bab iii hasil penelitian dan analisis a....

109
119 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian Dalam Bab ini akan dipaparkan mengenai 6 (enam) kasus kepailitan terpilih. Pilihan atas keenam kasus tersebut didasarkan pada adanya pertimbangan hakim mengenai tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-kasus tersebut. Keenam kasus tersebut mewakili kasus-kasus terkait tanggung jawab Organ Perseroan Terbatas dari tahun 2000 s.d 2011. Harapannya, analisis mengenai kasus-kasus ini, dapat menjawab problematika mengenai tanggung jawab Organ Perseroan. Problematika yang hendak dijawab yaitu mengenai bagaimana variasi argumen hakim dan memutus kasus-kasus kepailitan dan bagaimana tanggung jawab Organ Perseroan dalam keenam kasus kepailitan terkait tanggung jawab Organ Perseroan, berdasarkan pendekatan rule-based reasoning, doctrinal based reasoning dan principle based reasoning (vide Landasan Teori Bab I). Berikut uraian mengenai keenam kasus tersebut: 1. Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut uraian putusan

Upload: vandat

Post on 29-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

119

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil Penelitian

Dalam Bab ini akan dipaparkan mengenai 6 (enam) kasus

kepailitan terpilih. Pilihan atas keenam kasus tersebut

didasarkan pada adanya pertimbangan hakim mengenai

tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-kasus tersebut.

Keenam kasus tersebut mewakili kasus-kasus terkait tanggung

jawab Organ Perseroan Terbatas dari tahun 2000 s.d 2011.

Harapannya, analisis mengenai kasus-kasus ini, dapat

menjawab problematika mengenai tanggung jawab Organ

Perseroan. Problematika yang hendak dijawab yaitu mengenai

bagaimana variasi argumen hakim dan memutus kasus-kasus

kepailitan dan bagaimana tanggung jawab Organ Perseroan

dalam keenam kasus kepailitan terkait tanggung jawab Organ

Perseroan, berdasarkan pendekatan rule-based reasoning,

doctrinal based reasoning dan principle based reasoning (vide

Landasan Teori Bab I).

Berikut uraian mengenai keenam kasus tersebut:

1. Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &

Perkapalan Kodja Bahari

Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &

Perkapalan Kodja Bahari memperoleh kekuatan hukum

tetap pada tingkat kasasi. Berikut uraian putusan

120

terhadap kasus ini pada tingkat pertama dan tingkat

kasasi:

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat No.32/Pailit/2000/PN. Niaga/Jkt.

Pst

Indikator Uraian

Pemohon Pailit The Hongkong Chinese Bank Ltd

Termohon Pailit PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero)

Tanggal pengajuan

permohonan pailit

16 Mei 2000

Kasus Posisi

Dalil Pemohon Pailit 1. Pemohon adalah kreditor dari Termohon dan

Termohon adalah debitor dari Pemohon

berdasarkan 4 (empat) lembar Surat

Sanggup/Promissory Notes yang diterbitkan

Termohon bernomor seri:

a. 089/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 1.000.000

b. 090/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 1.000.000

c. 091/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 1.000.000

d. 092/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 500.000

sehingga seluruhnya berjumlah US$ 3.500.000 (tiga

juta lima ratus Dollar Amerika Serikat).

2. Pemohon membeli surat sanggup tersebut secara

sah dan dengan itikad baik dari pemegang

sebelumnya yaitu Ing Bank N.V. London yang telah

ditunjukkan dengan pengalihan secara endorsemen

yang tidak terputus-putus, yaitu dari PT. Asia

Kapitalindo Finance kepada Ing Bank N.V. London

yang telah ditunjukkan dengan pengalihan secara

endorsemen yang tidak terputus-putus yaitu dari

PT. Asia Kapitalindo Finance kepada Ing Bank N.V.

London kepada Pemohon dan telah pula diikuti

dengan penyerahan fisik surat sanggup tersebut.

121

Keabsahan tersebut ditunjukkan pula dengan

adanya konfirmasi pembelian serta bukti transfer

pembayaran dari Pemohon kepada Ing Bank N.V.

London sebagai pemegang sebelumnya.

3. Berdasarkan surat sanggup yang diterbitkannya

sendiri, Termohon telah memberikan janji tanpa

syarat untuk membayar (unconditional promise to

pay) pada saat jatuh waktu kepada pihak yang

ditunjuk (aan order) sebagai pelunasan jumlah

uang yang terutang oleh Termohon.

4. Termohon sendiri telah menjamin keabsahan

seluruh surat sanggup yang diterbitkannya dengan

surat verifikasi keaslian surat sanggup dan surat

edaran kepada pemegang surat sanggup dan surat

edaran kepada pemegang surat sanggup yang

dikirim oleh Termohon pada tanggal 15 April 1998

bernomor referensi 268/III/DKB/1998 yang

merupakan pengakuan bahwa Termohon tidak

dapat memenuhi kewajibannya sehingga Termohon

sudah seharusnya dinyatakan pailit.

Jawaban Termohon Pemohon bukan kreditor dari Termohon dan Termohon

bukan debitor dari Pemohon

1. Bahwa penerbitan 4 (empat) lembar surat

sanggup (promissory note) tersebut adalah cacat

hukum dan tidak sah sehingga dengan

demikian sama sekali tidak mengikat Termohon

karena keempat surat sanggup tersebut

diterbitkan oleh Anggota Direksi tanpa

sepengetahuan dan persetujuan dari

Komisaris, sebagaimana diatur dalam Anggaran

Dasar Termohon;

2. Bahwa Pasal 11 ayat (3) huruf (a) dan ayat 4

huruf (d) Anggaran Dasar Termohon

menyatakan sebagai berikut:

Apabila Direksi menerima atau memberi

pinjaman jangka panjang, menengah atau

pendek yang bersifat operasional atau melebihi

jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS) haruslah

mendapat persetujuan dari Komisaris;

122

3. Bahwa dengan demikian dalam konteks

penerbitan surat-surat sanggup a quo yang

kemudian berada di tangan Pemohon telah

terjadi suatu kesalahan fatal secara melawan

hukum secara melawan hukum yang dilakukan

oleh Anggota Direksi, yaitu penyalahgunaan

wewenang (misbruik) dari yang seharusnya telah

digariskan;

4. Bahwa kesalahan-kesalahan Anggota Direksi

tersebut adalah:

a. Bahwa Komisaris belum dan/atau tidak

memberikan persetujuan sebagaimana

terungkap dalam surat pernyataan No.

08/DK-DKB/VI/1999 tanggal 17 Juni 1999

yang intinya menyatakan:

“Atas penerbitan promissory note (surat

sanggup kepada pihak manapun juga,

Komisaris yang diangkat berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Keuangan

No.331/KMK.016/1995 jo No.

298/KMK.016/1996 jo. No.

474/KMK.016/1997 tidak membubuhkan

tanda tangannya”

Bahwa padahal menurut Pasal 11 ayat (3)

huruf (a) dan ayat (4) huruf (d) persetujuan

Komisaris tersebut bersifat wajib

(imperative)

b. Bahwa sebelumnya Menteri Keuangan

(selaku pemegang saham) juga telah

melarang untuk menerbitkan commercial

paper yang baru, sebagaimana dinyatakan

dalam Surat Menteri Keuangan No. %-

90/MK.016/1999 tertanggal 4 Februari

1997

5. Bahwa sebagai akibat dari tidak adanya

persetujuan dari Komisaris serta melanggar

perintah Menteri Keuangan (pemegang saham)

atas penerbitan 4 (empat) lembar surat sanggup

(promissory note), maka penerbitan 4 (empat)

123

lembar surat sanggup (promissory note) adalah

cacat hukum dan tidak sah, karena

bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata

(tentang syarat-syarat sahnya perjanjian)

khususnya syarat ke-empat yakni sebab yang

halal. Bahwa dengan demikian sejak awal

terbitnya keempat surat sanggup (promissory

note) aquo telah bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, sehingga

konsekuensinya Termohon tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban atas keempat surat

sanggup (promissory note) aquo.

6. Bahwa dengan melanggar ketentuan dalam

Anggaran Dasar maka penerbitan 4 (empat)

lembar surat sanggup tanpa persetujuan

Komisaris tersebut batal demi hukum (null and

void), karena salah satu syarat objektif yaitu

sebab (causa) yang halal tidak terpenuhi.

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya

debitor

1. Menimbang, bahwa Termohon menyangkal dan

menolak surat sanggup tersebut karena

penerbitannya cacat hukum dan tidak sah, sebab

diterbitkan oleh Anggota Direksi tanpa

sepengetahuan dan sepersetujuan Komisaris

Termohon sebagaimana diatur dalam Anggaran

Dasar Termohon Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4)

huruf (d) yang menyatakan sebagai berikut:

“Apabila Direksi meminta atau memberi pinjaman

jangka panjang atau pendek yang bersifat

operasional atau melebihi jumlah saham tertentu

yang ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang

Saham haruslah mendapat persetujuan dari

Komisaris”

2. Bahwa disamping itu penerbitan surat sanggup

tersebut juga melanggar surat Menteri Keuangan

No. S-80/MK.16/1997 tanggal 04 Februari tentang

Penerbitan Commercial Paper PT. Dok dan

Perkapalan Kodja Bahari yang isinya:

a. Terhitung sejak tanggal surat ini kami minta

124

agar Saudara tidak menerbitkan commercial

paper yang baru.

b. Untuk penerbitan-penerbitan commercial paper

selanjutnya kami minta agar Saudara

melaporkan dan mendapatkan ijin terlebih

dahulu dari kami selaku pemegang saham.

3. Menurut pertimbangan hakim, dengan adanya

fakta di atas maka utang yang timbul dari

penerbitan 4 (empat) lembar surat sanggup tersebut

masih menjadi permasalahan dan belum bersifat

pasti sehingga untuk menentukan keabsahannya

memerlukan proses pembuktian yang tidak

sederhana lagi sebagaimana ditentukan dalam

dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 sebab

untuk menyatakan sah tidaknya surat sanggup itu

Termohon harus melalui pembuktian yang lengkap

dan melibatkan banyak pihak. Proses pembuktian

yang rumit dan melibatkan banyak pihak tersebut

prosesnya melalui acara perdata biasa di

Persidangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya dua

kreditor atau lebih

Selain kepada Pemohon, Termohon juga berutang

terhadap:

1. Cho Hung Leasing & Finance (H.K) sebesar Rp.

US$ 2.271.500 (dua juta dua ratus tujuh puluh

satu ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat)

2. Ing Bank N.V. London sebesar Rp.

9.000.000.000,- (sembilan milyar Rupiah) dan

US$ 5.407.250 (lima juta empat ratus tujuh

ribu dua ratus lima puluh rupiah).

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai satu hutang

yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih

Berdasarkan surat sanggup, kewajiban Termohon

untuk membayar utangnya kepada Pemohon telah

jatuh waktu pada tanggal 16 Januari 1998.

Pemohon telah melakukan pengunjukkan surat

sanggup tersebut kepada Termohon sekaligus untuk

dimintakan pembayaran pada tanggal jatuh waktunya

yaitu 16 Januari 1998 sebagaimana terbukti dari

surat pengunjukkan dan permintaan pembayaran

(redemption) tertanggal 14 Januari 1998. Namun

125

Termohon tetap tidak membayar surat sanggup

tersebut walaupun kewajiban Termohon berdasarkan

surat sanggup tersebut telah menjadi jatuh waktu

dan dapat ditagih.

Putusan Menolak permohonan pernyataan pailit Pemohon;

Membebankan biaya perkara yang timbul kepada

Pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah)

Tanggal pembacaan

putusan

14 Juni 2000

b. Tingkat kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 21

K/N/2000

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi The Hongkong Chinese Bank Ltd

Termohon Kasasi PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero)

Keberatan Pemohon

Kasasi dalam Memori

Kasasi

A. Judex Factie telah salah dalam menerapkan

hukum tentang Perseroan Terbatas (mengingat

obyek dalam permohonan pailit ini adalah PT

bukan perorangan).

1. Bahwa judex factie sendiri telah menemukan fakta-

fakta yang terbukti secara sederhana (sumir) yang

dimuat dalam pertimbangan 34 aliner ke 3:

“Menimbang bahwa dari bukti-bukti Pemohon dan

Termohon yang berkaitan tersebut di atas, Majelis

menemukan fakta-fakta yang pokoknya sebagai

berikut:

Bahwa bukti P-1 terdiri dari 4 (empat) lembar

surat sanggup (promissory note) yang diterbitkan

oleh Termohon ditandatangani oleh Drs. Akhmal

Wahid, Direktur Utama dan Drs. Muchlis Hamid,

MBA, pada tanggal 16 Juli 1997”.

2. Sehingga jelas bahwa penerbitan surat sanggup

dilakukan oleh Anggota Direksi Termohon yang

berwenang mewakili Perseroan di dalam maupun

126

di luar pengadilan dan Pemohon sebagai kreditor

pemegang surat sanggup yang telah memberikan

pinjaman kepada Termohon yang tidak dapat

dirugikan dengan bantahan ketiadaan (quad non)

persetujuan Komisaris tersebut. Hal ini hanya

permasalahan internal yang diberitahukan kepada

para kreditor setelah utang jatuh tempo dan dapat

ditagih. Padahal waktu penerbitan dan pembelian

jelas sekali bahwa Termohn telah mengakui utang

tersebut yang didukung dengan bukti transfer

pembayaran surat sanggup, bukti surat dari

pemegang saham Termohon yaitu Departemen

Keuangan Republik Indonesia, bukti Surat Edaran

dari Termohon kepada para pemegang surat

sanggup dan Balance Sheet Termohon per 31 Juli

1998 atau setelah surat sanggup diterbitkan yang

menunjukkan bahwa aliran dana masuk ke dalam

neraca Termohon yang berarti terlepas dari benar

tidaknya permasalahan internal tersebut,

Termohon tetap harus mengembalikan utang yang

ditagih oleh kreditor pemegans surat sanggup,

yaitu Pemohon salah satunya.

3. Bahwa ketiadaan persetujuan Komisaris tidak

dapat menjadi bantahan kepada Pemohon karena

Undang-Undang Perseroan Terbatas telah

mengatur hal itu hanyalah permasalahan internal

yang quad non, andaikan benar-benar terjadi maka

Perseroan tetap akan bertanggung jawab kepada

pihak ketiga secara tanggung renteng dengan

Direksi yang telah (terbukti) bertindak di luar

kewenangan yang diatur dalam Anggaran

Dasarnya (ultra vires). Hal ini sesuai dengan Pasal

90 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995:

“Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan

atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perseroan

tidak cukup untuk menutup kerugian tersebut

maka setiap anggota Direksi, kecuali dapat

membuktikan sebaliknya, secara tanggung renteng

bertanggung jawab atas kerugian tersebut.”

Yang berarti bahwa jika Direksi bersalah atau lalai

sebagaimana dalil bantahan Termohon Kasasi

127

maka kekayaan Perseroanlah yang terlebih dahulu

menjadi jaminan bagi pelunasan utang Termohon

sebelum Anggota Direksi bertanggung jawab

secara tanggung renteng.

B. Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon Error in

Persona

Berdasarkan Pasal 85 UU No. 1 Tahun 1995 yang

berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap Anggota Direksi wajib dengan itikad baik

dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas

untuk kepentingan dan usaha Perseroan;

(2) Setiap Anggota Direksi bertanggung jawab

penuh secara pribadi apabila yang

bersangkutan bersalah dan lalai menjalankan

tugasnya sesuai dengan ketentuan dalam ayat

(1)

Maka seharusnya permohonan pernyataan pailit

tersebut dialamatkan kepada Direksi Termohon

yang bersalah atau lalai secara pribadi, sehingga

permohonan pernyataan pailit terhadap Perseroan

PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero)

adalah merupakan error in persona;

Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi

Adanya debitor Mengenai debitor dari keempat surat sanggup

(promissory note)

1. Bahwa sebagaimana yang telah dipertimbangkan

oleh Judex Factie, empat lembar surat sanggup

(promissory notes) yang berada di tangan Pemohon

Kasasi ditandatangani oleh dua orang anggota

Direksi PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari

(Persero), Anggaran Dasar mana telah diumumkan

dalam Berita Negara RI No. 105 tanggal 31

Desember 1991 dan Tambahan Berita Negara No.

5064, mengharuskan adanya persetujuan dari

Komisaris;

2. Bahwa dengan telah diumumkannya Anggaran

Dasar Termohon Kasasi, maka siapa saja yang

mengadakan perjanjian dengan Termohon Kasasi

berkewajiban untuk meneliti Anggaran Dasar yang

128

dimaksud sebelum mengadakan perjanjian, dan

oleh karena tidak ada persetujuan dari Komisaris

dalam penerbitan Promissory Notes tersebut

seperti yang ternyata dari Surat Pernyataan

Komisaris tanggal 17 Juni 1999 maka keempat

promisory note yang diterbitkan oleh kedua

Anggota Direksi Termohon Kasasi tersebut

tidaklah mengikat Termohon Kasasi sehingga yang

menjadi debitor dari keempat surat sanggup

(promissory note) tersebut bukanlah Termohon

Kasasi melainkan Drs. Akhmad Wahid dan Drs.

Muchlis Hamid, MBA selaku pribadi dan para

endosan yang bertanggung jawab secara tanggung

renteng kepada Pemohon Kasasi selaku pemegang

(Pasal 146 KUH Dagang).

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di

atas amar putusan Pengadilan Niaga tetap

dipertahankan di Mahkamah Agung.

Adanya dua kreditor

atau lebih

-

Satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat

ditagih

-

Putusan 1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi: The Hongkong Chinese Bank, Ltd

2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp.

2.000.000,- (dua juta rupiah)

Tanggal Pembacaan

Putusan

2. Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar

Perdana Indonesia

Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar

Perdana Indonesia memperoleh kekuatan hukum tetap

pada tingkat peradilan kasasi. Berikut uraian putusan

129

terhadap kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama

dan tingkat peradilan kasasi

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat No.

51/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst

Indikator Uraian

Pemohon Pailit PT. Indosurya Mega Finance

Termohon Pailit PT. Greatstar Perdana Indonesia

Tanggal pengajuan

permohonan pailit

26 Juli 2000

Kasus Posisi

Dalil Pemohon Pailit 1. Pemohon adalah pemegang surat sanggup

(promissory note) tertanggal 6 Februari 1998

dengan jumlah pokok Rp. 2.000.000.000,- (dua

milyar Rupiah) yang diterbitkan oleh Termohon

dengan ketentuan jatuh tempo surat sanggup

(promissory note) tanggal 6 Mei 1998. Dengan

demikian, Pemohon berhak atas pembayaran

surat sanggup (promissory note) pada tanggal

jatuh tempo’

2. Bahwa sejak saat surat sanggup (promissory note)

jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu pada tanggal

6 Mei 1998 sampai dengan diajukannya

permohonan pailit ini ternyata Termohon tidak

memenuhi kewajibannya untuk melakukan

pembayaran atas surat sanggup tersebut kepada

Pemohon;

3. Bahwa selain Pemohon, ternyata Termohon juga

mempunyai kreditor lain, diantaranya yaitu PT.

Bank Mandiri (Persero).

Jawaban Termohon Bahwa menurut Anggaran Dasar Perseroan Termohon,

pembuatan surat sanggup (promissory note) harus

mendapat persetujuan Komisaris, sedangkan surat

sanggup (promissory note) tanggal 6 Februari 1998

tersebut diterbitkan tanpa persetujuan dan tanpa

130

sepengetahuan Komisaris

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya

debitor

Menimbang, Termohon adalah debitor dari Pemohon

karena Pemohon adalah pemegang surat sanggup

(promissory note) tertanggal 6 Februari 1998 dengan

jumlah pokok Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah)

yang diterbitkan oleh Termohon.

