119
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
Dalam Bab ini akan dipaparkan mengenai 6 (enam) kasus
kepailitan terpilih. Pilihan atas keenam kasus tersebut
didasarkan pada adanya pertimbangan hakim mengenai
tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-kasus tersebut.
Keenam kasus tersebut mewakili kasus-kasus terkait tanggung
jawab Organ Perseroan Terbatas dari tahun 2000 s.d 2011.
Harapannya, analisis mengenai kasus-kasus ini, dapat
menjawab problematika mengenai tanggung jawab Organ
Perseroan. Problematika yang hendak dijawab yaitu mengenai
bagaimana variasi argumen hakim dan memutus kasus-kasus
kepailitan dan bagaimana tanggung jawab Organ Perseroan
dalam keenam kasus kepailitan terkait tanggung jawab Organ
Perseroan, berdasarkan pendekatan rule-based reasoning,
doctrinal based reasoning dan principle based reasoning (vide
Landasan Teori Bab I).
Berikut uraian mengenai keenam kasus tersebut:
1. Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &
Perkapalan Kodja Bahari
Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &
Perkapalan Kodja Bahari memperoleh kekuatan hukum
tetap pada tingkat kasasi. Berikut uraian putusan
120
terhadap kasus ini pada tingkat pertama dan tingkat
kasasi:
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat No.32/Pailit/2000/PN. Niaga/Jkt.
Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit The Hongkong Chinese Bank Ltd
Termohon Pailit PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero)
Tanggal pengajuan
permohonan pailit
16 Mei 2000
Kasus Posisi
Dalil Pemohon Pailit 1. Pemohon adalah kreditor dari Termohon dan
Termohon adalah debitor dari Pemohon
berdasarkan 4 (empat) lembar Surat
Sanggup/Promissory Notes yang diterbitkan
Termohon bernomor seri:
a. 089/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 1.000.000
b. 090/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 1.000.000
c. 091/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 1.000.000
d. 092/Keu-DKB/VII/1997 senilai US$ 500.000
sehingga seluruhnya berjumlah US$ 3.500.000 (tiga
juta lima ratus Dollar Amerika Serikat).
2. Pemohon membeli surat sanggup tersebut secara
sah dan dengan itikad baik dari pemegang
sebelumnya yaitu Ing Bank N.V. London yang telah
ditunjukkan dengan pengalihan secara endorsemen
yang tidak terputus-putus, yaitu dari PT. Asia
Kapitalindo Finance kepada Ing Bank N.V. London
yang telah ditunjukkan dengan pengalihan secara
endorsemen yang tidak terputus-putus yaitu dari
PT. Asia Kapitalindo Finance kepada Ing Bank N.V.
London kepada Pemohon dan telah pula diikuti
dengan penyerahan fisik surat sanggup tersebut.
121
Keabsahan tersebut ditunjukkan pula dengan
adanya konfirmasi pembelian serta bukti transfer
pembayaran dari Pemohon kepada Ing Bank N.V.
London sebagai pemegang sebelumnya.
3. Berdasarkan surat sanggup yang diterbitkannya
sendiri, Termohon telah memberikan janji tanpa
syarat untuk membayar (unconditional promise to
pay) pada saat jatuh waktu kepada pihak yang
ditunjuk (aan order) sebagai pelunasan jumlah
uang yang terutang oleh Termohon.
4. Termohon sendiri telah menjamin keabsahan
seluruh surat sanggup yang diterbitkannya dengan
surat verifikasi keaslian surat sanggup dan surat
edaran kepada pemegang surat sanggup dan surat
edaran kepada pemegang surat sanggup yang
dikirim oleh Termohon pada tanggal 15 April 1998
bernomor referensi 268/III/DKB/1998 yang
merupakan pengakuan bahwa Termohon tidak
dapat memenuhi kewajibannya sehingga Termohon
sudah seharusnya dinyatakan pailit.
Jawaban Termohon Pemohon bukan kreditor dari Termohon dan Termohon
bukan debitor dari Pemohon
1. Bahwa penerbitan 4 (empat) lembar surat
sanggup (promissory note) tersebut adalah cacat
hukum dan tidak sah sehingga dengan
demikian sama sekali tidak mengikat Termohon
karena keempat surat sanggup tersebut
diterbitkan oleh Anggota Direksi tanpa
sepengetahuan dan persetujuan dari
Komisaris, sebagaimana diatur dalam Anggaran
Dasar Termohon;
2. Bahwa Pasal 11 ayat (3) huruf (a) dan ayat 4
huruf (d) Anggaran Dasar Termohon
menyatakan sebagai berikut:
Apabila Direksi menerima atau memberi
pinjaman jangka panjang, menengah atau
pendek yang bersifat operasional atau melebihi
jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) haruslah
mendapat persetujuan dari Komisaris;
122
3. Bahwa dengan demikian dalam konteks
penerbitan surat-surat sanggup a quo yang
kemudian berada di tangan Pemohon telah
terjadi suatu kesalahan fatal secara melawan
hukum secara melawan hukum yang dilakukan
oleh Anggota Direksi, yaitu penyalahgunaan
wewenang (misbruik) dari yang seharusnya telah
digariskan;
4. Bahwa kesalahan-kesalahan Anggota Direksi
tersebut adalah:
a. Bahwa Komisaris belum dan/atau tidak
memberikan persetujuan sebagaimana
terungkap dalam surat pernyataan No.
08/DK-DKB/VI/1999 tanggal 17 Juni 1999
yang intinya menyatakan:
“Atas penerbitan promissory note (surat
sanggup kepada pihak manapun juga,
Komisaris yang diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan
No.331/KMK.016/1995 jo No.
298/KMK.016/1996 jo. No.
474/KMK.016/1997 tidak membubuhkan
tanda tangannya”
Bahwa padahal menurut Pasal 11 ayat (3)
huruf (a) dan ayat (4) huruf (d) persetujuan
Komisaris tersebut bersifat wajib
(imperative)
b. Bahwa sebelumnya Menteri Keuangan
(selaku pemegang saham) juga telah
melarang untuk menerbitkan commercial
paper yang baru, sebagaimana dinyatakan
dalam Surat Menteri Keuangan No. %-
90/MK.016/1999 tertanggal 4 Februari
1997
5. Bahwa sebagai akibat dari tidak adanya
persetujuan dari Komisaris serta melanggar
perintah Menteri Keuangan (pemegang saham)
atas penerbitan 4 (empat) lembar surat sanggup
(promissory note), maka penerbitan 4 (empat)
123
lembar surat sanggup (promissory note) adalah
cacat hukum dan tidak sah, karena
bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata
(tentang syarat-syarat sahnya perjanjian)
khususnya syarat ke-empat yakni sebab yang
halal. Bahwa dengan demikian sejak awal
terbitnya keempat surat sanggup (promissory
note) aquo telah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga
konsekuensinya Termohon tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas keempat surat
sanggup (promissory note) aquo.
6. Bahwa dengan melanggar ketentuan dalam
Anggaran Dasar maka penerbitan 4 (empat)
lembar surat sanggup tanpa persetujuan
Komisaris tersebut batal demi hukum (null and
void), karena salah satu syarat objektif yaitu
sebab (causa) yang halal tidak terpenuhi.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya
debitor
1. Menimbang, bahwa Termohon menyangkal dan
menolak surat sanggup tersebut karena
penerbitannya cacat hukum dan tidak sah, sebab
diterbitkan oleh Anggota Direksi tanpa
sepengetahuan dan sepersetujuan Komisaris
Termohon sebagaimana diatur dalam Anggaran
Dasar Termohon Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4)
huruf (d) yang menyatakan sebagai berikut:
“Apabila Direksi meminta atau memberi pinjaman
jangka panjang atau pendek yang bersifat
operasional atau melebihi jumlah saham tertentu
yang ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham haruslah mendapat persetujuan dari
Komisaris”
2. Bahwa disamping itu penerbitan surat sanggup
tersebut juga melanggar surat Menteri Keuangan
No. S-80/MK.16/1997 tanggal 04 Februari tentang
Penerbitan Commercial Paper PT. Dok dan
Perkapalan Kodja Bahari yang isinya:
a. Terhitung sejak tanggal surat ini kami minta
124
agar Saudara tidak menerbitkan commercial
paper yang baru.
b. Untuk penerbitan-penerbitan commercial paper
selanjutnya kami minta agar Saudara
melaporkan dan mendapatkan ijin terlebih
dahulu dari kami selaku pemegang saham.
3. Menurut pertimbangan hakim, dengan adanya
fakta di atas maka utang yang timbul dari
penerbitan 4 (empat) lembar surat sanggup tersebut
masih menjadi permasalahan dan belum bersifat
pasti sehingga untuk menentukan keabsahannya
memerlukan proses pembuktian yang tidak
sederhana lagi sebagaimana ditentukan dalam
dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 sebab
untuk menyatakan sah tidaknya surat sanggup itu
Termohon harus melalui pembuktian yang lengkap
dan melibatkan banyak pihak. Proses pembuktian
yang rumit dan melibatkan banyak pihak tersebut
prosesnya melalui acara perdata biasa di
Persidangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya dua
kreditor atau lebih
Selain kepada Pemohon, Termohon juga berutang
terhadap:
1. Cho Hung Leasing & Finance (H.K) sebesar Rp.
US$ 2.271.500 (dua juta dua ratus tujuh puluh
satu ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat)
2. Ing Bank N.V. London sebesar Rp.
9.000.000.000,- (sembilan milyar Rupiah) dan
US$ 5.407.250 (lima juta empat ratus tujuh
ribu dua ratus lima puluh rupiah).
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai satu hutang
yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih
Berdasarkan surat sanggup, kewajiban Termohon
untuk membayar utangnya kepada Pemohon telah
jatuh waktu pada tanggal 16 Januari 1998.
Pemohon telah melakukan pengunjukkan surat
sanggup tersebut kepada Termohon sekaligus untuk
dimintakan pembayaran pada tanggal jatuh waktunya
yaitu 16 Januari 1998 sebagaimana terbukti dari
surat pengunjukkan dan permintaan pembayaran
(redemption) tertanggal 14 Januari 1998. Namun
125
Termohon tetap tidak membayar surat sanggup
tersebut walaupun kewajiban Termohon berdasarkan
surat sanggup tersebut telah menjadi jatuh waktu
dan dapat ditagih.
Putusan Menolak permohonan pernyataan pailit Pemohon;
Membebankan biaya perkara yang timbul kepada
Pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah)
Tanggal pembacaan
putusan
14 Juni 2000
b. Tingkat kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 21
K/N/2000
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi The Hongkong Chinese Bank Ltd
Termohon Kasasi PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero)
Keberatan Pemohon
Kasasi dalam Memori
Kasasi
A. Judex Factie telah salah dalam menerapkan
hukum tentang Perseroan Terbatas (mengingat
obyek dalam permohonan pailit ini adalah PT
bukan perorangan).
1. Bahwa judex factie sendiri telah menemukan fakta-
fakta yang terbukti secara sederhana (sumir) yang
dimuat dalam pertimbangan 34 aliner ke 3:
“Menimbang bahwa dari bukti-bukti Pemohon dan
Termohon yang berkaitan tersebut di atas, Majelis
menemukan fakta-fakta yang pokoknya sebagai
berikut:
Bahwa bukti P-1 terdiri dari 4 (empat) lembar
surat sanggup (promissory note) yang diterbitkan
oleh Termohon ditandatangani oleh Drs. Akhmal
Wahid, Direktur Utama dan Drs. Muchlis Hamid,
MBA, pada tanggal 16 Juli 1997”.
2. Sehingga jelas bahwa penerbitan surat sanggup
dilakukan oleh Anggota Direksi Termohon yang
berwenang mewakili Perseroan di dalam maupun
126
di luar pengadilan dan Pemohon sebagai kreditor
pemegang surat sanggup yang telah memberikan
pinjaman kepada Termohon yang tidak dapat
dirugikan dengan bantahan ketiadaan (quad non)
persetujuan Komisaris tersebut. Hal ini hanya
permasalahan internal yang diberitahukan kepada
para kreditor setelah utang jatuh tempo dan dapat
ditagih. Padahal waktu penerbitan dan pembelian
jelas sekali bahwa Termohn telah mengakui utang
tersebut yang didukung dengan bukti transfer
pembayaran surat sanggup, bukti surat dari
pemegang saham Termohon yaitu Departemen
Keuangan Republik Indonesia, bukti Surat Edaran
dari Termohon kepada para pemegang surat
sanggup dan Balance Sheet Termohon per 31 Juli
1998 atau setelah surat sanggup diterbitkan yang
menunjukkan bahwa aliran dana masuk ke dalam
neraca Termohon yang berarti terlepas dari benar
tidaknya permasalahan internal tersebut,
Termohon tetap harus mengembalikan utang yang
ditagih oleh kreditor pemegans surat sanggup,
yaitu Pemohon salah satunya.
3. Bahwa ketiadaan persetujuan Komisaris tidak
dapat menjadi bantahan kepada Pemohon karena
Undang-Undang Perseroan Terbatas telah
mengatur hal itu hanyalah permasalahan internal
yang quad non, andaikan benar-benar terjadi maka
Perseroan tetap akan bertanggung jawab kepada
pihak ketiga secara tanggung renteng dengan
Direksi yang telah (terbukti) bertindak di luar
kewenangan yang diatur dalam Anggaran
Dasarnya (ultra vires). Hal ini sesuai dengan Pasal
90 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995:
“Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan
atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perseroan
tidak cukup untuk menutup kerugian tersebut
maka setiap anggota Direksi, kecuali dapat
membuktikan sebaliknya, secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.”
Yang berarti bahwa jika Direksi bersalah atau lalai
sebagaimana dalil bantahan Termohon Kasasi
127
maka kekayaan Perseroanlah yang terlebih dahulu
menjadi jaminan bagi pelunasan utang Termohon
sebelum Anggota Direksi bertanggung jawab
secara tanggung renteng.
B. Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon Error in
Persona
Berdasarkan Pasal 85 UU No. 1 Tahun 1995 yang
berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Anggota Direksi wajib dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas
untuk kepentingan dan usaha Perseroan;
(2) Setiap Anggota Direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi apabila yang
bersangkutan bersalah dan lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan dalam ayat
(1)
Maka seharusnya permohonan pernyataan pailit
tersebut dialamatkan kepada Direksi Termohon
yang bersalah atau lalai secara pribadi, sehingga
permohonan pernyataan pailit terhadap Perseroan
PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero)
adalah merupakan error in persona;
Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi
Adanya debitor Mengenai debitor dari keempat surat sanggup
(promissory note)
1. Bahwa sebagaimana yang telah dipertimbangkan
oleh Judex Factie, empat lembar surat sanggup
(promissory notes) yang berada di tangan Pemohon
Kasasi ditandatangani oleh dua orang anggota
Direksi PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari
(Persero), Anggaran Dasar mana telah diumumkan
dalam Berita Negara RI No. 105 tanggal 31
Desember 1991 dan Tambahan Berita Negara No.
5064, mengharuskan adanya persetujuan dari
Komisaris;
2. Bahwa dengan telah diumumkannya Anggaran
Dasar Termohon Kasasi, maka siapa saja yang
mengadakan perjanjian dengan Termohon Kasasi
berkewajiban untuk meneliti Anggaran Dasar yang
128
dimaksud sebelum mengadakan perjanjian, dan
oleh karena tidak ada persetujuan dari Komisaris
dalam penerbitan Promissory Notes tersebut
seperti yang ternyata dari Surat Pernyataan
Komisaris tanggal 17 Juni 1999 maka keempat
promisory note yang diterbitkan oleh kedua
Anggota Direksi Termohon Kasasi tersebut
tidaklah mengikat Termohon Kasasi sehingga yang
menjadi debitor dari keempat surat sanggup
(promissory note) tersebut bukanlah Termohon
Kasasi melainkan Drs. Akhmad Wahid dan Drs.
Muchlis Hamid, MBA selaku pribadi dan para
endosan yang bertanggung jawab secara tanggung
renteng kepada Pemohon Kasasi selaku pemegang
(Pasal 146 KUH Dagang).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas amar putusan Pengadilan Niaga tetap
dipertahankan di Mahkamah Agung.
Adanya dua kreditor
atau lebih
-
Satu hutang yang telah
jatuh tempo dan dapat
ditagih
-
Putusan 1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi: The Hongkong Chinese Bank, Ltd
2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah)
Tanggal Pembacaan
Putusan
2. Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar
Perdana Indonesia
Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar
Perdana Indonesia memperoleh kekuatan hukum tetap
pada tingkat peradilan kasasi. Berikut uraian putusan
129
terhadap kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama
dan tingkat peradilan kasasi
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat No.
51/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit PT. Indosurya Mega Finance
Termohon Pailit PT. Greatstar Perdana Indonesia
Tanggal pengajuan
permohonan pailit
26 Juli 2000
Kasus Posisi
Dalil Pemohon Pailit 1. Pemohon adalah pemegang surat sanggup
(promissory note) tertanggal 6 Februari 1998
dengan jumlah pokok Rp. 2.000.000.000,- (dua
milyar Rupiah) yang diterbitkan oleh Termohon
dengan ketentuan jatuh tempo surat sanggup
(promissory note) tanggal 6 Mei 1998. Dengan
demikian, Pemohon berhak atas pembayaran
surat sanggup (promissory note) pada tanggal
jatuh tempo’
2. Bahwa sejak saat surat sanggup (promissory note)
jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu pada tanggal
6 Mei 1998 sampai dengan diajukannya
permohonan pailit ini ternyata Termohon tidak
memenuhi kewajibannya untuk melakukan
pembayaran atas surat sanggup tersebut kepada
Pemohon;
3. Bahwa selain Pemohon, ternyata Termohon juga
mempunyai kreditor lain, diantaranya yaitu PT.
Bank Mandiri (Persero).
Jawaban Termohon Bahwa menurut Anggaran Dasar Perseroan Termohon,
pembuatan surat sanggup (promissory note) harus
mendapat persetujuan Komisaris, sedangkan surat
sanggup (promissory note) tanggal 6 Februari 1998
tersebut diterbitkan tanpa persetujuan dan tanpa
130
sepengetahuan Komisaris
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya
debitor
Menimbang, Termohon adalah debitor dari Pemohon
karena Pemohon adalah pemegang surat sanggup
(promissory note) tertanggal 6 Februari 1998 dengan
jumlah pokok Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah)
yang diterbitkan oleh Termohon.
