bab iii gambaran umum wilayah penelitian dari mutasi dan...
TRANSCRIPT
��
�
BAB III
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Dari Mutasi Dan
Permasalahan.
3.1. Pengantar
Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai latar belakang Gereja Kristen
Protestan di Bali (GKPB), struktur organisasinya, dan proses mutasi pendeta serta
permasalahan yang di hadapi dalam proses mutasi pendeta. Disini penulis dapat melihat
dengan jelas dari awal berdirinya GKPB sampai saat ini. Bab III juga akan membahas
mengenai hasil penelitian berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden dan
juga membahas mengenai makna mutasi serta dampak dari mutasi pendeta itu sendiri.
Kebijakkan dalam proses mutasi pendeta juga akan dibahas.
Penempatan pendeta dalam proses mutasi harus di rancang dengan baik, supaya tidak
terjadi kesalahan atau ketidak adilan baik itu bagi pendeta dan jemaat yang bersangkutan.
Dalam perjalanan pelayanan pendeta-pendeta di GKPB, ada beberapa pendeta yang berulang
ditempatkan di desa. Ada pula pendeta yang mengalami proses mutasi kurang dari lima kali
dan pelayanan yang dilakuka hanya di kota saja. Hal tersebut juga dapat menimbulkan
kecemburuan sosial di kalangan pendeta dan vikaris.
Dalam satu tahun jumlah pendeta atau vikaris yang dimutasi tidak pasti karena
tergantung dari kebutuhan jemaat dan dalam skala yang lebih besar. Untuk dapat melihat
dengan jelas proses mutasi pendeta yang sudah berjalan sampai sekarang ini, dapat kita lihat
dalam daftar pelayanan pendeta yang aktif.
��
�
3.2. Latar Belakang dan Sejarah GKPB
Masuknya kekristenan di Bali adalah berkat jasa para misionaris yang berusaha keras
untuk memberitakan Injil di tengah-tengah masyarakat yang penduduknya mayoritas
beragama Hindu, Budha dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Ada tiga periode penting
mengenai pertumbuhan dan perkembangan Injil di Bali. Pertama adalah periode permulaan
sekitar tahun 1597-1930. Kedua adalah pekerjaan Tsang To Hang dan pelayanan Gereja
Kristen Jawi Wetan (GKJW) pada tahun 1931-1947. Terakhir adalah periode sejak Gereja
Kristen Protestan di Bali (GKPB) mulai berdiri tahun 1948 sampai sekarang. Injil mulai
masuk ke Bali pada tahun 1597, tetapi boleh dikatakan usaha para misionaris untuk
memasukkan Injil ke Bali gagal, sebab tidak berhasil mendirikan gereja di Bali. Namun
demikian pada tahun 1866 misionaris yang diutus memberitakan Injil di Tengger (Jawa)
berhasil membaptiskan seorang wanita Bali yang berumur 18 tahun yang adalah satu-
satunya hasil dari misionaris terhadap orang Bali.
Pada tahun 1929 Injil mulai lagi diberitakan di Bali oleh Salam Watias. Atas
pertolongan Drs. Van Engelen, Salam Watias diangkat menjadi pengawai British and
Foreign Bible Society (BFBS) sebagai kolporteur di Bali.40 Salam Watias dengan penuh
semangat menyapaikan Injil kepada orang Bali di daerah Singaraja, Denpasar, Tabanan,
Gianyar, Bangli, Negara, Klungkung bahkan sampai ke pelosok-pelosok. Hasil dari
pekerjaannya itu pertengahan tahun 1930 ada kira-kira 80 orang Bali mengajukan
permintaan supaya kepada mereka diberikan pelajaran agama Kristen dan dibaptiskan. Tentu
bagi Salam Watias tidak mungkin melayani orang yang banyak itu karena tugas pokoknya
sebagai kolporteur, itulah sebabnya dia menulis surat kepada GKJW supaya melayani di
Bali. Tetapi permintaan itu tidak mendapatkan jawaban, karena Bali masih tertutup bagi
para misionaris.
�������������������������������������������������������������40 I Ketut Suyaga Ayub, Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan, (Batu: Departemen Literatur
YPPII, 1999), 28.
�
�
Setelah mendapatkan ijin menginjili orang-orang Tionghoa di Bali, maka penginjilan
dilanjutkan oleh misionaris Tsang To Hang yang berasal dari The Chinese Foreign
Missionary Union yang diutus ke Bali. Pada bulan Februari 1931 penginjilan tersebut
menghasilkan gereja pertama di Bali, yang didirikan khusus untuk orang-orang Tionghoa
saja. Awalnya banyak jemaat yang datang, tetapi setelah setengah tahun hanya tersisa empat
orang Tionghoa saja yang masih memeluk agama Kristen, diantaranya ada yang memiliki
istri orang Bali.
Pada saat itu penginjili di Bali ditunjukkan kepada orang-orang asli Bali, meskipun hal
itu dilarang oleh pemerintahan Belanda. Penginjilan tersebut menghasilkan beberapa orang
yang mau percaya kepada Kristus. Ibadah-ibadah rumah tangga juga telah dilakukan di
beberapa rumah milik orang percaya. Dengan cara itu, maka semakin banyak orang yang
mau mengikut Kristus. Di sisi lain, banyak juga orang Hindu Bali yang tidak senang dengan
pekabaran Injil, bahkan membenci orang-orang yang menjadi pengikut Kristus.