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya dua

kreditor atau lebih

Menimbang, Termohon terbukti mempunyai kreditor

lain selain Pemohon yaitu PT. Bank Mandiri (Persero)

cabang Jakarta Mangga Besar

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai satu utang

yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih

Mengenai pembuktian keabsahan surat sanggup

(promissory note) tertanggal 6 Februari 1998 dengan

jumlah pokok Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah)

yang diterbitkan oleh Termohon dengan ketentuan

jatuh tempo surat sanggup (promissory note) tanggal 6

Mei 1998 sebagai bukti adanya satu utang yang telah

jatuh tempo dan dapat ditagih:

1. Menimbang, bahwa mengenai jawaban Termohon

mengenai keabsahan surat sanggup, menurut

Anggaran Dasar Perseroan Termohon, pembuatan

surat sanggup harus mendapat persetujuan

Komisaris, sedangkan surat sanggup (promissory

note) tanggal 6 Februari 1998 tersebut diterbitkan

tanpa persetujuan dan tanpa sepengetahuan

Komisaris;

2. Menimbang, bahwa hal tersebut didukung bukti

Anggaran Dasar Perseroan, dimana dalam Pasal 12

ayat (2) dan (4) Anggaran Dasar Perseroan, Direksi

harus mendapat persetujuan Komisaris, jika tidak

maka tindakan Direksi tidak sah terhadap

Perseroan;

3. Menimbang, bahwa akan tetapi, alasan tersebut

tidak dapat diterima menurut hukum, karena pada

prinsipnya, Anggaran Dasar ataupun Anggaran

Rumah Tangga suatu persekutuan hanya

mengikat dan berlaku intern/ke dalam

persekutuan tersebut dan tidak dapat mengikat

131

dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga;

4. Menimbang, bahwa memang kadang kala untuk

hal-hal tertentu perbuatan Direksi dibatasi oleh

Anggaran Dasar suatu Perseroan, yang pada

umumnya Direksi tidak boleh berbuat sendiri jika

tidak bersama-sama dengan Komisaris atau

setidaknya terlebih dahulu mendapat persetujuan

Komisaris, biasanya dikatakan bahwa Direksi telah

melampaui batas wewenangnya (ultra vires)

sehingga perbuatannya tidak sah terhadap

Perseroan;

5. Menimbang, bahwa ketentuan tersebut pada

prinsipnya hanya berlaku dan mengikat ke dalam

(intern), sedangkan bagi pihak ketiga (hubungan

ekstern), tidak berlaku, oleh karena itu pihak

Perseroan harus bertanggungjawab terhadap pihak

ketiga tersebut, sekalipun ada perbuatan yang

melampaui batas wewenang (ultra vires) dari

Direksi;

6. Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut

Majelis berpendapat bahwa keberatan atau

tanggapan dari Termohon tidak berdasar menurut

hukum, oleh karenanya harus ditolak;

7. Menimbang, mengenai apakah surat sanggup

(promissory note) dapat dipakai sebagai bukti

adanya pinjaman uang/utang. Surat sanggup

(promissory note) merupakan janji untuk

membayar (promise to pay) sehingga dapat

digolongkan sebagai tagihan utang.

Putusan 1. Mengabulkan permohonan pailit yang diajukan

oleh Pemohon PT. Indosurya Mega Finance;

2. Menyatakan Termohon PT. Greatstar Perdana

Indonesia pailit;

3. Menunjuk Syamsudin Manan SInaga, SH., MH,

Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai

Hakim Pengawas;

4. Mengangkat besarnya imbalan jasa kurator akan

132

ditetapkan kemudian setelah Kurator menjalankan

tugasnya;

5. Menghukum Termohon untuk membayar ongkos

perkara sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta

rupiah).

Tanggal pembacaan

putusan

16 Agustus 2000

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.

30/K/N/2000

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Greatstar Perdana Indonesia

Termohon Kasasi PT. Indosurya Mega Finance

Tanggal pengajuan

permohonan kasasi

23 Agustus 2000

Keberatan Pemohon Kasasi

dalam Memori Kasasi

Pemohon Kasasi keberatan mengenai

pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga

mengenai keabsahan surat sanggup:

1. Bahwa Anggaran Dasar Pemohon Kasasi

Akta Nomor 521 tertanggal 30 Mei 1990

adalah merupakan suatu peraturan yang

mengikat semua pihak, termasuk juga pihak

ketiga (Termohon Kasasi) karena Anggaran

Dasar tersebut telah diumumkan dalam

Berita Negara Indonesia No. 79 tanggal 2

Oktober 1992 No. 4864, sehingga telah

memenuhi asas publisitas;

2. Dalam Anggaran Dasar Pemohon Kasasi

Pasal 12 ayat (2) dan ayat (4) secara tegas

menyatakan:

“Pasal 2 ayat (2):

Masing-masing Anggota Direksi harus

mendapat persetujuan tertulis dari surat-

133

surat yang berkenan turut ditandatangani

oleh seorang Komisaris untuk:

a. Meminjam atau meminjamkan uang atas

nama Perseroan;

b. Memperoleh, membebani atau

mengasingkan harta tetap Perseroan;

c. Mengikat Perseroan sebagai penjamin.”

“Pasal 12 ayat (4):

Segala tindakan dari pada Anggota Direksi

yang diluar batas dari Anggaran Dasar

dan/atau maksud dari Perseroan adalah

tidak sah terhadap Perseroan.”

3. Dalil Pemohon Kasasi tersebut telah

diterapkan juga dalam 3 (tiga)

kasus/perkara lainnya:

a. Putusan MA No. 21 K/N/1999 tertanggal

15 Agustus 1999 antara The Vietnam

Frontier Fund melawan PT. Dok vs

Perkapalan Kodja Bahari (Persero);

b. Putusan Pengadilan Niaga No.

81/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst

tertanggal 15 November 1999 antara The

Hongkong Chinese Bank. Ltd vs PT. Dok

dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero);

c. Putusan Pengadilan Niaga No.

06/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst

tertanggal 29 Februari 2000 antara The

Hongkong Chinese Bank, Ltd vs PT. Dok

dan Perkapalan Kodja Bahari.

Dari pertimbangan hukum Majelis Hakim

perkara a quo dapat ditarik kesimpulan

bahwa apabila suatu perbuatan hukum

yang dilakukan tidak sesuai dengan

Anggaran Dasar maka secara hukum harus

ditolak.

134

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Adanya debitor Menimbang, keberatan Pemohon Kasasi dapat

dibenarkan karena judex factie telah salah

menerapkan hukum dengan pertimbangan:

1. Bahwa dalam Anggaran Dasar Perseroan

jelas tertera hal-hal yang harus dimuat

dalam surat sanggup (promissory note)

seperti yang dimaksud dalam Pasal 174

KUH Dagang dan Anggota Direksi (Budi

Handoko) dalam menerbitkan surat

sanggup (promissory note) tersebut

seharusnya mendapat persetujuan tertulis

dari seorang Komisaris;

2. Bahwa oleh karena dalam surat sanggup

(promissory note) tanggal 6 Februari 1998

yang ditandatangani oleh Budi Handoko

selaku Direktur, tanpa adanya persetujuan

tertulis dari seorang Komisaris tersebut

tidak mengikat Termohon, melainkan

hanya mengikat Budi Handoko pribadi dan

karenanya permohonan pailit yang

diajukan oleh Pemohon Pailit terhadap

Termohon Pailit harus ditolak.

Adanya dua kreditor atau lebih -

Satu hutang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih

-

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan kasasi PT. Greatstar Perdana Indonesia dengan

membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tertanggal 16 Agustus

2000 No. 51/Pailit/2000/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Putusan Mengadili:

1. Mengabulkan permohonan kasasi dari

Pemohon Kasasi PT. Greatstar Perdana

Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh

kuasa hukumnya Denny Kailimang, SH.,

Bambang Hartono, SH., dan Benny Ponto,

SH;

2. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga

135

Jakarta Pusat tanggal 16 Agustus 2000 No.

51/Pailit/2000/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Mengadili sendiri:

1. Menolak permohonan pailit dari Pemohon

PT. Indosurya Mega Finance tersebut;

2. Menghukum Termohon Kasasi/Pemohon

Pailit untuk membayar biaya perkara dalam

semua tingkat peradilan yang dalam tingkat

kasasi sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta

rupiah).

Tanggal pembacaan putusan

kasasi

14 September 2000

3. Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance

Corporation

Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance

Corporation memperoleh kekuatan hukum tetap pada

tahap peninjauan kembali. Berikut putusan terhadap

kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama, kasasi

dan peninjauan kembali:

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat No.

08/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt. Pst

Indikator Uraian

Pemohon Pailit PT. Bank Mandiri (Persero)

Termohon Pailit 1. PT. Bakrie Finance Corporation (Termohon I);

2. Aburizal Bakrie sebagai Komisaris Utama

(Termohon II);

3. Nirwan Dermawan Bakrie sebagai Wakil Komisaris

Utama (Termohon III);

136

4. Nalikant Rathod sebagai Komisaris (Termohon IV);

5. Aftab Ahmed sebagai Komisaris (Termohon V);

6. Hishak Secakusuma sebagai Komisaris (Termohon

VI);

7. Tanri Abeng sebagai Komisaris (Termohon VII);

8. Anh-Dung Do sebagai Komisaris (Termohon VIII);

9. Mustafa Ishaq Jatim sebagai Direktur Utama

(Termohon IX)

10. Kosasih Wikanta sebagai Direktur (Termohon X)

Tanggal pengajuan

permohonan pailit

24 April 2002

Kasus Posisi

Dalil Pemohon Pailit 1. Pemohon adalah waliamanat yang diberi

kepercayaan untuk mewakili kepentingan para

pemegang obligasi dalam rangka Penawaran Umum

Emisi Obligasi PT. Bakrie Finance Corporation

berdasarkan perjanjian Perwaliamanatan

berdasarkan Akta No. 72, tanggal 19 Juni 1997

yang diubah dengan Akta No.72, tanggal 19 Mei

1997.

2. Bahwa atas pembelian obligasi oleh para pemegang

obligasi yang diwakili oleh Pemohon, Termohon I

melakukan pembayaran kupon bunga sebanyak

tiga kali sedangkan Kupon Bunga ke-empat yang

telah jatuh tempo pada tanggal 23 Juli 1998,

Termohon I tidak melaksanakan kewajibannya

untuk melakukan pembayaran kepada Para

Pemegang Obligasi.

3. Dengan tidak dibayarnya Kupon Bunga ke-empat,

Pemohon mengadakan Rapat Umum Pemegang

Obligasi (RUPO) sebanyak 7 (tujuh) kali (RUPO

pertama tanggal 2 September1998, RUPO ketujuh

tanggal 6 November 2000), namun selama RUPO

berlangsung Termohon I juga tidak melaksanakan

kewajibannya untuk membayar Kupon Bunga ke-

empat sampai dengan ke-delapan belas walaupun

telah dinyatakan jatuh tempo.

137

4. Termohon I tidak melaksanakan kewajiban

terhadap para pemegang obligasi, baik atas kupon

bunga maupun atas pokok obligasi, maka

Termohon II sampai dengan Termohon X ikut

bertanggungjawab karena penjualan obligasi di

dalam Prospektus yang diterbitkan oleh Termohon

I, yang mana Termohon II sampai dengan

Termohon X adalah sebagai Komisaris dan Direksi

Perseroan yang mempunyai reputasi sebagai

pengusaha yang sukses dan diakui baik secara

nasional maupun internasional, sehingga para

pembeli obligasi tertarik membeli obligasi tersebut

dan berkeyakinan akan pembayaran terhadap

kupon bunga obligasi maupun utang pokoknya

terbayar dengan lancar.

5. Keterangan saksi ahli bernama Sutrisno, SH bahwa

organ Perseroan tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang

dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga

dan yang bertanggungjawab adalah Perseroan.

Jawaban Termohon

Pailit

1. Bahwa PT. Bakrie Finance Corporation, Tbk atau

Termohon I sampai dengan tanggal

disampaikannya tanggapan ini (7 Mei 2002 –

catatan penulis) berada dalam Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka PKPU

seharusnya diputus terlebih dahulu;

2. Bahwa Termohon keberatan dengan dalil Pemohon

yang dengan mudahnya tanpa membuktikan, telah

menyatakan bahwa Para Termohon II s.d. X

terbukti secara bersama-sama maupun sendiri-

sendiri bertanggungjawab atas penjualan obligasi

tersebut di atas sehingga memenuhi unsur-unsur

tidak membayar satu hutang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih dan mempunyai lebih dari

1 (satu) kreditor.

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya

1. Menimbang, mengenai pembuktian sederhana

terkait kesalahan atau kelalaian Direksi untuk

menuntut pertanggungjawaban pribadi anggota

138

debitor Direksi. Dasar hukumnya Pasal 85 ayat (1) UU No.

1 Tahun 1995 bahwa Direksi wajib dengan itikad

baik bertanggung jawab untuk menjalankan tugas

usaha Perseroan dan setiap anggota Direksi

bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila

yang bersangkutan bersalah atau lalai

menjalankan tugasnya (vide Pasal 85 ayat (2));

2. Menimbang mengenai, pembuktian sederhana

terkait kesalahan atau kelalaian Komisaris untuk

menuntut pertanggungjawaban pribadi anggota

Komisaris: Berdasarkan Pasal 96 UU No. 1 Tahun

1995 mengenai Perseroan Terbatas bahwa untuk

menjadi Komisaris adalah orang perseorangan

yang dianggap mampu dan tidak pernah

dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi

atau Komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit

atau orang yang pernah dihukum karena tindak

pidana yang merugikan keuangan Negara dalam

waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan;

3. Menimbang, berdasarkan Pasal-pasal tersebut

diatas dan bukti-bukti yang diajukan oleh

Pemohon, ternyata tidak terbukti para Anggota

Komisaris tersebut karena kesalahan atau

kelalaiannya telah menimbulkan kerugian pada

Perseroan dan tidak terbukti pula bersalah atau

lalai dalam menjalankan tugasnya, sehingga para

Komisaris tersebut tidak dapat dimintakan

pertanggungjawabannya terhadap transaksi yang

dilakukan Termohon I dengan Pemohon.

4. Menimbang, hal tersebut sesuai dengan

keterangan saksi ahli bahwa organ Perseroan

tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap

transaksi yang dilakukan oleh Perseroan terhadap

pihak ketiga dan yang bertanggung jawab adalah

Perseroan.

5. Menimbang, berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tersebut, Pemohon tidak dapat

membuktikan dalil permohonannya, oleh karena

itu Permohonan Pemohon harus ditolak.

139

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya dua

kreditor atau lebih

Kreditur lain selain Termohon Pailit:

1. PT. Bank Syariah Mandiri

2. Asian Development Bank

3. PT. Bank Artha Graha

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai satu hutang

yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih

Termohon I tidak melaksanakan kewajiban membayar

kupon bunga ke-4 s/d ke-18 yang telah jatuh tempo

serta obligasi Termohon I telah jatuh tempo pada

tanggal 11 September 2001

(Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit

ke Pengadilan Niaga melalui kuasa hukumnya pada

tanggal 25 April 2002 – catatan penulis)

Putusan Menolak permohonan Pemohon

Membebankan biaya permohonan ini kepada Pemohon

sebesar Rp. 5.000.000,-

Tanggal pembacaan

putusan

23 Mei 2002

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.

020/K/N/2002

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Bank Mandiri (Persero)

Termohon Kasasi 1. PT. Bakrie Finance Corporation (Termohon I);

2. Aburizal Bakrie sebagai Komisaris Utama

(Termohon II);

3. Nirwan Dermawan Bakrie sebagai Wakil Komisaris

Utama (Termohon III);

4. Nalikant Rathod sebagai Komisaris (Termohon IV);

5. Aftab Ahmed sebagai Komisaris (Termohon V);

6. Hishak Secakusuma sebagai Komisaris (Termohon

VI);

7. Tanri Abeng sebagai Komisaris (Termohon VII);

140

8. Anh-Dung Do sebagai Komisaris (Termohon VIII);

9. Mustafa Ishaq Jatim sebagai Direktur Utama

(Termohon IX)

10. Kosasih Wikanta sebagai Direktur (Termohon X)

Keberatan Pemohon

Kasasi dalam Memori

Kasasi

Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Judex

Factie) telah salah dan keliru memanipulasi

keterangan saksi ahli Sutrisno, SH yang

menyatakan bahwa organ Perseroan tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang

dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga

dan yang bertanggung jawab adalah Perseroan;

Bahwa yang benar saksi ahli Sutrisno, SH., di

bawah sumpah dalam persidangan pada pokoknya

menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 80 ayat (1)

UU No. 8 Tahun 1995, Direksi dan Komisaris

bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama yang timbul akibat perbuatan yang

dimaksud.

Pertimbangan Hakim

Adanya debitor Pertimbangan hakim mengenai keberatan-keberatan

yang diajukan oleh Pemohon Kasasi yang pada

pokoknya menyatakan:

Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Judex

Factie) telah salah dan keliru memanipulasi

keterangan saksi ahli Sutrisno, SH yang

menyatakan bahwa organ Perseroan tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang

dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga

dan yang bertanggung jawab adalah Perseroan;

Bahwa yang benar saksi ahli Sutrisno, SH., di

bawah sumpah dalam persidangan pada pokoknya

menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 80 ayat (1)

UU No. 8 Tahun 1995, Direksi dan Komisaris

bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama yang timbul akibat perbuatan yang

dimaksud.

Bahwa menurut Majelis Hakim Kasasi, keberatan

tersebut di atas tidak dapat dibenarkan karena Judex

141

Factie tidak salah menerapkan hukum dan lagi pula

mengenai penilaian atas hasil pembuktian tidak

tunduk pada Pemeriksaan Kasasi.

Adanya dua kreditor

atau lebih

-

Satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat

ditagih

-

Putusan Menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT.

Bank Mandiri (Persero) selaku Waliamanat dari para

pemegang obligasi PT. Bakrie Finance Corporation,

Tbk.

Membebankan biaya permohonan ini kepada Pemohon

sebesar Rp. 5.000.000,-

Tanggal Pembacaan

Putusan

c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan

Kembali Mahkamah Agung No. 018 PK/N/2002

Indikator Uraian

Pemohon Peninjauan

Kembali

PT. Bank Mandiri (Persero)

Termohon Peninjauan

Kembali

1. PT. Bakrie Finance Corporation (Termohon I);

2. Aburizal Bakrie sebagai Komisaris Utama

(Termohon II);

3. Nirwan Dermawan Bakrie sebagai Wakil Komisaris

Utama (Termohon III);

4. Nalikant Rathod sebagai Komisaris (Termohon IV);

5. Aftab Ahmed sebagai Komisaris (Termohon V);

6. Hishak Secakusuma sebagai Komisaris (Termohon

VI);

7. Tanri Abeng sebagai Komisaris (Termohon VII);

142

8. Anh-Dung Do sebagai Komisaris (Termohon VIII);

9. Mustafa Ishaq Jatim sebagai Direktur Utama

(Termohon IX)

10. Kosasih Wikanta sebagai Direktur (Termohon X)

Alasan/Keberatan

Pemohon Peninjauan

Kembali

1. Majelis Hakim Agung dan Majelis Hakim Niaga

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah

melakukan kesalahan berat dalam penerapan

hukum pembuktian yang berkenaan dengan

pertimbangan dan pendapatnya yang menyatakan :

“organ perseroan tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang

dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga

dan yang bertanggung jawab adalah Perseroan”.

2. Majelis Hakim Agung dan Majelis Hakim Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah

melakukan kesalahan berat dalam menerapkan

hukum karena putusannya didasarkan pada

putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

yang dibuat berdasarkan rekayasa yang tidak

memenuhi prosedur hukum. Hal itu ternyata dari:

a. Terdapat bukti baru tertulis/novum yang terdiri

dari (1) Penetapan Hakim Pengawas PKPU No.