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya dua
kreditor atau lebih
Menimbang, Termohon terbukti mempunyai kreditor
lain selain Pemohon yaitu PT. Bank Mandiri (Persero)
cabang Jakarta Mangga Besar
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai satu utang
yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih
Mengenai pembuktian keabsahan surat sanggup
(promissory note) tertanggal 6 Februari 1998 dengan
jumlah pokok Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah)
yang diterbitkan oleh Termohon dengan ketentuan
jatuh tempo surat sanggup (promissory note) tanggal 6
Mei 1998 sebagai bukti adanya satu utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih:
1. Menimbang, bahwa mengenai jawaban Termohon
mengenai keabsahan surat sanggup, menurut
Anggaran Dasar Perseroan Termohon, pembuatan
surat sanggup harus mendapat persetujuan
Komisaris, sedangkan surat sanggup (promissory
note) tanggal 6 Februari 1998 tersebut diterbitkan
tanpa persetujuan dan tanpa sepengetahuan
Komisaris;
2. Menimbang, bahwa hal tersebut didukung bukti
Anggaran Dasar Perseroan, dimana dalam Pasal 12
ayat (2) dan (4) Anggaran Dasar Perseroan, Direksi
harus mendapat persetujuan Komisaris, jika tidak
maka tindakan Direksi tidak sah terhadap
Perseroan;
3. Menimbang, bahwa akan tetapi, alasan tersebut
tidak dapat diterima menurut hukum, karena pada
prinsipnya, Anggaran Dasar ataupun Anggaran
Rumah Tangga suatu persekutuan hanya
mengikat dan berlaku intern/ke dalam
persekutuan tersebut dan tidak dapat mengikat
131
dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga;
4. Menimbang, bahwa memang kadang kala untuk
hal-hal tertentu perbuatan Direksi dibatasi oleh
Anggaran Dasar suatu Perseroan, yang pada
umumnya Direksi tidak boleh berbuat sendiri jika
tidak bersama-sama dengan Komisaris atau
setidaknya terlebih dahulu mendapat persetujuan
Komisaris, biasanya dikatakan bahwa Direksi telah
melampaui batas wewenangnya (ultra vires)
sehingga perbuatannya tidak sah terhadap
Perseroan;
5. Menimbang, bahwa ketentuan tersebut pada
prinsipnya hanya berlaku dan mengikat ke dalam
(intern), sedangkan bagi pihak ketiga (hubungan
ekstern), tidak berlaku, oleh karena itu pihak
Perseroan harus bertanggungjawab terhadap pihak
ketiga tersebut, sekalipun ada perbuatan yang
melampaui batas wewenang (ultra vires) dari
Direksi;
6. Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut
Majelis berpendapat bahwa keberatan atau
tanggapan dari Termohon tidak berdasar menurut
hukum, oleh karenanya harus ditolak;
7. Menimbang, mengenai apakah surat sanggup
(promissory note) dapat dipakai sebagai bukti
adanya pinjaman uang/utang. Surat sanggup
(promissory note) merupakan janji untuk
membayar (promise to pay) sehingga dapat
digolongkan sebagai tagihan utang.
Putusan 1. Mengabulkan permohonan pailit yang diajukan
oleh Pemohon PT. Indosurya Mega Finance;
2. Menyatakan Termohon PT. Greatstar Perdana
Indonesia pailit;
3. Menunjuk Syamsudin Manan SInaga, SH., MH,
Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai
Hakim Pengawas;
4. Mengangkat besarnya imbalan jasa kurator akan
132
ditetapkan kemudian setelah Kurator menjalankan
tugasnya;
5. Menghukum Termohon untuk membayar ongkos
perkara sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah).
Tanggal pembacaan
putusan
16 Agustus 2000
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.
30/K/N/2000
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Greatstar Perdana Indonesia
Termohon Kasasi PT. Indosurya Mega Finance
Tanggal pengajuan
permohonan kasasi
23 Agustus 2000
Keberatan Pemohon Kasasi
dalam Memori Kasasi
Pemohon Kasasi keberatan mengenai
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga
mengenai keabsahan surat sanggup:
1. Bahwa Anggaran Dasar Pemohon Kasasi
Akta Nomor 521 tertanggal 30 Mei 1990
adalah merupakan suatu peraturan yang
mengikat semua pihak, termasuk juga pihak
ketiga (Termohon Kasasi) karena Anggaran
Dasar tersebut telah diumumkan dalam
Berita Negara Indonesia No. 79 tanggal 2
Oktober 1992 No. 4864, sehingga telah
memenuhi asas publisitas;
2. Dalam Anggaran Dasar Pemohon Kasasi
Pasal 12 ayat (2) dan ayat (4) secara tegas
menyatakan:
“Pasal 2 ayat (2):
Masing-masing Anggota Direksi harus
mendapat persetujuan tertulis dari surat-
133
surat yang berkenan turut ditandatangani
oleh seorang Komisaris untuk:
a. Meminjam atau meminjamkan uang atas
nama Perseroan;
b. Memperoleh, membebani atau
mengasingkan harta tetap Perseroan;
c. Mengikat Perseroan sebagai penjamin.”
“Pasal 12 ayat (4):
Segala tindakan dari pada Anggota Direksi
yang diluar batas dari Anggaran Dasar
dan/atau maksud dari Perseroan adalah
tidak sah terhadap Perseroan.”
3. Dalil Pemohon Kasasi tersebut telah
diterapkan juga dalam 3 (tiga)
kasus/perkara lainnya:
a. Putusan MA No. 21 K/N/1999 tertanggal
15 Agustus 1999 antara The Vietnam
Frontier Fund melawan PT. Dok vs
Perkapalan Kodja Bahari (Persero);
b. Putusan Pengadilan Niaga No.
81/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst
tertanggal 15 November 1999 antara The
Hongkong Chinese Bank. Ltd vs PT. Dok
dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero);
c. Putusan Pengadilan Niaga No.
06/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst
tertanggal 29 Februari 2000 antara The
Hongkong Chinese Bank, Ltd vs PT. Dok
dan Perkapalan Kodja Bahari.
Dari pertimbangan hukum Majelis Hakim
perkara a quo dapat ditarik kesimpulan
bahwa apabila suatu perbuatan hukum
yang dilakukan tidak sesuai dengan
Anggaran Dasar maka secara hukum harus
ditolak.
134
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Adanya debitor Menimbang, keberatan Pemohon Kasasi dapat
dibenarkan karena judex factie telah salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan:
1. Bahwa dalam Anggaran Dasar Perseroan
jelas tertera hal-hal yang harus dimuat
dalam surat sanggup (promissory note)
seperti yang dimaksud dalam Pasal 174
KUH Dagang dan Anggota Direksi (Budi
Handoko) dalam menerbitkan surat
sanggup (promissory note) tersebut
seharusnya mendapat persetujuan tertulis
dari seorang Komisaris;
2. Bahwa oleh karena dalam surat sanggup
(promissory note) tanggal 6 Februari 1998
yang ditandatangani oleh Budi Handoko
selaku Direktur, tanpa adanya persetujuan
tertulis dari seorang Komisaris tersebut
tidak mengikat Termohon, melainkan
hanya mengikat Budi Handoko pribadi dan
karenanya permohonan pailit yang
diajukan oleh Pemohon Pailit terhadap
Termohon Pailit harus ditolak.
Adanya dua kreditor atau lebih -
Satu hutang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih
-
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi PT. Greatstar Perdana Indonesia dengan
membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tertanggal 16 Agustus
2000 No. 51/Pailit/2000/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Putusan Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi PT. Greatstar Perdana
Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh
kuasa hukumnya Denny Kailimang, SH.,
Bambang Hartono, SH., dan Benny Ponto,
SH;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga
135
Jakarta Pusat tanggal 16 Agustus 2000 No.
51/Pailit/2000/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Mengadili sendiri:
1. Menolak permohonan pailit dari Pemohon
PT. Indosurya Mega Finance tersebut;
2. Menghukum Termohon Kasasi/Pemohon
Pailit untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan yang dalam tingkat
kasasi sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta
rupiah).
Tanggal pembacaan putusan
kasasi
14 September 2000
3. Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance
Corporation
Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance
Corporation memperoleh kekuatan hukum tetap pada
tahap peninjauan kembali. Berikut putusan terhadap
kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama, kasasi
dan peninjauan kembali:
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat No.
08/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt. Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit PT. Bank Mandiri (Persero)
Termohon Pailit 1. PT. Bakrie Finance Corporation (Termohon I);
2. Aburizal Bakrie sebagai Komisaris Utama
(Termohon II);
3. Nirwan Dermawan Bakrie sebagai Wakil Komisaris
Utama (Termohon III);
136
4. Nalikant Rathod sebagai Komisaris (Termohon IV);
5. Aftab Ahmed sebagai Komisaris (Termohon V);
6. Hishak Secakusuma sebagai Komisaris (Termohon
VI);
7. Tanri Abeng sebagai Komisaris (Termohon VII);
8. Anh-Dung Do sebagai Komisaris (Termohon VIII);
9. Mustafa Ishaq Jatim sebagai Direktur Utama
(Termohon IX)
10. Kosasih Wikanta sebagai Direktur (Termohon X)
Tanggal pengajuan
permohonan pailit
24 April 2002
Kasus Posisi
Dalil Pemohon Pailit 1. Pemohon adalah waliamanat yang diberi
kepercayaan untuk mewakili kepentingan para
pemegang obligasi dalam rangka Penawaran Umum
Emisi Obligasi PT. Bakrie Finance Corporation
berdasarkan perjanjian Perwaliamanatan
berdasarkan Akta No. 72, tanggal 19 Juni 1997
yang diubah dengan Akta No.72, tanggal 19 Mei
1997.
2. Bahwa atas pembelian obligasi oleh para pemegang
obligasi yang diwakili oleh Pemohon, Termohon I
melakukan pembayaran kupon bunga sebanyak
tiga kali sedangkan Kupon Bunga ke-empat yang
telah jatuh tempo pada tanggal 23 Juli 1998,
Termohon I tidak melaksanakan kewajibannya
untuk melakukan pembayaran kepada Para
Pemegang Obligasi.
3. Dengan tidak dibayarnya Kupon Bunga ke-empat,
Pemohon mengadakan Rapat Umum Pemegang
Obligasi (RUPO) sebanyak 7 (tujuh) kali (RUPO
pertama tanggal 2 September1998, RUPO ketujuh
tanggal 6 November 2000), namun selama RUPO
berlangsung Termohon I juga tidak melaksanakan
kewajibannya untuk membayar Kupon Bunga ke-
empat sampai dengan ke-delapan belas walaupun
telah dinyatakan jatuh tempo.
137
4. Termohon I tidak melaksanakan kewajiban
terhadap para pemegang obligasi, baik atas kupon
bunga maupun atas pokok obligasi, maka
Termohon II sampai dengan Termohon X ikut
bertanggungjawab karena penjualan obligasi di
dalam Prospektus yang diterbitkan oleh Termohon
I, yang mana Termohon II sampai dengan
Termohon X adalah sebagai Komisaris dan Direksi
Perseroan yang mempunyai reputasi sebagai
pengusaha yang sukses dan diakui baik secara
nasional maupun internasional, sehingga para
pembeli obligasi tertarik membeli obligasi tersebut
dan berkeyakinan akan pembayaran terhadap
kupon bunga obligasi maupun utang pokoknya
terbayar dengan lancar.
5. Keterangan saksi ahli bernama Sutrisno, SH bahwa
organ Perseroan tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang
dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga
dan yang bertanggungjawab adalah Perseroan.
Jawaban Termohon
Pailit
1. Bahwa PT. Bakrie Finance Corporation, Tbk atau
Termohon I sampai dengan tanggal
disampaikannya tanggapan ini (7 Mei 2002 –
catatan penulis) berada dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka PKPU
seharusnya diputus terlebih dahulu;
2. Bahwa Termohon keberatan dengan dalil Pemohon
yang dengan mudahnya tanpa membuktikan, telah
menyatakan bahwa Para Termohon II s.d. X
terbukti secara bersama-sama maupun sendiri-
sendiri bertanggungjawab atas penjualan obligasi
tersebut di atas sehingga memenuhi unsur-unsur
tidak membayar satu hutang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih dan mempunyai lebih dari
1 (satu) kreditor.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya
1. Menimbang, mengenai pembuktian sederhana
terkait kesalahan atau kelalaian Direksi untuk
menuntut pertanggungjawaban pribadi anggota
138
debitor Direksi. Dasar hukumnya Pasal 85 ayat (1) UU No.
1 Tahun 1995 bahwa Direksi wajib dengan itikad
baik bertanggung jawab untuk menjalankan tugas
usaha Perseroan dan setiap anggota Direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya (vide Pasal 85 ayat (2));
2. Menimbang mengenai, pembuktian sederhana
terkait kesalahan atau kelalaian Komisaris untuk
menuntut pertanggungjawaban pribadi anggota
Komisaris: Berdasarkan Pasal 96 UU No. 1 Tahun
1995 mengenai Perseroan Terbatas bahwa untuk
menjadi Komisaris adalah orang perseorangan
yang dianggap mampu dan tidak pernah
dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi
atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit
atau orang yang pernah dihukum karena tindak
pidana yang merugikan keuangan Negara dalam
waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan;
3. Menimbang, berdasarkan Pasal-pasal tersebut
diatas dan bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon, ternyata tidak terbukti para Anggota
Komisaris tersebut karena kesalahan atau
kelalaiannya telah menimbulkan kerugian pada
Perseroan dan tidak terbukti pula bersalah atau
lalai dalam menjalankan tugasnya, sehingga para
Komisaris tersebut tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya terhadap transaksi yang
dilakukan Termohon I dengan Pemohon.
4. Menimbang, hal tersebut sesuai dengan
keterangan saksi ahli bahwa organ Perseroan
tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap
transaksi yang dilakukan oleh Perseroan terhadap
pihak ketiga dan yang bertanggung jawab adalah
Perseroan.
5. Menimbang, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut, Pemohon tidak dapat
membuktikan dalil permohonannya, oleh karena
itu Permohonan Pemohon harus ditolak.
139
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya dua
kreditor atau lebih
Kreditur lain selain Termohon Pailit:
1. PT. Bank Syariah Mandiri
2. Asian Development Bank
3. PT. Bank Artha Graha
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai satu hutang
yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih
Termohon I tidak melaksanakan kewajiban membayar
kupon bunga ke-4 s/d ke-18 yang telah jatuh tempo
serta obligasi Termohon I telah jatuh tempo pada
tanggal 11 September 2001
(Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit
ke Pengadilan Niaga melalui kuasa hukumnya pada
tanggal 25 April 2002 – catatan penulis)
Putusan Menolak permohonan Pemohon
Membebankan biaya permohonan ini kepada Pemohon
sebesar Rp. 5.000.000,-
Tanggal pembacaan
putusan
23 Mei 2002
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.
020/K/N/2002
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Bank Mandiri (Persero)
Termohon Kasasi 1. PT. Bakrie Finance Corporation (Termohon I);
2. Aburizal Bakrie sebagai Komisaris Utama
(Termohon II);
3. Nirwan Dermawan Bakrie sebagai Wakil Komisaris
Utama (Termohon III);
4. Nalikant Rathod sebagai Komisaris (Termohon IV);
5. Aftab Ahmed sebagai Komisaris (Termohon V);
6. Hishak Secakusuma sebagai Komisaris (Termohon
VI);
7. Tanri Abeng sebagai Komisaris (Termohon VII);
140
8. Anh-Dung Do sebagai Komisaris (Termohon VIII);
9. Mustafa Ishaq Jatim sebagai Direktur Utama
(Termohon IX)
10. Kosasih Wikanta sebagai Direktur (Termohon X)
Keberatan Pemohon
Kasasi dalam Memori
Kasasi
Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Judex
Factie) telah salah dan keliru memanipulasi
keterangan saksi ahli Sutrisno, SH yang
menyatakan bahwa organ Perseroan tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang
dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga
dan yang bertanggung jawab adalah Perseroan;
Bahwa yang benar saksi ahli Sutrisno, SH., di
bawah sumpah dalam persidangan pada pokoknya
menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 80 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 1995, Direksi dan Komisaris
bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang timbul akibat perbuatan yang
dimaksud.
Pertimbangan Hakim
Adanya debitor Pertimbangan hakim mengenai keberatan-keberatan
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi yang pada
pokoknya menyatakan:
Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Judex
Factie) telah salah dan keliru memanipulasi
keterangan saksi ahli Sutrisno, SH yang
menyatakan bahwa organ Perseroan tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang
dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga
dan yang bertanggung jawab adalah Perseroan;
Bahwa yang benar saksi ahli Sutrisno, SH., di
bawah sumpah dalam persidangan pada pokoknya
menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 80 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 1995, Direksi dan Komisaris
bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang timbul akibat perbuatan yang
dimaksud.
Bahwa menurut Majelis Hakim Kasasi, keberatan
tersebut di atas tidak dapat dibenarkan karena Judex
141
Factie tidak salah menerapkan hukum dan lagi pula
mengenai penilaian atas hasil pembuktian tidak
tunduk pada Pemeriksaan Kasasi.
Adanya dua kreditor
atau lebih
-
Satu hutang yang telah
jatuh tempo dan dapat
ditagih
-
Putusan Menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT.
Bank Mandiri (Persero) selaku Waliamanat dari para
pemegang obligasi PT. Bakrie Finance Corporation,
Tbk.
Membebankan biaya permohonan ini kepada Pemohon
sebesar Rp. 5.000.000,-
Tanggal Pembacaan
Putusan
c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan
Kembali Mahkamah Agung No. 018 PK/N/2002
Indikator Uraian
Pemohon Peninjauan
Kembali
PT. Bank Mandiri (Persero)
Termohon Peninjauan
Kembali
1. PT. Bakrie Finance Corporation (Termohon I);
2. Aburizal Bakrie sebagai Komisaris Utama
(Termohon II);
3. Nirwan Dermawan Bakrie sebagai Wakil Komisaris
Utama (Termohon III);
4. Nalikant Rathod sebagai Komisaris (Termohon IV);
5. Aftab Ahmed sebagai Komisaris (Termohon V);
6. Hishak Secakusuma sebagai Komisaris (Termohon
VI);
7. Tanri Abeng sebagai Komisaris (Termohon VII);
142
8. Anh-Dung Do sebagai Komisaris (Termohon VIII);
9. Mustafa Ishaq Jatim sebagai Direktur Utama
(Termohon IX)
10. Kosasih Wikanta sebagai Direktur (Termohon X)
Alasan/Keberatan
Pemohon Peninjauan
Kembali
1. Majelis Hakim Agung dan Majelis Hakim Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
melakukan kesalahan berat dalam penerapan
hukum pembuktian yang berkenaan dengan
pertimbangan dan pendapatnya yang menyatakan :
“organ perseroan tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap transaksi yang
dilakukan oleh Perseroan terhadap pihak ketiga
dan yang bertanggung jawab adalah Perseroan”.
2. Majelis Hakim Agung dan Majelis Hakim Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
melakukan kesalahan berat dalam menerapkan
hukum karena putusannya didasarkan pada
putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang dibuat berdasarkan rekayasa yang tidak
memenuhi prosedur hukum. Hal itu ternyata dari:
a. Terdapat bukti baru tertulis/novum yang terdiri
dari (1) Penetapan Hakim Pengawas PKPU No.
1/PKPU/2002/PN.NIAGA/JKT.PST tanggal 1
Mei 2002 yang menetapkan pemegang obligasi
sebagai kreditor lainnya dan (2) akta
permohonan banding tanggal 19 Juli 2002 dan
memori banding yang diajukan kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Atas
penetapan hakim pengawas tersebut yang dapat
membuktikan bahwa Pemohon pailit/Pemohon
Peninjauan Kembali yang mewakili Pemegang
obligasi tidak ikut sebagai pihak/kreditor
lainnya sampai dikeluarkannya putusan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), kecuali hanya mengajukan keberatan
terhadap Penetapan Hakim Pengawas PKPU
tersebut. Karena itu putusan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) itu tidak
dapat menghalangi perkara a quo untuk
menjatuhkan pailit terhadap para Termohon
143
pailit/para Termohon pailit/para Termohon
peninjauan kembali.
b. Terdapat bukti baru yaitu putusan Mahkamah
Agung tanggal 14 Juni 2002 No. 018 K/N/2002
yang dapat membuktikan bahwa Hakim
Pengawas telah memberikan penjelasan yang
salah yang menyebabkan Pemohon
Pailit/Peninjauan Kembali menjadi salah dan
keliru dalam mengajukan keberatan terhadap
Penetapan Hakim Pengawas sebagaimana
dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung
tersebut. Jadi, kendatipun atas Penetapan
Hakim Pengawas diajukan keberatan setelah
adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, hal
itu telah melewati waktu yang ditetapkan dalam
Pasal 66 ayat (1). Karenanya pengajuan
permohonan pailit dalam perkara a quo sudah
benar menurut hukum, karenanya juga tidak
bertentangan dengan Pasal 217 ayat (6)
Undang-Undang Kepailitan yang pada pokoknya
menentukan apabila permohonan pailit dan
permohonan PKPU diperiksa pada saat yang
bersamaan, maka permohonan PKPU harus
diperiksa terlebih dahulu.
