bab iii hasil penelitian a. gambaran umum tentang...
TRANSCRIPT
1
BAB III
HASIL PENELITIAN
Dalam Bab III ini, penulis akan membahas hasil penelitian yang dimulai dengan
pembahasan tentang daerah penelitian yaitu Niki-niki di Kabupaten Timor Tengah Selatan,
kemudian di lanjutkan dengan pembahasan tentang makna corak buaya dalam karya seni
budaya Timor.
A. Gambaran Umum tentang wilayah Niki-Niki di Timor Tengah Selatan
A.1. Keadaan Geografis
Niki-niki merupakan Ibu kota dari kecamatan Amanuban Tengah yang terletak di
Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan letak astronomis 9'26' - 10'10' Lintang Selatan dan
124'49'01" - 124'04'00" Bujur Timur.1 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Oenino,
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kuatnana, sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Oenino, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ki’e. 2
Sama halnya dengan daerah-daerah di propinsi Nusa Tenggara Timur, Niki-niki juga
beriklim Tropika Semi Lembab dengan curah hujan rata-rata tergolong pada klasifikasi
sangat rendah sampai dengan sedang. Musim hujan yang efektif yaitu antara bulan Desember
sampai dengan bulan April, sedangkan bulan-bulan lainnya adalah bulan kering atau kemarau
yang berkepanjangan. Curah hujan rata-rata 750 mm per tahun, hari hujan rata-rata 78 hari
per tahun dengan suhu rata-rata adalah 24° C.3
1http://ttskab.go.id/webtts2011/index.php?option=com_content&task=view&id=14&Itemid=31.website
, diunduh pada hari 17 September, pukul 18.33 WIB. 2Wawancara dengan Bapak Thimotius Nakamnanu (Tokoh Masyarakat) pada tanggal 20 Agustus 2012. 3 John Wens Rumung. Misteri Kehidupan Suku Boti, (Kupang: Yayasan Boti Indonesia, 1998), 3.
2
A.2. Masyarakat Niki-niki
Budaya
Walaupun ada bermacam-macam suku bangsa di Niki-niki, baik itu penduduk asli
maupun pendatang, masyarakat tersebut tetap memegang prinsip gotong royong, tolong
menolong antara satu dengan yang lain.
Dalam percakapan sehari-hari sebagian besar masyarakat Niki-niki selalu memakai
bahasa daerah (uab meto) sebagai bahasa percakapan atau alat komunikasi sehari-hari.
Apalagi dalam urusan tertentu misalnya yang ada hubungannya dengan adat istiadat
masyarakat setempat menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa adat. Dalam berbagai
kegiatan mereka selalu menunjukan sifat gotong royong misalnya membangun rumah sebagai
tempat tinggal maupun rumah sebagai tempat ibadah. Juga dalam hal menghadapi persoalan
hidup mereka saling membantu meringankan beban bersama, misalnya dalam masyarakat
tersebut ada yang mengalami sukacita atau dukacita, selalu menjadi perhatian bersama untuk
saling membantu. Hal ini lebih jelas terlihat dalam pemberian materi dan sumbangan tenaga.
Juga masyarakat ini lebih mengenal istilah bayar utang (yang dimaksud adalah hutang sosial,
bukan suatu bilangan uang) untuk meringankan beban bersama, sebab dalam pikiran mereka
mungkin diwaktu esok atau nanti, mereka juga akan mengalami hal yang sama dan orang
lainpun akan membantu mereka4.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama bagi masyarakat Niki-niki adalah di bidang pertanian. Sestim
bertani yang di kenal dalam masyarakat Niki-niki adalah berpindah-pindah dengan
penebangan hutan dan pembakaran. Tanah ladang biasanya digunakan hanya berberapa tahun
4 Wawancara dengan Bapak Yohanes Neonane, (Tokoh adat), pada tanggal 21 Agustus 2012.
3
saja, selanjutnya di tinggalkan dan kemudian mereka mencari tanah ladang baru. Alat yang
digunakan dalam berkebun adalah parang.5 Selain di bidang pertanian, masyarakat Niki-niki
juga mengenal peternakan sebagai sumber penghidupan. Ternak yang di pelihara adalah sapi,
kuda, kambing, kerbau babi, dan ayam. Teknik beternak yang dikenal adalah masyarakat
melakukan pemeliharaan yang esensial. Hewan ternak di lepas saja di padang dan di
gembalakan sedangkan pada sore hari di kandangkan.6 Selain itu, masyarakat juga mengenal
teknik kerajinan seperti tenin ikat, tempat siri pinang (oko mama), tempat kapur (tiba),
anyaman topi, tikar dan nyiru.7 Selain itu mereka juga berburu binatang liar.8
Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Niki-niki memeluk agama Kristen Protestan, Kristen Katholik dan Agama
Islam. Pada umumnya hampir seluruh masyarakat yang diteliti menganut agama Kristen
Protestan. Dalam agama dan kepercayaan asli orang Meto, mereka menghormati dan
menyembah suatu kekuatan yang tinggi yang dalam bahasa sehari-hari di sebut Uis Neno
Mnanu yang berarti Tuhan langit yang tertinggi. Karena yang tertinggi itu tak terjangkau oleh
manusia, maka lewat kekuatan yang lebih rendah manusia menyampaikan hasrat dan
permohonannya kepada yang tertinggi. Karena akal manusia tidak dapat menjangkau yang
transenden itu, maka yang tertinggi diberi nama-nama julukan atau nama-nama simbolis,
misalnya sebagai yang sangat luas dan lebar (meunuan), panjang (mnanu), dan juga bapak-
ibu (ama-aina), sebagai bapak langit (Neno anan), dan ibu bumi (Pah tuaf). Dalam agama
Leluhur atoni pah meto, ada kepercayaan bahwa ada satu dewa tertinggi yang disebut Uis
Neno (Tuhan Langit). Uis neno adalah Tuhan Sorgawi atau Tuhan matahari. Ia dianggap
5 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, 2007), 47. 6 Ibid., 56. 7 Ibid., 57. 8 Ibid., 41.
