bab iii

52
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Seizure 3.1.1 Definisi Seizure Seizure (kejang) adalah bentuk serangan cetusan potensial abnormal berlebihan dari sekelompok neuron kortek/subkortek, bisa sebagai serangan epilepsi maupun bukan (misalnya akibat uremia, gangguan elektrolit dan lain-lain). Seizure adalah respon fisik terhadap peningkatan aktifitas elektrik di otak. 3.1.2 Epidemiologi Seizure Kejang merupakan alasan yang sering dibawa ke Instalansi Gawat Darurat, yaitu sekitar 1,2% dari seluruh kedatangan, dimana 1/4 nya merupakan kejang pertama. Studi menunjukkan bahwa 8-10% dari populasi, beresiko seizure satu kali seumur hidup, dan 3% nya berkesempatan terkena epilepsi. Individu dengan epilepsi memiliki resiko kematian dini 2-3 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki epilepsi. Angka kejadian kejang yang tidak diprovokasi adalah 50- 70/100.000 penduduk. Jika kejang pertama tidak diprovokasi, maka sekitar 2/3 dari kasus akan berulang, dan mengarah pada diagnosis epilepsi (kecenderungan untuk seizure berulang).

Upload: iisisiis

Post on 07-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

seizure lapsus III

TRANSCRIPT

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Seizure

3.1.1 Definisi Seizure

Seizure (kejang) adalah bentuk serangan cetusan potensial abnormal berlebihan dari

sekelompok neuron kortek/subkortek, bisa sebagai serangan epilepsi maupun bukan

(misalnya akibat uremia, gangguan elektrolit dan lain-lain). Seizure adalah respon fisik

terhadap peningkatan aktifitas elektrik di otak.

3.1.2 Epidemiologi Seizure

Kejang merupakan alasan yang sering dibawa ke Instalansi Gawat Darurat, yaitu

sekitar 1,2% dari seluruh kedatangan, dimana 1/4 nya merupakan kejang pertama. Studi

menunjukkan bahwa 8-10% dari populasi, beresiko seizure satu kali seumur hidup, dan 3%

nya berkesempatan terkena epilepsi. Individu dengan epilepsi memiliki resiko kematian dini

2-3 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki epilepsi.

Angka kejadian kejang yang tidak diprovokasi adalah 50-70/100.000 penduduk. Jika

kejang pertama tidak diprovokasi, maka sekitar 2/3 dari kasus akan berulang, dan mengarah

pada diagnosis epilepsi (kecenderungan untuk seizure berulang). Prevalensi tertinggi seizure

yang tidak diprovokasi adalah pada usia <1 tahun dan >65 tahun, yaitu 85-135 per 100.000

penduduk pada usia >65 tahun, dan 15-30/100.000 penduduk pada usia 20-64 tahun. Angka

kejadian ini meningkat berhubungan dengan angka kejadian serebrovaskular, demensia,

trauma, dan kelainan neurodegeneratif yang sering terjadi pada orang tua.

3.1.3 Penyebab Seizure

Penyebab seizure antara lain:

- Idiopatik. 30% dari kasus baru seizure tidak diketahui penyebabnya.

- Trauma pada otak, dari kecelakaan atau trauma lain.

- Infeksi pada otak, seperti enseohalitis atau meningitis.

- Genetik

- Perubahan metabolik, yang dapat mencegah otak mendapatkan nutrisi

- Gangguan elektrolit, dapat disebabkan oleh terapi obat atau penyakit.

- Toksin, seperti overdosis obat, alkohol, ataupun toksin dari lingkungan

Kebanyakan orang tua mendapatkan seizure berhubungan dengan perubahan fisik

yang berkaitan dengan usia, yaitu:

- Stroke. Dimana arteri menjadi sempit atau tersumbat dan menyebabkan otak

kekurangan darah dan oksigen.

