungjawabnya terhadap masyarakat, fungsinya sebagai salah satu
perwujudan demokrasi Pancasila dan potensi perannya didalam proses
pembangunan. Untuk itu wartawan Indonesia harus bersatu. Pers Indonesia
tidak mungkin dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa, apabila ia sendiri
tidak dapat menyatukan dirinya, setidak-tidaknya persatuan dalam pandangan
dan dasar berpijak pers yang bebas dan bertanggungjawab.71
71
Merdeka, 22 Februari 1971.
97
Patut disayangkan bahwa perpecahan yang terjadi dalam organisasi
wartawan selain membawa akibat-akibat kelemahan dalam bidang organisasi juga
menimbulkan ekses-ekses yang tidak diharapkan. Polemik dan saling tuduh antara
koran pendukung dan koran lawan pengurus PWI yang satu dengan yang lain
semakin menjadi-jadi. Dalam tulisan-tulisan yang mereka keluarkan nampak
bahwa argumen-argumen yang sehat sudah menjadi kabur. Justru kata-kata dan
kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak patut ditulis oleh wartawan sebagai
pembimbing pendapat umum terlihat lebih menonjol. Tulisan dalam koran-koran
lebih bertendens memukul lawan ketimbang mengemukakan dasar-dasar yang sah
dan kuat.72
3. Integrasi Pengurus Pusat PWI
Pertikaian yang terjadi dalam PWI menarik perhatian banyak pihak,
mereka menyayangkan jika konflik ini terus berlarut-larut karena dianggap akan
mengganggu stabilitas nasional, apalagi dalam rangka menghadapi Pemilu yang
akan dilaksanakan pada tahun 1971. Oleh karena itu, meskipun perpecahan ini
merupakan urusan intern PWI berbagai pihak mencoba untuk mendamaikan dua
Pengurus Pusat yang ada dalam PWI. Menpen meskipun sudah mengakui PWI-
Diah menyarankan untuk melaksanakan Kongres PWI lagi untuk menyelesaikan
pertentangan-pertentangan yang timbul. Selain Menpen, banyak pihak yang
72
Subagijo I.N. Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers, 1977), hlm
61.
98
menghendaki agar PWI mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk
menyelesaikan perpecahan yang ada dalam organisasi profesi wartawan tersebut.73
Saran mengadakan KLB ditolak oleh B.M. Diah karena ia berpendirian
bahwa dalam kongres tersebut tidak mungkin dilakukan pemilihan pengurus baru.
PP PWI-Diah mengeluarkan keterangan pers melalui Sekjen P.G. Togas yang
menjelaskan bahwa PD/PRT PWI memang memungkinkan diadakan suatu KLB
jika sekurang-kurangnya seperdua dari cabang-cabang atau perwakilan PWI
menghendakinya karena ada sesuatu persoalan yang penting agar dapat
diselesaikan dalam forum kongres, tetapi apapun alasan yang digunakan dalam
melaksanakannya sudah ditekankan bahwa KLB tidak mempunyai wewenang
untuk mebicarakan soal kepengurusan Pusat. Selain itu pelaksanaan KLB
dianggap tidak memungkinkan karena akan membutuhkan dana yang tidak
sedikit.74
Oleh karena itu, perlu dilaksanakan upaya lain dalam menyelesaikan
masalah-masalah dalam PWI.
Dua PP PWI telah mengadakan pertemuan pada 28 Oktober 1970 untuk
membahas penyelesaian dari masalah-masalah yang timbul dalam Kongres PWI
ke-XIV di Palembang. Selain itu, pertemuan yang berlangsung selama satu jam
ini juga membahas mengenai adanya pengakuan Pemerintah atas salah satu PP
73
Dalam PRT PWI pasal 22 dijelaskan bahwa Kongres Luar Biasa dapat
dilakukan apabila dianggap perlu untuk menyeselaikan suatu permasalahan jika
permintaan diadakannya Kongres sekurang-kurangnya seperdua jumlah
cabang/perwakilan yang membawa sekurang-kurangnya seperdua jumlah suara
anggota biasa. Kongres ini diadakan untuk membicarakan masalah-masalah yang
mendesak kecuali pergantian PP, perubahan-perubahan PD/PRT dan Kode Ethik.
Lihat Soebagijo I.N., Abdurrahman Surjomihardjo, P. Swantoro, op. cit., hlm 103-
102. 74
Warta Berita, 3 Nopember 1970.
