bab iii hasil penelitian dan analisis -...

37
36 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Bab ini berisi dua hal sebagaimana judul dalam bab ini. Pertama dikemukakan hasil penelitian dan yang kedua adalah analisis atas hasil penelitian tersebut. Dalam bagian Hasil Penelitian, Penulis gambarkan kembali secara lengkap Putusan 1887, objek analisis Penelitian dan Karya Tulis Kesarjanaan Penulis ini. 52 Kemudian, di bagian kedua dikemukakan analisis itu sendiri. Analisis dilakukan oleh Penulis dengan cara melakukan pembedahan dengan menggunakan pisau analisis berupa prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan nemo dat rule yang sudah Penulis kemukakan di dalam Bab II terhadap hasil penelitian. Adapun tujuan dari pemaparan, terutama analisis itu adalah dalam rangka tindak lanjut, usaha Penulis untuk menjawab perumusan masalah sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I. 3.1. Transaksi Perdagangan Internasional di Depan Hukum Sama halnya dengan transaksi perdagangan lokal maupun nasional, apabila timbul permasalahan hukum atau sengketa daripadanya, maka penyelesaiannya bisa dimulai dengan mekanisme penyelesaian (commercial dispute settlement) oleh para pihak, dan atas dasar persamaan di depan hukum, maka at the last resort, penyelesaian masalah dapat menempuh jalur litigasi (litigation). Demikian 52 Periksa kembali Catatan Kaki yang dikemukakan oleh Penulis di Bab I skripsi ini, sehubungan dengan beberapa kali pengulangan pemaparan Putusan yang sama (1887) sebagai Hasil Penelitian, hlm., 5, Supra.

Upload: lethuy

Post on 25-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

36

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Bab ini berisi dua hal sebagaimana judul dalam bab ini. Pertama

dikemukakan hasil penelitian dan yang kedua adalah analisis atas hasil penelitian

tersebut. Dalam bagian Hasil Penelitian, Penulis gambarkan kembali secara

lengkap Putusan 1887, objek analisis Penelitian dan Karya Tulis Kesarjanaan

Penulis ini.52

Kemudian, di bagian kedua dikemukakan analisis itu sendiri.

Analisis dilakukan oleh Penulis dengan cara melakukan pembedahan dengan

menggunakan pisau analisis berupa prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan

nemo dat rule yang sudah Penulis kemukakan di dalam Bab II terhadap hasil

penelitian. Adapun tujuan dari pemaparan, terutama analisis itu adalah dalam

rangka tindak lanjut, usaha Penulis untuk menjawab perumusan masalah

sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I.

3.1. Transaksi Perdagangan Internasional di Depan Hukum

Sama halnya dengan transaksi perdagangan lokal maupun nasional, apabila

timbul permasalahan hukum atau sengketa daripadanya, maka penyelesaiannya

bisa dimulai dengan mekanisme penyelesaian (commercial dispute settlement)

oleh para pihak, dan atas dasar persamaan di depan hukum, maka at the last

resort, penyelesaian masalah dapat menempuh jalur litigasi (litigation). Demikian

52

Periksa kembali Catatan Kaki yang dikemukakan oleh Penulis di Bab I skripsi ini, sehubungan

dengan beberapa kali pengulangan pemaparan Putusan yang sama (1887) sebagai Hasil Penelitian,

hlm., 5, Supra.

37

pula dengan kasus yang berdimensi transaksi perdagangan internasional di dalam

Putusan 1887 dan yang menjadi hasil penelitian skripsi ini, penyelesaian sengketa

berujung pada proses litigasi yang diuraikan di bawah ini.

Sengketa pada Putusan 1887 bermula pada akhir tahun 1982 dan awal tahun

1983. Pada waktu itu, PT. Gespamindo dalam hal ini merupakan suatu perusahaan

yang berkedudukan di Indonesia membeli pupuk dari Phosphate Mining Co. di

Australia sebanyak 3000 metric ton. Nilai uang di balik pupuk 3000 metric ton

tersebut adalah seharga US $195.000,-. Pupuk tersebut dipesan oleh tiga subjek

hukum lainnya, yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT. Sinar

Mulia Buana. Adapun pesanan masing-masing pihak tersebut adalah sebanyak

1000 metric ton pupuk.

Merupakan kelaziman di dalam transaksi perdagangan internasional, bahwa

setiap pembayaran yang dilakukan biasanya tidak dilakukan dengan tunai oleh

pemesan barang itu sendiri namun dibeli tunai oleh Bank yang menerbitkan Letter

of Credit (L/C). Pembayaran dengan nilai yang besar seperti yang terjadi dengan

pembayaran harga pupuk dalam cerita di balik Putusan 1887 itu adalah

menggunakan L/C, suatu surat berharga (negotiable instrument). Pembayaran

transkasi perdagangan internasional dengan menggunakan surat-surat berharga

sudah barang tentu harus dilakukan dengan menggunakan jasa pihak perbankan.

Bank yang digunakan jasanya juga bukanlah bank biasa, namun bank yang

memiliki kemampuan membayar dengan valuta asing (hard currency).53

Oleh

53

Menurut pendapat Penulis, penggunaan hard currency sebagaimana yang nampak dalam

transaksi di balik Putusan 1887 itu juga indikator penting bahwa transaksi dalam Putusan 1887

38

sebab itulah PT. Gespamindo kemudian membuka tiga buah L/C di PT. Sejahtera

Bank Umum melalui the Chartered Bank (Confirming Bank) di Jakarta untuk

membayar harga pembelian atas 3000 metric ton pupuk kepada Phosphate Mining

Co. melalui the Chartered Bank (Corresponding Bank) yang berada di Australia.

Nilai uang ketiga buah L/C yang hendak dibayarkan oleh pihak bank kepada

Phosphate Mining Co. tersebut adalah US $195.000,-. Dengan demikian maka

L/C tersebut merupakan bukti adanya perjanjian atau suatu kontrak (a contract)

yang dibuka di antara subyek-subyek hukum (parties to contract) dalam hal ini

yaitu pihak PT. Sejahtera Bank Umum sebagai „the issuing bank’ dengan pihak

PT. Gespamindo.

Pihak berikutnya (the other party to contract) di dalam Putusan 1887 adalah

PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Pihak tersebut juga

merupakan suatu badan hukum perdata yakni merupakan suatu perusahaan yang

menyelenggarakan jasa pengangkutan. Dalam kasus di balik Putusan 1887

tersebut, jasa pengangkutan yang dimaksud adalah jasa pengangkutan

internasional, mengingat barang yang diangkut oleh pihak itu datang dari suatu

negara (Australia) dan berpindah ke negara yang lain (Indonesia). PT. Perusahaan

Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” telah mengangkut dan mengirim

pupuk yang dibeli dari Phosphate Mining Co. tersebut. Pengangkutan sesuai

dengan Bill of Lading (B/L), yang sudah barang tentu B/L tersebut diterbitkan

oleh PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Tercatat di

dalam B/L sebagaimana terungkap dalam satuan penelitian yang diamati oleh

adalah suatu transaksi perdagangan internasional, selain ukuran-ukuran sifat internasional lainnya

yang telah Penulis kemukakan di Bab I skripsi ini, hlm., 2 - 4.

39

Penulis, dalam hal ini Putusan 1887, 3000 metric ton pupuk tersebut diangkut dari

Australia, tepatnya dari Melbourne tertanggal 24 Maret 1983. Adapun tujuan

pengangkutan 3000 metric ton pupuk hasil produksi Phosphate Mining Co. dari

Australia tersebut adalah Pelabuhan Tanjung Priok yang ada di Jakarta. Biarpun

belum saatnya di sini Penulis melakukan analisis, namun agar jelas pemahaman

tentang nemo dat rule, maka Penulis berpendapat bahwa dengan dimuatnya 3000

metric ton pupuk di Melbourne dan di atas kapal milik PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia”, maka sejatinya pupuk itu sudah menjadi millik

dari pihak yang membeli, dalam hal ini pihak Bank (the Standard Chartered

Bank) di Australia yang membayarkan uang harga pupuk itu kepada Phospate

Mining Co. selaku eksportir.

