bab iii laporan penelitian a. deskripsi wilayahrepository.radenintan.ac.id/1367/4/bab_iii.pdf ·...

25
BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Deskripsi Wilayah Desa Tunas Asri atau yang sekarang disebut denan Tiyuh Tunas Asri merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang Barat. Tiyuh Tunas Asri memiliki 6 (enam) Rukun Kampung, yang mayoritasnya masyarakatnya adalah suku Jawa, tetapi ada juga sebagian yang berasal dari suku Lampung, Sunda. Sesuai dengan hasil musyawarah Perangkat Tiyuh Tunas Asri dan tokoh masyarakat, maka telah ditentukan luas dan batas wilayah Tiyuh Tunas Asri adalah sebagai berikut: 1. Luas wilayah Tiyuh Tunas Asri mencapai 1.158 ha. 2. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mulya Asri Kecamatan Tulang Bawang Tengah b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Batin Kecamatan Terusan Nyunyai c. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Batin Kecamatan Terusan Nyunyai d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Margo Mulyo Kecamatan Tumijajar 3. Ketinggian dari permukaan laut 728 Ha/m2 4. Banyaknya curah hujan 2.500 mm 5. Topografi a. Dataran rendah 720 Ha b Berbukit - C Aliran sungai 405 Ha Berdasarkan tabel diatas bahwa sebagian besar wilayah di Tiyuh Tunas Asri adalah dataran rendah, yang biasanya terdapat banyak rawa-rawa atau sungai, yang bisa dijadikan area persawahan oleh para masyarakat. 6. Suhu udara rata-rata 27-30 ha/m2

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB III

    LAPORAN PENELITIAN

    A. Deskripsi Wilayah Desa Tunas Asri atau yang sekarang disebut denan

    Tiyuh Tunas Asri merupakan salah satu desa yang ada di

    Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang

    Bawang Barat. Tiyuh Tunas Asri memiliki 6 (enam) Rukun

    Kampung, yang mayoritasnya masyarakatnya adalah suku

    Jawa, tetapi ada juga sebagian yang berasal dari suku

    Lampung, Sunda.

    Sesuai dengan hasil musyawarah Perangkat Tiyuh

    Tunas Asri dan tokoh masyarakat, maka telah ditentukan

    luas dan batas wilayah Tiyuh Tunas Asri adalah sebagai

    berikut:

    1. Luas wilayah Tiyuh Tunas Asri mencapai 1.158 ha. 2. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

    a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mulya Asri Kecamatan Tulang Bawang Tengah

    b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Batin Kecamatan Terusan Nyunyai

    c. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Batin Kecamatan Terusan Nyunyai

    d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Margo Mulyo Kecamatan Tumijajar

    3. Ketinggian dari permukaan laut 728 Ha/m2 4. Banyaknya curah hujan 2.500 mm 5. Topografi

    a. Dataran rendah 720 Ha

    b Berbukit -

    C Aliran sungai 405 Ha

    Berdasarkan tabel diatas bahwa sebagian besar

    wilayah di Tiyuh Tunas Asri adalah dataran rendah, yang

    biasanya terdapat banyak rawa-rawa atau sungai, yang

    bisa dijadikan area persawahan oleh para masyarakat.

    6. Suhu udara rata-rata 27-30 ha/m2

  • 52

    7. Keadaan penduduk Tiyuh Tunas Asri a. Luas wilayah Tiyuh

    : 1.158 Ha

    1 Luas pemukiman 536 Ha

    2 Luas persawahan 282 Ha

    3 Luas perkebunan 28 Ha

    4 Luas pemakaman 1,8 Ha

    5 Luas pekarangan 192 Ha

    6 Luas perladangan 47.5 Ha

    7 Luas taman -

    8 Luas perkantoran 1,5 Ha

    9 Luas jalan 181 Ha

    10 Luas prasarana dan lainnya 2,58 Ha

    Dengan melihat tabel diatas, dapat dilihat bahwa

    sebagian besar masyarakat Tiyuh Tunas Asri

    berprofesi sebagai petani, dengan luasnya daerah

    persawahan yang mereka miliki mereka dapat

    menanam berbagai macam tanaman yang dapat

    memberikan penghasilan bagi mereka, misalnya

    padi, singkong, sayuran, ataupun karet yang dapat

    tumbuh di berbagai kondisi tanah.

    Selain sebagai petani sebagaian masyarakat

    memiliki pekarangan yang cukup luas sehingga

    memungkinkan mereka untuk mempunyai ternak

    yang dapat mempunyai nilai jual yang memumpuni.

    Diantara ternak yang mereka miliki antara lain, sapi,

    kambing, ayam, wallet, dan lain sebagainya. Dengan

    adanya kualitas ekonomi yang baik maka dapat

    memungkinkan bagi mereka yang ingin berpoligami

    dengan tidak ada ketakuan untuk menelantarkan istri

    serta anak mereka, dalam arti dapat mencukupi

    semua kebutuhan lahir untuk istri dan anak mereka.

    b. Orbitasi

    1 Jarak ke ibukota kecamatan 30 km

    2 Lama jarak tempuh ke ibukota

    kecamatan

    60 menit

  • 53

    3 Jarak ke ibukota kabupaten 30 km

    4 Lama jarak tempuh ke ibukota

    kabupaten

    60 menit

    5 Jarak ke ibukota provinsi 98 km

    6 Lama jarak tempuh ke ibukota

    kabupaten

    180 menit

    c. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

    1 Jumlah penduduk 4.713 jiwa

    2 Kepala keluarga 1286 kk

    3 Laki-laki 2312 orang

    4 Perempuan 2401 orang

    Dari tabel c dapat dilihat bahwa seluruh

    penduduk Tiyuh Tunas Asri sebanyak 4.713 jiwa,

    yang lebih banyak perempuan. Melihat dari tabel

    diatas banyak dari masyarakat khususnya yang

    tergabung dalam ormas LDII memungkinkan

    anggotanya yang ingin berpoligami. Walaupun tidak

    semua istri berasal dari tiyuh Tunas Asri. Ada yang

    berasal dari luar desa, Kecamatan, Kabupaten,

    bahkan Provinsi di seluruh Indonesia.