99
PWI. Pada pertemun tersebut muncul ide untuk menyelesaikan masalah PWI
dengan jalan arbitrase namun jalan ini ditolak oleh B.M. Diah karena menurutnya
jika mengambil jalan arbitrase berarti ia mengakui kelemahannya, sedangkan
dirinya sudah dianggap sah oleh Menpen. Sebagai pengurus yang diakui
pemerintah, B.M. Diah mengemukakan dalam usaha mengutuhkan PWI kembali
maka akan direncanakan pertemuan-pertemuan yang serupa untuk selanjutnya.75
Selain usaha-usaha yang dilakukan oleh PP PWI, solusi untuk menyelesaikan
konflik PWI datang dari cabang-cabang yang menginginkan terwujudnya
persatuan dalam organisasi PWI.
Prakarsa mempersatukan PWI muncul dari cabang Surabaya (Tajib dan
Subagio) dan Yogyakarta (Wonohito, Abdurachman, H. Basuni dan Jusaac M.R.).
Mereka meminta beberapa wartawan senior untuk berperan sebagai mediator dan
melakukan negosiasi-negosiasi antara pihak Rosihan Anwar dan B.M. Diah untuk
menemukan alternatif-alternatif mengenai solusi konflik. Langkah mediasi ini
diambil karena dua PP PWI Pusat dianggap tidak bisa menyelesaikan konfliknya
sendiri. Wartawan-wartawan senior yang terlibat dalam usaha mendamaikan PWI
ini terdiri dari lima orang, yaitu Adam Malik76
, Sumanang77
, S.K. Trimurti78
, Asa
75
Berita Yudha, 29 Oktober 1970. 76
Adam Malik merupakan wartawan yang sudah aktif sejak masa
pergerakan, ia turut berperan dalam pendirian kantor berita Antara. Pada tahun
1970 Adam Malik sedang menduduki jabatan sebagai Menteri Luar Negeri. 77
Sumanang merupakan wartawan perjuangan yang juga turut mendirikan
kantor berita Antara, ia terpilih menjadi Ketua Umum PWI pertama pada Kongres
wartawan yang pertama di Solo pada 9 Februari 1946. 78
Surastri Karma Trimurti mulai aktif dalam bidang jurnalistik saat
bergabung dengan Partindo. Ia dikenal sebagai wartawan kritis dan anti-kolonial.
100
Bafagih79
dan Mochtar Lubis80
. Pada tahap selanjutnya dilaksanakan pertemuan-
pertemuan antara lima wartawan senior dan dua PP PWI untuk mencari
penyelesaian terhadap konflik yang terjadi dalam organisasi wartawan tersebut. 81
Pertemuan pertama diadakan pada tanggal 4 Nopember 1970 di
kediaman Adam Malik, dihadiri oleh lima wartawan senior dan kedua PP PWI.
Ditawarkan dua alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, pertama
adalah membentuk caretaker pengurus yang hanya bertugas sebagai administratif
dan mempersiapkan Kongres PWI tahun depan, kedua adalah dua PP PWI
kembali kepada pengurus lama yang demisioner. Pertemuan ini akhirnya
dinyatakan bahwa kedua belah pihak akan mengadakan konsultasi untuk
mengatasi persoalan PWI. Sementara itu Adam Malik menyerukan kepada pers
untuk tidak mempertajam soal PWI dalam media massa dengan menghentikan
pemberitaan yang saling memihak di media massa.82
Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 13 Nopember 1970, pada
pertemuan ini akan ditanyakan kepada kedua belah pihak sampai berapa jauh
mereka bisa menerima diadakannya KLB. Namun pertemuan kedua tidak
menghasilkan apa-apa karena B.M. Diah tidak datang dengan alasan sedang sakit.
Pertemuan ketiga dilaksanakan pada tanggal 26 Nopember 1970 di kediaman
resmi Menteri Luar Negeri. Pertemuan ini dihadiri oleh Rosihan Anwar dan Jacob
79
Asa Bafagih merupakan wartawan sejak masa pergerakan, pernah
menjadi Pemimpin Redaksi Pemandangan pada tahun 1953. 80
Mochtar Lubis juga turut dalam pendirian kantor berita Antara. Namanya
tidak dapat dipisahkan dari harian yang didirikannya yaitu Indonesia Raya. 81
Berita Yudha, 5 Nopember 1970. 82
Pikiran Rakyat, 5 Nopember 1970.
