bab iii analisa a. kedudukan pulau-pulau kecil terluar...

17
110 BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.504 pulau, membentang dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Rote dengan 111 Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT). 1 Untuk melindungi pulau-pulau kecil terluar Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar tersebut Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil Terluar serta Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Selanjutnya perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat 1 UNCLOS ‘82 yang menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat perbandingan antara wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang 2 adalah 1:1 sampai 9:1. Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari 1 Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau- Pulau Kecil Terluar. 2 Article 6 UNCLOS 1982 :Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh Negara pantai yang bersangkutan.

Upload: vanminh

Post on 14-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

110

BAB III

ANALISA

A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut

Norma-Norma Hukum Laut Internasional

Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai

negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.504 pulau, membentang

dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Rote dengan 111 Pulau

Pulau Kecil Terluar (PPKT).1 Untuk melindungi pulau-pulau kecil terluar

Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan dalam

mengelola pulau-pulau kecil terluar tersebut Pemerintah mengeluarkan Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-

Pulau Kecil Terluar serta Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Selanjutnya perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat 1 UNCLOS ‘82

yang menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus

kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan

karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat perbandingan antara

wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang2 adalah 1:1 sampai 9:1.

Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak

boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari

1 Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-

Pulau Kecil Terluar. 2 Article 6 UNCLOS 1982 :Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai

karang-karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh Negara pantai yang bersangkutan.

Page 2: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

111

jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu

kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

Kemudian, ayat 3,4 dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di

dalam menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan dari ujung ke ujung.

Syarat pertama adalah bahwa garis-garis pangkal lurus demikian tidak boleh

menyimpang terlalu banyak dari arah umum pantai (ayat 3).

Syarat kedua adalah garis-garis pangkal lurus tidak boleh ditarik di antara

dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu

pasang surut atau elevasi surut (low-tide elevations), kecuali apabila di atasnya

telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupa yang setiap

waktu ada di atas permukaan air dan penarikan garis-garis lurus dari elevasi ini

atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu

jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat (ayat 4).3

Ketentuan ini hampir serupa dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 yang berlaku

untuk penarikan garis pangkal lurus, namun penggunaan elevasi surut sebagai titik

pangkal dikenakan persyaratan letak atau jarak yang harus kurang dari atau tidak

melebihi laut teritorial, diukur dari pulau terdekat.4

Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak

boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut teritorial

negara lain dengan laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ayat 5).

3 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 131-132.

4 Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum

Internasional, Op., Cit., h. 447.

Page 3: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

112

Syarat lain yang harus diperhatikan dalam penarikan garis pangkal lurus

kepulauan terhadap negara tetangga yang berdekatan termuat dalam ayat 6 yang

berbunyi:

(6) If part of the archipelagic waters of an archipelagic State

lies between two parts of an immediately adjacent neighbouring

State, existing rights and all other legitimate interests which the

latter State has traditonally exercised in such waters and all

rights stipulated by agreement between those States shall

continue and be respected.

Ketentuan ayat 5 dan 6 di atas ditetapkan untuk mengurangi dampak

penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan terhadap hak dan kepentingan

negara tetangga, khususnya agar tidak menyebabkan tertutupnya akses dari laut

teritorial negara tetangga. Dampak lain agi negara tetangga yang dilindungi oleh

Konvensi Hukum Laut 1982 adalah terhadap kemungkinan putusnya komunikasi

melalui laut antara dua bagian wilayah dari suatu negara tetangga terdekat, atau

hapusnya hak-hak dan kepentingan sah lainnya yang secara tradisional telah

dilaksanakan oleh negara tersebut di bagian laut yang sekarang menjadi perairan

kepulauan.5

Selanjutnya, ayat 8 menyatakan bahwa hasil penarikan garis-garis pangkal

tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai gantinya dapat dibuat daftar

dari titik-titik koordinat geografis yang secara tegas memerinci datum geodetik.

Peta tersebut harus dibuat dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk

menegaskan posisinya. Ayat 9 mewajibkan negara kepulauan untuk

mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta atau daftar-daftar koordinat

geografis demikian serta menyerahkan satu salinan peta atau daftar demikian dan

5 Ibid., h. 448.

Page 4: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

113

didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketentuan-

ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 16 yang menetapkan kewajiban

negara pantai untuk penarikan garis-garis pangkal laut teritorial.