- Perdarahan pada otak (stroke hemoragik)

- Serangan jantung. Menyebabkan terputusnya asupan oksigen ke otak sementara,

yang dapat menyebabkan kejang.

- Penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer atau lainnya, dapat menyebabkan

perubahan struktural otak yang dapat menyebabkan kejang.

- Penyakit ginjal, penyakit liver, alkoholism, dan diabetes

- Tumor otak

- Operasi pada otak. Dapat menyebabkan scar yang dapat menyebabkan kejang.

3.1.4 Klasifikasi Seizure

1. Berdasarkan pada manifestasi klinis

a. Seizure parsial

Seizure parsial mengindikasikan adanya aktifasi dari sistem neuron yang

terbatas pada suatu regio di salah satu hemisfer serebri (terdapat suatu fokus di

korteks serebri) sehingga terjadi kelainan klinis dan kelainan gambaran rekam

otak. Berdasarkan ada atau tidaknya penurunan kesadaran selama serangan,

kejang parsial dibagi menjadi:

1) Parsial simple/sederhana (awereness tidak hilang)

Manifestasi seizure parsial sederhana tergantung dari susunan saraf pusat

yang terkena, dapat berupa gejala motorik, sensorik, autonom, maupun psikis.

- Gejala motorik. Fokus biasanya terdapat di girus presentralis lobus frontalis

(pusat motorik). Kejang dimulai di ibu jari, meluas ke seluruh tangan, lengan,

muka, dan tungkai. Kadang-kadang berhenti pada satu sisi. Tetapi bila

rangsangan sangat kuat, dapat meluas ke lengan/tungkai yang lain, sehingga

menjadi kejang umum, yang disebut Jackson motoric epilepsy.

- Gejala sensorik. Fokus terdapat di girus postsentralis lobus parietalis.

Penderita merasa kesemutan di ibu jari, lengan, muka, tungkai, tanpa kejang

motoris, dapat meluas ke sisi lain, yang disebut Jackson sensoric epilepsy.

Seizure parsial sederhana dapat berkembang menjadi parsial kompleks

dan/atau seizure general sekunder.

Gambar 3.1 Manifestasi Seizure Parsial Sederhana

2) Parsial kompleks (awereness hilang)

Tanda-tanda yang menonjol adalah gejala psikis dan automatisme (epilepsy

psikomotor). Gerakan otomatis dapat berupa mengunyah (gerakan bibir dan

otot mulut), menguap, mengenakan pakaian, mandi, naik sepeda, bahkan

terkadang mengendarai mobil. Namun penderita tidak menjawab bila ditegur.

Umumnya penderita tidak melakukan tindakan kriminal atau menyerang orang

lain, tetapi dapat agresif bila dihalangi kemauannya. Setelah serangan

berakhir, penderita lupa apa yang telah dilakukannya.

Sedangkan gejala psikis, didapatkannya kelainan pikiran seperti “deja vu”

(penderita baru pertama kali melihat sesuatu, tetapi merasa sudah berulang kali

melihatnya) dan “jamais vu” (penderita sudah sering melihat, tetapi

mengatakan baru pertama kali melihatnya).

Bila kejang seperti ini sering terjadi, dapat timbul afasia sensorik dan

hemianopsia oleh karena kelainan di lobus temporalis. Pada rekaman EEG

akan terlihat slow-spike di lobus temporalis.

b. Seizure general

Seizure general mengindikasikan adanya keterlibatan kedua hemisfer otak

secara simultan. Gambaran EEG iktal adalah bilateral dan menggambarkan

adanya neuronal discharge yang menyebar di kedua hemisfer otak. Seizure

general bisa konvulsive (kejang) atau non konvulsive, dan bervariasi dari bentuk

ringan sampai berat.

1) General tonik-klonik

Serangan dimulai dengan fase tonik selama ± 30 detik, dilanjutkan fase

klonik selama ± 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15-30 menit.

Dapat terjadi pada semua usia.