4
sebagai yang yang memberikan kelurusan dan kejujuran, yang memberikan kesegaran. Ia
yang bercahaya dan melindungi, memelihara dan memberikan makanan. Ia adalah alamat
doa-doa dinaikan agar ia melindungimanusia. Menurut mereka, uis neno menjelma dalam
berbagai bentuk seperti: buaya, air, bulan dan matahari; wujud atau sumber kebenaran (tetus)
dan pemberi kesegaran, sumber cahaya dan bentuk badan yang indah, wujud yang paling
mulia; wujud pembawa perubahan dan pembawa pembaharuan.9
Objek pemujaan lain yang dianggap sebagai pancaran pemujaan uis neno, yaitu uis
pah (dewa bumi), nitu pah (arwah nenek moyang) yang mendiami bumi dalam setiap benda
yang ada dan hidup diatasnya. Dewa bumi dan para nitu merupakan penjelmaan uis neno
dalam mengurus langsung kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam praktek kepercayaan
yang pertama-tama dipanggil dalam setiap upacara adalah dewa bumi dan para nitu. Mereka
dianggap sebagai yang paling dekat dengan manusia yang masih hidup. Mereka juga sebagai
perantara yang bertujuan untuk menyampaikan keinginan manusia kepada uis neno mnanu.
Selanjutnya buaya yang dihormati sebagai uis oe yang memberikan kesejukan dan sumber
berkat. Objek pemujaan ini dikenal sebagai uis neno pala (tuhan terendah yang bisa dilihat
dengan mata jasmani). Dengan pernyataan ini, maka orang tua juga di pandang sebagai Uis
neno pala oleh karena ia merupakan wakil Allah di dunia ini, yang patut dihargai dan
dihormati oleh anak-anak.10
A.2. Sejarah nama Niki-niki
Kata Niki-niki berasal dari kata ‘Nik-nik’. Kata ini berasal dari cerita rakyat yang
berkembang dalam masyarakat Niki-niki. Di dalam mitos itu, di katakan bahwa pada saat
pembukaan Etu Bak-baka di Boti, Putra raja diutus bersama dengan pengawal-pengawalnya
9 A.A. Yewangoe. Pendamaian, (BPK Gunung Mulia, 1983) 46. 10 Ibid., 47.
5
dan juga dua ekor anjing pemburu dari Tunbes ke Boti, di dalam perjalanan mereka, mereka
beristirahat di tempat yang sekarang di sebut Niki-niki. Ketika mereka sedang beristirahat,
tiba-tiba kedua ekor anjing pemburu milik putra raja menghilang. Tidak lama kemudian,
salah seekor anjing pemburu milik putra raja dating menghampiri tuannya sedangkan yang
seekor tidak muncul. Anjing yang dating itu, tidak menggonggong, tetapi justru menjilat-jilat
tuannya sambil berlari mengelilingi tuannya sambil menyuarakan nik-nik dan lari kembali
kedalam hutan. Melihat tingkah laku dari anjing itu, putra raja dan para pengawalnya
mengikuti arah ke mana anjing itu pergi. Dalam perjalanan menuju ke hutan, mereka melihat
anjing itu sedang duduk menjaga mangsanya yang telah mati di terkam. Dari peristiwa
tersebut, maka sejak saat itu, putra raja memberikan nama tempat itu Nik-nik yang berarti
menjilat-jilat, melihat-lihat ke belakang. Penyebutan Nik-nik lama kelamaan diganti dengan
nama Niki-niki.11
B. Corak
Seperti yang sudah penulis sebutkan di atas, kerajinan tangan yang dilakukan orang
Meto adalah menenun dan mengukir. Tenunan merupakan salah satu karya seni yang paling
terkenal dalam kebudayaan orang Meto. Karya seni tenunan merupakan karya seni yang
dikerjakan sepenuhnya oleh kaum perempuan. Seorang perempuan akan dianggap dewasa
jika dia sudah bisa menghasilkan selembar kain selimut untuk laki-laki (mau) dan kain sarung
untuk perempuan (tais). Untuk menampilkan keindahan pada kain tenunan ikat, maka
seorang perempuan akan menampilkan corak ragam hias yang menarik. Jika kaum
perempuan Meto mengerjakan karya seni tenunan, maka kaum Laki-laki mengerjakan karya
seni mengukir.
