bab iii

33
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua- duanya.(Dr.dr Ahmad, 2011). Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidennya terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat (Wild S, 2004). 3.2 Klasifikasi Klasifikasi diabetes mellitus adalah sebagai berikut : a. Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute. Diabetes mellitus tipe 1 dibagi menjadi penyebab autoimmune dan idiopatik. b. Tipe 2 : Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensiinsulin.

Upload: anggita

Post on 11-Jan-2016

222 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Diabetic Nephropathy

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes

mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya.(Dr.dr Ahmad, 2011).

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di

seluruh dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi.

Insidennya terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030,

angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi

dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi

di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar terjadi di Asia dan

Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti

pola makan “Western-style” yang tidak sehat (Wild S, 2004).

3.2 Klasifikasi

Klasifikasi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :

a. Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute.

Diabetes mellitus tipe 1 dibagi menjadi penyebab autoimmune dan idiopatik.

b. Tipe 2 : Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai

resistensiinsulin.

c. Tipe lain :

Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,

diabetes lipoatrofik.

Penyakit eksokrin pancreas : pankreatitis, trauma, fibrosis kistik,

neoplasma dan lain-lain.

Endokrinopati : akromegali, chusing syndrome, hipertiroidisme,

aldosteronoma.

Karena obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,

glukokortikoid, dilantin, beta adrenergik agonis.

Infeksi : rubella congenital, CMV, dan lain-lain.

Page 2: BAB III

Sebab imunologi yang jarang : antibodi antireseptor.

Sindrom genetic lain yang berkaitan : sindrom down, sindrom klineferter,

sindrom turner, dan lain-lain.

3.3 Faktor Resiko

Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :

a. Riwayat keluarga dengan diabetes.

b. Ras dan etnik.

c. Umur (usia>45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM).

d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000gram atau riwayat

menderita DM gestational.

e. Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5kg.Bayi yang lahir dengan

BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi

dengan BB normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

a. Berat badan lebih (IMT>23kg/m2)

b. Kurangnya aktivitas fisik.

c. Hipertensi. (140/90mmHg)

d. Dislipidemia (HDL<35mg/dL dan atau TG >250mg/dL)

e. Diet tak sehat. Diet dengan tinggi gula dan rendah serat.

Pembahasan :

Pada pasien ini tidak diketahui apakah ada riwayat keluarga dengan

diabetes atau tidak, usia pasien 52 tahun merupakan faktor resiko terkena

diabetes. Pasien memiliki riwayat hipertensi,pasien tidak pernah membatasi

makanan apa yang dia makan, makanan manis ataupun yang tinggi lemak atau

rendah serat, pasien tidak pernah memperhatikan hal tersebut.

Pembahasan :

Pada kasus ini pasienmenderita diabetes mellitus tipe 2, dimana

penyebab predominannya adalah karena resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin disertai

resistensi insulin.

Page 3: BAB III

3.4 Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM

seperti di bawah ini :

- Keluhan klasik : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya.

- Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita(PERKENI, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, dan pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu>200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126mg/dL dengan adanya keluhan

klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskinpun TTGO dengan beban 75g

glukosa lebih sensitif dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan plukosa

plasma puasa, namum pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.

TTGO sulit untuk dilakukan berulang ulang dan dalam praktek sangat jarang

dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.(Dr.dr Ahmad, 2011)

Secara skematis, langkah-langkah diagnosis DM dapat digambarkan

sebagai berikut :

Page 4: BAB III

Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO tahun 1994 adalah sebagai

berikut :

− Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaansehari-hari

(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukankegiatan jasmani

seperti biasa

− Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum

pemeriksaan,minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

− Diperiksa kadar glukosa darah puasa

− Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB(anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu5 menit

− Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan2

jam setelah minum larutan glukosa selesai

− Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa

− Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak

merokok(PERKENI, 2011).