    d. Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan

    1 Pegawai Negri Sipil 35 orang

    2 Buruh tetap 693 orang

    3 Buruh tidak tetap 849 orang

    4 Pengusaha 20 orang

    5 Pengrajin 1 orang

    6 Peternak 162 orang

    7 Petani 1278

    orang

    8 Pedagang 183 orang

    9 Pertambangan 18 orang

    10 Pensiunan/purnawirawan 2 orang

    11 Montir 10 orang

    12 Bidan 2 orang

    13 Perawat 2 orang

  • 54

    14 Karyawan 126 orang

    Dari data pekerjaan diatas, mayoritas penduduk

    adalah seorang petani, walaupun tidak semuanya

    menjadi petani mutlak. Tapi ada juga yang

    mempunyai pekerjaan sambilan seperti menjadi

    buruh di pabrik. Yang dapat menjamin

    perekonomian mereka. Sehingga apabila mereka

    berpoligami, maka tidak ada keraguan untuk

    mentelantarkan anak-anak dan istri-istri mereka.

    e. Jumlah penduduk menurut agama

    1 Islam 4616 orang

    2 Kristen 90 orang

    3 Katolik 3 orang

    4 Hindu 4 orang

    5 Budha -

    Mayoritas agama yang dimiliki masyarakat

    Tiyuh Tunas Asri adalah Islam, bahkan lebih dari

    85% dari jumlah keseluruan masyarakat desa yang

    memungkinkan mereka untuk memaklumi adanya

    poligami. Yang memang ditunjang oleh ormas LDII

    yang melegalkan poligami itu sendiri, walaupun

    tidak semua warga masyarakat yang menerima

    adanya poligami.

    f. Jenis suku

    1 Jawa 4581 orang

    2 Sunda 52 orang

    3 Lampung 21 orang

    g. Aparat pemetintahan 1) Kepala Tiyuh/Desa 2) Sekertaris Tiyuh

  • 55

    3) Kepala Urusan Pemerintahan 4) Kepala Urusan Pembangunan 5) Kepala Urusan Pemberdayaan Masyarakat 6) Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat 7) Kepala Urusan Umum 8)

    h. Kondisi Demografis 1) Berdasarkan pendidikan

    1 SDN/MIN 529 orang

    2 SMPN/MTs 46 orang

    3 SMAN/MAN 17 orang

    4 SMKN 11 orang

    5 Putus Sekolah 17 orang

    2) Sarana pendidikan

    1 TK/Paud 2 buah

    2 SD/Sederajat 3 buah

    3 SLTP/MTS -

    4 SMA/MAN -

    3) Sarana Peribadatan

    1 Masjid 6 unit

    2 Surau/Langgar 12 unit

    3 Gereja Katolik 2 unit

    4 Vihara

    5 Pura

    4) Bidang Kesehatan Dalam meningkatkan pengetahuan dan

    kehidupan masyarakat di bidang kesehatan telah

    dilaksanakan hal-hal sebagai berikut:

    a) Mengadakan kegiatan kerja bakti dalam rangka meningkatkan kesehatan lingkungan

    b) Membentuk POSYANDU untuk meningkatkan gizi dan pemeliharaan

    kesehatan anak.

  • 56

    i. Data Anggota LDII

    No. Pria 178

    1 Wanita 256

    2 Total 434

    Dari data diatas, 54 anggota LDII berpoligami

    atau lebih dari 30% anggota LDII di Desa Tunas

    Asri.

    B. Sejarah Berdirinya Lembaga Dakwa Islam Indonesia (LDII)

    1. Kelahiran Lemkari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) adalah

    suatu oganisasi masyarakat yang bercikal bakal dari

    Lemkari. Lemkari lahir setelah pemilu 1971 yang

    dimenangi oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar.1

    Keberhasilan Golkar tersebut tak bisa dilepaskan dari

    sosok K.H. Nurhasan yang membantu

    mengkampanyekan golkar. Seperti diketahui bahwa

    menjelang pemilu 1971, partai-partai islam mengalami

    masa-masa sulit karena tekanan dari Orde Baru yang

    ingin menegakan ideologi Pancasila. Disaat gerakkan

    umat Islam nyaris mati suri, tiba-tiba Mudijomo datang

    dengan ide menghidupkan sosialisme Islam. Mudijmo

    dan para kader PSI lain saat itu meliat umat Islam

    merupakan kelompok terbelakang sehingga tidak mampu

    berfikir kritis. Ia berfikir bahwa sosialisme harus

    menyentuh masyarakat. Oleh karena mayoritas

    penduduk Indonesia beragama islam, logikannya aktivis

    sosialis harus masuk ke dalam kelompok Islam. Bersama

    Sudirman, Mudijomo mengkritisi para santri yang

    hidupnya tradisional dan tidak memiliki kendaraan

    politik. Pemerintah Orde Baru sendiri menekan ormas-

    1 Apri Yadi, Cinta Alam Indonesia Permata XXXV, (t.tp, t.p, 2014),

    h. 2

  • 57

    ormas Islam untuk tidak mengurusi politik tetapi lebih

    fokus untuk mengurusi agama.2

    Dalam kondisi seperti itu Mudijomo membuat

    Islamic Study Club (ISC) dengan tujuan untuk

    membangun kesadaran umat islam dalam berpolitik.

    Sementara itu Sudirrman membentuk Perguruan Tinggi

    Dakwah Islam (PTDI). Namun demikian, antara

    Mudijomo dan Sudirman tidak menemui titik temu.

    Mudijomo tidak sepakat gerakan membangun umat

    islam diformalkan, karena sifatnya gerakan.3

    Sekitar tahun 1967 datanglah seorang mubaligh

    bernama Bronto yang ingin melamar menjadi pengajar di

    ISC. Mudijomo mengatakan kepada Bronto, bahwa

    dalam gerakan membangun umat Islam tidak ada

    bayaran. Bahkan, bila berdakwah di desa, mubaligh

    harus menghidupi diri sendiri dengan bekerja. Hal itu

    tidak menjadi masalah bagi Bronto. Mudijomo terpesona

    dengan keteguan Bronto. Sejak pertemuan itu dimulailah

    serangkaian diskusi. Kompleksnya permasalahan agama

    dan politik dalam diskusi itu mendorong Bronto untuk

    memperkenalkan gurunya yang bernama K.H. Nurhasan

    kepada Mudijomo. Mudijomo mengungkapkan

    pandangan-pandangan politikya kepada K.H. Nurhasan,

    bawa umat Islam harus memiliki kesadaran untuk

    berorganisasi untuk meraih cita-cita bersama. Mudijomo

    menginginkan umat Islam yang maju dan mandiri.