Baptisan pertama kali berjumlah 12, yaitu: Pan Loting, Gusti Putu Sanur, Pekak
Timotius, Pan Bungkalan, Pan Lipeg, Made Gelendung dan Pan Made Paul.41 Baptisan ini
dilayani oleh Dr. R.A. Jaffray dengan baptisan selam di Tukad Yeh Poh pada tanggal 11
November 1931. Inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya kekristenan di Bali. Tidak
hanya sampai disitu Tsang To Hang jaga memberitakan Injil ke tempat-tempat lainnya yang
ada di Bali. Pada bulan November 113 orang dibaptiskan di Denpasar. Di beberapa tempat
yang berbeda juga diadakan baptisan, yaitu tanggal 18, 24, 29 Mei 1933 dilakukan baptisan
kedua sebanyak 44 orang. Tanggal 11 November 1934 juga diadakan baptisan sebanyak 15
orang. Tanggal 1 Desember 1935 juga diadakan baptisan sebanyak 21 orang.42 Pada masa
penginjilan ini jumlah orang percaya di Bali sudah semakin banyak.
�������������������������������������������������������������41 Kroger Muller, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 252. 42 Suyaga Ayub, Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan, 48.
!�
�
Pertumbuhan orang-orang Kristen pada saat itu sangat rendah, sehingga tidaklah
mudah bagi mereka untuk tetap bertahan hidup ditenggah-tenggah umat Hindu yang sangat
marah dan membeci orang Kristen. Akibatnya setiap orang Hindu yang sudah masuk Kristen
tidak lagi mendapatkan warisan dalam keluarga, tidak mendapatkan tanah untuk kuburan,
sawah-sawah tidak dapat aliran air dari Subak (irigasi), bahkan diancam keluar dari desanya
dan dilarang berbelajan ke pasar. Kehidupan orang percaya pada saat itu sangat
memprihatikan. Pada bulan Agustus 1933 ijin penginjilan di Bali di cabut dan Tsang To
Hang diusir dari Bali karena ajaran yang disampaikan terlalu keras, sehingga menimbulkan
perselisihan antara orang percaya dengan masyarakat Hindu.
Setelah penginjilan dari luar dilarang masuk ke Bali, penginjilan selajutnya diteruskan
oleh GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan). Pada tahun 1934 mereka berusahan mendekati
pemerintahan, tetapi tidak membuahkan hasil. Sekitar tahun 1935 mereka berhasil
mendekati pemerintahan Hindia-Belanda sehingga mendapatkan ijin dari pemerintahan
untuk melayani jemaat Bali. GKJW mengirim beberapa pendeta untuk melayani sakramen
bagi jemaat Bali. Pada tahun 1936 mulai diadakan pekerjaan dengan mengadakan kursus-
kursus Alkitab untuk pemimpin jemaat dan juga terbuka bagi umum.
Kebencian orang Hindu terhadap orang Kristen semakin besar, sehinggga orang
Kristen sering mendapatkan kesukaran. Pada tahun 1939 orang Kristen di Bali dipindahkan
ke Blimbingsari dengan tujuan mereka mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Tepatnya pada tanggal 30 November 1939 orang-orang kristen berangkat dan membukan
hutan. Sehingga terbentuklah kampung Kristen dan menjadi kampung Kristen yang terbesar
sampai sekarang. Tahun 1942 di sana telah terdapat 700 jiwa. Dari sumber yang ada
mengatakan bahwa orang-orang Kristen di Blimbingsari dapat hidup secara damai, rukun
dan bisa bekerjasama karena berkat penyertaan kasih Tuhan.
"�
�
Tahun 1948 mulai diadakan persidangan-persidangan mengenai gereja yang mandiri
dan pemberian nama untuk persekutuan orang Kristen yang ada di Bali. Pada awalnya nama
persekutuan ini adalah Persekutuan Kristen Protestan Bali (PKPB). Selanjutnya nama itu
diubah menjadi Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), dan sampai sekarang nama ini
masih di pakai. Tahun 1956 telah ada jemaat-jemaat GKPB di beberapa wilayah. Tahun
1959 GKPB telah memiliki kantor sinode di Denpasar. Tahun 1972 GKPB memberi banyak
pelayanan di dalam dan luar gereja serta pendeta yang memimpin jemaat juga mulai
diperhatikan, khususnya mengenai pendidikannya.43 Tanggal 11 November 1932 diperingati
sebagai tanggal terbentuknya GKPB dengan pertimbangan bahwa tata ibadah yang
digunakan dalam penginjilan dapat menumbuhkkan keKristenan di Bali.
3.3. Bentuk dan Struktur Organisasi GKPB
Gereja Kristen Protestan di Bali menegaskan diri sebagai Gereja Protestan. Sifat ini
melanjutkan hasil reformasi, yang telah di mulai oleh Marti Luther, Johannes Calvin dan
yang lainya. Reformasi itu telah mengembalikan gereja pada tugas asas, yaitu: sola gratia,
yang berarti bahwa keselamatan itu hanyalah anugrah Allah semata, sola fide, yang berarti
bahwa keselamata itu hanya dapat di terima melalui iman saja, dan sola sciptura, yang
berarti bahwa pola hidup manusia dan keselamatan itu hanya bersumber dari alkitab saja.
Gereja Kristen Protesta di Bali merupakan bagian dari gereja yang esa, kudus dan am serta
oikumenis. Karena Kristus, Gereja disebut kudus, artinya, gereja disendirikan, atau
dikhususkan, dengan semua kelemahan dan dosanya, agar menjadi sarana yang efektif di
tengah dunia. Sifat am- kata lain dari ‘Katolik’ menunjukkan keterbukaan Gereja Kristen
Protestan di Bali bagi semua suku, bangsa dan ras. Sebab itu Gereja Kristen Protestan di
Bali juga oikumenis, yaitu berada dalam jalinan persatuan gereja-gereja di seluruh dunia.
�������������������������������������������������������������43 Wayan S. Yonatan, Sejarah Gereja Kristen Protestan di Bali, yang telah diketik ulang oleh Ir.