Pembayaran atas 3000 metric ton pupuk di Australia secara tunai kepada

Phospate Mining Co. oleh the Standard Chartered Bank di Australia itu, sudah

barang tentu atas perintah the Standard Chartered Bank di Jakarta. Mengapa

demikian? Menurut pendapat Penulis, the Standard Chartered Bank Jakarta itu

dapat memerintah the Standard Chartered Bank di Australia, mengingat the

Standard Chartered Bank Jakarta adalah pihak (the party to contract), yakni Bank

yang memberikan pinjaman uang Dolar kepada PT. Sejahtera Bank Umum di

Jakarta. Ada kemungkinan, pinjaman tersebut diberikan kepada PT. Sejahtera

Bank Umum, mengingat the Standard Chartered Bank di Jakarta mempunyai

keyakinan bahwa PT. Sejahtera Bank Umum akan melunasi uang tersebut setelah

pupuk yang diimpor sampai ke Indonesia dan dijual maka hasil penjualan itu

40

(proceeds) akan dipakai untuk melunasi hutang PT. Sejahtera Bank Umum

kepada the Chartered Bank di Jakarta tersebut.

Hal itu berarti bahwa berdasarkan semangat nemo dat rule, maka PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” kemudian menerbitkan

B/L, suatu bukti kepemilikan yang nantinya dipegang oleh pihak Bank di

Australia yang membayar harga 3000 metric ton pupuk kepada Phosphate Mining

Co. Bukti kepemilikan tersebut, yang dalam hal ini diwakili oleh suatu dokumen

yang bernama B/L tersebut akan diteruskan ke Jakarta, lalu kemudian diberikan

kepada PT. Sejahtera Bank Umum sehingga dengan modal B/L tersebut, PT.

Sejahtera Bank Umum dapat mengambil pupuk dari kapal PT. Perusahaan

Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”.

Dengan begitu, singkat kata, mengingat PT. Sejahtera Bank Umum sebagai

the issuing bank yang melalui the Standar Chartered Bank di Australia telah

membayar harga 3000 metric ton pupuk tersebut kepada Phosphate Mining Co. di

Australia melalui the Chartered Bank di Jakarta secara otomatis menguasai

Documentary Credit. Isi dari Documentary Credit tersebut antara lain adalah B/L,

disamping dokumen yang lain seperti L/C, Certificate of Origin dan Dokumen

Asuransi Pengangkutan Laut. Dalam semangat larangan nemo dat rule yang

menjadi konsen utama Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan ini,

maka sudah barang tentu akal sehat mengatakan bahwa hanya PT. Sejahtera Bank

Umum yang telah membayar pupuk itu melalui the Chartered Bank sajalah yang

mempunyai wewenang secara hukum untuk memindahkan pupuk itu kepada

pihak ketiga, dalam hal ini tiga pemesan pupuk, dan bukan malah dilakukan oleh

41

pihak PT. Gespamindo, yang secara hukum masih harus “membeli” B/L dari PT.

Sejahtera Bank Umum.

Ternyata, seluruh pupuk yang diangkut oleh PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” telah diserahkan kepada PT. Gespamindo.

Sehingga dalam perspektif nemo dat rule, maka terdapat pelanggaran terhadap

asas tersebut. Dalam Putusan 1887 yang menjadi satuan amatan penelitian ini, PT.

Gespamindo „mengaku‟ bahwa ia adalah pihak pembeli dari 3000 metric ton

pupuk itu. Merasa bahwa ia (PT. Gespamindo) adalah pemilik yang sah dari 3000

metric ton pupuk tersebut, kemudian pupuk tersebut diserahkan (dijual) kepada

pihak lain, dalam hal ini yaitu ketiga pihak yang sebelumnya, seperti terungkap

dalam Putusan 1887 memang memesan pupuk masing-masing 1000 metric ton

dari PT. Gespamindo. Seperti sudah dikemukakan di atas ketiga pihak itu adalah

PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT. Sinar Mulia Buana. Seperti

terungkap di dalam Putusan 1887, penyerahan (deliverance) 3000 metric ton

pupuk itu kepada ketiga pihak dimaksud dilakukan pengangkut atas permintaan

PT. Gespamindo. Hal ini merupakan pernyataan yang tertulis dalam Putusan

1887. Menurut pendapat Penulis, penyerahan dari PT. Gespamindo yang tanpa

hak itu sejatinya telah melanggar larangan nemo dat rule, asas hukum yang

menjadi konsen Penelitian ini. Tidak terungkap di dalam Putusan 1887, namun

menurut Penulis, bahwa pengambilan 3000 metric ton pupuk itu dilakukan oleh

PT. Gespamindo, pertama, tanpa B/L. Namun bisa juga, kedua, dengan B/L,

namun B/L yang digunakan oleh PT. Gespamindo tersebut adalah B/L copy-an.

Seperti diketahui, B/L biasanya diterbitkan oleh perusahaan pelayaran dalam

42

rangkap tiga.54

Inilah yang menjadi sebab, mengapa Sukma Masawet di dalam

skripsinya mengatakan bahwa ada conversi lanjutan yang dilakukan oleh PT.

Gespamindo, yang setara dengan perbuatan melawan hukum, seperti yang

dipergunakan oleh para hakim yang mengadili Putusan 1887.

Sementara itu, Documentary Credit yakni satu paket dokumen dalam

pembayaran internasional yang di dalamnya juga terdapat B/L copy-an lainnya

masih dikuasai oleh PT. Sejahtera Bank Umum sebagai the issuing bank. Dengan

kata lain bahwa L/C belum dilunasi oleh PT. Gespamindo. Adapun nilai total sisa

pinjaman yang harus dilunasi PT. Gespamindo seluruhnya adalah sebesar US

$169.000,-. Berhubung PT. Gespamindo dalam pandangan pengacara penggugat

(PT. Sejahtera Bank Umum) dalam Putusan 1887 terbukti tidak melakukan

pembayaran atas sisa kewajibannya, maka menurut para pengacara penggugat

tersebut, PT. Gespamindo telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pengacara

PT. Sejahtera Bank Umum juga menyeret pengangkut, dalam hal ini adalah PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Tuduhan PT. Sejahtera

Bank Umum adalah bahwa PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera

Indonesia” sebagai pengangkut terikat dalam perikatan tanggung-menanggung

dengan PT. Gespamindo untuk memenuhi pelunasan kewajiban mereka kepada

PT. Sejahtera Bank Umum. Hakim yang berhasil diyakinkan oleh Penggugat,

kemudian menghukum untuk secara renteng. PT. Perusahaan Pelayaran Samudera

“Samudera Indonesia” dan PT. Gespamindo secara tanggung renteng membayar

kepada PT. Sejahtera Bank Umum secara tunai dan sekaligus, masing-masing

54

Perspektif mengenai hal ini dapat diperiksa dalam Bab I, Catatan kaki No. 12, Supra.

43

setengah bagian dari US $ 169.000,- dan bunga sebesar US $ 36.378,72,-.

Menurut para Hakim yang memutuskan perkara itu, adil apabila resiko atas gagal

bayar oleh PT. Gespamindo dan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera

Indonesia” ditanggung secara bersama-sama karena perbuatan melawan hukum.

Kedua pihak itu oleh Hakim, masing-masing dihukum untuk membayar kepada

PT. Sejahtera Bank Umum uang sejumlah US $ 84.500,-. Dalam Putusan 1887

yang dijadikan dasar hukum para Hakim dalam mengadili perkara tersebut adalah

perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana ada dalam Pasal

1365 KUHPerdata. Dalam rangka gambaran suatu Hasil Penelitian yang lebih

berstruktur kontrak, maka uraian Putusan 1887 di bawah ini dimulai dengan para

pihak (the parties to contract).

3.2. Para Pihak dalam Transaksi Perdagangan Internasional

Putusan 1887 pada hakikatnya adalah merupakan suatu Perkara Perdata

(civil case), yang penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan mekanisme

penyelesaian sengketa litigasi Indonesia. Dimulai dari tingkat pengadilan pertama,

yaitu Pengadilan Negeri dan berakhir di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung

Republik Indonesia. Sengketa yang terjadi dan masuk ke proses litigasi

sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas tersebut, selain berdimensi litigasi

nasional, namun pada hakikatnya adalah juga merupakan suatu sengketa dengan

dimensi internasional, sebab sengketa itu dimulai dari suatu transaksi yang

memiliki kharakteristik transaksi perdagangan internasional seperti Penulis

singgung di Bab I karya tulis ini. Lebih daripada itu, sejatinya nemo dat rule

44

sebagai kaidah lex mercatoria seharusnya diperhatikan dalam mengatur sengketa

itu.

Para pihak (the parties to contract) dalam kasus yang berdimensi transaksi

perdagangan internasional itu, seperti telah secara ringkas Penulis kemukakan di

Bab I skripsi ini. Lengkapnya para pihak itu adalah PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia”, berkedudukan di Jakarta, Jalan Kalibesar Barat

No.43, yang diwakili oleh dan memilih domilisi di kantor kuasanya Loekman

Wiriadinata, SH., dan kawan-kawan, Advokat dan Pengacara, Jalan Veteran

III/7A Jakarta berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 28 Februari 1986 selaku

Pemohon Kasasi. Pemohon Kasasi dahulu adalah pihak Tergugat I-Pembanding.