Berdasarkan ketentuan Pasal 48 garis-garis pangkal lurus yang ditarik

menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk

pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi

suatu negara kepulauan. Ketentuan Pasal 48 tersebut menguatkan bahwa garis-

garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis-garis

pangkal biasa, atau garis-garis pangkal lurus. Penarikan garis-garis pangkal lurus

kepulauan tidak menghilangkan hak negara kepulauan untuk menetapkan bagian

dari perairannya sebagai perairan pedalaman. Untuk itu Pasal 50 Konvensi

Hukum Laut menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis-garis

penutup dalam perairan kepulauannya untuk penetapan batas perairan pedalaman

sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Istilah penetapan (delimitation)

biasanya digunakan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang garis batas

antar negara. Dalam ketentuan di atas garis batas yang dimaksud adalah suatu

garis penutup (closing line) sebagaimana yang berlaku untuk mulut sungai, teluk

dan pelabuhan yang akan memisahkan perairan pedalaman dari perairan

kepulauan.6

Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam Undang-

Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah No.

38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang

6 Ibid., h. 450-452.

Page 5: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

114

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar

Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya

terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Pasal

1 ayat 3 menetapkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk

bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut dan wujud alamiah

lainnya yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya, sehingga pulau-

pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan geografi,

ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian.

Ketentuan-ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 yang

menyatakan bahwa:

1. Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan;

2. Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-

pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik

Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan

bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga

merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah

kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai dengan

ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan selanjutnya

terlihat ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan nasional Indonesia tidak jauh beda dengan Konvensi Hukum Laut 1982

Page 6: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

115

karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan merupakan jiplakan dari

Konvensi.

Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa Perairan Indonesia meliputi laut

teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Batasan yang

diberikan oleh ayat 4 Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang

terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai indonesia, termasuk

ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu

garis penutup.

Dalam ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perairan

Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis

pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari

pantai. Berdasarkan ayat 2 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12

(dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan beberapa

negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura telah menimbulkan sengketa

perbatasan dan pelbagai kerawanan serta masalah-masalah keamanan, sehingga

perlu segera ditetapkan. Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga

tersebut pada dasarnya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum tentang

wilayah, batas kedaulatan, dan hak-hak berdaulat Republik Indonesia,

memudahkan kegiatan penegakan hukum di laut, serta menjamin kepastian hukum

kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut. Penetapan batas maritim ini juga

mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau kecil terluar

Republik Indonesia, karena Indonesia menggunakan pulau-pulau terluar tersebut

sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas

Page 7: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

116

kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil terluar adalah

pulau-pulau kecil terdepan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk menentukan Jalur

Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial

Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.

Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini, belum ada satupun

batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara-negara tetangga.

Selanjutnya, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengatur cara penarikan

garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis pangkal lurus

kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat 2 menyatakan bahwa

apabila garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat dalam ayat 1 tidak dapat

digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.

Berdasarkan ketentuan ayat 6, garis pangkal biasa sebagaimana tersurat dalam

ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai. Pengaturan mengenai garis

pangkal lurus seperti dimaksud dalam ayat 2 termuat dalam ayat 7, yang

menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah garis lurus yang menghubungkan

titik-titik terluar pada garis pangkal yang menjorok jauh dan menikung.

Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana

ditetapkan dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik

terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari

kepulauan Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum

Laut 1982, panjang garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut

ayat 4 tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per

Page 8: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

117

seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut

hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

Dalam perundingan batas maritim peran pulau-pulau kecil terluar adalah

sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar

proyeksi klaim wilayah ke laut. Setelah penentuan titik-titik ini dilakukan, maka

sebenarnya peran pulau-pulau terluar bersifat statis. Hal ini disebabkan karena

berbagai aspek yang mempengaruhi pergerakan garis batas dalam perundingan,

yakni apakah garisnya lebih ke atas atau ke bawah, apakah lebih ke kiri atau ke

kanan, apakah ada lekukan tertentu, atau tidak, sangat tergantung kepada hal-hal

lain yang sifatnya lebih makro seperti panjang pantai, arah pantai, bentuk pantai,

geologi dasar, lokasi sumber daya alam di dasar laut, lokasi ikan dan lain

sebagainya.7

Ayat 5 memuat syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan

penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Ada pun syarat tersebut

adalah garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 tidak boleh ditarik

dari dan ke di antara elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah didirikan

mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan

air atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu

jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.

Garis pangkal kepulauan diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.8 Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2002 ini menyatakan bahwa Pemerintah menarik garis pangkal kepulauan

7 Ibid., h. 313.

8 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia.

Page 9: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

118

untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa penarikan

garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan dengan menggunakan: a) garis

pangkal lurus kepulauan; b) garis pangkal biasa; c) garis pangkal lurus; d) garis

penutup teluk; e) garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan f) garis

penutup pada pelabuhan.

Dari berbagai cara penarikan garis pangkal kepulauan di atas dapat

dikemukan di sini bahwa, pertama, ketentuan mengenai garis pangkal lurus

kepulauan terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002.