    Pandangan Mudijomo ini menjadi diskusi yang panjang,

    sebab K.H. Nurhasan mengimbanginya dengan sudut

    pandang Al-Qur’an dan Al-Hadits.

    Hubungan intensif dengan K.H. Nurhasan, membuat

    Mudijomo merasa ISC berjalan kearah yang tepat.

    Sebaliknya di pengajian yang diselenggarakan oleh K.H.

    Nurhasan, Mudijomo berperan sebagai peasihat politik.

    Hubungan yang saling menguntukan ini menjadi

    2 W.F. Werthein, Islam In Indonesia: Ten Years Military Terror In

    Indonesia (London : Spokesman Books, 1975), h. 88 3 Op.Cit , h. 2

  • 58

    perbincangan di kalangan aktivis mantan anggota PSI.

    Di mata koleganya, keterlibatan Mudijomo dengan

    pengajian K.H. Nurhasan menjadi semacam contoh

    konkrit gerakan sosialisme kerakyatan dengan mendekati

    kelompok Islam. Mudijomo memperoleh simpati dari

    kader PSI lain perihal kesuksesannya itu. Selanjutnya

    Mudijomo mengajak koleganya, kader-kader muda dari

    PSI meramaikan masjid K.H. Nurhasan. Dengan

    demikian kegiatan ISC di masjid K.H. Nurhasan di

    Burengan, Kediri semakin ramai. Meskipun demikian,

    ISC masih tetap merupakan sebuah gerakan yang bersifat

    non-formal sebagaimana yang dimaksudkan oleh

    Mudijomo.

    Ketika kolaborasi K.H. Nurasan dengan para aktivis

    PSI seperti Edy Masaidi, Cak Kadarusman (seniman

    Surabaya), Tri Dayat, Gatot Koesoemo, Sedino (Ketua

    PWI Kota Kediri) dan Mudijomo, Muhammad Alwi dari

    PSII srta Kuntjoro Kaseno dari PNI sedang dibuai

    semangat, tiba-tiba pada 1969 terdengar desas-desus

    bahwa pengajiannya akan dibasmi dan K.H.Nurhasan

    serta para pengikutya akan dibunuh. Apalagi sejak

    pembubaran JPID pada 1968 praktis pengajian K.H.

    Nurasan tanpa diwadahi dalam suatu organisasi. Hal itu

    bisa dianggap sebagai organisasi liar atau organisasi

    tanpa bentuk, sehingga kegiatannya pun juga dianggap

    liar.

    Sementara itu, Sekber Golkar membutukan bantuan

    umat Islam unuk memenangkan Pemilu yang waktu itu

    direncanakan akan dilaksanakan pada 1971. Sekber

    Golkar sadar, mereka tidak akan menang di Jawa Timur

    karena wilayah iu adalah wilayah Soekarnois dan

    Islamis. Rupannya titik terang justru datang dari Sekber

    Golkar. Untuk kebutuhan menggandeng umat Islam,

    pada tahun 1970 Bupati Nganjuk Soeprapto, BA dan

    Pangdam Brawijaya Mayjen Wijojo Sujono menwarkan

    kepada K.H. Nurhasan untuk merapat ke Sekber Golkar.

    Untuk urusan bergabung ke Sekber Golkan keduannya

    merekomendasikan Mudijomo dan Edy Masaidi menmui

  • 59

    Mayjen Amir Moertono. Mudijomo dan Edy Masaidi

    mendekati Mayjen Amir Moertono berasal dari Desa

    Pelem, Kecamatan Kertosono, sama dengan Edy

    Masaidi. Keduannya bahkan berkawan akrab. Rumah

    keluarga Amir Moertono hanya berjarak 500 meter dari

    rumah keluarga K.H. Nurhasan. Kedua santri K.H.

    Nurhasan itu menyatakan kepada sang Jendral, bahwa

    pengajian K.H. Nurhasan idak layak dibubarkan, sebab

    sama sekali jauh dari urusan politik. Keduannya juga

    meyakinkan Amir Moertono, bergabungnnya K.H.

    Nurhasan bisa memperkuat Sekber Golkar untuk meraih

    suara sebanyak-banyakya di Jawa Timur.

    Tawaran Mudijomo dan Edy Masidi tidak bertepuk

    sebelah tangan. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa

    sejak 1967 Sekber Golkar ditinggalkan 13 ormas Islam:

    Muammadiyah, Al Jamiatul Wasliah, Gasbindo

    (Gabungan Serikat Buru Islam Indonesia), Nahdlatul

    Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam

    Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka

    (KBIM), Persatuan Umat Islam, Persatuan Organisasi

    Buruh Islam se-Indonesia (PORBISI), Himpunan Seni

    Budaya Islam (HSBI), Pembina Imam Tauhid Islam

    yang kemudian beruba menjadi Persatuan Islam

    Tionghoa Indonesia (PITI), Al Irsyad dan Wanita Islam.

    Dalam situasi seperti itu, dengan sendirinya Sekber

    Golkar akan kehilangan kaki dari para pemilih santri.

    Oleh sebab itu K.H. Nurhasan yang juga memiliki santri

    yang militant merupakan kekuatan yang potensial untuk

    mendulang suara dari sebagian kalangan santri.

    Mayjen Amir Moertono menawarkan K.H.

    Nurhasan dan para pengikutnya masuk ke dalam Sekber

    Golkar, dengan syarat K.H. Nurhasan dapat menunjukan

    loyalitas terhadap Sekber Golkar, bukan sebagai oposisi.

    Permintaan ini direspon oleh K.H. Nurhasan dengn

    membantu pemenangan Sekber Golkar di Jawa.

    Komitmen ini ditunjukkan oleh K.H. Nurhasan saat

    menghadap Presiden Soeharto di Jakarta. Untuk imbalan

    membantu pemenangan Sekber Golkar, K.H. Nurhasan

  • 60

    meminta pemerintahan menjaga dan menjamin

    kebebasan untuk melaksanakan ibadah. Presiden

    Soeharto dan Sekber Golkar menyanggupinnya. Namun

    demikian pilian bergabung dengan Sekber Golkar

    bukannya tanpa resiko. Ketika semua umat Islam

    merapatkan diri kepada partai Islam, untuk melawan

    dominasi partai-partai nasionalis sekuler, justru K.H.

