bab iii
DESCRIPTION
Diabetic NephropathyTRANSCRIPT
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes
mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.(Dr.dr Ahmad, 2011).
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di
seluruh dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi.
Insidennya terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030,
angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi
dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi
di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar terjadi di Asia dan
Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti
pola makan “Western-style” yang tidak sehat (Wild S, 2004).
3.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
a. Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute.
Diabetes mellitus tipe 1 dibagi menjadi penyebab autoimmune dan idiopatik.
b. Tipe 2 : Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensiinsulin.
c. Tipe lain :
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,
diabetes lipoatrofik.
Penyakit eksokrin pancreas : pankreatitis, trauma, fibrosis kistik,
neoplasma dan lain-lain.
Endokrinopati : akromegali, chusing syndrome, hipertiroidisme,
aldosteronoma.
Karena obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, dilantin, beta adrenergik agonis.
Infeksi : rubella congenital, CMV, dan lain-lain.
Sebab imunologi yang jarang : antibodi antireseptor.
Sindrom genetic lain yang berkaitan : sindrom down, sindrom klineferter,
sindrom turner, dan lain-lain.
3.3 Faktor Resiko
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
a. Riwayat keluarga dengan diabetes.
b. Ras dan etnik.
c. Umur (usia>45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM).
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000gram atau riwayat
menderita DM gestational.
e. Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5kg.Bayi yang lahir dengan
BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi
dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
a. Berat badan lebih (IMT>23kg/m2)
b. Kurangnya aktivitas fisik.
c. Hipertensi. (140/90mmHg)
d. Dislipidemia (HDL<35mg/dL dan atau TG >250mg/dL)
e. Diet tak sehat. Diet dengan tinggi gula dan rendah serat.
Pembahasan :
Pada pasien ini tidak diketahui apakah ada riwayat keluarga dengan
diabetes atau tidak, usia pasien 52 tahun merupakan faktor resiko terkena
diabetes. Pasien memiliki riwayat hipertensi,pasien tidak pernah membatasi
makanan apa yang dia makan, makanan manis ataupun yang tinggi lemak atau
rendah serat, pasien tidak pernah memperhatikan hal tersebut.
Pembahasan :
Pada kasus ini pasienmenderita diabetes mellitus tipe 2, dimana
penyebab predominannya adalah karena resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin disertai
resistensi insulin.
3.4 Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini :
- Keluhan klasik : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita(PERKENI, 2011).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, dan pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu>200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskinpun TTGO dengan beban 75g
glukosa lebih sensitif dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan plukosa
plasma puasa, namum pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.(Dr.dr Ahmad, 2011)
Secara skematis, langkah-langkah diagnosis DM dapat digambarkan
sebagai berikut :
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO tahun 1994 adalah sebagai
berikut :
− Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaansehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukankegiatan jasmani
seperti biasa
− Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan,minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
− Diperiksa kadar glukosa darah puasa
− Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB(anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu5 menit
− Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
− Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
− Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak
merokok(PERKENI, 2011).
3.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan
dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target
pengendalian glukosa darah. Sedangan untuk jangka panjang yaitu mencegah
dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan
neuropati.Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Empat pilar penatalaksanaan DM adalah edukasi, terapi gizi, latihan jasmani
serta intervensi farmakologis.
Pembahasan :
Pada kasus ini pasien memiliki riwayat polidipsia, poliuria sejak 8 tahun
yang lalu. Dan pasien merasa berat badannya menurun tetapi tidak diketahui
berapa besar penurunan berat badannya. Pasien juga mengeluh sering
kesemutan. Pemeriksaan laboratorium glukosa darah sewaktu didapatkan
sebesar 254 mg/dl. Pemeriksaan gula darah pasien tidak terkontrol karena
tidak rutin kontrol dan akhirnya jarang minum obat sejak 2 tahun terakhir, hanya
menggunakan terapi injeksi insulin 3x1 unit sehari, itupun tidak rutin.
3.5.1 Empat Pilar Penatalaksaan Diabetes Mellitus
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat.Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat.Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi.
