bab iii

13
Filsafat Arsitektur Site BAB III DATA ,PERMASALAHAN DAN ANALISIS PURA BESAKIH, KARANGASEM Rsi Markandeya dan sejarah perjalanan beliau ke Bali khususnya ke Karangasem ( Besakih ) Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.

Upload: widiari-ayu

Post on 24-Dec-2015

252 views

Category:

Documents


29 download

DESCRIPTION

cara membuat bab 3

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

BAB III

DATA ,PERMASALAHAN DAN ANALISIS

PURA BESAKIH, KARANGASEM

Rsi Markandeya dan sejarah perjalanan beliau ke Bali khususnya ke Karangasem

( Besakih )

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan

serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali).

Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau

itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang

dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi

Markandeya.

Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri

Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada

mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung

Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI

HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa

agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa sampai selesai, agar tanah itu

dibagi-bagikan kepada para pengikutnya bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih)

harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan

permata mirah.

Page 2: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

Pada abad ke-8 Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat

ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang.

Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para

pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.

Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan

ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya

(bebanten / sesaji)

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke

tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa

waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik

(Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan

daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon

wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para

pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung

Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan

ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi

Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan

mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara

itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut,

menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang

sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi

Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan

beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya

masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam

kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan

perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen)

selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam

diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada

waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi

ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari

lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti

disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini

bernama Besakih.

Page 3: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum

dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat

Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada

pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-

perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau

Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar

mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang

dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki.

Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula

dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata

kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan.

Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita

yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan

lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula

mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.

Pura Besakih, Tempat Umat Memohon Keselamatan

PURA Besakih kini memang menjadi pusat perhatian serangkaian akan

diselenggarakannya upacara Panca Bali Krama. Terletak di Desa Besakih, Kecamatan

Rendang, Kabupaten Karangasem, pura ini berada di kaki Gunung Agung -- di lereng barat

daya pada ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut.

Gunung Agung yang tingginya sekitar 3.142 meter, gunung tertinggi di Bali,

merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari keberadaan Pura Besakih. Berdasarkan

catatan, Gunung Agung sudah pernah meletus beberapa kali -- pada tahun 1089, 1143, 1189

dan 1963.

Page 4: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

Perihal berdirinya Pura Besakih, berdasarkan catatan-catatan yang terdapat dalam

prasasti logam maupun lontar-lontar, disebutkan pada mulanya merupakan bangunan

pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang

cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11

yaitu tahun 1007, Pura Besakih sudah ada.

Ketika itu masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan Empu

Kuturan menjadi senapati di Bali, yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten

Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan

membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti

yang ada sekarang.

Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah bersama rombongan

sebanyak sekitar 8.000 orang dari Gunung Raung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan

membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memohon

keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu.

Kemudian, pada masa berikutnya, zaman pemerintahan Sri Wira Kesari Warmadewa

sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan

pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan

oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih

beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-

16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.

Disebutkan, kata besakih berasal dari kata basuki yang berarti "selamat". Kata ini

berkembang menjadi basukir dan basukih, lalu menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua

prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan

Selonding dan satu lagi di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat.

Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon

keselamatan. Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap purnama sasih kedasa

(sekitar Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk

menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali

Krama setiap 10 tahun sekali dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100

tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1973.

Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang

penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna

Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar Raja Purana Besakih tentang upacara, nama

pelinggih, tanah pelaba, susunan pengurus, hingga tingkatan upacara, diatur dengan baik.

Page 5: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

Struktur Pura Sampai saat ini, Pura Besakih tetap merupakan pura terbesar di Bali,

merupakan pusat tempat ibadah bagi umat Hindu di Indonesia. Kelompok Pura Besakih

terdiri atas 18 kompleks pura yang terletak di wilayah Desa Besakih dan satu terletak di Desa

Sebudhi, Kecamatan Selat, Karangasem. Selain dari pura yang disebutkan berikut, masih

banyak lagi Pura Pedharman yang menjadi penyiwaan warga-warga yang sesungguhnya tidak

bisa dipisahkan dengan Pura Agung Besakih itu sendiri. Berikut rincian pura-pura tersebut:

1. Pura Persimpangan 

Terletak di Desa Kedungdung, di tengah-tengah ladang sekitar 1,5 km, di sebelah

selatan Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 4 buah bangunan dan pelinggih.

