bab iii

32
BAB III TINJAUAN PUSTAKA Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran 2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri 3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka 3.1 TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. 3.1.1 PENILAIAN PRE ANESTESI 1

Upload: eshasawitri

Post on 12-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral

disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.

Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan

menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis

yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran

2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri

3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

3.1 TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya

kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan

kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien

dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi

angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan.

3.1.1 PENILAIAN PRE ANESTESI

Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi bukan cerita untuk

menakut-nakuti atau dibuat-buat, karena memang pernah terjadi di Indonesia.

Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang yang

dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang

akan di operasi.

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat

perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak

1

2

nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih

baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah

dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan

digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe

berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-

2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem

kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktfkan kerja silia jalan

pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan

minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.

Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh

dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ

tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan

penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi

pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan

urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan

foto thoraks.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan utnuk menilai kebugaran fsiik seseorang

ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).

Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas.

3

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar

pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak

perlu harus dihindari. Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan

huruf E.

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama

pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia

harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum

induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada

bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi

anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan

minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi

anestesia.

3.1.2 PREMEDIKASI

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesia

diantaranya:

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

2. Memperlancar induksi anestesia

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik

5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah

4

6. Menciptakan amnesia

7. Mengurangi isi cairan lambung

8. Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi

yang tidak pasti. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-

15mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Untuk mengurangi mual-muntah

pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk

dewasa droperidol 2,5-5mg atau ondansetron 2-4mg (zofran,nafroz).

Waktu dan cara pemberian premedikasi yaitu pemberian obat secara

subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara intramuscular minimum harus

ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan

pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat

akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam

waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak

dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat

menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat

dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Analgesik narkotik

a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB

2. Analgesik non narkotik

a. Ponstan

b. Tramol

c. Toradon

3. Hipnotik

a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4. Sedatif

a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB

b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB

5

c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5

mg/kgBB

d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5. Anti emetic

a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001

mg/kgBB

b. DBP

c. Narfoz, rantin, primperan.

3.1.3 INDUKSI ANASTESI

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat

dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien

tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia

sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan

usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon

(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan

lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak

menyumbat jalan napas.

T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)

yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa

trakea mudah dimasukkan.

6

C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena

Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan dengan

hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan

dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien,

nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan

pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena:

1. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg sebelum

digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5%

( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-

7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan

menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia

atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan

likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat

kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

2. Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu

bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan

intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik

sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk

anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk

perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan

dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita

hamil.

7

3 Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,

hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan

mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian

sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam

(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias

diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.

Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin

dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50

mg), 10% ( 1ml = 100 mg).

4. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga

banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk

anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis

rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara

intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi inhalasi

a. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)

berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan

beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.

Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan

untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi

jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan

anastetik lain seperti halotan.

8

b. Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan

anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi

semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,

terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,

depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi

lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga

mininggikan kadar gula darah.

c. Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih

iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding

halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap

otot lurik lebih baik disbanding halotan.

d. Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.

Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi

dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak

digunakan untuk bedah otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga

digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada

pasien dengan gangguan koroner.

e. Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi

napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas

sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

9

f. Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga

digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

Pelumpuh otot nondepolarisasi

Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkna

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin

tidak dapat bekerja.

Tracurium 20 mg (Antracurium). Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis

rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2

menit. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot adalah Cegukan (hiccup), Dinding

perut kaku, Ada tahanan pada inflasi paru

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan

saraf otot mencegah asetilkolin-esterase bekrja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.

Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (prostigmin),

piridostigmin dan edrophonium.

Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg,

edrophonium 0,5-1,0 mg/kg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik

menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus dan

hipermotilitas usus sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik

seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai

0,2-0,3 mg pada dewasa.

3.1.4 RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan

inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.

Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis)

sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak

menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

10

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-

50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia

cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena

dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan

infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,

pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi

dengan udara + O2 atau N2O + O2.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan

perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran

2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan,

dibantu atau dikendalikan.