101
Oetama, sedangkan B.M. Diah tidak hadir dengan alasan ada undangan Menpen
untuk berbuka puasa bersama pemimpin-pemimpin redaksi di ibukota. B.M. Diah
hanya mengirimkan suratnya yang menyatakan bahwa persoalan kepengurusan
PWI Pusat sudah selesai, apabila Pengurus Pusat pimpinannya dianggap tidak sah
maka boleh ditempuh dengan jalan hukum, dan karena gugatan Rosihan Anwar
sudah diajukan ke Pengadilan maka pengurus B.M. Diah akan tunduk kepada
keputusan Pengadilan. Diserukan agar lima wartawan senior untuk menghentikan
jasa-jasa baiknya dalam hal menyatukan PWI dengan ucapan terimakasih.83
Setelah tiga kali mengadakan pertemuan dan tidak menghasilkan hasil
yang signifikan, dan setelah membaca isi surat yang dikirimkan oleh B.M. Diah
yang menolak usaha perdamaian oleh lima wartawan senior, maka mereka
berpendapat bahwa usahanya mengembalikan keutuhan PWI Pusat tidak dapat
dilanjutkan lagi. Hal ini mengalami kesulitan karena kedua Pengurus Pusat sudah
menganggap bahwa masing-masing dirinya sah, adanya putusan Menpen yang
mengakui PWI-Diah dinilai lebih mempersulit usaha mengembalikan keutuhan
dalam organisasi induk wartawan tersebut.84
Usul untuk mendamaikan dua PP PWI Pusat juga muncul dari Hakim
Ketua Sidang yang menangani kasus sengketa PWI di Pengadilan. Pada Sidang
ke-III yang berlangsung pada 23 Januari 1971 Hakim Ketua mengusulkan
diadakannya perdamaian antara pihak-pihak yang berselisih. Usul ini pada
mulanya disambut baik oleh pihak Rosihan, Diah dan juga Menpen. Tasrif yang
83
Kompas, 2 Desember 1970. 84
Ibid.
102
menjadi kuasa penggugat mengatakan bahwa sejak semula mereka juga bersedia
untuk mengadakan perdamaian jika para tergugat juga menghendaki hal yang
sama. Namun, meskipun masing-masing pihak sudah bersedia untuk berdamai
tetap saja kesepakatan perdamaian tidak tercapai karena adanya perbedaan
pendapat mengenai cara-cara perdamaiannya. Tasrif menginginkan syarat-syarat
perdamaian dibicarakan terlebih dahulu, namun syarat-syarat tersebut ditolak oleh
pihak tergugat dengan alasan mereka tidak bersedia mendengarkan usul-usul
perdamaian jika gugatan belum dicabut. Hakim Ketua menyatakan bahwa sidang
telah mencapai jalan buntu karena tidak tercapainya “meeting of mind” antara
pihak-pihak yang bersengketa mengenai syarat-syarat perdamaian.85
Meskipun
demikian, masing-masing pihak masih akan dilaksanakan pertemuan-pertemuan
selanjutnya dalam rangka mencari penyelesaian konflik PWI tersebut.
Hasil dari serangkaian pertemuan Rosihan-Diah akhirnya menghasilkan
kesepakatan integrasi antara dua Pengurus Pusat. Soebagijo I.N mengatakan
sebagaimana halnya perpecahan dalam tubuh PWI tidak ada yang membayangkan
terlebih dahulu, demikian pula tak ada seorangpun dari pihak luar yang menduga
bahwa kedua pihak yang semula begitu tegang tiba-tiba diberitakan telah berhasil
mengadakan integrasi. Dua Pengurus PWI yaitu B.M. Diah dan Rosihan Anwar
menemui Menpen Budiardjo di Deppen dan melaporkan bahwa kedua Pengurus
PWI kini telah bersatu dalam suatu integrasi yan dilakukan pada tanggal 6 Maret
1971.86
85
Kompas, 25 Januari 1970. 86
Soebagijo I.N., op. cit., hlm 240-241.
103
Terdapat tiga pokok penyelesaian tertuang dalam pernyataan integrasi
yang disepakati masing-masing pihak. Tiga hal pokok tersebut adalah Pengurus
Pusat PWI pimpinan B.M. Diah dan Pengurus Pusat PWI pimpinan Rosihan
Anwar disatukan dalam integrasi yang sama, dalam integrasi itu masing-masing
pihak beserta pengurus tetap menduduki jabatannya masing-masing, misalnya
B.M. Diah dan Rosihan Anwar tetap masing-masing Ketua Umum, demikian pula
para ketua, sekjen, wakil sekjen, bendahara dan wakil bendahara. Terakhir adalah
pembagian Pengurus Pusat yang telah diintegrasikan akan dibicarakan bersama.