3.5 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan

dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target

pengendalian glukosa darah. Sedangan untuk jangka panjang yaitu mencegah

dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan

neuropati.Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM. Empat pilar penatalaksanaan DM adalah edukasi, terapi gizi, latihan jasmani

serta intervensi farmakologis.

Pembahasan :

Pada kasus ini pasien memiliki riwayat polidipsia, poliuria sejak 8 tahun

yang lalu. Dan pasien merasa berat badannya menurun tetapi tidak diketahui

berapa besar penurunan berat badannya. Pasien juga mengeluh sering

kesemutan. Pemeriksaan laboratorium glukosa darah sewaktu didapatkan

sebesar 254 mg/dl. Pemeriksaan gula darah pasien tidak terkontrol karena

tidak rutin kontrol dan akhirnya jarang minum obat sejak 2 tahun terakhir, hanya

menggunakan terapi injeksi insulin 3x1 unit sehari, itupun tidak rutin.

Page 5: BAB III

3.5.1 Empat Pilar Penatalaksaan Diabetes Mellitus

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan

perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang

diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan

masyarakat.Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku sehat.Untuk mencapai keberhasilan perubahan

perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan

motivasi.

Pengetahuan tentang pemantaunan glukosa darah mandiri, tanda

dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

pasien. Pemantaunan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara

mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus(Dr.dr Ahmad, 2011).

2. Terapi Nutri Medis

Terapi Nutri Medis merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunce keberhasilan TNM adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan

serta pasien dan keluarganya).

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir

sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan

yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-

masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal, jenis, dan jumlah makanan,

terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah

atau insulin.(Dr.dr Ahmad, 2011).

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-

4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu

piler dalam pengelolaan DM tipe 2.Latihan jasmani selain untuk menjaga

kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki kendali

glukosa darah.Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobic seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

Page 6: BAB III

berenang.Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan

status kesegaran jasmani.Hindari kebiasaan hidup yang kurang gerak

atau bermalas-malasan.(Dr.dr Ahmad, 2011).

4. Terapi Farmakologi

Berdasarkan cara kerjanya, obat dapat dibagi menjadi 5 golongan:

a. Pemicu sekresi insulin : sulfonylurea dan glinid

b. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin : metformin dan

tiazolidindion

c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

d. Penghambat absorposi glukosa : penghambat glukosidase alfa

e. DPP-IV inhibitor (Dr.dr Ahmad, 2011)

3.5.2 Obat Anti Diabates Mellitus

1. Pemicu Sekresi Insulin : Sulfonilurea

Obat golongan in mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pancreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien

dengan berat badan normal dan kurang.Untuk menghindari hipoglikemia

berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal

ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak

dianjurkan penggunaan sulfoniurea kerja panjang.

2. Peningkatan Sensitivitas Terhadap Insulin : Tiazolidindion

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin

dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindiondikontra-

indikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat

memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal

hati.Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu

dilakukanpemantauan faal hati secara berkala.

3. Penghambat Glukoneogenesis : Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa

hati, di samping juga memperbaiki ambilan glikosa perifer. Metfomin

dikontraindikasikan pada paien dengan gangguan fungsi ginjal

Page 7: BAB III

(kreatine>1.5mg/dL) dan hati, serta pasien dengan kecenderungan

hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan,gagal

jantung). Metformin juga dapat memberikan efek samping mual.

4. Penghambat Glukosidase Alfa : Acarbose

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus

halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah

sesudah makan. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah

kembung dan flatulens.

5. DPP-IV Inhibitor

Glucagon-like-peptide-1(GLP-1)merupakan suatu hormonepeptide

yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.Peptide ini disekresi oleh sel

mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran

pencernaan.GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan

sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon.(Dr.dr Ahmad, 2011).