Pengetahuan tentang pemantaunan glukosa darah mandiri, tanda
dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantaunan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus(Dr.dr Ahmad, 2011).
2. Terapi Nutri Medis
Terapi Nutri Medis merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunce keberhasilan TNM adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan
serta pasien dan keluarganya).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.(Dr.dr Ahmad, 2011).
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-
4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
piler dalam pengelolaan DM tipe 2.Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki kendali
glukosa darah.Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobic seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang.Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani.Hindari kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.(Dr.dr Ahmad, 2011).
4. Terapi Farmakologi
Berdasarkan cara kerjanya, obat dapat dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin : sulfonylurea dan glinid
b. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin : metformin dan
tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorposi glukosa : penghambat glukosidase alfa
e. DPP-IV inhibitor (Dr.dr Ahmad, 2011)
3.5.2 Obat Anti Diabates Mellitus
1. Pemicu Sekresi Insulin : Sulfonilurea
Obat golongan in mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pancreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang.Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfoniurea kerja panjang.
2. Peningkatan Sensitivitas Terhadap Insulin : Tiazolidindion
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindiondikontra-
indikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati.Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukanpemantauan faal hati secara berkala.
3. Penghambat Glukoneogenesis : Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati, di samping juga memperbaiki ambilan glikosa perifer. Metfomin
dikontraindikasikan pada paien dengan gangguan fungsi ginjal
(kreatine>1.5mg/dL) dan hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan,gagal
jantung). Metformin juga dapat memberikan efek samping mual.
4. Penghambat Glukosidase Alfa : Acarbose
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.
5. DPP-IV Inhibitor
Glucagon-like-peptide-1(GLP-1)merupakan suatu hormonepeptide
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.Peptide ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan.GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon.(Dr.dr Ahmad, 2011).
3.6 Komplikasi
Komplikasi DM dapat dibedakan menjadi akut dan kronik. Komplikasi akut
dapat berupa Ketoasidosis diabetik (KAD), Koma hiperosmolar hiperglikemik,
dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik pada DM biasanya terjadi pada
pembuluh darah diseluruh tubuh (angiopati diabetik).Angiopati diabetik dibagi
Pembahasan :
Pada pasien ini, terapi yang diberikan berupa edukasi pada pasien dan
keluarganya serta terapi farmakologis. Edukasi pada pasien dan keluarganya
berupa informasi tentang penyakit, pemantauan kadar gula darah mandiri, gaya
hidup, serta pengobatan untuk mengontrol kadar gula darah pasien. Hal ini
terbukti ketika pasien tidak rutin minum obat OAD sehingga kadar gula darahnya
tidak terkontrol. Terapi farmakologis pada pasien berupa glibenclamide 3x1 mg
tab yang tidak rutin diminum sejak 2 tahun terakhir, karena jarang kontrol ke
rumah sakit. Ketika MRS di RSSA terapi OAD tersebut dihentikan karena pada
pasien sudah terjadi komplikasi yaitu nefropati diabetik. Pada pasien ini juga
diberikan “diet DM” sesuai dengan kebutuhan pasien diabetes mellitus. Terapi
latihan jasmani tidak dilakukan pada pasien ini.
Pembahasan :
Pada kasus ini pasien telah mengalami komplikasi kronik yaitu nefropati
diabetikum.
menjadi dua yaitu makro-angiopati (makrovaskular) adalah penebalan dan
hilangnya elasitas dinding arteri, seperti pada jantung koroner, pembuluh darah
kaki, pembuluh darah otak. Serta mikro-angiopati adalah angiopati yang terjadi
pada kapiler dan arteriol proses adesi, dan agregasi proses trombosit yang
kemudian terbentuk mikrotrombus yang merupakan basis kimiawi utama.
Penyebabnya adalah disfungsi endotel dan terjadinya thrombosis.Seperti pada
nefropati, retinopati dan neuropati diabetik.
3.7 Pencegahan
Pencegahan Primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko.Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM.