Chirsnawan Solaiman, (Abianbase : 1 Februari 1972), 25-29.
#�
�
Sejalan dengan pemahaman tersebut diatas, maka menetapkan visi dan misi dari
GKPB yaitu, Visi: Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera, sedangkan misinya adalah:
Menjadi Berkat dan Terang Bangsa-bangsa, Membangun Peradaban yang Dijiwai Kasih
Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan.” Yang dimana gereja berupaya mewujudkan
perdamaian baik itu dalam masyarakat maupun dunia. Agar GKPB dapat menjalankan
pelayanannya lebih baik sesuai dengan visi dan misinya maka struktur organisasi perlu terus
diperhatikan dan dimantapkan. Langkah ini diprogram dan ditangani melalui sekretariat
Majelis Sinode, baik dalam aras MSH (Majelis Sinode Harian) maupun di departemen dan
jemaat-jemaat oleh majelis jemaat. Sarana pelayanan dalam bentuk tata gereja, peraturan-
peraturan, liturgi gereja, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Yayasan-yayasan
milik GKPB, urai tugas aparat gereja dari tingkat Majelis Sinode Lengkap sampai Majelis
Jemaat di jemaat-jemaat dan Balai Perkabaran Injil (BPI). Adapun struktur organisasi
GKPB:
$�
�
STRUKTUR GKPB
Apabila memperhatikan struktur GKPB, kedudukan tertinggi adalah Sinode GKPB
yang terdiri dari wakil-wakil tiap wilayah. Dibawah Sinode ada Majelis Sinode yang terdiri
dari Badan Pengawas Perbendaharaan (BPP), Majelis Sinode Harian (MSH), dan Majelis
Pertimbangan (MP). Majelis Sionode GKPB adalah badan yang melaksanakan tugas dan
tanggungjawab yang diterimanya dari keputusan sidang sinode. Untuk melaksanakan
pekerjaan itu, Majelis Sinode mendelegasikan tugas itu kepada Majelis Sinode Harian.
Majelis Sinode Harian yang terdiri dari ketua sinode (Bishop), sekretaris sinode (Sekum),
dan bendahara sinode (Bendum). Mereka inilah yang bertanggungjawab atas departemen-
MP BPP
MAJELIS WILAYAH
JEMAAT JEMAAT JEMAAT JEMAAT JEMAAT
SINODE
MS
---------------
MSH
��
�
departemen, yayasan, dan gereja-gereja yang dimiliki oleh GKPB, sekaligus berperan
sebagai pembina.
GKPB terdiri dari 76 jemaat dan 56 pendeta yang terbagi atas beberapa wilayah
pelayanan, dimana setiap wilayah terdapat beberapa gereja dan Balai Pekabaran Injil (BPI).
Tim ministry wilayah yang ada adalah sebagai berikut: tim ministry wilayah Tabanan,
wilayah Bali Timur, wilayah Bali Timur Laut, wilayah Kota Denpasar, wilayah Jembrana,
wilayah Buleleng, wilayah Badung Selatan, dan wilayah Badung Utara. Dalam setiap
wilayah pelayanan dibentuk pengurus wilayah yang diketuai oleh pendeta wilayah, dan
merekalah yang bertanggungjawab kepada Sinode atas pelayanan yang dilakukan oleh
gereja-gereja yang berada dalam wilayah. Pendeta di setiap jemaat dapat berkoordinasi
dengan ketua wilayah untuk melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan dalam ruang lingkup
wilayah.
Karena dalam setiap wilayah diketuai oleh pendeta, maka pendeta wajib memajukan
tempat dimana pendeta ditempatkan. Pendeta adalah pelayan firman yang terpanggil dan
sudah terdidik secara teologis, serta banyak melakukan tugas sebagai fungsi-fungsi pastoral.
Memimpin ibadah, melayani sakramen, berkhotbah, melayani kelompok dan individu-
individu serta mewakili jemaat untuk gereja dan dunia yang sesuai dengan peraturan GKPB
nomor 13 tentang vikaris dan jabatan gerejawi, pasal 8344. Selain itu pendeta juga
mengawasi berbagai kegiatan atau aktifitas orang lain yang juga melakukan sebagai fungsi
pastoral. Misalnya, kepala sekolah, pemimpin paduan suara, guru-guru sekolah Kristen, dan
lain sebagainya.
Sebagai seorang pendeta, ia juga harus menjalakan peran sebagai pemimpin rohani
ketika bekerja sama dengan orang-orang lain dalam pelayanan. Adapun deskripsi jabatan
�������������������������������������������������������������44 Keputusan Sinode ke-40 GKPB, Tata Gereja, (Denpasar: Sinode GKPB, 2006), 13.
��
�
pendeta, yaitu: 45 (1) Melayani sebagai pelayan utama dan pemimpin jemaat. (2)
Memperlengkapi anggota untuk melayani satu sama lain dan melayani semua orang. (3)
Merencanakan dan memimpin kebaktian, memberitakan firman Allah, melayani sakramen,
melayani jemaat, kelompok maupun individu; serta mewakili jemaat bagi gereja dan dunia.
(4) Melayani sebagai penilik dan konsultan bagi organis maupun pemimpin musik, pengurus
sekolah Minggu, serta berbagai bagian dan organisasi dalam gereja. Termasuk di sini
sekolah Kristen, yang berada di bawah pengawasan kepala sekolah. (5) Melayani sebagai
anggota penasehat bagi semua kelompok resmi dalam jemaat. (6) Memegang data kegiatan
resmi gereja, perubahan keanggotaan, perkawinan, kematian, pembaptisan, konfirmasi dan
komuni. Data ini merupakan milik jemaat. (7) Mengawasi pekerjaan sekretaris kantor
gereja. (8) Membantu koster (yang bekerja di bawah pengawasan pengurus propeti) untuk
mengkoordinasikan kegiatannya dengan berbagai kegiatan departemen dalam gereja.