Fase tonik: semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan

sehingga wajahnya merah. Kemudian penderita menahan nafas (apnea) selama

± 30 detik, pada akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat, pupil

melebar, refleks cahaya negatif, refleks patologis positif. Kadang-kadang

ngompol karena kontraksi tonik involunter, DD organik atau histerik.

Fase klonik: terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-

kadang lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada

fase ini wajah menjadi normal kembali, tekanan darah menurun, tanda gejala

vital normal.

Fase post-iktal: setelah kejang pasien tertidur, dan saat bangun penderita

mula-mula mengalami disorientasi, tetapi beberapa menit setelah fase ini

penderita menjadi normal kembali, dan dapat berjalan seperti biasa.

2) General tonik

Pada general tonik didapatkan kekakuan generalisata yang singkat.

3) General klonik

4) General absence (petit-mal)

Tipe ini tidak terdapat kejang, ditandai oleh terjadinya gangguan kesadaran

dalam waktu singkat (6-10 detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh.

Penderita berhenti dari aktivitas yang dilakukan, seakan-akan melamun,

kemudian melakukan aktivitas kembali. Serangan dapat berulang 10-20 kali

dalam sehari. Karena singkat, biasanya tidak diketahui orang sekitarnya. Pada

EEG terdapat gambaran yang sangat khas, yaitu dalam 1 detik terdapat 3

kompleks gelombang tumpul dan runcing, yang disebut 3/sec spike slow wave.

Baik klinis maupun EEG dapat diprovokasi dengan kelelahan, stress,

hipoglikemia, atau hiperventilasi.

Petit-mal banyak terjadi pada ana-anak awal usia sekolah (onset: usia 4-12

tahun). Penderita sering kelihatan seperti melamun ketika serangan

mengakibatkan prestasi sekolahnya menjadi menurun, dan sering dianggap

salah sebagai gangguan behaviour.

5) General mioklonik

Banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan terjadi, terdapat gangguan

kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang aneh dari sekelompok

otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut

myoclonic jerking. Kejang ini dapat terjadi beberapa kali dalam sehari secara

berurutan. Tidak terdapat keadaan post ictal.

6) General atonik

Pada tipe ini, secara mendadak pasien kehilangan tonus otot, yang dapat

mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya

tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara

tiba-tiba pasien terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh seperti sinkop.

Serangan ini berlangsung singkat disebut drop attack. Onset dimulai pada usia

2-5 tahun.

c. Status epileptikus

Status epileptikus adalah seizure yang terjadi berkepanjangan/dalam waktu

yang lama (prolonged) atau terjadi sebagai serial (seizure berulang pada hari yang

sama). Status epileptikus merupakan kegawatan neurologi.

3.1.5 Diagnosis Seizure

a. Anamnesis (Auto dan Alo-anamnesis)

1. Identitas: terutama usia dan jenis kelamin

2. Riwayat kejang: pola/bentuk kejang; lamanya; gejala sebelum, selama, dan pasca

serangan (termasuk gejala fisik, psikis, kesadaran); frekuensi serangan; faktor

atau situasi pencetus

3. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

4. Usia pada saat terjadinya kejang pertama

5. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan perkembangan

bayi/anak

6. Riwayat penyakit dahulu: kejang demam, epilepsi, trauma kepala, gangguan

psikiatri, penggunaan alkohol atau obat-obatan

7. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan fisik

- Tentukan ada/tidaknya aura. Bila ada, berarti kelainan fokal.

- Perhatikan apakah ada pemutaran kepala. Bila waktu kejang kepala tidak di

tengah-tengah, tetapi menoleh ke salah satu sisi, berarti ada kelainan fokal (dengan

fokus berlawanan dengan arah kepala).