Fungsinya sebagai tempat persimpangan sementara bhatara Besakih ketika diadakan upacara

melasti (mencari toya ning) ke Toya Sah, ke Tegal Suci atau ke Batu Klotok yang dilakukan

tiap-tiap tahun.

2. Pura Dalem Puri 

Terletak di sebelah utara tikungan jalan terkahir, sebelum sampai di Desa Besakih

sekitar 1 km di sebelah barat daya Pura Penataran Agung Besakih. Di pura ini terdapat 10

bangunan, termasuk pelinggih berbentuk gedong beratap ijuk. Fungsinya sebagai linggih

bhatari Uma dan Dewi Durga. Di Pura ini juga terdapat pelinggih Sang Hyang Prajapati

sebagai penguasa roh manusia. Di sebelah utara terdapat tanah lapang yang disebut Tegal

Penangsar.

Page 6: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

3. Pura Manik Mas

Terletak di pinggiran sebelah kiri jalan menuju ke Pura Penataran Agung, jaraknya

sekitar 750 meter di sebelah selatan Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 6 bangunan dan

pelinggih, termasuk pelinggih pokoknya berbentuk gedung simpan, bertiang empat

menghadap ke barat. Fungsinya sebagai linggih Ida Ratu Mas Melilit.

4. Pura Bangun Sakti

Terletak di sebelah kanan jalan menuju ke Penataran Agung dan di sebelah utara Pura Manik

Mas. Di Pura ini terdapat empat bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah Gedong

Simpan sebagai linggih Sang Hyang Ananthaboga.

5. Pura Ulun Kulkul

Terletak sekitar 350 meter sebelah kiri jalan menuju Pura Penataran Agung. Di Pura ini

terdapat tujuh bangunan dan pelinggih. Pelinggih yang terpentingnya adalah Gedong Sari

beratap ijuk sebagai linggih Dewa Mahadewa. Pura ini adalah salah satu linggih Dewa Catur

Loka Phala, yaitu manifestasi Sang Hyang Widhi yang menguasai arah barat. Warna

perhiasan atau busana di pura ini, pada waktu upacara, serba kuning.

6. Pura Merajan Selonding

Terletak di sebelah kiri Pura Penataran Agung, dengan lima bangunan dan pelinggih. Di pura

itu tersimpan prasasti dan sejumlah pratima, serta gamelan slonding. Menurut catatan sejarah,

pura ini merupakan bekas bagian dari istana raja Sri Wira Dalem Kesari. Kini, pura ini

berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka.

7. Pura Gowa

Terletak di sebelah kanan jalan berhadapan dengan Pura Merajan Slonding. Di kompleks ini

terdapat goa yang besar, tetapi bagian-bagiannya sudah banyak yang runtuh. Menurut

kepercayaan rakyat, goa itu tembus ke Goa Lawah, di sebelah timur Kusamba, sebagai goa

untuk Sang Hyang Basuki. Di pura ini terdapat empat pelinggih.

Page 7: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

8. Pura Banuwa

Terletak di sebelah kanan jalan di hadapan Pura Besakih, sekitar 50 meter dari Pura

Penataran Agung. Dalam pura ini terdapat empat bangunan dan pelinggih pemujaan

pokoknya ditujukan kepada Dewi Sri. Setiap sasih kepitu atau sekitar Januari, di sini

diadakan upacara Ngusaba Ngeed dan Ngusaba Buluh yang bertujuan mohon kemakmuran di

sawah dan di ladang.