3.6 Komplikasi

Komplikasi DM dapat dibedakan menjadi akut dan kronik. Komplikasi akut

dapat berupa Ketoasidosis diabetik (KAD), Koma hiperosmolar hiperglikemik,

dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik pada DM biasanya terjadi pada

pembuluh darah diseluruh tubuh (angiopati diabetik).Angiopati diabetik dibagi

Pembahasan :

Pada pasien ini, terapi yang diberikan berupa edukasi pada pasien dan

keluarganya serta terapi farmakologis. Edukasi pada pasien dan keluarganya

berupa informasi tentang penyakit, pemantauan kadar gula darah mandiri, gaya

hidup, serta pengobatan untuk mengontrol kadar gula darah pasien. Hal ini

terbukti ketika pasien tidak rutin minum obat OAD sehingga kadar gula darahnya

tidak terkontrol. Terapi farmakologis pada pasien berupa glibenclamide 3x1 mg

tab yang tidak rutin diminum sejak 2 tahun terakhir, karena jarang kontrol ke

rumah sakit. Ketika MRS di RSSA terapi OAD tersebut dihentikan karena pada

pasien sudah terjadi komplikasi yaitu nefropati diabetik. Pada pasien ini juga

diberikan “diet DM” sesuai dengan kebutuhan pasien diabetes mellitus. Terapi

latihan jasmani tidak dilakukan pada pasien ini.

Pembahasan :

Pada kasus ini pasien telah mengalami komplikasi kronik yaitu nefropati

diabetikum.

Page 8: BAB III

menjadi dua yaitu makro-angiopati (makrovaskular) adalah penebalan dan

hilangnya elasitas dinding arteri, seperti pada jantung koroner, pembuluh darah

kaki, pembuluh darah otak. Serta mikro-angiopati adalah angiopati yang terjadi

pada kapiler dan arteriol proses adesi, dan agregasi proses trombosit yang

kemudian terbentuk mikrotrombus yang merupakan basis kimiawi utama.

Penyebabnya adalah disfungsi endotel dan terjadinya thrombosis.Seperti pada

nefropati, retinopati dan neuropati diabetik.

3.7 Pencegahan

Pencegahan Primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang

memiliki faktor risiko.Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM.

Dilakukan dengan pemberian obat yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit

sejak awal pengelolaan penykit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder

program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan

pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku

sehat.Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien

baru.Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang

pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya.

Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit

kardiovascular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang

diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glikosa darah,

pengendalian berat badan, tekanan darah, profile lipid dalam darah serta

pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan

kardiovaskular pada penyandang diabetes.

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang

telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih

lanjut.Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien

dan keluarga.Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitas yang dapat

dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal(Dr.dr Ahmad, 2011).

3.8 Nefropati Diabetik

3.8.1 Definisi

Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindroma klinis pada pasien

diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300mg/24 jam

Page 9: BAB III

atau >200 ig/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6

bulan (Sudoyo dkk, 2007). Nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal

ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1

dan 2 adalah sebanding, namun insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe

1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada pasien

diabetes mellitus tipe 1. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu

penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan

penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskuler (Ligaray

K, 2012).

3.8.2 Etiologi

Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik adalah:

- Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl;

HbA1C >7-8%).

- Faktor-faktor genetis.

- Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan GFR,

peningkatan tekanan intraglomerulus).

- Hipertensi sistemik.

- Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik).

- Keradangan.

- Perubahan permeabilitas pembuluh darah.

- Asupan protein berlebih.

- Gangguan metabolik.

- Pelepasan growth factors.

- Kelainan metabolism karbohidrat / lemak / protein.

- Kelainan structural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan

membrana basalis glomerulus).

- Gangguan

- ion pumps (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+-ATPase

pump).

- Hyperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia).

- Aktivasi protein kinase C (Fauci, 2008).

Page 10: BAB III

3.8.3 Faktor Resiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika.

Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara

lain:

1. Hipertensi dan prediposisi genetika

2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen

HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes

dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9

b. Glukose trasporter (GLUT) Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT

1-5 mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.