3.2 MONITORING PERIANESTESIA

Tujuan monitoring untuk membantu anestetis mendapatkan informasi fungsi

organ vital selama peri anestesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring

secara elektronik membantu anestetis mengadakan observasi pasien lebih efisien

secara terus-menerus.

3.2.1 MONITORING KARDIOVASKULAR

1. Nadi

Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan

sirkulasi sering terjadi selama anestesi. Makin bradikardi makin

menurunkan curah jantung.

Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan

elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm.

2. Tekanan Darah

Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan manset

yang harus tepat ukurannya

3. Banyaknya Perdarahan.

11

3.2.2 MONITORING RESPIRASI

1. Tanpa Alat

Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung gerakan

dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas kendali dan

gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi warna mukosa

bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka bedah apakah pucat,

kebiruan, atau merah muda.

2. Stetoskop

Dengan stetoskop prekordial atau esophageal dapat didengar suara

pernapasan.

3. Oksimetri Denyut

Untuk mengetahui saturasi oksigen. Selain itu dapat diketahui frekuensi

nadi dan adanya disritmia

4. Kapnometri

Untuk mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam udara inspirasi atau

ekspirasi. Kapnometer dipengaruhi oleh sistem anestesia yang digunakan.

3.2.3 MONITORING SUHU BADAN

Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu

sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali kehilangan

panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan konduksi, dengan konsekuensi

depresi otot jantung, hipoksia, asidosis, pulih anestesia lambat.

3.2.4 MONITORING GINJAL

Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal. Produksi air kemih normal

minimal 0,5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat

untuk menghindari resistensi urin atau distensi buli.

3.2.5 MONITORING BLOKADE NEUROMUSKULAR

Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah cukup baik

atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot sudah kembali normal.

12

3.2.6 MONITORING SISTEM SARAF

Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau orientasi

terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien dalam keadaan tidak

sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan memeriksa respons pupil

terhadap cahaya, respon terhadap trauma pembedahan, respons terhadap otot

apakah relaksasi cukup atau tidak.

3.3 VENTILATOR MEKANIK

Ventilator mekanik ialah alat yang menghasilkan tekanan positif secara

ritmik untuk mengembangkan paru selama ventilasi artificial. Fungsi ventilator

umumnya sebagai berikut:

1. Mengembangkan paru selama inspirasi

2. Dapat mengatur waktu, dari inspirasi ke ekspirasi

3. Mencegah paru untuk menguncup sewaktu ekspirasi

4. Dapat mengatur waktu fase ekspirasi ke fase inspirasi

Fase Inspirasi

Rumus untuk menentukan aliran udara ke paru dan volume inspirasi jika gas

dialirkan ke jalan napas atas:

Aliran : perbedaan tekanan (pressure gradient) jalan napas-alveolar

Resistensi jalan napas

Volum: kenaikan tekanan dalam alveolar x komplien

Fase Perubahan Inspirasi ke Ekspirasi

Terdapat 4 jenis Fase perubahan inspirasi ke ekspirasi:

1. Putaran volum

Perubahan terjadi setelah ventilator mengirimkan volum yang telah

ditentukan. Jika ada kebocoran volum berubah.

2. Putaran waktu

Perubahan terjadi setelah tercapainya waktu inspirasi yang

sebelumnya telah ditentukan.

13

3. Putaran tekanan

Perubahan terjadi setelah tercapainya tekanan inspirasi dalam jalan

napas atas yang sebelumnya telah ditentukan.

4. Putaran aliran

Perubahan terjadi setelah aliran inspirasi menurun sesuai yang

telah ditentukan sebelumnya.

Fase Ekspirasi

Selama ekspirasi, paru dibiarkan menguncup sendiri sampai tercapai

tekanan 1 atmosfir atau setelah tercapai tekanan akhir ekspirasi positif.

Periksa Ventilator

Sebelum Ventilator Mekanik digunakan harus diperiksa hal-hal seperti

dibawah ini:

1. Gunakan kantong cadang (reservoir bag) sebagai model paru untuk

memeriksa apakah VM bekerja baik.

2. Alirkan oksigen sekitar 200-300 ml/menit

3. Tentukan volum tidal, frekuensi laju napas, rasio inspirasi-ekspirasi

sesuaivkebutuhan pasien.