- Perhatikan apakah ada hemiparesis post iktal (Todd’s paralysis). Bila ada berarti

ada kelainan fokal

- Waktu terjadinya. Bila terjadi saat mau bangun tidur atau waktu akan tidur, berarti

ada kelainan fokal

- Umur. Grandmal yang murni terjadi mulai umur 3 tahun hingga pubertas. Bila

terjadi kurang dari 3 tahun atau setelah pubertas, cari kelainan fokal.

- Pada anak perhatikan pertumbuhan ekstremitas. Sering pada sisi yang hemiparesis

ringan terlihat atrofi otot dan kuku yang lebih kecil. Pemeriksaan neurologis

(refleks tendon, refleks patologis, tonus, termasuk pemeriksaan fundus okuli) perlu

dikerjakan.

c. Pemeriksaan penunjang

- Electroencephalogram (EEG). Tes ini dapat merekam aktivitas elektrik di otak

dalam bentuk gelombang otak. EEG dapat menangkap gelombang epileptogenik

pada 1,8-4% pasien normal. Spesifisitas EEG mencapai 96% dengan sensitifitas

minimal 29% dan meningkat minimal 59% dengan EEG ulangan. Rekaman EEG

sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik, hiperventilasi,

dan stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan. Bila EEG pertama menunjukkan

hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan

EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah kejang atau dilakukan dengan persyaratan

khusus misalnya dengan mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan

menghentikan obat anti epilepsi (OAE). Pada individu yang memiliki klinis kejang,

50% nya memiliki gambaran EEG yang normal.

- Brain imaging. Diindikasikan pada semua kasus bangkitan pertama yang diduga

ada kelainan struktural dan terjadi pada usia di atas 25 tahun. CT scan dapat

digunakan untuk melihat abnormalitas yang ada di otak yang menjadi penyebab

kejang. MRI berguna bila penyebab kejang adalah suspected but indefinite, seperti

trauma kepala ringan. CT scan atau MRI tidak diperlukan pada sindroma epilepsi

yang jelas, seperti absen, juvenil myoclonic epilepsy, atau benign rolandic epilepsy,

yang disebabkan oleh genetik, dimana hasilnya hampir selalu normal atau tidak

berhubungan dengan epilepsinya.

- Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, gula darah, elektrolit, tes fungsi hati dan

ginjal berguna untuk mengetahui adanya gangguan metabolik, seperti

hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, uremia, dan lain-lain

sebagai penyebab kejang.

- Pemeriksaan likuor, dilakukan bila dicurigai adanya peradangan pada otak, pada

pasien dengan klinis kejang dan febris.

3.1.6 Diagnosis Banding Seizure

- Benign Positional Vertigo

- Breath holding spells in children

- Cardiac arrhythmia

- Hipoglikemia

- Migraine

- Narcolepsy/cataplexy

- Night terrors

- Nightmares

- Nocturnal myoclonus

- Panic attacks

- Periodic paralysis

- Pseudoseizures/Hysterical seizures

- Sleep apnea

- Syncope

- Transient Ischemic attacks (TIA)

3.1.7 Penatalaksanaan Seizure

Kejang merupakan kegawatan di bidang neurologi. Akan tetapi, kejang parsial hanya

berlangsung sebentar dan tidak membahayakan pasien. Namun, jika terdapat luka dan

kejangnya melebihi 5-10 menit sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit. Berikut beberapa

pedoman pertolongan pertama mengatasi kejang:

- Bersikaplah tenang

- Bantu pasien berbaring dan jauhkan dari sesuatu yang keras dan tajam, seperti sudut

meja dan lain-lain

- Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ke tanah, agar air ludah tidak masuk

jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan nafas

- Longgarkan baju, lepaskan kacamata, namun biarkan bila ia memakai kontak lens

- Jangan berusaha memasukkan apapun ke dalam mulut pasien. Lidah tidak dapat

berfungsi untuk menelan, sehingga akan menyebabkan tersedak.

- Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan pasien, karena akan

mengakibatkan perlawanan atau agitasi dari pasien. Hal ini disebabkan pasien belum

sepenuhnya pulih kesadarannya.