GKPB juga memiliki aturan-aturan yang mengatur kehidupan bergereja maupun
pekerja gereja. Salah satunya adalah peraturan GKPB nomor 13 tentang penempatan
pendeta dan vikaris. Mutasi pendeta GKPB sesuai dengan Tata Gereja pasal 86 ayat 1 dan 2
adalah (1) Mutasi bagi seorang pendeta dalam suatu pelayanan dilaksanakan setiap 4
(empat) tahun, kecuali ada pertimbang-pertimbangan khusus yang ditetapkan oleh Majelis
Sinode secara tertulis dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan jemaat yang
bersangkutan. (2) Perpanjang masa pelayanan seorang pendeta di suatu tempat pelayanan
tertentu maksimun 4 (empat) tahun.
3.4. Kebijakan Mutasi di GKPB
Di Bali terdapat 76 gereja yang tersebar diseluruh pulau Bali dengan jumlah
pelayannya 56 orang. Karena begitu banyaknya gereja yang ada dan mininnya jumlah
�������������������������������������������������������������45 Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda?: pedoman bagi pendeta dan pengurus awan,
diterjemahkan oleh S.M. Siahaan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 11-12.
!��
�
pendeta maka diberlakukannya mutasi pendeta. Untuk mencangkup luasnya bidang
pelayanan di GKPB, maka sinode GKPB mengadakan mutasi pendeta.
Mutasi pendeta merupakan salah satu keputusan yang ditetapkan oleh sinode dan
wajib dilaksanakan serta dipatuhi. Yang menjadi landasan dasar dari mutasi pendeta
berdasarkan peraturan gereja pasal 8 adalah: 46 1) Untuk menciptakan penyegaran pelayanan
bagi pendeta dijemaat GKPB. 2) Agar terjadi pemerataan pertumbuhan kerohanian jemaat
GKPB, sesuai dengan talenta pendeta dan jemaat. 3) Agar terjadi keseimbangan secara
sinodal, antara jemaat yang besar dengan jemaat yang kecil. Dengan mempertimbangkan
dasar dari mutasi pendeta, maka konsep awal komposisi mutasi dibuat oleh seluruh tim
mutasi yang terdiri dari MSH, para SEKDEP dan para pimpiman lembangan GKPB. 47 Tim
mutasi inilah yang menyusun tugas dari mutasi pendeta GKPB.
Ada pun tugas dari tim mutasi pendeta yang telah ditetapkan dalam peraturan GKPB
pasal 10 yaitu: 48 1) Menyusun konsep awal dengan berbagai pertimbangan, baik dalam
kaitannya dengan pendeta maupun jemaat. 2) Menyerahkan konsep kepada MSH untuk
diteruskan kepada MSL (Majelis Sinode Lengkap) untuk ditetapkan. 3) MSH mengadakan
pemahaman terhadap para pendeta dan majelis jemaat mengenai dasar dan tujuan mutasi. 4)
Bagi pendeta yang diperpanjang masa pelayanannya dibuatkan daftar alasannya dan
diteruskan kepada MSH.
Berdasarkan hal di atas maka tugas selanjutnya dari tim mutasi adalah menjalankan
proses mutasi dengan memperhatikan tata gereja pasal 85 dan 86 mengenai penempatan
pendeta atau vikaris. Pasal 85 dan 86 mengatakan bahwa:
“Pasal 85: Yang pertama, penempatan pendeta dan vikaris diatur
oleh Majelis Sinode dengan memperhatikan semua pihak yang �������������������������������������������������������������
46 Himpuman Peraturan-peraturan Gereja Kristen Protestan Bali (Denpasar: Sinode GKPB, 2007), 10. !$�Hasil wawancara dengan Pendeta Rio (nama samaran), di kantor sinode, Kamis 26 Oktober 2011,
pukul 11.00 WITA.�48 Himpuman Peraturan-peraturan Gereja Kristen Protestan Bali, 11 �
!��
�
bersangkutan. Yang kedua, syarat-syarat penerimaan dan
penempatan pendeta dan pentabisan vikaris menjadi pendeta diatur
dalam peraturan khusus yang ditetapkan oleh Majelis Sinode dalam
sidang Majelis Sinode Lengkap.” 49 “Pasal 86: Pertama, Mutasi bagi
seorang pendeta dalam suatu pelayanan dilaksanakan setiap 4
(empat) tahun, kecuali ada pertimbangan-pertimbangan khusus
yang ditetapkan oleh Majelis Sinode secara tertulis dengan terlebih
dahulu berkonsultasi dengan jemaat yang bersangkutan. Kedua,
perpanjangan masa pelayanan seorang pendeta di suatu tempat
pelayanan tertentu maksimum 4 (empat) tahun.” 50
Bertolak dari pasal 85 dan 86 dalam tata gereja mengenai mutasi pendeta, maka
langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melaksanakan proses mutasi pendeta yang sesuai
dengan aturan gereja, yaitu,51 (1) MSH terlebih dahulu mengadakan sosialisasi terhadap para
pendeta dan jemaat. (2) Untuk membina hubungan harmonis antara pendeta dan jemaat,
proses mutasi wajib dilakukan dengan perpisahan dengan jemaat yang lama dan perkenalan
di jemaat yang baru. (3) Mutasi hendaknya di awali dengan pemberitahuan yang dilakukan
oleh MSH. (4) Setelah komposisi mutasi ditetapkan oleh MSL, MSH melakukan mutasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang pindah tugas. (5) Segala biaya mutasi
ditanggung oleh MSH, dibantu oleh jemaat yang bersangkutan. (6) Penyimpangan, yaitu
perpanjangan dan atau pengurangan masa dinas seorang pendeta di jemaat yang
bersangkutan, harus disertakan alasan yang kuat. Setelah proses mutasi itu terlaksana, maka
dibuatlah draf mengenai mutasi pendeta yang kemudian diserahkan kepada MSH (Majelis
�������������������������������������������������������������49 Penjelasan Tata Gereja Th. 2006 Gereja Kristen Protestan di Bali, 14 50 Penjelasan Tata Gereja Th. 2006 Gereja Kristen Protestan di Bali, 10 51 Himpunan Peraturan-peraturan Gereja Kristen Prostestan Bali, 11-12.