Dalam Pasal 3 ayat 1 ditentukan bahwa garis pangkal lurus kepulauan merupakan

garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, di antara

pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia. Garis pangkal

lurus kepulauan tersebut, menurut ayat 2 merupakan garis lurus yang

menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau

terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada garis air

rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang

berdampingan. Dalam ayat 6 ditegaskan bahwa perairan yang terletak pada sisi

dalam garis pangkal lurus kepulauan tersebut di atas adalah perairan kepulauan

dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus kepulauan adalah laut

teritorial.

Bertalian dengan syarat penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia

sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996,

maka ketentuan ayat 3 pada hakekatnya tetap sama. Hal penting diutarakan di sini

adalah ketentuan ayat 4 yang menetapkan tentang syarat mengenai penarikan garis

Page 10: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

119

pangkal kepulauan tersebut di atas dilakukan dengan tidak terlalu jauh

menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.

Berdasarkan ayat 5, penarikan garis pangkal lurus kepulauan seperti

tersurat dalam ayat 2 di atas dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik

terluar pada garis air rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat

mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan

air atau apabila elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak seluruhnya

atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari garis

air rendah pulau terdekat.

Kedua, Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang

penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa digunakan

untuk mengukur lebar laut teritorial dalam hal bentuk geografis pantai suatu pulau

terluar menunjukkan bentuk yang normal. Pengecualian terhadap ketentuan ini

diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8. Menurut ayat 2, garis pangkal biasa tersebut

adalah garis air rendah sepanjang pantai yang ditetapkan berdasarkan Datum

Hidrografis yang berlaku.

Sebagaimana diatur dalam ayat 3, garis pangkal biasa berupa garis air

rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut yang

juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau terluar yang

terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai karang-karang di

sekitarnya. Dalam ayat 5 ditetapkan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam

garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan pedalaman dan perairan yang

terletak pada sisi luar garis pangkal biasa tersebut adalah laut teritorial.

Page 11: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

120

Ketiga, Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengatur cara

penarikan garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa garis pangkal

lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat

lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut, menurut ayat 2 adalah

garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang

menonjol dan berseberangan di mulut lekukan pantai tersebut.

Berdasarkan ayat 3 garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar

laut teritorial pada pantai di mana terdapat delta atau kondisi alamiah lainnya.

Garis pangkal lurus yang dimaksud ayat 3 ini, sesuai dengan ayat 4, adalah garis

lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menjorok

paling jauh ke arah laut pada delta atau kondisi alamiah lainnya tersebut.

Menurut ayat 5 perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus

seperti tersurat dalam ayat 1 dan ayat 3 di atas adalah perairan pedalaman dan

perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus tersebut adalah laut

teritorial.

Sementara itu, cara-cara lain dalam penarikan garis pangkal kepulauan

juga terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk, Pasal 7 tentang

garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dan Pasal 8 yang menetapkan

garis penutup pelabuhan.

Dalam perkembangannya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah No. 37 Tahun 2008 adalah Keputusan Mahkamah Internasional

Page 12: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

121

mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, dan Provinsi Timor Timur telah menjadi negara

tersendiri.

Kedua hal tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap koordinat

geografis titik-titik garis pangkal kepulauan dalam Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia.

Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 dinyatakan

bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 ayat 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Satu mil laut adalah 1.852 meter."

2. Di antara ayat 1 dan ayat 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat 1a

sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah melakukan pembaharuan secara rutin untuk

memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangan dalam

penetapan Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar untuk menarik

Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.

(1a) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan

oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas di bidang

survei dan pemetaan, di bawah koordinasi kementerian yang

membidangi Politik, hukum dan keamanan.

Page 13: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

122

(2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau-pulau terluar,

atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, muara sungai, terusan

atau kuala dan pelabuhan, yang dapat digunakan untuk penetapan

titik-titik terluar dari Garis Pangkal Kepulauan, maka diadakan

perubahan.

(3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar,

pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar,

muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, maka diadakan

penyesuaian.9

Ketentuan mengenai Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga tertuang

dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang menyatakan

bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan adalah Garis-garis lurus yang

menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah pulau-pulau dan karang-

karang kering terluar dari Kepulauan Indonesia.10

Lebih lanjut melalui Pasal 5

ayat (4) dinyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi

100 (seratus) mil laut, kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal

yang mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut,

hingga suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.