3. Judex factie telah salah dalam menerapkan hukum
yang ditetapkan dalam Pasal 80 UU No. 8 Tahun
1995, bahwa judex factie dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa para Termohon Peninjauan
Kembali/Termohon Pailit berada dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh karena
pengajuan PKPU oleh Termohon pailit I.
Pertimbangan judex factie adalah salah karena
sesuai dengan Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1995,
Organ Perseroan yaitu Direksi dan Komisaris wajib
bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama atas kerugian yang timbul.
Jadi PKPU seharusnya tidak hanya diajukan oleh
PT. Bakrie Finance Corporation, Tbk, melainkan
juga harus secara bersama-sama dengan Organ
Perseroan yaitu Direksi dan Komisaris. Oleh karena
PKPU yang diajukan oleh Termohon Peninjauan
Kembali/Termohon Pailit tidak melibatkan Organ
144
Perseroan maka putusan PKPU tersebut tidak
mengikat baginya (bagi Direksi dan Perseroan).
Pertimbangan Hakim
Adanya bukti baru yang
bersifat menentukan
(novum)
Mengenai keberatan no. 2: novum
Keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, oleh
karena bukti-bukti yang diajukan bukan merupakan
bukti baru yang penting yang akan menghasilkan
putusan yang berbeda apabila diketahui pada tahap
persidangan sebelumnya seperti yang dimaksudkan
oleh pasal 286 ayat (2) a UU No. 4 Tahun 1998;
Adanya kekeliruan yang
nyata
Mengenai keberatan no. 1 dan 3: kekeliruan yang
nyata tentang tanggung jawab organ Perseroan
Keberatan-keberatan ini tidak akan dipertimbangkan
oleh Mahkamah Agung dengan alasan bahwa alasan-
alasan yang didasarkan pada kesalahan berat dalam
penerapan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut telah melewati tenggang waktu
pengajuan permohonan Peninjauan Kembali
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 287 ayat (2)
UU No. 4 Tahun 1998, dimana permohonan
Peninjauan Kembali diajukan pada tanggal 13 Agustus
2002 sedangkan pemberitahuan putusan MA tersebut
dilakukan pada tanggal 11 Juli 2002;
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali: PT. Bank Mandiri
(Persero) selaku waliamanat dari para pemegang
obligasi PT. Bakrie Finance Corporation, Tbk,
tersebut;
2. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk
membayar biaya perkara dalam pemeriksaan
peninjauan kembali yang ditetapkan sebesar Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Tanggal Pembacaan
Putusan
18 September 2002
145
4. Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya
Wisesa
Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya Wisesa
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap
peninjauan kembali berikut uraian putusan terhadap
kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama, kasasi
dan peninjauan kembali,
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat No. 03/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt.
Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit PT. Aditya Toa Development
Termohon Pailit PT. Wijaya Wisesa
Tanggal pengajuan
permohonan pailit
13 Januari 2004
Kasus Posisi
Dalil Pemohon Pailit Adanya utang
1. Termohon telah meminta kepada Pemohon untuk
memberikan pinjaman sebesar US$ 1,250,000 (satu
juta dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)
berdasarkan surat Termohon tanggal 27 Januari
1997;
2. Menanggapi permintaan Termohon, Pemohon telah
menyetujui permintaan Termohon tersebut melalui
suratnya pada tanggal 29 Januari 1997.
3. Pemohon telah mentransfer uang yang dipinjamkan
kepada Termohon melalui rekening Presiden
Direktur Termohon (terdapat bukti transfer)
4. Termohon membuat dan menyerahkan letter of
indemnity yang berisi bahwa Termohon mengakui
adanya utang pokok sebesar US$ 1,250,000 (satu
146
juta dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)
kepada Pemohon
Termohon memiliki dua kreditor yaitu:
1. Pemohon, PT. Aditya Toa Development;
2. TOA Investment Pte, Ltd, suatu Perseroan yang
didirikan berdasarkan hukum Singapura,
beralamat di 80 Marine Parade Road #14-01/03,
Parkway Parade, Singapore
Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih:
Pemohon berdasarkan suratnya tanggal 13 Oktober
1999 telah menyatakan bahwa pinjaman yang
diberikan kepada Termohon telah jatuh tempo dan
meminta Termohon untuk melunasi kewajibannya
pada tanggal 31 Oktober 1999.
Jawaban Termohon Tentang siapa debitor:
1. Bahwa utang sejumlah US$ 1,250,000 (satu juta
dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)
sebagaimana didalilkan Pemohon bukanlah
merupakan utang Termohon, melainkan hutang
dari Sdr. Herry Wijaya (yang kebetulan sebagai
Direktur Utama pada Termohon dan juga sebagai
Presiden Direktur pada Pemohon) kepada Pemohon,
dilihat dari bukti-bukti berikut:
a. Sdr. Herry Wijaya tidak pernah diberikan
persetujuan oleh salah seorang atau lebih
Komisaris Termohon untuk meminjam untuk
dan atas nama Termohon kepada pihak
manapun sebagaimana disyaratkan Anggaran
Dasar Termohon sebagai badan hukum yang
diatur dalam Pasal 11 butir 3a. Akta Pendirian
Perseroan Terbatas Termohon No. 177 tanggal
10 September 1987 yang dibuat di hadapan
Notaris Misahardi Wilamarta,SH.
b. Bukti transfer sebagaimana didalilkan Pemohon
bahwa uang sebesar US$ 1,250,000 (satu juta
dua ratus lima puluh Dollar Amerika Serikat)
telah ditransfer ke rekening Sdr. Herry Wijaya
adalah transfer ke rekening Sdr. Herry Wijaya
sebagai pribadi dan bukan ke rekening
147
Termohon sebagai Perseroan.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya
debitor
Mengenai siapa debitor:
1. Menimbang, bahwa yang menjadi permasalahan
hukum adalah apakah benar hutang sebesar US$
1,250,000 (satu juta dua ratus lima puluh Dollar
Amerika Serikat) merupakan hutang Termohon
atau hutang pribadi Sdr. Herry Wijaya;
2. Menimbang, bahwa Termohon dalam jawabannya
menyatakan bahwa Sdr. Herry Wijaya tidak pernah
mendapat persetujuan oleh salah seorang atau
lebih Komisaris Termohon untuk meminjam untuk
dan atas nama Termohon kepada pihak manapun,
termasuk kepada Pemohon sebagaimana
disyaratkan Anggaran Dasar Termohon sebagai
badan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal
11 butir 3-a Akta Pendirian Perseroan Terbatas
Termohon No. 177 tanggal 10 September 1987 yang
dibuat di hadapan Notaris Misahardi Wilamarta;
3. Menimbang, bahwa memang benar Direktur PT.
Wijaya Wisesa adalah Sdr. Herry Wijaya, akan
tetapi menurut Majelis Hakim untuk membedakan
kapasitas Sdr. Herry Wijaya sebagai pribadi atau
sebagai direktur Perseroan semestinya ada tanda
pembeda pada transfer uang tersebut yaitu tanda
qq atau cq PT. Wijaya Wisesa yang berarti ditujukan
kepada Termohon.
4. Menimbang, untuk memecahkan permasalahan itu
(mengenai siapa debitor? - penulis) diperlukan
suatu pembuktian yang sifatnya rumit, sedangkan
Pengadilan Niaga pada prinsipnya menganut asas
pembuktian sumir sebagaimana diatur dalam Pasal
6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998, maka penyelesaian
perkara ini haruslah ditempuh melalui proses acara
perdata biasa;
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya dua
-
148
kreditor atau lebih
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai satu utang
yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih
-
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan pernyataan pailit yang
diajukan oleh Pemohon/kreditor yaitu PT. Aditya
Toa Development;
2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta Rupiah)
Tanggal pembacaan
putusan
9 Februari 2004
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.
30/K/N/2000
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Aditya Toa Development
Termohon Kasasi PT. Wijaya Wisesa
Tanggal pengajuan
permohonan kasasi
16 Februari 2004
Keberatan Pemohon
Kasasi
Mengenai siapa debitor:
1. Bahwa selain sebagai Presiden Direktur Termohon
Kasasi, Herry Wijaya juga memiliki kontrol penuh
terhadap Termohon Kasasi karena Herry Wijaya
adalah pemegang saham mayoritas yang menguasai
1300 dari 2000 saham Termohon Kasasi. Dengan
demikian, cukup beralasan apabila Pemohon
Kasasi dengan itikad baik mempercayai surat-surat
yang ditandatangani oleh Presiden Direktur dan
pemegang saham mayoritas Termohon Kasasi,
apalagi dengan kop surat resmi Pemohon Kasasi;
2. Bahwa persetujuan Komisaris kalaupun memang
149
diperlukan terhadap tindakan hukum Direksi dan
pemegang saham Termohon Kasasi merupakan
masalah internal perusahaan Termohon Kasasi
yang tidak boleh merugikan pihak lain dalam hal
ini Pemohon Kasasi yang dengan itikad baik
melaksanakan perjanjian. Dengan
mempermasalahkan persetujuan Komisaris dalam
proses kepailitan ini, jelas Termohon Kasasi telah
beritikad buruk ingin menghindar dari tanggung
jawabnya;
3. Selain itu, pertimbangan majelis hakim Pengadilan
Niaga bertentangan dengan yurisprudensi tetap MA
RI sebagaimana dinyatakan dalam putusan
Peninjauan Kembali MA RI No. 019 PK/N/2000,
tanggal 22 Januari 2001, sebagai berikut:
“… meskipun surety bond diterbitkan tanpa
persetujuan dari Komisaris Utama dan seorang
Anggota Dewan Komisaris Pemohon Peninjauan
Kembali seperti yang ditentukan dalam Pasal 11
ayat (1) Anggaran Dasar Pemohon Peninjauan
Kembali, tetapi kesalahan tersebut merupakan
kesalahan intern Pemohon Peninjauan Kembali
sebagai sebuah Perseroan Terbatas, sehingga tidak
boleh merugikan pihak ketiga”
Bahwa selanjutnya, dalam putusan No.
019PK/N/2000, tanggal 22 Januari 2001 tersebut
juga dinyatakan bahwa kreditor yang memiliki
itikad baik, tidak memiliki kewajiban untuk
meneliti kebenaran prosedur maupun anggaran
dasar debitornya.
Pertimbangan hakim kasasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan:
Adanya debitor Terhadap keberatan-keberatan yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi, Majelis Kasasi MA menyatakan
menolak keberatan-keberatan tersebut. Majelis Kasasi
setuju dengan pertimbangan judex factie bahwa dalam
permohonan pailit ini diperlukan pembuktian tentang
sah/tidaknya tindakan direksi terhadap Perseroan dan
seberapa besar tanggung jawab Perseroan terhadap
pihak lain atas tindakan direksi yang bertentangan
dengan anggaran dasar Perseroan Termohon, yang sifat
150
pembuktiannya tidak bersifat sederhana lagi sehingga
tidak memenuhi persyaratan Pasal 6 ayat (3) UU No. 4
Tahun 1998.
Adanya dua kreditor
atau lebih
-
Satu hutang yang telah
jatuh tempo dan dapat
ditagih
-
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
PT. Aditya Toa Development;
2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Tp.
5.000.000,- (lima juta Rupiah).
Tanggal pembacaan
putusan kasasi
17 Maret 2004
c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan
Kembali No. 04 PK/N/2004
Indikator Uraian
Pemohon Peninjauan
Kembali
PT. Aditya Toa Development
Termohon Peninjauan
Kembali
PT. Wijaya Wisesa
Tanggal Pengajuan
Peninjauan Kembali
17 Maret 2004
Alasan/Keberatan
Pemohon Peninjauan
Kembali
Terdapat kekeliruan yang nyata:
1. Dalam hal ini Majelis Hakim Kasasi Mahkamah
Agung telah melakukan kesalahan berat dalam
penerapan hukum karena telah melanggar
yurisprudensi MA No. 19/PK/N/2000 tanggal 22
Januari 2001 bahwa:
Kesalahan intern Perusahaan debitor seperti
151
tidak adanya persetujuan Komisaris tidak
boleh merugikan pihak ketiga;
Tidak ada kewajiban bagi kreditor untuk
meneliti dan memahami prosedur internal
debitornya dalam memperoleh utang.
Dalam hal ini, putusan pengadilan niaga
bertentangan satu dengan yang lain, padahal
Pengadilan Niaga merupaka institusi yang
diharapkan dapat memberi kepastian hukum
Adanya bukti baru yang bersifat menentukan:
2. Berdasarkan bukti baru berupa certificate
(pernyataan tertulis) yang dibuat oleh Termohon
Peninjauan Kembali dan disahkan oleh Notaris,
terbukti secara sederhana bahwa termohon
peninjauan kembali mengakui utangnya
Pertimbangan Hakim
Ditemukannya bukti
baru yang bersifat
menentukan (novum)
Bahwa keberatan-keberatan ini tidak dapat
dibenarkan, oleh karena bukti-bukti yang diajukan
bukan merupakan bukti baru yang penting yang akan
menghasilkan putusan yang berbeda apabila diketahui
pada tahap persidangan sebelumnya seperti yang
dimaksudkan oleh pasal 286 ayat (2) a UU No. 4 Tahun
1998;
Terdapat kekeliruan
yang nyata
Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena dalam putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali tidak terdapat
kesalahan berat dalam penerapan hukum sebagaiman
dimaksud oleh Pemohon Peninjauan Kembali.
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan peninjauan kembali yang
diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali/kreditor yaitu PT. Aditya Toa Development;
2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp.10.000.000,- (lima juta Rupiah)
Tanggal Pembacaan
Putusan
20 Agustus 2004
152
5. Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance
Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tahap
peninjauan kembali. Berikut ini uraian putusan terhadap
kasus tersebut pada tingkat peradilan pertama, kasasi
dan peninjauan kembali.
a. Tingkat Pertama: Putusan Pengadilan Jakarta
Pusat No. 16/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt. Pst
Indikator Uraian
Pemohon Pailit PT. Heradi Utama
Termohon Pailit PT. Central Total Finance
Tanggal pengajuan
permohonan pailit
6 Mei 2004
Kasus Posisi
Dalil Pemohon Pailit 1. Adanya utang
Bahwa Termohon telah menerbitkan 2 (dua) surat
sanggup (promissory note):
a. No. 0065 atas penempatan dana sejumlah USD
677,862.97 (enam ratus tujuh puluh tujuh ribu
delapan ratus enam puluh dua sembilan puluh
tujuh per seratus dollar Amerika Serikat);
b. No. 0068 atas penempatan dana sebesar Rp.
1.437.043.941,- (satu milyar empat ratus tiga
puluh tujuh juta empat puluh tiga ribu
sembilan ratus empat puluh satu Rupiah)
Dengan demikian terbukti bahwa Pemohon Pailit
adalah Kreditor yang sah dari Termohon Pailit.
2. Termohon memiliki kreditor kedua yaitu PT.
Intidana Adimandiri dengan tagihan:
a. USD 535,806.90 (lima ratus tiga puluh lima
ribu delapan ratus enam sembilan sembilan
puluh per seratus dollar Amerika Serikat,
153
dibuktikan dengan surat sanggup (promissory
note) No. 00666 tertanggal 28 Maret 2001
b. USD 686,005.92 (enam ratus delapan puluh
enam ribu lima sembilan puluh dua per seratus
dollar Amerika Serikat), dibuktikan dengan
surat sanggup (promissory note) No. 00667
tertanggal 28 Maret 2001
3. Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih:
Kedua utang terhadap Pemohon yang dibuktikan
dengan surat sanggup (promissory note) No. 0065
dan No. 0068 tersebut di atas jatuh tempo pada
tanggal 28 April 2001.
Jawaban Termohon Pemohon menyangkal dengan tegas telah menerbitkan
surat sanggup (promissory note) kepada Termohon:
1. Termohon menyangkal dengan tegas telah
menerbitkan surat sanggup dengan No. 00665 dan
No. 99668 karena surat sanggup tersebut
(promissory note) tersebut tidak pernah dan sesuai
ketentuan hukum tidak boleh dikeluarkan oleh
Termohon pailit sebagai lembaga pembiayaan;
2. Bahwa berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1998
tentang Lembaga Pembiayaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) dan 5 ayat (1) secara tegas
disebutkan, Termohon Pailit sebagai lembaga
keuangan Bukan Bank dilarang menarik dan
secara langsung dari masyarakat dalam bentuk
surat sanggup (promissory note), selanjutnya dalam
Pasal 5 ayat (2) disebutkan Perseroan pembiayaan
dapat menerbitkan surat sanggup (promissory note)
hanya sebagai jaminan atas hutang kepada bank
yang menjadi kreditornya; dalam Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK.013/1998
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan, dilarang menarik dana
secara langsung dari masyarakat dalam bentuk
surat sanggup (promissory note)
3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 11 ayat 3A Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perseroan,
untuk memberi pinjaman ataupun meminjam uang,
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari
154
Komisaris.
4. Bahwa segala macam surat utang ataupun
pengakuan hutang yang tidak dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang untuk melakukan hal itu,
yaitu Direktur dan Komisaris, maka surat utang
(promissory note) ataupun pengakuan utang
tersebut secara hukum tidaklah mengikat
Perseroan.
Pemohon menyangkal dengan tegas telah berutang dan
menerbitkan surat sanggup (promissory note) No.
00666 dan No. 00667 tertanggal 28 Maret 2001 kedua
yaitu PT. Intidana Adimandiri:
1. Termohon tidak pernah menerima setoran atau
penempatan dana dalam bentuk Dollar Amerika
dari PT. Intidana Adimandiri (Kreditur kedua);
2. Bahwa berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1998
tentang Lembaga Pembiayaan dan dalam
Keputusan Menteri Keuangan RI No.
1251/KMK.013/1998 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Termohon
Pailit sebagai lembaga keuangan Bukan Bank
dilarang menarik dan secara langsung dari
masyarakat dalam bentuk surat sanggup
(promissory note), selanjutnya dalam Pasal 5 ayat
(2) disebutkan Perseroan pembiayaan dapat
menerbitkan surat sanggup (promissory note) hanya
sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang
menjadi kreditornya;, dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk surat
sanggup (promissory note)
3. Sesuai ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Perseroan, Direksi dalam
melakukan pinjaman uang dan menerbitkan surat
pengakuan utang atas nama Perseroan, maka
dalam melakukan tindakan hukum tersebt terlebih
dahulu harus mendapat Persetujuan Komisaris,
sehingga perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Perseroan tidaklah dapat mengikat
155
Termohon Pailit sebagai Perseroan.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya
debitor
Tentang tanggung jawab Perseroan sebagai debitor:
Menimbang bahwa demikian halnya dengan tangkisan
Termohon yang menyatakan bahwa sesuai ketentuan
Pasal 11 ayat 3A Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Perseroan, untuk memberi pinjaman
ataupun meminjam uang, terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan dari Komisaris, sehingga
promissory note yang hanya ditandatangani Termohon
saja tidak terikat dengan pernerbitan surat sanggup
tersebut. Terhadap tangkisan Termohon ini, Majelis
Hakim tidak sependapat berdasarkan pertimbangan
berikut:
1. Bahwa menurut bukti, Pemohon telah
mempertanyakan perihal yang menandatangani
promissory note hanya seorang saja yaitu Antonius
Z. Gunawan (Direktur Utama) padahal biasanya
ditandatangani oleh 2 (dua) orang;
2. Bahwa atas pertanyaan tersebut, Termohon dengan
surat menyatakan memberikan jawaban bahwa
perlakuan ini tidak menyimpang dari Pasal Akta
No. 184, bahwa Direktur Utama berkuasa dan
berwenang bertindak untuk dan atas nama serta
mewakili Perseroan;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis
Hakim berpendapat Perseroan tidak dapat
melepaskan tanggung jawab atas penerbitan
promissory note dimaksud.