11 Ibid., 115.
6
Corak yang ditampilkan dalam selembar kain tenun ikat bukan saja dibuat untuk
menampilkan keindahan kain tenun ikat itu, tetapi ada juga pesan-pesan yang ditampilkan
dalam corak yang ada. Pertama, corak pada selembar kain tenunan sebagai tanda pengenal
dari pembuat tenun ikat. Dari corak yang ditampilkan, jelas menunjukan siapa penenunnya,
asal-usul marganya, dan daerah asal penenun yang tentu saja berkaitan erat dengan mitos
asal-usul satu marga.12 Misalnya motif Ular piton yang sering dipakai oleh Masyarakat
Amanuban, Motif Ayam yang sering dipakai oleh masyarakat Mollo dan motif bunga yang
sering dipakai oleh masyarakat Amanatun. Kedua, corak yang ditampilkan dalam selembar
kain tenunan memiliki karakter sakramental atau pesan spiritual yang disampaikan. Di dalam
corak yang ditampilkan, tampaknya bercerita tentang keyakinan dan nilai-nilai religius yang
dianut oleh komonitas pemilik corak.13 Misalnya motif ayam yang memberikan pesan
persaudaraan, motif kaki dan lengan manusia yang memberikan pesan kepribadian pemakai.
Ketiga, corak dalam kain tenunan memiliki karakter eskatologis. Maksudnya adalah corak
yang ada dijadikan oleh pemiliknya sebagai tanda pengenal untuk dapat diterima dan
diijinkan masuk ke dunia para leluhur pada saat rohnya melakukan perjalanan dari dunia
orang hidup kedunia orang mati. Inilah alasan mengapa seorang yang meninggal dunia selalu
dimakamkan bersama dengan semua kain tenun yang adalah miliknya.14
Ada begitu banyak corak yang muncul dalam kain tenunan ikat, seperti corak
geometris, bunga, sisik, ular, buaya, cecak, udang, segitiga, dan ayam. Namun dapat dilihat
bahwa dari semua corak yang ada, corak buaya menduduki posisi yang cukup penting dalam
kehidupan orang meto. Hal ini dikarenakan Buaya dianggap sebagai penguasa air yang
mempu member segala bagi orang Timor. Corak buaya tidak hanya muncul dalam kain
tenunan ikat, tetapi juga muncul dalam karya seni seperti tempat siri (oko mama), dan tempat
12 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalamBudaya, (Maumere:Ledalero, 2005), 82-83. 13 Ibid., 83-84. 14 Ibid., 84.
7
kapur dan tembakau (tiba). Selain itu, corak buaya juga muncul sebagai dekorasi dalam
rumah. Jika kondisi seperti ini bagi Emile Durkheim adalah totem, maka seperti apakah
pandangan orang Meto tentang buaya dan corak buaya. Penulis akan mencoba menguraikan
beberapa pandangan orang Meto tentang Buaya dan Makna corak buaya yang muncul secara
mencolok dalam karya seni budaya.
C. Makna Corak Buaya dalam tenunan dan ukiran budaya
C.1. Buaya
Menurut Yohanis Neonane,15 Sejak dunia diciptakan, Tuhan Allah menempatkan
buaya hidup di Air dan manusia hidup di darat. Buaya adalah binatang yang memakan segala
jenis binatang lain yang ada di dunia ini, baik itu babi, ayam, sapi, kambing, dan binatang
lainnya, bahkan buaya bisa memakan manusia. Oleh karena itu, ketika manusia melihat
buaya, manusia pasti akan ketakutan dan lari. Bagi orang meto, buaya adalah objek kekuatan,
buaya adalah yang utama, yang besar, dan yang kuasa dalam kehidupan.
Menurut Thimotius Nakamnanu16, buaya di pandang masyarakat suku meto sebagai
pemberi hidup, hal ini di sebabkan karena kondisi alam pulau Timor yang kering atau musim
kemarau yang berkepanjangan, sehingga air merupakan kerinduan orang Meto. Oleh karena
15 Wawancara dengan bapak Yohane Neonane, (Tokoh ada), pada tanggal 21 Agustus 2012. 16 Wawancara dengan Bapak Thimotius Nakamnanu, (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 22 Agustus
2012.
8
itu, nama-nama daerah di Pulau Timor didahului dengan kata Oe.17 Masyarakat suku meto,
percaya bahwa segala kehidupan yang ada dalam dunia ini berasal dari air, dan buaya yang
hidup di air itu dianggap sebagai pemilik air dan juga penguasa air dan biasanya mereka
menyebut buaya sebagai uis oe18 (raja air) yang mampu memberikan segala kehidupan. Oleh
karena anggapan ini, kebanyakan orang suku meto, menjadikan buaya sebagai objek
penyembahan. Mereka menyembah buaya karena mengganggap buaya sebagai pemberi
berkat yang akan memberikan kekayaan, baik itu sapi, kuda, kerbau, babi, ayam, emas, perak,
dan sebagainya. Selain itu juga, ketika sepasang suami istri yang sudah menikah bertahun-
tahun namun belum dikaruniai anak, akan menyembah buaya untuk meminta anak dari
buaya. Orang suku meto juga meminta hujan dari buaya ketika musim kemarau yang
berkepanjangan.