3. Hiperglikemia

4. Konsumsi protein hewani (Sukandar, 1997).

Diantara faktor resiko diatas, Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi

merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan

secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika.Hipertensi yang tak terkontrol

dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang

lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika) (Saweins, 2004).

3.8.4 Patofisiologi

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari

mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Sebuah penelitian pada

hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang

berkelanjutan, GFR dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai

bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat

laun akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut (Fauci, 2008).

Mekanisme terjadinya peningkatan GFR pada nefropati diabetik ini masih

belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek

yang tergantung terhadap glukosa, yang diperantarai hormone vasoaktif, IGF-1,

Nitric Oxide, prostaglandin, dan glukagon.Efek langsung dari hiperglikemia

adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi

TGF-β.Efek hiperglikemia ini diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC)

yang termasuk dalam serine-threonin kinase .PKC memiliki fungsi pada vaskular

Page 11: BAB III

seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel, dan permeabilitas vaskuler

(Fauci, 2008).

Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam

amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan

mengikat residu amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu

terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih

reversible dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus,

akan terbentuk Advanced Glycation end Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs

diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi

adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga

pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis

Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium

dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-

tahap dari Mogensen. Hipertensi yang timbul bersamaan dengan bertambahnya

kerusakan ginjal, juga akan mendorong sclerosis pada ginjal pada pasien

diabetes mellitus. Penelitian pada hewan diabetes, menunjukkan adanya

vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin-angiotensin

sistem.Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh

spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus (Sudoyo, 2007).

Gambar 4.Patogenesis komplikasi-komplikasi diabetes (Fauci, 2008).

Page 12: BAB III

Gambar 5. Patogenesis Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)

3.8.5 Patologi

Secara Histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan

membrana basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks

ekstraseluler, penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang

kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difus,

hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstitial (Sudoyo

dkk, 2007).

Tabel 1. Karakteristik Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)

Peningkatan material matriks mesangium

Penebalan membrana basalis glomerulus

Hialinosis arteriole aferen dan eferen

Penebalan membrana basalis tubulus

Atrofi Tubulus

Fibrosis interstitial

3.8.6 Diagnosis dan Gambaran Klinis

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >

30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6

bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya yang berhubungan dengan

peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrasi glomerulus).

Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada pasien diabetes mellitus,

oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan, yakni :

Page 13: BAB III

Tabel 2. Tahapan

Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)

Tahap Kondisi Ginjal AER GFR TD Prognosis 1 Hipertrofi,

HiperfungsiN ↑ N Reversibel

2 Kelainan struktur N ↑ ↑/ N Mungkin Reversibel

3 Mikroalbuminuria persisten

20-200 mg/menit

↑/ N ↑ Mungkin Reversibel

4 Makroalbuminuria, Proteinuria

>200 mg/menit

Rendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi

5 Uremia Tinggi / rendah

< 10 ml/menit

Hipertensi Harapan hidup 2 tahun + 50%

Ket :AER : albumin excretion rateGFR : glomerulus filtration rateTD : tekanan darah

a. Tahap 1

Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis

ditegakkan.GFRmeningkat 40% dan AER dalam urin meningkat.Albuminuria

belum nyatadan tekanan darah biasanya normal.Tahap ini masih reversibel dan

berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan

pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi dan struktur

ginjal akan normal kembali (Sudoyo dkk, 2007).

b. Tahap 2

Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes ditegakkan.Secara klinis

belum tampak kelainan yang berarti.Saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan

GFR tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkatsetelah latihan

jasmani, keadaan stress, atau kendali metabolik yang buruk. Keadaan ini dapat

berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap selanjutnya.