1/PKPU/2002/PN.NIAGA/JKT.PST tanggal 1

Mei 2002 yang menetapkan pemegang obligasi

sebagai kreditor lainnya dan (2) akta

permohonan banding tanggal 19 Juli 2002 dan

memori banding yang diajukan kepada

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Atas

penetapan hakim pengawas tersebut yang dapat

membuktikan bahwa Pemohon pailit/Pemohon

Peninjauan Kembali yang mewakili Pemegang

obligasi tidak ikut sebagai pihak/kreditor

lainnya sampai dikeluarkannya putusan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU), kecuali hanya mengajukan keberatan

terhadap Penetapan Hakim Pengawas PKPU

tersebut. Karena itu putusan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) itu tidak

dapat menghalangi perkara a quo untuk

menjatuhkan pailit terhadap para Termohon

143

pailit/para Termohon pailit/para Termohon

peninjauan kembali.

b. Terdapat bukti baru yaitu putusan Mahkamah

Agung tanggal 14 Juni 2002 No. 018 K/N/2002

yang dapat membuktikan bahwa Hakim

Pengawas telah memberikan penjelasan yang

salah yang menyebabkan Pemohon

Pailit/Peninjauan Kembali menjadi salah dan

keliru dalam mengajukan keberatan terhadap

Penetapan Hakim Pengawas sebagaimana

dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung

tersebut. Jadi, kendatipun atas Penetapan

Hakim Pengawas diajukan keberatan setelah

adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, hal

itu telah melewati waktu yang ditetapkan dalam

Pasal 66 ayat (1). Karenanya pengajuan

permohonan pailit dalam perkara a quo sudah

benar menurut hukum, karenanya juga tidak

bertentangan dengan Pasal 217 ayat (6)

Undang-Undang Kepailitan yang pada pokoknya

menentukan apabila permohonan pailit dan

permohonan PKPU diperiksa pada saat yang

bersamaan, maka permohonan PKPU harus

diperiksa terlebih dahulu.

3. Judex factie telah salah dalam menerapkan hukum

yang ditetapkan dalam Pasal 80 UU No. 8 Tahun

1995, bahwa judex factie dalam pertimbangannya

menyatakan bahwa para Termohon Peninjauan

Kembali/Termohon Pailit berada dalam Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh karena

pengajuan PKPU oleh Termohon pailit I.

Pertimbangan judex factie adalah salah karena

sesuai dengan Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1995,

Organ Perseroan yaitu Direksi dan Komisaris wajib

bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun

secara bersama-sama atas kerugian yang timbul.

Jadi PKPU seharusnya tidak hanya diajukan oleh

PT. Bakrie Finance Corporation, Tbk, melainkan

juga harus secara bersama-sama dengan Organ

Perseroan yaitu Direksi dan Komisaris. Oleh karena

PKPU yang diajukan oleh Termohon Peninjauan

Kembali/Termohon Pailit tidak melibatkan Organ

144

Perseroan maka putusan PKPU tersebut tidak

mengikat baginya (bagi Direksi dan Perseroan).

Pertimbangan Hakim

Adanya bukti baru yang

bersifat menentukan

(novum)

Mengenai keberatan no. 2: novum

Keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, oleh

karena bukti-bukti yang diajukan bukan merupakan

bukti baru yang penting yang akan menghasilkan

putusan yang berbeda apabila diketahui pada tahap

persidangan sebelumnya seperti yang dimaksudkan

oleh pasal 286 ayat (2) a UU No. 4 Tahun 1998;

Adanya kekeliruan yang

nyata

Mengenai keberatan no. 1 dan 3: kekeliruan yang

nyata tentang tanggung jawab organ Perseroan

Keberatan-keberatan ini tidak akan dipertimbangkan

oleh Mahkamah Agung dengan alasan bahwa alasan-

alasan yang didasarkan pada kesalahan berat dalam

penerapan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat tersebut telah melewati tenggang waktu

pengajuan permohonan Peninjauan Kembali

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 287 ayat (2)

UU No. 4 Tahun 1998, dimana permohonan

Peninjauan Kembali diajukan pada tanggal 13 Agustus

2002 sedangkan pemberitahuan putusan MA tersebut

dilakukan pada tanggal 11 Juli 2002;

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari

Pemohon Peninjauan Kembali: PT. Bank Mandiri

(Persero) selaku waliamanat dari para pemegang

obligasi PT. Bakrie Finance Corporation, Tbk,

tersebut;

2. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk

membayar biaya perkara dalam pemeriksaan

peninjauan kembali yang ditetapkan sebesar Rp.

10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Tanggal Pembacaan

Putusan

18 September 2002

145

4. Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya

Wisesa

Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya Wisesa

memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap

peninjauan kembali berikut uraian putusan terhadap

kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama, kasasi

dan peninjauan kembali,

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat No. 03/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt.

Pst

Indikator Uraian

Pemohon Pailit PT. Aditya Toa Development

Termohon Pailit PT. Wijaya Wisesa

Tanggal pengajuan

permohonan pailit

13 Januari 2004

Kasus Posisi

Dalil Pemohon Pailit Adanya utang

1. Termohon telah meminta kepada Pemohon untuk

memberikan pinjaman sebesar US$ 1,250,000 (satu

juta dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)

berdasarkan surat Termohon tanggal 27 Januari

1997;

2. Menanggapi permintaan Termohon, Pemohon telah

menyetujui permintaan Termohon tersebut melalui

suratnya pada tanggal 29 Januari 1997.

3. Pemohon telah mentransfer uang yang dipinjamkan

kepada Termohon melalui rekening Presiden

Direktur Termohon (terdapat bukti transfer)

4. Termohon membuat dan menyerahkan letter of

indemnity yang berisi bahwa Termohon mengakui

adanya utang pokok sebesar US$ 1,250,000 (satu

146

juta dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)

kepada Pemohon

Termohon memiliki dua kreditor yaitu:

1. Pemohon, PT. Aditya Toa Development;

2. TOA Investment Pte, Ltd, suatu Perseroan yang

didirikan berdasarkan hukum Singapura,

beralamat di 80 Marine Parade Road #14-01/03,

Parkway Parade, Singapore

Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih:

Pemohon berdasarkan suratnya tanggal 13 Oktober

1999 telah menyatakan bahwa pinjaman yang

diberikan kepada Termohon telah jatuh tempo dan

meminta Termohon untuk melunasi kewajibannya

pada tanggal 31 Oktober 1999.

Jawaban Termohon Tentang siapa debitor:

1. Bahwa utang sejumlah US$ 1,250,000 (satu juta

dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)

sebagaimana didalilkan Pemohon bukanlah

merupakan utang Termohon, melainkan hutang

dari Sdr. Herry Wijaya (yang kebetulan sebagai

Direktur Utama pada Termohon dan juga sebagai

Presiden Direktur pada Pemohon) kepada Pemohon,

dilihat dari bukti-bukti berikut:

a. Sdr. Herry Wijaya tidak pernah diberikan

persetujuan oleh salah seorang atau lebih

Komisaris Termohon untuk meminjam untuk

dan atas nama Termohon kepada pihak

manapun sebagaimana disyaratkan Anggaran

Dasar Termohon sebagai badan hukum yang

diatur dalam Pasal 11 butir 3a. Akta Pendirian

Perseroan Terbatas Termohon No. 177 tanggal

10 September 1987 yang dibuat di hadapan

Notaris Misahardi Wilamarta,SH.

b. Bukti transfer sebagaimana didalilkan Pemohon

bahwa uang sebesar US$ 1,250,000 (satu juta

dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)

telah ditransfer ke rekening Sdr. Herry Wijaya

adalah transfer ke rekening Sdr. Herry Wijaya

sebagai pribadi dan bukan ke rekening

147

Termohon sebagai Perseroan.

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya

debitor

Mengenai siapa debitor:

1. Menimbang, bahwa yang menjadi permasalahan

hukum adalah apakah benar hutang sebesar US$

1,250,000 (satu juta dua ratus lima puluh Dollar

Amerika Serikat) merupakan hutang Termohon

atau hutang pribadi Sdr. Herry Wijaya;

2. Menimbang, bahwa Termohon dalam jawabannya

menyatakan bahwa Sdr. Herry Wijaya tidak pernah

mendapat persetujuan oleh salah seorang atau

lebih Komisaris Termohon untuk meminjam untuk

dan atas nama Termohon kepada pihak manapun,

termasuk kepada Pemohon sebagaimana

disyaratkan Anggaran Dasar Termohon sebagai

badan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal

11 butir 3-a Akta Pendirian Perseroan Terbatas

Termohon No. 177 tanggal 10 September 1987 yang

dibuat di hadapan Notaris Misahardi Wilamarta;

3. Menimbang, bahwa memang benar Direktur PT.

Wijaya Wisesa adalah Sdr. Herry Wijaya, akan

tetapi menurut Majelis Hakim untuk membedakan

kapasitas Sdr. Herry Wijaya sebagai pribadi atau

sebagai direktur Perseroan semestinya ada tanda

pembeda pada transfer uang tersebut yaitu tanda

qq atau cq PT. Wijaya Wisesa yang berarti ditujukan

kepada Termohon.

4. Menimbang, untuk memecahkan permasalahan itu

(mengenai siapa debitor? - penulis) diperlukan

suatu pembuktian yang sifatnya rumit, sedangkan

Pengadilan Niaga pada prinsipnya menganut asas

pembuktian sumir sebagaimana diatur dalam Pasal

6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998, maka penyelesaian

perkara ini haruslah ditempuh melalui proses acara

perdata biasa;

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya dua

-

148

kreditor atau lebih

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai satu utang

yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih

-

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan pernyataan pailit yang

diajukan oleh Pemohon/kreditor yaitu PT. Aditya

Toa Development;

2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya

perkara sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta Rupiah)

Tanggal pembacaan

putusan

9 Februari 2004

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.

30/K/N/2000

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Aditya Toa Development

Termohon Kasasi PT. Wijaya Wisesa

Tanggal pengajuan

permohonan kasasi

16 Februari 2004

Keberatan Pemohon

Kasasi

Mengenai siapa debitor:

1. Bahwa selain sebagai Presiden Direktur Termohon

Kasasi, Herry Wijaya juga memiliki kontrol penuh

terhadap Termohon Kasasi karena Herry Wijaya

adalah pemegang saham mayoritas yang menguasai

1300 dari 2000 saham Termohon Kasasi. Dengan

demikian, cukup beralasan apabila Pemohon

Kasasi dengan itikad baik mempercayai surat-surat

yang ditandatangani oleh Presiden Direktur dan

pemegang saham mayoritas Termohon Kasasi,

apalagi dengan kop surat resmi Pemohon Kasasi;

2. Bahwa persetujuan Komisaris kalaupun memang

149

diperlukan terhadap tindakan hukum Direksi dan

pemegang saham Termohon Kasasi merupakan

masalah internal perusahaan Termohon Kasasi

yang tidak boleh merugikan pihak lain dalam hal

ini Pemohon Kasasi yang dengan itikad baik

melaksanakan perjanjian. Dengan

mempermasalahkan persetujuan Komisaris dalam

proses kepailitan ini, jelas Termohon Kasasi telah

beritikad buruk ingin menghindar dari tanggung

jawabnya;

3. Selain itu, pertimbangan majelis hakim Pengadilan

Niaga bertentangan dengan yurisprudensi tetap MA

RI sebagaimana dinyatakan dalam putusan

Peninjauan Kembali MA RI No. 019 PK/N/2000,

tanggal 22 Januari 2001, sebagai berikut:

“… meskipun surety bond diterbitkan tanpa

persetujuan dari Komisaris Utama dan seorang

Anggota Dewan Komisaris Pemohon Peninjauan

Kembali seperti yang ditentukan dalam Pasal 11

ayat (1) Anggaran Dasar Pemohon Peninjauan

Kembali, tetapi kesalahan tersebut merupakan

kesalahan intern Pemohon Peninjauan Kembali

sebagai sebuah Perseroan Terbatas, sehingga tidak

boleh merugikan pihak ketiga”

Bahwa selanjutnya, dalam putusan No.

019PK/N/2000, tanggal 22 Januari 2001 tersebut

juga dinyatakan bahwa kreditor yang memiliki

itikad baik, tidak memiliki kewajiban untuk

meneliti kebenaran prosedur maupun anggaran

dasar debitornya.

Pertimbangan hakim kasasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan:

Adanya debitor Terhadap keberatan-keberatan yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi, Majelis Kasasi MA menyatakan

menolak keberatan-keberatan tersebut. Majelis Kasasi

setuju dengan pertimbangan judex factie bahwa dalam

permohonan pailit ini diperlukan pembuktian tentang

sah/tidaknya tindakan direksi terhadap Perseroan dan

seberapa besar tanggung jawab Perseroan terhadap

pihak lain atas tindakan direksi yang bertentangan

dengan anggaran dasar Perseroan Termohon, yang sifat

150

pembuktiannya tidak bersifat sederhana lagi sehingga

tidak memenuhi persyaratan Pasal 6 ayat (3) UU No. 4

Tahun 1998.

Adanya dua kreditor

atau lebih

-

Satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat

ditagih

-

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

PT. Aditya Toa Development;

2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Tp.

5.000.000,- (lima juta Rupiah).

Tanggal pembacaan

putusan kasasi

17 Maret 2004

c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan

Kembali No. 04 PK/N/2004

Indikator Uraian

Pemohon Peninjauan

Kembali

PT. Aditya Toa Development

Termohon Peninjauan

Kembali

PT. Wijaya Wisesa

Tanggal Pengajuan

Peninjauan Kembali

17 Maret 2004

Alasan/Keberatan

Pemohon Peninjauan

Kembali

Terdapat kekeliruan yang nyata:

1. Dalam hal ini Majelis Hakim Kasasi Mahkamah

Agung telah melakukan kesalahan berat dalam

penerapan hukum karena telah melanggar

yurisprudensi MA No. 19/PK/N/2000 tanggal 22

Januari 2001 bahwa:

Kesalahan intern Perusahaan debitor seperti

151

tidak adanya persetujuan Komisaris tidak

boleh merugikan pihak ketiga;

Tidak ada kewajiban bagi kreditor untuk

meneliti dan memahami prosedur internal

debitornya dalam memperoleh utang.

Dalam hal ini, putusan pengadilan niaga

bertentangan satu dengan yang lain, padahal

Pengadilan Niaga merupaka institusi yang

diharapkan dapat memberi kepastian hukum

Adanya bukti baru yang bersifat menentukan:

2. Berdasarkan bukti baru berupa certificate

(pernyataan tertulis) yang dibuat oleh Termohon

Peninjauan Kembali dan disahkan oleh Notaris,

terbukti secara sederhana bahwa termohon

peninjauan kembali mengakui utangnya

Pertimbangan Hakim

Ditemukannya bukti

baru yang bersifat

menentukan (novum)

Bahwa keberatan-keberatan ini tidak dapat

dibenarkan, oleh karena bukti-bukti yang diajukan

bukan merupakan bukti baru yang penting yang akan

menghasilkan putusan yang berbeda apabila diketahui

pada tahap persidangan sebelumnya seperti yang

dimaksudkan oleh pasal 286 ayat (2) a UU No. 4 Tahun

1998;

Terdapat kekeliruan

yang nyata

Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat

dibenarkan, oleh karena dalam putusan yang

dimohonkan peninjauan kembali tidak terdapat

kesalahan berat dalam penerapan hukum sebagaiman

dimaksud oleh Pemohon Peninjauan Kembali.

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan peninjauan kembali yang

diajukan oleh Pemohon Peninjauan

Kembali/kreditor yaitu PT. Aditya Toa Development;

2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya

perkara sebesar Rp.10.000.000,- (lima juta Rupiah)

Tanggal Pembacaan

Putusan

20 Agustus 2004

152

5. Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance

Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance

memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap

peninjauan kembali. Berikut ini uraian putusan terhadap

kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama, kasasi

dan peninjauan kembali.

a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Jakarta

Pusat No. 16/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt. Pst

Indikator Uraian

Pemohon Pailit PT. Heradi Utama

Termohon Pailit PT. Central Total Finance

Tanggal pengajuan

permohonan pailit

6 Mei 2004

Kasus Posisi

Dalil Pemohon Pailit 1. Adanya utang

Bahwa Termohon telah menerbitkan 2 (dua) surat

sanggup (promissory note):

a. No. 0065 atas penempatan dana sejumlah USD

677,862.97 (enam ratus tujuh puluh tujuh ribu

delapan ratus enam puluh dua sembilan puluh

tujuh per seratus dollar Amerika Serikat);

b. No. 0068 atas penempatan dana sebesar Rp.

1.437.043.941,- (satu milyar empat ratus tiga

puluh tujuh juta empat puluh tiga ribu

sembilan ratus empat puluh satu Rupiah)

Dengan demikian terbukti bahwa Pemohon Pailit

adalah Kreditor yang sah dari Termohon Pailit.

2. Termohon memiliki kreditor kedua yaitu PT.

Intidana Adimandiri dengan tagihan:

a. USD 535,806.90 (lima ratus tiga puluh lima

ribu delapan ratus enam sembilan sembilan

puluh per seratus dollar Amerika Serikat,

153

dibuktikan dengan surat sanggup (promissory

note) No. 00666 tertanggal 28 Maret 2001

b. USD 686,005.92 (enam ratus delapan puluh

enam ribu lima sembilan puluh dua per seratus

dollar Amerika Serikat), dibuktikan dengan

surat sanggup (promissory note) No. 00667

tertanggal 28 Maret 2001

3. Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih:

Kedua utang terhadap Pemohon yang dibuktikan

dengan surat sanggup (promissory note) No. 0065

dan No. 0068 tersebut di atas jatuh tempo pada

tanggal 28 April 2001.

Jawaban Termohon Pemohon menyangkal dengan tegas telah menerbitkan

surat sanggup (promissory note) kepada Termohon:

1. Termohon menyangkal dengan tegas telah

menerbitkan surat sanggup dengan No. 00665 dan

No. 99668 karena surat sanggup tersebut

(promissory note) tersebut tidak pernah dan sesuai

ketentuan hukum tidak boleh dikeluarkan oleh

Termohon pailit sebagai lembaga pembiayaan;

2. Bahwa berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1998

tentang Lembaga Pembiayaan sebagaimana diatur

dalam Pasal 3 ayat (1) dan 5 ayat (1) secara tegas

disebutkan, Termohon Pailit sebagai lembaga

keuangan Bukan Bank dilarang menarik dan

secara langsung dari masyarakat dalam bentuk

surat sanggup (promissory note), selanjutnya dalam

Pasal 5 ayat (2) disebutkan Perseroan pembiayaan

dapat menerbitkan surat sanggup (promissory note)

hanya sebagai jaminan atas hutang kepada bank

yang menjadi kreditornya; dalam Keputusan

Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK.013/1998

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan

Lembaga Pembiayaan, dilarang menarik dana

secara langsung dari masyarakat dalam bentuk

surat sanggup (promissory note)

3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 11 ayat 3A Anggaran

Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perseroan,

untuk memberi pinjaman ataupun meminjam uang,

terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari

154

Komisaris.

4. Bahwa segala macam surat utang ataupun

pengakuan hutang yang tidak dikeluarkan oleh

Pejabat yang berwenang untuk melakukan hal itu,

yaitu Direktur dan Komisaris, maka surat utang

(promissory note) ataupun pengakuan utang

tersebut secara hukum tidaklah mengikat

Perseroan.

Pemohon menyangkal dengan tegas telah berutang dan

menerbitkan surat sanggup (promissory note) No.

00666 dan No. 00667 tertanggal 28 Maret 2001 kedua

yaitu PT. Intidana Adimandiri:

1. Termohon tidak pernah menerima setoran atau

penempatan dana dalam bentuk Dollar Amerika

dari PT. Intidana Adimandiri (Kreditur kedua);

2. Bahwa berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1998

tentang Lembaga Pembiayaan dan dalam

Keputusan Menteri Keuangan RI No.