Menurut Selvianus Talan,19 penyembahan kepada buaya dilakukan oleh masing-
masing orang, bukan berkelompok. Ketika seseorang akan menyembah buaya, dia akan pergi
ke Pantai, atau ke sungai yang ada buaya, kemudian dia akan memanggil buaya dengan
berkata Uis oe (raja air), saya ingin berbicara dengan tuan. Ketika orang itu berkata demikian,
uis oe akan keluar dan meminta persembahan kepada orang itu baik itu babi merah, babi
putih atau babi hitam sesuai dengan apa yang uis oe inginkan. Kemudian, uis oe akan
menentukan waktu untuk orang itu kembali membawa persembahannya. Setelah itu, buaya
kembali kedalam air, dan orang itu juga akan kembali ke rumahnya dan mempersiapkan
persembahan yang diminta uis oe. Setelah sampai pada waktu yang ditentukan, orang itu
akan kembali ke tempat buaya dan memanggil buaya keluar untuk menerima persembahan
yang dia bawa. Setelah buaya selesai memakan persembahan yang dibawa, maka buaya akan
17 Oe dalam bahasa dawan berarti air. 18 Uis oe adalah sebutan bahasa Dawan untuk raja air. 19 Wawancara dengan Bapak Selvianus Talan, (Tokoh Adat), pada tanggal 21 Agustus 2012.
9
memberikan kesempatan kepada orang itu untuk meminta apa yang dia inginkan dan
keingginannya itu akan tercapai.
Menurut Nani Nakamnanu20, dahulu ketika dia masih kecil, ada tetangga mereka yang
marganya Missa21, keluarga ini adalah keluarga yang cukup miskin. Namun, ketika bapak
Missa pergi dan menyembah buaya untuk meminta kerbau dan sapi, buaya berpesan kepada
dia untuk pulang ke rumahnya dan mempersiapkan kandang yang besar. Ketika bapak Missa
itu pulang, dia membuat kandang yang sangat besar, dan ketika malam hari, kerbau dan sapi-
sapi berdatangan dari pantai dan memenuhi kandang yang sudah dibuat oleh bapak Missa.
Ketika pagi tiba, semua orang terkejut karena kandang yang kemarin kosong sudah di penuhi
dengan kerbau dan sapi.
Menurut Paulus Nomtanis22, ketika sepasang suami istri yang sudah menikah
bertahun-tahun tapi belum dikaruniai anak, maka mereka berdua akan pergi ke pantai atau
sungai untuk bertemu dengan uis oe, ketika mereka bertemu dengan uis oe, maka mereka
memberikan persembahan kepada uis oe dan memberitahukan maksud kedatangan mereka
yaitu meminta kepada uis oe untuk mengaruniakan kepada mereka anak. Setelah mereka
meminta anak dari uis oe, maka 9 bulan kemudian perempuan itu akan melahirkan anak baik
itu perempuan atau laki-laki sesuai dengan permintaan yang mereka minta saat itu.
Setelah mendengar beberapa pendapat orang meto tentang buaya, maka dapat dilihat
bahwa dalam kehidupan orang meto, buaya dianggap sebagai yang kuasa yang mampu
memberikan segala sesuatu bagi mereka. Hal ini disebabkan oleh mitos yang berkembang
dalam kehidupan orang meto. Menurut mitos itu, seekor anak buaya dalam keadaan sekarat di
suatu tempat kering karena tidak tahu jalan ke laut. Seorang anak melihat anak buaya itu, dia
20 Wawancara dengan Bapak Nani Nakamnanu, (tokoh Masyarakat), pada tanggal 26 Agustus 2012. 21 Bapak Missa adalah seorang penyembah buaya.
22 Wawancara dengan Bapak Paulus Nomtanis, (tokoh Adat), pada tanggal 24 Agustus 2012.
10
merasa kasian, kemudian ia mengambil anak buaya itu lalu membawanya ke pantai. Pada
waktu buaya itu masuk ke dalam air, laut menjadi naik sehingga tidak ada lagi daratan. Hidup
anak laki-laki itu terancam. Sebagai ungkapan terima kasih, buaya itu menawarkan
punggungnya kepada si anak dan berjanji akan melindungi si anak dari bahaya. Buaya itu
menjadi makin tua. Ketika ajalnya mendekat, dia berenang ke suatu tempat. Dia meminta
anak itu dan keturunan untuk tetap tinggal di atas punggungnya. Mereka boleh menikmati apa
saja yang tersedia di punggung serta di dalam tubuh sang buaya. Buaya kemudian mati.
Bangkai tubuhnya segera berubah menjadi daratan, yakni pulau Timor yang kini didiami oleh
suku meto.23
C.2. Manusia dan buaya
Menurut Chornelis Banamtuan24, pada jaman dahulu, manusia kawin dengan buaya.
Perkawinan antara manusia dengan buaya terjadi karena manusia ingin meminta kekayaan.