Dilakukan dengan pemberian obat yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penykit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder
program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku
sehat.Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien
baru.Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang
pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit
kardiovascular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang
diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glikosa darah,
pengendalian berat badan, tekanan darah, profile lipid dalam darah serta
pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan
kardiovaskular pada penyandang diabetes.
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut.Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien
dan keluarga.Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitas yang dapat
dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal(Dr.dr Ahmad, 2011).
3.8 Nefropati Diabetik
3.8.1 Definisi
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindroma klinis pada pasien
diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300mg/24 jam
atau >200 ig/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6
bulan (Sudoyo dkk, 2007). Nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal
ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1
dan 2 adalah sebanding, namun insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe
1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada pasien
diabetes mellitus tipe 1. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu
penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan
penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskuler (Ligaray
K, 2012).
3.8.2 Etiologi
Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik adalah:
- Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl;
HbA1C >7-8%).
- Faktor-faktor genetis.
- Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan GFR,
peningkatan tekanan intraglomerulus).
- Hipertensi sistemik.
- Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik).
- Keradangan.
- Perubahan permeabilitas pembuluh darah.
- Asupan protein berlebih.
- Gangguan metabolik.
- Pelepasan growth factors.
- Kelainan metabolism karbohidrat / lemak / protein.
- Kelainan structural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus).
- Gangguan
- ion pumps (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+-ATPase
pump).
- Hyperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia).
- Aktivasi protein kinase C (Fauci, 2008).
3.8.3 Faktor Resiko
Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika.
Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara
lain:
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika
a. Antigen HLA (human leukosit antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen
HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes
dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose trasporter (GLUT) Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT
1-5 mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.
3. Hiperglikemia
4. Konsumsi protein hewani (Sukandar, 1997).
Diantara faktor resiko diatas, Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi
merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan
secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika.Hipertensi yang tak terkontrol
dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang
lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika) (Saweins, 2004).
3.8.4 Patofisiologi
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari
mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Sebuah penelitian pada
hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang
berkelanjutan, GFR dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai
bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat
laun akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut (Fauci, 2008).
Mekanisme terjadinya peningkatan GFR pada nefropati diabetik ini masih
belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek
yang tergantung terhadap glukosa, yang diperantarai hormone vasoaktif, IGF-1,
Nitric Oxide, prostaglandin, dan glukagon.Efek langsung dari hiperglikemia
adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi
TGF-β.Efek hiperglikemia ini diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC)
yang termasuk dalam serine-threonin kinase .PKC memiliki fungsi pada vaskular
seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel, dan permeabilitas vaskuler
(Fauci, 2008).
Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam
amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan
mengikat residu amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu
terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih
reversible dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus,
akan terbentuk Advanced Glycation end Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs
diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi
adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga
pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis
Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium
dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-
tahap dari Mogensen. Hipertensi yang timbul bersamaan dengan bertambahnya
kerusakan ginjal, juga akan mendorong sclerosis pada ginjal pada pasien
diabetes mellitus. Penelitian pada hewan diabetes, menunjukkan adanya
vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin-angiotensin
sistem.Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh
spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus (Sudoyo, 2007).
Gambar 4.Patogenesis komplikasi-komplikasi diabetes (Fauci, 2008).
Gambar 5. Patogenesis Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)
3.8.5 Patologi
Secara Histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan
membrana basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks
ekstraseluler, penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang
kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difus,
hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstitial (Sudoyo
dkk, 2007).
Tabel 1. Karakteristik Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)
Peningkatan material matriks mesangium
Penebalan membrana basalis glomerulus
Hialinosis arteriole aferen dan eferen
Penebalan membrana basalis tubulus
Atrofi Tubulus
Fibrosis interstitial
3.8.6 Diagnosis dan Gambaran Klinis
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >
30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6
bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrasi glomerulus).