1251/KMK.013/1998 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Termohon

Pailit sebagai lembaga keuangan Bukan Bank

dilarang menarik dan secara langsung dari

masyarakat dalam bentuk surat sanggup

(promissory note), selanjutnya dalam Pasal 5 ayat

(2) disebutkan Perseroan pembiayaan dapat

menerbitkan surat sanggup (promissory note) hanya

sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang

menjadi kreditornya;, dilarang menarik dana secara

langsung dari masyarakat dalam bentuk surat

sanggup (promissory note)

3. Sesuai ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga Perseroan, Direksi dalam

melakukan pinjaman uang dan menerbitkan surat

pengakuan utang atas nama Perseroan, maka

dalam melakukan tindakan hukum tersebt terlebih

dahulu harus mendapat Persetujuan Komisaris,

sehingga perbuatan yang tidak sesuai dengan

ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga Perseroan tidaklah dapat mengikat

155

Termohon Pailit sebagai Perseroan.

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya

debitor

Tentang tanggung jawab Perseroan sebagai debitor:

Menimbang bahwa demikian halnya dengan tangkisan

Termohon yang menyatakan bahwa sesuai ketentuan

Pasal 11 ayat 3A Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga Perseroan, untuk memberi pinjaman

ataupun meminjam uang, terlebih dahulu harus

mendapat persetujuan dari Komisaris, sehingga

promissory note yang hanya ditandatangani Termohon

saja tidak terikat dengan pernerbitan surat sanggup

tersebut. Terhadap tangkisan Termohon ini, Majelis

Hakim tidak sependapat berdasarkan pertimbangan

berikut:

1. Bahwa menurut bukti, Pemohon telah

mempertanyakan perihal yang menandatangani

promissory note hanya seorang saja yaitu Antonius

Z. Gunawan (Direktur Utama) padahal biasanya

ditandatangani oleh 2 (dua) orang;

2. Bahwa atas pertanyaan tersebut, Termohon dengan

surat menyatakan memberikan jawaban bahwa

perlakuan ini tidak menyimpang dari Pasal Akta

No. 184, bahwa Direktur Utama berkuasa dan

berwenang bertindak untuk dan atas nama serta

mewakili Perseroan;

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis

Hakim berpendapat Perseroan tidak dapat

melepaskan tanggung jawab atas penerbitan

promissory note dimaksud.

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya dua

kreditor atau lebih

Bahwa dana sebesar Rp. 5.000.000.000.000,- (lima

milyar Rupiah berawal dari adanya penempatan dana

dari PT. Fiskar Agung yang kemudian dibagi-bagi

menjadi beberapa promissory note atas nama Pemohon

Pailit dan Kreditur kedua;

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai satu utang

yang telah jatuh tempo

Bahwa menurut bukti surat No. 013/CTF.F/03.01

tertanggal 28 Maret 2001, ternyata Termohon Pailit

secara tegas mengakui dan mengkonfirmasi kepada

Pemohon mengenai adanya penempatan dana

156

dan dapat ditagih Pemohon kepada Termohon sebesar 677,862.97 (enam

ratus tujuh puluh tujuh ribu delapan ratus enam

puluh dua sembilan puluh tujuh per seratus dollar

Amerika Serikat) dan Rp. 1.437.043.941,- (satu milyar

empat ratus tiga puluh tujuh juta empat puluh tiga

ribu sembilan ratus empat puluh satu Rupiah).

Menimbang dari uraian tersebut, pembuktian

mengenai adanya utang secara sederhana sebagaimana

diamanatkan oleh UU No. 4 Tahun 1998 telah

terpenuhi;

Menimbang mengenai tangkisan Termohon yang lain,

perihal promissory note bertentangan dengan Keppres

No. 61 Tahun 1998 tentang Lembaga Pembiayaan dan

dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No.

1251/KMK.013/1998 yang dikatakan melanggar kausa

yang halal, Majelis Hakim tidak sependapat, karena

tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan. Setidak-tidaknya hal itu tidak

menghilangkan hak tagih Pemohon kepada Termohon.

Putusan Memutuskan:

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon tersebut;

2. Menyatakan Termohon PT. Central Total Finance

Pailit dengan segala akibat hukumnya;

3. Menunjuk Saudara Sudrajat Dimyati, SH, Hakim

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

sebagai hakim pengawas;

4. Mengangkat Saudara Darwin Marpaung, SH dari

kantor MAAS Law Office sebagai Kurator;

5. Menetapkan biaya kepailitan dan jasa kurator akan

ditentukan kemudian;

6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya

perkara ini sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta

Rupiah)

Tanggal pembacaan

putusan

1 Juni 2004

157

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.

010/K/N/2004

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Central Total Finance

Termohon Kasasi PT. Heradi Utama

Tanggal pengajuan

permohonan kasasi

8 Juni 2004

Keberatan Pemohon

Kasasi

Mengenai siapa debitor:

1. Judex factie telah salah dalam menerapkan

ketentuan hukum Perseroan dan tidak cukup

memberikan pertimbangan, sebab menurut ajaran

“The Ultra Vires Doctrine” dan berdasarkan

yurisprudensi MA No 3264 tanggal 28 Agustus

1996, seorang Anggota Direksi secara yuridis wajib

mengikuti ketentuan dalam Anggaran Dasar

Perseroan, sehingga apabila Anggota Direksi

tersebut melakukan suatu perbuatan hukum yang

menurut Anggaran Dasar diwajibkan memperoleh

persetujuan dari Komisaris kemudian ternyata ia

mengesampingkan ketentuan tersebut, maka

perbuatan hukum yang dilakukan oleh Anggota

Direksi tersebut tidak sah dan tidak berkekuatan

hukum dan tidak mengikat Perseroan sebagai

badan hukum. Anggota Direksi tersebut harus

bertanggung jawab secara pribadi.

2. Judex factie telah salah menerapkan hukum sebab

pemeriksaan dalam perkara ini tidak dapat

dilakukan secara sederhana (summarily proving)

mengenai penempatan dan oleh PT. Fiskar Agung

menyebabkan kerumitan pembuktian mengenai

asal-muasal terjadinya utang-piutang, besarnya

utang yang telah dibayar, utang yang masih tersisa

sehingga terjadi peralihan utang-piutang dari Pt.

Fiskar Agung kepada Termohon Pailit/Pemohon

Kasasi dan kreditur kedua, sehingga pemeriksaan

terhadap perkara ini harulsah melalui proses acara

perdata biasa di pengadilan negeri.

3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 176 jo Pasal 106 dan

158

107 KUH Dagang dinyatakan bahwa surat sanggup

(promissory note) yang ditandatangani oleh siapa

yang tidak memiliki kewenangan untuk berbuat,

maka penandatangan tersebut terikat secara

pribadi, sehingga tidaklah dapat Termohon

pailit/Pemohon Kasasi sebagai Perseroan

dipailitkan karena Termohon pailit/Pemohon

Kasasi tidak terikat dengan penerbitan surat

sanggup tersebut.

Pertimbangan hakim kasasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan:

Adanya debitor Keberatan-keberatan Pemohon kasasi tidak dapat

dibenarkan karena putusan judex factie sudah tepat

yaitu tidak salah menerapkan hukum. Adanya dua kreditor

atau lebih

Satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat

ditagih

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:

PT. Central Total Finance tersebut;

2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi sebanyak Rp.

5.000.000,- (lima juta Rupiah)

Tanggal pembacaan

putusan kasasi

14 Juli 2004

c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan

Kembali No. 010 PK/N/2004

Indikator Uraian

Pemohon Peninjauan

Kembali

PT. Central Total Finance

Termohon Peninjauan

Kembali

PT. Heradi Utama

Tanggal Pengajuan 14 Juli 2004

159

Peninjauan Kembali

Alasan/Keberatan

Pemohon Peninjauan

Kembali

Terdapat kekeliruan yang nyata:

1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat jo putusan Majelis

Kasasi Mahkamah Agung telah melakukan

kesalahan berat dalam menerapkan ketentuan

hukum Perseroan dan tidak cukup memberikan

pertimbangan, sebab menurut ajaran “The Ultra

Vires Rule” dan berdasarkan yurisprudensi MA No.

3246 K/Pdt/1992 tanggal 28 Agustus 1996,

seorang Direktur Utama atau Direktur suatu badan

hukum (korporasi) secara yuridis wajib mengikuti

ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar

korporasi sehingga bilamana direktur tersebut

melakukan sesuatu perbuatan hukum yang

menurut Anggaran Dasar diwajibkan memperoleh

persetujuan dari komisaris kemudian ternyata

Direktur mengesampingkan ketentuan ini, maka

perbuatan hukum yang dilakukan oleh Direktur

tersebut adalah tidak sah dan tidak berkekuatan

hukum serta tidak mengikat Badan Hukum yang

bersangkutan dengan akibat ia harus bertanggung

jawab secara pribadi;

2. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jo Majelis Kasasi

Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan

berat dalam menerapkan ketentuan hukum sebab

pemeriksaan terhadap perkara ini tidak dapat

dilakukan secara sederhana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun

1998; kepailitan menganut asas “summarily

proving” (pembuktian secara sumir). Adanya

penempatan dana sebagaimana dalil pemohon pailit

yang ternyata dalam pembuktian bahwa utang

tersebut berasal dari PT. Fiskar Agung Perkasa

bukan merupakan pihak dalam perkara ini,

sehingga untuk membuktikan asal-muasal

terjadinya utang-piutang, besarnya hutang yang

telah dibayar, hutang yang masih tersisa hingga

terjadinya peralihan utang-piutang dari PT. Fiskar

Agung kepada Pemohon Peninjauan

Kembali/Pemohon Pailit, kreditur kedua (PT.

Intidana Adimandiri) serta kepada Termohon

160

Peninjauan Kembali/Termohon Pailit haruslah

ditempuh melalui proses Acara Perdata biasa di

Pengadilan Negeri. Di samping itu tidak sederhana

perkara ini juga terbukti dari banyaknya bukti yang

diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali

dimana bukti-bukti ini perlu diklarifikasi satu per

satu dengan melibatkan PT. Fiskar Agung dalam

perkara ini.

Pertimbangan Hakim

Ditemukannya bukti

baru yang bersifat

menentukan (novum)

-

Terdapat kekeliruan

yang nyata

Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat

dibenarkan, oleh karena dalam putusan yang

dimohonkan Peninjauan Kembali tidak terdapat

kesalahan berat dalam penerapan hukum

sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 286 ayat (2)

UU No. 4 Tahun 1998;

Bahwa seperti yang dipertimbangkan dalam

putusan Pengadilan Niaga, terbukti adanya utang

Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit;

Bahwa promissory note yang ditandatangani oleh

Termohon Pailit telah sesuai dengan Pasal 174 KUH

Dagang, karenanya sah sebagai suatu surat

sanggup, sedangkan adanya ketentuan dalam

Anggaran Dasar Perseroan yang menentukan

bahwa yang berwenang menandatangani

promissory note adalah Direksi bersama-sama

dengan Komisaris adalah persoalan intern

Termohon Pailit yang tidak mempengaruhi

keabsahan promissory note tersebut;

Dalam pembuktian di persidangan, Termohon Pailit

telah menegaskan kewenangan A.Z. Gunawan,

Direktur Utama yang berwenang bertindak untuk

dan atas nama Direksi serta mewakili kepentingan

Perseroan.

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan

tersebut di atas maka permohonan Peninjauan

Kembali yang diajukan oleh PT. Central Total

161

Finance tersebut tidak beralasan sehingga harus

ditolak.

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan Peninjauan Kembali yang

diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT.

Central Total Finance tersebut;

2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya

perkara sebesar Rp.10.000.000,- (lima juta Rupiah)

Tanggal Pembacaan

Putusan

11 Januari 2005

6. Tingkat Pertama: Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs

PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri

a. Putusan No. 20/Pailit/2010/PN. Niaga. Sby

Indikator Uraian

Pemohon Pailit PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk

Termohon Pailit PT. Kalimas Sukses Mandiri

Tanggal pengajuan

permohonan pailit

Kasus Posisi

Dalil Pemohon Pailit 1. Bahwa Pemohon adalah sebuah Perseroan yang

bergerak di bidang jasa perbankan (Bank),

sedangkan Termohon adalah Perseroan yang

bergerak di bidang jasa distributor consumer goods;

2. Bahwa Pemohon memberikan fasilitas Kredit Modal

Kerja (KMK) sebesar Rp. 45.000.000.000,- (empat

puluh lima milyar Rupiah) yang merupakan hutang

Termohon sebagaimana tercantum dalam beberapa

perjanjian kredit;

3. Jangka waktu kredit sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52

tertanggal 21 Agustus 2003 adalah terhitung sejak

tanggal 21 Agustus 2004 s.d. 20 Agustus 2004;

162

4. Bahwa setelah jangka waktu kredit yang dimaksud

berakhir, Termohon tidak melakukan kewajiban

untuk membayar utangnya sehingga Termohon

harus memperpanjang jangka waktu kredit selama

3 (tiga) bulan menjadi tanggal 21 November 2004

dengan melakukan perubahan terhadap Pasal 4

Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52;

5. Bahwa Termohon lagi-lagi tidak dapat membayar

utangnya yang sudah jatuh tempo secara tepat

waktu sehingga Pemohon terpaksa harus

memperpanjang jangka waktu kredit selama 1

tahun yaitu dari tanggal 21 Agustus 2004 s.d. 20

Agustus 2005 dengan melakukan perubahan pada

Pasal 4 Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52;

6. Dengan adanya beberapa perubahan pada Pasal 4

Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52 menunjukkan

bahwa Termohon gagal memenuhi kewajibannya

yang sudah jatuh tempo tersebut;

7. Oleh karena Pemohon tidak melakukan

pembayaran utangnya yang telah jatuh tempo

secara tepat waktu, maka total kewajiban

Termohon Pailit sebesar Rp. 122.490.464.407

(seratus dua puluh dua milyar empat ratus

sembilan puluh juta empat ratus empat puluh

enam empat ratus tujuh Rupiah yang terdiri dari

hutang pokok, tunggakan bunga, biaya dan denda.

Pemohon mempunyai utang kepada kreditor lain, yaitu:

1. Liem Haryanto Limantara;

2. Kantor Pelayanan Pajak Banjarmasin;

3. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

Banjarmasin

4. PT. Ajinomoto Indonesia;

5. PT. Nestle Indonesia;

6. PT. Phillips Indonesia;

7. PT. Citra Dinamika Interindo.

Jawaban Termohon Mengenai eksepsi bahwa Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang untuk

163

mengadili perkara ini karena dalam Perjanjian Kredit

No. 2003/KPI/52, kedua belah pihak telah

menyepakati untuk memilih tempat kediaman hukum

tetap di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta

Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya

debitor

-

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai adanya dua

kreditor atau lebih

Menimbang bahwa oleh karena tidak adanya bukti

mengenai adanya kreditur lain selain Pemohon, maka

unsur harus ada dua kreditor atau lebih sebagamana

disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004 tidak terpenuhi.

Pembuktian sederhana

(summarily proving)

mengenai satu utang

yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih

-

Pertimbangan mengenai

eksepsi

Pasal 303 UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan

menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para

pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula

arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar

permohonan pernyataan pailit telah memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1)”

Putusan Dalam eksepsi:

1. Menolak Eksepsi Termohon Pailit;

Dalam pokok perkara:

2. Menolak permohonan pailit dari Pemohon Pailit;

3. Menghukum Pemohon Pailit untuk membayar biaya

permohonan yang timbul sejumlah Rp. 6.417.000,-

(enam juta empat ratus tujuh belas ribu Rupiah).

Tanggal pembacaan

putusan

18 November 2010

164

b. Tingkat Kasasi: Putusan MA No. 249/K/Pdt.

Sus/2011

Indikator Uraian

Pemohon Kasasi PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk.

Termohon Kasasi PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri

Tanggal pengajuan

permohonan kasasi

25 November 2010

Keberatan Pemohon

Kasasi

Mengenai pertimbangan judex factie mengenai tidak

adanya kreditur lain selain Termohon:

“Menimbang bahwa oleh karena tidak adanya bukti

mengenai adanya kreditur lain selain Pemohon, maka

unsur harus ada dua kreditor atau lebih sebagamana

disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004 tidak terpenuhi.”

Bahwa sekalipun bukti-bukti yang diajukan oleh

kreditor lain Liem Haryantor Limantara berupa

kwitansi, cek ditandatangani oleh Indrato Kangmartono

sebagai Direktur Utama PT. Delta Barito Indah, Indrato

Kang Martono juga sebagai Direktur Utama PT.

Kalimas Baru Sukses Mandiri dan pinjaman tersebut

digunakan untuk kepentingan PT. Kalimas Baru

Sukses Mandiri yang ketika itu membutuhkan dana,

karena pemegang saham dan direksi dari PT.

Deltabarito Indah adalah merupakan pihak yang sama

dengan pemegang saham dan Direksi PT. Kalimas Baru

Sukses Mandiri yang juga dikenal sebagai “Kang

Group”.

Bahwa oleh karena tindakan Indrato Kang Martono

meminjam uang dari Liem Haryanto Limantara adalah

untuk kepentingan operasional PT. Kalimas Baru

Sukses Mandiri, maka walaupun Indrato Kang Martono

165

melakukan transaksi tersebut dalam kapasitasnya

sebagai Direktur Utama PT. Delta Barito Indah, namun

harus diartikan untuk kepentingan PT. Kalimas Baru

Sukses Mandiri. Dengan demikian Liem Haryanto

Limantara merupakan kreditor lain dari PT. Kalimas

Baru Sukses Mandiri.

Pertimbangan hakim kasasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan:

Adanya debitor

Adanya dua kreditor

atau lebih

Menimbang, bahwa bukti kreditor lain Liem Haryanto

Limantara berupa surat pernyataan mempunyai

hutang haruslah dikesampingkan oleh karena dalam

surat tersebut Indrato Kang Martono tidak

berkedudukan mewakili PT. Kalimas Sukses Baru

Mandiri.

Menimbang, bahwa dalam persidangan tidak terbukti

bahwa terdapat kreditor lain selain dari Pemohon

Pailit/Pemohon Kasasi.

Satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat

ditagih

Putusan Mengadili:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

PT. Bank Negara Indonesia PT. Bank Negara

Indonesia;

2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp.

5.000.000,- (lima juta Rupiah)

Tanggal pembacaan

putusan kasasi

26 April 2011

166

B. Analisis

Fokus analisis pada bab ini adalah mengenai:

variasi pertimbangan hukum dari hakim dalam

memutus 6 (enam) kasus kepailitan terkait tanggung

jawab Organ Perseroan dari tahun 2000-2011 yang

terpilih dari 639 kasus kepailitan Perseroan (selanjutnya

disebut enam kasus kepailitan terpilih); dan

tanggung jawab organ perseroan terbatas dalam 6

(enam) kasus terpilih berdasarkan 5 (lima) doktrin:

Fiduciary Duty, Business Judgement Rule, Ultra Vires,

Piercing The Corporate Veil dan Self Dealing yang

tertransplantasi dalam pasal-pasal UU No. 40 Tahun

2007 (selanjutnya disebut lima doktrin

tertransplantasi)

(vide Bab I, Rumusan Masalah).

Sebagai pengantar kepada analisis tersebut, penulis

merekapitulasi pengaruh 5 (lima) doktrin tertransplantasi

terhadap 6 (enam) kasus kepailitan terpilih tersebut.

Rekapitulasi ini berfungsi untuk melihat secara lebih cermat

hal-hal sebagai berikut:

Perbandingan frekuensi kelima doktrin tertransplantasi

tersebut digunakan sebagai “doktrin sebagai dasar” dan

“doktrin berpengaruh” terhadap enam kasus terpilih;

Perbandingan frekuensi antara masing-masing doktrin

tertransplantasi yang digunakan dalam pertimbangan

hakim guna memutus enam kasus kepailitan terpilih;

Perbandingan frekuensi keterlibatan masing-masing

Organ Perseroan dalam pertimbangan hakim terkait

tanggung jawabnya dalam enam kasus kepailitan

terpilih.