- Hindari pemberian obat, minuman, atau makanan sebelum pasien pulih 100%

kesadarannya

- Temanilah pasien hingga sadar seutuhnya. Tanyakanlah “dimana alamatmu”, jika

pasien menjawab dengan benar maka ia telah pulih.

- Jika kejang pertama kali dan berlangsung lebih dari 5 menit segera panggil bantuan

dan ke rumah sakit.

Penatalaksanaan untuk kejang general yang lebih dari 5 menit:

1. Diazepam

Dosis dewasa adalah 5 mg IV sebagai dosis awal, dapat diulangi q3mins dengan

total dosis maksimum 20 mg. Dosis untuk remaja: 2.5 mg IV sebagai dosis awal,

dapat diulangi q3mins dengan total dosis maksimum 10 mg. Dosis untuk anak: 0.2

mg / kg IV sebagai dosis awal (maksimal 2.5 mg), dapat diulangi q3mins, dengan

total dosis maksimum 5 mg. Hentikan pemberian diazepam jika seizure berhenti,

dosis maksimum telah tercapai, atau didapatkan tanda-tanda depresi napas.

2. Lorazepam

Dosis untuk dewasa dan remaja: 2 mg intrabucal sebagai dosis awal, dapat

diulangi q10-15mins, dengan total dosis maksimum 5 mg. Tidak dianjurkan untuk

anak-anak. Hentikan pemberian diazepam jika seizure berhenti, dosis maksimum

telah tercapai, atau didapatkan tanda-tanda depresi napas.

3.2 Epilepsi

3.2.1 Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan

bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,

psikologis, dan sosial. Dimana terjadi minimal 1 kali bangkitan epileptik (terjadinya

tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di

otak). Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat gangguan

fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh muatan listrik abnormal dan berlebihan

di neuron-neuron secara paroksisimal, didasari oleh berbagai faktor etiologi.

3.2.2 Etiologi Epilepsi

Menentukan etiologi epilepsi sangat penting karena berhubungan dengan

penatalaksanaan selanjutnya. Etiologi epilepsi dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:

- Idiopatik

Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Umumnya

mempunyai predisposisi genetik dan berhubungan dengan usia. Sebagian besar

etiologi epilepsi adalah idiopatik, ditandai dengan epilepsi general (epilepsi grandmal

yang murni terjadi pada usia 3 tahun-pubertas). Bila didapatkan epilepsi idiopatik,

pemeriksaan pertama adalah melihat fungsi otak dengan EEG. Jika pada EEG

didapatkan tanda lateralisasi, pemeriksaan selanjutnya adalah CT scan kepala.

- Kriptogenik

Dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini adalah

sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik

sesuai dengan ensefalopati difus.

- Simtomatik

Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat (SSP), kelainan

kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol dan

obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif. Secara klinis ditandai dengan:

o Terjadi pertama kali usia kurang dari 3 tahun atau setelah umur 18 tahun

o Kejang parsial

o Didapatkan aura

o Terdapat gejala Todd paralisis (pasien mengalamai hemiparese setelah

serangan epilepsi dan beberapa menit kemudian normal kembali). DD TIA.

o Ada kejang fokal sekunder general yang ditandai awal serangan sadar dan

selanjutnya pasien tidak sadar

o Bila kejang terjadi pada waktu mau bangun tidur atau waktu akan tidur

o Bila waktu kejang kepala tidak di tengah-tengah, tetapi menoleh ke salah satu

sisi, berarti ada kelainan fokal (dengan fokus berlawanan dengan arah kepala)

Bila ada dugaan epilepsi simtomatik maka pemeriksaan pertama kali yang akan

dilakukan adalah melihat struktur otak dengan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala.