Progresifitas terkait dengan memburuknya kendali metabolik.Pada tahap iniAER

dan tekanan darah normal.Terdapat perubahan histologis awal berupa

penebalan membrane basalis yang tidak spesifik.Tahap ini disebut juga tahap

sepi (silent stage) (Sudoyo dkk, 2007).

c. Tahap 3

Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien.Tahap

ini biasanya terjadi 10-15 tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.GFR

meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. AER dalam urin adalah

Page 14: BAB III

30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat.Secara histologis, terdapat

peningkatan ketebalan membrane basalis dan volume mesangium fraksional

dalam glomerulus.Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun dan

progresivitasnya masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan

darah yang ketat (Sudoyo dkk, 2007).

d. Tahap 4

Merupakan tahap nefropati diabetik yang bermanifestasi secara klinis

dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa.Tahap ini terjadi 15-20

tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.Tekanan darah sering

meningkat.Perubahan histologis sudah lebih jelas, dan sudah timbul hipertensi

pada sebagian besar pasien.GFR menurun dibawah normal sekitar 10

ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya

tekanan darah.Penyulit diabetes sudah pula dijumpai seperti retinopati,

neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vascular umum.Progresivitas

kearah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa

darah, lemak darah, dan tekanan darah (Sudoyo dkk, 2007).

e. Tahap 5

Ini adalah tahap gagal ginjal, saat GFR sudah sedemikian rendah

sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan

tindakan khusus yaitu terapi pengganti ginjal, dialisis maupun cangkok ginjal

(Sudoyo dkk, 2007).

Pembahasan :

Pada kasus ini, pasien terdiagnosis diabetes mellitus sejak 11 tahun SMRS

(riwayat kadar gula darah tinggi, terdapat gejala klasik DM : poliuri, polidipsi,

penurunan berat badan). Sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat anti diabetik

oral yaitu glibenclamide 3x1 tab per hari (obat diperoleh ketika pasien berobat ke

dokter) yang akhirnya tidak rutin diminum sejak 2 tahun terakhir, karena jarang

kontrol ke rumah sakit. Sebelumnya, pasien tidak pernah memeriksakan kadar

gula darahnya. Ketika pasien MRS di RSSA hasil pemeriksaan lab :

- Gula darah sewaktu = 254 mg/dl (menunjukkan kadar gula darah pasien tidak

terkontrol).

- Pemeriksaan urinalisis tanggal 10 Februari 2012 didapatkan kadar protein

dalam urine 4+ (± 1000 mg/dl).

- Pemeriksaan ureum/creatinine = 162,9/6,00

eGFR = 12,22

Riwayat HD (-)

CKD stage V

Page 15: BAB III

3.8.7 Evaluasi Nefropati Diabetik

Pada saat diagnosis diabetes mellitus ditegakkan, kemungkinan adanya

penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian juga saat pasien sudah

mengalami pengobatan rutin.Pemantauan yang dianjurkan oleh American

Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya

mikroalbuminuria serta penentuan serum kreatinin dan klirens kreatinin (ADA,

2012).Untuk mempermudah evaluasi, National Kidney Foundation menganjurkan

penghitungan GFR dengan menggunakan rumus Cockroft-Gault.

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas Dasar Derajat Penyakit

(Sudoyo, 2007)

DERAJAT PENJELASAN GFR (ml /menit /1.73 m2)

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal / ↑ ≥ 902 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ ringan 60-893 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ sedang 30-594 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ berat 15-295 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes

adalah nefropati diabetik. Tapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus

tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran

klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah pada penyakit-

penyakit glomerulus non-diabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah,

dll), atau jika timbul azotemia dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak

ditemukannya retinopati, atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat

mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus-

kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Fauci, 2008).

- Dari data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis pasien mengalami CKD

st.V dt Diabetik nefropati.

Page 16: BAB III

Tabel 4. Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes (Sudoyo dkk, 2007)

No. Tes Evaluasi Awal Follow-up

1. Penentuan

Mikroalbuminuria

Sesudah pengendalian gula

darah awal (dalam 3 bulan

diagnosis ditegakkan).

DM tipe 1: tiap tahun

setelah 5 tahun.