167

1. Pengaruh 5 (lima) doktrin tertransplantasi dalam pertimbangan hakim guna memutus 6

(enam) kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan

Ketika hakim merumuskan pertimbangannya, kelima doktrin yang telah tertransplantasi ke

dalam peraturan perundang-undangan tersebut kembali muncul sebagai dasar pertimbangan

hakim. Pertimbangan hakim terkait kelima doktrin tertransplantasi tersebut seringkali dipicu

dengan digunakannya doktrin tersebut untuk menguatkan Dalil Permohonan Pernyataan

Pailit dari Pemohon Pailit atau Jawaban dari Termohon pailit, sehingga kemudian doktrin-

doktrin tertranplantasi tersebut menjadi dasar pertimbangan hakim atau minimal

mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memutuskan untuk menolak atau menerima

Permohonan Pernyataan Pailit.

Dari 6 (enam) kasus kepailitan terpilih telah diuraikan di atas (vide Hasil Penelitian), penulis

menggolongkan kasus tersebut atas 2 (dua) penggolongan yaitu kasus dimana “doktrin

sebagai dasar” dan kasus dimana “doktrin berpengaruh”. Penggolongan tersebut dilakukan

berdasarkan besarnya pengaruh kelima doktrin tertranplantasi tersebut terhadap

pertimbangan hakim dalam memutus kasus tersebut. Berikut uraian 2 (dua) penggolongan

tersebut:

168

a) Kasus dimana “doktrin sebagai dasar” yaitu kasus dimana hakim mendasarkan

pertimbangannya pada doktrin-doktrin terkait tanggung jawab organ Perseroan. “Doktrin

sebagai dasar” artinya doktrin tersebut menjadi dasar bagi hakim untuk mengabulkan atau

menolak permohonan pernyataan pailit.

b) Kasus dimana “doktrin berpengaruh” yaitu kasus dimana pertimbangan hakim dipengaruhi

oleh doktrin-doktrin terkait tanggung jawab Organ Perseroan dalam kepailitan. “Doktrin

berpengaruh”, hanya mempengaruhi pertimbangan hakim, tapi tidak menjadi dasar bagi hakim

untuk mengabulkan atau menolak permohonan pernyataan pailit. Pengaruh terhadap

pertimbangan hakim tersebut muncul dari digunakannya doktrin tersebut untuk memperkuat

dalil permohonan Pemohon Pailit atau dalil jawaban Termohon Pailit. Namun, argumen dalam

permohonan maupun jawaban tersebut tidak cukup meyakinkan hakim untuk menjadikan

doktrin tersebut sebagai dasar pertimbangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan

pernyataan pailit

Berikut ini adalah Rekapitulasi Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin

berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat

peradilan.

169

Matriks 6.

Rekapitulasi Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh

pada pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus

--------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1. The Hongkong Chinese Bank, Ltd

(Pemohon Pailit) vs

PT. Dok dan Perkapalan Kodja

Bahari (Persero) (Termohon Pailit)

Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga

32/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt

.Pst

Ditolak √* ---- AD

Tindakan UV Anggota Direksi menjadi dasar bagi majelis hakim Pengadilan Niaga

untuk menyatakan ketidakjelasan mengenai siapa debitor.

Ketidakjelasan ini menyebabkan pembuktian menjadi tidak sederhana (non-summarily proving),

sehingga permohonan ditolak.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung

21 K/N/2000 Ditolak √ ---- AD

Majelis hakim kasasi menegaskan bahwa debitor dari Pemohon pailit adalah kedua

Anggota Direksi (Drs. Akhmal Wahid dan Drs. Muchlis Hamid, MBA) sehingga

berdasarkan doktrin UV, mereka bertanggung jawab

170

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) secara pribadi.

Termohon pailit tidak bertanggung jawab atas utang sehingga

permohonan pernyataan pailit ditolak.

2. PT. Indosurya Mega Finance

(Pemohon Pailit) vs

PT. Greatstar Perdana

Indonesia (Termohon Pailit)

Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga

51/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt

.Pst

Dikabul-kan

(√)** ----

AD

UV merupakan

masukan dari Jawaban Termohon, tetapi tidak mempengaruhi

putusan majelis hakim Pengadilan Niaga. Menurut mereka, UV

merupakan urusan internal Perseroan, sehingga Perseroan

tetap bertanggung-jawab terhadap utang kepada pihak ketiga. Oleh karena itu,

permohonan pernyataan pailit dikabulkan.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung

30/K/N/2000 Dikabul-kan

√ ----

AD

Tindakan UV Anggota

Direksi mengikat pihak ketiga, sehingga Anggota Direksi harus bertanggung jawab

171

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) secara pribadi.

3. PT. Bank Mandiri (Pemohon Pailit)

vs

PT. Bakrie Finance

Corporation, 7 anggota Dewan Komisaris dan 2 Anggota Direksi (Termohon Pailit)

Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga

08/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt

. Pst

Ditolak √ ---- AD &

ADK

Doktrin FD merupakan dasar pertimbangan hakim

dalam memutus kasus ini. Penjualan obligasi merupakan tugas yang

dipercayakan kepada Direksi untuk diemban. Promosi penjualan obligasi

bukan merupakan kesalahan/kelalaian yang patut dipertanggung-

jawabkan. Selain itu, Termohon pailit berada dalam PKPU,

sehingga majelis hakim Pengadilan Niaga menolak permohonan

pernyataan pailit.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung

020/K/N/2002

Ditolak (√) AD

UV merupakan masukan dari Pemohon Kasasi,

tetapi tidak mempengaruhi pertimbangan hakim. Majelis Hakim MA

172

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) berpendapat bahwa

penilaian atas hasil pembuktian tidak tidak tunduk pada

pemeriksaan kasasi. Selain itu, Termohon pailit berada dalam PKPU, sehingga

Majelis hakim menolak permohonan pernyataan pailit.

Tingkat Peninjauan

Kembali: Mahkamah Agung

018

PK/N/2002

Ditolak Majelis Hakim

Peninjauan Kembali menyatakan keberatan Pemohon PK tidak dapat

diterima dan pertimbangan majelis hakim di tingkat

sebelumnya sudah tepat.

4. PT. Aditya Toa Development

(Pemohon Pailit) vs

PT. Wijaya Wisesa (Termohon Pailit)

Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga

03/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt

.Pst.

Ditolak √ ----

AD

√ ----

AD

UV mengakibatkan pertanggungjawaban

pribadi Anggota Direksi (Herry Wijaya). Adanya pertanggungjawaban

pribadi menyebabkan perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana

173

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (non-summarily

proving) mengenai

siapa debitor. Selain UV, Herry

Wijaya melakukan SD berupa transaksi antara 2 (dua) dengan Direksi yang

sama.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung

30/K/N/2000 Ditolak √ ---- AD

√ ---- AD

√ ---- AD

Tindakan UV Anggota Direksi menjadi dasar

bagi majelis hakim Pengadilan Niaga untuk menyatakan ketidakjelasan

mengenai siapa debitor. Ketidakjelasan mengenai siapa

debitor, menyebabkan perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana (summarily proving),

sehingga ditolak oleh Majelis Hakim Kasasi. UV yang dilakukan

terkait dengan SD. SD melanggar FD khususnya Duty of Fair Dealing (DoFD).

174

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Tingkat Peninjauan

Kembali: Mahkamah Agung

04 PK/N/2004 Ditolak Majelis Hakim

Peninjauan Kembali menolak keberatan Pemohon PK, karena

pertimbangan Majelis Hakim pada tingkat sebelumnya dinilai sudah tepat.

5. PT. Heradi Utama (Pemohon Pailit)

vs

PT. Central Total Finance

(Termohon Pailit)

Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga

16/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt

.Pst

Dikabul-kan

√ ---- AD

Dalam kasus ini, Termohon pailit “mengesahkan” tindakan UV Direksi

tidak menyimpang dari AD; merupakan tindakan yang masuk dalam ranah

kewenangan Direksi. Menurut penulis, tindakan tersebut

mengandung doktrin BJR. Hakim menilai bahwa Anggota Direksi bertindak sah

sesuai dengan kapasitasnya untuk menentukan keputusan (BJR),

sehingga Termohon sebagai badan hukum dinyatakan bertanggung jawab

175

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) atas utang terhadap

para kreditornya; permohonan pernyataan pailit

diterima.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung

010/K/N/2004

Ditolak √ ---- AD

Majelis Hakim Kasasi menolak keberatan dari Pemohon Kasasi,

karena dinilai pertimbangan hakim pada tingkat sebelumnya sudah

tepat.

Tingkat Peninjauan Kembali:

Mahkamah Agung

010 PK/N/2004

Ditolak √ ---- AD

Majelis Hakim PK menolak keberatan

dari Pemohon PK, karena dinilai pertimbangan hakim pada tingkat

sebelumnya sudah tepat.

6. PT. Bank Negara Indonesia

(Pemohon Pailit)

vs PT. Kalimas Sukses Baru

Mandiri

Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga

20/Pailit/2010/PN.

Niaga.Sby.

Ditolak Belum ada pertimbangan terkait tanggung jawab

Organ Perseroan. Permohonan penyataan pailit ditolak, karena

menurut Majelis

176

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

(Termohon Pailit) Hakim Pengadilan

Niaga, Pemohon Pailit tidak bisa membuktikan dalil

Permohonannya.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung

249/K/Pdt.Sus/2011

Ditolak (√) ---- AD & PS

Dalil terkait doktrin PCV antara sesama subsidiary company

dari “Kang Group” pada kreditur lain yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi,

namun dalil ini tidak mampu mempengaruhi hakim dalam

pertimbangannya untuk memutus kasus ini.

Total Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dalam pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan

--------------------------------------------------------------- Total Frekuensi Organ Terkait Kasus dimana doktrin sebagai dasar

5

---- 5

AD

-

2

---- 2

AD & 1

ADK

3

---- 3

AD

2

---- 2

AD

12 kali

---- AD 13 kali ADK 1 kali

177

No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim

Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan

hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus

Ket.

UV PCV FD BJR SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Total Frekuensi Kasus dimana doktrin berpengaruh dalam

pertimbangan hakim, tetapi tidak dijadikan dasar dalam

memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat

peradilan

---------------------------------------------------------------

Total Frekuensi Organ Terkait Kasus dimana doktrin

berpengaruh

(√)

2

------2

AD

1

-----

1 AD & 1

PS

-

-

-

3 kali

----------------

AD 4 kali PS 1 kali

Total Frekuensi doktrin berpengaruh dan doktrin sebagai

dasar

√ + (√)

7

kali

1

kali

2

kali

3

kali

2

kali

15 kali

Total Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam

memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan --------------------------------------------------------------------------------

Total Frekuensi Organ Terkait Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh

15 kali

------------- 19 kali

178

Keterangan:

* √ : doktrin sebagai dasar

**(√) : doktrin berpengaruh

------

FD : Fiduciary Duty

BJR : Business Judgement Rule

UV : Ultra Vires

PCV : Piercing The Corporate Veil

SD : Self Dealing

------

AD : Anggota Direksi

ADK : Anggota Dewan Komisaris

PS : Pemegang Saham

179

Penjelasan Matriks

Dari segi doktrin sebagai dasar bagi hakim dalam memutus

enam kasus kepailitan terpilih

Dari matriks di atas, menarik untuk dikaji mengenai seberapa besar

pengaruh “kelima doktrin tertransplantasi” untuk menjadi dasar putusan

hakim terkait tanggung jawab organ dalam kurun waktu 11 (sebelas)

tahun. Ternyata setelah dibuat perbandingan antara frekuensi kasus

dimana “doktrin sebagai dasar”, dan “doktrin berpengaruh” pada

pertimbangan hakim, di bawah ini, jelas nampak bahwa 80% frekuensi

kasus (per tingkat peradilan) menggunakan doktrin sebagai dasar. Hanya

20% frekuensi kasus dimana doktrin tertransplantasi merupakan doktrin

berpengaruh yang tidak menjadi dasar bagi hakim untuk memutus kasus-

kasus kepailitan. Perbandingan tersebut terlihat dari bagan berikut:

Bagan 14. Perbandingan antara frekuensi kasus

dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih

doktrin sebagai dasar (80%)

doktrin berpengaruh (20%)

Hal ini merupakan pertanda bahwa, kelima doktrin tertransplantasi

tersebut cukup kuat untuk menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

memutus kasus-kasus kepailitan.

180

Dari segi masing-masing doktrin tertransplantasi

Jika matriks di atas dilihat berdasarkan doktrin tertransplantasi, maka

doktrin yang paling banyak digunakan dalam pertimbangan hakim guna

memutus kasus-kasus kepailitan dalam kurun waktu 11 (sebelas) tahun

yaitu doktrin Ultra Vires (UV), yaitu sebanyak 7 kali dari total keseluruhan

(46,67%). Diikuti oleh Business Judgement Rule (BJR) sebanyak 3 kali dari

total keseluruhan (20%), kemudian Fiduciary Duty (FD) dan Self Dealing

(SD), masing-masing 2 kali dari total keseluruhan (13,33%), dan terakhir

adalah PCV sebanyak 1 kali dari total keseluruhan (6,67%). Perbandingan

masing-masing doktrin tertransplantasi terlihat pada bagan berikut:

Bagan 15. Perbandingan antara Doktrin Tertransplantasi dilihat dari

frekuensi digunakannya doktrin tersebut

dalam pertimbangan hakim guna memutus enam kasus kepailitan terpilih

UV (46,67%)

PCV(6,67%)

FD (13,33%)

BJR (20%)

SD (13,33%)

Dari perbandingan tersebut, nampak bahwa doktrin Ultra Vires merupakan

doktrin yang paling berpengaruh bagi hakim dalam memutus enam kasus

kepailitan terpilih. Menurut penulis, jika Ultra Vires digunakan sebagai

dasar putusan hakim untuk menerapkan tanggung jawab pribadi (personal

liability) Organ Perseroan, maka konsekuensi logisnya, doktrin piercing the

corporate veil juga ikut menjadi dasar putusan, setelah doktrin ultra vires

dijadikan sebagai dasar.

181

Dari segi Organ Perseroan yang paling sering “dipertimbangkan

tanggung jawabnya” dalam kasus kepailitan terpilih

Dari matriks di atas terlihat bahwa Organ Perser8oan yang paling sering

“dipertimbangkan tanggung jawabnya” adalah Anggota Direksi (AD) yaitu

sebanyak 17 kali dari total keseluruhan frekuensi (89,47%), sedangkan

Anggota Dewan Komisaris (ADK) dan Pemegang Saham hanya masing-

masing 1 kali dari total keseluruhan frekuensi (5,26%). Perbandingan

tersebut terlihat pada bagan berikut:

Bagan 16. Perbandingan antara Organ Perseroan dilihat dari

frekuensi “dipertimbangkan tanggung jawabnya”

dalam enam kasus kepailitan terpilih

AD (89,47%)

ADK (5,26%)

PS (5,26%)

Analisis penulis mengenai mengapa Anggota Direksi yang paling sering

“dipertimbangkan tanggung jawabnya”? Karena Anggota Direksi

merupakan Organ yang memiliki fungsi paling penting atas jalannya

Perseroan, dimana Direksi menjalankan fungsi pengurusan (management)

dan fungsi perwakilan (representative). Dalam melakukan tindakannya,

Direksilah yang paling berpeluang untuk melakukan ultra vires. Misalnya,

karena Direksi yang harus mengambil keputusan dalam jalannya

Perseroan dan ia pula yang mewakili Perseroan untuk melakukan tindakan

sebagai follow up dari keputusan tersebut, sehingga apabila terjadi risiko

dari tindakan tersebut maka direksilah yang paling bertanggungjawab atas

risiko yang terjadi.

182

Dari ketiga bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa

dalam kasus-kasus kepailitan terkait tanggung jawab

Organ Perseroan pada tahun 2000-2011, kelima doktrin

tertransplantasi sangat berpengaruh dalam putusan hakim

karena 80 % penggunaan doktrin tersebut menjadi dasar

bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan pernyataan pailit. Doktrin yang paling sering

digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim adalah ultra

vires (46,67). Organ yang paling sering dikenai tanggung

jawab berkaitan dengan tindakan ultra vires tersebut

adalah Direksi (89,47%). Dari kesimpulan tersebut,

menarik untuk ditelaah lebih lanjut mengenai kepailitan

Perseroan yang diakibatkan oleh tindakan ultra vires

Direksi.

2. Variasi Pertimbangan Hukum Dari Hakim Dalam

Memutus 6 (enam) Kepailitan

Ada 6 (enam) kasus kepailitan terpilih yang dianalisis

dengan menggunakan pendekatan case note. Keenam

kasus di bawah ini terkait dengan tanggung jawab Organ

Perseroan dalam kepailitan. Dalam setiap pertimbangan

hakim dari masing-masing kasus, mengandung unsur

tanggung jawab Organ Perseroan dalam kepailitan. Fokus

dari analisis ini adalah untuk menganalisa variasi

pertimbangan hakim terkait 5 (lima) “doktrin

tertransplantasi” dalam memutus setiap kasus kepailitan.

Menariknya, isu tentang tanggung jawab Organ

Perseroan yang dipertimbangkan hakim adalah sama,

183

tetapi argumen hakim terhadap isu tersebut berbeda.

Perbedaan argumen dalam menanggapi isu yang sama

tersebut bisa menghasilkan keputusan yang berbeda

pula. Perbedaan argumen hakim antar tingkat peradilan

maupun antar kasus (vide Hasil Penelitian, Bab III A)

tersebut menghasilkan variasi yang menarik untuk dikaji.

Kajian penulis terhadap setiap kasus disajikan dalam

bentuk cases notes sebagai berikut.

a. Case Note Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd.

vs PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero)

Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &

Perkapalan Kodja Bahari (Persero) memperoleh

kekuatan hukum tetap pada tingkat Kasasi

Mahkamah Agung. Berikut ini case note dari

pertimbangan hakim per tingkat peradilan:

1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat No.32/Pailit/2000/PN. Niaga/Jkt. Pst

Dalil pertanggungjawaban pribadi merupakan

tangkisan dari Termohon Pailit untuk menghindari

pertanggungjawaban Perseroan Termohon pailit

atas pembayaran utang dan mengalihkan

tanggung jawab tersebut kepada Organ Perseroan

dalam hal ini Direksi. Secara hukum, alasan ultra

vires bisa menjadi landasan hukum untuk

meminta tanggung jawab pribadi Organ Perseroan,

namun, secara politis pengalihan tanggung jawab

atas pembayaran utang tersebut sejatinya

184

bukanlah bertujuan untuk mengalihkan tanggung

jawab atas hutang, tapi dilakukan untuk

menjadikan permohonan tersebut tidak memenuhi

syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit,

terutama syarat formil yaitu pembuktian

sederhana (summarily proving).

Jika Perseroan sebagai Termohon Pailit melakukan

pembelaan dengan cara menjadikan direksi-nya

sebagai “tumbal”, sebenarnya siapa yang membuat

pembelaan tersebut? Bukankah direksi sendiri

sebagai representasi dari Perseroan untuk

mewakili Perseroan di depan pengadilan? Memang

dalam hal ini terjadi benturan kepentingan (conflict

of interest) antara Perseroan dan Direksi sehingga

seharusnya anggota direksi lain yang mewakili

Perseroan di depan pengadilan (Pasal 99 ayat (1)

UU No. 40 Tahun 2007). Namun, benturan

kepentingan (conflict of interest) ini sejatinya

bukanlah menjadi pokok persoalan. Di balik

Direksi yang menjadi “tumbal”, tersembunyi

kepentingan Perseroan sebagai Termohon Pailit

yang terancam “punah” dari eksistensinya sebagai

badan hukum. Ingat, kepailitan merupakan

“likuidasi khusus” yang berujung pada

pengakhiran status badan hukum Perseroan (vide

Bab II, Perbandingan Kepailitan, Likuidasi dan

Pembubaran Perseroan). Ingat pula bahwa, tujuan

adanya hukum kepailitan di Indonesia bukan

seperti tujuan hukum kepailitan AS yang notabene

185

bertujuan to reorganize the corporate. Tujuan

hukum kepailitan di Indonesia adalah untuk

memudahkan proses penyelesaian utang piutang

melalui prosedur kepailitan (yang notabene lebih

cepat dan sederhana dibanding menempuh proses

gugatan perdata) sehingga cenderung

menguntungkan kreditor (vide Bab II,

Perbandingan antara Tujuan Hukum Perseroan di

Indonesia dan Amerika Serikat). Padahal, belum

tentu Perseroan yang hampir dipunahkan tersebut

berada dalam keadaan “insolvensi”. Bisa jadi,

Perseroan tersebut masih mampu (able) tetapi

tidak mau (unwilling) membayar hutang-

hutangnya.