Ada beberapa cerita yang berkembang dalam masyarakat Niki-niki tentang perkawinan
manusia dengan buaya. Cerita yang pertama (terjadi di Kolbano), dahulu ada seorang pemuda
bernama Lukas Liunome. Pemuda itu adalah pemuda yang sangat miskin. Pekerjaan Lukas
adalah memancing ikan di Pantai. Pada suatu hari, ketika Lukas sedang memancing, kail
pancing milik Lukas termakan oleh buaya, karena Lukas berpikir bahwa kail ikannya
termakan oleh ikan besar, maka dengan senang hati, dia menarik pancing dengan keras dan
ternyata hasilnya tidak ada ikan yang didapat tetapi kail pancingnya tertinggal di dalam laut.
Lukas sangat kecewa, dan Lukas berusaha untuk menemukan kail pancingnya karena dia
tidak punya uang untuk membeli kail yang baru. Lukas terus mencari kailnya hingga hari
mulai gelap. Karena melihat kegelapan telah menutupi dunia, Lukas memutuskan untuk
pulang dan akan melanjutkan pencariannya esok pagi. Ketika pagi tiba, Lukas langsung pergi
23 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam budaya, (Maumere, Ledalero 2005), 142.
24 Wawancara dengan Bapak Chornelis Banamtuan, (tokoh Adat), pada tanggal 25 Agustus 2012.
11
ke pantai untuk mencari kail pancingnya yang hilang. Namun, ketika Lukas sampai ke Pantai,
dia melihat ada seorang wanita cantik yang sedang mencari sesuatu di pinggir pantai,
kemudian Lukas bertanya kepada wanita itu, apa yang sedang kamu lakukan? wanita itupun
menjawab, saya sedang mencari ramuan untuk raja saya, sejak kemarin, raja saya mengeluh
sakit di kerongkongannya. Lukas kemudian berkata: Jika rajamu menghendaki, saya akan
pergi untuk melihat raja kamu, dan menyembuhkan sakit di kerongkongannya. Kemudian
wanita itupun berkata kepada Lukas, untuk bertemu dengan wanita itu esok pagi. Setelah itu
wanita itupun masuk kedalam laut. Lukas Liunome yakin bahwa sakit raja wanita itu
disebabkan karena kail pancingnya. Keesokan harinya, ketika Lukas pergi ke Pantai untuk
bertemu dengan wanita itu, ternyata wanita itu telah sampai terlebih dahulu di tempat
perjanjian. Wanita itupun berkata kepada Lukas bahwa raja berkenan untuk di sembuhkan
Lukas. Kemudia Lukas dan wanita itupun masuk ke dalam laut dan pergi ke istana raja.
Ketika tiba di istana raja, ternyata wanita dan raja itu adalah buaya. Lukas segera memeriksa
tenggorokan raja, dan meminta ijin kepada raja untuk membuka mulut raja. Lukas kemudian
memasukan tangannya kedalam mulut raja dan menarik benda yang ada dalam tenggorokan
buaya, ternyata benda itu adalah kail miliknya. Kemudia Lukas menyembunyikan kail itu dan
menunjukan akar puhon yang dibawanya dari darat dan menunjukan kepada raja bahwa akar
itulah yang menyebabkan tenggorokannya sakit. Setelah itu tenggorokan rajapun sembuh.
Raja merasa sangat berhutang budi kepada Lukas, dan untuk berterima kasih kepada Lukas,
buaya menunjukan emas berkarung-karung dan perak berkarung-karung kepada Lukas dan
berkata kepada Lukas semua ini adalah milikmu, tapi Lukas tidak menerimanya. Raja
semakin tertarik kepada Lukas yang tidak tergila-gila kepada hartanya. Kemudian tanpa pikir
panjang, raja menawarkan putri tunggalnya untuk menikah kepada lukas, Lukaspun
menerima tawaran itu. Ketika putri dan Lukas akan pergi dan tinggal di darat, raja berpesan
kepada mereka untuk setiap 6 bulan mereka harus datang ke istana untuk melihat raja. Satu
12
pesan yang tidak boleh dilanggar oleh lukas adalah pitrinya hanya boleh bersetubuh
dengannya, tidak boleh ada pemuda lain yang bersetubuh dengan putrinya. setelah itu, putri
dan Lukaspun berangkat ke darat. Lukas menjadi sangat kaya karena memiliki banyak
binatang (sapi, kuda, kerbau, kambing, ayan dan babi), dia juga memiliki rumah yang sangat
mewah, emas, dan perak. Lukas dan Putri hidup bahagia, dan melakukan perintah raja yaitu
setiap 6 bulan merek akan pergi ke istana. Namun, seiring berjalannya waktu, raja yang
berkuasa di daerah Kolbano, melihat istri lukas yang begitu cantik, dan rajapun jatuh cinta
kepada istri Lukas. Raja kemudian mengajak Lukas untuk pergi berburuh. Setelah tiba di
tempat berburuh, ternyata raja tidak membawah panah, dan kemudian raja meminta tolong
kepada Lukas untuk pergi ke istana untuk menggambil panah. Raja berpesan kepada Lukas
untuk tidak kembali sebelum menemukan panah. Lukaspun pergi dan mencari panah tapi
tidak menenukan panah itu, karena raja telah menyembunyikan panah itu. Karena terlalu
lama menunggu lukas, maka rajapun kembali dan menuduh Lukas berselingkuh dengan
istrinya. Oleh karena tuduhan ini, maka istri Lukas diambil oleh raja untuk dijadikan istri.