3.2.3 Patofisiologi Epilepsi

Beberapa faktor yang ikut berperan dalam patofisiologi terjadinya epilepsi adalah:

- Gangguan pada membran sel neuron

Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel terhadap ion natrium

dan kalium. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion kalium, namun kurang

permeabel terhadap ion natrium, sehingga dalam keadaan normal, konsentrasi ion kalium

tinggi dan ion natrium rendah di dalam sel. Potensial membran ini dapat diganggu dan

berubah oleh berbagai hal misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi

mekanis atau kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh

kelainan genetik.

Bila keseimbangan terganggu akan merubah sifat semi-permeabel sel, sehingga ion

natrium dan kalium berdifusi melalui membran, menyebabkan perubahan kadar ion

(konsentrasi ion kalium berkurang dan ion natrium meningkat di dalam sel), dan

perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan

menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang

akson.

- Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps

Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang

terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang kemudian membebaskan zat

transmitter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinaps.

Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan depolarisasi, sedangkan

zat transmiter inihibisi (Gamma Amino Butyric Acid/GABA, glisin) menyebabkan

hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau

inihbisi pada transmisi sinaps.

Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya melalui sinaps

eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang

saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal

didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan

ini dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inihibisi adalah meninggikan

tingkat polarisasi membran sel, yang jika gagal akan mengakibatkan lepasnya muatan

listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipesinkronisasi. Gangguan

sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dimana eksitasi

lebih unggul dan menimbulkan bangkitan epilepsi. Fosfat-piridoksal penting untuk sintesis

GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada

bayi. Jaringan saraf dapat menjadi hipereksitabel oleh perubahan homeostatis tubuh

(demam, hipoksia, hipokalsemia, overhidrasi, dan perubahan keseimbangan asam basa)

dan faktor eksternal (obat konvulsan, penghentian mendadak obat anti konvulsan terutama

barbiturate, dosis lebih berbagai macam obat dan toksin).

Lepas muatan berasal dari badan sel, dendrite dan akson. Dengan menggunakan

elektrode-mikro, dapat ditunjukkan bahwa aktivitas letupan listrik abnormal yang

berfrekuensi tinggi didapatkan pada sel neuron difokus epileptik. Diduga bahwa aktivitas

autonom ini disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena adanya perbedaan potensial

antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis dendrit ini dapat diakibatkan oleh

tekanan mekanis, misalnya oleh jaringan parut. Neuron epileptik secara histologis

mempunyai ujung sinaps yang sedikit, sehingga rangsang eferen yang diterimanya

berkurang, dan mengakibatkan sel neuron menjadi hipersensitif (misalnya terhadap zat

kimiawi di sekelilingnya), dan terjadi lepas muatan listrik yang berlebihan secara spontan.

- Sel glia

Sel glia berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra seluler di sekitar neuron dan

terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia terganggu dan

mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi

antara kadar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat mendepolarisasi

membran neuron. Sedangkan astroglia berfungsi untuk membuang ion kalium yang

berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang kadar ion

kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang mengitari sel

neuron. Saat ion kalium diserap oleh astroglia, cairan pun ikut terserap dan sel astroglia

menjadi bengkak (edema).

Sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal

(fokus epileptikus) di otak, yang berlepas muatan listrik berlebihan dan hipersinkron, yang

kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis anatomis dan melibatkan daerah di

sekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak. Bila sekelompok neuron tercetus

dalam aktivitas listrik berlebihan maka didapatkan 3 kemungkinan:

1. Aktivitas tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron

tersebut kemudian berhenti.

2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh otak,

kemudian menjadi tahan dan berhenti.

3. Aktivitas menjalar keseluruh otak dan kemudian berhenti.

Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan pada bangkitan epilepsi fokal (parsial), sedangkan

keadaan 3 pada bangkitan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi tergantung pada letak

serta fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik berlebihan serta penjalarannya.

Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motorik di lobus

frontalis, bila yang terlibat adalah struktur di lobus parietalis dan oksipitalis akan terjadi

bermacam ragam gangguan sensori, bila melibatkan batang otak dan thalamus akan terjadi

penurunan kesadaran. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan

bangkitan epilepsi klinis, walaupun ia berlepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di

serebelum bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak mampu mencetuskan

bangkitan epilepsi.

Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium dan kalium

yang berhubungan erat dengan kelistrikan dan penjalarannya. Sel neuron mampu

mengeluarkan ion natrium dari dalam sel, dan dibutuhkan energi besar yang diperoleh

melalui senyawa fosfat (ATP). Bila terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan

natrium bertambah, sehingga kebutuhan akan senyawa ATP juga bertambah, dimana

kebutuhan oksigen dan glukosa juga meningkat. Bila kejang berlangsung lama, namun

kebutuhan oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, akan menyebabkan sel neuron rusak atau

mati.

3.2.4 Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri

dari dua, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan untuk sindrom epilepsi.

Gambar 3.2Klasifikasi ILAE 1981 untuk Tipe Bangkitan Epilepsi

Gambar 3.3Klasifikasi ILAE 1981 untuk Epilepsi dan Sindrom Epilepsi

3.2.5 Diagnosis Epilepsi

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:

1. Pastikan adanya bangkitan epilepsi

2. Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981

3. Tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1981

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk

bankitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada

EEG. Langkah-langkah diagnosis:

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis mengenai

- Gejala dan tanda sebelum bangkitan (gejala prodormal)

o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadi bangkitan: perubahan

perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan

lain-lain.

- Selama bangkitan/iktal

o Adanya aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan

o Pola/bentuk bangkita: deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,

aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan

tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain

o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan

o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya

o Aktivitas penderita saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain

video game, berkemih, dan lain-lain.

- Pasca bangkitan/post iktal:

o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.

- Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis, alkohol

- Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara

bangkitan, kesadaran antara bangkitan

- Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya

o Jenis obat antiepilepsi

o Dosis OAE

o Jadwal minum OAE

o Kepatuhan minum OAE

o Kadar OAE dalam plasma

o Kombinasi terapi OAE

- Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun

sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

- Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

- Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang

- Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam

- Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-lain.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi

- Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan

epilepsi, misalnya trauma kepala, tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan alkohol

atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda-tanda keganasan.

- Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus

yang berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah

bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal, yaitu paresis Todd,

gangguan kesadaran pasca iktal, dan afasia pasca iktal.

3. Pemeriksaan penunjang

- EEG. EEG dapat membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun

sindrom epilepsi, menentukan prognosis, menentukan perlu/tidaknya pemberian OAE.

- Pencitraan otak. Untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Diindikasikan pada

kejang unprovoked pertama pada usia dewasa. CT scan ditujukan untuk kasus

kegawatdaruratan, dan MRI untuk kasus elektif. Bila dilihat dari segi sensitivitas dalam

menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.

- Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan hematologis: DL, elektrolit, GDA, fungsi hati, ureum, kreatinin, dan

albumin.

o Pemeriksaan kadar OAE

- Lumbal punksi

- EKG

3.2.6 Diagnosis Banding Epilepsi

Pada neonatus dan bayi JitteringApneic spell

Pada anak Breath holding spellsSinkopeMigraineBangkitan psikogenik/konversiProlonged QT syndromeNight terrorTicsHypercyanotic attack (pada TOF)

Pada dewasa Sinkope: vasovagal attack, kardiogenik, hipovolumik, hipotensi, dan saat miksiTIAVertigoTransient global amnesiaNarkolepsiBangkitan panik, psikogenikSindrom menierTics

Tabel 3.1Diagnosis Banding Epilepsi

Gambar 3.4Diagnosis Banding Sindrom Epilepsi

Gambar 3.5Diagnosis Banding Kejang Epilepsi

3.2.7 Penatalaksanaan Epilepsi

Tujuan utama terapi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai

dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.

Untuk tercapainya tujuan tersebut, diperlukan beberapa upaya antara lain: menghentikan

bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan

angka kesakitan dan kematian, dan mencegah timbulnya efek samping OAE.