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada pasien diabetes mellitus,
oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan, yakni :
Tabel 2. Tahapan
Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)
Tahap Kondisi Ginjal AER GFR TD Prognosis 1 Hipertrofi,
HiperfungsiN ↑ N Reversibel
2 Kelainan struktur N ↑ ↑/ N Mungkin Reversibel
3 Mikroalbuminuria persisten
20-200 mg/menit
↑/ N ↑ Mungkin Reversibel
4 Makroalbuminuria, Proteinuria
>200 mg/menit
Rendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi
5 Uremia Tinggi / rendah
< 10 ml/menit
Hipertensi Harapan hidup 2 tahun + 50%
Ket :AER : albumin excretion rateGFR : glomerulus filtration rateTD : tekanan darah
a. Tahap 1
Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis
ditegakkan.GFRmeningkat 40% dan AER dalam urin meningkat.Albuminuria
belum nyatadan tekanan darah biasanya normal.Tahap ini masih reversibel dan
berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan
pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi dan struktur
ginjal akan normal kembali (Sudoyo dkk, 2007).
b. Tahap 2
Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes ditegakkan.Secara klinis
belum tampak kelainan yang berarti.Saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan
GFR tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkatsetelah latihan
jasmani, keadaan stress, atau kendali metabolik yang buruk. Keadaan ini dapat
berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap selanjutnya.
Progresifitas terkait dengan memburuknya kendali metabolik.Pada tahap iniAER
dan tekanan darah normal.Terdapat perubahan histologis awal berupa
penebalan membrane basalis yang tidak spesifik.Tahap ini disebut juga tahap
sepi (silent stage) (Sudoyo dkk, 2007).
c. Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien.Tahap
ini biasanya terjadi 10-15 tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.GFR
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. AER dalam urin adalah
30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat.Secara histologis, terdapat
peningkatan ketebalan membrane basalis dan volume mesangium fraksional
dalam glomerulus.Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun dan
progresivitasnya masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan
darah yang ketat (Sudoyo dkk, 2007).
d. Tahap 4
Merupakan tahap nefropati diabetik yang bermanifestasi secara klinis
dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa.Tahap ini terjadi 15-20
tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.Tekanan darah sering
meningkat.Perubahan histologis sudah lebih jelas, dan sudah timbul hipertensi
pada sebagian besar pasien.GFR menurun dibawah normal sekitar 10
ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya
tekanan darah.Penyulit diabetes sudah pula dijumpai seperti retinopati,
neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vascular umum.Progresivitas
kearah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa
darah, lemak darah, dan tekanan darah (Sudoyo dkk, 2007).
e. Tahap 5
Ini adalah tahap gagal ginjal, saat GFR sudah sedemikian rendah
sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan
tindakan khusus yaitu terapi pengganti ginjal, dialisis maupun cangkok ginjal
(Sudoyo dkk, 2007).
Pembahasan :
Pada kasus ini, pasien terdiagnosis diabetes mellitus sejak 11 tahun SMRS
(riwayat kadar gula darah tinggi, terdapat gejala klasik DM : poliuri, polidipsi,
penurunan berat badan). Sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat anti diabetik
oral yaitu glibenclamide 3x1 tab per hari (obat diperoleh ketika pasien berobat ke
dokter) yang akhirnya tidak rutin diminum sejak 2 tahun terakhir, karena jarang
kontrol ke rumah sakit. Sebelumnya, pasien tidak pernah memeriksakan kadar
gula darahnya. Ketika pasien MRS di RSSA hasil pemeriksaan lab :
- Gula darah sewaktu = 254 mg/dl (menunjukkan kadar gula darah pasien tidak
terkontrol).
- Pemeriksaan urinalisis tanggal 10 Februari 2012 didapatkan kadar protein
dalam urine 4+ (± 1000 mg/dl).
- Pemeriksaan ureum/creatinine = 162,9/6,00
eGFR = 12,22
Riwayat HD (-)
CKD stage V
3.8.7 Evaluasi Nefropati Diabetik
Pada saat diagnosis diabetes mellitus ditegakkan, kemungkinan adanya
penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian juga saat pasien sudah
mengalami pengobatan rutin.Pemantauan yang dianjurkan oleh American
Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya
mikroalbuminuria serta penentuan serum kreatinin dan klirens kreatinin (ADA,
2012).Untuk mempermudah evaluasi, National Kidney Foundation menganjurkan
penghitungan GFR dengan menggunakan rumus Cockroft-Gault.