Sejak saat itu, Lukas jatuh miskin dan semua kekayaan yang diberikan oleh raja laut kembali
kedalam laut.
Menurut Yosafat Leobisa,25 selain cerita diatas, ada cerita tentang keluarga leobisa
yang mana dahulu nenek moyang dari keluarga Leobissa menikah dengan buaya. Pada saat
itu, nenek moyang mereka sedang menimbah air di sungai. Pada saat dia sedang menimbah
air, ada seorang pemuda tampan menegurnya dan mengajaknya bercerita. Setiap hari ketika
nenek moyang mereka pergi menimbah air, pasti dia selau bertemu dengan laki-laki itu.
Karena sudah sangat akrab, pemuda itu mengaja nenek moyang mereka untuk menikah, tanpa
pikir lagi perempuan itupun menerima tawarannya. Setelah menikah, perempuan ini tidak
mengetahui kalau suaminya itu adalah buaya. Keluarga mereka sangat kaya, dan setiap hari,
25 wawancara dengan Bapak Yosafat Leobisa, (tokoh adat), pada tanggal 23 Agustus 2012.
13
suaminya selau pergi ke kebun, tapi suaminya selalu berpesan kepada istrinya untuk tidak
boleh pergi ke kebun. Setelah tua, ketika suaminya akan meninggal, suaminya berpesan
kepada istri dan anak-anaknya untuk tidak boleh membawah binatang milik mereka pergi ke
acara kematian. Namun, suatu saat, karena saudara laki-laki dari nenek moyang mereka
meninggal, mereka mengambil binatang milik mereka untuk dibewah ke acara kematian itu.
Karena larangan itu di langgar, binatang milik merekapun hilang. Sejak saat itu, hubungan
mereka putus dengan buaya, namun dara buaya yang mengalir di dalam diri keturunan
Leobisa terus menuntut. Sudah 4 orang anak laki-laki dari Yosafat Leobissa yang meninggal
dunia, dan cara meninggal merekapun sama, yaitu meninggal secara tiba-tiba, tidak ada sakit,
dan wajah mereka akan berbentuk seperti buaya. Karena melihat kejadian yang terus terjadi
ini, maka keluarga besar Leobisa akhirnya meminta hamba-hamba Tuhan untuk mengadakan
doa kelepasan26 sehingga kehidupan keluarga mereka kembali normal tanpa ada beban lagi.
C.3. Pantangan
Menurut Paulus Nomtanis27, ketika buaya memberikan kekayaan kepada manusia,
baik itu sapi, kerbau, babi, ayam, emas, perak, pasti ada pantangan yang harus d taati oleh
manusia yang menyembah buaya. Ada beberapa pantangan yang ada, yaitu:
1. Ketika uis oe memberikan sapi, kerbau, kuda, babi, kambing, atau ayam kepada
manusia yang meminta, maka buaya akan berpesan kepada manusia itu untuk jangan
sekali-kali membawa binatang itu kepada acara kematian. Jika binatang yang
diberikan oleh uis oe itu dibawa ke acara kematian, maka uis oe akan memanggil
kembali binatang-binatang yang sudah dia berikan untuk kembali ke dalam air.
2. Ketika uis oe memberikan emas dan perak kepada manusia, maka uis oe akan
berpesan kepada manusia itu untuk jangan sekali-kali menjual atau memberikan emas
26 Doa kelepasan adalah doa untuk meminta Tuhan memisahkan keluarga Leobisa dari buaya. 27 Wawancara dengan Bapak Paulus Nomtanis, (tokoh Adat), pada tanggal 24 Agustus 2012.
14
dan parak itu kepada orang lain. Jika pantangan ini dilanggar, maka emas dan perak
yang diberikan oleh uis oe itu akan hilang dan kembali kepada air.
3. Jika uis oe memberikan kepada manusia anak, maka uis oe akan berpesan kepada
manusia itu untuk menjaga anak itu dengan baik, dan setiap anak itu berulang tahun,
maka kedua orang tua anak itu harus memberikan kepada buaya persembahan, baik
itu babi merah, babi putih atau babi hitam sesuai dengan permintaan buaya setiap
tahun. Jika pantangan ini dilanggar, maka anak itu akan sakit bahkan meninggal.
4. Jika uis oe memberikan hujan kepada manusia, maka sebelum hujan turun, manusia
harus memberikan persembahan kepada uis oe sesuai dengan permintaan uis oe.
5. Jika seseorang berhenti memberikan korban persembahan kepada buaya, maka buaya
akan marah dan akan terjadi bencana dalam kehidupannya.