Pihak Termohon Kasasi yang dahulu adalah Penggugat-Terbanding yaitu PT.

Sejahtera Bank Umum, berkedudukan di Jakarta, Jalan Tiang Bendera No.15

Jakarta Barat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Herman Widjaja, SH., dan

kawan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 10 Maret 1986. Pihak Termohon

Kasasi berikutnya adalah PT. Gespamindo, berkedudukan di Jakarta, Jalan

Mangun Sarkoro No.8 Jakarta Pusat, Pihak Turut Termohon kasasi dahulu adalah

pihak Tergugat II-Turut Terbanding.

3.3. Pokok Perselisihan dalam Transaksi Perdagangan

Internasional

Dari surat-surat yang telah dibaca oleh Mahkamah Agung, ternyata bahwa

Termohon kasasi sebagai Penggugat asli telah menggugat pihak Pemohon Kasasi

dalam persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalil-dalil para pihak

tersebut Penulis kemukakan sebagai berikut di bawah ini.

45

Pada akhir tahun 1982 permulaan tahun 1983, PT. Gespamindo telah

melakukan impor pupuk dari Phosphate Mining Company of Christmas Island

Ltd. Canberra, Australia. Seperti beberapa kali telah dikemukakan di atas, jumlah

pupuk yang diimpor oleh PT. Gespamindo adalah sebanyak 3000 metric ton

seharga seluruhnya US.$ 195.000,-. Import pupuk yang dilakukan oleh PT

Gespamindo tersebut dilakukan atas pesanan PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua

Belas dan PT. Sinar Mulia Buana, masing-masing sebanyak 1000 metric ton.

Untuk melaksanakan impor tersebut, atas permintaan PT. Gespamindo,

pihak PT. Sejahtera Bank Umum melalui the Chartered Bank di Jakarta telah

membuka tiga buah L/C untuk dibayar kepada pihak eksportir di Canberra

Australia. Keseluruhan L/C tersebut berjumlah US.$ 195.000,-. Pupuk impor

tersebut telah dikirim dan diangkut oleh pihak PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” sesuai B/L dari Melbourne tertanggal 23 Maret

1983.

Setelah ditebus oleh PT. Sejahtera Bank Umum dari the Chartered Bank

Jakarta, semua lembar dari B/L dibuat rangkap tiga ada pada PT. Sejahtera Bank

Umum. Meskipun demikian, sesuai jawaban dari PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia”, ternyata seluruh pupuk impor tersebut oleh PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” telah diserahkan kepada

pemesannya dengan melalui PT. Gespamindo, tanpa penyerahan B/L asli. Di

sinilah mulai terlihat adanya gambaran tentang bagaimana nemo dat rule dalam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut.

46

3.4. Sisa Pembayaran Ukuran Nemo Dat Rule

Sesuai dengan ketentuan, maka PT. Gespamindo untuk kepentingan

pembukuan L/C tersebut di atas masih mempunyai kewajiban pembayaran kepada

PT. Sejahtera Bank Umum sejumlah yang rinciannya adalah sebagai berikut:

pertama, untuk L/C tanggal 31 Januari 1983 No. 901/0475/83 dan tanggal 31

Januari 1983 No. 901/076/83 sebesar: 2 x US.$ 65.000,- = US.$ 130.000,-, baru

dibayar 10% = US.$ 13.000,-, sisa = US.$ 117.000,-. Kedua, untuk L/C tanggal 14

Februari 1983 No. 901/0691/83, sejumlah :1 x US.$ 65.000,- = US.$ 65.000,-,

baru dibayar 20% = US.$ 13.000,-, sisa = US.$ 52.000,-.

Itu berarti bahwa sisa uang dan berarti hutang yang masih harus dibayarkan

oleh PT. Gespamindo kepada PT. Sejahtera Bank Umum seluruhnya berjumlah

US.$ 117.000,- + US.$ 52.000,- = US.$ 169.000,-. Apabila PT. Gespamindo

belum melunasi hutang sebagaimana dikemukakan di atas itu, maka PT.

Gespamindo tidak dapat mengalihkan pupuk dengan cara memerintahkan kepada

PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” untuk melepas pupuk

itu kepada pihak ketiga, dalam hal ini ketiga perusahaan yang memesan dari PT.

Gespamindo, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Apabila PT. Gespamindo

akhirnya memerintahkan kepada PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera

Indonesia” untuk menyerahkan pupuk itu kepada pihak ketiga yaitu tiga

perusahaan pemesan sebagaimana dikemukakan di atas, maka sejatinya,

berdasarkan ukuran nemo dat rule yang telah Penulis kemukakan di Bab II, ia

dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran atas nemo dat rule.

47

3.5. Perbuatan Melawan Hukum

PT. Gespamindo tidak melakukan pembayaran atas sisa kewajibannya

kepada PT. Sejahtera Bank Umum, maka dari itu menurut hukum, demikian

menurut keterangan yang tertera di dalam Hasil Penelitian atas Putusan 1887, PT.

Gespamindo telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).55

Demikian

juga dengan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” atas

tindakannya yang secara tanpa hak menurut para Hakim, menyerahkan pupuk

yang diangkutnya kepada pihak yang tidak dapat menunjukkan B/L dari pupuk

tersebut, adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan

hukum tersebut adalah pelanggaran terhadap Pasal 507,56

508,57

50958

dan atau

51059

KUHDagang.

55

Seperti telah Penulis kemukakan di atas (Bab I), hal ini oleh penelitian terdahulu dinilai sebagai

suatu kesalahan sebab seharusnya merupakan wanprestasi, sementara menurut penilaian penelitian

yang lain, kurang memiliki dimensi hukum perdagangan internasional karena seharusnya kaedah

yang diberlakukan adalah konversi. Tidak ada yang salah dengan penilaian atau analisis-analisis

sebelumnya itu. Skripsi ini melihat dari perspektif lain, yaitu nemo dat rule.

56 Konosemen dikeluarkan dalam dua lembar yang dapat diperdagangkan, yang di dalamnya

dinyatakan berapa lembar seluruhnya yang dikeluarkan, berlaku semua untuk satu dan satu untuk

semuanya. Lembar-lembar yang tidak dapat diperdagangkan harus dinyatakan sebagai demikian.

Terhadap tiap lembar yang di dalamnya tidak terdapat pernyataan jumlah lembar yang dikeluarkan

dan yang tidak ditandai bahwa tidak dapat diperdagangkan, pengangkut wajib melakukan

penyerahan kepada orang yang memperolehnya dengan itikad baik dan menjaminnya dengan

imbalan.

57 Konosemen atas-tunjuk dipindahtangankan dengan endosemen dan penyerahan naskahnya.

Endosemen itu tidak usah memuat harga yang telah dusahakmati, begitu pula tidak usah

ditentukan atas-tunjuk. Satu tanda tangan pun di halaman belakang konosemen sudah cukup.

58 Bila telah dikeluarkan konosemen, tidak dapat dituntut penyerahan barang sebelum tiba di

tempat tujuan selain dengan penyerahan kembali semua lembar konosemen yang dapat

diperdagangkan atau, bila tidak semua diserahkan kembali, dengan jaminan untuk semua kerugian

yang mungkin diderita karenanya. Bila timbul perselisihan tentang jumlah dan sifat jaminan, maka

hal itu diserahkan kepada putusan hakim.

59 Pemegang yang sah berhak menuntut penyerahan barang di tempat tujuan sesuai dengan isi

konosemennya, kecuali bila ia menjadi pemegang tidak sah menurut hukum. Surat-surat yang oleh

pemegang konosemen dikeluarkan kepada pihak ketiga, dengan maksud agar dengan itu diterima

48

3.6. Ganti Rugi yang Dituntut

Dengan adanya perbuatan melawan hukum dari PT. Gespamindo dan PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” tersebut, PT. Sejahtera

Bank Umum berhak menuntut pembayaran dari PT. Gespamindo dan PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” secara tanggung renteng

sejumlah US.$ 169.000,- ditambah ganti rugi, bunga 13% per tahun terhitung

mulai tanggal 24 Maret 1983 sampai dengan 15 November 1984 = US.$

36.378,72, sehingga jumlah seluruhnya US.% 205.738,72,-. Disamping ganti rugi,

dalam Putusan 1887 juga diajukan suatu sita jaminan. Untuk menjamin

pelaksanaan putusan dalam perkara, PT. Sejahtera Bank Umum mohon kepada

Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut agar

terhadap barang-barang bergerak milik PT. Gespamindo dan PT. Perusahaan

Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”, diletakkan sita jaminan (conservatoir

beslag). PT. Sejahtera Bank Umum menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta

Barat untuk memutus di dalam provisi supaya para hakim dimaksud meletakkan

sita jaminan atas barang-barang bergerak berupa alat perlengkapan kantor. Sita

jaminan juga dimintakan kepada para hakim terhadap tanah berikut bangunan

milik PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” yang terletak di

Jalan Let. Jen. S. Parman No. 35 Jakarta Barat.