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas Dasar Derajat Penyakit
(Sudoyo, 2007)
DERAJAT PENJELASAN GFR (ml /menit /1.73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal / ↑ ≥ 902 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ ringan 60-893 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ sedang 30-594 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ berat 15-295 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis
Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes
adalah nefropati diabetik. Tapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus
tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah pada penyakit-
penyakit glomerulus non-diabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah,
dll), atau jika timbul azotemia dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak
ditemukannya retinopati, atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat
mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus-
kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Fauci, 2008).
- Dari data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis pasien mengalami CKD
st.V dt Diabetik nefropati.
Tabel 4. Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes (Sudoyo dkk, 2007)
No. Tes Evaluasi Awal Follow-up
1. Penentuan
Mikroalbuminuria
Sesudah pengendalian gula
darah awal (dalam 3 bulan
diagnosis ditegakkan).
DM tipe 1: tiap tahun
setelah 5 tahun.
DM tipe 2: tiap tahun
setelah diagnosis
ditegakkan.
2. Klirens Kreatinin Saat awal diagnosis
ditegakkan.
Tiap 1-2 tahun sampai
GFR < 100 ml/mnt/1.73
m2, kemudian tiap tahun
atau lebih sering.
3. Serum Kreatinin Saat awal diagnosis
ditegakkan.
Tiap tahun atau lebih
sering tergantung dari laju
penurunan fungsi ginjal.
Gambar 6. Evaluasi klinis Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)
3.8.8 Penatalaksaan Nefropati Diabetik
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung tahapan-tahapan apakah masih
normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria, atau makroalbuminuria, tetapi
pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah:
A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk
mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati.
a. Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &
Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan obesitas.
Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat individual
tergantung dari penyakit penyerta seperti hiperkolesterolemia, urolitiasis
(misal batu kalsium), hiperurikemia dan artritis gout, hipertensi esensial.
b. Pengendalian Hiperglikemia
1) Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting untuk:
Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin
seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)
Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang
dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya
kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus
(permselectivity).
Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi
glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi
urinaryN-acetyl-D- glucosaminidase (NAG) sebagai petanda
hipertensi esensial dan nefropati.
Mengurangi dan menghambat stimulasigrowth hormone (GH)
atauinsulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.
Mengurangicapillaryglomerularpressure(Poc)
2) Obat antidiabetik oral (OADO)
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan
tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan
(complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek
farmakologi dan farmakokinetik antara lain :
Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.
Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smoothmuscle cell
(ASMC).
Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.
2. Pengendalian Hipertensi
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi
sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c) hiperglikemia
sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka
morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah
nefropati diabetik.Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas dibandingkan
dengan pasien angiotensin-corverting (EAC).
a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)
Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapatmempengaruhi efek
Ang-II (sirkulasi dan jaringan).
Gambar efek patologi angiotensin-II
b. Golongan antagonis kalsium
Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping) yaitu
Efek inotrofik negatif efek pro-aritmia, efek pro-hemoragik.Peneliti lain masih
mengajurkan nifedipine GITSs atau non dihydropiridine.
c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus memperhatikan
kondisi setiap pasien :
Blokade β-kardioselektif dengan aktivitas intrinsik simpatetik
minimal misal atenolol.
Antagonis reseptor α-II misal prozoasin dan doxazosin.
Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untuk
pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.
3. Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani
Sudah lebih 1⁄2 abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein (DRP)
mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit ginjal eksperimen,
tetapi mekanismenya masih belum jelas. Pembatasan konsumsi protein hewani
(0,6-0,8 per kg BB per hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur
ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah
progresivitas kerusakan ginjal:
Efek hemodinamik
Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma flow
rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler, berakhir dengan
penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure)
Efek non-hemodinamik
- Memperbaiki selektivitas glomerulus
Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus menyebabkan
transudasi circulating macromolecules termasuk lipid ke dalam ruang
subendotelial dan mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang
sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan sel-sel inflamasi
terutama monosit dan makrofag.