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya dua
kreditor atau lebih
Bahwa dana sebesar Rp. 5.000.000.000.000,- (lima
milyar Rupiah berawal dari adanya penempatan dana
dari PT. Fiskar Agung yang kemudian dibagi-bagi
menjadi beberapa promissory note atas nama Pemohon
Pailit dan Kreditur kedua;
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai satu utang
yang telah jatuh tempo
Bahwa menurut bukti surat No. 013/CTF.F/03.01
tertanggal 28 Maret 2001, ternyata Termohon Pailit
secara tegas mengakui dan mengkonfirmasi kepada
Pemohon mengenai adanya penempatan dana
156
dan dapat ditagih Pemohon kepada Termohon sebesar 677,862.97 (enam
ratus tujuh puluh tujuh ribu delapan ratus enam
puluh dua sembilan puluh tujuh per seratus dollar
Amerika Serikat) dan Rp. 1.437.043.941,- (satu milyar
empat ratus tiga puluh tujuh juta empat puluh tiga
ribu sembilan ratus empat puluh satu Rupiah).
Menimbang dari uraian tersebut, pembuktian
mengenai adanya utang secara sederhana sebagaimana
diamanatkan oleh UU No. 4 Tahun 1998 telah
terpenuhi;
Menimbang mengenai tangkisan Termohon yang lain,
perihal promissory note bertentangan dengan Keppres
No. 61 Tahun 1998 tentang Lembaga Pembiayaan dan
dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No.
1251/KMK.013/1998 yang dikatakan melanggar kausa
yang halal, Majelis Hakim tidak sependapat, karena
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan. Setidak-tidaknya hal itu tidak
menghilangkan hak tagih Pemohon kepada Termohon.
Putusan Memutuskan:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon tersebut;
2. Menyatakan Termohon PT. Central Total Finance
Pailit dengan segala akibat hukumnya;
3. Menunjuk Saudara Sudrajat Dimyati, SH, Hakim
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagai hakim pengawas;
4. Mengangkat Saudara Darwin Marpaung, SH dari
kantor MAAS Law Office sebagai Kurator;
5. Menetapkan biaya kepailitan dan jasa kurator akan
ditentukan kemudian;
6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya
perkara ini sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta
Rupiah)
Tanggal pembacaan
putusan
1 Juni 2004
157
b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No.
010/K/N/2004
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Central Total Finance
Termohon Kasasi PT. Heradi Utama
Tanggal pengajuan
permohonan kasasi
8 Juni 2004
Keberatan Pemohon
Kasasi
Mengenai siapa debitor:
1. Judex factie telah salah dalam menerapkan
ketentuan hukum Perseroan dan tidak cukup
memberikan pertimbangan, sebab menurut ajaran
“The Ultra Vires Doctrine” dan berdasarkan
yurisprudensi MA No 3264 tanggal 28 Agustus
1996, seorang Anggota Direksi secara yuridis wajib
mengikuti ketentuan dalam Anggaran Dasar
Perseroan, sehingga apabila Anggota Direksi
tersebut melakukan suatu perbuatan hukum yang
menurut Anggaran Dasar diwajibkan memperoleh
persetujuan dari Komisaris kemudian ternyata ia
mengesampingkan ketentuan tersebut, maka
perbuatan hukum yang dilakukan oleh Anggota
Direksi tersebut tidak sah dan tidak berkekuatan
hukum dan tidak mengikat Perseroan sebagai
badan hukum. Anggota Direksi tersebut harus
bertanggung jawab secara pribadi.
2. Judex factie telah salah menerapkan hukum sebab
pemeriksaan dalam perkara ini tidak dapat
dilakukan secara sederhana (summarily proving)
mengenai penempatan dan oleh PT. Fiskar Agung
menyebabkan kerumitan pembuktian mengenai
asal-muasal terjadinya utang-piutang, besarnya
utang yang telah dibayar, utang yang masih tersisa
sehingga terjadi peralihan utang-piutang dari Pt.
Fiskar Agung kepada Termohon Pailit/Pemohon
Kasasi dan kreditur kedua, sehingga pemeriksaan
terhadap perkara ini harulsah melalui proses acara
perdata biasa di pengadilan negeri.
3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 176 jo Pasal 106 dan
158
107 KUH Dagang dinyatakan bahwa surat sanggup
(promissory note) yang ditandatangani oleh siapa
yang tidak memiliki kewenangan untuk berbuat,
maka penandatangan tersebut terikat secara
pribadi, sehingga tidaklah dapat Termohon
pailit/Pemohon Kasasi sebagai Perseroan
dipailitkan karena Termohon pailit/Pemohon
Kasasi tidak terikat dengan penerbitan surat
sanggup tersebut.
Pertimbangan hakim kasasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan:
Adanya debitor Keberatan-keberatan Pemohon kasasi tidak dapat
dibenarkan karena putusan judex factie sudah tepat
yaitu tidak salah menerapkan hukum. Adanya dua kreditor
atau lebih
Satu hutang yang telah
jatuh tempo dan dapat
ditagih
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
PT. Central Total Finance tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi sebanyak Rp.
5.000.000,- (lima juta Rupiah)
Tanggal pembacaan
putusan kasasi
14 Juli 2004
c. Tingkat Peninjauan Kembali: Putusan Peninjauan
Kembali No. 010 PK/N/2004
Indikator Uraian
Pemohon Peninjauan
Kembali
PT. Central Total Finance
Termohon Peninjauan
Kembali
PT. Heradi Utama
Tanggal Pengajuan 14 Juli 2004
159
Peninjauan Kembali
Alasan/Keberatan
Pemohon Peninjauan
Kembali
Terdapat kekeliruan yang nyata:
1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat jo putusan Majelis
Kasasi Mahkamah Agung telah melakukan
kesalahan berat dalam menerapkan ketentuan
hukum Perseroan dan tidak cukup memberikan
pertimbangan, sebab menurut ajaran “The Ultra
Vires Rule” dan berdasarkan yurisprudensi MA No.
3246 K/Pdt/1992 tanggal 28 Agustus 1996,
seorang Direktur Utama atau Direktur suatu badan
hukum (korporasi) secara yuridis wajib mengikuti
ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar
korporasi sehingga bilamana direktur tersebut
melakukan sesuatu perbuatan hukum yang
menurut Anggaran Dasar diwajibkan memperoleh
persetujuan dari komisaris kemudian ternyata
Direktur mengesampingkan ketentuan ini, maka
perbuatan hukum yang dilakukan oleh Direktur
tersebut adalah tidak sah dan tidak berkekuatan
hukum serta tidak mengikat Badan Hukum yang
bersangkutan dengan akibat ia harus bertanggung
jawab secara pribadi;
2. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jo Majelis Kasasi
Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan
berat dalam menerapkan ketentuan hukum sebab
pemeriksaan terhadap perkara ini tidak dapat
dilakukan secara sederhana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun
1998; kepailitan menganut asas “summarily
proving” (pembuktian secara sumir). Adanya
penempatan dana sebagaimana dalil pemohon pailit
yang ternyata dalam pembuktian bahwa utang
tersebut berasal dari PT. Fiskar Agung Perkasa
bukan merupakan pihak dalam perkara ini,
sehingga untuk membuktikan asal-muasal
terjadinya utang-piutang, besarnya hutang yang
telah dibayar, hutang yang masih tersisa hingga
terjadinya peralihan utang-piutang dari PT. Fiskar
Agung kepada Pemohon Peninjauan
Kembali/Pemohon Pailit, kreditur kedua (PT.
Intidana Adimandiri) serta kepada Termohon
160
Peninjauan Kembali/Termohon Pailit haruslah
ditempuh melalui proses Acara Perdata biasa di
Pengadilan Negeri. Di samping itu tidak sederhana
perkara ini juga terbukti dari banyaknya bukti yang
diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali
dimana bukti-bukti ini perlu diklarifikasi satu per
satu dengan melibatkan PT. Fiskar Agung dalam
perkara ini.
Pertimbangan Hakim
Ditemukannya bukti
baru yang bersifat
menentukan (novum)
-
Terdapat kekeliruan
yang nyata
Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena dalam putusan yang
dimohonkan Peninjauan Kembali tidak terdapat
kesalahan berat dalam penerapan hukum
sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 286 ayat (2)
UU No. 4 Tahun 1998;
Bahwa seperti yang dipertimbangkan dalam
putusan Pengadilan Niaga, terbukti adanya utang
Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit;
Bahwa promissory note yang ditandatangani oleh
Termohon Pailit telah sesuai dengan Pasal 174 KUH
Dagang, karenanya sah sebagai suatu surat
sanggup, sedangkan adanya ketentuan dalam
Anggaran Dasar Perseroan yang menentukan
bahwa yang berwenang menandatangani
promissory note adalah Direksi bersama-sama
dengan Komisaris adalah persoalan intern
Termohon Pailit yang tidak mempengaruhi
keabsahan promissory note tersebut;
Dalam pembuktian di persidangan, Termohon Pailit
telah menegaskan kewenangan A.Z. Gunawan,
Direktur Utama yang berwenang bertindak untuk
dan atas nama Direksi serta mewakili kepentingan
Perseroan.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas maka permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh PT. Central Total
161
Finance tersebut tidak beralasan sehingga harus
ditolak.
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT.
Central Total Finance tersebut;
2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp.10.000.000,- (lima juta Rupiah)
Tanggal Pembacaan
Putusan
11 Januari 2005
6. Tingkat Pertama: Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs
PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri
a. Putusan No. 20/Pailit/2010/PN. Niaga. Sby
Indikator Uraian
Pemohon Pailit PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk
Termohon Pailit PT. Kalimas Sukses Mandiri
Tanggal pengajuan
permohonan pailit
Kasus Posisi
Dalil Pemohon Pailit 1. Bahwa Pemohon adalah sebuah Perseroan yang
bergerak di bidang jasa perbankan (Bank),
sedangkan Termohon adalah Perseroan yang
bergerak di bidang jasa distributor consumer goods;
2. Bahwa Pemohon memberikan fasilitas Kredit Modal
Kerja (KMK) sebesar Rp. 45.000.000.000,- (empat
puluh lima milyar Rupiah) yang merupakan hutang
Termohon sebagaimana tercantum dalam beberapa
perjanjian kredit;
3. Jangka waktu kredit sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52
tertanggal 21 Agustus 2003 adalah terhitung sejak
tanggal 21 Agustus 2004 s.d. 20 Agustus 2004;
162
4. Bahwa setelah jangka waktu kredit yang dimaksud
berakhir, Termohon tidak melakukan kewajiban
untuk membayar utangnya sehingga Termohon
harus memperpanjang jangka waktu kredit selama
3 (tiga) bulan menjadi tanggal 21 November 2004
dengan melakukan perubahan terhadap Pasal 4
Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52;
5. Bahwa Termohon lagi-lagi tidak dapat membayar
utangnya yang sudah jatuh tempo secara tepat
waktu sehingga Pemohon terpaksa harus
memperpanjang jangka waktu kredit selama 1
tahun yaitu dari tanggal 21 Agustus 2004 s.d. 20
Agustus 2005 dengan melakukan perubahan pada
Pasal 4 Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52;
6. Dengan adanya beberapa perubahan pada Pasal 4
Perjanjian Kredit No. 2003/KPI/52 menunjukkan
bahwa Termohon gagal memenuhi kewajibannya
yang sudah jatuh tempo tersebut;
7. Oleh karena Pemohon tidak melakukan
pembayaran utangnya yang telah jatuh tempo
secara tepat waktu, maka total kewajiban
Termohon Pailit sebesar Rp. 122.490.464.407
(seratus dua puluh dua milyar empat ratus
sembilan puluh juta empat ratus empat puluh
enam empat ratus tujuh Rupiah yang terdiri dari
hutang pokok, tunggakan bunga, biaya dan denda.
Pemohon mempunyai utang kepada kreditor lain, yaitu:
1. Liem Haryanto Limantara;
2. Kantor Pelayanan Pajak Banjarmasin;
3. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
Banjarmasin
4. PT. Ajinomoto Indonesia;
5. PT. Nestle Indonesia;
6. PT. Phillips Indonesia;
7. PT. Citra Dinamika Interindo.
Jawaban Termohon Mengenai eksepsi bahwa Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang untuk
163
mengadili perkara ini karena dalam Perjanjian Kredit
No. 2003/KPI/52, kedua belah pihak telah
menyepakati untuk memilih tempat kediaman hukum
tetap di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta
Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga terkait tanggung jawab Organ
Perseroan:
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya
debitor
-
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai adanya dua
kreditor atau lebih
Menimbang bahwa oleh karena tidak adanya bukti
mengenai adanya kreditur lain selain Pemohon, maka
unsur harus ada dua kreditor atau lebih sebagamana
disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004 tidak terpenuhi.
Pembuktian sederhana
(summarily proving)
mengenai satu utang
yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih
-
Pertimbangan mengenai
eksepsi
Pasal 303 UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para
pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula
arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar
permohonan pernyataan pailit telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1)”
Putusan Dalam eksepsi:
1. Menolak Eksepsi Termohon Pailit;
Dalam pokok perkara:
2. Menolak permohonan pailit dari Pemohon Pailit;
3. Menghukum Pemohon Pailit untuk membayar biaya
permohonan yang timbul sejumlah Rp. 6.417.000,-
(enam juta empat ratus tujuh belas ribu Rupiah).
Tanggal pembacaan
putusan
18 November 2010
164
b. Tingkat Kasasi: Putusan MA No. 249/K/Pdt.
Sus/2011
Indikator Uraian
Pemohon Kasasi PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk.
Termohon Kasasi PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri
Tanggal pengajuan
permohonan kasasi
25 November 2010
Keberatan Pemohon
Kasasi
Mengenai pertimbangan judex factie mengenai tidak
adanya kreditur lain selain Termohon:
“Menimbang bahwa oleh karena tidak adanya bukti
mengenai adanya kreditur lain selain Pemohon, maka
unsur harus ada dua kreditor atau lebih sebagamana
disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004 tidak terpenuhi.”
Bahwa sekalipun bukti-bukti yang diajukan oleh
kreditor lain Liem Haryantor Limantara berupa
kwitansi, cek ditandatangani oleh Indrato Kangmartono
sebagai Direktur Utama PT. Delta Barito Indah, Indrato
Kang Martono juga sebagai Direktur Utama PT.
Kalimas Baru Sukses Mandiri dan pinjaman tersebut
digunakan untuk kepentingan PT. Kalimas Baru
Sukses Mandiri yang ketika itu membutuhkan dana,
karena pemegang saham dan direksi dari PT.
Deltabarito Indah adalah merupakan pihak yang sama
dengan pemegang saham dan Direksi PT. Kalimas Baru
Sukses Mandiri yang juga dikenal sebagai “Kang
Group”.
Bahwa oleh karena tindakan Indrato Kang Martono
meminjam uang dari Liem Haryanto Limantara adalah
untuk kepentingan operasional PT. Kalimas Baru
Sukses Mandiri, maka walaupun Indrato Kang Martono
165
melakukan transaksi tersebut dalam kapasitasnya
sebagai Direktur Utama PT. Delta Barito Indah, namun
harus diartikan untuk kepentingan PT. Kalimas Baru
Sukses Mandiri. Dengan demikian Liem Haryanto
Limantara merupakan kreditor lain dari PT. Kalimas
Baru Sukses Mandiri.
Pertimbangan hakim kasasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan:
Adanya debitor
Adanya dua kreditor
atau lebih
Menimbang, bahwa bukti kreditor lain Liem Haryanto
Limantara berupa surat pernyataan mempunyai
hutang haruslah dikesampingkan oleh karena dalam
surat tersebut Indrato Kang Martono tidak
berkedudukan mewakili PT. Kalimas Sukses Baru
Mandiri.
Menimbang, bahwa dalam persidangan tidak terbukti
bahwa terdapat kreditor lain selain dari Pemohon
Pailit/Pemohon Kasasi.
Satu hutang yang telah
jatuh tempo dan dapat
ditagih
Putusan Mengadili:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
PT. Bank Negara Indonesia PT. Bank Negara
Indonesia;
2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta Rupiah)
Tanggal pembacaan
putusan kasasi
26 April 2011
166
B. Analisis
Fokus analisis pada bab ini adalah mengenai:
variasi pertimbangan hukum dari hakim dalam
memutus 6 (enam) kasus kepailitan terkait tanggung
jawab Organ Perseroan dari tahun 2000-2011 yang
terpilih dari 639 kasus kepailitan Perseroan (selanjutnya
disebut enam kasus kepailitan terpilih); dan
tanggung jawab organ perseroan terbatas dalam 6
(enam) kasus terpilih berdasarkan 5 (lima) doktrin:
Fiduciary Duty, Business Judgement Rule, Ultra Vires,
Piercing The Corporate Veil dan Self Dealing yang
tertransplantasi dalam pasal-pasal UU No. 40 Tahun
2007 (selanjutnya disebut lima doktrin
tertransplantasi)
(vide Bab I, Rumusan Masalah).
Sebagai pengantar kepada analisis tersebut, penulis
merekapitulasi pengaruh 5 (lima) doktrin tertransplantasi
terhadap 6 (enam) kasus kepailitan terpilih tersebut.
Rekapitulasi ini berfungsi untuk melihat secara lebih cermat
hal-hal sebagai berikut:
Perbandingan frekuensi kelima doktrin tertransplantasi
tersebut digunakan sebagai “doktrin sebagai dasar” dan
“doktrin berpengaruh” terhadap enam kasus terpilih;
Perbandingan frekuensi antara masing-masing doktrin
tertransplantasi yang digunakan dalam pertimbangan
hakim guna memutus enam kasus kepailitan terpilih;
Perbandingan frekuensi keterlibatan masing-masing
Organ Perseroan dalam pertimbangan hakim terkait
tanggung jawabnya dalam enam kasus kepailitan
terpilih.
167
1. Pengaruh 5 (lima) doktrin tertransplantasi dalam pertimbangan hakim guna memutus 6
(enam) kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan
Ketika hakim merumuskan pertimbangannya, kelima doktrin yang telah tertransplantasi ke
dalam peraturan perundang-undangan tersebut kembali muncul sebagai dasar pertimbangan
hakim. Pertimbangan hakim terkait kelima doktrin tertransplantasi tersebut seringkali dipicu
dengan digunakannya doktrin tersebut untuk menguatkan Dalil Permohonan Pernyataan
Pailit dari Pemohon Pailit atau Jawaban dari Termohon pailit, sehingga kemudian doktrin-
doktrin tertranplantasi tersebut menjadi dasar pertimbangan hakim atau minimal
mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memutuskan untuk menolak atau menerima
Permohonan Pernyataan Pailit.