!��
�
Sinode Harian) untuk diperiksa, yang kemudian diserahkan kepada MSL (Majelis Sinode
Lengkap).
Kemudian MSL memutuskan pendeta mana saja yang akan dimutasi dan kejemaat
mana. Setelah ditetapkan, maka dikeluarkannya keputusan mengenai mutasi pendeta. Jadi
penempatan pendeta diatur oleh Majelis Sinode dengan memperhatikan semua pihak yang
bersangkutan. Semua pihak yang bersangkutan adalah semua pihak atau unsur yang saran-
saran dan pendapatnya patut didengar yaitu pendeta atau vikaris yang akan ditempatkan,
majelis jemaat yang bersangkutan dan Majelis Sinode yang diwakili oleh Majelis Sinode
Harian sebagai badan yang akan menetapkan. Dengan adanya peraturan-peraturan dalam
proses mutasi pendeta sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketetapan yang berlaku, sehingga
penempatan pendeta sesuai dengan kemampuan pendeta dan kebutuhan jemaat.
3.5. Profil Pendeta GKPB
Penempatan pendeta dalam proses mutasi di rancang dengan baik, supaya kelak tidak
terjadi kesalahan atau ketidak adilan baik itu bagi pendeta dan jemaat yang bersangkutan.
Kalau kita melihat dalam perjalanan pelayanan pendeta-pendeta di GKPB, ada beberapa
pendeta yang lebih banyak ditempatkan di desa dari pada dikota. Ada pula pendeta yang
mengalami proses mutasi kurang dari 5 kali dan pelayanan yang dilakukanya hanya di kota
saja. Hal tersebut juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan pendeta dan
vikaris.
Di sini sinode atau tim mutasi pendeta meninjau kembali proses pengorganisasian atau
penempatan pendeta supaya sesuai dengan ketetapan yang telah ditetapkan dari awal.
Supaya terjadi keseimbangan antara penempatan pelayanan di desa maupun di kota. Dengan
! �
�
memperhatikan hal ini setidaknya sinode dapat mengurangi ketimpangan yang terjadi dalam
proses mutasi pendeta.52
Dalam daftar perjalanan pendeta, pendeta dimutasikan sejak ia menjadi seorang
vikaris yang rata-rata berumur sekitar 25 sampai 38 tahun. Setiap pendeta GKPB di berikan
kesempatan melayani jemaat sampai umur 65 tahun. Tentunya dalam perjalanan pelayanan
pendeta GKPB ada kalanya pendeta di tempatkan di kantor Sinode, di utus untuk study
lanjut, menjadi pendeta utusan, menjadi kepala panti asuhan, kepala sekolah, guru agama,
bishop, dan sebagainya. Jadi selama batas waktu yang ditentukan pendeta tidak secara penuh
mengalami proses mutasi di jemaat-jemaat.
Dalam hal ini penulis melihat adanya ketidak adilan dalam proses mutasi pendeta.
Misalkan saja pendeta A yang memulai pelayanannya (vikaris) pada umur 25 tahun dan
sekarang berumur 62 tahun mengalami proses mutasi ke jemaat sebanyak 3 kali. Sedangkan
pendeta yang umurnya sama 25 tahun mengalami proses mutasi ke jemaat sebanyak 10 kali
yang sekarang berumur 58 tahun. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Sinode atau tim mutasi
pendeta kurang cermat atau tidak adil dalam penempatan pendeta (mutasi pendeta).
Berdasarkan hal tersebut beberapa pendeta berharap supaya sinode juga memperhatikan
kesejahteraan dalam pendeta GKPB. Para pendeta juga berharap sinode mau mendengarkan
pendapat atau keluh kesah dari setiap pendeta, supaya beban atau persoalan yang selama ini
dihadapi dalam proses mutasi pendeta dapat terlepas dan pendeta dapat kembali segar untuk
tugas yang baru.
Dalam satu tahun jumlah pendeta atau vikaris yang dimutasi tidak pasti karena
tergantung dari kebutuhan jemaat dan dalam skala yang lebih besar. Kalau dilihat dari data
yang diperoleh jumlah jemaat dan vikaris/pendeta tidaklah seimbang, jadi ada kalanya satu
pendeta melayani satu sampai tiga jemaat sekaligus. Untuk dapat melihat dengan jelas
�������������������������������������������������������������52 Hasil wawancara dengan Pdt. Gede (nama samaran), di rumah subyek- Abianbase, Rabu 26
Oktober 2011, pukul 15.00 WITA.
!!�
�
proses mutasi pendeta yang sudah berjalan sampai sekarang ini, dapat kita lihat dalam daftar
pelayanan pendeta yang aktif (terlampir).
3.6. Prosedur Mutasi
Proses mutasi pendeta terjadi ketika semua pihak yang bersangkutan dihadirkan dalam
rapat penetapan pendeta, diantaranya: pendeta, majelis jemaat yang bersangkutan, dan
Majelis Sinode yang diwakili oleh Mejelis Sinode Harian. Proses mutasi pendeta sendiri
dilaksanakan setiap empat tahun sekali, yang sesuai dengan tata gereja GKPB. Selama
empat tahun pendeta diberikan kesempatan untuk membangun hubungan, baik itu dengan
jemaat dan berusaha untuk menjaga keseimbangan di antara jemaat. Selama proses mutasi
itu terlaksana, maka pendeta juga dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajibanya
yang sesuai dengan tujuan dari mutasi pendeta.