4. Isi balon dengan oksigen secara mendadak (Oxygen Flush)

5. Awasi pengembangan kantong cadang sewaktu inspirasi.

6. Periksa semua alat monitor VM apakah bekerja normal. Misalnya

tekanan inspirasi puncak sekitar 20-30 cm H2O pada kantong cadang,

apakah ada kebocoran.

Pada paru normal ventilasi efektif dianjurkan menggunakan patokan sebagai

berikut:

1. Volum tidal 10-12 cc/kgBB

2. Laju napas 10-12 cc/kgBB

3. Rasio inspirasi:ekspirasi=1:2

4. Aliran inspirasi lambat. Tekanan tidak boleh >35 cmH2O (barotraumas

paru)

5. Jika mungkin disediakan kapnografi untuk menyesuaikan:

14

a. Besarnya aliran gas segar.

b. Besarnya volum tidal.

c. Frekuensi laju napas.

d. Menjaga supaya ‘end tidal’ CO2 antara 35-45 mmHg.

3.4 TATALAKSANA JALAN NAPAS

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

1. Hidung

Menuju nasofaring

2. Mulut

Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan

palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju

esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri

dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan

kuneiform.

A. Manuver tripel jalan napas

Terdiri dari:

1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.

2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,

sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

B. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas

mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung

(naso-pharyngeal airway).

15

C. Sungkup muka

Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke

jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan

untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk

semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

D. Sungkup laring (Laryngeal mask)

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar

berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-

kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa

kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

Dikenal 2 macam sungkup laring:

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya

pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.

E. Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari

bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut

(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

F. Laringoskopi dan intubasi

Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop

merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita

dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal

dua macam laringoskop:

1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa

2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

16

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal

dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

1 + + +

2 - + +

3 - - +

4 - - -

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea

melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan

trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan

umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan

sekret jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

17

Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan

catatan tak akan terjadi spasme laring.

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan

cairan lainnya.

3.5 TATALAKSANA PASCA ANESTESIA

Pulih dari anestesia umum atau dari analgesia regional secra rutin dikelola

dikamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi ( RR Recovery Room atau

PACU , Post Anestesia Care Unit ). Idealnya bangun dari anestesi secara

bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal – hal yang

18

tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa

gangguan napas, gangguan kardiovaskuler, gelisah, kesakitan mual-muntah,

menggigil dan kadang – kadang perdarahan.

Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan

dekat kamar bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan

pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena

segera setelah selesai pembedahan dan anestesia dihentikan, pasien sebenarnya

masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih

berada di kamar bedah.

Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah

sampai pasien terbebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus

disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut ( Pulse Oksimeter ), EKG, perlatan

resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari

kamar bedah.

Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalampenanganan pasien

gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini

tanda vital yang membahayakan pasien.

3.5.1 GANGGUAN PERNAPASAN

Obstruksi napas parsial (napas berbunyi ) atau total, tidak ada ekspirasi

( tidak ada suara napas ) paling sering dialami pada pasien pasca anestesia umum

yang belum sadar, karena lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring.

Penyebab lain adalah kejang laring (spasme laring) pada pasien menjelang sadar,

karena laring terangsang benda asing, darah, ludah sekret atau sebelumnya ada

intubasi trakea.

Jika penyebab obstruksi pasien masih dalam anestesi dan lidah menutup

faring, hidung faring dan tentunya berikan oksigen 100%. Kalau tiak menolong,

pasang sungkup laring.

19

Obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu oksigen

100%, bersihkan jalan napas, berikan preparat kortikosteroid (oradekson) dan

kalau tidak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.

Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi,

hiper-kapni, PaCO2 > 45 mmHg) atau saturasi oksigen menurun (hipoksemi, Sa02

< 90 mmHg). Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal

(hipoventilasi). Pernapasan lambat sering akibat kebanyakan opioid dan dangkal

sering akibat pelumpuh otot masih berkerja. Jika penyebab jelas karena opioid

dapat diberikan nalokson dan jika pelumpuh otot dapat diberikan prostigmin-

atropin. Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi,

takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.