Dari 6 (enam) kasus kepailitan terpilih telah diuraikan di atas (vide Hasil Penelitian), penulis
menggolongkan kasus tersebut atas 2 (dua) penggolongan yaitu kasus dimana “doktrin
sebagai dasar” dan kasus dimana “doktrin berpengaruh”. Penggolongan tersebut dilakukan
berdasarkan besarnya pengaruh kelima doktrin tertranplantasi tersebut terhadap
pertimbangan hakim dalam memutus kasus tersebut. Berikut uraian 2 (dua) penggolongan
tersebut:
168
a) Kasus dimana “doktrin sebagai dasar” yaitu kasus dimana hakim mendasarkan
pertimbangannya pada doktrin-doktrin terkait tanggung jawab organ Perseroan. “Doktrin
sebagai dasar” artinya doktrin tersebut menjadi dasar bagi hakim untuk mengabulkan atau
menolak permohonan pernyataan pailit.
b) Kasus dimana “doktrin berpengaruh” yaitu kasus dimana pertimbangan hakim dipengaruhi
oleh doktrin-doktrin terkait tanggung jawab Organ Perseroan dalam kepailitan. “Doktrin
berpengaruh”, hanya mempengaruhi pertimbangan hakim, tapi tidak menjadi dasar bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan pernyataan pailit. Pengaruh terhadap
pertimbangan hakim tersebut muncul dari digunakannya doktrin tersebut untuk memperkuat
dalil permohonan Pemohon Pailit atau dalil jawaban Termohon Pailit. Namun, argumen dalam
permohonan maupun jawaban tersebut tidak cukup meyakinkan hakim untuk menjadikan
doktrin tersebut sebagai dasar pertimbangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan
pernyataan pailit
Berikut ini adalah Rekapitulasi Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin
berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat
peradilan.
169
Matriks 6.
Rekapitulasi Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh
pada pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus
--------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1. The Hongkong Chinese Bank, Ltd
(Pemohon Pailit) vs
PT. Dok dan Perkapalan Kodja
Bahari (Persero) (Termohon Pailit)
Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga
32/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt
.Pst
Ditolak √* ---- AD
Tindakan UV Anggota Direksi menjadi dasar bagi majelis hakim Pengadilan Niaga
untuk menyatakan ketidakjelasan mengenai siapa debitor.
Ketidakjelasan ini menyebabkan pembuktian menjadi tidak sederhana (non-summarily proving),
sehingga permohonan ditolak.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung
21 K/N/2000 Ditolak √ ---- AD
Majelis hakim kasasi menegaskan bahwa debitor dari Pemohon pailit adalah kedua
Anggota Direksi (Drs. Akhmal Wahid dan Drs. Muchlis Hamid, MBA) sehingga
berdasarkan doktrin UV, mereka bertanggung jawab
170
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) secara pribadi.
Termohon pailit tidak bertanggung jawab atas utang sehingga
permohonan pernyataan pailit ditolak.
2. PT. Indosurya Mega Finance
(Pemohon Pailit) vs
PT. Greatstar Perdana
Indonesia (Termohon Pailit)
Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga
51/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt
.Pst
Dikabul-kan
(√)** ----
AD
UV merupakan
masukan dari Jawaban Termohon, tetapi tidak mempengaruhi
putusan majelis hakim Pengadilan Niaga. Menurut mereka, UV
merupakan urusan internal Perseroan, sehingga Perseroan
tetap bertanggung-jawab terhadap utang kepada pihak ketiga. Oleh karena itu,
permohonan pernyataan pailit dikabulkan.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung
30/K/N/2000 Dikabul-kan
√ ----
AD
Tindakan UV Anggota
Direksi mengikat pihak ketiga, sehingga Anggota Direksi harus bertanggung jawab
171
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) secara pribadi.
3. PT. Bank Mandiri (Pemohon Pailit)
vs
PT. Bakrie Finance
Corporation, 7 anggota Dewan Komisaris dan 2 Anggota Direksi (Termohon Pailit)
Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga
08/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt
. Pst
Ditolak √ ---- AD &
ADK
Doktrin FD merupakan dasar pertimbangan hakim
dalam memutus kasus ini. Penjualan obligasi merupakan tugas yang
dipercayakan kepada Direksi untuk diemban. Promosi penjualan obligasi
bukan merupakan kesalahan/kelalaian yang patut dipertanggung-
jawabkan. Selain itu, Termohon pailit berada dalam PKPU,
sehingga majelis hakim Pengadilan Niaga menolak permohonan
pernyataan pailit.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung
020/K/N/2002
Ditolak (√) AD
UV merupakan masukan dari Pemohon Kasasi,
tetapi tidak mempengaruhi pertimbangan hakim. Majelis Hakim MA
172
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) berpendapat bahwa
penilaian atas hasil pembuktian tidak tidak tunduk pada
pemeriksaan kasasi. Selain itu, Termohon pailit berada dalam PKPU, sehingga
Majelis hakim menolak permohonan pernyataan pailit.
Tingkat Peninjauan
Kembali: Mahkamah Agung
018
PK/N/2002
Ditolak Majelis Hakim
Peninjauan Kembali menyatakan keberatan Pemohon PK tidak dapat
diterima dan pertimbangan majelis hakim di tingkat
sebelumnya sudah tepat.
4. PT. Aditya Toa Development
(Pemohon Pailit) vs
PT. Wijaya Wisesa (Termohon Pailit)
Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga
03/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt
.Pst.
Ditolak √ ----
AD
√ ----
AD
UV mengakibatkan pertanggungjawaban
pribadi Anggota Direksi (Herry Wijaya). Adanya pertanggungjawaban
pribadi menyebabkan perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana
173
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (non-summarily
proving) mengenai
siapa debitor. Selain UV, Herry
Wijaya melakukan SD berupa transaksi antara 2 (dua) dengan Direksi yang
sama.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung
30/K/N/2000 Ditolak √ ---- AD
√ ---- AD
√ ---- AD
Tindakan UV Anggota Direksi menjadi dasar
bagi majelis hakim Pengadilan Niaga untuk menyatakan ketidakjelasan
mengenai siapa debitor. Ketidakjelasan mengenai siapa
debitor, menyebabkan perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana (summarily proving),
sehingga ditolak oleh Majelis Hakim Kasasi. UV yang dilakukan
terkait dengan SD. SD melanggar FD khususnya Duty of Fair Dealing (DoFD).
174
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Tingkat Peninjauan
Kembali: Mahkamah Agung
04 PK/N/2004 Ditolak Majelis Hakim
Peninjauan Kembali menolak keberatan Pemohon PK, karena
pertimbangan Majelis Hakim pada tingkat sebelumnya dinilai sudah tepat.
5. PT. Heradi Utama (Pemohon Pailit)
vs
PT. Central Total Finance
(Termohon Pailit)
Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga
16/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt
.Pst
Dikabul-kan
√ ---- AD
Dalam kasus ini, Termohon pailit “mengesahkan” tindakan UV Direksi
tidak menyimpang dari AD; merupakan tindakan yang masuk dalam ranah
kewenangan Direksi. Menurut penulis, tindakan tersebut
mengandung doktrin BJR. Hakim menilai bahwa Anggota Direksi bertindak sah
sesuai dengan kapasitasnya untuk menentukan keputusan (BJR),
sehingga Termohon sebagai badan hukum dinyatakan bertanggung jawab
175
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) atas utang terhadap
para kreditornya; permohonan pernyataan pailit
diterima.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung
010/K/N/2004
Ditolak √ ---- AD
Majelis Hakim Kasasi menolak keberatan dari Pemohon Kasasi,
karena dinilai pertimbangan hakim pada tingkat sebelumnya sudah
tepat.
Tingkat Peninjauan Kembali:
Mahkamah Agung
010 PK/N/2004
Ditolak √ ---- AD
Majelis Hakim PK menolak keberatan
dari Pemohon PK, karena dinilai pertimbangan hakim pada tingkat
sebelumnya sudah tepat.
6. PT. Bank Negara Indonesia
(Pemohon Pailit)
vs PT. Kalimas Sukses Baru
Mandiri
Tingkat Pertama: Pengadilan Niaga
20/Pailit/2010/PN.
Niaga.Sby.
Ditolak Belum ada pertimbangan terkait tanggung jawab
Organ Perseroan. Permohonan penyataan pailit ditolak, karena
menurut Majelis
176
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
(Termohon Pailit) Hakim Pengadilan
Niaga, Pemohon Pailit tidak bisa membuktikan dalil
Permohonannya.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung
249/K/Pdt.Sus/2011
Ditolak (√) ---- AD & PS
Dalil terkait doktrin PCV antara sesama subsidiary company
dari “Kang Group” pada kreditur lain yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi,
namun dalil ini tidak mampu mempengaruhi hakim dalam
pertimbangannya untuk memutus kasus ini.
Total Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dalam pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan
--------------------------------------------------------------- Total Frekuensi Organ Terkait Kasus dimana doktrin sebagai dasar
√
5
---- 5
AD
-
2
---- 2
AD & 1
ADK
3
---- 3
AD
2
---- 2
AD
12 kali
---- AD 13 kali ADK 1 kali
177
No. Kasus Tingkat Peradilan No. Putusan Putusan Hakim
Doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan
hakim dalam memutus kasus --------------------------------- Organ Terkait Kasus
Ket.
UV PCV FD BJR SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Total Frekuensi Kasus dimana doktrin berpengaruh dalam
pertimbangan hakim, tetapi tidak dijadikan dasar dalam
memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat
peradilan
---------------------------------------------------------------
Total Frekuensi Organ Terkait Kasus dimana doktrin
berpengaruh
(√)
2
------2
AD
1
-----
1 AD & 1
PS
-
-
-
3 kali
----------------
AD 4 kali PS 1 kali
Total Frekuensi doktrin berpengaruh dan doktrin sebagai
dasar
√ + (√)
7
kali
1
kali
2
kali
3
kali
2
kali
15 kali
Total Frekuensi Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam
memutus enam kasus kepailitan terpilih per tingkat peradilan --------------------------------------------------------------------------------
Total Frekuensi Organ Terkait Kasus dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh
15 kali
------------- 19 kali
178
Keterangan:
* √ : doktrin sebagai dasar
**(√) : doktrin berpengaruh
------
FD : Fiduciary Duty
BJR : Business Judgement Rule
UV : Ultra Vires
PCV : Piercing The Corporate Veil
SD : Self Dealing
------
AD : Anggota Direksi
ADK : Anggota Dewan Komisaris
PS : Pemegang Saham
179
Penjelasan Matriks
Dari segi doktrin sebagai dasar bagi hakim dalam memutus
enam kasus kepailitan terpilih
Dari matriks di atas, menarik untuk dikaji mengenai seberapa besar
pengaruh “kelima doktrin tertransplantasi” untuk menjadi dasar putusan
hakim terkait tanggung jawab organ dalam kurun waktu 11 (sebelas)
tahun. Ternyata setelah dibuat perbandingan antara frekuensi kasus
dimana “doktrin sebagai dasar”, dan “doktrin berpengaruh” pada
pertimbangan hakim, di bawah ini, jelas nampak bahwa 80% frekuensi
kasus (per tingkat peradilan) menggunakan doktrin sebagai dasar. Hanya
20% frekuensi kasus dimana doktrin tertransplantasi merupakan doktrin
berpengaruh yang tidak menjadi dasar bagi hakim untuk memutus kasus-
kasus kepailitan. Perbandingan tersebut terlihat dari bagan berikut:
Bagan 14. Perbandingan antara frekuensi kasus
dimana doktrin sebagai dasar dan doktrin berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam memutus enam kasus kepailitan terpilih
doktrin sebagai dasar (80%)
doktrin berpengaruh (20%)
Hal ini merupakan pertanda bahwa, kelima doktrin tertransplantasi
tersebut cukup kuat untuk menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
memutus kasus-kasus kepailitan.
180
Dari segi masing-masing doktrin tertransplantasi
Jika matriks di atas dilihat berdasarkan doktrin tertransplantasi, maka
doktrin yang paling banyak digunakan dalam pertimbangan hakim guna
memutus kasus-kasus kepailitan dalam kurun waktu 11 (sebelas) tahun
yaitu doktrin Ultra Vires (UV), yaitu sebanyak 7 kali dari total keseluruhan
(46,67%). Diikuti oleh Business Judgement Rule (BJR) sebanyak 3 kali dari
total keseluruhan (20%), kemudian Fiduciary Duty (FD) dan Self Dealing
(SD), masing-masing 2 kali dari total keseluruhan (13,33%), dan terakhir
adalah PCV sebanyak 1 kali dari total keseluruhan (6,67%). Perbandingan
masing-masing doktrin tertransplantasi terlihat pada bagan berikut:
Bagan 15. Perbandingan antara Doktrin Tertransplantasi dilihat dari
frekuensi digunakannya doktrin tersebut
dalam pertimbangan hakim guna memutus enam kasus kepailitan terpilih
UV (46,67%)
PCV(6,67%)
FD (13,33%)
BJR (20%)
SD (13,33%)
Dari perbandingan tersebut, nampak bahwa doktrin Ultra Vires merupakan
doktrin yang paling berpengaruh bagi hakim dalam memutus enam kasus
kepailitan terpilih. Menurut penulis, jika Ultra Vires digunakan sebagai
dasar putusan hakim untuk menerapkan tanggung jawab pribadi (personal
liability) Organ Perseroan, maka konsekuensi logisnya, doktrin piercing the
corporate veil juga ikut menjadi dasar putusan, setelah doktrin ultra vires
dijadikan sebagai dasar.
181
Dari segi Organ Perseroan yang paling sering “dipertimbangkan
tanggung jawabnya” dalam kasus kepailitan terpilih
Dari matriks di atas terlihat bahwa Organ Perser8oan yang paling sering
“dipertimbangkan tanggung jawabnya” adalah Anggota Direksi (AD) yaitu
sebanyak 17 kali dari total keseluruhan frekuensi (89,47%), sedangkan
Anggota Dewan Komisaris (ADK) dan Pemegang Saham hanya masing-
masing 1 kali dari total keseluruhan frekuensi (5,26%). Perbandingan
tersebut terlihat pada bagan berikut:
Bagan 16. Perbandingan antara Organ Perseroan dilihat dari
frekuensi “dipertimbangkan tanggung jawabnya”
dalam enam kasus kepailitan terpilih
AD (89,47%)
ADK (5,26%)
PS (5,26%)
Analisis penulis mengenai mengapa Anggota Direksi yang paling sering
“dipertimbangkan tanggung jawabnya”? Karena Anggota Direksi
merupakan Organ yang memiliki fungsi paling penting atas jalannya
Perseroan, dimana Direksi menjalankan fungsi pengurusan (management)
dan fungsi perwakilan (representative). Dalam melakukan tindakannya,
Direksilah yang paling berpeluang untuk melakukan ultra vires. Misalnya,
karena Direksi yang harus mengambil keputusan dalam jalannya
Perseroan dan ia pula yang mewakili Perseroan untuk melakukan tindakan
sebagai follow up dari keputusan tersebut, sehingga apabila terjadi risiko
dari tindakan tersebut maka direksilah yang paling bertanggungjawab atas
risiko yang terjadi.
182
Dari ketiga bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam kasus-kasus kepailitan terkait tanggung jawab
Organ Perseroan pada tahun 2000-2011, kelima doktrin
tertransplantasi sangat berpengaruh dalam putusan hakim
karena 80 % penggunaan doktrin tersebut menjadi dasar
bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan pernyataan pailit. Doktrin yang paling sering
digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim adalah ultra
vires (46,67). Organ yang paling sering dikenai tanggung
jawab berkaitan dengan tindakan ultra vires tersebut
adalah Direksi (89,47%). Dari kesimpulan tersebut,
menarik untuk ditelaah lebih lanjut mengenai kepailitan
Perseroan yang diakibatkan oleh tindakan ultra vires
Direksi.
2. Variasi Pertimbangan Hukum Dari Hakim Dalam
Memutus 6 (enam) Kepailitan
Ada 6 (enam) kasus kepailitan terpilih yang dianalisis
dengan menggunakan pendekatan case note. Keenam
kasus di bawah ini terkait dengan tanggung jawab Organ
Perseroan dalam kepailitan. Dalam setiap pertimbangan
hakim dari masing-masing kasus, mengandung unsur
tanggung jawab Organ Perseroan dalam kepailitan. Fokus
dari analisis ini adalah untuk menganalisa variasi
pertimbangan hakim terkait 5 (lima) “doktrin
tertransplantasi” dalam memutus setiap kasus kepailitan.
Menariknya, isu tentang tanggung jawab Organ
Perseroan yang dipertimbangkan hakim adalah sama,
183
tetapi argumen hakim terhadap isu tersebut berbeda.
Perbedaan argumen dalam menanggapi isu yang sama
tersebut bisa menghasilkan keputusan yang berbeda
pula. Perbedaan argumen hakim antar tingkat peradilan
maupun antar kasus (vide Hasil Penelitian, Bab III A)
tersebut menghasilkan variasi yang menarik untuk dikaji.
Kajian penulis terhadap setiap kasus disajikan dalam
bentuk cases notes sebagai berikut.
a. Case Note Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd.
vs PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari (Persero)
Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &
Perkapalan Kodja Bahari (Persero) memperoleh
kekuatan hukum tetap pada tingkat Kasasi
Mahkamah Agung. Berikut ini case note dari
pertimbangan hakim per tingkat peradilan:
1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat No.32/Pailit/2000/PN. Niaga/Jkt. Pst
Dalil pertanggungjawaban pribadi merupakan
tangkisan dari Termohon Pailit untuk menghindari
pertanggungjawaban Perseroan Termohon pailit
atas pembayaran utang dan mengalihkan
tanggung jawab tersebut kepada Organ Perseroan
dalam hal ini Direksi. Secara hukum, alasan ultra
vires bisa menjadi landasan hukum untuk
meminta tanggung jawab pribadi Organ Perseroan,
namun, secara politis pengalihan tanggung jawab
atas pembayaran utang tersebut sejatinya
184
bukanlah bertujuan untuk mengalihkan tanggung
jawab atas hutang, tapi dilakukan untuk
menjadikan permohonan tersebut tidak memenuhi
syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit,
terutama syarat formil yaitu pembuktian
sederhana (summarily proving).
Jika Perseroan sebagai Termohon Pailit melakukan
pembelaan dengan cara menjadikan direksi-nya
sebagai “tumbal”, sebenarnya siapa yang membuat
pembelaan tersebut? Bukankah direksi sendiri
sebagai representasi dari Perseroan untuk
mewakili Perseroan di depan pengadilan? Memang
dalam hal ini terjadi benturan kepentingan (conflict
of interest) antara Perseroan dan Direksi sehingga
seharusnya anggota direksi lain yang mewakili
Perseroan di depan pengadilan (Pasal 99 ayat (1)
UU No. 40 Tahun 2007). Namun, benturan
kepentingan (conflict of interest) ini sejatinya
bukanlah menjadi pokok persoalan. Di balik
Direksi yang menjadi “tumbal”, tersembunyi
kepentingan Perseroan sebagai Termohon Pailit
yang terancam “punah” dari eksistensinya sebagai
badan hukum. Ingat, kepailitan merupakan
“likuidasi khusus” yang berujung pada
pengakhiran status badan hukum Perseroan (vide
Bab II, Perbandingan Kepailitan, Likuidasi dan
Pembubaran Perseroan). Ingat pula bahwa, tujuan
adanya hukum kepailitan di Indonesia bukan
seperti tujuan hukum kepailitan AS yang notabene
185
bertujuan to reorganize the corporate. Tujuan
hukum kepailitan di Indonesia adalah untuk
memudahkan proses penyelesaian utang piutang
melalui prosedur kepailitan (yang notabene lebih
cepat dan sederhana dibanding menempuh proses
gugatan perdata) sehingga cenderung
menguntungkan kreditor (vide Bab II,
Perbandingan antara Tujuan Hukum Perseroan di
Indonesia dan Amerika Serikat). Padahal, belum
tentu Perseroan yang hampir dipunahkan tersebut
berada dalam keadaan “insolvensi”. Bisa jadi,
Perseroan tersebut masih mampu (able) tetapi
tidak mau (unwilling) membayar hutang-
hutangnya.
Dengan demikian, dalil pertanggungjawaban
pribadi Direksi menjadi salah satu jalan keluar
bagi Perseroan sebagai Termohon pailit untuk
menciptakan kekaburan mengenai siapa yang
menjadi debitor sehingga pembuktian terhadap
siapa debitor menjadi tidak sederhana (non-
summarily proving) sehingga menjadi wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa.