DM tipe 2: tiap tahun

setelah diagnosis

ditegakkan.

2. Klirens Kreatinin Saat awal diagnosis

ditegakkan.

Tiap 1-2 tahun sampai

GFR < 100 ml/mnt/1.73

m2, kemudian tiap tahun

atau lebih sering.

3. Serum Kreatinin Saat awal diagnosis

ditegakkan.

Tiap tahun atau lebih

sering tergantung dari laju

penurunan fungsi ginjal.

Gambar 6. Evaluasi klinis Nefropati Diabetik (Sudoyo dkk, 2007)

3.8.8 Penatalaksaan Nefropati Diabetik

Tatalaksana nefropati diabetik tergantung tahapan-tahapan apakah masih

normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria, atau makroalbuminuria, tetapi

pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah:

Page 17: BAB III

A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)

1. Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk

mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan

mikroangiopati.

a. Diet

Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &

Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan obesitas.

Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat individual

tergantung dari penyakit penyerta seperti hiperkolesterolemia, urolitiasis

(misal batu kalsium), hiperurikemia dan artritis gout, hipertensi esensial.

b. Pengendalian Hiperglikemia

1) Insulin

Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting untuk:

Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin

seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)

Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus

Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang

dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya

kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus

(permselectivity).

Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi

glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi

urinaryN-acetyl-D- glucosaminidase (NAG) sebagai petanda

hipertensi esensial dan nefropati.

Mengurangi dan menghambat stimulasigrowth hormone (GH)

atauinsulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.

Mengurangicapillaryglomerularpressure(Poc)

2) Obat antidiabetik oral (OADO)

Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan

tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan

(complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek

farmakologi dan farmakokinetik antara lain :

Page 18: BAB III

Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.

Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.

Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smoothmuscle cell

(ASMC).

Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

2. Pengendalian Hipertensi

Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan

berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi

sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c) hiperglikemia

sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.

Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka

morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah

nefropati diabetik.Pemilihan obat antihipertensi lebih terbatas dibandingkan

dengan pasien angiotensin-corverting (EAC).

a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)

Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapatmempengaruhi efek

Ang-II (sirkulasi dan jaringan).

Gambar efek patologi angiotensin-II

b. Golongan antagonis kalsium

Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping) yaitu

Efek inotrofik negatif efek pro-aritmia, efek pro-hemoragik.Peneliti lain masih

mengajurkan nifedipine GITSs atau non dihydropiridine.

c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus memperhatikan

kondisi setiap pasien :

Blokade β-kardioselektif dengan aktivitas intrinsik simpatetik

minimal misal atenolol.

Page 19: BAB III

Antagonis reseptor α-II misal prozoasin dan doxazosin.

Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untuk

pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.

3. Mikroalbuminuria

a. Pembatasan protein hewani

Sudah lebih 1⁄2 abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein (DRP)

mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit ginjal eksperimen,

tetapi mekanismenya masih belum jelas. Pembatasan konsumsi protein hewani

(0,6-0,8 per kg BB per hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur

ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah

progresivitas kerusakan ginjal:

Efek hemodinamik

Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma flow

rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler, berakhir dengan

penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure)

Efek non-hemodinamik

- Memperbaiki selektivitas glomerulus

Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus menyebabkan

transudasi circulating macromolecules termasuk lipid ke dalam ruang

subendotelial dan mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang

sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan sel-sel inflamasi

terutama monosit dan makrofag.

- Penurunan ROS

Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam dapat

menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat endositosis.Kenaikan

konsentrasi Feselular menyebabkan pembentukan ROS.

- Penurunan hipermetabolisme tubular

Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih utuh

(intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus dan

merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat mengurangi

energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme

tubulus.

- Mengurangi growth factors & systemic hormones

Page 20: BAB III

Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme

progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus). DRP

diharapkan dapat mengurangi :

Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-β dan platelet-

derived growth factors(PDGF).

Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1),epithelial-derived

growth factors (EDGF), Ang-II (lokal dan sirkulasi), dan parathyroid

hormones (PTH).

- Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi Penghambat enzim

angiotensin-converting (EAC) sebagai terapi tunggal atau kombinasi

dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat mengurangi

proteinuria disertai stabilisasi faal ginjal.

B. Nefropati diabetik nyata(overtdiabeticnephropathy)

Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak

jarang melibatkan disiplin ilmu lain.Prinsip umum manajemen nefropati diabetik

nyata :

1. Manajemen Utama (esensi)

a. Pengendalian hipertensi

Diet rendah garam (DRG) Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram

per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi)

dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.

Obat antihipertensi Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus

merupakan permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati

diabetik disertai penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.

Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat

antihipertensi antara lain :

a) Efek samping misal efek metabolik

b) Status sistem kardiovaskuler.

− Miokard iskemi/infark

− Bencana serebrovaskuler

c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensiginjal.

b. Antiproteinuria

Diet rendah protein (DRP)

Page 21: BAB III

DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk

mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.

Obat antihipertensi

Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah

sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi

untuk mengurangi ekskresi proteinuria.

a) Penghambat EAC

Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling

efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat

antihipertensi lainnya.

b) Antagonis kalsium

Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium

golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent

pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.

c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non

dihydropyridine.

Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT)

kombinasi penghambar EAC dan antagonis kalsium non

dihydropyridine mempunyai efek.

Optimalisasi terapi hiperglikemia Keadaan hiperglikemi harus segera

dikendalikan menjadi normoglikemia dengan parameter HbA1c

dengan insulin atau obat antidiabetik oral (OADO).

2. Managemen Substitusi Program managemen substitusi tergantung dari

komplikasi kronis lainnya yang berhubungan dengan penyakit

makroangiopati dan mikroangiopati lainnya.

a. Retinopati diabetic

Terapi fotokoagulasi

b. Penyakit sistem kardiovaskuler

Penyakit jantung kongestif

Penyakit jantung iskemik/infark

c. Bencana serebrovaskuler

Stroke emboli/hemoragik

d. Pengendalian hyperlipidemia

Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi

kolesterol-LDL.

Page 22: BAB III

C. Nefropati diabetik tahapakhir(EndStagediabeticnephropathy)

Saat ini mulai diberikanprogram terapi pengganti ginjal. Terapi CKD karena

diabetik sedikit berlainan denganCKD non-diabetik karena faktor indeks ko-

morbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual

tergantung dari umur, penyakit penyerta dan faktor indeks ko-morbiditas

(Rindiastuti, 2011)

Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek

perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap

organ kardiovaskular.Target tekanan darah pada nefropati diabetik umumnya

adalah < 130/80 mmHg.Namun bila proteinuria lebih berat, >1 gr /24 jam, maka

target perlu lebih rendah < 125/75. Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah

ACE-I atau ARB karena kedua obat ini memiliki efek renoproteksi yang baik dan

efek antiproteinurik, sedangkan pilihan lain adalah diuretik, kemudian Beta

Blocker, atau Calcium Chanel Blocker(Fauci, 2008).

Berbagai penelitian klinik jangka panjang, dengan melibatkan ribuan

pasien, telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif

akan mencegah prograsivitas dan mencegah timbulnya penyakit kardiovaskular,

baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan

agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan

pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadarHbA1C< 7%, kadar gula

darah preprandial 90-13- mg/dL, dan postprandial <180 mg/dL (Sudoyo dkk,

2007).

Pada pasien-pasien yang fungsi ginjalnya menurun terus menerus, maka

saat GFR mencapai 10-12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15

ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialysis

(hemodialysis atau peritoneal dialysis), walaupun masih ada perbedaan

pendapat mengenai kapan sebaiknya sebaiknya terapi pengganti ginjal ini

dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal tahap akhir ini adalah cangkok ginjal,

dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju sudah sering dilakukan

cangkok ginjal dan pankreas sekaligus (Sudoyo dkk, 2007).