- Penurunan ROS
Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam dapat
menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat endositosis.Kenaikan
konsentrasi Feselular menyebabkan pembentukan ROS.
- Penurunan hipermetabolisme tubular
Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih utuh
(intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus dan
merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat mengurangi
energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme
tubulus.
- Mengurangi growth factors & systemic hormones
Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme
progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus). DRP
diharapkan dapat mengurangi :
Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-β dan platelet-
derived growth factors(PDGF).
Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1),epithelial-derived
growth factors (EDGF), Ang-II (lokal dan sirkulasi), dan parathyroid
hormones (PTH).
- Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi Penghambat enzim
angiotensin-converting (EAC) sebagai terapi tunggal atau kombinasi
dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat mengurangi
proteinuria disertai stabilisasi faal ginjal.
B. Nefropati diabetik nyata(overtdiabeticnephropathy)
Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak
jarang melibatkan disiplin ilmu lain.Prinsip umum manajemen nefropati diabetik
nyata :
1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
Diet rendah garam (DRG) Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram
per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi)
dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.
Obat antihipertensi Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus
merupakan permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati
diabetik disertai penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat
antihipertensi antara lain :
a) Efek samping misal efek metabolik
b) Status sistem kardiovaskuler.
− Miokard iskemi/infark
− Bencana serebrovaskuler
c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensiginjal.
b. Antiproteinuria
Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk
mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah
sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi
untuk mengurangi ekskresi proteinuria.
a) Penghambat EAC
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling
efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya.
b) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium
golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent
pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.
c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT)
kombinasi penghambar EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine mempunyai efek.
Optimalisasi terapi hiperglikemia Keadaan hiperglikemi harus segera
dikendalikan menjadi normoglikemia dengan parameter HbA1c
dengan insulin atau obat antidiabetik oral (OADO).
2. Managemen Substitusi Program managemen substitusi tergantung dari
komplikasi kronis lainnya yang berhubungan dengan penyakit
makroangiopati dan mikroangiopati lainnya.
a. Retinopati diabetic
Terapi fotokoagulasi
b. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung kongestif
Penyakit jantung iskemik/infark
c. Bencana serebrovaskuler
Stroke emboli/hemoragik
d. Pengendalian hyperlipidemia
Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi
kolesterol-LDL.
C. Nefropati diabetik tahapakhir(EndStagediabeticnephropathy)
Saat ini mulai diberikanprogram terapi pengganti ginjal. Terapi CKD karena
diabetik sedikit berlainan denganCKD non-diabetik karena faktor indeks ko-
morbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual
tergantung dari umur, penyakit penyerta dan faktor indeks ko-morbiditas
(Rindiastuti, 2011)
Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek
perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap
organ kardiovaskular.Target tekanan darah pada nefropati diabetik umumnya
adalah < 130/80 mmHg.Namun bila proteinuria lebih berat, >1 gr /24 jam, maka
target perlu lebih rendah < 125/75. Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah
ACE-I atau ARB karena kedua obat ini memiliki efek renoproteksi yang baik dan
efek antiproteinurik, sedangkan pilihan lain adalah diuretik, kemudian Beta
Blocker, atau Calcium Chanel Blocker(Fauci, 2008).
Berbagai penelitian klinik jangka panjang, dengan melibatkan ribuan
pasien, telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif
akan mencegah prograsivitas dan mencegah timbulnya penyakit kardiovaskular,
baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan
agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan
pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadarHbA1C< 7%, kadar gula
darah preprandial 90-13- mg/dL, dan postprandial <180 mg/dL (Sudoyo dkk,
2007).