Suatu kewajiban bagi pendeta untuk mengenal jemaat dan daerah pelayanannya.
Sebelum proses mutasi dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi ke jemaat,
majelis jemaat yang dilakukan bersama dengan MSH. MSH membuat draf atau daftar
pendeta yang akan dimutasikan, kemudian Majelis Sinode menyampaikan kepada
MSL/perwakilan dari selurus jemaat yang ada. Dalam proses mutasi pendeta tidak satu
persatu diajak untuk berunding tetapi semua pendeta diajak berunding dalam satu kali
pertemuan. Perpanjangan masa mutasi pendeta hanya bisa dilakukan 1 kali saja yang sesuai
dengan peraturan atau tata gereja. Dalam tata gereja dan himpuman peraturan segala biaya,
hak-hak dalam mutasi telah diatur.53
Dalam proses penempatan pendeta, pendeta merupakan salah satu anggota yang
pendapatnya juga harus didengar. Tapi pada kenyataan yang sering terjadi, pendeta tidak
�������������������������������������������������������������53 Hasil Wawancara dengan Pdt. Made (nama samaran), di kantor Sinode-Kapal, Senin 24 Oktober
2011, pukul 09.00 WITA.
!"�
�
diundang untuk menghadiri proses penempatan pendeta.54 Pendeta hanya menerima surat
dari sinode, yaitu surat pemberitahuan bahwa pendeta yang bersangkutan akan di mutasi ke
jemaat lain.55 Pendeta yang akan dimutasikan harus menerima hasil keputusan yang telah
ditetapkan oleh MSH selaku wakil dari Majelis Sinode untuk penetapan pendeta dengan
wilayah pelayanannya. Sebelum proses mutasi terjadi sinode yang diwakilkan oleh MSH
terlebih dahulu melakukan sosialisasi kepada jemaat dan majelis jemaat.
Komitmen untuk melayani haruslah di miliki oleh setiap pendeta di GKPB, supaya
tujuan dari mutasi pendeta dapat tercapai. Mutasi pendeta dapat juga dikatakan suatu hal
yang sangat menyenangkan dan tidak menyenangkan, karena setiap orang memiliki caranya
sendiri dalam menghadapi lingkungan yang baru dan itu dapat mempengaruhi pelayanannya.
Bagi para pendeta sendiri mutasi itu merupakan suatu penyegaran baik itu secara jasmani
maupun rohani.56 Dimana pendeta dapat bertemu dengan jemaat, lingkungan, dan suasana
yang baru. Dengan suasanan, lingkungan, dan jemaat baru, tentunya banyak permasalahan
yang dihadapi baik itu yang positif atau pun negatif. Selama empat tahun diharapkan
pendeta mampun membangun jemaat atau membuat suatu program yang dapat
meningkatkan iman jemaat itu sendiri. Karena jemaat merupakan sumber daya yang sangat
penting dalam proses manajemen.57 Jemaat juga merupakan kunci utama dalam proses
mutasi pendeta, karena merekalah yang menentukan keberhasilan pendeta dalam
menjalankan tugasnya. Pendeta dikatakan berhasil ketika ia mampu bersosialisasi dan dapat
membagun jemaatnya. Sedangkan, pendeta yang dikatakan gagal, karena ia tidak bisa
menjawab kebutuhan jemaatnya.
�������������������������������������������������������������54 Hasil wawancara dengan Pdt. Ketut (nama samaran), di rumah subyek-Denpasar, Rabu 26 Oktober
2011, pukul 10.00 WITA. 55 Hasil Wawancara dengan Pdt. Gede (nama samaran), di rumah subyek-Abianbase, Rabu 26 Oktober
2011, pukul 16.00 WITA. 56 Hasil wawancara dengan Pdt. Nyoman (nama samaran), di rumah subyek-Abianbase, Sabtu 29
Oktober 2011, pukul 11.00 WITA. 57 Hasil wawancara dengan Made (nama samaran), di rumah subyek-Abianbase, Selasa 25 Oktober
2011, pukul 10.00 WITA.
!#�
�
Beberapa pendeta mengatakan bahwa permasalahan mengenai pemulangan pendeta
bukan disebabkan karena mutasi pendeta. Salah satu penyebab pemulangan pendeta ialah
pendeta yang kedapatan menikahkan tamu asing di hotel tanpa sepengetahuan majelis
jemaat dan jemaat.58 Oleh sebab itu majelis jemaat dan jemaat marah karena mereka merasa
bahwa pendeta hanya memikirkan diri mereka sendiri bukan kebutuhan jemaat. Bagaimana
seorang pendeta dapat menyampaikan firman Tuhan kalau dalam hal ini saja pendeta masih
berbohong. Hal ini menyebabkan majelis jemaat dan jemaat mengembalikan atau
memulangkan pendeta kepada sinode dan disertai dengan beberapa alasan pemulangan
pendeta. Lain halnya dengan Komang, ia mengatakan bahwa pendeta tidak mau dimutasikan
bukan disebabkan karena mutasi pendeta, melainkan karena keinginan dari pendeta
sendiri.59 Biasanya pendeta yang tidak di mutasi dalam dua periode itu disebabka karena ada
proyek atau tugas yang belum diselesaikan.