Pasien dengan gagal ginjal kronik, baik akibat penyakit ginjal diabetic

maupaun penyakit ginjal non diabetic identik dengan keadaan anemia, akibat

menurunnya fungsi ginjal untuk menghasilkan eritropoietin.Keadaan anemia

dengan Hb < 8 g/dL dapat diatasi dengan transfusi darah PRC hingga Hb 8 g/dL.

Pemberian transfusi lebih banyak dengan tujuan meningkatkan Hb diatas 8,

Page 23: BAB III

hanya akan menyebabkan depresi produksi eritropoietin lebih berat dan

meningkatkan resiko overload cairan (Fauci, 2008). Selain itu kebutuhan oksigen

tubuh manusia sudah dapat terpenuhi dengan Hb 8 g/dL (Sudoyo, 2007). Selain

itu pemberian transfusi berlebih pada pasien gagal ginjal kronik dapat menekan

produksi eritropoietin yang akan memperburuk

Tabel 8. Target pengobatan Pasien Diabetes dengan atau Tanpa Mikroalbuminuria atau

dengan Nefropati Diabetik yang jelas (Sudoyo dkk, 2007).

Tanpa Mikroalbuminuria

Mikroalbuminuria Albuminuria klinis / insufisiensi ginjal

HbA1C <6-7 % <6-7% <7-8%Tekanan darah* S/D (mmHg)

120-130/80 120-130/80 120-130/80

Mean Arterial Pressure (mmHg)

90-95 90-95 90-95

Asupan protein (g/kg/hari)

>1.0-1.2 0.8-1.0 0.6-0.8↑

*jika tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan <120-130/80-85

mmHg, nilai ini dipakai sebagai end-point terapi.

↑Jika pasien mendapatkan ACE-I, asupan diet bisa lebih tinggi (0.8-1.0

g/kg/hari).

Pembahasan :

Empat pilar penatalaksanaan diabetes mellitus pada pasien ini:

1. Edukasi

Edukasi pada pasien dan keluarganya berupa informasi tentang penyakit,

pemantauan kadar gula darah mandiri, gaya hidup, serta pengobatan untuk

mengontrol kadar gula darah pasien. Hal ini terbukti pasien tidak rutin minum

obat OAD sehingga kadar gula darahnya tidak terkontrol.

2. Terapi nutrisi

Pada pasien ini juga diberikan “diet ginjal dan DM” sesuai dengan kebutuhan

pasien, yaitu Diet ginjal/DM 1900 kkal/hari, rendah garam : 1-2 gr/hari dan

protein 0,8 gr/kgBB/hari.

3. Latihan Jasmani

Pada pasien ini tidak dilakukan latihan jasmani.

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis pada pasien berupa glibenclamide 3x1 tab sehari

(obat diperoleh ketika pasien berobat ke dokter) yang akhirnya tidak rutin

diminum sejak 2 tahun terakhir, karena jarang kontrol ke rumah sakit..

Ketika MRS di RSSA terapi OAD tersebut dihentikan karena pada pasien

sudah terjadi komplikasi yaitu nefropati diabetik.

Dari pemeriksaan kadar ureum creatinine didapatkan :

Ur/Cr = 162,9/6,00eGFR = 12,22 CKD St.V

Maka terapi pada pasien : Hemodialisis elektif

Page 24: BAB III

5. Lain-lain

Pada pasien diberikan terapi pengendalian tekanan darah berupa captopril

2x25 mg dan clonidine 3x0.15 gr karena pasien memiliki riwayat tekanan

darah yang tinggi sejak 3 tahun yang lalu (200/…), dan MRS dengan

tekanan darah 180/100 (hipertensi stage II)

Pada pasien juga diberikan terapi injeksi insulin short acting, actrapid 4-4-4

IU karena kadar gula darah pasien tinggi (254 mg/dl).