2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No. 21
K/N/2000
Tanggung jawab organ Perseroan seringkali
menjadi alasan bagi Termohon Pailit untuk
186
“berkelit” dari kewajibannya untuk membayar
utang kepada para kreditornya.
Pada putusan ini tanggung jawab pribadi anggota
Organ Perseroan (Direksi) menjadi salah satu
alasan bagi hakim untuk menolak permohonan
pailit dari Pemohon. Argumen hakim mendukung
argumen dari Termohon bahwa anggota Direksilah
yang harus bertanggung jawab secara pribadi
sebagai natuurlijk persoon, bukan Pemohon
sebagai badan hukum PT.
Yang menarik dari pertimbangan hakim pada
putusan ini adalah, hakim menjustifikasi bahwa
proses pembuktian dari perkara ini rumit sehingga
penyelesaian perkara ini tidak termasuk dalam
kewenangan Pengadilan Niaga, melainkan
Pengadilan Negeri. Hal ini dinyatakan dalam
pertimbangan hakim berikut ini:
“…dengan adanya fakta di atas maka utang yang
timbul dari penerbitan 4 (empat) lembar surat
sanggup tersebut masih menjadi permasalahan
dan belum bersifat pasti sehingga untuk
menentukan keabsahannya memerlukan proses
pembuktian yang tidak sederhana lagi
sebagaimana ditentukan dalam dalam Pasal 6 ayat
(3) UU No. 4 Tahun 1998 sebab untuk menyatakan
sah tidaknya surat sanggup itu Termohon harus
melalui pembuktian yang lengkap dan melibatkan
banyak pihak. Proses pembuktian yang rumit dan
melibatkan banyak pihak tersebut prosesnya
187
melalui acara perdata biasa di Persidangan
Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).”
Menurut penulis, ini adalah jalan keluar yang
menjadi favorit hakim jika mendapati perkara
terkait pertanggungjawaban organ perseroan.
Jika sudah nyata-nyata utang terhadap pihak
ketiga (dalam hal ini Pemohon pailit) tersebut
menurut pembuktian di dalam persidangan adalah
hutang pribadi anggota Organ Perseroan, maka
seharusnya Pemohon pailit mengajukan kembali
permohonan pailitnya terhadap pribadi Anggota
Organ Perseroan.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa tanggung jawab
pribadi akibat tindakan ultra vires tidak
terwadahi dalam putusan hakim? Misalnya tidak
ditemukan adanya putusan yang berbunyi:
“menyatakan Anggota Direksi PT. Dok dan
Perkapalan Kodja Bahari (Persero), Drs. Akhmal
Wahid dan Drs. Muchlis Hamid, pailit dengan
segala akibat hukumnya.” Menurut penulis,
tanggung jawab pribadi Organ Perseroan, tidak
terwadahi dalam putusan hakim apabila yang
dimohonkan pailit hanya Perseroan saja. Padahal,
Anggota Direksi sebagai natuurlijk person pun bisa
dipailitkan (vide Bab II, Termohon Pailit), atau
minimal Anggota Direksi ikut bertanggungjawab
atas pailitnya Perseroan (vide Pasal 104 ayat (2)).
188
Oleh karena itu, menurut Penulis, jika Pemohon
Pailit telah mendeteksi bahwa penyebab terjadinya
kepailitan adalah tindakan ultra vires Anggota
Organ Perseroan, maka ajukan permohonan
pernyataan pailit kepada Perseroan dan dan
Anggota Organ Perseroan. Besarnya tanggung
jawab Perseroan dan tanggung jawab Organ harus
dapat dibuktikan secara sederhana (summarily
proving), agar permohonan tidak ditolak
berdasarkan argumen ketidakjelasan mengenai
siapa debitor.
b. Case Note Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT.
Greatstar Perdana Indonesia
Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar
Perdana Indonesia memperoleh kekuatan hukum tetap
pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung. Berikut ini
case note dari pertimbangan hakim per tingkat
peradilan:
1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat No. 32/Pailit/2000/PN. Niaga/Jak.Pst
Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota
Direksi dalam kasus ini belum dapat
mempengaruhi putusan majelis hakim Pengadilan
Niaga, karena menurut majelis hakim,
pelampauan wewenang (ultra vires) merupakan
urusan internal Perseroan sehingga tidak mengikat
pihak eksternal, termasuk di dalamnya Pemohon
pailit. Hal inilah yang menyebabkan Hakim
189
memberi pertimbangan bahwa Perseroanlah yang
bertanggung jawab atas kepailitan tersebut,
sehingga permohonan pernyataan pailit terhadap
PT. Greatstar Perdana Indonesia.
Menurut penulis, tindakan ultra vires jelas berlaku
eksternal, karena tindakan tersebut telah
tercantum dalam Anggaran Dasar yang notebene
telah diumumkan dalam Berita Negara kepada
khalayak ramai menurut asas publisitas. Akibat
hukum dari diumumkannya Anggaran Dasar
tersebut adalah mengikatnya Anggaran Dasar
tersebut terhadap pihak ketiga.
2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.
30/K/N/2000
Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota
Direksi (Budi Handoko) telah mempengaruhi
putusan majelis hakim MA dalam perkara ini,
apalagi karena ada yurisprudensi berupa (3)
putusan mengenai hal yang sama (penolakan
pernyataan pailit bagi PT sebagai Termohon pailit
yang Anggota Direksinya melakukan tindakan
ultra vires). Tindakan ultra vires Anggota Direksi
bukan lagi merupakan urusan internal melainkan
juga mengikat pihak ketiga (eksternal) dalam hal
ini kreditor, sehingga menyebabkan Anggota
190
Direksi pelaku tindakan ultra vires harus
bertanggung jawab secara pribadi atas utang
kepada pihak ketiga tersebut.
Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim
tersebut tepat, sesuai dengan jiwa ultra vires.
Anggota Direksi yang melakukan tindakan ultra
vires seharusnya bertanggung jawab secara
pribadi atas hutang kepada pihak ketiga tersebut.
c. Case Note Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie
Finance Corporation
Kasus PT. Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance
Corporation memperoleh kekuatan hukum tetap pada
tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.
Berikut ini case note dari pertimbangan hakim per
tingkat peradilan:
1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat No. 08/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt. Pst:
Pemohon tidak dapat membuktikan dalil
permohonannya mengenai tanggung jawab
Anggota Organ Perseroan (Anggota Direksi dan
Anggota Dewan Komisaris sebagai Termohon II-X))
dalam kasus ini, sehingga Anggota Organ
Perseroan tersebut tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya atas kepailitan tersebut.
191
Hakim mengaitkan pertimbangannya dengan
mengenai pertanggungjawaban Anggota Organ
dalam penjualan obligasi Perseroan dengan Pasal
85 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 bahwa Direksi
wajib dengan itikad baik bertanggung jawab untuk
menjalankan tugas usaha Perseroan (Pasal 97 ayat
(2) UU No. 40 Tahun 2007) merupakan fiduciary
duty dari Direksi.
Penulis setuju dengan pertimbangan hakim,
karena penjualan obligasi merupakan salah satu
tugas yang dipercayakan kepada Direksi, dan
dalam pelaksanaannya Direksi telah
melaksanakannya secara wajar, sehingga bukan
merupakan suatu kesalahan atau kelalaian yang
patut dipertanggung jawabkan secara pribadi.
Menurut penulis, Anggota Direksi dan Anggota
Dewan Komisaris dalam kasus ini tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban, sehingga kepailitan
dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh
Termohon.
Dalam kasus ini Termohon yang dimohonkan pailit
sedang dalam PKPU, sehingga Termohon, ini
menjadi salah satu faktor mengapa PT. Bakrie
Finance tidak dapat dipailitkan selama PKPU
belum diputus.
Menurut penulis, hal ini sejalan dengan Pasal
Pasal 228 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998, bahwa:
192
“Selama berlangsungnya penundaan kewajiban
pembayaran utang, debitur tidak dapat dipaksa
membayar utang-utangnya sebagaimana dimaksud
dalamn Pasal 231 dan semua tindakan eksekusi
yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan
utang, harus ditangguhkan.”
Menurut pengaturan tersebut, proses peradilan
terkait kasus ini tetap bisa berjalan, hanya
eksekusi terhadap putusan harus ditangguhkan.
2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.
020/K/N/2002
Penulis tidak setuju dengan keterangan saksi ahli
yang kemudian menjadi dasar pertimbangan
hakim, dasar mana menyatakan bahwa Organ
Perseroan tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap transaksi yang dilakukan Perseroan
kepada pihak ketiga. Menurut penulis, Organ
Perseroan tetap dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pribadi apabila Organ
tersebut ternyata terbukti melakukan tindakan
ultra vires.
3) Case Note Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung No. 018 PK/N/2002
Putusan Hakim MA dalam Peninjauan Kembali
kasus ini, konsisten dengan putusan hakim kasasi
193
maupun hakim pengadilan niaga. Titik fokus
putusan ada pada pengaturan Pasal 228 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 1998 tersebut di atas (karena
kasus ini diputus pada tahun 2002; sebelum
adanya UU Kepailitan yang baru).
Menurut penulis, dalam UU Kepailitan Lama
hanya disebut mengenai penangguhan tindakan
eksekusi selama PKPU berlangsung. Dalam UU
Kepailitan Baru, ditegaskan dalam Pasal 260
bahwa:
“selama penundaan kewajiban pembayaran utang
berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan
permohonan pailit”.
Penulis setuju dengan pertimbangan hakim,
bahwa PKPU harus didahulukan apabila waktu
pengajuan PKPU oleh suatu Perseroan (dalam hal
ini PT. Bakrie Finance Corporation) lebih dahulu
atau bersamaan dengan pengajuan permohonan
pernyataan pailit kepada Perseroan tersebut
(sebagai debitor pailit), namun dalam aturan
Kepailitan Lama, tidak ada larangan mengenai
pengajuan permohonan pailit. Hanya, eksekusi
terhadap putusan (apabila permohonan
pernyataan pailit dikabulkan) harus ditangguhkan.
Sehingga menurut penulis, permohonan pailit
tetap bisa diajukan, hanya waktu untuk eksekusi
boedel pailit (jika permohonan pernyataan pailit
dikabulkan) harus menunggu sampai dengan
PKPU diputus.
194
Perbincangan mengenai argumen hakim terkait
tanggung jawab organ perseroan terbatas pada
kasus ini bukan merupakan suatu “isu” yang
mempengaruhi putusan hakim, karena PT. Bakrie
Finance Corporation sedang mengajukan PKPU
pada saat PT. Bank Mandiri (Persero) mengajukan
permohonan penyataan pailit terhadapnya.
d. Case Note Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT.
Wijaya Wisesa
Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya
Wisesa memperoleh kekuatan hukum tetap pada
tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.
Berikut ini case note dari pertimbangan hakim per
tingkat peradilan:
1) Case Note Putusan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat No. 03/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt. Pst
Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota
Direksi (Direktur) dalam kasus ini mempengaruhi
putusan hakim dalam perkara ini. Ketidakjelasan
mengenai siapa debitor, menyebabkan perkara ini
tidak dapat dibuktikan secara sederhana
(summarily proving) sehingga Majelis Hakim
menolak untuk menyatakan Termohon pailit.
Menurut penulis, selain ultra vires, Herry Wijaya
sebagai Direktur melakukan transaksi self dealing.
195
Hal ini nampak jelas dari transaksi antara dua
Perseroan dengan direksi yang sama (Herry Wijaya
sebagai Direktur Utama pada Termohon dan juga
sebagai Presiden Direktur pada Pemohon) sehingga
dalam transaksi ini telah terjadi benturan
kepentingan (conflict of interest). Tindakan ini
merupakan tindakan yang tidak fair, karena Herry
Wijaya selaku selaku Direktur Utama pada
Termohon melakukan transaksi dengan Termohon
melalui kapasitasnya sebagai Presiden Direktur
Pemohon.
2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.
30/K/N/2000
Tindakan ultra vires Anggota Direksi menyebabkan
ketidakjelasan mengenai siapa yang bertanggung
jawab atas utang kepada Pemohon Kasasi.
Pemohon menyusun argumen bahwa tindakan
ultra vires Direksi merupakan masalah internal
Perseroan.
Menurut penulis, tindakan ultra vires merupakan
tindakan yang melanggar Anggaran Dasar
Perseroan, dimana Anggaran Dasar tersebut
mengikat pihak ketiga, karena memenuhi asas
publisitas. Pelanggaran terhadap Anggaran Dasar
tersebut mengakibatkan letter of indemnity yang
diterbitkan oleh Termohon tanpa persetujuan
196
Dewan Komisaris tersebut menjadi batal demi
hukum (null and void).
Pelanggaran terhadap Anggaran Dasar merupakan
kausa yang tidak halal sehingga tidak memenuhi
syarat objektif ke-2 (kedua) dari 4 (empat) syarat
sahnya perjanjian yaitu sebab (kausa) yang halal
(Pasal 1320 KUH Perdata).
Menurut penulis, transaksi self-dealing makin
kentara dalam putusan ini. Fakta pertama, Herry
Wijaya sebagai Direktur Utama pada Termohon
dan juga sebagai Presiden Direktur pada Pemohon.
Fakta kedua, Herry Wijaya sebagai Direktur Utama
juga sebagai pemegang saham mayoritas pada
Termohon sehingga dalam transaksi uang sebesar
US$ 1,250,000 (satu juta dua ratus lima puluh
Dollar Amerika Serikat) ini jelas telah terjadi
benturan kepentingan (conflict of interest).
Penulis menduga, Herry Wijaya yang memiliki
kontrol dalam pengelolaan Pemohon, memiliki
andil dalam penentuan keputusan untuk memberi
pinjaman kepada Termohon yang ditransfer
melalui rekening pribadi Henry Wijaya. Herry
Wijaya juga memiliki kontrol penuh dalam
penentuan keputusan RUPS Termohon untuk
meminjam uang kepada Pemohon.
Sebagai Direksi, Herry Wijaya telah melakukan
transaksi dengan Perseroan (self dealing) sehingga
197
telah melanggar fiduciary duty Direksi khususnya
duty of fair dealing. Oleh karena itu, menurut
penulis, Herry Wijaya harus bertanggung jawab
secara pribadi.
3) Case Note Putusan Peninjauan Kembali No. 04
PK/N/2004
Dalam putusan ini Majelis Hakim Peninjauan
Kembali konsisten dengan putusan hakim di
tingkat sebelumnya, sehingga penulis tidak
berkomentar lebih lanjut.
e. Case Note Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central
Total Finance
Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Berikut ini
case note dari pertimbangan hakim per tingkat
peradilan:
1) Case Note Putusan Pengadilan Jakarta Pusat No.
16/Pailit/2004/PN. Niaga/Jkt. Pst
Mengenai pertimbangan hakim:
“Bahwa atas pertanyaan tersebut, Termohon
dengan surat menyatakan memberikan jawaban
bahwa perlakuan ini tidak menyimpang dari Pasal
Akta No. 184, bahwa Direktur Utama berkuasa
dan berwenang bertindak untuk dan atas nama
serta mewakili Perseroan”
198
Menurut penulis, pertimbangan tersebut
mengandung doktrin business judgement rule
dimana doktrin tersebut mengajarkan bahwa
suatu putusan Direksi mengenai aktivitas
Perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh
siapapun meskipun putusan tersebut kemudian
ternyata salah atau merugikan Perseroan.
Penandatanganan surat sanggup (promissory note)
hanya oleh Direksi dan tanpa persetujuan Dewan
Komisaris, tidak termasuk dalam kategori
tindakan pelampauan wewenang (ultra vires) oleh
Anggota Direksi (Direktur) dalam kasus ini, karena
setelah dipertanyakan mengenai hal tersebut,
Termohon “mengesahkan” tindakan tersebut
dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut
tidak menyimpang dari Anggaran Dasar Perseroan
dan merupakan kewenangan Direksi yang
menurut penulis, termasuk dalam mengandung
unsur doktrin putusan bisnis (business jugdement
rule). Artinya jika terjadi masalah di kemudian hari
mengenai tindakan tersebut, yang bertanggung
jawab adalah Pemohon bukan Anggota Direksi
secara pribadi. Berdasarkan hal tersebut, doktrin
putusan bisnis (business jugdement rule)
mempengaruhi putusan hakim dalam perkara ini.
Hakim mempertimbangkan bahwa tindakan
Direksi sah sesuai dengan kapasitasnya untuk
menentukan keputusan, sehingga Termohon
sebagai badan hukum dinyatakan bertanggung
199
jawab atas utang terhadap para kreditornya dan
dinyatakan pailit.
Penulis setuju dengan pertimbangan hakim, tapi
dengan catatan. Menurut penulis, pertimbangan
hakim memberlakukan doktrin BJR untuk
melindungi Anggota Direksi yang telah melakukan
tindakan ultra vires adalah sah, dengan catatan
selama ada bukti bahwa tindakan tersebut
mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational
basis) yang kuat dalam rangka kepentingan
Perseroan dan dilakukan dengan cara yang layak
dipercayai (reasonable belief) sebagai yang terbaik
(best interest) bagi Perseroan.
2) Case Note Putusan Mahkamah Agung No.
010/K/N/2004
Dalam putusan kasasi terhadap kasus ini, Majelis
Hakim Kasasi tetap mempertahankan argumen
dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga. Ada
konsistensi antara pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga dan Majelis Hakim Kasasi.
Menurut penulis, dalam pertimbangan MA perlu
dijelaskan lebih lanjut unsur BJR mengenai dasar-
dasar yang rasional (rational basis) yang kuat
dalam rangka kepentingan Perseroan dan
dilakukan dengan cara yang layak dipercayai
(reasonable belief) sebagai yang terbaik (best
interest) bagi Perseroan. Hal ini untuk
200
memperkuat argument hakim mengenai
penerapan doktrin BJR dalam kasus ini.
3) Case Note Putusan Peninjauan Kembali No. 010
PK/N/2004
Putusan Majelis Hakim Peninjauan Kembali
konsisten dengan putusan di tingkat sebelumnya,
sehingga penulis tidak berkomentar lebih lanjut.
f. Case Note Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs PT.
Kalimas Sukses Baru Mandiri
Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs PT. Kalimas
Sukses Baru Mandiri memperoleh kekuatan hukum
tetap pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung. Berikut
ini case note dari pertimbangan hakim per tingkat
peradilan:
1) Case Note Putusan No. 20/Pailit/2010/PN.
Niaga. Sby
Pertimbangan hakim Pengadilan Niaga Surabaya
dalam kasus ini sangat minim dan tidak mengupas
mengenai tanggung jawab Organ Perseroan.
2) Putusan MA No. 249/K/Pdt. Sus/2011
Penulis setuju dengan pertimbangan hakim
mengenai tidak diperbolehkannya surat pengakuan
hutang yang dibuat oleh seorang Anggota Direksi
201
suatu Perseroan (PT. Kalimas Baru Sukses Mandiri)
digunakan untuk kepentingan Perseroan lain,
sekalipun Anggota Direksi tersebut merupakan
pemegang saham dan Direksi di Perseroan lain (PT.
Delta Barito Indah) tersebut dan kedua Perseroan
tersebut berada di bawah satu holding yaitu “Kang
Group”.
Penulis memperhatikan bahwa setelah Pemohon
Kasasi yang juga Pemohon Pailit gagal
membuktikan PT. Kalimas Sukses Baru sebagai
kreditur-nya, ia bermaksud untuk menerapkan
doktrin piercing the corporate veil antara sesama
subsidiary company dari Kang Group, agar PT.