Pantangan-pantangan di atas harus dilakukan oleh manusia penyembah uis oe dalam hal
menjaga hubungan manusia dengan uis oe. Menurut Yohanis Neonane28, selain 5 pantangan
yang ada, ada satu pantangan yang wajib dilakukan oleh semua masyarakat suku Meto baik
itu yang menyembah buaya atau yang tidak menyembah buaya. Pantangan itu, wajib
dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada uis oe, yang telah mengorbankan hidupnya
untuk kehidupan nenek moyang masyarakat suku meto. Pantangan itu adalah dilarang
melukai uis oe, baik itu secara sengaja ataupun tidak sengaja. Masyarakat suku meto
meyakini bahwa ketika seseorang berusaha untuk mematikan buaya, meka orang itu akan
mengalami sakit sampai dia meninggal dunia. Selain itu, menurut Bernadus Telnoni29, ketika
seseorang melempar buaya dan mengenai kepala buaya atau badan buaya, maka orang yang
melempar buaya itu juga akan mengalami luka yang sama dengan luka yang dialami oleh
buaya. Luka yang dialami orang itu, semakin hari akan semakin parah sampai dia meninggal
28 Wawancara dengan bapak Yohane Neonane, (Tokoh ada), pada tanggal 21 Agustus 2012. 29 Wawancara dengan Bapak Bernadus Telnoni, (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 21 Agustus 2012.
15
dunia. Inilah pantangan yang harus dijaga oleh orang suku meto, dan sampai sekarang
keyakinan ini masih ada.
C.4. Hubungan buaya (uis Oe) dengan Cicak (Biklusu) dan tokek (Teke)
Menurut Selvianus Talan,30 Biklusu mempunyai bentuk tubuh yang sama dengan Uis
Oe, bedanya Uis Oe memiliki tubuh yang besar, dan Biklusu memiliki tubuh yang sangat
kecil. Oleh karena kemiripan ini, orang suku meto juga menaruh keyakinan bahwa biklusu
pembawa restu uis oe. Jadi, ketika ada keluarga yang melakukan percakapan dan pada saat
yang sama, biklusu mengeluarkan suaranya, maka keluarga itu akan bersukacita. Suara
biklusu itu sebagai tanda bahwa Tuhan yang maha kuasa merestui apa yang sedang mereka
perbincangkan. Selain itu, suara biklusu juga diyakini sebagai binatang yang menunjukan
kebenaran keputusan. Ia dianggap sebagai binatang yang ikut memberikan persetujuan
kepada manusia. Bunyi biklusu sebagai tanda pemberitahuan sesuatu yang dikatakan itu
benar adalah satu ekor biklusu dengan bunyi dua sampai tiga kali. Jika perkataan itu salah,
maka didapati hanya satu ekor biklusu saja dengan bunyi juga satu kali saja. Jika ada
kematian maka ada dua ekor biklusu dan bunyinya secara terus menerus sampai kapan ada
permberitahuan kepada orang tersebut bahwa ada kematian di dalam kampung itu. Menurut
kepercayaan orang Timor, barang siapa yang membuat mati seekor biklusu, maka tangannya
akan gemetar sampai pada masa tuanya atau dengan kata lain ia tidak bisa melakukan sesuatu
pekerjaan dengan menggunakan tangannya, kecuali ada bantuan dati orang lain.
Menurut Thimotius Nakamnanu31, selain biklusu, uis oe juga memiliki kemiripan
dengan teke. Teke diyakini masyarakat suku meto sebagai pembawa berkat. Ketika teke
masuk kedalam rumah satu keluarga, maka keluarga itu akan berbahagia karena itu bertanda
30 Wawancara dengan Bapak Selvianus Talan, (Tokoh Adat), pada tanggal 21 Agustus 2012. 31 Wawancara dengan Bapak Thimotius Nakamnanu (Tokoh Masyarakat) pada tanggal 20 Agustus
2012.
16
bahwa keluarga itu akan mendapatkan berkat dalam waktu dekat. Keyakinan ini tersimpan
dalam hati orang meto, karena bagi mereka teke tidak sembarang masuk kedalam rumah.
C.5. Corak Buaya
Menurut Chornelis Banamtuan,32 selimut, sarung dan selendang yang di buat dengan
cara menenun mempunyai keunikan tersendiri karena corak yang muncul dalam kain tenun
ikat memiliki pesan spiritual tersendiri. Ada begitu banyak corak yang muncul, tetapi corak
buaya memiliki keunikan yang sangat berbeda dari corak-corak yang lain. Corak buaya tidak
hanya muncul dalam kain tenun ikat saja, tetapi corak buaya ini juga muncul di dalam ukiran
budaya suku meto baik itu tempat siri (oko mama), tempat kapur (tiba). Corak buaya juga
muncul di tembok-tembok pagar instansi, dan juga kalau kita melihat rumah-rumah yang ada
di pedalaman suku meto, kita akan menemukan bahwa di setiap rumah pemandangan yang
akan kita lihat adalah anyaman yang di buat dari daun lontar berbentuk buaya.
Menurut Bernadus Telnoni, ketika corak buaya dipakai oleh orang Timor sebagai
dekorasi rumah, hal ini sebenarnya mau menunjukan bahwa keluarga dalam rumah tangga
itu, mengharapkan perlidungan dan berkat dari buaya sebagai penguasa air.