Dengan demikian, dalil pertanggungjawaban

pribadi Direksi menjadi salah satu jalan keluar

bagi Perseroan sebagai Termohon pailit untuk

menciptakan kekaburan mengenai siapa yang

menjadi debitor sehingga pembuktian terhadap

siapa debitor menjadi tidak sederhana (non-

summarily proving) sehingga menjadi wewenang

Pengadilan Negeri untuk memeriksa.

2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No. 21

K/N/2000

Tanggung jawab organ Perseroan seringkali

menjadi alasan bagi Termohon Pailit untuk

186

“berkelit” dari kewajibannya untuk membayar

utang kepada para kreditornya.

Pada putusan ini tanggung jawab pribadi anggota

Organ Perseroan (Direksi) menjadi salah satu

alasan bagi hakim untuk menolak permohonan

pailit dari Pemohon. Argumen hakim mendukung

argumen dari Termohon bahwa anggota Direksilah

yang harus bertanggung jawab secara pribadi

sebagai natuurlijk persoon, bukan Pemohon

sebagai badan hukum PT.

Yang menarik dari pertimbangan hakim pada

putusan ini adalah, hakim menjustifikasi bahwa

proses pembuktian dari perkara ini rumit sehingga

penyelesaian perkara ini tidak termasuk dalam

kewenangan Pengadilan Niaga, melainkan

Pengadilan Negeri. Hal ini dinyatakan dalam

pertimbangan hakim berikut ini:

“…dengan adanya fakta di atas maka utang yang

timbul dari penerbitan 4 (empat) lembar surat

sanggup tersebut masih menjadi permasalahan

dan belum bersifat pasti sehingga untuk

menentukan keabsahannya memerlukan proses

pembuktian yang tidak sederhana lagi

sebagaimana ditentukan dalam dalam Pasal 6 ayat

(3) UU No. 4 Tahun 1998 sebab untuk menyatakan

sah tidaknya surat sanggup itu Termohon harus

melalui pembuktian yang lengkap dan melibatkan

banyak pihak. Proses pembuktian yang rumit dan

melibatkan banyak pihak tersebut prosesnya

187

melalui acara perdata biasa di Persidangan

Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).”

Menurut penulis, ini adalah jalan keluar yang

menjadi favorit hakim jika mendapati perkara

terkait pertanggungjawaban organ perseroan.

Jika sudah nyata-nyata utang terhadap pihak

ketiga (dalam hal ini Pemohon pailit) tersebut

menurut pembuktian di dalam persidangan adalah

hutang pribadi anggota Organ Perseroan, maka

seharusnya Pemohon pailit mengajukan kembali

permohonan pailitnya terhadap pribadi Anggota

Organ Perseroan.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa tanggung jawab

pribadi akibat tindakan ultra vires tidak

terwadahi dalam putusan hakim? Misalnya tidak

ditemukan adanya putusan yang berbunyi:

“menyatakan Anggota Direksi PT. Dok dan

Perkapalan Kodja Bahari (Persero), Drs. Akhmal

Wahid dan Drs. Muchlis Hamid, pailit dengan

segala akibat hukumnya.” Menurut penulis,

tanggung jawab pribadi Organ Perseroan, tidak

terwadahi dalam putusan hakim apabila yang

dimohonkan pailit hanya Perseroan saja. Padahal,

Anggota Direksi sebagai natuurlijk person pun bisa

dipailitkan (vide Bab II, Termohon Pailit), atau

minimal Anggota Direksi ikut bertanggungjawab

atas pailitnya Perseroan (vide Pasal 104 ayat (2)).

188

Oleh karena itu, menurut Penulis, jika Pemohon

Pailit telah mendeteksi bahwa penyebab terjadinya

kepailitan adalah tindakan ultra vires Anggota

Organ Perseroan, maka ajukan permohonan

pernyataan pailit kepada Perseroan dan dan

Anggota Organ Perseroan. Besarnya tanggung

jawab Perseroan dan tanggung jawab Organ harus

dapat dibuktikan secara sederhana (summarily

proving), agar permohonan tidak ditolak

berdasarkan argumen ketidakjelasan mengenai

siapa debitor.

b. Case Note Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT.

Greatstar Perdana Indonesia

Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar

Perdana Indonesia memperoleh kekuatan hukum tetap

pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung. Berikut ini

case note dari pertimbangan hakim per tingkat

peradilan:

1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat No. 32/Pailit/2000/PN. Niaga/Jak.Pst

Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota

Direksi dalam kasus ini belum dapat

mempengaruhi putusan majelis hakim Pengadilan

Niaga, karena menurut majelis hakim,

pelampauan wewenang (ultra vires) merupakan

urusan internal Perseroan sehingga tidak mengikat

pihak eksternal, termasuk di dalamnya Pemohon

pailit. Hal inilah yang menyebabkan Hakim

189

memberi pertimbangan bahwa Perseroanlah yang

bertanggung jawab atas kepailitan tersebut,

sehingga permohonan pernyataan pailit terhadap

PT. Greatstar Perdana Indonesia.

Menurut penulis, tindakan ultra vires jelas berlaku

eksternal, karena tindakan tersebut telah

tercantum dalam Anggaran Dasar yang notebene

telah diumumkan dalam Berita Negara kepada

khalayak ramai menurut asas publisitas. Akibat

hukum dari diumumkannya Anggaran Dasar

tersebut adalah mengikatnya Anggaran Dasar

tersebut terhadap pihak ketiga.

2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.

30/K/N/2000

Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota

Direksi (Budi Handoko) telah mempengaruhi

putusan majelis hakim MA dalam perkara ini,

apalagi karena ada yurisprudensi berupa (3)

putusan mengenai hal yang sama (penolakan

pernyataan pailit bagi PT sebagai Termohon pailit

yang Anggota Direksinya melakukan tindakan

ultra vires). Tindakan ultra vires Anggota Direksi

bukan lagi merupakan urusan internal melainkan

juga mengikat pihak ketiga (eksternal) dalam hal

ini kreditor, sehingga menyebabkan Anggota

190

Direksi pelaku tindakan ultra vires harus

bertanggung jawab secara pribadi atas utang

kepada pihak ketiga tersebut.

Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim

tersebut tepat, sesuai dengan jiwa ultra vires.

Anggota Direksi yang melakukan tindakan ultra

vires seharusnya bertanggung jawab secara

pribadi atas hutang kepada pihak ketiga tersebut.

c. Case Note Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie

Finance Corporation

Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance

Corporation memperoleh kekuatan hukum tetap pada

tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.

Berikut ini case note dari pertimbangan hakim per

tingkat peradilan:

1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat No. 08/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt. Pst:

Pemohon tidak dapat membuktikan dalil

permohonannya mengenai tanggung jawab

Anggota Organ Perseroan (Anggota Direksi dan

Anggota Dewan Komisaris sebagai Termohon II-X))

dalam kasus ini, sehingga Anggota Organ

Perseroan tersebut tidak dapat dimintakan

pertanggungjawabannya atas kepailitan tersebut.

191

Hakim mengaitkan pertimbangannya dengan

mengenai pertanggungjawaban Anggota Organ

dalam penjualan obligasi Perseroan dengan Pasal

85 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 bahwa Direksi

wajib dengan itikad baik bertanggung jawab untuk

menjalankan tugas usaha Perseroan (Pasal 97 ayat

(2) UU No. 40 Tahun 2007) merupakan fiduciary

duty dari Direksi.

Penulis setuju dengan pertimbangan hakim,

karena penjualan obligasi merupakan salah satu

tugas yang dipercayakan kepada Direksi, dan

dalam pelaksanaannya Direksi telah

melaksanakannya secara wajar, sehingga bukan

merupakan suatu kesalahan atau kelalaian yang

patut dipertanggung jawabkan secara pribadi.

Menurut penulis, Anggota Direksi dan Anggota

Dewan Komisaris dalam kasus ini tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban, sehingga kepailitan

dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh

Termohon.

Dalam kasus ini Termohon yang dimohonkan pailit

sedang dalam PKPU, sehingga Termohon, ini

menjadi salah satu faktor mengapa PT. Bakrie

Finance tidak dapat dipailitkan selama PKPU

belum diputus.

Menurut penulis, hal ini sejalan dengan Pasal

Pasal 228 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998, bahwa:

192

“Selama berlangsungnya penundaan kewajiban

pembayaran utang, debitur tidak dapat dipaksa

membayar utang-utangnya sebagaimana dimaksud

dalamn Pasal 231 dan semua tindakan eksekusi

yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan

utang, harus ditangguhkan.”

Menurut pengaturan tersebut, proses peradilan

terkait kasus ini tetap bisa berjalan, hanya

eksekusi terhadap putusan harus ditangguhkan.

2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.

020/K/N/2002

Penulis tidak setuju dengan keterangan saksi ahli

yang kemudian menjadi dasar pertimbangan

hakim, dasar mana menyatakan bahwa Organ

Perseroan tidak dapat dipertanggungjawabkan

terhadap transaksi yang dilakukan Perseroan

kepada pihak ketiga. Menurut penulis, Organ

Perseroan tetap dapat dimintai

pertanggungjawaban secara pribadi apabila Organ

tersebut ternyata terbukti melakukan tindakan

ultra vires.

3) Case Note Putusan Peninjauan Kembali

Mahkamah Agung No. 018 PK/N/2002

Putusan Hakim MA dalam Peninjauan Kembali

kasus ini, konsisten dengan putusan hakim kasasi

193

maupun hakim pengadilan niaga. Titik fokus

putusan ada pada pengaturan Pasal 228 ayat (1)

UU No. 4 Tahun 1998 tersebut di atas (karena

kasus ini diputus pada tahun 2002; sebelum

adanya UU Kepailitan yang baru).

Menurut penulis, dalam UU Kepailitan Lama

hanya disebut mengenai penangguhan tindakan

eksekusi selama PKPU berlangsung. Dalam UU

Kepailitan Baru, ditegaskan dalam Pasal 260

bahwa:

“selama penundaan kewajiban pembayaran utang

berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan

permohonan pailit”.

Penulis setuju dengan pertimbangan hakim,

bahwa PKPU harus didahulukan apabila waktu

pengajuan PKPU oleh suatu Perseroan (dalam hal

ini PT. Bakrie Finance Corporation) lebih dahulu

atau bersamaan dengan pengajuan permohonan

pernyataan pailit kepada Perseroan tersebut

(sebagai debitor pailit), namun dalam aturan

Kepailitan Lama, tidak ada larangan mengenai

pengajuan permohonan pailit. Hanya, eksekusi

terhadap putusan (apabila permohonan

pernyataan pailit dikabulkan) harus ditangguhkan.

Sehingga menurut penulis, permohonan pailit

tetap bisa diajukan, hanya waktu untuk eksekusi

boedel pailit (jika permohonan pernyataan pailit

dikabulkan) harus menunggu sampai dengan

PKPU diputus.

194

Perbincangan mengenai argumen hakim terkait

tanggung jawab organ perseroan terbatas pada

kasus ini bukan merupakan suatu “isu” yang

mempengaruhi putusan hakim, karena PT. Bakrie

Finance Corporation sedang mengajukan PKPU

pada saat PT. Bank Mandiri (Persero) mengajukan

permohonan penyataan pailit terhadapnya.

d. Case Note Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT.

Wijaya Wisesa

Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya

Wisesa memperoleh kekuatan hukum tetap pada

tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.

Berikut ini case note dari pertimbangan hakim per

tingkat peradilan:

1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat No. 03/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt. Pst

Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota

Direksi (Direktur) dalam kasus ini mempengaruhi

putusan hakim dalam perkara ini. Ketidakjelasan

mengenai siapa debitor, menyebabkan perkara ini

tidak dapat dibuktikan secara sederhana

(summarily proving) sehingga Majelis Hakim

menolak untuk menyatakan Termohon pailit.

Menurut penulis, selain ultra vires, Herry Wijaya

sebagai Direktur melakukan transaksi self dealing.

195

Hal ini nampak jelas dari transaksi antara dua

Perseroan dengan direksi yang sama (Herry Wijaya

sebagai Direktur Utama pada Termohon dan juga

sebagai Presiden Direktur pada Pemohon) sehingga

dalam transaksi ini telah terjadi benturan

kepentingan (conflict of interest). Tindakan ini

merupakan tindakan yang tidak fair, karena Herry

Wijaya selaku selaku Direktur Utama pada

Termohon melakukan transaksi dengan Termohon

melalui kapasitasnya sebagai Presiden Direktur

Pemohon.

2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.

30/K/N/2000

Tindakan ultra vires Anggota Direksi menyebabkan

ketidakjelasan mengenai siapa yang bertanggung

jawab atas utang kepada Pemohon Kasasi.

Pemohon menyusun argumen bahwa tindakan

ultra vires Direksi merupakan masalah internal

Perseroan.

Menurut penulis, tindakan ultra vires merupakan

tindakan yang melanggar Anggaran Dasar

Perseroan, dimana Anggaran Dasar tersebut

mengikat pihak ketiga, karena memenuhi asas

publisitas. Pelanggaran terhadap Anggaran Dasar

tersebut mengakibatkan letter of indemnity yang

diterbitkan oleh Termohon tanpa persetujuan

196

Dewan Komisaris tersebut menjadi batal demi

hukum (null and void).

Pelanggaran terhadap Anggaran Dasar merupakan

kausa yang tidak halal sehingga tidak memenuhi

syarat objektif ke-2 (kedua) dari 4 (empat) syarat

sahnya perjanjian yaitu sebab (kausa) yang halal

(Pasal 1320 KUH Perdata).

Menurut penulis, transaksi self-dealing makin

kentara dalam putusan ini. Fakta pertama, Herry

Wijaya sebagai Direktur Utama pada Termohon

dan juga sebagai Presiden Direktur pada Pemohon.

Fakta kedua, Herry Wijaya sebagai Direktur Utama

juga sebagai pemegang saham mayoritas pada

Termohon sehingga dalam transaksi uang sebesar

US$ 1,250,000 (satu juta dua ratus lima puluh

Dollar Amerika Serikat) ini jelas telah terjadi

benturan kepentingan (conflict of interest).

Penulis menduga, Herry Wijaya yang memiliki

kontrol dalam pengelolaan Pemohon, memiliki

andil dalam penentuan keputusan untuk memberi

pinjaman kepada Termohon yang ditransfer

melalui rekening pribadi Henry Wijaya. Herry

Wijaya juga memiliki kontrol penuh dalam

penentuan keputusan RUPS Termohon untuk

meminjam uang kepada Pemohon.

Sebagai Direksi, Herry Wijaya telah melakukan

transaksi dengan Perseroan (self dealing) sehingga

197

telah melanggar fiduciary duty Direksi khususnya

duty of fair dealing. Oleh karena itu, menurut

penulis, Herry Wijaya harus bertanggung jawab

secara pribadi.

3) Case Note Putusan Peninjauan Kembali No. 04

PK/N/2004

Dalam putusan ini Majelis Hakim Peninjauan

Kembali konsisten dengan putusan hakim di

tingkat sebelumnya, sehingga penulis tidak

berkomentar lebih lanjut.

e. Case Note Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central

Total Finance

Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance

memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat

Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Berikut ini

case note dari pertimbangan hakim per tingkat

peradilan:

1) Case Note Putusan Pengadilan Jakarta Pusat No.

16/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt. Pst

Mengenai pertimbangan hakim:

“Bahwa atas pertanyaan tersebut, Termohon

dengan surat menyatakan memberikan jawaban

bahwa perlakuan ini tidak menyimpang dari Pasal

Akta No. 184, bahwa Direktur Utama berkuasa

dan berwenang bertindak untuk dan atas nama

serta mewakili Perseroan”

198

Menurut penulis, pertimbangan tersebut

mengandung doktrin business judgement rule

dimana doktrin tersebut mengajarkan bahwa

suatu putusan Direksi mengenai aktivitas

Perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh

siapapun meskipun putusan tersebut kemudian

ternyata salah atau merugikan Perseroan.

Penandatanganan surat sanggup (promissory note)

hanya oleh Direksi dan tanpa persetujuan Dewan

Komisaris, tidak termasuk dalam kategori

tindakan pelampauan wewenang (ultra vires) oleh

Anggota Direksi (Direktur) dalam kasus ini, karena

setelah dipertanyakan mengenai hal tersebut,

Termohon “mengesahkan” tindakan tersebut

dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut

tidak menyimpang dari Anggaran Dasar Perseroan

dan merupakan kewenangan Direksi yang

menurut penulis, termasuk dalam mengandung

unsur doktrin putusan bisnis (business jugdement

rule). Artinya jika terjadi masalah di kemudian hari

mengenai tindakan tersebut, yang bertanggung

jawab adalah Pemohon bukan Anggota Direksi

secara pribadi. Berdasarkan hal tersebut, doktrin

putusan bisnis (business jugdement rule)

mempengaruhi putusan hakim dalam perkara ini.

Hakim mempertimbangkan bahwa tindakan

Direksi sah sesuai dengan kapasitasnya untuk

menentukan keputusan, sehingga Termohon

sebagai badan hukum dinyatakan bertanggung

199

jawab atas utang terhadap para kreditornya dan

dinyatakan pailit.

Penulis setuju dengan pertimbangan hakim, tapi

dengan catatan. Menurut penulis, pertimbangan

hakim memberlakukan doktrin BJR untuk

melindungi Anggota Direksi yang telah melakukan

tindakan ultra vires adalah sah, dengan catatan

selama ada bukti bahwa tindakan tersebut

mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational

basis) yang kuat dalam rangka kepentingan

Perseroan dan dilakukan dengan cara yang layak

dipercayai (reasonable belief) sebagai yang terbaik

(best interest) bagi Perseroan.

2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.

010/K/N/2004

Dalam putusan kasasi terhadap kasus ini, Majelis

Hakim Kasasi tetap mempertahankan argumen

dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga. Ada

konsistensi antara pertimbangan Majelis Hakim

Pengadilan Niaga dan Majelis Hakim Kasasi.

Menurut penulis, dalam pertimbangan MA perlu

dijelaskan lebih lanjut unsur BJR mengenai dasar-

dasar yang rasional (rational basis) yang kuat

dalam rangka kepentingan Perseroan dan

dilakukan dengan cara yang layak dipercayai

(reasonable belief) sebagai yang terbaik (best

interest) bagi Perseroan. Hal ini untuk

200

memperkuat argument hakim mengenai

penerapan doktrin BJR dalam kasus ini.

3) Case Note Putusan Peninjauan Kembali No. 010

PK/N/2004

Putusan Majelis Hakim Peninjauan Kembali

konsisten dengan putusan di tingkat sebelumnya,

sehingga penulis tidak berkomentar lebih lanjut.

f. Case Note Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs PT.

Kalimas Sukses Baru Mandiri

Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs PT. Kalimas

Sukses Baru Mandiri memperoleh kekuatan hukum

tetap pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung. Berikut

ini case note dari pertimbangan hakim per tingkat

peradilan:

1) Case Note Putusan No. 20/Pailit/2010/PN.

Niaga. Sby

Pertimbangan hakim Pengadilan Niaga Surabaya

dalam kasus ini sangat minim dan tidak mengupas

mengenai tanggung jawab Organ Perseroan.

2) Putusan MA No. 249/K/Pdt. Sus/2011

Penulis setuju dengan pertimbangan hakim

mengenai tidak diperbolehkannya surat pengakuan

hutang yang dibuat oleh seorang Anggota Direksi

201

suatu Perseroan (PT. Kalimas Baru Sukses Mandiri)

digunakan untuk kepentingan Perseroan lain,

sekalipun Anggota Direksi tersebut merupakan

pemegang saham dan Direksi di Perseroan lain (PT.