Dalam pernyataan tersebut Rosihan Anwar menyatakan mencabut kembali
gugatan terhadap Menpen dan B.M. Diah di Pengadilan Negeri.87
Gambar 7.
Suasana sebelum dilangsungkannya penandatanganan naskah penyatuan kembali
kepengurusan PWI, dari kiri Menpen Budiarjo, B.M. Diah, dan Rosihan Anwar.
Sumber: Merdeka, 8 Maret 1970
Mengenai pengurus cabang-cabang dan perwakilan PWI disepakati untuk
sementara waktu lembaga-lembaga kepengurusan itu berada dalam status quo
sampai tercapainya pedoman dari Pengurus Pusat sesuai dengan tujuan integrasi.
Pengurus Pusat juga sependapat untuk segera meyelenggarakan Kongres PWI
87
Merdeka, 8 Maret 1971.
104
secepat mungkin untuk mempertanggungjawabkan integrasi tersebut sesuai
dengan pasal 22 Peraturan Dasar PWI. B.M Diah menyatakan bahwa integrasi ini
dilakukan atas kemauan sendiri dari kedua belah pihak, dan tidak ada campur
tangan dari pihak manapun.88
Sebagai lanjutan dari pernyataan integrasi pada tanggal 19 Maret 1971
diadakan pertemuan antara ketiga pihak yang berselisih di gedung PWI Pusat.
Mereka mengadakan persepakatan perdamaian berkenaan dengan integrasi yang
telah dicapai pada 6 Maret 1971. Ketiga pihak itu ialah PWI-Rosihan, PWI-Diah
dan Menpen yang diwakili oleh Tedjo Sumarto sebagai Kepala Biro Hukum
Departemen Penerangan. Hasil dari persepakatan perdamaian tersebut ialah PP
PWI Rosihan dan B.M. Diah akan bekerjasama bertindak keluar maupun kedalam
PWI sebagai “Satu Pengurus Pusat”.89
Bersatunya PWI dilanjutkan dengan serah
terima jabatan PP PWI lama kepada PP PWI baru yang belum dilaksanakan.
Upacara dilakukan pada tanggal 23 Maret 1971 di Kantor PWI Pusat dan dihadiri
oleh hampir seluruh pengurus hasil integrasi. Naskah serah terima kepengurusan
PWI ditandatangani oleh sembilan orang anggota pengurus, yaitu enam orang dari
pengurus baru dan tiga orang dari pengurus lama.90
Kepada cabang-cabang PWI yang turut mengalami perpecahan dalam
kepengurusannya diserukan agar mengadakan follow up integrasi di tingkat
cabang. PP PWI menyarankan diadakannya fusi atau penyatuan dari keseluruhan
unsur kedua Pengurus Cabang dengan penentuan kedudukan atau jabatan dan
88
Ibid. 89
Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 81-82. 90
Warta Berita, 28 Maret 1971.
105
pengaturan kerja menurut kebijaksanaan kolektif, dalam melaksanakan fusinya
kedua unsur Pengurus akan melakukan rapat anggota gabungan yang selanjutnya
akan menghasilkan kepengurusan yang baru.91
Setelah terjadi penggabungan pihak-pihak yang bertikai, PWI berusaha
meningkatkan konsolidasi dan profesionalisme wartawan. Hubungan di antara
pihak-pihak yang terlibat konflik kembali normal dan harmonis. Keadaan ini
terjadi karena konflik kepentingan yang melanda PWI menghasilkan win and win
solution di mana kedua belah pihak tetap berada pada posisinya masing-masing.92
Pada masa kepengurusan B.M. Diah dan Rosihan Anwar, PWI melaksanakan
program pendidikan bagi wartawan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan
kerja anggota PWI. Tahun 1971 PWI memulai program Karya Latihan Wartawan
yang bekerjasama dengan Deppen, diangkat Rosihan Anwar sebagai Direktur
program Karya Latihan Wartawan. Langkah integrasi yang dilakukan dua PP PWI
disempurnakan dalam Kongres PWI ke-XV di Tretes tahun 1973. Sebenarnya
masih kuat keinginan pengurus lama untuk bertahan, namun untuk menghindari
terjadinya konflik kembali maka kedua pihak tidak dicalonkan lagi.93
91
Angkatan Bersenjata, 29 Maret 1971. 92
Wirawan, op. cit., hl,, 126. 93
Afrizal Munir, op. cit., hlm 86.