    Nurhasan memihak kepada Sekber Golkar.4

    Setelah keluarnya surat keputusan Kejaksaan Agung

    itu, K.H. Nurhasan menyatakan mengundurkan diri atau

    menarik diri dari segala aktifitas pengajaran di Pesantren

    Burengan, Kediri. Apalagi setelah penahanan di Malang

    oleh Polisi Militer, kesehatan K.H Nurhasan merosot

    drastis. Kondisi K.H. Nurhasan yang tidak sanggup lagi

    memipin pesantren dan mengkoordinir pengikutnya di

    seluruh Indonesia, serta adanya golongan generasi muda

    yang ingin melakukan moderenisasi dalam dakwah Islam

    yang mendorong Drs. Nurhasjim, R. Eddy Masiadi, Drs.

    Bahroni Hartanto, Soetojo Wirjoatmodjo B.A., dan

    Wijiono B.A., membentuk organisasi untuk menampung

    dan membina pengikut K.H. Nurhasan. Kemudian K.H.

    Nurhasan secara ikhlas menyerahkan pengelolaan

    sekaligus mewakafkan pesantrennya kepada pengurus

    organisasi yang akan dibentuk.

    Kelompok muda inilah yang kemudian membentuk

    Yayasan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada 3

    Januari 1972 dengan Akta Notaris Mudijomo tanggal 3

    Januari 1972 Nomor 1, yang kemudian diperbaharui

    dengan Akta Notaris Mudijomo tanggal 27 Juli 1972

    tentang pembetulan Akta tanggal 3 Januari 1972 Berisi

    Pembetulan Tanggal Pendirian Lemkari, mejadi tanggal

    1 Juli 1972. Tujuan organisasi ini adalah membina para

    pengikut dan murid K.H. Nurhasan untuk kembali

    menjalankan syariat Islam seperti yang dihimbau oleh

    Kejaksaan Agung. Nama ini merupakan usulan Mayjen

    4 Informasi ini bisa dibaca dalam karya Hilmi Muhammadiyah, LDII

    : Pasang Surut Relasi Agama dan Negara (Jakarta: Elsas, 2013), h. 202-240

  • 61

    TNI Widjojo Sujono yang kebetulan menjadi Ketua

    Umum Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI)

    yang membawahi Lembaga Karate-Do Indonesia

    (Lemkari). Para matan murid K.H. Nurhasan sempat

    menyatakan bimbang dengan nama Lemkari. Mayjen

    TNI Widjojo Sujono menyatakan: “Agar orang tau juga,

    bahwa Lemkari itu saya yang mendirikan yaitu Lembaga

    Karate-Do Indonesia yang juga disingkat Lemkari.”

    Di dalam mottonya, Lemkari menunjukan sikap

    mereka dalam berdakwah yang lebih toleran dan

    mnghargai keyakinan orang lain. Lemkari membawa

    semangt baru, dakwah tanpa kekerasan atau tanpa

    menghujat pihak lain yang sering dituduhkan kepada

    K.H. Nurhasan dan para santrinya. Sikap ini juga

    sekaligus menegaskan bahwa organisasi baru ini adalah

    organisasi Islam yang nasionalis dan mendukung

    Pancasila dan UUD 45.

    2. Lemkari : Dari Pembina Pengikut Islam Jama’ah Menjadi Organisasi Dakwah

    Lemkari sebagai orgaisasi yang masih muda

    menanggung beban sejarah yang berat. Tugas membina

    para murid K.H. Nurhasan bukanlah tugas ringan. Selalu

    terjadi perbedaan persepsi antara paradigm lama dengan

    yang baru mengenai kultus individu, eksklusifitas, dan

    pemahaman terhadap ajaran K.H. Nurhasan yang

    disesuaikan dengan perkembangan zaman.

    Penataan diri untuk menyamakan persepsi

    bagaimana Lemkari di masa mendatang menjadi ide

    dasar mengumpulkan para mantan murid Pesantren

    Burengan. Perhelatan yang bertema temu kangen alumni

    Pondok Pesantren Burengan itu diadakan pada 9-10

    Februari 1975 di Pondok Pesantren Burengan, yang

    dihadiri oleh Mayjen TNI H. Amir Moertono, SH, ketua

    Umum Golkar. Pertemuan ini dihadiri oleh Sembilan

    perwakilan provinsi dari seluruh Indonesia. Pada

    akhirnya, acara ii menjadi semacam rekonsiliasi berbagai

    perbeaan pendapat. Secara aklamasi para alumni

  • 62

    Pesantren Burengan, Kediri, menyatakan diri bergabung

    dengan LEMKARI.

    Tanpa disadari peristiwa itu justru menjadi Mubes

    (Musyawarah Besar) pertama bagi Lemkari. Para peserta

    menyepakati memilih R. Eddy Masiai menjadi Ketua

    Direktorium Pusat dan M. Noer Ali terpilih sebagai

    sekertaris. Keuntungan lain, oleh karena para peserta

    Mubes dari berbagai provinsi, keputusannya merupakan

    kebijakan organisasi seutuhnya. Akhirnya disepakati

    pula, LEMKARI di dalam menjalankan fungsi dakwah

    dan pendidikan, bukan lagi bersifat kedaerahan tapi

    menuju tingkat nasional dengan perwakilan di seluruh

    Indonesia. Meskipun demikian, direktorium pusat

    Lemkari tetap berkedudukan di Pondok Pesantren

    Burengan, Jalan HOS Cokroaminoto No. 195, Kediri,

    Jawa Timur. Dalam hal ini mantan pengurus JPID tidak

    semuanya bergabung ke dalam Lemkari. Di Jakarta

    misalnya, mereka membentuk Karyawan Dakwah Islam

    (Kadim), di Jawa Barat dibentuk Lembaga Karyawan

    Dakwah Islam (LKDI), dan di Jawa Tengah dibentuk

    Yayasan Karyawan Islam (YAKARI), serta di

    Kalimantan Selatan KARTI.

    Para pengurus Lemkari beritikad akan mengubah

    fanatisme para pengikut K.H. Nurhasan yang bergabung

    dalam organisasi Lemkari, dan membina mereka sesuai

    harapan pemerintah. Namun Amir Moertono, Ketua

    Umum Golkar saat itu terus mengingatkan kepada

    masyarakat, bahwa pembinaan ini memerlukan proses.

    Tidak mungkin secepat kilat dan butuh kesabaran. Dia

    minta kesabaran dan pemakluman masyarakat bila ada

    anggota Lemkari yang masih berprilaku seperti pengikut

    K.H. Nurhasan. Semua butuh proses, begitu

    penekanannya. Hal itu disampaikan dalam berbagai surat

    keputusan yang berhubungan dengan Lemkari di

    kemudian hari.