PT. Sejahtera Bank Umum juga memohon agar para Majelis Hakim tersebut

menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan sebelumnya.

bagian dari barang-barang yang disebut dalam konosemennya, tidak memberikan hak tersendiri

kepada para pemegangnya atas penyerahan terhadap pengangkut.

49

Selanjutnya PT. Sejahtera Bank Umum kemudian meminta supaya para hakim

menyatakan bahwa PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”

telah melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun perbuatan melawan hukum

yang dimaksud adalah dalam kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai

agen pelayaran telah menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk kepada

pihak ketiga tanpa penyerahan B/L asli,60

sehingga merugikan kepentingan

Penggugat sejumlah US.$ 205.738.72.

PT. Sejahtera Bank Umum juga menuntut kepada Pengadilan untuk

menyatakan bahwa PT. Gespamindo telah melakukan perbuatan melawan hukum,

yaitu dengan telah tidak memenuhi kewajibannya kepada PT. Sejahtera Bank

Umum sehubungan dengan pembukaan tiga buah L/C: yaitu pertama, L/C

No.901/0475/83 sebesar US.$ 65.000,-; kedua, L/C No. 901/0476/83 sebesar US.$

65.000,- + US.$ 130.000,- sudah dibayar 10% US.S 13.000,- US.$ 117.000,- ;

ketiga, L/C No. 901/0691/83 sebesar US.$ 65.000,- , dibayar 20% US.$ 13.000,-

US.$ 52.000,- US.$ 169.000,-. Dengan bunga (24 Maret 1983 sampai dengan 15

November 1984); 602 hari x 13% p.a US.$ 36.738,72. Jadi jumlah berikut bunga

sebesar US.$ 205.738,72.

PT. Sejahtera Bank Umum juga meminta Pengadilan Negeri Jakarta Barat

supaya menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk

membayar kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus uang sejumlah US.$

205.738,72 atau dengan nilai lawan dengan kurs US.$ 1 = Rp 1.072,- yakni

berjumlah 205.738,72 x Rp 1.072 = Rp 220.551.908,- (dua ratus dua puluh juta

60

Inilah aspek yang juga menurut Penulis adalah pelanggaran terhadap nemo dat rule dalam

Putusan 1887.

50

lima ratus lima puluh satu ribu sembilan ratus delapan rupiah), ditambah dengan

bunga yang berlaku bagi suatu pemberian kredit dan jumlah tersebut. Adapun

bunga yang dituntut adalah sebesar 2,5% per bulan, sejak mulai didaftarkannya

gugatan itu sampai dibayar lunas jumlah tersebut di atas.

PT. Sejahtera Bank Umum memohon Pengadilan supaya menyatakan

putusan dalam perkara itu dapat dijalankan lebih dahulu, meskipun andaikata PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dan PT. Gespamindo naik

banding atau kasasi atau mengadakan verzet. Selain itu, PT. Sejahtera Bank

Umum juga memohon kepada Pengadilan supaya biaya-biaya menurut hukum

atau setidak-tidaknya Pengadilan memberi putusan yang seadil-adilnya

sebagaimana layaknya suatu pengadilan yang baik.

3.7. Dalil Pengangkut dan Putusan Hakim

Terhadap gugatan Penggugat Asli tersebut, oleh Tergugat Asli II, dalam hal

ini yaitu suatu perusahaan pengangkutan laut yang mengangkut barang dari satu

negara ke negara lain (internasional) diajukan eksepsi yang pada pokoknya

dengan dalil-dalil bahwa gugatan Penggugat asli campur aduk antara wanprestasi

dengan perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata. Karena itu, gugatan Penggugat Asli yang kabur itu harus ditolak

dan/atau dinyatakan bahwa gugatan itu adalah mengenai wansprestasi saja atau

mengenai perbuatan melawan hukum saja. Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan

Negeri Jakarta Barat telah mengambil putusan. Adapun Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Barat itu dibuat pada tanggal 18 September 1985 dengan No.

009/Pdt/G/1985/PN. Jkt. Bar. Amar putusan dimaksud adalah mengabulkan

51

gugatan Penggugat untuk sebagian. Para hakim menyatakan sah dan berharga sita

jaminan yang diletakkan dalam perkara. Selanjutnya para hakim juga menyatakan

bahwa Tergugat I, PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”

telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni dalam kedudukannya sebagai

pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran telah menyerahkan barang berupa

3000 metric ton pupuk Phosphate kepada pihak ketiga tanpa penyerahan B/L asli,

sehingga merugikan Penggugat sebesar US.$ 169.000,- (seratus enam puluh

sembilan ribu US dollar). Amar putusan hakim juga menyatakan bahwa Tergugat

I dihukum untuk membayar dengan tunai dan sekaligus dengan penerimaan surat

tanda pembayaran yang sah, kepada Penggugat yang sebesar US.$ 169.000,-

(seratus enam puluh sembilan ribu U$ dollar), atau dengan nilai lawan dengan

kurs US.$ 1 = Rp 1.072,- atau kurs yang sedang berlaku pada saat pembayaran

dilakukan. Putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu, tanpa mengindahkan

Tergugat I mengajukan perlawanan, banding, atau kasasi (uitvoerbaar bij

voorraad). Para hakim juga menyatakan bahwa mereka menolak gugatan

Penggugat untuk selebihnya dan menghukum Tergugat I untuk membayar biaya

perkara, yang hingga sekarang ditentukan sebesar Rp 90.750. Di tingkat banding,

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebagaimana telah dikemukakan di atas

dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I telah diperbaiki oleh

Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 8 Januari 1986 No.

544/Pdt/1985/PT. DKI. Adapun amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut

adalah Majelis Hakim menerima permohonan banding dari Pembanding semula

Tergugat I, menguatkan Putusan PN Jakarta Barat tanggal 11 September 1985

No.009/Pdt/G/1985PN. JKT. BAR. yang dimohonkan banding, namun demikian

52

para hakim tersebut melakukan perbaikan atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Barat sehingga berbunyi mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Amar

putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Barat adalah menyatakan sah dan berharga sita

jaminan yang diletakkan dalam perkara tersebut; Menyatakan bahwa Tergugat I,

PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dalam kedudukannya

sebagai pengakut dan sebagai agen pelayaran dengan menyerahkan barang berupa

3000 metric ton pupuk Phospate kepada pihak ketiga tanpa penyerahan B/L asli

dan Tergugat II, PT. Gespamindo yang telah meminta agar 3000 metric ton pupuk

itu diserahkan tanpa B/L asli, telah melakukan PMH. Hakim menghukum

Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kepada

Penggugat secara tunai dan sekaligus, uang sejumlah US.$ 169.000,- dengan nilai

tukar rupiah pada saat pembayaran dilakukan, ditambah dengan ganti rugi sebesar

6% setahun dari jumlah tersebut, mulai dari gugatan didaftarkan sampai dibayar

lunas. Disamping itu, hakim juga menyatakan perkara itu dapat dijalankan lebih

dahulu, meskipun Tergugat I dan Tergugat II mengajukan upaya-upaya hukum

seperti perlawanan, banding atau kasasi dan menolak gugatan Penggugat

selebihnya. Hakim juga menghukum Tergugat I sekarang Pembanding membayar

biaya perkara 17.750.

3.8. Perkara Kasasi di Mahkamah Agung

Menyusul putusan Pengadilan Tinggi di atas telah diberitahukan kepada

Tergugat I Pembanding pada tanggal 19 Februari 1986, kemudian terhadapnya

oleh Tergugat I Pembanding (dengan perantaraan kuasanya khusus berdasarkan

surat kuasa khusus tanggal 28 Februari 1986) diajukan permohonan kasasi secara

53

lisan pada tanggal 3 Maret 1986 sebagaimana ternyata dari akta permohonan

kasasi No. 014/Srt. Perdata/1986 yang dibuat oleh Panitera Kepala Pengadilan

Negeri Jakarta Barat. Permohonan Kasasi tersebut kemudian disusul oleh memori

kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kapaniteraan Pengadilan

Negeri tersebut pada tanggal 14 Maret 1986. Setelah itu oleh Penggugat-

Terbanding yang pada tanggal 15 Maret 1986 telah diberitahu tentang memori

kasasi dari Tergugat I-Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi, diterima

Kapaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 5 April 1986. Baik

pemberitahuan isi putusan maupun permohonan kasasi dilakukan sesudah

Undang-Undang No.14 tahun 1985 berlaku, maka terhadap perkara kasasi

tersebut diberlakukan tenggang-tenggang waktu kasasi menurut Undang-Undang

No.14 tahun 1985. Permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasan yang telah

diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang

waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena

itu permohonan kasasi tersebut secara legal dapat diterima.

Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon kasasi dalam memori

kasasi tersebut pada pokoknya adalah bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang

menguatkan Putusan Pengadilan Negeri tentang putusan dapat dijalankan lebih

dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) adalah melanggar Pasal 180 (1) HIR jo.

Instruksi Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 1958 No.348/K/5216/M dan

surat Mahkamah Agung tanggal 30 Mei 1975 No. 158/0254/i/um/1975 serta surat-

surat edaran Mahmakah Agung No. 06/1975 tanggal 1 Desember 1975,

No.3/1971 tanggal 17 Mei 1971, No.02/1975 tanggal 28 Agustus 1975, karena

54

dalam perkara tersebut tidak ada hal-hal yang bersifat eksepsional. Lagipula

terhadap barang-barang milik Tergugat Asal 1 telah diletakkan sita jaminan yang

nilainya melebihi nilai gugatan.

Menurut dalil Pemohon Kasasi terlihat bahwa dalam gugatan, yang menjadi

pokok perkara bukan karena telah diserahkannya barang yang diangkut oleh

Tergugat Asal I yang in casu atas permintaan Tergugat Asal II, kepada pemesan

sebagaimana terlihat dalam B/L nya. Melainkan karena masih adanya kewajiban

pembayaran oleh Tergugat Asal II kepada Penggugat asal, uang sejumlah US.$

169.000,- sebagai akibat dibukanya L/C untuk mengimpor pupuk dari Australia.

Dengan adanya kenyataan tersebut, maka menurut pemohon kasasi Judex

Facti seharusnya mempertimbangkan, siapa yang dibebani tanggung jawab.

Pengadilan Tinggi menganggap telah terbukti bahwa Tergugat Asal II melakukan

perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat asal,

maka sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang wajib

mengganti kerugian adalah Tergugat Asal II.

Di samping itu menurut pemohon kasasi, Judex Facti juga tidak

mempertimbangkan akan hak dan kewajiban masing-masing pihak terhadap

perjanjian yang dibuatnya, yang dalam perkara a quo adalah adanya L/C yang

dibuat oleh dan di antara Penggugat asal dengan Tergugat Asal II dan adanya B/L

yang dibuat oleh dan di antara Tergugat Asal II dengan Tergugat Asal I.

Kedua perjanjian itu menurut Pemohon Kasasi berbeda, yaitu L/C diatur

dalam Undang-Undang Pokok Perbankan, sedangkan B/L diatur dalam KUHD

55

yang menyamakan dengan konosemen atau Surat Berharga dalam mana

pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk

diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan disana menyerahkannya

kepada orang yang ditunjuk (Penerima) disertai dengan janji-janji apa penyerahan

akan terjadi dan dalam perkara a quo kedua perjanjian itu merupakan perjanjian

yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Sehingga menurut Pasal 1338 (1) dan

Pasal 1340 KUHPerdata, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya juga terpisah satu

sama lain, karena perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya

dan tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga. Mengenai hal ini dapat

dilihat tentang asas kepribadian dalam KUHPerdata, asas Kepribadian adalah asas

yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk

kepentingan perorangan Pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata.

Atas dasar itu, menurut Pemohon Kasasi maka kerugian yang ditimbulkan

oleh belum dibayarnya lunas L/C oleh Tergugat asal II tidak dapat dibebankan

kepada Tergugat Asal I dengan alasan barang-barang yang diangkutnya telah

diserahkan tanpa B/L asli, yang notabene penyerahan tersebut telah mendapat

jaminan dari Tergugat Asal II dan sebelumnya telah mendapat pula persetujuan

dari prinsipnya. Putusan Pengadilan Negeri mengenai perkara a quo mengandung

kontradiksi. Di mana dalam pertimbangan hukum menyatakan telah terbukti

bahwa Tergugat Asal II masih mempunyai kekurangan pembayaran kepada

Penggugat asal sebesar US.$ 169.000,- tetapi dalam amarnya menghukum

pembayaran L/C sebesar US.$ 169.000,- Tergugat Asal I secara tanggung renteng

membayar kerugian itu. Putusan Pengadilan Tinggi yang menghukum Tergugat

56

Asal I dan II secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat

Asal sebesar US.$ 169.000,- adalah melanggar Pasal 1282 KUHPerdata yang

berbunyi; “tiada perikatan dianggap tanggung-menanggung, melainkan jika hal itu

dinyatakan secara tegas”.

Selama persidangan, menurut pendapat Pemohon Kasasi, Penggugat Asal

tidak dapat membuktikan adanya perjanjian/ hubungan hukum antara Penggugat

asal dengan Tergugat Asal I, dan juga tidak dapat membuktikan adanya suatu

perjanjian tanggung renteng antara Tergugat Asal I dengan Tergugat Asal II, dan

pula tidak ada undang-undang yang menetapan demikian. Selain itu, Penggugat

Asal tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita Penggugat Asal

adalah sebagai akibat perbuatan Tergugat Asal I. Oleh karena Penggugat asal

tidak dapat membuktikan secara terinci kerugian yang dideritanya, maka gugatan

tentang ganti rugi harus ditolak. Menurut Pemohon Kasasi suatu putusan

Pengadilan tidak boleh mengandung kontradiksi antara pertimbangan hukum

dengan amar dalam pelaksanaannya (Putusan Mahkamah Agung tanggal 18

Desember 1971 No. 598 K/Sip/1971 dan Putusan Mahkamah Agung tanggal 25

Maret 1972 No.51 K/Sip/1972). Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, maka

menurut pendapat Pemohon Kasasi tidak ada alasan bagi Judex Facti untuk

menghukum Tergugat Asal I secara tanggung renteng dengan Tergugat Asal II

untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat asal. Putusan Pengadilan

Tinggi yang mengabulkan bunga ganti rugi sebesar 6% setahun juga menurut

pendapat Pemohon Kasasi adalah melanggar hukum yang berlaku tentang bunga

pinjaman di bank. Penggugat Asal tidak dapat membuktikan bahwa antara

57

Tergugat Asal I dengan Penggugat Asal ada suatu hubungan hukum. Dengan

demikian telah tidak terbukti pula bahwa antara Tergugat asal I dengan Penggugat

asal ada perjanjian mengenai bunga. Dari Putusan Mahkamah Agung tanggal 7

Agustus 1975 No. 1114 K/Sip/1972 dapat diketahui dengan jelas bahwa tuntutan

bunga harus diperjanjikan dalam perjanjian, tanpa ada diperjanjikan, tuntutan

bunga harus ditolak. Dalam perkara a quo, bunga yang dituntut sebagai ganti rugi

tersebut tidak diperjanjikan dalam perjanjian L/C dan tuntutan bunga ganti rugi

sebesar 13% per tahun bukan merupakan bunga bank sebagaimana lazimnya.

3.9. Letter of Credit Surat Kredit Bernilai Tunai

Surat Perjanjian yang dikenal dengan L/C dapat dikatakan juga sebagai

suatu perjanjian antara satu orang dengan orang lain yang mungkin berdasarkan

rasa keadilan dapat ditetapkan oleh Pengadilan besarnya bunga sebagai ganti rugi,

melainkan merupakan suatu perjanjian pinjam meminjam antar bank di satu pihak

dengan peminjam di lain pihak. Menurut Pendapat Penulis dalam L/C

"peminjam", bukan suatu hubungan hukum hutang-piutang, tetapi surat tanda

bukti Pembiayaan Internasional oleh suatu Bank (the issuing Bank) berkewajiban

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. Sehingga, seharusnya tentang

bunga secara tegas dicantumkan dalam perjanjian dan apabila tidak adalah

merupakan resiko bank sendiri. Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan

dengan perbaikan Putusan Pengadilan Negeri menurut Pemohon Kasasi terdapat

ketidaktertiban dalam beracara dan mengandung kontradiksi dan kabur, serta

melanggar Pasal 181 (1) HIR dan Pasal 184 (1) HIR. Dalam pertimbangan

hukumnya, Pengadilan Negeri menyatakan bahwa telah terbukti berdasarkan

58

hukum bahwa Tergugat asal II mempunyai kekurangan pembayaran kepada

Penggugat Asal sejumlah US.$ 169.000,- hingga dengan demikian tuntutan

Penggugat asal sepanjang Tergugat Asal II tidak memenuhi kewajibannya kepada

Penggugat asal sejumlah US.$ 169.000,- harus dikabulkan. Akan tetapi dalam

amarnya, apa yang telah dipertimbangkan itu sama sekali tidak tercantum.