Delta Barito Indah dapat memenuhi unsur sebagai
“kreditur lain”. Namun Pemohon Kasasi tidak
memiliki landasan yang kuat untuk menerapkan
piercing the corporate veil terhadap PT. Delta Barito
Indah yang dalam hal ini diwakili oleh Direksinya
Indrato Kang Martono.
Penulis tidak setuju dengan dalil Pemohon Pailit
untuk menerapkan piercing the corporate veil dalam
kasus ini. Karena menurut penulis, walaupun PT.
Kalimas Baru Sukses Mandiri dan PT. Delta Barito
Indah berada di bawah satu holding “Kang Group”,
namun masing-masing Perseroan sebagai
subsidiary company tetap memiliki batas yang tidak
bisa diterobos tanpa dasar.
202
Berdasarkan cases notes tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa variasi Argumen Hakim mengenai kelima doktrin
tertransplantasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan
adalah mengenai:
1) Terbukti atau tidak terbuktinya tindakan ultra vires dalam
kasus tersebut;
2) Jika terbukti, maka seberapa besar pengaruh tindakan ultra
vires tersebut sebagai menjadi dasar bagi hakim untuk
menentukan besarnya tanggung jawab Organ Perseroan
dibanding tanggung jawab Perseroan atas terjadinya
kepailitan Perseroan;
3) Besarnya tanggung jawab Organ Perseroan menyebabkan
hal tersebut menjadi dasar pertimbangan hakim untuk
menyatakan Perseroan bertanggung jawab sepenuhnya atas
kepailitan yang terjadi pada Perseroan; atau sebaliknya
Organ Perseroan bertanggung jawab sepenuhnya sampai ke
harta pribadi berdasarkan piercing the corporate veil.
4) Apabila Perseroan terbukti bertanggung jawab penuh atas
utang maka permohonan pailit dikabulkan; sebaliknya jika
Organ Perseroan terbukti bertanggung jawab secara pribadi
(personal liability) atas utang, maka permohonan pailit
ditolak.
5) Tanggung jawab pribadi (personal liability) berdasarkan
piercing the corporate veil Organ Perseroan tidak terwadahi
dalam putusan hakim, sehingga tanggung jawab pribadi
(personal liability) Organ Perseroan tidak bisa dieksekusi
walaupun sudah terbukti dalam proses persidangan.
203
3. Analisis Tanggung Jawab Organ Perseroan terkait Lima
Doktrin Tertransplantasi
Berikut ini analisis mengenai Organ Perseroan mana yang
terlibat dalam kasus tersebut, bagaimana tanggung
jawabnya dalam kasus tersebut, apakah bertanggung
jawab sesuai dengan kapasitasnya sebagai Organ
Perseroan atau bertanggung jawab secara pribadi. Berikut
uraian tanggung jawab dari Organ Perseroan pada masing-
masing kasus kepailitan terpilih:
Batas Tanggung Jawab masing-masing Organ Perseroan
adalah (vide Bab II):
Tanggung jawab terbatas bagi Pemegang Saham
Tanggung jawab sesuai kewenangan bagi Anggota
Direksi
Tanggung Jawab sesuai kewenangan bagi Anggota
Dewan Komisaris.
Pada prinsipnya, selama masing-masing Organ Perseroan
bertindak sesuai dengan batas tanggung jawabnya
(intravires) maka tidak diberlakukan tanggung jawab
secara pribadi (personal liability) berdasarkan doktrin
piercing the corporate veil.
Berikut ini adalah uraian tanggung jawab Organ Perseroan
terkait dalam masing-masing kasus kepailitan terpilih:
204
a. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam kasus The
Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok &
Perkapalan Kodja Bahari (Persero)
Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah
dua orang Anggota Direksi (Akhmal Wahid dan Muchlis
Hamid). Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut,
pertanggungjawaban kedua Anggota Direksi adalah
pertanggungjawaban pribadi sebagai akibat dari
tindakan ultra vires. Tindakan ultra vires yang
dimaksud adalah penerbitan empat surat sanggup
(promissory note) senilai US $ 3.500.000,- tanpa
sepersetujuan Anggota Dewan Komisaris merupakan
“pelanggaran terhadap Anggaran Dasar Termohon
Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4)” huruf d” yang mereka
lakukan.
Menurut penulis, pertimbangan hakim adalah tepat
dari segi pertanggungjawaban Organ. Ketepatan yang
dimaksud adalah sesuai dengan jiwa dari doktrin UV
yaitu memberlakukan piercing the corporate veil
sebagai konsekuensi logis dari tindakan UV. Namun
pertimbangan pertanggungjawaban pribadi Anggota
Direksi tersebut adalah sia-sia tidak bisa secara nyata
menarik Anggota Direksi tersebut ke dalam ranah
pertanggungjawaban pribadi, karena
pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi tersebut
tidak bisa dieksekusi. Pertimbangan tentang
pertanggungjawaban pribadi ini tidak terwadahi dalam
putusan hakim dalam memutus kasus kepailitan ini.
Pertanggungjawaban pribadi hanya berdampak pada
205
ditolaknya permohonan pernyataan pailit dengan dasar
pertimbangan, Perseroan (Termohon pailit) tidak
bertanggungjawab atas utang.
b. Tanggung Jawab Organ Perseoan dalam Kasus PT.
Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar Perdana
Indonesia
Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah
Anggota Direksi. Menurut pertimbangan hakim,
Anggota Direksi tersebut tidak bertanggung jawab
secara pribadi, karena tindakan penerbitan surat
sanggup senilai 2.000.000.000 (dua milyar Rupiah)
oleh Anggota Direksi yang tidak mendapat persetujuan
Dewan Komisaris, (pelanggaran terhadap Pasal 12 (2)
dan (4) Perseroan), merupakan tindakan ultra vires,
namun tindakan ultra vires tersebut tidak mengikat
pihak ketiga.
Menurut penulis, terhadap Anggota Direksi tersebut
seharusnya dikenakan tanggung jawab pribadi
(personal liability) berdasar doktrin piercing the
corporate veil, karena perbuatan Anggota Direksi
tersebut jelas-jelas melampaui batas kewenangannya
(ultra vires).
c. Tanggung Jawab Organ Perseron dalam Kasus PT.
Bank Mandiri vs PT. Bakrie Finance Corporation
Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah
Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris.
Menurut pertimbangan hakim, Anggota Direksi
206
maupun Anggota Dewan Komisaris dalam hal ini
melakukan tindakan “penjualan obligasi dalam
prospekktus yang diterbitkan Termohon (PT. BFC)
adalah sah tidak dikenakan tanggung jawab secara
pribadi.
Penulis setuju dengan pertimbangan hakim tersebut.
Menurut penulis, tindakan promosi penjualan obligasi
tersebut ada di dalam batas kewenangan Anggota
Direksi dan Anggota Dewan Komisaris.
Khusus untuk Anggota Direksi, tanggung jawab sesuai
kewenangan tersebut dilakukan berdasarkan fiduciary
duty-nya, sehingga dalam kepailitan ia hanya
bertanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya
sebagai Anggota Direksi.
d. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kasus PT.
Aditya Toa Development vs PT. Wijaya Wisesa
Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah
Anggota Direksi (Herry Wijaya). Menurut pertimbangan
hakim, tindakan Herry Wijaya yaitu “penerbitan letter
of indemnity yang berisi pengakuan pinjaman senilai
US$ 1,250,000 kepada Termohon” adalah tindakan
ultra vires karena tidak meminta persetujuan terlebih
dahulu dari Anggota Direksi (pelanggaran terhadap
pasal 11 butir 3a Akta Pendirian Termohon). Artinya
terhadap Herry Wijaya dikenakan tanggung jawab
pribadi (personal liability) berdasarkan doktrin piercing
the corporate veil.
207
Menurut penulis, selain UV, Herry Wijaya juga
melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty,
khususnya duty of fair dealing, yaitu “melakukan
transaksi antara dua Perseroan dengan Direksi yang
sama”. Tidak fair nya tindakan Herry Wijaya terletak
pada posisinya sebagai Direktur Utama pada Pemohon
juga sebagai Presiden Direktur pada Pemohon
menimbulkan conflict of interest. Selain itu, Herry
Wijaya merupakan selain sebagai Direktur Utama, juga
sebagai pemegang saham mayoritas pada Termohon.
Peminjaman dana senilai US$ 1,250,000 kepada
Termohon dilakukan atas alas hak yang sah, karena
Herry Wijaya bertindak sebagai Direksi Pemohon,
namun tindakan tersebut tidak fair, karena tindakan
tersebut mengakibatkan benturan kepentingan
terhadap kedua Perseroan tersebut.
Tindakan UV dan SD yang dilakukan oleh Herry Wijaya
sebagai Anggota Direksi Termohon, merupakan dasar
pemberlakuan tanggung jawab pribadi terhadap
hutang kepada Pemohon, sesuai dengan doktrin
piercing the corporate veil.
e. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kasus PT.
Heradi Utama vs PT. Central Total Finance
Organ Perseroan yang terkait dalam kasus ini adalah
Anggota Direksi Termohon (PT. CTF). Anggota Direksi
tersebut telah melakukan tindakan ultra vires.
Tindakan yang dimaksud adalah “penerbitan surat
208
sanggup Nomor 00666 dan No. 00667 terhadap
kreditur kedua PT. Intidana Adimandiri” yang tidak
mendapat persetujuan Anggota Dewan Komisaris
Termohon (pelanggaran terhadap Anggaran Dasar
Perseroan). Pelanggaran ini “disahkan” oleh Termohon,
sehingga Anggota Direksi tersebut tidak
bertanggungjawab secara pribadi.
Menurut penulis, tindakan ultra vires oleh Anggota
Direksi tersebut bisa “dilindungi” dengan doktrin
business judgement rule apabila tindakan Anggota
Direksi tersebut terbukti memiliki unsur:
dasar-dasar yang rasional (rational basis) yang
kuat dalam rangka kepentingan Perseroan
dilakukan dengan cara yang layak dipercayai
(reasonable belief) sebagai yang terbaik (best
interest) bagi Perseroan.
Rational basis dan reasonable belief memiliki batas
yang tidak jelas. Menurut penulis, yang bisa menilai
rational basis dan reasonable belief ini atas tindakan
ultra vires Direksi, hanyalah Perseroan tempat Direksi
menjabat. Artinya selama Perseroan tempat Direksi
menjabat tersebut menilai tindakan ultra vires Direksi
tersebut sesuai dengan rational basis “dalam rangka
kepentingan Perseroan” dan rational belief “sebagai
yang terbaik bagi Perseroan” maka tindakan tersebut
bisa dilindungi dengan business judgement rule.
Derajat kesesuaian antara tindakan ultra vires Direksi
209
dengan kepentingan Perseroan, hanya bisa diukur oleh
Perseroan sendiri, sejauh mana tindakan tersebut
melampaui batas kewenangan, namun dilakukan
untuk kepentingan Perseroan.
Dengan demikian, tanggung jawab Anggota Direksi
dalam kasus ini yang seharusnya merupakan tanggung
jawab pribadi karena melakukan tindakan ultra vires,
menjadi tanggung jawab sesuai kewenangannya
sebagai Direksi karena tindakan ultra vires Direksi
dianggap sebagai tindakan yang sesuai dengan
kepentingan Perseroan; dilindungi doktrin business
judgement rule.
f. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kasus PT.
Bank Negara Indonesia vs PT. Kalimas Sukses Baru
Mandiri
Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah
Anggota Direksi sekaligus pemegang saham (Indrato
Kang Martono) dari PT. Delta Barito Indah yang
merupakan debitor dari kreditor lain dalam kasus ini.
Kreditor lain yang dimaksud adalah Liem Haryanto
Limantara. Oleh karena, Indrato Kang Martono
merupakan Anggota Direksi sekaligus pemegang
saham dari PT. Delta Barito Indah dan juga
merupakan Anggota Direksi dan Pemegang Saham dari
PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri (Termohon Pailit),
yang notabene kedua Perseroan ini masing-masing
subsidiary company dari holding “Kang Group”, maka
Pemohon Pailit (PT. BNI) menghendaki agar hutang PT.
210
Delta Barito Indah kepada Liem Haryanto Limantara
dianggap sebagai hutang PT. Kalimas Sukses Baru
Mandiri kepada Liem Haryanto Limantara,
berdasarkan piercing the corporate veil antar sesama
subsidiary company.
Menurut penulis, piercing the corporate veil dapat
diterapkan terhadap sesama subsidiary company,
apabila Organ Perseroan dari subsidiary company yang
diterobos tabir tanggung jawabnya melakukan
tindakan ultra vires yang menimbulkan kerugian bagi
subsidiary company yang hendak memberlakukan
penerobosan tabir tanggung jawab terbatas tersebut.
Dalam subsidiary company (PT. Delta Barito Indah),
tidak melakukan tindakan yang menimbulkan
kerugian terhadap subsidiary company yang hendak
memberlakukan penerobosan tabir tanggung jawab
terbatas tersebut (PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri),
sehingga menurut penulis, tidak ada alas hak yang sah
bagi PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri untuk meminta
pertanggung jawaban dari PT. Delta Barito Indah.
Dengan demikian, Indrato Kang Martono sebagai
Direksi sekaligus pemegang saham PT. Kalimas Sukses
Baru Mandiri dalam hal ini bertanggung jawab sesuai
kewenangan.
Berdasarkan penjelasan mengenai Variasi Pertimbangan
Hakim dan Tanggung Jawab Organ, maka penulis dapat
menyimpulkan penjelasan tersebut dalam matriks berikut:
211
No. Kasus Doktrin
----------
Organ PT
Terkait
Variasi Pertimbangan Hakim Putusan
Berkekuatan
Hukum Tetap
Tanggung
Jawab Organ
Komentar
Penulis
terhadap
pertimbangan dan putusan
hakim
Ket.
1. PT. HCB
vs
PT. PKB
UV AD Penerbitan 4 lembar promissory
note senilai 3.500.000 US $ tanpa
persetujuan ADK merupakan
pelanggaran Pasal 11 ayat (3) &
(4) Anggaran Dasar Termohon)
Ditolak AD
bertanggung
jawab secara
pribadi (personal liability) berd.
PCV
Setuju, krn
tindakan AD
merupakan
tindakan UV
2. PT. IMF
vs
PT GPI
UV AD Penerbitan promissory note senilai
Rp. 2.000.000.000 tanpa
persetujuan ADK bukan merupakan pelanggaran terhadap
Pasal 12 (2) dan (4) Anggaran
Dasar Termohon. Anggaran Dasar
berlaku internal, tidak mengikat
pihak ketiga.
Dikabulkan AD tidak
bertanggungja
wab secara pribadi (personal liability) berd.
PCV. AD
bertanggung
jawab sesuai kapasitasnya
sebagai
Direksi dalam
kepailitan.
Tidak setuju,
krn Anggaran
Dasar berlaku eksternal berd.
Asas publisitas,
sehingga
tindakan AD
merupakan
tindakan UV
3 PT. BM
vs
PT. BFC
FD AD &
ADK
Penjualan obligasi dalam
prospektus yang diterbitkan
Termohon adalah tindakan sah
Ditolak AD dan PT.
BFC
(Termohon)
Setuju,
tindakan AD &
ADK sesuai FD-
PKPU,
Ps. 228
UUL,
Matriks 7. Rekapitulasi Analisis Variasi Pertimbangan Hakim dan Tanggung Jawab Organ dalam 6 (enam) Kasus Kepailitan Terpilih
212
No. Kasus Doktrin
----------
Organ PT
Terkait
Variasi Pertimbangan Hakim Putusan
Berkekuatan
Hukum Tetap
Tanggung
Jawab Organ
Komentar
Penulis
terhadap
pertimbangan dan putusan
hakim
Ket.
(intravires) tidak
bertanggungja
wab, karena
dalil Pemohon
tidak terbukti.
nya; bukan
tindakan UV
ditangguh
kan;
Ps. 260
UUB,
permohonan tdk dpt
diajukan.
4. PT. ATD
vs
PT. WW
UV AD;
SD AD
Penerbitan letter of indemnity
berisi pengakuan pinjaman senilai
1.250.000 US $ kepada Termohon
yang tidak mendapat persetujuan
ADK, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 11 butir 3a Akta
Pendirian Termohon
Ditolak AD
bertanggung
jawab secara
pribadi (personal liability), berd.
PCV
Setuju,
tindakan AD
merupakan
tindakan UV. Mengandung
SD (Herry
Wijaya, AD
Termohon & Pemohon;conflict of interest),
melanggar DoFD & DoL)
5 PT. HU
vs
PT. CTF
UV AD Penerbitan surat sanggup
terhadap Kreditur kedua (PT. IDA)
yang tidak mendapatkan
persetujuan Dewan Komisaris,
tidak merupakan tindakan UV karena Termohon mengesahkan
Dikabulkan AD tidak
bertanggungja
wab secara
pribadi (personal liability) berd.
Setuju,
BJR melindungi
tindakan AD,
asal tindakan
AD sesuai dengan rational
213
No. Kasus Doktrin
----------
Organ PT
Terkait
Variasi Pertimbangan Hakim Putusan
Berkekuatan
Hukum Tetap
Tanggung
Jawab Organ
Komentar
Penulis
terhadap
pertimbangan dan putusan
hakim
Ket.
tindakan tersebut dengan BJR PCV. AD
bertanggung
jawab sesuai
kapasitasnya
sebagai Direksi dalam
kepailitan.
basis dan
rational belief.
(Derajat
kesesuaian hny
dpt diukur oleh PT tempat AD
menjabat)
6. PT. BNI
vs
PT.
KBSM
PCV antara
sesama subsidiary company AD
& PS
Majelis hakim tidak sependapat
dengan dalil Pemohon, PT BNI yang menghendaki subsidiary company 1 “Kang Group” lainnya
(PT. DBI) bertanggung jawab atas hutang kepada kreditur lain (Liem
Haryanto Limantara), karena AD
dan PS dari PT. DBI sama dengan
AD & PS dari PT. KBSM (Termohon; subsidiary company 2
dari Kang Group).
Ditolak AD dan PT.
KBSM tidak
bertanggungja
wab karena dalil Pemohon
tidak terbukti.
214
Berdasarkan analisis Tanggung jawab organ perseroan
terbatas dalam enam kasus kepailitan terpilih tersebut di
atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Tanggung jawab organ perseroan dalam kepailitan dimulai
dari adanya Fiduciary duty dari Perseroan sebagai principal
dan Organ Perseroan sebagai agent. Dalam perjalanannya,
Organ Perseroan seringkali didapati melakukan tindakan
ultra vires, sehingga menyebabkan terterobosnya tanggung
jawab terbatas pemegang saham, dan tanggung jawab
berdasarkan kewenangan bagi Direksi dan Dewan
Komisaris yang kemudian mengakibatkan tanggung jawab
pribadi (personal liability) Organ Perseroan. Tindakan ultra
vires Direksi ini sering menjadi alasan dari Termohon Pailit
untuk mengalihkan tanggung jawab atas kepailitan kepada
Direksi. Tanggung jawab pribadi (personal liability) ini
merupakan perluasan tanggung jawab dimana Direksi
seharusnya hanya bertanggung jawab sesuai kapasitasnya
sebagai Direksi dalam kepailitan; tidak bertanggung jawab
secara finansial menjadi bertanggungjawab secara finansial
atas kepailitan. Namun sayang, tanggung jawab pribadi
tersebut tidak terakomodasi dalam putusan hakim.
Oleh karena itu, menurut penulis, perlu dikonstruksikan
bentuk “pewadahan” tanggung jawab Organ Perseroan
dalam putusan hakim, agar, apabila Organ Perseroan
tersebut terbukti bertanggung jawab bersama dengan
Perseroan atas kepailitan Perseroan tersebut, maka
putusan hakim dapat mewadahi tanggung jawab bersama
tersebut.