Sedangkan bagi beberapa pendeta mengatakan bahwa, mutasi adalah suatu bentuk
penyegaran bagi pendeta. Mengapa dikatakan sebagai suatu penyegaran karena selama
empat tahun pendeta sudah berjuang dengan segala resiko yang mereka hadapi di jemaat
yang lama. Proses mutasi itu terjadi empat tahun berturut-turut, kecuali ada pertimbangan-
pertimbangan khusus yang ditetapkan oleh Majelis Sinode. Ada pun pertimbangan-
pertimbangan khusus yang dimaksudkan adalah: perkembangan jemaat akan terhambat
apabila pendeta yang bersangkutan tidak segera dimutasikan, karena yang bersangkutan
terpilih atau diangkat dalam jabatan yang lebih tinggi, alasan kesehatan, atas permintaan
sendiri, dan karena sanksi jabatan.
�������������������������������������������������������������
58 Hasil wawancara dengan Pdt. Komang (nama samaran), di rumah subyek-Abianbase, Rabu 26 Oktober 2011, pukul 16.00 WITA.
59 Hasil wawancara dengan Pdt. Komang (nama samaran), di rumah subyek-Abianbase, Rabu 26 Oktober 2011, pukul 16.00 WITA. �
!$�
�
3.7. Permasalahan Mutasi
Mutasi pendeta bukan merupakan suatu hal yang mudah, mengapa karena ada begitu
banyak persoalan yang dihadapi. Baik itu permasalahan keluarga, keuangan dan jemaat.
Bagi seorang pendeta keluarga merupakan hal yang terpenting dan yang utama. Dalam
kehidupan seorang pendeta yang sudah berkeluarga, kehidupan dan kesejahteraan keluarga
adalah yang utama karena keluargalah yang akan mendukung pelayanannya nanti.
Salah satu dampak bagi mutasi dalam kehidupan keluarga pendeta ialah, istri atau
anak mengikuti dimana suaminya ditempatkan. Istri pendeta yang bekerja sebagai ibu rumah
tangga rata-rata tidak mengalami permasalahan dalam proses mutasi pendeta, melainkan
permasalahan muncul dari pihak anak. Dimana anak harus mampu untuk beradaptasi dengan
sekolah yang baru, lingkungan, teman, dan dengan jemaat yang baru.
Istri pendeta yang bekerja sebagai pengawai negeri mutasi pendeta merupakan suatu
pilihan yang sulit. Mengapa, karena sang istri harus mencari pekerjaan baru yang setidaknya
dekat dengan tempat pelayanan suaminya atau harus tinggal saling berjauhan. Beberapa istri
pendeta memilih untuk tinggal berjauhan dan hal ini juga berpengaruh terhadap
perkembangan psikologis anak ke depannya.60
Permasalahan tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga saja, melainkan juga dalam
kehidupan berjemaat. Kehidupan dan kesejahteraan jemaat merupakan suatu hal yang sangat
penting, karena manusia merupakan sumber daya yang sangat penting bagi gereja. Seorang
pendeta tidak dapat melayani jika tidak ada jemaat yang datang untuk beribadah, karena itu
langkah awal seorang pendeta sangat menentukan penerimaan jemaat terhadap pendeta baru.
Bagi seorang pendeta waktu dan perkembangan iman jemaat sangatlah penting, oleh sebab
�������������������������������������������������������������60 Hasil wawancara dengan ibu Nia (nama samaran), di rumah subyek-Abianbase, Senin 24 Oktober
2011, pukul 09.00 WITA.
!��
�
itu pendeta harus mampun bersosialisasi dan membangun relasi yang baik dengan majelis
jemaat maupun dengan jemaat.
Pendeta, jemaat, dan majelis jemaat harus mengerti terlebih dahulu peranan dan posisi
mereka masing-masing dalam bergereja. Ketika peranan itu salah dimengerti atau dipahami
maka akan timbul kekacauan dalam gereja. Jemaat biasanya lebih suka membandingkan
pendeta yang lama dengan pendeta yang baru. Hal inilah yamg membuat pendeta merasakan
tidak dihargai dan tidak diterima dalam jemaat. Sukarnya medan yang dihadapi dalam
pelayanan juga menjadi suatu penghambat bagi pendeta dalam melayani.
Di samping itu pendeta juga harus mengetahui hakekat dari pelayanan yang mereka
lakukan, untuk benar-benar dapat menyampaikan kebenaran firman Tuhan di tengah
masyarakat yang beranekaragam.61 Di tengah kemajemukan yang ada pendeta harus bisa
memahani kebudayaan dan kebiasaan jemaat. Dan bagi sebagian pendeta waktu empat tahun
adalah waktu yang pas untuk proses mutasi pendeta. Tapi ketika masa jabatan itu di
perpanjang dalam satu jemaat yang sama, maka akan menimbulkan suatu kejenuhan baik itu
bagi jemaat maupun pendeta.62
Dalam proses mutasi pendeta tentu memerlukan biaya yang cukup besar. Baik itu
biaya perpindahan, ongkos pengiriman barang, biaya pendidikan dan lain-lain. seperti yang
tertulis dalam tata gereja segala biaya yang berhubungan dengan mutasi pendeta ditanggung
oleh sinode dan di bantu oleh jemaat yang akan ditinggalkan. Tapi yang menjadi
permasalahannya adalah biaya mengenai pendidikan anak.