Sewaktu dalam tingkat Banding, terhadap hal tersebut telah diajukan

keberatan oleh Tergugat Asal I dalam memori bandingnya, sehingga Pengadilan

Tinggi hendak memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri tentunya hal tersebut

dipertimbangkan. Akan tetapi, kenyataannya hal tersebut tidak dipertimbangkan

oleh Pengadilan Tinggi. Andaikata Pengadilan Tinggi hendak mengadili sendiri,

menurut Pemohon Kasasi seharusnya Pengadilan Tinggi membatalkan Putusan

Pengadilan Negeri lebih dahulu dan kemudian dengan pertimbangannya sendiri

memberikan putusannya. Putusan Pengadilan Negeri mengenai ganti rugi dan

tanggung renteng adalah tepat. Sehingga, Tergugat Asal I tidak memperoleh lagi

dalam memori bandingnya, akan tetapi kenyataannya Pengadilan Tinggi telah

meninjau Putusan Pengadilan Negeri yang tidak dibanding itu dan mengubahnya

dengan mengabulkan tuntutan Penggugat Asal akan bunga ganti rugi dan

tanggung renteng. Sehingga menurut Pemohon Kasasi dalam hal ini Pengadilan

Tinggi telah menyimpang dari Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember

1975 No.261 K/Sip/1973.

Kecuali itu, menurut Pemohon Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi juga

mengandung kontradiksi dan kabur, karena di satu pihak menyatakan bahwa

kerugian yang diderita Penggugat asal adalah sebanyak sisa pelunasan L/C yang

59

masih harus dibayar oleh Tergugat Asal II sebesar US.$ 169.000,-, tetapi dilain

pihak menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melanggar

hukum dan dihukum untuk membayar kerugian yang diderita Penggugat Asal

sebesar US.$ 169.000,- secara tanggung renteng, meskipun Penggugat asal tidak

dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya itu adalah akibat perbuatan

Tergugat Asal I.

Kemudian ternyata pula bahwa Putusan Pengadilan Tinggi telah melanggar

Pasal 181 (1) HIR jo. Pasal 184 (1) HIR tentang biaya perkara, yaitu dalam

putusannya, Pengadilan Tinggi telah memutuskan bahwa Tergugat Asal I dan II

telah melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya menghukum Tergugat

Asal I dan II secara tanggung renteng membayar kepada Penggugat asal uang

sejumlah US.$ 169.000,- sehingga ini berarti bahwa Tergugat Asal I dan II

dinyatakan sebagai pihak yang kalau dan berdasarkan Pasal 181 (1) HIR jo 184

(1) HIR harus dihukum untuk membayar biaya perkara. Akan tetapi kenyataannya

dalam amar, yang dihukum untuk membayar biaya perkara hanya Tergugat Asal I.

Judex Facti baik dalam proses pemeriksaan dan dalam putusannya terdapat

keanehan-keanehan dan ketidaktertiban dalam beracara.

Pertimbangan Pengadilan Negeri menyatakan Tergugat Asal II terbukti

melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu tidak melunasi kekurangan

pembayaran L/C kepada Penggugat Asal, akan tetapi anehnya amar putusannya

tidak mencantumkan hukuman terhadap Tergugat Asal II. Malah, yang

dicantumkan adalah hukuman terhadap Tergugat Asal I, meskipun Penggugat

60

Asal tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat

perbuatan Tergugat Asal I.

Pada waktu putusan diucapkan jelas dinyatakan oleh Majelis Pengadilan

Negeri bahwa biaya perkara dibebankan kepada Tergugat Asal II, demikian pula

sebagaimana tercantum dalam akta banding, tetapi dalam amar putusan, yang

dihukum membayar biaya perkara adalah Tergugat Asal I.

Putusan Pengadilan Tinggi terdapat kontradiksi dan kabur, karena di satu

pihak menyatakan bahwa kerugian yang diderita Penggugat Asal adalah karena

belum dilunasinya sisa pembayaran L/C oleh Tergugat Asal II dan karena itu

tuntutan tersebut dapat dikabulkan. Akan tetapi anehnya Tergugat Asal I juga

turut dihukum secara tanggung renteng, meskipun Penggugat asal tidak dapat

membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat perbuatan Tergugat

Asal I. Lebih aneh lagi, menurut Pemohon Kasasi bahwa berkas perkara dikirim

oleh Pengadilan Negeri tanggal 21 November 1985, tetapi telah diterima oleh

Pengadilan Tinggi pada tanggal 19 November 1985.

3.10. Pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung

Para hakim dalam majelis Peradilan Kasasi yang terdiri dari R. Poerwoto

Soehadi Gandasoebrata, S.H., Wakil ketua sebagai ketua, Ny. Djoewarini, S.H.,

dan Yahya, S.H, sebagai Hakim-Hakim Anggota mempertimbangkan jika

keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena hal

tersebut tidak perlu dipertimbangkan, sebab amar dalam putusan kasasi tidak

perlu menyebutkan tentang serta merta. Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah

61

menerapkan hukum demikian menurut para Majelis Hakim, lagi pula keberatan

tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang

suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi

karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak

dilaksanakan atau ada kesalahan dalam perlaksanaan hukum, sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No.14 Tahun 1985. Tidak ada

perjanjian antara Tergugat Asal I dan Tergugat Asal II yang menyatakan dengan

tegas adanya tanggung jawab renteng sesuai dengan ketentuan Pasal 1282

KUHPerdata. Oleh karena telah terbukti bahwa Penggugat Asal menderita

kerugian sebesar US.$ 169.000,- sebagai akibat dari kesalahan/perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat-tergugat Asal, di mana Tergugat

Asal I sebagai pengangkut dan/atau agen pelayaran atas permintaan Tergugat Asal

II telah menyerahkan barang-barang yang diangkutnya kepada pihak ketiga tanpa

penyerahan B/L, maka adalah adil apabila resiko atas kesalahan bersama itu

dipikul oleh Tergugat-Tergugat asal secara bersama-sama pula yakni masing-

masing setengah bagian dari US.$ 169.000,- atau Tergugat Asal I dan II masing-

masing dihukum untuk membayar kepada Penggugat asal, uang sejumlah US.$

84.500,-. Mengenai penilaian hasil pembuktian, seperti telah dipertimbangkan di

atas, keberatan serupa itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat

kasasi, demikian pertimbangan para Majelis Hakim yang memutus perkara itu.

Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah menerapkan hukum. Pengadilan Tinggi

Jakarta seharusnya membatalkan lebih dahulu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Barat, sepanjang mengenai gugatan terhadap Tergugat Asal II dan bunga, dan

mengadilinya sendiri tentang hal-hal tersebut. Pengadilan Tinggi Jakarta tidak

62

salah menerapkan hukum, sebab dalam tingkat banding, perkara diperiksa lagi

secara keseluruhan. Tergugat Asal I dan II telah dinyatakan kalah dalam perkara

ini, maka Tergugat Asal I dan II harus dihukum untuk membayar ongkos perkara.

Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah menerapkan hukum, kecuali mengenai

tanggung renteng. Menurut pendapat Mahmakah Agung, cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi. PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” tersebut di atas, dan untuk

membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 8 Januari 1986. No.

554/PDT/1985/PT. DKI, yang menguatkan dan memperbaiki Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Barat tanggal 11 September 1985 No. 009/Pdt/G/1985/PN. Jkt.

Bar. Sehingga Mahkamah Agung mengadili sendiri dengan amar sepanjang

mengenai tanggung renteng dan ongkos perkara bahwa dalam perkara tersebut

Pemohon kasasi/ Tergugat Asal I dan Turut Termohon Kasasi/ Tergugat Asal II

sebagai pihak yang dikalahkan harus membayar semua biaya perkara, baik yang

jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding, maupun yang jatuh dalam

tingkat kasasi, masing-masing separo-separo.