215
Selain itu, menurut penulis, hakim perlu merumuskan
pertimbangan dengan menggunakan peraturan (rule
based reasoning) dan prinsip/asas (principle based
reasoning) sebagai dasar pertimbangan. Dalam enam
kasus kepailitan terpilih, hakim cenderung
mempertimbangkan kasus-kasus kepailitan dengan
pendekatan doctrinal based reasoning saja.
4. Penelusuran tindakan ultra vires dalam kasus-kasus
kepailitan
Doktrin ultra vires adalah doktrin yang paling
mempengaruhi pertimbangan hakim dalam enam kasus
kepailitan terpilih (vide Kesimpulan Matriks 6). Tindakan
ultra vires terbukti dilakukan Anggota Direksi, sehingga
dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Anggota
Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi.
Namun, mengapa tanggung jawab pribadi tersebut bisa
dieksekusi secara riil? Problematika inilah yang akan
dibahas selanjutnya dari segi substansi maupun dari segi
formil dalam variasi pertimbangan hakim.
a. Analisis dari segi substansi: Akibat Hukum
Tindakan Ultra Vires dalam variasi putusan hakim
Secara umum argumen Majelis Hakim untuk
menyatakan Direksi melakukan tindakan ultra vires
adalah pelampauan wewenang yang telah ditentukan
dalam Anggaran Dasar Perseroan tersebut (vide cases
notes). Wewenang yang dilampaui pada umumnya
adalah wewenang untuk meminjam sejumlah dana
216
kepada pihak ketiga dengan menerbitkan surat
sanggup (prommisory note). Menurut Anggaran Dasar
Perseroan, penerbitan surat sanggup tersebut sah
apabila ada persetujuan berupa tanda-tangan dari
Dewan Komisaris. Dalam kasus-kasus tersebut, tidak
ditemukan adanya persetujuan Dewan Komisaris,
sehingga tindakan direksi menerbitkan surat sanggup
tersebut termasuk dalam tindakan ultra vires.
Ada dua pendapat mengenai akibat hukum tindakan
ultra vires. Pendapat pertama menyatakan bahwa
tindakan ultra vires memiliki akibat batal demi hukum
(null and void)110karena tindakan tersebut melampaui
kewenangan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar,
sehingga sebab terjadinya tindakan tersebut tergolong
dalam sebab yang tidak halal. Hal ini melanggar syarat
objektif yang keempat, sehingga penerbitan surat
sanggup tersebut, secara teori adalah batal demi
hukum (null and void).
Namun dalam praktek, adalah sulit untuk
membatalkan perjanjian yang sudah dieksekusi,
artinya dana tersebut telah ditransfer ke rekening
Direksi, kemudian lama berselang, baru diketahui,
ternyata perjanjian utang-piutang berdasarkan surat
sanggup (promissory note) tersebut tidak sah.
Penyelesaian masalah seperti akan lebih mudah jika
pihak kreditor mengumpulkan bukti mengenai siapa
110 Ricardo Simanjuntak, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Sehubungan Dengan Tindakan Ultra Vires, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 30, No. 3, Tahun 2011, hal. 7. Lihat juga Sutan Remy Sjahdeini, Jurnal Hukum Bisnis Volume 14 Tahun 2001.
217
yang menjadi debitor atas utang. Jika terbukti
perjanjian utang-piutang berdasarkan surat sanggup
(promissory note) tersebut tidak sah, maka yang
bertanggung jawab untuk mengembalikan utang
adalah Direksi. Tanggung jawab untuk pembayaran
utang tersebut sampai ke harta pribadi (personal
liability).
Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tindakan
ultra vires merupakan dasar terterobosnya tanggung
jawab berdasarkan kewenangan Direksi (vide Bab II),
sehingga Direksi yang pada mulanya tidak
bertanggung jawab secara finansial menjadi
bertanggung jawab secara finansial sampai ke harta
pribadi atas kepailitan. Inilah yang dimaksud oleh
Ricardo Simanjuntak111 sebagai perluasan tanggung
jawab (extension of liability), dimana Direksi Perseroan
yang pada awalnya tidak bertanggung jawab secara
finansial terhadap perseroan pailit, menjadi
bertanggung jawab secara finansial, akibat
kesalahan/kelalaian Direksi (Pasal 104 ayat (2) UU No.
40 Tahun 2007). Kesalahan/kelalaian tersebut harus
dibuktikan oleh kreditor berdasarkan doktrin siapa
mendalilkan, harus membuktikan (who asser must
proof).
Dalam 6 (enam) kasus kepailitan tersebut terdapat
pertimbangan mengenai extension of liability tersebut,
misalnya pada kasus PT. HCB vs PT. PKB (Persero)
111 Wawancara, Ricardo Simanjuntak, SH, LLM, Anziif, CIP, Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia, Jakarta Selatan: 7 September 2011.
218
(Putusan MA No. 21/K/N/2000), dua Anggota Direksi
(Drs. Akhmal Wahid dan Drs. Muchlis Hamid, MBA)
bertanggung jawab secara pribadi, karena melakukan
tindakan ultra vires atas 4 (empat) lembar surat
sanggup senilai. Termohon pailit tidak bertanggung
jawab atas utang sehingga permohonan pernyataan
pailit ditolak. Penolakan terhadap permohonan
pernyataan pailit yang tidak memenuhi syarat
kesederhanaan pembuktian (summarily proving) terkait
dengan segi formil permohonan pernyataan pailit.
b. Analisis dari segi formil: Tindakan ultra vires
menyebabkan permohonan pernyataan pailit ditolak
dengan alasan tidak memenuhi unsur pembuktian
sederhana (summarily proving)
Tindakan Ultra Vires menyebabkan unsur pembuktian
sederhana (summarily proving) sebagaimana
disyaratkan dalam Pasal 6 ayat 3 UU No. 4 Tahun
1994 (diperbaharui menjadi Pasal 8 ayat (4) UU No. 37
Tahun 2004) khususnya mengenai siapa debitor
menjadi kabur, sehingga Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa permohonan
pernyataan pailit tersebut tidak memenuhi unsur
pembuktian sederhana (non-summarily proving). Akibat
dari tidak memenuhi unsur pembuktian sederhana
adalah ditolaknya permohonan pernyataan pailit, oleh
karena hakim Pengadilan Niaga tidak berwenang
untuk memutus kasus tersebut.
219
Hal yang menarik adalah dalam Kasus PT. HCB vs PKB
(Putusan MA No. 21 K/N/2000), dan kasus PT. ATD vs
WW (Putusan MA No. 30 K/N/2004), Majelis Hakim
MA menolak dengan alasan tidak memenuhi unsur
pembuktian sederhana, lalu mengarahkan Pemohon
Pailit untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Umum
pada Pengadilan Negeri setempat. Yang menjadi
pertanyaan mendasar adalah, mengapa hakim
peradilan Niaga tidak memberi ruang bagi pertanggung
jawaban pribadi Organ Perseroan di dalam
putusannya? Mengapa tanggung jawab pribadi Organ
hanya sampai pada pertimbangan saja? Hal ini
menjadi kajian menarik.
Menurut penulis, seharusnya Organ Perseroan bisa
ditarik untuk bertanggung jawab secara pribadi
(personal liability) berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No.
40 Tahun 2007 bagi Pemegang Saham, Pasal 104 ayat
(2) UU No. 40 Tahun 2007 bagi Anggota Direksi dan
Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. Namun,
sampai saat ini penulis belum pernah menemukan
putusan kepailitan yang mewadahi tanggung jawab
pribadi ini.
Dalam wawancara dengan seorang kurator, Ricardo
Simanjuntak, Organ Perseroan dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pribadi pada tahap
pengurusan boedel pailit oleh kurator. Artinya,
berdasarkan bukti-bukti dimana Organ Perseroan
memiliki tanggung jawab atas utang, Organ Perseroan
dapat dimintai pertanggungjawaban untuk
220
memasukkan harta pribadinya ke dalam boedel pailit
Perseroan sebagai perluasan tanggung jawab (extension
of liability)
Menurut beliau, secara teori, hal ini mudah diucapkan,
namun dalam prakteknya hal ini sulit. Bahkan untuk
menentukan besarnya piutang, kurator seringkali
berhadapan dengan sengketa antara debitor dan
kreditor. Apalagi untuk menarik Organ Perseroan ke
dalam untuk bertanggung jawab secara pribadi.112
5. Tanggung jawab secara tanggung renteng: solusi
penanggulangan kepailitan Perseroan sebagai
perwujudan keadilan korektif (corrective justice)
Tindakan ultra vires berkaitan dengan syarat formal
sahnya perjanjian utang piutang (mis. sahnya promissory
notes, letter of indeminity) antara Perseroan dengan pihak
ketiga. Ketika syarat formal ini tidak terpenuhi maka
secara hukum, Anggota Direksi bertindak tidak sesuai
kapasitasnya untuk mewakili Perseroan; melampaui
wewenang (ultra vires). Tapi dalam hal transaksi sebagai
lanjutan dari tindakan ultra vires itu dieksekusi, maka
Perseroan memperoleh manfaat ekonomi dari tindakan
ultra vires tersebut. Perolehan manfaat ekonomi yang
dimaksud adalah secara riil, dana tersebut masuk ke
rekening Perseroan, bukan ke rekening pribadi Anggota
112 Penjelasan lebih lanjut mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi kurator dalam membereskan harta pailit dapat dibaca dalam artikel Ricardo Simanjuntak, Efektivitas UU Kepailitan dalam Perspektif Kurator dikaitkan dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 28, No. 1 Tahun 2009, hal. 37
221
Direksi. Oleh karena itu, adalah tidak adil jika kepailitan
yang terjadi karena tindakan ultra vires Anggota Direksi,
hanya ditanggungjawabi oleh Anggota Direksi.
Seharusnya, Perseroan bertanggung jawab secara
tanggung renteng dengan Anggota Direksi. Di satu sisi,
Anggota Direksi bersalah karena telah melakukan
tindakan ultra vires dalam membuat perjanjian utang-
piutang dengan pihak ketiga. Di sisi lain, Perseroan
memperoleh manfaat ekonomi akibat tindakan ultra vires
Anggota Direksi tersebut. Sehingga, baik pihak yang
melakukan kesalahan, maupun pihak yang menerima
manfaat ekonomi, keduanya harus bertanggung jawab
secara tanggung renteng.
Dari enam kasus kepailitan terpilih, penulis mendapati ada
kecenderungan dari hakim untuk memilah dengan tegas
pertanggungjawaban Perseroan dengan
pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi. Jika dalam
proses persidangan terbukti, bahwa utang kepada pihak
ketiga adalah utang Perseroan maka Perseroanlah
bertanggung jawab; permohonan pernyataan pailit
dikabulkan; Perseroan dipailitkan. Sebaliknya jika dalam
proses persidangan terbukti bahwa Anggota Direksi yang
bertanggung jawab maka Anggota Direksi tersebut
bertanggung jawab secara pribadi; permohonan
pernyataan pailit ditolak; Perseroan tidak dipailitkan; tidak
bertanggung jawab atas utang.
Mengenai dikabulkan atau ditolaknya suatu permohonan
pernyataan pailit, memang terkait dengan tuntutan
222
(petitum) dari Pemohon Pailit dan sifat pasif hakim dalam
memutus perkara; tidak boleh lebih atau kurang dari apa
yang dituntut oleh Pemohon Pailit. Bisa jadi, hakim tidak
mempertimbangkan tanggung jawab Anggota Direksi
secara serius karena Pemohon Pailit tidak memintanya
dalam petitum. Logika hukumnya, jika tanggung jawab
Direksi tidak termasuk dalam petitum, maka hakim tidak
bisa mewadahi tanggung jawab Anggota Direksi tersebut
dalam putusan.
Pada umumnya, dalil pertanggungjawaban Anggota Direksi
diajukan oleh Termohon Pailit, bukan Pemohon pailit (vide
cases notes). Dalil pertanggungjawaban Anggota Direksi
digunakan sebagai tangkisan untuk menghindari
kepailitan oleh Termohon Pailit (vide Case Note PT. PKB vs
PT. HCB dan kasus PT. ATD vs PT. WW). Dari sisi
Termohon Pailit, Termohon Pailit menggunakan dalil
pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi sebagai
akibat tindakan ultra vires Anggota Direksi tersebut
sebagai dasar untuk meminta hakim menolak permohonan
pernyataan pailit; bukan untuk menuntut hakim untuk
memutuskan mengenai adanya pertanggungjawaban
Anggota Direksi dalam kasus tersebut.
Dari analisis tersebut, nyata bahwa dalil
pertanggungjawaban Anggota Direksi hanya digunakan
oleh Termohon Pailit sebagai alat untuk menghindari
kepailitan, bukan untuk menarik Anggota Direksi agar
bertanggungjawab secara tanggung renteng dengan
Perseroan dalam kepailitan. Akibatnya, dalil
223
pertanggungjawaban Anggota Direksi tersebut tidak bisa
diwadahi oleh hakim dalam putusannya.
Terobosan (breakthrough) pemikiran dari penulis, dalil
pertanggungjawaban Anggota Direksi berdasarkan lima
doktrin tertransplantasi khususnya doktrin yang
melemahkan Anggota Direksi (ultra vires, piercing the
corporate veil dan self dealing) seharusnya bisa dijadikan
dasar untuk menarik Anggota Direksi agar bertanggung
jawab secara tanggung renteng dengan Perseroan dalam
kepailitan. Begitu pula dengan peraturan tentang tanggung
jawab Anggota Direksi dalam kepailitan (Pasal 104 ayat (2)
UU No. 40 Tahun 2007).
Menurut penulis, tanggung jawab secara tanggung renteng
antara Perseroan dan Anggota Direksi merupakan model
yang ideal dalam menanggulangi kepailitan Perseroan yang
disebabkan oleh tindakan ultra vires Anggota Direksi.
Tanggung jawab secara tanggung renteng adalah adil bagi
kedua belah pihak. Di satu sisi, Anggota Direksi memang
bersalah karena telah melakukan tindakan ultra vires
dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak
ketiga, tapi adalah tidak adil, jika Anggota Direksi tersebut
hanya bertanggung jawab secara pribadi, padahal di sisi
lain, manfaat ekonomi dari dana hasil pinjaman tersebut
dinikmati oleh Perseroan.
Hukum tertulis (dalam hal ini yurisprudensi; dalam hal ini
putusan hakim Pengadilan Niaga) harus menjadi alat bagi
224
penerapan teori keadilan korektif (corrective justice) 113,
yang berintikan ajaran bahwa keadilan tercipta apabila ada
“pemulihan akibat tindakan” yang dilakukan orang
dalam hubungannya satu sama lain.
Perseroan sebagai “manusia buatan” dan Anggota Direksi
sebagai Organ Perseroan yang menjadi “agent” dari
Perseroan, jelas berhubungan erat satu dengan yang lain
(vide fungsi pengelolaan, Pasal 92 ayat (1) dan fungsi
representasi, Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007).
Tindakan ultra vires Anggota Direksi mengakibatkan
Perseroan, secara formal “dirugikan”, karena tidak
memenuhi syarat formal dalam Anggara Dasar Perseroan
dimaksud. Namun, secara material, Perseroan
“diuntungkan”, karena Perseroanlah yang menikmati
manfaat ekonomi dari tindakan Direksi yang tidak
memenuhi syarat formal tersebut. Sehingga, menurut
penulis, “pemulihan akibat tindakan ultra vires Direksi”
kepada pihak ketiga, seharusnya dilakukan secara
tanggung renteng antara Perseroan dan Anggota Direksi.
Jika Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas utang,
maka, dari sudut “pemulihan akibat tindakan” kepada
pihak ketiga yaitu “adanya pelunasan atas utang” memang
sudah tercapai. Tapi apabila Anggota Direksi hanya
melakukan “pemulihan” itu sendirian, maka “pemulihan”
tersebut sejatinya “melukai” dirinya sendiri. Mengapa?
113 Keadilan korektif (corrective justice) termasuk salah satu jenis teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf dari aliran hukum alam. Lihat: Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, 2007, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 86. Bandingkan dengan konsep keadilan korektif dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, 2006, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 157
225
Karena dana pinjaman yang ia kembalikan, secara riil
tidak dinikmati olehnya. Dengan demikian, nilai keadilan
yang berintikan pada “pemulihan” itu tidak tercapai bagi
Anggota Direksi tersebut. Oleh karena itu, penulis
berpandangan bahwa, penanggulangan atas kepailitan
akibat tindakan ultra vires Direksi, seharusnya dilakukan
dengan tanggung jawab secara tanggung renteng.
Yurisprudensi Pengadilan Niaga seharusnya bisa
mewadahi pertanggungjawaban dalam pertimbangan
maupun putusannya dengan menggunakan doktrin
tertransplantasi maupun peraturan perundang-undangan
terkait pertanggungjawaban Organ Perseroan dalam
kepailitan yang telah dijelaskan penulis. Agar
pertanggungjawab Organ bisa terwadahi dalam putusan,
maka baik Pemohon maupun Termohon Pailit seharusnya
bisa membangun dalil tentang pertanggungjawaban Organ
dan memasukkannya dalam petitum. Hal ini bukan
semata-mata sebagai “dasar tuntutan pembayaran
piutang” bagi Pemohon pailit atau “tangkisan untuk
menghindari kepailitan” bagi Termohon Pailit, tetapi lebih
dari pada itu, untuk memenuhi rasa keadilan, sehingga
“pemulihan akibat tindakan” yang dilakukan, bukan pada
akhirnya “mengakibatkan luka”, tetapi benar-benar
“membawa pemulihan” bagi kreditor, debitor maupun
Anggota Direksi sebagai Organ Perseroan terkait.
226
6. Kepailitan akibat tindakan ultra vires Direksi bisa
dicegah dengan pelaksanaan Prinsip Tata Kelola
Perseroan yang baik (Good Corporate Governance)
Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila masing-masing
Organ Perseroan melakukan fungsinya masing-masing
sesuai dengan prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik
(Good Corporate Governance) (vide Bab II). Tak kalah
penting adalah masing-masing Organ Perseroan
meletakkan masing-masing Organ lain pada fungsinya.
Misal, dalam memutuskan hal-hal penting bagi Perseroan,
Direksi meletakkan Dewan Komisaris pada fungsinya
untuk meratifikasi perjanjian utang-piutang, maka
kemungkinan terjadinya kepailitan akibat tindakan ultra
vires Direksi dapat dicegah.
Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap
pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat
strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut,
Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan
ratifikasi dari Dewan Komisaris.
Dalam beberapa kasus yang telah diulas, kepaillitan
seringkali disebabkan karena adanya utang yang telah
jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata perjanjian
hutang-piutangnya tidak diratifikasi oleh Dewan
Komisaris. Dalam hal ini terjadi ultra vires dalam proses
perjanjian dengan pihak ketiga menyangkut keputusan
strategis yaitu Direksi tidak meminta nasihat dan ratifikasi
dari Dewan Komisaris. Ultra vires ini merupakan
227
pelanggaran terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang
baik, dimana Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan
Komisaris untuk memberikan nasihat dan melakukan
ratifikasi terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya
strategis.
Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila Direksi
menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak
memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan
fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi untuk
mengelola Perseroan (termasuk di dalamnya keuangan
Perseroan) secara hati-hati (duty of care).
Menjalankan fungsi adalah hal penting bagi masing-
masing Organ. Tetapi meletakkan Organ lain pada
fungsinya merupakan hal yang tidak kalah penting, karena
sejatinya masing-masing Organ bekerja dalam suatu
kesatuan untuk membangun “satu tubuh” yaitu
Perseroan.
Demikian hasil penelitian dan analisis mengenai Tanggung Jawab
Organ Perseroan dalam Kasus-kasus Kepailitan.