    Hubungan Lemkari dan Golkar semakin dekat.

    Berdasarkan rekomendasi Panglima Komando Operasi

    Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah

  • 63

    (Pangkopkamtibda) Jawa Timur No. STR

    54/KAMDA/4/1973 yang resmi turun pada 2 April 1973

    dan rekomendasi ari DPD Golkar Jawa Timur No. STR

    01/GOLKAR/1974, Lemkari secara resmi menjadi

    organisasi yang terhimpun dalam Golkar. Lemkari

    merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang

    pertama kali masuk ke dalam tubuh Golkar. Meskipun

    begitu, Lemkari tetap menjadi sasaran fitnah.

    Jika terjadi persoalan terhadap Lemkari, biasanya

    Golkar turun tangan. Inilah yang menyebabkan DPP

    Golkar mengeluarkan surat bernomor PB-

    /GPLKAR/I/1976 pada 13 Januari 1976. Surat ini

    membantah bahaw Lemkari adalah kelanjutan JPID.

    Golkar perlu memberi penjelasan kepada masyarakat,

    sebab tidak bisa dipungkiri, K.H. Nurhasan dan para

    pengikutnya memiliki andil besar dalam pemenangan

    Golkar terutama di Jawa Timur.

    Perkembangan selanjutya pada 10-12 Juni 1981,

    diadakan Musyawarah Besar (Mubes) Lemkari yang

    kedua bertmpat di Gedung Grnaa, Jakarta, yang diwakili

    19 perwakilan tingkat I. Para peserta mubes pada

    akhirnya memutuskan untuk berdakwah dalam skala

    yang lebih luas. Artinya Lemkari bukan hanya milik

    karyawan yang awalnya Lembaga Karyawan Islam

    diubah menjadi Lembaga Karyawan Dakwah Islam.

    Mubes ini membawa semangat pembaharuan dalam

    metode dakwah. Para pengurus Lemkari menyepaati

    tema Mubes saat itu adalah “Peningkatan Metodologi

    Dakwah dalam Rangka menunjang Pembinaan Trilogi

    Kerukunan Hidup Beragama serta Partisipasi Umat

    Beraagama dalam Menyukseskan Pembangunan

    Bangsa.”

    Mubes saat itu menegaskan, Lemkari sebagai

    lembaga pendidikan kegamaan dan kemasyarakatan terus

    menjaga citranya, yang dirumuskan ke dalam kerangka

    tri daya guna/fungsi. Fungsi pertama, Lemkari sebagai

    pendidikan dakwah dakwah keagamaan dan fungsi

    kedua, sebagai pendidikan kemasyarakatan, menuntut

  • 64

    agar senantiasa memberikan pendidikan nilai dan akhlak

    kemanusiaan yang luhur, meningkatkan kecerdasan dan

    kreatifitas masyarakat, tanpa memandang golongan dan

    lapisan masyarakat, memberikan ilmu-ilmu yang dapat

    langsung diamalkan, melalui metode yang praktis,

    sehingga masing-masing warga Lemkari dalam

    masyarakat tetap utuh dan terpelihara kepribadiannya

    selaku insane pancasila. Ketiga, sebagai pengembang

    potensi Golkar, maka Lemkari senantiasa berusaha

    memperluas dan memasyakatkan gagasan-gagasan

    pembangunan agar segenap lapisan masyarakat dapat

    mengerti, serta membina potensi budidaya masyarakat,

    bersatu dalam barisan Orde Baru dalam Keluarga besar

    Golongan Karya.

    Lemkari menegaskan kembali, bahwa kerukunan

    antar umat beragama merupakan salah satu prinsip

    dakwah Lemkari. Salah satu pikiran dalam kelompok-

    kelompok dakwah itu, Lemkari mengkarapkan; (a) setiap

    umat islam menghilangkan sifat fanatisme buta; (b)

    menghilngakan sifat tak peduli atas hak dan perasaan

    orang lain; (c) membentuk sifat lapang dada,

    keterbukaan dan toleransi, tanpa harus menjadi

    sinkretetis yang dibuat-buat sehingga merusak nilai

    agama itu sendiri. Sebagai keluarga besar Golkar, dalam

    Mubes itu Lemkari mengeluarkan pernyataan siap

    mendukung dan memenangkan Golkar dalam Pemilu

    1982.

    Untuk menyesuaikan kebijakan organisasi yang

    bersifat nasional ini, direktorium atau kantor pusat

    Lemkari dipindah, dari Kediri ke Jakarta. Lokasi kantor

    pusat terletak di jalan Tanah Abang IV/51, Jakarta pusat.

    Mubes yang dihadiri 13 perwakilan propinsi ini kembali

    memilih R. H. Eddy Masiadi sebagai Ketua Umum dan

    Drs. H. Sjamsudin Zahar sebagai Sekertaris.

    Pada 1986, sebanyak 19 perwakilan provinsi

    bertemu kembali mengadakan Mubes Lemkari ketiga.

    Peristiwa ini terjadi pada 2-4 Mei 1986. Mubes kali ini

    menjadi penting karena lahirnya Undang-undang No. 8

  • 65

    Tahun 1986 yang mengatur mengenai keormasan.

    Undang-undang ini mewajibkan semua ormas harus

    berasaskan Pancasila dalam anggaran dasar organisasi.

    Dalam mubes ini dipilih Drs. H. Ahmad Suarno sebagai

    Ketua Umum dan Drs. Sjamsuddin Zahar sebagai

    Sekertaris Jendral. Direktorium pusatnya pun berpindah

    dari Tanah Abang ke Jalan Tawakal IX/13-15, Jakarta

    Barat.

    Setelah Mubes kedua tahun 1986, perkembangan

    Lemkari sangat cepat. Dalam waktu singkat, perwakilan

    Lemkari berkembang dari 19 Provinsi pada 1986

    menjadi 26 provinsi pada tahun 1989. Perkembangan

    yang pesat ini barangkali mencengangkan ormas islam

    yang lain. Kecurigaan itu memuncak dengan

    dibekukannya kepengurusan Lemkari Jawa Timur oleh

    gubernur Jawa Timur, Soelarso, pada 24 Desember 1989

    dengan Surat Keputusan Nomor 612 Tahun 1989 tentang

    Pembekuan Pengurus Perwakilan Lemkari Provinsi

    Daerah Tingkat 1 Jawa Timur.