Sejatinya menurut UNCLOS 1982, dalam hal dua negara berhadapan dan

terdapat klaim tumpang tindih landas kontinen dan ZEE, negara-negara tersebut

9 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. 10

Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Page 14: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

123

harus berunding untuk menentukan batas-batas klaim masing-masing negara.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, yang menyatakan:

Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE negara

yang berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia maka

batas ZEE antara Indonesia dengan negara tersebut ditetapkan

dengan persetujuan antara Ri dengan negara yang bersangkutan.

B. Prinsip Pengelolaan Oleh Pemerintah Terhadap Pulau-Pulau

Kecil Terluar Indonesia

Prinsip Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (disingkat = PPKT)

bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah, keamanan dan pertahanan negara,

pemanfaatan sumberdaya alam, dan pemberdayaan masyarakat setempat dengan

prinsip wawasan nusantara, berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar meliputi 5 (lima) bidang, yaitu: sumber

daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan

wilayah, pertahanan dan keamanan serta ekonomi, sosial, dan budaya.

Pemerintah telah membentuk Tim Kerja Peraturan Presiden No. 78

Tahun 2005 untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Namun dalam perjalanan

waktu, pengelolaan yang lebih terintegrasi dan terstruktur dan sinergis antar

Kementerian/Lembaga yang tergabung dalam Tim Kerja perlu dioptimalkan tugas

pokok fungsinya.

Perpres No. 78 Tahun 2005 merupakan salah satu instrumen peraturan

perundang-undangan pemerintah untuk mengelola keberadaan pulau-pulau kecil

terluar. Perpres ini mengamanatkan pembentukan Tim Koordinasi dengan tugas

mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan

Page 15: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

124

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar serta melakukan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil. Sesuai dengan Perpres ini,

pengorganisasian pelaksanaan pengelolaan PPKT dan menghindari tumpang

tindih kewenangan ditetapkan 2 (dua) Tim Kerja. Tim Kerja I membidangi

sumberdaya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi,

sosial, dan budaya; sedangkan Tim Kerja II membidangi wilayah, pertahanan, dan

keamanan; serta Sekretariat Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Di dalam

penyelenggaraan sehari-hari Tim Koordinasi dibantu oleh Tim Kerja yang

dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Di sisi lain didalam pengelolaan PPKT, pemerintah telah berupaya juga

untuk mengatur dan menetapkan dasar-dasar peraturan perundangan dan beberapa

instrumen diantaranya adalah: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 43

Tahun 2008 tentang Wilayah Negara serta PP No. 62 Tahun 2010 tentang

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Namun pada implementasinya, instrumen-instrumen tersebut termasuk

Perpres No. 78 tahun 2005, belum sepenuhnya mampu untuk menjawab berbagai

permasalahan yang dihadapi untuk mengelola PPKT dalam rangka

mensejahterakan masyarakat setempat tepat sesuai dengan sasaran yang didasari

oleh kebijakan-kebijakan pengelolaan yang telah ditetapkan. Terutama dalam

sinkronisasi dan keterpaduan pengelolaan pembangunan PPKT baik dari aspek

kebijakan pertahanan dan keamanan, kesejahteraan serta kelestarian lingkungan

hidup. Hal ini mengindikasikan instrumen dan peraturan perundangan yang telah

Page 16: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

125

ditetapkan belum dapat dijadikan pedoman bagi para pemangku kepentingan

pengelola pembangunan PPKT.

Dengan demikian, keberadaan Tim Kerja Perpres No. 78 tahun 2005 perlu

untuk dioptimalkan sehingga diharapkan dapat mengakomodasi dan

menjembatani ketidaksinkronan dan ketidakterpaduan pemangku kepentingan

dalam rangka mengelola dan pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). PP

No. 62 Tahun 2010 mengamanatkan juga prinsip dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau

Kecil Terluar bertujuan untuk pertahanan dan keamanan; kesejahteraan

masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pertahanan dan keamanan

dalam bentuk:

a) akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara dilaut;

b) penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain;

c) penempatan aparat Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian

Negara Republik Indonesia;

d) penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara;

e) penempatan sarana bantu navigasi pelayaran; dan/atau

f) pengembangan potensi maritim lainnya.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk kesejahteraan masyarakat

dalam bentuk:

a) usaha kelautan dan perikanan;

b) ekowisata bahari;

c) pendidikan dan penelitian;

Page 17: BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16337/3/T1_312014185_BAB... · tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai

126

d) pertanian subsisten;

e) penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi; dan/atau

f) industri jasa maritim.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pelestarian lingkungan

dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi. 11

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar adalah kegiatan yang berkaitan

dengan upaya memanfaatkan potensi sumber daya Pulau-Pulau Kecil Terluar dan

perairan di sekitarnya sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis

pantai dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.12

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama

dengan pemerintah daerah.

11

Pasal 5-8 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar. 12

Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.