Menurut Yohanis Neonane33, corak buaya yang sering muncul dalam kain tenunan
dan ukiran budaya suku meto, mula-mula sebagai bentuk dan ungkapan penghormatan orang
suku meto kepada buaya yang sudah memberikan tubuhnya untuk kehidupan orang suku
meto. Lebih lanjut, Thimotius Nakamnanu34, menekankan bahwa corak buaya yang sering
muncul dalam ukiran budaya Timor itu, dibuat untuk menunjukan bahwa orang suku meto
memiliki hubungan yang baik dengan buaya, dan hanya dari buayalah sumber kehidupan
terpancar.
32 Wawancara dengan Bapak Chornelis Banamtuan, (tokoh Adat), pada tanggal 25 Agustus 2012. 33 Wawancara dengan bapak Yohane Neonane, (Tokoh ada), pada tanggal 21 Agustus 2012. 34 Wawancara dengan Bapak Thimotius Nakamnanu, (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 22 Agustus
2012.
17
Selain itu, menurut Bernadus Telnoni,35 buaya memang mempunyai kedudukan yang
cukup penting bagi orang suku meto, karena kedudukan inilah, maka buaya muncul dalam
kain tenunan, dan ukiran budaya suku meto. Bernadus36 juga menekankan bahwa corak
buaya yang muncul dalam kain tenunan memiliki arti tersendiri yaitu menunjukan bahwa
semua orang suku meto berasal dari satu nenek moyang.
Menurut Sias Telnoni37, dari begitu banyak corak yang muncul dalam kain tenunan,
corak buaya memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh corak lain. Corak buaya,
tidak bisa dipakai oleh sembarang orang suku meto, padahal corak ini bisa ditenun oleh
semua perempuan suku meto. Ini berarti bahwa semua orang bisa memiliki tenunan bercorak
buaya. Tapi rasa hormat kepada buayalah yang membuat sehingga corak yang bisa dimiliki
oleh semua orang tidak sembarang dipakai orang, tapi hanya dipakai oleh orang-orang
tertentu saja. Orang-orang yang bisa menggunakan tenunan bercorak buaya adalah orang
yang berpangkat raja (Usif)38. Tenunan bercorak buaya hanya bisa di pakai oleh usif saja
karena bagi orang Timor, usif sebagai perpanjangan tangan dari yang maha kuasa, sehingga
dengan demikian hanya usif saja yang bisa menggunakan kain tenunan bercorak buaya.
Menurut Paulus Nomtanis,39 meskipun kain tenunan bercorak buaya hanya bisa di
pakai oleh usif saja, namun kain tenunan ini tidak dipakai setiap hari, tetapi hanya bisa di
pakai saat pesta saja. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk membedakan yang mana usif, dan
yang mana to40.
Selain itu, menurut Laka Faot, corak buaya yang muncul dalam karya seni juga
mempunyai hubungan dengan kehidupan setelah kematian. Orang meto, percaya bahwa
35 Wawancara dengan Bapak Bernadus Telnoni, (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 21 Agustus 2012. 36 Ibid. 37 Wawancara dengan Bapak Sias Telnoni, (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 24 Agustus 2012. 38 Usif adalah sebutan untuk raja dalam bahasa dawan. 39 Wawancara dengan Bapak Paulus Nomtanis, (tokoh Adat), pada tanggal 24 Agustus 2012. 40 To adalah masyarakat.
18
setelah seseorang meninggal, maka dia akan kembali kepada leluhur. Bagi orang meto, ketika
seorang yang meninggal melakukan perjalanan dari dunia orang hidup ke dunia orang mati
(dunia para leluhur), maka orang itu harus mempunyai bukti bahwa dia juga berasal dari
leluhur yang sama. Buaya bagi orang meto juga adalah objek dari leluhur mereka. Oleh
karena itu, corak buaya yang muncul dalam kain tenunan sebagai tanda pengenal orang yang
meninggal untuk diterima sebagai bagian dari para leluhur.41
Demikian hasil penelitian yang dipaparkan penulis dalam bab III ini. Melalui hasil
penelitian tersebut, penulis akan menganalisa data penelitian berdasarkan pertanyaan
penelitian dan teori yang digunakan dalam penulisan ini. Semuanya akan di bahas di dalam
bab selanjutnya yakni bab IV.
Kesimpulan
Dengan melihat hasil penelitian tentang corak buaya dalam karya seni budaya Meto,
maka dapat disimpulkan bahwa ternyata bagi orang meto, corak yang muncul dalam karya
seni budaya bukanlah suatu hal yang sepeleh atau sebagai bentuk keindahan. Orang meto
berteologi melalui karya seni, orang meto melihat status sosial seseorang melalui karya seni,
dan orang meto melihat pesan hidup melalui karya seni. Seperti yang sudah diketahui bahwa
corak buaya menduduki posisi yang penting bagi orang meto, maka tentu saja dalam corak
buaya ada hal-hal menarik yang dapat lihat. Misalnya corak buaya sebagai pengharapan
berkat, dan corak buaya sebagai pengungkapan kenangan dimasa lalu. Hal ini tentu saja tidak
terlepas dari buaya sebagai objek yang kuat yang mampu memberikan segala sesuatu bagi
orang meto bahkan memberikan nyawanya bagi orang meto.
41 Wawancara dengan Bapak Laka Faot, (tokoh Masyarakat), pada tanggal 27 Agustus 2012.