    Surat keputusan tersebut sangat mengejutkan para

    pengurus Lemkari Jawa Timur karena biasanya SK

    sepenting itu diawali melalui teguran, lalu peringatan

    kedua terlebih dahulu. Bila masi belum ada perubahan

    barulah dilakukan pembekuan, atau semacamnya. Akan

    tetapi yang terjadi sebaliknya, peringatan pertama

    langsung disusul pembekuan, tanpa waktu yang

    memadai untuk konsolidasi pengurus Lemkari. Meski

    terkesan buru-buru, rekomendasi pembekuan pengurus

    Lemkari Jawa Timur ternyata dating atas usulan MUI

    Jawa Timur dan Mayor Jendral TNI Sugeng Subroto,

    Pangdam V Brawijaya selaku Ketua Bakortranasda.

    Selain tuduhan Lemkari memicu ketidak rukunan antar

    umat beragama, juga mempermasalahkan Lemkari masih

    eksklusif.

    Padahal sebetulnya pangkal masalah bersumber dari

    perebutan warisan berupa masjid di Dusun Sumber

    Agung, Desa Kresek, Kediri, Jawa Timur, antara K.H.

  • 66

    Toha, salah satu warga Lemkari dengan keluarganya

    yang kebetulan warga NU.

    3. Kelahiran LDII Ketika kepengurusaan Lemkari perwakilan tinggkat

    1 Jawa Timur dibekukan, Direktorium pusat Lemkari di

    Jakarta berencana mengelar Mubes ke-empat yag pada

    ahirnya di hadiri oleh 26 provinsi. Meskipun telah

    mengalami perkembangan pesat, namun masih ada

    anggapan Lemkari belum sepenuhnya mengatur

    anggotanya yang dianggap menganut idiologi Islam

    Jama’ah. Selain itu dengan berdiri di bawah naungan

    Golkar, tentu Lemkari bersebraan dengan ormas

    pendukung partai Islam. Kebanyakan ormas-ormas Islam

    saat itu menyalurkan aspirasi politiknya ke dalam Partai

    Persatuan Pembangunan (PPP). Masalah partisan

    terhadap partai inilah yang merupakan salah satu pemicu

    berkembangnya kontoversi dan kesan eksklusif.

    Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat

    kepengurusn hasil Mubes Lemkari ke-tiga segera

    menyelenggarakan Mubes keempat. Untuk itu

    pendekatan intensif dilakukan dengan Menteri Dalam

    Negeri Rudini.

    Diskusi dan konsultasi dengan Rudini membuahkan

    ide-ide segar untuk menyempurnkan keberadaan

    Lemkari. Bahkan Rudini menganjurkan Lemkari

    mengubah nama karena nama Lemkari mirip dengan

    lembaga Karate-Do Indonesia yang juga disingkat

    dengan sebutan Lemkari, dimana Rudini juga menjabat

    sebagai ketua umum. Perubahan nama tersebut sekaligus

    juga mengubah visi-misi Lemkari agar lebih profesional

    inklusif, dan lebih berwawasan nasional. Hal ini sesuai

    dengan cangkupan cabang Lemkari yang telah tersebar

    di 26 provinsi di Indonesia.

    Dari pertemuan dengan Rudini itu, akhirnya lahirlah

    nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau LDII.

    Nama itu segera mencuat dalam Mubes Lemkari

    keempat yang digelar pada 19-20 November 1990 di

  • 67

    Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Mubes kali ini

    dihadiri Menteri Dalam Negeri Rudini dan Ketua Umum

    DPP Golkar, Wahono. Dalam Mubes itu, secara terbuka

    Suarno menyebut perkembangan yang sebelumnya

    memiliki 19 perwakilan menjadi 26 perwakilan di

    seluruh Indonesia bukan karena kehebatannya sebagai

    Ketua Umum atau pimpinan kolektif Dirpus Lemkari,

    namun karena bantuan pemerintah. Posisi ini

    menunjukan, Golkar memegang peranan dalam

    perkembangan Lemkari. Lemkari menyadari benar

    hingga ketika Suarno tidak berminat mencalonkan

    dirinya kembali, para pegurusnya memberikan jaminan

    siapapun Ketua Umum yang terpilih akan menyalurkan

    aspirasinya ke Golkar. Barangkali hal ini bisa dikatakan

    sebagai balas budi Lemkari atas kerjasamanya dengan

    Golkar. Rudini menyambut baik prakarsa pergantian

    nama dari Lemkari menjadi LDII. Dengan harapan,

    perganian nama tersebut semakin lebih sesuai dengan

    ruang lingkup kegiatan yang diminati, serta sifat

    kekhususan yang melekat pada organisasi sekaligus juga

    menunjukan keorganisasiannya. Dalam sambutannya, ia

    menyatakan:

    “Saya menilai bahwa prakarsa itu sangat tepat

    agar dapat menghilangkan keracunan dalam hal

    nama. Berhubung nama “Lemkari” ini juga telah

    dipakai terlebih dahulu oleh organisasi

    kemasyarakan lainnya, yang mempunyai kegiatan

    di bidang olahraga Karate. Karena organisasi ini

    mempunyai komitmen dengan kegiatan dakwah

    Islam, maka gagasan untuk menyempurnakan

    nama Lembaga Karyawan Dakwah Islam

    Indonesia akan semakin memperjelas identitas

    organisasi.”

    Dalam salah satu sidang untuk memilih Ketua

    Umum yang dipimpin oleh Prasetyo Soenaryo dan

    Kemal Taruc salah seorang utusan Jawa Timur yang

    bernama Supriasto, SH, mengusulkan akan diadakan

  • 68

    pemilihan langsung ketua umum. Usul ini diterima

    secara bulat oleh pesertaa. Selanjutnya terpilihlah H.

    Hartono Slamet sebgai Ketua Umum DPP LDII dan H.

    Syamsuddin Zahar sebagai Sekertaris Jenderal.

    Dengan demikian perubahan nama resmi dari

    Lemkari menjadi LDII terjadi pada 20 November 1990.

    Perubahan nama juga berimplikasi pada perubahan

    struktur organisasi. Bila Lemkari susunan organisasinya

    identik dengan dunia pendidikan, LDII mengubah

    struktur organisasinya mirip dengan struktur organisasi

    Golkar. Hal ini dapat dipahami karena struktur

    organisasi Golkar sudah apan dan dapat mencukupi

    seluruh kebutuhan organisasi. Mungkin hal ini

    merupakan pengaruh Golkar yang cukup besar dalam

    tubu Lemkari, terlihat dari beberapa pengurus Lemkari

    menjadi kader Golkar di berbagai daerah.