Delta Barito Indah) tersebut dan kedua Perseroan

tersebut berada di bawah satu holding yaitu “Kang

Group”.

Penulis memperhatikan bahwa setelah Pemohon

Kasasi yang juga Pemohon Pailit gagal

membuktikan PT. Kalimas Sukses Baru sebagai

kreditur-nya, ia bermaksud untuk menerapkan

doktrin piercing the corporate veil antara sesama

subsidiary company dari Kang Group, agar PT.

Delta Barito Indah dapat memenuhi unsur sebagai

“kreditur lain”. Namun Pemohon Kasasi tidak

memiliki landasan yang kuat untuk menerapkan

piercing the corporate veil terhadap PT. Delta Barito

Indah yang dalam hal ini diwakili oleh Direksinya

Indrato Kang Martono.

Penulis tidak setuju dengan dalil Pemohon Pailit

untuk menerapkan piercing the corporate veil dalam

kasus ini. Karena menurut penulis, walaupun PT.

Kalimas Baru Sukses Mandiri dan PT. Delta Barito

Indah berada di bawah satu holding “Kang Group”,

namun masing-masing Perseroan sebagai

subsidiary company tetap memiliki batas yang tidak

bisa diterobos tanpa dasar.

202

Berdasarkan cases notes tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa variasi Argumen Hakim mengenai kelima doktrin

tertransplantasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan

adalah mengenai:

1) Terbukti atau tidak terbuktinya tindakan ultra vires dalam

kasus tersebut;

2) Jika terbukti, maka seberapa besar pengaruh tindakan ultra

vires tersebut sebagai menjadi dasar bagi hakim untuk

menentukan besarnya tanggung jawab Organ Perseroan

dibanding tanggung jawab Perseroan atas terjadinya

kepailitan Perseroan;

3) Besarnya tanggung jawab Organ Perseroan menyebabkan

hal tersebut menjadi dasar pertimbangan hakim untuk

menyatakan Perseroan bertanggung jawab sepenuhnya atas

kepailitan yang terjadi pada Perseroan; atau sebaliknya

Organ Perseroan bertanggung jawab sepenuhnya sampai ke

harta pribadi berdasarkan piercing the corporate veil.

4) Apabila Perseroan terbukti bertanggung jawab penuh atas

utang maka permohonan pailit dikabulkan; sebaliknya jika

Organ Perseroan terbukti bertanggung jawab secara pribadi

(personal liability) atas utang, maka permohonan pailit

ditolak.

5) Tanggung jawab pribadi (personal liability) berdasarkan

piercing the corporate veil Organ Perseroan tidak terwadahi

dalam putusan hakim, sehingga tanggung jawab pribadi

(personal liability) Organ Perseroan tidak bisa dieksekusi

walaupun sudah terbukti dalam proses persidangan.

203

3. Analisis Tanggung Jawab Organ Perseroan terkait Lima

Doktrin Tertransplantasi

Berikut ini analisis mengenai Organ Perseroan mana yang

terlibat dalam kasus tersebut, bagaimana tanggung

jawabnya dalam kasus tersebut, apakah bertanggung

jawab sesuai dengan kapasitasnya sebagai Organ

Perseroan atau bertanggung jawab secara pribadi. Berikut

uraian tanggung jawab dari Organ Perseroan pada masing-

masing kasus kepailitan terpilih:

Batas Tanggung Jawab masing-masing Organ Perseroan

adalah (vide Bab II):

Tanggung jawab terbatas bagi Pemegang Saham

Tanggung jawab sesuai kewenangan bagi Anggota

Direksi

Tanggung Jawab sesuai kewenangan bagi Anggota

Dewan Komisaris.

Pada prinsipnya, selama masing-masing Organ Perseroan

bertindak sesuai dengan batas tanggung jawabnya

(intravires) maka tidak diberlakukan tanggung jawab

secara pribadi (personal liability) berdasarkan doktrin

piercing the corporate veil.

Berikut ini adalah uraian tanggung jawab Organ Perseroan

terkait dalam masing-masing kasus kepailitan terpilih:

204

a. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam kasus The

Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &

Perkapalan Kodja Bahari (Persero)

Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah

dua orang Anggota Direksi (Akhmal Wahid dan Muchlis

Hamid). Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut,

pertanggungjawaban kedua Anggota Direksi adalah

pertanggungjawaban pribadi sebagai akibat dari

tindakan ultra vires. Tindakan ultra vires yang

dimaksud adalah penerbitan empat surat sanggup

(promissory note) senilai US $ 3.500.000,- tanpa

sepersetujuan Anggota Dewan Komisaris merupakan

“pelanggaran terhadap Anggaran Dasar Termohon

Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4)” huruf d” yang mereka

lakukan.

Menurut penulis, pertimbangan hakim adalah tepat

dari segi pertanggungjawaban Organ. Ketepatan yang

dimaksud adalah sesuai dengan jiwa dari doktrin UV

yaitu memberlakukan piercing the corporate veil

sebagai konsekuensi logis dari tindakan UV. Namun

pertimbangan pertanggungjawaban pribadi Anggota

Direksi tersebut adalah sia-sia tidak bisa secara nyata

menarik Anggota Direksi tersebut ke dalam ranah

pertanggungjawaban pribadi, karena

pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi tersebut

tidak bisa dieksekusi. Pertimbangan tentang

pertanggungjawaban pribadi ini tidak terwadahi dalam

putusan hakim dalam memutus kasus kepailitan ini.

Pertanggungjawaban pribadi hanya berdampak pada

205

ditolaknya permohonan pernyataan pailit dengan dasar

pertimbangan, Perseroan (Termohon pailit) tidak

bertanggungjawab atas utang.

b. Tanggung Jawab Organ Perseoan dalam Kasus PT.

Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar Perdana

Indonesia

Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah

Anggota Direksi. Menurut pertimbangan hakim,

Anggota Direksi tersebut tidak bertanggung jawab

secara pribadi, karena tindakan penerbitan surat

sanggup senilai 2.000.000.000 (dua milyar Rupiah)

oleh Anggota Direksi yang tidak mendapat persetujuan

Dewan Komisaris, (pelanggaran terhadap Pasal 12 (2)

dan (4) Perseroan), merupakan tindakan ultra vires,

namun tindakan ultra vires tersebut tidak mengikat

pihak ketiga.

Menurut penulis, terhadap Anggota Direksi tersebut

seharusnya dikenakan tanggung jawab pribadi

(personal liability) berdasar doktrin piercing the

corporate veil, karena perbuatan Anggota Direksi

tersebut jelas-jelas melampaui batas kewenangannya

(ultra vires).

c. Tanggung Jawab Organ Perseron dalam Kasus PT.

Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance Corporation

Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah

Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris.

Menurut pertimbangan hakim, Anggota Direksi

206

maupun Anggota Dewan Komisaris dalam hal ini

melakukan tindakan “penjualan obligasi dalam

prospekktus yang diterbitkan Termohon (PT. BFC)

adalah sah tidak dikenakan tanggung jawab secara

pribadi.

Penulis setuju dengan pertimbangan hakim tersebut.

Menurut penulis, tindakan promosi penjualan obligasi

tersebut ada di dalam batas kewenangan Anggota

Direksi dan Anggota Dewan Komisaris.

Khusus untuk Anggota Direksi, tanggung jawab sesuai

kewenangan tersebut dilakukan berdasarkan fiduciary

duty-nya, sehingga dalam kepailitan ia hanya

bertanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya

sebagai Anggota Direksi.

d. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kasus PT.

Aditya Toa Development vs PT. Wijaya Wisesa

Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah

Anggota Direksi (Herry Wijaya). Menurut pertimbangan

hakim, tindakan Herry Wijaya yaitu “penerbitan letter

of indemnity yang berisi pengakuan pinjaman senilai

US$ 1,250,000 kepada Termohon” adalah tindakan

ultra vires karena tidak meminta persetujuan terlebih

dahulu dari Anggota Direksi (pelanggaran terhadap

pasal 11 butir 3a Akta Pendirian Termohon). Artinya

terhadap Herry Wijaya dikenakan tanggung jawab

pribadi (personal liability) berdasarkan doktrin piercing

the corporate veil.

207

Menurut penulis, selain UV, Herry Wijaya juga

melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty,

khususnya duty of fair dealing, yaitu “melakukan

transaksi antara dua Perseroan dengan Direksi yang

sama”. Tidak fair nya tindakan Herry Wijaya terletak

pada posisinya sebagai Direktur Utama pada Pemohon

juga sebagai Presiden Direktur pada Pemohon

menimbulkan conflict of interest. Selain itu, Herry

Wijaya merupakan selain sebagai Direktur Utama, juga

sebagai pemegang saham mayoritas pada Termohon.

Peminjaman dana senilai US$ 1,250,000 kepada

Termohon dilakukan atas alas hak yang sah, karena

Herry Wijaya bertindak sebagai Direksi Pemohon,

namun tindakan tersebut tidak fair, karena tindakan

tersebut mengakibatkan benturan kepentingan

terhadap kedua Perseroan tersebut.

Tindakan UV dan SD yang dilakukan oleh Herry Wijaya

sebagai Anggota Direksi Termohon, merupakan dasar

pemberlakuan tanggung jawab pribadi terhadap

hutang kepada Pemohon, sesuai dengan doktrin

piercing the corporate veil.

e. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kasus PT.

Heradi Utama vs PT. Central Total Finance

Organ Perseroan yang terkait dalam kasus ini adalah

Anggota Direksi Termohon (PT. CTF). Anggota Direksi

tersebut telah melakukan tindakan ultra vires.

Tindakan yang dimaksud adalah “penerbitan surat

208

sanggup Nomor 00666 dan No. 00667 terhadap

kreditur kedua PT. Intidana Adimandiri” yang tidak

mendapat persetujuan Anggota Dewan Komisaris

Termohon (pelanggaran terhadap Anggaran Dasar

Perseroan). Pelanggaran ini “disahkan” oleh Termohon,

sehingga Anggota Direksi tersebut tidak

bertanggungjawab secara pribadi.

Menurut penulis, tindakan ultra vires oleh Anggota

Direksi tersebut bisa “dilindungi” dengan doktrin

business judgement rule apabila tindakan Anggota

Direksi tersebut terbukti memiliki unsur:

dasar-dasar yang rasional (rational basis) yang

kuat dalam rangka kepentingan Perseroan

dilakukan dengan cara yang layak dipercayai

(reasonable belief) sebagai yang terbaik (best

interest) bagi Perseroan.

Rational basis dan reasonable belief memiliki batas

yang tidak jelas. Menurut penulis, yang bisa menilai

rational basis dan reasonable belief ini atas tindakan

ultra vires Direksi, hanyalah Perseroan tempat Direksi

menjabat. Artinya selama Perseroan tempat Direksi

menjabat tersebut menilai tindakan ultra vires Direksi

tersebut sesuai dengan rational basis “dalam rangka

kepentingan Perseroan” dan rational belief “sebagai

yang terbaik bagi Perseroan” maka tindakan tersebut

bisa dilindungi dengan business judgement rule.

Derajat kesesuaian antara tindakan ultra vires Direksi

209

dengan kepentingan Perseroan, hanya bisa diukur oleh

Perseroan sendiri, sejauh mana tindakan tersebut

melampaui batas kewenangan, namun dilakukan

untuk kepentingan Perseroan.

Dengan demikian, tanggung jawab Anggota Direksi

dalam kasus ini yang seharusnya merupakan tanggung

jawab pribadi karena melakukan tindakan ultra vires,

menjadi tanggung jawab sesuai kewenangannya

sebagai Direksi karena tindakan ultra vires Direksi

dianggap sebagai tindakan yang sesuai dengan

kepentingan Perseroan; dilindungi doktrin business

judgement rule.

f. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kasus PT.

Bank Negara Indonesia vs PT. Kalimas Sukses Baru

Mandiri

Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah

Anggota Direksi sekaligus pemegang saham (Indrato

Kang Martono) dari PT. Delta Barito Indah yang

merupakan debitor dari kreditor lain dalam kasus ini.

Kreditor lain yang dimaksud adalah Liem Haryanto

Limantara. Oleh karena, Indrato Kang Martono

merupakan Anggota Direksi sekaligus pemegang

saham dari PT. Delta Barito Indah dan juga

merupakan Anggota Direksi dan Pemegang Saham dari

PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri (Termohon Pailit),

yang notabene kedua Perseroan ini masing-masing

subsidiary company dari holding “Kang Group”, maka

Pemohon Pailit (PT. BNI) menghendaki agar hutang PT.

210

Delta Barito Indah kepada Liem Haryanto Limantara

dianggap sebagai hutang PT. Kalimas Sukses Baru

Mandiri kepada Liem Haryanto Limantara,

berdasarkan piercing the corporate veil antar sesama

subsidiary company.

Menurut penulis, piercing the corporate veil dapat

diterapkan terhadap sesama subsidiary company,

apabila Organ Perseroan dari subsidiary company yang

diterobos tabir tanggung jawabnya melakukan

tindakan ultra vires yang menimbulkan kerugian bagi

subsidiary company yang hendak memberlakukan

penerobosan tabir tanggung jawab terbatas tersebut.

Dalam subsidiary company (PT. Delta Barito Indah),

tidak melakukan tindakan yang menimbulkan

kerugian terhadap subsidiary company yang hendak

memberlakukan penerobosan tabir tanggung jawab

terbatas tersebut (PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri),

sehingga menurut penulis, tidak ada alas hak yang sah

bagi PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri untuk meminta

pertanggung jawaban dari PT. Delta Barito Indah.

Dengan demikian, Indrato Kang Martono sebagai

Direksi sekaligus pemegang saham PT. Kalimas Sukses

Baru Mandiri dalam hal ini bertanggung jawab sesuai

kewenangan.

Berdasarkan penjelasan mengenai Variasi Pertimbangan

Hakim dan Tanggung Jawab Organ, maka penulis dapat

menyimpulkan penjelasan tersebut dalam matriks berikut:

211

No. Kasus Doktrin

----------

Organ PT

Terkait

Variasi Pertimbangan Hakim Putusan

Berkekuatan

Hukum Tetap

Tanggung

Jawab Organ

Komentar

Penulis

terhadap

pertimbangan dan putusan

hakim

Ket.

1. PT. HCB

vs

PT. PKB

UV AD Penerbitan 4 lembar promissory

note senilai 3.500.000 US $ tanpa

persetujuan ADK merupakan

pelanggaran Pasal 11 ayat (3) &

(4) Anggaran Dasar Termohon)

Ditolak AD

bertanggung

jawab secara

pribadi (personal liability) berd.

PCV

Setuju, krn

tindakan AD

merupakan

tindakan UV

2. PT. IMF

vs

PT GPI

UV AD Penerbitan promissory note senilai

Rp. 2.000.000.000 tanpa

persetujuan ADK bukan merupakan pelanggaran terhadap

Pasal 12 (2) dan (4) Anggaran

Dasar Termohon. Anggaran Dasar

berlaku internal, tidak mengikat

pihak ketiga.

Dikabulkan AD tidak

bertanggungja

wab secara pribadi (personal liability) berd.

PCV. AD

bertanggung

jawab sesuai kapasitasnya

sebagai

Direksi dalam

kepailitan.

Tidak setuju,

krn Anggaran

Dasar berlaku eksternal berd.

Asas publisitas,

sehingga

tindakan AD

merupakan

tindakan UV

3 PT. BM

vs

PT. BFC

FD AD &

ADK

Penjualan obligasi dalam

prospektus yang diterbitkan

Termohon adalah tindakan sah

Ditolak AD dan PT.

BFC

(Termohon)

Setuju,

tindakan AD &

ADK sesuai FD-

PKPU,

Ps. 228

UUL,

Matriks 7. Rekapitulasi Analisis Variasi Pertimbangan Hakim dan Tanggung Jawab Organ dalam 6 (enam) Kasus Kepailitan Terpilih

212

No. Kasus Doktrin

----------

Organ PT

Terkait

Variasi Pertimbangan Hakim Putusan

Berkekuatan

Hukum Tetap

Tanggung

Jawab Organ

Komentar

Penulis

terhadap

pertimbangan dan putusan

hakim

Ket.

(intravires) tidak

bertanggungja

wab, karena

dalil Pemohon

tidak terbukti.

nya; bukan

tindakan UV

ditangguh

kan;

Ps. 260

UUB,

permohonan tdk dpt

diajukan.

4. PT. ATD

vs

PT. WW

UV AD;

SD AD

Penerbitan letter of indemnity

berisi pengakuan pinjaman senilai

1.250.000 US $ kepada Termohon

yang tidak mendapat persetujuan

ADK, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 11 butir 3a Akta

Pendirian Termohon

Ditolak AD

bertanggung

jawab secara

pribadi (personal liability), berd.

PCV

Setuju,

tindakan AD

merupakan

tindakan UV. Mengandung

SD (Herry

Wijaya, AD

Termohon & Pemohon;conflict of interest),

melanggar DoFD & DoL)

5 PT. HU

vs

PT. CTF

UV AD Penerbitan surat sanggup

terhadap Kreditur kedua (PT. IDA)

yang tidak mendapatkan

persetujuan Dewan Komisaris,

tidak merupakan tindakan UV karena Termohon mengesahkan

Dikabulkan AD tidak

bertanggungja

wab secara

pribadi (personal liability) berd.

Setuju,

BJR melindungi

tindakan AD,

asal tindakan

AD sesuai dengan rational

213

No. Kasus Doktrin

----------

Organ PT

Terkait

Variasi Pertimbangan Hakim Putusan

Berkekuatan

Hukum Tetap

Tanggung

Jawab Organ

Komentar

Penulis

terhadap

pertimbangan dan putusan

hakim

Ket.

tindakan tersebut dengan BJR PCV. AD

bertanggung

jawab sesuai

kapasitasnya

sebagai Direksi dalam

kepailitan.

basis dan

rational belief.

(Derajat

kesesuaian hny

dpt diukur oleh PT tempat AD

menjabat)

6. PT. BNI

vs

PT.

KBSM

PCV antara

sesama subsidiary company AD

& PS

Majelis hakim tidak sependapat

dengan dalil Pemohon, PT BNI yang menghendaki subsidiary company 1 “Kang Group” lainnya

(PT. DBI) bertanggung jawab atas hutang kepada kreditur lain (Liem

Haryanto Limantara), karena AD

dan PS dari PT. DBI sama dengan

AD & PS dari PT. KBSM (Termohon; subsidiary company 2

dari Kang Group).

Ditolak AD dan PT.

KBSM tidak

bertanggungja

wab karena dalil Pemohon

tidak terbukti.

214

Berdasarkan analisis Tanggung jawab organ perseroan

terbatas dalam enam kasus kepailitan terpilih tersebut di

atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Tanggung jawab organ perseroan dalam kepailitan dimulai

dari adanya Fiduciary duty dari Perseroan sebagai principal

dan Organ Perseroan sebagai agent. Dalam perjalanannya,

Organ Perseroan seringkali didapati melakukan tindakan

ultra vires, sehingga menyebabkan terterobosnya tanggung

jawab terbatas pemegang saham, dan tanggung jawab

berdasarkan kewenangan bagi Direksi dan Dewan

Komisaris yang kemudian mengakibatkan tanggung jawab

pribadi (personal liability) Organ Perseroan. Tindakan ultra

vires Direksi ini sering menjadi alasan dari Termohon Pailit

untuk mengalihkan tanggung jawab atas kepailitan kepada

Direksi. Tanggung jawab pribadi (personal liability) ini

merupakan perluasan tanggung jawab dimana Direksi

seharusnya hanya bertanggung jawab sesuai kapasitasnya

sebagai Direksi dalam kepailitan; tidak bertanggung jawab

secara finansial menjadi bertanggungjawab secara finansial

atas kepailitan. Namun sayang, tanggung jawab pribadi

tersebut tidak terakomodasi dalam putusan hakim.