9. Pura Merajan Kanginan

Terletak di sebelah timur Pura Banuwa. Di pura ini terdapat tujuh bangunan dan pelinggih, di

antaranya ada pelinggih untuk Empu Baradah.

10. Pura Hyang Aluh

Terletak di sebelah barat Pura Penataran Agung, berjarak sekitar 200 meter. Di dalamnya

terdapat tujuh banguanan dan pelinggih. Pelinggih pokok pada pura ini berbentuk gedong

untuk linggih Ida Ratu Ayu.

11. Pura Basukiha

Letaknya di sebelah kanan tangga naik menuju Pura Penataran Agung. Di sini terdapat 10

bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbentuk meru dengan atapnya bertingkat 9

sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki.

12. Pura Penataran Agung Besakih

Terletak di tengah-tengah kelompok pura yang termasuk lingkungan Pura Besakih. Kompleks

pura ini termasuk terbesar di Pura Besakih. Terdiri dari 7 tingkat halaman dengan jumlah

bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Di sini terdapat meru yang besar-

besar beratap tujuh tingkat 11, 9, 7, 5, dan 3. Pelinggih yang merupakan pemujaan pokoknya

adalah Padma Tiga sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai

Tri Purusa yaitu Ciwa, Sadha Ciwa dan Parama Ciwa yang sekaligus merupakan "poros" dari

pura-pura yang lainnya.

Page 8: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

13. Pura Batu Madeg

Terletak sekitar 150 meter di sebelah kanan (utara) Pura Penataran Agung. Pura ini adalah

kompleks pura yang besar, dengan 29 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya

berbentuk meru besar beratap ijuk beratap 11. Bangunan ini merupakan linggih Dewa Wisnu

sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi, yang menguasai arah sebelah utara. Warna busana di

pura ini adalah serba hitam.

14. Pura Kiduling Kreteg

Terletak sekitar 300 meter di sebelah kiri (selatan) Pura Penataran Agung, di atas suatu bukit.

Di dalamnya ada 21 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru besar beratap

tingkat 11 sebagai linggih Dewa Brahma yaitu manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai

penguasa arah selatan. Kompleks pura ini merupakan kompleks yang besar, hampir sama

besarnya dengan kompleks Pura Batu Madeg. Warna busana di pura ini merah.

15. Pura Gelap

Terletak sekitar 600 meter pada sebuah bukit sebelah timur Pura Penataran Agung. Di

dalamnya terdapat enam bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru beratap 3

sebagai linggih Dewa Iswara -- manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penguasa arah

sebelah timur. Warna busana di pura ini adalah serba putih.

16. Pura Peninjauan

Terletak sekitar 1 km di sebelah kanan Pura Penataran Agung, di dalamnya terdapat 12

bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbentuk meru beratap tingkat 11, tempat

Empu Kuturan memohon restu kepada Sang Hyang Widhi dalam rangka suatu upacara di

Gunung Agung.

17. Pura Pengubengan

Letaknya 1,5 km di sebelah utara Pura Penataran Agung, di dalamnya ada enam bangunan

dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat ngayat atau ngubeng -- suatu upacara permakluman

kepada Sang Hyang Widhi bahwa di Pura Penataran Agung akan dilangsungkan upacara.

Pelinggih pokoknya berupa meru beratap tingkat 11.

Page 9: BAB III

Filsafat Arsitektur Site

18. Pura Tirta

Letaknya sekitar 300 meter di sebelah timur laut Pura Pengubengan. Di pura ini terdapat dua

bangunan dan pelinggih, serta air suci (tirta). Jika ada upacara di kompleks Pura besakih,

maka di pura inilah umat memohon tirta atau air suci.

19. Pura Pasar Agung

Letaknya di lereng Gunung Agung, melalui Desa Selat ke Desa Sebudi, lalu mendaki sekitar

empat jam mendaki ke arah utara. Pelinggih-nya semua hancur waktu Gunung Agung

meletus pada 1963, dan menjelang karya Eka Dasa Rudra di Besakih telah mulai diperbaiki

secara bertahap sampai sekarang.