    Di tingkat Provinsi, perwakilan Lemkari disebut

    Perwakilan Daerah Tingkat I, sedangkan LDII

    menyebutnya sebagai Dewan Pimpinan Daerah Tingkat

    I, yang dipilih oleh musyawarah daerah tingkat I, dan

    disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat. Demikian pula

    perwakilan di kabupaten/kota. Lemkari menggunakan

    istilah Senat di Daerah Tingkat II, sedangkan LDII

    menyebutnya sebagai Dewan Pimpinan Daerah Tingkat

    II dan disahkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I.

    Dengan adanya semangat perubahan ini beberapa

    penjabat mulai menaruh simpati. Bahkan pada 8 Januari

    1992, Sularso, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat

    pembekuan kepengurusan Lemkari pada 1989, berkenan

    hadir memberikan sambutan di Pondok Pesantren LDII

    di Kediri, mendampingi kunjungan kerja Rudini, Menteri

    Dalam Negeri. Tiga tahun kemudian, pada 27 Juni 1995,

    DPD Tingkat I Jawa Timur semakin dapat legitimasi

    dengan kunjungan Mayor Jendral TNI Imam Utomo,

    Panglima Kodam V Brawijaya pada acara Perkemahan

  • 69

    Cinta Alam Indonesia (CAI) di Bumi Perkemahan

    Kumbokarno, Wonosalam, Jombang, Jawa Timur.5

    Untuk wilayah Lampung sendiri LDII masuk kurang

    lebih sekitar tahun 1970 yang dibawa oleh KH. Nur

    Hasan, yang merupakan seorang mubhalig besar utusan

    dari Jakarta. KH. Nur Hasan mengemban tugas untuk

    menyebarkan LDII di Provinsi Lampung. Setelah

    beberapa tahun KH. Nur Hasan memilih para muridnya

    yang dianggap mampu untuk menyebarkan di daerah-

    daerah kabupaten di seluruh provinsi lampung. Beliau

    memilih Mbah Dul untuk wilayah Natar, Bandar

    Lampung oleh KH. Syamsyuri, Kota Bumi oleh Bapak

    Yusuf.

    LDII mulai masuk Kabupaten Tulang Bawang

    Barat pada tahun 1984 yang dibawa oleh Bapak Anwar

    yang merupakan murid dari Bapak Yusuf selaku

    mubhalig dari wilayah Kota Bumi. Untuk Desa atau

    Tiyuh Tunas Asri LDII masuk sekitar tahun 1985 yang

    di bawa oleh Bapak Khoiri yang merupakan murid dari

    Bapak Anwar.

    Pada tahun itu LDII belum terbentuk menjadi

    sebuah organisasi besar, hanya berupa sebuah tepat

    peribadatan kecil yang berupa mushola atau langgar.

    Semakin lambat laun pengikut LDII semakin banyak,

    kemudian datanglah para mubhalig dari luar desa,

    bahkan luar Provinsi Lampung. Mubhalig pertama yang

    pertama datang adala Bapak Ahmadan yang merupakan

    utusan dari Jakarta. Awal mula pembelajaran yang di

    lakukan hanyalah di ajari cara mengaji. Setelah

    datangnya bapak Ahmadan, Desa Tunas Asri semakin

    dikenal. Banyak para mubhalig yang datang dari

    berbagai daerah, seperti Kalimantan, Palembang, Kediri

    dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang

    agama.

    5 Wawancara Chriswanto Santoso.

  • 70

    C. Poligami Menurut LDII 1. Pengertian Poligami Menurut LDII

    Mengenai masalah poligami, anggota ormas LDII

    tidak begitu mempermasalahkan tentang hal ini, bahkan

    mereka mendukung apabila ada salah seorang dari

    mereka ingin melakukan poligami. Karena poligami

    adalah suatu ajaran dari Rosulullah SAW, dengan

    maksud ingin melindungi dan menjaga janda-janda atau

    wanita dan anak-anak mereka. Mereka beranggapan jika

    melakukan sunnah Rosulullah SAW maka mereka

    merasa dekat dengan Rosulullah SAW. Hanya bedanya

    dahulu para nabi tidak dibatasi dalam jumlah memiliki

    istri. Sedangkan kita sebagai umatnya hanya boleh

    memiliki istri maksimal empat orang saja.

    Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ahmad

    Ikhwan selaku pengurus LDII di Desa Tunas Asri,

    poligami adalah suatu ajaran yang turun dari Nabi,

    bahkan poligami juga dilakukan orang para Nabi

    sebelum Rosul. Apabila istri yang benar-benar faham

    akan Islam dan keutamaan poligami maka pasti istri mau

    atau bersedia di poligami. Karena ganjaran seorang istri

    yang mau dipoligami adalah surganya Allah SWT dan

    itulah sebaik-baik tempat di akhirat nanti.6 beliau

    menambahkan poligami sendiri termasuk dalam konsep

    keluarga sakinah. Menurut mereka, konsep keluarga

    sakinah adalah suatu keluarga yang sama-sama satu

    keyakinan, dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

    Muhammad SAW.

    Dalam satu keluarga diperlukan adanya rasa saling

    mengerti satu sama lain, terlebih bagi mereka yang

    mempunyai lebi dari satu istri. Pengertian disini

    maksudnya dapat memahami sifat serta karakter satu

    sama lain. Apabila satu sama lain sudah mengerti tentang

    sifat masing-masing maka tidak ada pertengkaran yang

    terjadi dalam sebuah rumah tangga. Maka akan tercipta

    6 Wawancara dengan Bapak Ahmad Ikhwan selaku pengurus LDII

    di Tiyuh Tunas Asri Kabupaten Tulang Bawang Barat, 26 Juli 2015

  • 71

    sebuah keluarga yang tenang dan tentram, sakinnah,

    mawwaddah, warrohmah.

    Apabila memang terjadi pertengkaran dalam

    keluarga hendaknya diselesaikan secara baik-baik, dan

    bukan dengan latar belakang ego atau tindak kekerasan.