3.5.2 GANGGUAN KARDIOVASKULER

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa

trakea, pemberian cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf

simpatis karena hipoksi, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang

berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard,

disritmia, edema paru atau perdarahan otak. Terapi hipertensi diarahkan pada

faktor penyebabnya dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau

nitropruside (niprus) 0,5-1,0 µg/Kg/menit.

Hipotensi akibat isian balik vena (venous return) menurun disebabkan

perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilanganya cairan ke rongga ketiga,

keluaran air kemih belum diganti, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan

vaskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi jika tidak akan terjadi

hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan hipoksemia dan kerusakan jaringan.

Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan oksigen 100%

dan infus kristaloid RL atau asering 300-500 ml.

Disritmia disebabkan oleh hipokalemi, asidosis-alkalosis, hipoksemia,

hiperkapnia atau memang pasien menderita sakit jantung

20

3.5.3 GELISAH

Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,

hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh.

Setelah disingkirkan sebab-sebab diatas, pasien dapat diberikan obat midazolam

(dormikum) 0,05-0,1 mg-KgBB.

3.5.4 NYERI

Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.

Untuk meredakan nyeri pasca beda ada analgesia regional pasien dewsa , sering

ditambahkan morfin 0,05 – 0,10 mg. Saat memasukkan anastetik lokal keruang

sub arachnoid atau morfin 2 – 5 mg ke ruang epidural.

Tindakan ini sangat bermanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca

bedah sekitar 10 -16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul biasanya bersifat sedang

atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid. Dan kalupun perlu, cukup

diberikan analgetik gologan OAINS misalnya 10-30mg iv atau im.

Opioid lain seperti pethidin atau fentanyl jarang digunakan intradural atau

epidural, karena efeknya lebih pendek 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal

atau epidural ialah gatal daerah muka dan pada manula depresi napas belakangan

setelah 10-24 jam. Gatal dimuka dan depresi napas dapat dihilangkan ddengan

nalokson. Opioid intratekal atau intradural tidak dianjurkan pada manula kecuali

mendapat pengawasan ketat. Jika terjadi nyeri berat pasca bedah di UPPA

diberikan opioid bolus selanjutnya titrasi lewat infus.

3.5.5 MUNTAH-MUNTAH

Mual-Muntah pasca anatesi sering terjadi setelah anatesi umum umummnya

penggunaan opioid, bedah intraabdomen, hipotensi dan pada analgesia regional.

Obat mual muntah yang sering digunakan pada perianastesia ialah:

1. Dehydrobenzpridol (droperidol) 0,05-0,1mg/kgBB (amp 5mg/ml)

secara i.m atau i.v

2. Metoclopramide(primperan) 0,1mg/kgBB iv, sub 20mg

21

3. Ondancetron (zofran, narfooz) 0,05-0,1mg/kgBB i.v

4. Cyclizine 25-50mg

3.5.6 MENGGIGIL

Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anastesi.

Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, infus yang

dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Menggigil akibat

turunnya suhu dapat juga disertai naiknya suhu dan biasanya akibt obat

anstesiinhalasi. Terapi pethidin 10-20mg iv pada dewasa sering dapat membantu

menghilangkan menggigil. Selain itu perlu selimut hangat, infus hangat dengan

infus warmer, lampu penghangat untuk menaikkan suhu tubuh.

NILAI PULIH dari ANASTESI

Selama di UPPA pasien dinilai tingkat pulih sadarnya untuk kriteria

pemindahan ke ruang perawatan biasa.

Tabel. Skala Pulih Anastesia

Nilai 2 1 0

Kesadaran Sadar, orientasi

baik

Dapat

dibangunkan

Tak dapat

dibangunkan

Warna Merah muda

(pink) tanpa O2

Sa > 92%

Pucat atau

kehitaman Perlu

O2 agar Sa > 90%

Sianosis dengan

O2 Sa < 90%

Aktivitas 4 ekstremitas

bergerak

2 ekstremitas

bergerak

Tak ada

ektremitas

bgerak

Respirasi Dapat napas

dalam, batuk

Napas dangkal,

sesak napas

Apneu atau

obstruksi

Kardiovaskuler Tekanan darah

berubah <20%

Berubah 20-30% Berubah >50%

Kriteria pindah dari UPPA jika nilai 9 atau 10