Perpindahan sekolah atau masuk sekolah yang baru tentu memerlukan biaya yang
cukup besar. Setiap empat tahun sekali pendeta harus menyediakan dana yang cukup besar
untuk proses pendidikan anak di tempat yang baru. Oleh sebab itu sebagia dari pendeta �������������������������������������������������������������
61 Hasil wawancara dengan bapak Putu (nama samaran), di rumah subyek- Denpasar, Rabu 26 Oktober 2011, pukul 10.00 WITA.
62 Hasil wawancara dengan Ketut (nama samaran), di kantor sinode Kapal-Mengwi, Senin, 24 Oktober 2011, pukul 10.00 WITA.
!��
�
merasa manajemen keuangan dalam mutasi pendeta tidak mencukupi kebutuhan pendeta
(kesejahteraan keluarga pendeta). Hal ini merupakan salah satu penghambat dalam proses
mutasi pendeta, khususnya bagi pendeta yang sudah berkeluargan dan sudah mempunyai
anak.63
Selain permasalahan diatas Ketut mengatakan bahwa mutasi adalah suatu bentuk
penyegaran bagi pendeta dan jemaat.64 Menurut Ketut dampak-dampak yang di hadapi
dalam proses mutasi pendeta yaitu: penyesuaian diri terhadap jemaat, penerimaan jemaat,
harus pandai melihat situasi atau keadaan dalam menyampaikan firman Tuhan, dan
pengenalan akan jemaat. Pendeta Ketut merasa bahwa penyegaran lebih sering di rasakan
oleh jemaat daripada pendeta, karena secara tidak langsung jemaat memperoleh seorang
pembimbing atau pelayan yang baru sehingga jemaat lebih bersemangat. Ketut merasa dari
segi ekomoni seorang pendeta juga dapat mempengaruhi pelayanan, pergaulan dan
penerimaan jemaat. Medan pelayanan juga sangat mempengaruhi pelayanan seorang
pendeta. Kebanyakan dari jemaat hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragama
lain dan tak jarang penduduk lain mengancam keberadaan orang Kristen. Mereka mengacam
tidak akan memberikan air kepada orang Kristen, tetapi kalau mereka mau pindah agama
maka orang Kristen akan diberikan air. Dengan keadaaan jemaat yang dishantui rasa takut,
tentu tidaklah mudah bagi pendeta untuk menyampaikan firman. Menurut Ketut biaya
mutasi pendeta tidak mencukupi terutama bagi pendeta yang sudah berkeluarga dan
mempunyai anak. Mengapa demikian, karena selain untuk biaya pindah rumah juga
diperlukan biaya untuk perpindahan sekolah anak di tempat yang baru. Ketut mengharapkan
sinode dapat memperhatikan kesejahteraan keluarga dan keadilan dalam hal biaya untuk
proses mutasi. Ketut mengharapkan adanya perbedaan antara pendeta yang belum menikah,
�������������������������������������������������������������63 Hasil wawancara dengan Nyoman (nama samaran), di rumah subyek Abianbase-Mengwi, Sabtu 29
Oktober 2011, pukul 11.00 WITA. #!�Hasil wawancara dengan Ketut (nama samaran), di kantor sinode Kapal-Mengwi, Senin, 24 Oktober
2011, pukul 10.00 WITA.�
"��
�
sudah menikah, dan pendeta yang sudah menikah dan mempunyai anak, supaya terjadi
keseimbangan atau kesejahteraan dalam kehidupan keluarga pendeta.65
Dengan adanya berbagai permasalahan yang muncul selama proses mutasi pendeta,
sinode mengharapakan setiap jemaat dan pendeta yang bersangkutan untuk menulis alasan-
alasan mengapan jemaat memulangkan pendeta dan mengapa pendeta tidak mau
dimutasikan baik itu dari jemaat yang lama maupun ke jemaat yang baru. Dengan demikian
sinode dapat mengambil suatu keputusan terhadap permasalah yang terjadi. Setiap pendeta
atau vikaris yang akan dimutasikan harus benar-benar memahami tugas pelayanan sebagai
hamba Tuhan dan memahami apa yang menjadi landasan dan tujuan dari mutasi pendeta.
Sehingga penyimpangan pelayanan tidak terjadi lagi.
Setiap pendeta yang di mutasi mendapatkan tanggungan biaya dari sinode, untuk
meringgankan beban dari pendeta. Sebelum proses mutasi di jalankan Majelis Sinode
melalui Majelis Sinode Harian mengadakan pertemuan dengan pendeta, majelis jemaat
yang bersangkutan supaya kelak tidak terjadi permasalahan dan sesuai dengan tata gereja
serta peratura gereja.
3.8. Penutup
Mutasi pendeta merupakan suatu perpindahan atau rotasi dari satu tempat ke tempat
yang lain selama empat tahun. Disatu sisi mutasi pendeta sangat bermanfaat bagi pendeta
karena menyegarkan pelayanan pendeta dan di satu sisi mutasi pendeta juga dapat
menimbulkan suatu permasalahan. Permasalahan biasanya muncul dari pihak keluarga,
jemaat yang bersangkutan dan jemaat yang ditinggalkan.
�������������������������������������������������������������65 Hasil wawancara dengan Ketut (nama samaran), di kantor sinode Kapal-Mengwi, Senin, 24 Oktober
2011, pukul 10.00 WITA.�
"��
�
Dalam hal ini manajemen dalam mutasi pendeta sangat berpengaruh, karena dengan
adanya manajemen gereja proses mutasi dapat dilaksanakan. Karena lemahnya pengawasan
yang dilakukan sinode dalam proses mutasi pendeta, sehingga dapat menimbulkan konflik
atau permasalahan antara pendeta dengan jemaat yang bersangkutan karena ketidak
cocokkan.
Permasalahan yang terjadi juga disebabkan karena pendeta kurang memahani hakekat
pelayanannya. Sehingga tujuan yang hendak di capai oleh gereja dan sinode tidak tercapai
dengan baik. Dalam proses mutasi pendeta dasar teologis sanggat diperlukan, karena dari
dasar teologislah kita dapat mengetahui tujuan sebenarnya yang hendak dicapai. Jadi
perencanaan dan controlling sanggat diperlukan dalam proses mutasi pendeta, supaya setiap
keputusan yang diambil benar-benar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