Oleh karena itu, menurut penulis, perlu dikonstruksikan

bentuk “pewadahan” tanggung jawab Organ Perseroan

dalam putusan hakim, agar, apabila Organ Perseroan

tersebut terbukti bertanggung jawab bersama dengan

Perseroan atas kepailitan Perseroan tersebut, maka

putusan hakim dapat mewadahi tanggung jawab bersama

tersebut.

215

Selain itu, menurut penulis, hakim perlu merumuskan

pertimbangan dengan menggunakan peraturan (rule

based reasoning) dan prinsip/asas (principle based

reasoning) sebagai dasar pertimbangan. Dalam enam

kasus kepailitan terpilih, hakim cenderung

mempertimbangkan kasus-kasus kepailitan dengan

pendekatan doctrinal based reasoning saja.

4. Penelusuran tindakan ultra vires dalam kasus-kasus

kepailitan

Doktrin ultra vires adalah doktrin yang paling

mempengaruhi pertimbangan hakim dalam enam kasus

kepailitan terpilih (vide Kesimpulan Matriks 6). Tindakan

ultra vires terbukti dilakukan Anggota Direksi, sehingga

dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Anggota

Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi.

Namun, mengapa tanggung jawab pribadi tersebut bisa

dieksekusi secara riil? Problematika inilah yang akan

dibahas selanjutnya dari segi substansi maupun dari segi

formil dalam variasi pertimbangan hakim.

a. Analisis dari segi substansi: Akibat Hukum

Tindakan Ultra Vires dalam variasi putusan hakim

Secara umum argumen Majelis Hakim untuk

menyatakan Direksi melakukan tindakan ultra vires

adalah pelampauan wewenang yang telah ditentukan

dalam Anggaran Dasar Perseroan tersebut (vide cases

notes). Wewenang yang dilampaui pada umumnya

adalah wewenang untuk meminjam sejumlah dana

216

kepada pihak ketiga dengan menerbitkan surat

sanggup (prommisory note). Menurut Anggaran Dasar

Perseroan, penerbitan surat sanggup tersebut sah

apabila ada persetujuan berupa tanda-tangan dari

Dewan Komisaris. Dalam kasus-kasus tersebut, tidak

ditemukan adanya persetujuan Dewan Komisaris,

sehingga tindakan direksi menerbitkan surat sanggup

tersebut termasuk dalam tindakan ultra vires.

Ada dua pendapat mengenai akibat hukum tindakan

ultra vires. Pendapat pertama menyatakan bahwa

tindakan ultra vires memiliki akibat batal demi hukum

(null and void)110karena tindakan tersebut melampaui

kewenangan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar,

sehingga sebab terjadinya tindakan tersebut tergolong

dalam sebab yang tidak halal. Hal ini melanggar syarat

objektif yang keempat, sehingga penerbitan surat

sanggup tersebut, secara teori adalah batal demi

hukum (null and void).

Namun dalam praktek, adalah sulit untuk

membatalkan perjanjian yang sudah dieksekusi,

artinya dana tersebut telah ditransfer ke rekening

Direksi, kemudian lama berselang, baru diketahui,

ternyata perjanjian utang-piutang berdasarkan surat

sanggup (promissory note) tersebut tidak sah.

Penyelesaian masalah seperti akan lebih mudah jika

pihak kreditor mengumpulkan bukti mengenai siapa

110 Ricardo Simanjuntak, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Sehubungan Dengan Tindakan Ultra Vires, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 30, No. 3, Tahun 2011, hal. 7. Lihat juga Sutan Remy Sjahdeini, Jurnal Hukum Bisnis Volume 14 Tahun 2001.

217

yang menjadi debitor atas utang. Jika terbukti

perjanjian utang-piutang berdasarkan surat sanggup

(promissory note) tersebut tidak sah, maka yang

bertanggung jawab untuk mengembalikan utang

adalah Direksi. Tanggung jawab untuk pembayaran

utang tersebut sampai ke harta pribadi (personal

liability).

Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tindakan

ultra vires merupakan dasar terterobosnya tanggung

jawab berdasarkan kewenangan Direksi (vide Bab II),

sehingga Direksi yang pada mulanya tidak

bertanggung jawab secara finansial menjadi

bertanggung jawab secara finansial sampai ke harta

pribadi atas kepailitan. Inilah yang dimaksud oleh

Ricardo Simanjuntak111 sebagai perluasan tanggung

jawab (extension of liability), dimana Direksi Perseroan

yang pada awalnya tidak bertanggung jawab secara

finansial terhadap perseroan pailit, menjadi

bertanggung jawab secara finansial, akibat

kesalahan/kelalaian Direksi (Pasal 104 ayat (2) UU No.

40 Tahun 2007). Kesalahan/kelalaian tersebut harus

dibuktikan oleh kreditor berdasarkan doktrin siapa

mendalilkan, harus membuktikan (who asser must

proof).

Dalam 6 (enam) kasus kepailitan tersebut terdapat

pertimbangan mengenai extension of liability tersebut,

misalnya pada kasus PT. HCB vs PT. PKB (Persero)

111 Wawancara, Ricardo Simanjuntak, SH, LLM, Anziif, CIP, Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia, Jakarta Selatan: 7 September 2011.

218

(Putusan MA No. 21/K/N/2000), dua Anggota Direksi

(Drs. Akhmal Wahid dan Drs. Muchlis Hamid, MBA)

bertanggung jawab secara pribadi, karena melakukan

tindakan ultra vires atas 4 (empat) lembar surat

sanggup senilai. Termohon pailit tidak bertanggung

jawab atas utang sehingga permohonan pernyataan

pailit ditolak. Penolakan terhadap permohonan

pernyataan pailit yang tidak memenuhi syarat

kesederhanaan pembuktian (summarily proving) terkait

dengan segi formil permohonan pernyataan pailit.

b. Analisis dari segi formil: Tindakan ultra vires

menyebabkan permohonan pernyataan pailit ditolak

dengan alasan tidak memenuhi unsur pembuktian

sederhana (summarily proving)

Tindakan Ultra Vires menyebabkan unsur pembuktian

sederhana (summarily proving) sebagaimana

disyaratkan dalam Pasal 6 ayat 3 UU No. 4 Tahun

1994 (diperbaharui menjadi Pasal 8 ayat (4) UU No. 37

Tahun 2004) khususnya mengenai siapa debitor

menjadi kabur, sehingga Majelis Hakim dalam

pertimbangannya menyatakan bahwa permohonan

pernyataan pailit tersebut tidak memenuhi unsur

pembuktian sederhana (non-summarily proving). Akibat

dari tidak memenuhi unsur pembuktian sederhana

adalah ditolaknya permohonan pernyataan pailit, oleh

karena hakim Pengadilan Niaga tidak berwenang

untuk memutus kasus tersebut.

219

Hal yang menarik adalah dalam Kasus PT. HCB vs PKB

(Putusan MA No. 21 K/N/2000), dan kasus PT. ATD vs

WW (Putusan MA No. 30 K/N/2004), Majelis Hakim

MA menolak dengan alasan tidak memenuhi unsur

pembuktian sederhana, lalu mengarahkan Pemohon

Pailit untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Umum

pada Pengadilan Negeri setempat. Yang menjadi

pertanyaan mendasar adalah, mengapa hakim

peradilan Niaga tidak memberi ruang bagi pertanggung

jawaban pribadi Organ Perseroan di dalam

putusannya? Mengapa tanggung jawab pribadi Organ

hanya sampai pada pertimbangan saja? Hal ini

menjadi kajian menarik.

Menurut penulis, seharusnya Organ Perseroan bisa

ditarik untuk bertanggung jawab secara pribadi

(personal liability) berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No.

40 Tahun 2007 bagi Pemegang Saham, Pasal 104 ayat

(2) UU No. 40 Tahun 2007 bagi Anggota Direksi dan

Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. Namun,

sampai saat ini penulis belum pernah menemukan

putusan kepailitan yang mewadahi tanggung jawab

pribadi ini.

Dalam wawancara dengan seorang kurator, Ricardo

Simanjuntak, Organ Perseroan dapat dimintai

pertanggungjawaban secara pribadi pada tahap

pengurusan boedel pailit oleh kurator. Artinya,

berdasarkan bukti-bukti dimana Organ Perseroan

memiliki tanggung jawab atas utang, Organ Perseroan

dapat dimintai pertanggungjawaban untuk

220

memasukkan harta pribadinya ke dalam boedel pailit

Perseroan sebagai perluasan tanggung jawab (extension

of liability)

Menurut beliau, secara teori, hal ini mudah diucapkan,

namun dalam prakteknya hal ini sulit. Bahkan untuk

menentukan besarnya piutang, kurator seringkali

berhadapan dengan sengketa antara debitor dan

kreditor. Apalagi untuk menarik Organ Perseroan ke

dalam untuk bertanggung jawab secara pribadi.112

5. Tanggung jawab secara tanggung renteng: solusi

penanggulangan kepailitan Perseroan sebagai

perwujudan keadilan korektif (corrective justice)

Tindakan ultra vires berkaitan dengan syarat formal

sahnya perjanjian utang piutang (mis. sahnya promissory

notes, letter of indeminity) antara Perseroan dengan pihak

ketiga. Ketika syarat formal ini tidak terpenuhi maka

secara hukum, Anggota Direksi bertindak tidak sesuai

kapasitasnya untuk mewakili Perseroan; melampaui

wewenang (ultra vires). Tapi dalam hal transaksi sebagai

lanjutan dari tindakan ultra vires itu dieksekusi, maka

Perseroan memperoleh manfaat ekonomi dari tindakan

ultra vires tersebut. Perolehan manfaat ekonomi yang

dimaksud adalah secara riil, dana tersebut masuk ke

rekening Perseroan, bukan ke rekening pribadi Anggota

112 Penjelasan lebih lanjut mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi kurator dalam membereskan harta pailit dapat dibaca dalam artikel Ricardo Simanjuntak, Efektivitas UU Kepailitan dalam Perspektif Kurator dikaitkan dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 28, No. 1 Tahun 2009, hal. 37

221

Direksi. Oleh karena itu, adalah tidak adil jika kepailitan

yang terjadi karena tindakan ultra vires Anggota Direksi,

hanya ditanggungjawabi oleh Anggota Direksi.

Seharusnya, Perseroan bertanggung jawab secara

tanggung renteng dengan Anggota Direksi. Di satu sisi,

Anggota Direksi bersalah karena telah melakukan

tindakan ultra vires dalam membuat perjanjian utang-

piutang dengan pihak ketiga. Di sisi lain, Perseroan

memperoleh manfaat ekonomi akibat tindakan ultra vires

Anggota Direksi tersebut. Sehingga, baik pihak yang

melakukan kesalahan, maupun pihak yang menerima

manfaat ekonomi, keduanya harus bertanggung jawab

secara tanggung renteng.

Dari enam kasus kepailitan terpilih, penulis mendapati ada

kecenderungan dari hakim untuk memilah dengan tegas

pertanggungjawaban Perseroan dengan

pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi. Jika dalam

proses persidangan terbukti, bahwa utang kepada pihak

ketiga adalah utang Perseroan maka Perseroanlah

bertanggung jawab; permohonan pernyataan pailit

dikabulkan; Perseroan dipailitkan. Sebaliknya jika dalam

proses persidangan terbukti bahwa Anggota Direksi yang

bertanggung jawab maka Anggota Direksi tersebut

bertanggung jawab secara pribadi; permohonan

pernyataan pailit ditolak; Perseroan tidak dipailitkan; tidak

bertanggung jawab atas utang.

Mengenai dikabulkan atau ditolaknya suatu permohonan

pernyataan pailit, memang terkait dengan tuntutan

222

(petitum) dari Pemohon Pailit dan sifat pasif hakim dalam

memutus perkara; tidak boleh lebih atau kurang dari apa

yang dituntut oleh Pemohon Pailit. Bisa jadi, hakim tidak

mempertimbangkan tanggung jawab Anggota Direksi

secara serius karena Pemohon Pailit tidak memintanya

dalam petitum. Logika hukumnya, jika tanggung jawab

Direksi tidak termasuk dalam petitum, maka hakim tidak

bisa mewadahi tanggung jawab Anggota Direksi tersebut

dalam putusan.

Pada umumnya, dalil pertanggungjawaban Anggota Direksi

diajukan oleh Termohon Pailit, bukan Pemohon pailit (vide

cases notes). Dalil pertanggungjawaban Anggota Direksi

digunakan sebagai tangkisan untuk menghindari

kepailitan oleh Termohon Pailit (vide Case Note PT. PKB vs

PT. HCB dan kasus PT. ATD vs PT. WW). Dari sisi

Termohon Pailit, Termohon Pailit menggunakan dalil

pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi sebagai

akibat tindakan ultra vires Anggota Direksi tersebut

sebagai dasar untuk meminta hakim menolak permohonan

pernyataan pailit; bukan untuk menuntut hakim untuk

memutuskan mengenai adanya pertanggungjawaban

Anggota Direksi dalam kasus tersebut.

Dari analisis tersebut, nyata bahwa dalil

pertanggungjawaban Anggota Direksi hanya digunakan

oleh Termohon Pailit sebagai alat untuk menghindari

kepailitan, bukan untuk menarik Anggota Direksi agar

bertanggungjawab secara tanggung renteng dengan

Perseroan dalam kepailitan. Akibatnya, dalil

223

pertanggungjawaban Anggota Direksi tersebut tidak bisa

diwadahi oleh hakim dalam putusannya.

Terobosan (breakthrough) pemikiran dari penulis, dalil

pertanggungjawaban Anggota Direksi berdasarkan lima

doktrin tertransplantasi khususnya doktrin yang

melemahkan Anggota Direksi (ultra vires, piercing the

corporate veil dan self dealing) seharusnya bisa dijadikan

dasar untuk menarik Anggota Direksi agar bertanggung

jawab secara tanggung renteng dengan Perseroan dalam

kepailitan. Begitu pula dengan peraturan tentang tanggung

jawab Anggota Direksi dalam kepailitan (Pasal 104 ayat (2)

UU No. 40 Tahun 2007).

Menurut penulis, tanggung jawab secara tanggung renteng

antara Perseroan dan Anggota Direksi merupakan model

yang ideal dalam menanggulangi kepailitan Perseroan yang

disebabkan oleh tindakan ultra vires Anggota Direksi.

Tanggung jawab secara tanggung renteng adalah adil bagi

kedua belah pihak. Di satu sisi, Anggota Direksi memang

bersalah karena telah melakukan tindakan ultra vires

dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak

ketiga, tapi adalah tidak adil, jika Anggota Direksi tersebut

hanya bertanggung jawab secara pribadi, padahal di sisi

lain, manfaat ekonomi dari dana hasil pinjaman tersebut

dinikmati oleh Perseroan.

Hukum tertulis (dalam hal ini yurisprudensi; dalam hal ini

putusan hakim Pengadilan Niaga) harus menjadi alat bagi

224

penerapan teori keadilan korektif (corrective justice) 113,

yang berintikan ajaran bahwa keadilan tercipta apabila ada

“pemulihan akibat tindakan” yang dilakukan orang

dalam hubungannya satu sama lain.

Perseroan sebagai “manusia buatan” dan Anggota Direksi

sebagai Organ Perseroan yang menjadi “agent” dari

Perseroan, jelas berhubungan erat satu dengan yang lain

(vide fungsi pengelolaan, Pasal 92 ayat (1) dan fungsi

representasi, Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007).

Tindakan ultra vires Anggota Direksi mengakibatkan

Perseroan, secara formal “dirugikan”, karena tidak

memenuhi syarat formal dalam Anggara Dasar Perseroan

dimaksud. Namun, secara material, Perseroan

“diuntungkan”, karena Perseroanlah yang menikmati

manfaat ekonomi dari tindakan Direksi yang tidak

memenuhi syarat formal tersebut. Sehingga, menurut

penulis, “pemulihan akibat tindakan ultra vires Direksi”

kepada pihak ketiga, seharusnya dilakukan secara

tanggung renteng antara Perseroan dan Anggota Direksi.

Jika Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas utang,

maka, dari sudut “pemulihan akibat tindakan” kepada

pihak ketiga yaitu “adanya pelunasan atas utang” memang

sudah tercapai. Tapi apabila Anggota Direksi hanya

melakukan “pemulihan” itu sendirian, maka “pemulihan”

tersebut sejatinya “melukai” dirinya sendiri. Mengapa?

113 Keadilan korektif (corrective justice) termasuk salah satu jenis teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf dari aliran hukum alam. Lihat: Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, 2007, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 86. Bandingkan dengan konsep keadilan korektif dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, 2006, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 157

225

Karena dana pinjaman yang ia kembalikan, secara riil

tidak dinikmati olehnya. Dengan demikian, nilai keadilan

yang berintikan pada “pemulihan” itu tidak tercapai bagi

Anggota Direksi tersebut. Oleh karena itu, penulis

berpandangan bahwa, penanggulangan atas kepailitan

akibat tindakan ultra vires Direksi, seharusnya dilakukan

dengan tanggung jawab secara tanggung renteng.

Yurisprudensi Pengadilan Niaga seharusnya bisa

mewadahi pertanggungjawaban dalam pertimbangan

maupun putusannya dengan menggunakan doktrin

tertransplantasi maupun peraturan perundang-undangan

terkait pertanggungjawaban Organ Perseroan dalam

kepailitan yang telah dijelaskan penulis. Agar

pertanggungjawab Organ bisa terwadahi dalam putusan,

maka baik Pemohon maupun Termohon Pailit seharusnya

bisa membangun dalil tentang pertanggungjawaban Organ

dan memasukkannya dalam petitum. Hal ini bukan

semata-mata sebagai “dasar tuntutan pembayaran

piutang” bagi Pemohon pailit atau “tangkisan untuk

menghindari kepailitan” bagi Termohon Pailit, tetapi lebih

dari pada itu, untuk memenuhi rasa keadilan, sehingga

“pemulihan akibat tindakan” yang dilakukan, bukan pada

akhirnya “mengakibatkan luka”, tetapi benar-benar

“membawa pemulihan” bagi kreditor, debitor maupun

Anggota Direksi sebagai Organ Perseroan terkait.

226

6. Kepailitan akibat tindakan ultra vires Direksi bisa

dicegah dengan pelaksanaan Prinsip Tata Kelola

Perseroan yang baik (Good Corporate Governance)

Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila masing-masing

Organ Perseroan melakukan fungsinya masing-masing

sesuai dengan prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik

(Good Corporate Governance) (vide Bab II). Tak kalah

penting adalah masing-masing Organ Perseroan

meletakkan masing-masing Organ lain pada fungsinya.

Misal, dalam memutuskan hal-hal penting bagi Perseroan,

Direksi meletakkan Dewan Komisaris pada fungsinya

untuk meratifikasi perjanjian utang-piutang, maka

kemungkinan terjadinya kepailitan akibat tindakan ultra

vires Direksi dapat dicegah.

Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap

pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat

strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut,

Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan

ratifikasi dari Dewan Komisaris.

Dalam beberapa kasus yang telah diulas, kepaillitan

seringkali disebabkan karena adanya utang yang telah

jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata perjanjian

hutang-piutangnya tidak diratifikasi oleh Dewan

Komisaris. Dalam hal ini terjadi ultra vires dalam proses

perjanjian dengan pihak ketiga menyangkut keputusan

strategis yaitu Direksi tidak meminta nasihat dan ratifikasi

dari Dewan Komisaris. Ultra vires ini merupakan

227

pelanggaran terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang

baik, dimana Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan

Komisaris untuk memberikan nasihat dan melakukan

ratifikasi terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya

strategis.

Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila Direksi

menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak

memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan

fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi untuk

mengelola Perseroan (termasuk di dalamnya keuangan

Perseroan) secara hati-hati (duty of care).

Menjalankan fungsi adalah hal penting bagi masing-

masing Organ. Tetapi meletakkan Organ lain pada

fungsinya merupakan hal yang tidak kalah penting, karena

sejatinya masing-masing Organ bekerja dalam suatu

kesatuan untuk membangun “satu tubuh” yaitu

Perseroan.

Demikian hasil penelitian dan analisis mengenai Tanggung Jawab

Organ Perseroan dalam Kasus-kasus Kepailitan.