Pada pasien-pasien yang fungsi ginjalnya menurun terus menerus, maka
saat GFR mencapai 10-12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15
ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialysis
(hemodialysis atau peritoneal dialysis), walaupun masih ada perbedaan
pendapat mengenai kapan sebaiknya sebaiknya terapi pengganti ginjal ini
dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal tahap akhir ini adalah cangkok ginjal,
dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju sudah sering dilakukan
cangkok ginjal dan pankreas sekaligus (Sudoyo dkk, 2007).
Pasien dengan gagal ginjal kronik, baik akibat penyakit ginjal diabetic
maupaun penyakit ginjal non diabetic identik dengan keadaan anemia, akibat
menurunnya fungsi ginjal untuk menghasilkan eritropoietin.Keadaan anemia
dengan Hb < 8 g/dL dapat diatasi dengan transfusi darah PRC hingga Hb 8 g/dL.
Pemberian transfusi lebih banyak dengan tujuan meningkatkan Hb diatas 8,
hanya akan menyebabkan depresi produksi eritropoietin lebih berat dan
meningkatkan resiko overload cairan (Fauci, 2008). Selain itu kebutuhan oksigen
tubuh manusia sudah dapat terpenuhi dengan Hb 8 g/dL (Sudoyo, 2007). Selain
itu pemberian transfusi berlebih pada pasien gagal ginjal kronik dapat menekan
produksi eritropoietin yang akan memperburuk
Tabel 8. Target pengobatan Pasien Diabetes dengan atau Tanpa Mikroalbuminuria atau
dengan Nefropati Diabetik yang jelas (Sudoyo dkk, 2007).
Tanpa Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria Albuminuria klinis / insufisiensi ginjal
HbA1C <6-7 % <6-7% <7-8%Tekanan darah* S/D (mmHg)
120-130/80 120-130/80 120-130/80
Mean Arterial Pressure (mmHg)
90-95 90-95 90-95
Asupan protein (g/kg/hari)
>1.0-1.2 0.8-1.0 0.6-0.8↑
*jika tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan <120-130/80-85
mmHg, nilai ini dipakai sebagai end-point terapi.
↑Jika pasien mendapatkan ACE-I, asupan diet bisa lebih tinggi (0.8-1.0
g/kg/hari).
Pembahasan :
Empat pilar penatalaksanaan diabetes mellitus pada pasien ini:
1. Edukasi
Edukasi pada pasien dan keluarganya berupa informasi tentang penyakit,
pemantauan kadar gula darah mandiri, gaya hidup, serta pengobatan untuk
mengontrol kadar gula darah pasien. Hal ini terbukti pasien tidak rutin minum
obat OAD sehingga kadar gula darahnya tidak terkontrol.
2. Terapi nutrisi
Pada pasien ini juga diberikan “diet ginjal dan DM” sesuai dengan kebutuhan
pasien, yaitu Diet ginjal/DM 1900 kkal/hari, rendah garam : 1-2 gr/hari dan
protein 0,8 gr/kgBB/hari.
3. Latihan Jasmani
Pada pasien ini tidak dilakukan latihan jasmani.
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis pada pasien berupa glibenclamide 3x1 tab sehari
(obat diperoleh ketika pasien berobat ke dokter) yang akhirnya tidak rutin
diminum sejak 2 tahun terakhir, karena jarang kontrol ke rumah sakit..
Ketika MRS di RSSA terapi OAD tersebut dihentikan karena pada pasien
sudah terjadi komplikasi yaitu nefropati diabetik.
Dari pemeriksaan kadar ureum creatinine didapatkan :
Ur/Cr = 162,9/6,00eGFR = 12,22 CKD St.V
Maka terapi pada pasien : Hemodialisis elektif
5. Lain-lain
Pada pasien diberikan terapi pengendalian tekanan darah berupa captopril
2x25 mg dan clonidine 3x0.15 gr karena pasien memiliki riwayat tekanan
darah yang tinggi sejak 3 tahun yang lalu (200/…), dan MRS dengan
tekanan darah 180/100 (hipertensi stage II)
Pada pasien juga diberikan terapi injeksi insulin short acting, actrapid 4-4-4
IU karena kadar gula darah pasien tinggi (254 mg/dl).