    Perlu dicatat bahwa musyawarah keluarga tidak

    mengurangi kedudukan laki-laki bahkan sebaliknya, hal

    itu bias meningkatkan derajatnya di mata anak-anak

    mereka, menambah kekagumannya, kecintaannya, dan

    menunjukkannya kepada jalan yang benar.7

    LDII sendiri tidak mengharuskan anggotanya untuk

    menikahi janda, hanya saja lebih diutamakan untuk

    menikahi janda, dan apabila ingin menikahi seorang

    gadis maka tidak apa-apa, dengan alasan untuk

    menolong seorang wanita yang yang belum menikah dan

    juga yang sudah kelewat umur agar tidak melakukan hal-

    hal yang dilarang oleh agama.

    Menurut Bapak Edi Mulyono yang juga merupakan

    salah seorang pengurus di Desa Tunas Asri, tidak

    diharuskan seorang anggota LDII yang ingin berpolgami

    untuk menikah dengan sesama anggota LDII, boleh saja

    menikahi wanita di luar golongan LDII dengan syarat

    sama-sama beragama islam.8 LDII juga tidak

    memaksakan kepada seorang istri untuk masuk ke

    golongan mereka.

    2. Syarat Poligami Menurut LDII Pada ormas LDII, syarat poligami hanya ditekankan

    pada izin istri. Tidak harus kaya yang penting ridho dan

    mau di poligami. Jika istri tidak setuju atau tidak

    mengizinkan suaminya melakukan poligami, maka boleh

    seorang suami melakukan nikah siri. Selain itu, syarat

    lainnya mengikuti atau merujuk pada syarat poligami

    yang berlaku pada umumnya, yakni:

    7 Abdul Latif Al-Brigawi, Fiqih Keluarga Muslim (Jakarta: Amzah,

    2012), h. 44 8 Wawancara dengan Bapak Edi Mulyono selaku wakil pengurus

    LDII di Tiyuh Tunas Asri, 27 Juli 2015

  • 72

    “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku

    adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim

    (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah

    wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,

    tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak

    akan dapat Berlaku adil, Maka

    (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang

    kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih

    dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS: An-

    Nisaa 4:3)

    Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa syarat utama

    untuk melakukan poligami sebenarnya ditekankan untuk

    dapat berlaku adil. Berlaku adil maksudnya

    memperlakukan istri dengan sama antara satu dengan

    yang lainnya. Misalnya dalam memperlakukan dan

    meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-

    lain yang bersifat lahiriyah.

    Dalam ayat ini dijelaskan pula bahwa Islam

    memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah

    pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi

    Muhammad SAW, dan pada ayat ini diterangkan pula

    bahwa seseorang yang ingin berpoligami dibatasi hanya

    sampai empat orang saja.

    Pada dasarnya, sesuai dengan ketentuan pasal 1

    undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

  • 73

    bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

    pria dengan seorang wania sebagai suami istri dengan

    tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

    bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

    Esa. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut, hukum

    perkawinan di Indonesia bedasarkan monogami.

    Akan tetapi UU Perkawinan memberikan

    pengecualian, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 3

    ayat (2) UU, yang mana Pengadilan dapat memberikan

    izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu

    orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

    bersangkutan.

    Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari

    seorang, maka si suami mengajukan permohonan kepada

    Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Hal ini diatur

    dalam Pasal 4 ayat (1) UU perkawinan. Sedangkan

    dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih

    lanjut bahwa pengadilan hanya akan memberikan izin

    kepada suami untuk beristri lebih dari satu jika: (a). Isteri

    tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri (b).

    Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

    dapat disembuhkan (c). Isteri tidak dapat melahirkan

    keturunan.

    Selain hal-hal yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (2)

    diatas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk

    beristri lebih dari satu orang harus memenuhi syarat-

    syarat yang termaktub dalam pasal 5 ayat (1) UU

    Perkawinan yaitu: (a). Adanya persetujuan isteri/isteri-

    isteri (b). Adanya kepastian bahwa suami mampu

    menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-

    anak mereka (c). adanya menjamin bahwa suami akan

    berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

    Pasal 5 ayat (2) UU Perkawinanmengatakan bahwa

    persetujuan istri/istri-istrinya tidak diperlukan jika

    isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai

    persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam

    perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isrinya

    selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena

  • 74

    sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

    hakim pengadilan.

    Dalam Hukum Islam pengaturan tentang poligami

    merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

    Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda

    dengan UU Perkawinan. Hanya saja didalam KHI

    dijelaskan antara lain bahwa pria beristri lebih dari satu

    diberikan pembatasan yauitu seorang pria tidak boleh

    beristri lebih dari 4 (empat) orang. Selain itu, syarat

    utama seorang pria untuk mempunyai istri lebih dari satu

    adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap

    isteri-isterinya dan anak-anaknya (Pasal 55 KHI).

    Menurut KHI suami yang hendak beristri lebih dari

    satu harus mendapatkan izin dari pengadilan agama. Jika

    perkawinan berikutnya dilakuan tanpa izin dari

    pengadilan agama, perkawinan tersebut tidak

    mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).

    Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawian,

    menurut pasal 57 KHI, pengadilan agama hanya

    memberikan izin kepada seorang suami yang akan

    beristri lebih dari seorang jika: (a). Istri tidak dapat

    menjalankan kewajiban sebagai istri. (b). Istri mendapat

    cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

    disembuhakan. (c). Istri tidak dapat melahirkan

    keturunan.

    Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas,

    Kompilasi Hukum Islam juga memberikan syarat lain

    untuk memperoleh izin pengadilan agama syarat-syarat

    tersebut juga merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan,

    yaitu: (pasal 58 KHI) (a). Adanya persetujuan istri (b).

    adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

    kepersluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

    Pasal 58 KHI ini juga merujuk pada Pasal 41 huruf b

    Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang

    pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

    Perkawinan (“PP 9/1975”), yang mengatakan bahwa

    persetujuan isteri/isteri-isteri dapat diberikan secara

    tertulis atau dengan lisan, persetujuan kali ini dipertegas

  • 75

    dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan

    Agama.

    Jika si istri tidak mau memberikan persetujuan.

    Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian

    izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang

    bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan

    terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan

    banding dan dilanjutkan kasasi (Pasal 59 KHI)

    Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP

    9/1975 yang mengatakan bahwa: “Apabila Pengadilan

    berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk

    beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan

    putusannnya yang berupa izin untuk beristri lebih dari

    seorang”.9

    9 Ditrektorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,

    Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bab IX tentang beristri lebih dari satu

    orang, Pasal 55-59, (Jakarta, 1997)