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No.14 Tahun 1970 dan

Undang-Undang No.14 Tahun 1985 yang bersangkutan Mahkamah Agung

mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan

Tinggi Jakarta tanggal 8 Januari 1986 No. 544/Pdt/1985/PT. DKI yang

menguatkan dan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal

11 September 1985 No. 009/Pdt/G/1985/PN. Jkt. Bar, sepanjang mengenai

63

tanggung renteng dan ongkos perkara. Mahkamah Agung RI yang mengadili

sendiri perkara di tingkat Kasasi itu memutuskan bahwa Menolak Eksepsi

Tergugat II. Selanjutnya Mahkamah Agung juga menyatakan sah dan berharga

conservatoir beslag yang dilaksanakan oleh Panitera Pengganti Pengadilan Negeri

Jakarta Barat tanggal 29 Januari 1986 No. 009/Pdt/1985/PN. Jkt. Bar atas

sebidang tanah beserta dua buah bangunan yang berdiri diatasnya yang terletak di

Jalan Let. Jen. S. Parman No.35 (Slipi) Jakarta Barat. Tergugat I dan Tergugat II

telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum Tergugat I dan

Tergugat II membayar kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus, masing-

masing setengah bagian dari US.$ 169.000,- atau masing-masing sejumlah US.$

84.500,- ditambah dengan bunga sebesar 6% setahun dari jumlah tersebut mulai

dari gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas serta menolak gugatan Penggugat

untuk selebihnya. Mahkamah Agung dalam putusan atas perkara tersebut

menghukum Pemohon Kasasi dan Turut Termohon Kasasi untuk membayar biaya

perkara, baik yang jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun yang

jatuh dalam tingkat kasasi masing-masing separo-separo dan biaya dalam tingkat

kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp 20.000,-.

3.11. Analisis Nemo Dat Rule dalam Putusan 1887

Fakta yang dapat dilihat dalam gugatan, yakni kerugian yang dialami oleh

PT. Sejahtera Bank Umum sebagai the issuing bank yang telah menerbitkan tiga

buah L/C melalui the Chartered Bank di Jakarta senilai US $195.000,- guna

membayar secara tunai terlebih dahulu 3000 metric ton pupuk yang dibeli oleh

PT. Gespamindo (importir) kepada perusahaan pupuk di Australia yakni Phosphat

64

Mining Co. (eksportir), merupakan akibat dari perbuatan PT. Perusahaan

Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” sebagai pengangkut yang telah

menyerahkan 3000 metric ton pupuk tersebut kepada PT. Gespamindo tanpa B/L.

Kemudian, 3000 metric ton pupuk tersebut dijual kembali kepada tiga subjek

hukum pemesan pupuk yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT.

Sinar Mulia Buana oleh PT. Gespamindo. Disisi lain, PT. Gespamindo terbukti

belum melunasi kewajibannya kepada PT. Sejahtera Bank Umum. Adapun nilai

total harga pupuk yang harus dilunasi PT. Gespamindo seluruhnya adalah sebesar

US $169.000,-. Sehingga hakim mengadili dan memutus perkara dengan

menggunakan hukum positif Indonesia yaitu KUHPerdata Pasal 1365 yakni

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daat), dan menghukum PT.

Gespamindo dan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”

bertanggungjawab secara renteng, masing-masing untuk membayar kepada PT.

Sejahtera Bank Umum secara tunai dan sekaligus uang sejumlah US $ 84.500,.

Meskipun pada dasarnya Hakim hanya memutuskan sesuai dengan apa yang

menjadi gugatan oleh Penggugat, namun putusan akan menjadi lebih bermanfaat

dan adil apabila Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara dalam Putusan

1887 tersebut seharusnya berusaha menemukan kaidah ataupun asas yang sejalan

dengan hakikat dari suatu hubungan hukum dan hakikat atau inti dari suatu

hubungan hukum yang terletak pada faktor-faktor yang menyebabkan hubungan

hukum itu menjadi khas karakteristiknya.

Hal demikian sekaligus memperdalam kualitas putusan hakim yang

memutus perkara pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Putusan

65

Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 009/PDT/1985/PN.JKT.BAR., yaitu putusan

tanggal 18 September 1985, menyatakan bahwa PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” telah melakukan perbuatan melawan hukum,

yakni dalam kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran

telah menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk kepada pihak ketiga

tanpa penyerahan B/L. Sehingga penyerahan pupuk tersebut merugikan

Penggugat (PT. Sejahtera Bank Umum) sebesar US.$ 169.000,-. Pengadilan juga

menghukum PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” untuk

membayar dengan tunai dan sekaligus dengan penerimaan surat tanda pembayaran

yang sah kepada PT. Sejahtera Bank Umum sebesar US.$ 169.000,-, atau dengan

nilai lawan dengan kurs US.$ 1 = Rp. 1.072,- atau kurs yang sedang berlaku pada

saat pembayaran dilakukan. Putusan PN Jakarta Barat No. 009/PDT/G/1985/PN.

JKT. BAR., di atas memang telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta

dengan putusannya tanggal 8 Januari 1986 No. 544/PDT/1985/PT. DKI. Adapun

amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu adalah menguatkan Putusan PN

Jakarta Barat tanggal 11 September 1985 No. 009/PDT/G/1985/PN. JKT. BAR.,

yang dimohonkan Banding ini. Akan tetapi, dengan perbaikan bahwa PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dalam kedudukannya

sebagai pengangkut dan sebagai agen pelayaran dengan menyerahkan barang

berupa 3000 metric ton pupuk Phospate kepada pihak ketiga tanpa penyerahan

B/L dan Tergugat II, PT. Gespamindo yang telah meminta agar 3000 metric ton

itu diserahkan tanpa B/L, telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh

karena itu, para hakim Pengadilan Tinggi itu menghukum PT. Perusahaan

Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dan PT. Gespamindo secara tanggung

66

renteng untuk membayar kepada PT. Sejahtera Bank Umum secara tunai dan

sekaligus uang sejumlah US.$ 169.000,- dengan nilai tukar rupiah pada saat

pembayaran dilakukan, ditambah dengan ganti rugi sebesar 6% setahun dari

jumlah tersebut mulai dari gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas.

Putusan pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang telah

dikemukakan diatas menunjukkan bahwa yang menjadi pokok perkara adalah

kerugian yang dialami oleh PT. Sejahtera Bank Umum yang disebabkan oleh

perbuatan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dalam

kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran telah

menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk kepada pihak PT.

Gespamindo tanpa penyerahan B/L. Kemudian oleh PT. Gespamindo 3000 metric

ton pupuk tersebut diserahkan kepada PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas

dan PT. Sinar Mulia Buana. Disisi lain bahwa PT. Gespamindo belum melunasi

kewajibannya kepada PT. Sejahtera Bank Umum. Menurut penulis, apabila

diperhatikan perkara tersebut mengandung perbuatan pelanggaran atas asas dan

kaidah dalam hukum perdagangan internasional yaitu nemo dat rule. Maka dalam

penerapan hukum yang lebih berlaku dalam transaksi, seharusnya akan lebih

bermanfaat dan adil apabila Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara

tersebut menerapkan asas dan kaidah hukum perdagangan internasional yaitu

nemo dat rule.

Adapun analisis bahwa seharusnya Hakim dalam memutuskan perkara

dalam Putusan 1887 dapat menerapkan asas dan kaidah hukum perdagangan

internasional, karena seperti yang telah dikemukakan pada Bab I Skripsi ini, yakni

67

transaksi yang ada dalam Putusan 1887 telah memenuhi karakteristik/ciri-ciri

transaksi perdagangan internasional. Adapun karakteristik/ciri-ciri transaksi

perdagangan internasional yang dimaksud adalah (1) adanya pergerakan barang

ataupun jasa yang berpindah dari suatu negara ke negara lain; (2) kedudukan

tempat berusaha para pihak dalam transaksi berada di negara yang berbeda; dan

(3) hibrida.

Pertama, dengan melihat apakah dalam transaksi tersebut melibatkan

pergerakan barang atau jasa yang berpindah dari satu negara ke negara lain.

Transaksi dalam Putusan 1887, yakni pembelian pupuk sejumlah 3000 metric ton

oleh PT. Gespamindo yang berkedudukan di Indonesia dari Phosphate Mining

Company of Christmas Island Limited. Perusahaan asing yang Penulis sebutkan

belakangan itu adalah suatu badan hukum berkewarganegaraan Australia dan

berkedudukan di Canberra, Australia. Disini telah terjadi pergerakan barang

berupa pupuk yang berpindah dari negara Australia pindah ke negara Indonesia

yang diangkut oleh perusahaan pengangkutan PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia”. Kedua, dengan melihat apakah kedudukan

tempat berusaha dari masing-masing pihak dalam transaksi ada di negara yang

berbeda. Transaksi dalam Putusan 1887 yakni pihak Pengekspor adalah

Phosphate Mining Co. yang berkedudukan di negara Australia dan Pengimpor

adalah PT. Gespamindo yang berkedudukan di negara Indonesia. Disini terlihat

jelas, bahwa kedudukan para pihak yang bertransaksi ini berada di negara yang

berbeda. Ketiga, dengan cara hibrida, yakni cara yang umum digunakan oleh

banyak pihak dalam menentukan karakteristik perdagangan internasional yaitu

68

dengan memperhatikan jual-beli ekspor (export sales). Transaksi dalam Putusan

1887 jelas memperlihatkan bahwa transaksi yang diadakan merupakan transaksi

perdagangan berkarakteristik internasional, sebab jual beli tersebut melibatkan

pihak Phosphate Mining Co. yang bertindak sebagai eksportir yang berkedudukan

di negara Australia dan PT. Gespamindo yang bertindak sebagai importir yang

berkedudukan di negara Indonesia dan melibatkan pergerakan barang berupa

pupuk dari negara Australia berpindah ke negara Indonesia.

Analisis demikian memperlihatkan bahwa transaksi ini adalah suatu

transaksi perdagangan internasional. Sehingga, seperti yang telah dikemukakan di

atas, idealnya apabila transaksi yang ada adalah transaksi perdagangan

internasional, maka akan lebih bermanfaat dan adil, hukum yang diterapkan untuk

menyelesaikan perkara dalam Putusan 1887 adalah hukum yang mengatur

perdagangan internasional. Seperti yang telah beberapa kali dikemukakan oleh

Penulis bahwa asas dan kaidah yang dimaksud adalah nemo dat rule.

Nemo dat rule pada hakikatnya suatu kontrak tersebut, apabila dipergunakan

oleh para Hakim yang memeriksa perkara dalam Putusan 1887 itu maka Putusan

1887 itu akan menjadi suatu penemuan hukum yang lebih berkualitas. Hal itu

akan terlihat seperti analisis berikut di bawah ini:

Pertama, mengingat nemo dat rule itu, seperti telah dikemukakan di atas

pada hakikatnya adalah suatu kontrak, maka apabila analisis itu dimulai dari para

pihak (the party to contract) yang dapat dilihat di dalam Putusan 1887, maka

mulai dari tahap penyerahan Pupuk di Australia, sejatinya perbuatan hukum itu

telah memenuhi ketentuan larangan nemo dat rule. Mengapa demikian? Sebab

69

pemuatan pupuk di Australia yang bisa dibaca dalam Putusan 1887 dilakukan

dengan cara memuat barang-barang (subject-matter of the contract) atau obyek

perjanjian berupa pupuk di atas premis atau kapal milik dari pihak PT. Perusahaan

Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” sesungguhnya adalah penyerahan dari

orang atau pihak (the party to contract) berhak atas barang yang dijual. Tidak

dapat disangkal lagi, bahwa 3000 metric ton pupuk yang dimuat di atas Kapal PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” itu adalah Pupuk milik

Phosphate Mining Co. di Australia, suatu subyek hukum berkebangsaan Australia.

Sehingga dapat dikatakan bahwa di sini, nemo dat rule juga berdimensi

internasional mengingat asas atau kaedah hukum itu dalam Putusan 1887

mengatur suatu transaksi yang berdimensi internasional.

Hanya saja, penguasaan (possesion) pihak PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” atas 3000 metric ton pupuk, mengingat pupuk

itu tidak terelakan berada di atas Kapal milik atau dalam penguasaan PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”, dalam perspektif nemo

dat rule, tidak dapat dikatakan sebagai suatu penguasaan barang yang memenuhi

syarat sebagai seorang pemilik, namun seperti telah dikemukakan dalam Bab II

hal tersebut adalah agency yang bersifat apparent. Itu berarti bahwa penerbitan

B/L oleh PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” itu, apabila

B/L berfungsi sebagai tanda terima penyerahan barang dari Phospate Minging Co.

kepada Bank yang membayar, dilakukan oleh PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” atas nama (on behalf of) pihak yang membayar

3000 metric ton pupuk itu dari tangan Phospate Mining Co. Pihak tersebut, dapat

70

dipastikan seharusnya adalah the Chartered Bank di Jakarta, dan bukan PT.

Sejahtera Bank Umum. Hanya saja, Penulis perlu kemukakan di sini bahwa sangat

disayangkan, bahwa the Chartered Bank di Jakarta itu tidak menjadi pihak dalam

Putusan 1887 sama sekali. Bisa jadi, PT. Sejahtera Bank Umum telah melunasi

docummentary credit dari tangan the Chartered Bank di Jakarta. Sehingga dari

perspektif nemo dat rule, sudah cukuplah untuk dapat dikatakan bahwa

sesungguhnya PT. Sejahtera Bank Umum sudah dapat menjadi pemilik dari 3000

metric ton pupuk tersebut, meskipun dalam kenyataanya bank tidak berurusan

dengan barang namun hanya berurusan dengan dokumen dalam suatu transaksi

seperti pembayaran internasional yang terjadi dalam Putusan 1887 itu.

Kedua, dari perspektif nemo dat rule, merujuk kepada analisis pertama yang

baru saja Penulis kemukakan di atas, maka dapat dibenarkan apabila para hakim

menganggap bahwa barang, dalam hal ini 3000 metric ton pupuk itu sebetulnya

sudah menjadi milik dari PT. Sejahtera Bank Umum. Dengan demikian bahwa

hanya PT. Sejahtera Bank Umum yang bebas berbuat apapun terhadap 3000

metric ton pupuk tersebut termasuk mengalihkan kepemilikan pupuk tersebut.

Sehingga penguasaan atas barang-barang itu oleh PT. Perusahaan Pelayaran

Samudera “Samudera Indonesia” sejatinya adalah penguasaan berdasarkan

hubungan keagenan (agency) yang bersifat (apparent). Dengan demikian, maka

tidak ada mandat sebetulnya yang diberikan oleh PT. Sejahtera Bank Umum

kepada PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” untuk

menyerahkan kepemilikan pupuk itu kepada tiga pemesan pupuk dari PT.

Gespamindo. Penyerahan pupuk oleh PT. Perusahaan Pelayaran Samudera

71

“Samudera Indonesia” kepada ketiga pemesan itu, hanya berdasarkan perintah

dari PT. Gespamindo adalah pelanggaran terhadap nemo dat rule, dalam

pengertian seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan miliknya. PT.

Gespamindo seharusnya di mata para Hakim Agung yang mengadili dalam

Putusan 1887 haruslah dilihat telah melakukan pelanggaran terhadap asas yang

berdimensi hukum perdagangan internasional (lex mercatoria), tidak semata-mata

hanya menerapkan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yang sudah dinyatakan oleh para Hakim itu dalam Putusan

1887.

Ketiga, analisis juga perlu diarahkan kepada perpindahan barang dari PT.

Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” yang pada galibnya

menguasai pupuk tersebut atas nama dan untuk PT. Sejahtera Bank Umum kepada

ketiga pemesan pupuk dari PT. Gespamindo yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas

Dua Belas dan PT. Sinar Mulia Buana. Analisis demikian itu perlu dilakukan

mengingat orang akan bertanya, mengapa ketiga pemesan pupuk tersebut tidak

masuk dalam Putusan 1887 dan dalam kenyataanya mereka justru menguasai

pupuk tersebut tanpa suatu gangguan apapun. Menurut Penulis, hal itu terjadi,

mengingat seperti telah Penulis kemukakan di Bab II tentang Tinjauan

Kepustakaan skripsi ini, ada pengecualian (exemption) terhadap nemo dat rule.

Pengecualian terhadap nemo dat rule yang berlaku dalam hukum perdagangan

internasional atau lex mercatoria terjadi tidak semata-mata untuk melindungi

transaksi perdagangan internasional dalam hal ini perpindahan barang secara

bebas. Namun, peralihan itu dibenarkan mengingat ketiga pemesan pupuk tersebut

72

menurut Penulis, telah menguasai pupuk itu secara bonafit (bona fide) atau

beriktikad baik (in good faith).

Apabila hal ini diperhatikan dan kemudian diterapkan oleh para Hakim

dalam memeriksa perkara dalam Putusan 1887, maka akan memberi dimensi

penemuan hukum yang lebih jelas. Ketiga pihak pemesan 3000 metric ton pupuk

yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT. Sinar Mulia Buana telah

menguasai 3000 metric ton pupuk secara beritikad baik. Dengan kata lain bahwa

ketiga pihak tersebut merupakan pembeli yang beritikad baik. Hal ini dapat dilihat

dari perolehan pupuk oleh ketiga pihak tersebut yaitu dengan cara dibayarnya

pupuk tersebut dengan nilai yang sesuai atau pantas dengan 3000 metric ton

pupuk tersebut, meskipun ketiga pihak tersebut tidak terlebih dahulu mengetahui

secara pasti mengenai siapa sesungguhnya pemilik pupuk tersebut. Sehingga

pembeli beritikat baik ini diberikan perlindungan dengan menghargai bahwa hak

atau titel yang ia peroleh adalah titel yang baik.