Prinsip terapi farmakologi:

- OAE mulai diberikan bila: diagnosis epilepsi telah dipastikan (confirmed) dan setelah

pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan,

kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul, dan setuju.

- OAE harus dimulai sedini mungkin, yaitu setelah pasien mengalami satu serangan

(paroxysmal event adalah epilepsi).

- Terapi OAE dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis

bangkitan (gambar 3.7) dan sindrom epilepsi (gambar 3.6). Keuntungan monoterapi yaitu

efektif, sederhana, toksisitas minimal, dan kemungkinan interaksi OAE sedikit dan murah.

- Dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul

efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan

dosis efektif.

- Bila dengan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, perlu

ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama

diturunkan bertahan (tappering off) perlahan-lahan.

- Penambahan obat ketiga dilakukan jika dosis maksimal kedua OAE pertama tidak dapat

mengatasi bangkitan.

- Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:

o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG

o Pada CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan,

misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes

o Pada pemeriksa neurologik dijumpai kelainan yang mengarah adanya kerusakan otak

o Terdapat riwayat epilepsi pada saudara kandung (orang tua)

o Riwayat bangkitan simtomatik

o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penuruna kesadaran, stroke, infeksi

o Bangkitan pertama merupakan status epileptikus

- Efek samping OAE (gambar 3.9) dan interaksi farmakokinetik antar OAE (gambar 3.10)

perlu diperhatikan.

Gambar 3.6 Pemilihan OAE berdasarkan Sindroma Epilepsi

Gambar 3.7Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan

Gambar 3.8 Dosis OAE untuk Orang Dewasa

Gambar 3.9 Efek Samping OAE

Gambar 3.10 Interaksi Farmakokinetik antar OAE

Epilepsi pada usia lanjut perlu perhatian khusus. OAE spektrum luas perlu

dipertimbangkan pada epilepsi umum atau tipe campuran (fokal dan umum). Pemberian obat

pada usia lanjut dimulai dari dosis sangat rendah dengan peningkatan dosis (titrasi) dilakukan

secara sangat perlahan (start very slow and go very slow). Setengah dosis dewasa yang

direkomendasikan sebagai dosis awal dan awitan seringkali dapat mengontrol kejang.

Pemberian politerapi OAE sedapat mungkin dihindari. Efektivitas OAE monoterapi untuk

mengontrol bangkitan epilepsi pada lanjut usia lebih baik dibanding pada penderita epilepsi

usia muda.

Gambar 3.11Rekomendasi Epilepsi Parsial pada Lanjut Usia

Penghentian OAE:

- Syarat umum, yaitu bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun; gambaran EEG normal;

dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka

waktu 3-6 bulan; penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

- Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada usia tua,

epilepsi simtomatik, gambaran EEG abnormal, penggunaan lebih dari satu OAE, masih

mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi, dan pada terapi 10 tahun

atau lebih. Sangat jarang pada sindroma epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada

daerah sentro-temporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial

kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi mioklonik anak.

- Kemungkinan kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-5

tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif

terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.

3.2.8 Prognosis Epilepsi

Pasien epilepsi usia lanjut mempunyai angka mortalitas dua sampai tiga kali lebih

tinggi daripada populasi umum. Epilepsi pada usia lanjut umumnya mempunya respon yang

baik terhadap pengobatan.

3.3 Status Epileptikus

3.3.1 Definisi Status Epileptikus

Status epileptikus adalah keadaan dimana terjadi kejang berulang-ulang dan diantara

dua serangan pasien tetap tidak sadar atau pasien kejang satu kali tetapi lama kejang lebih

dari 30 menit. Namun, penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan

berlangsung lebih dari 5 menit. Gambaran klinis SE mencakup aktivitas motorik tonik dan

atau klonik kontinyu yang berhubungan dengan gangguan kesadaran yang jelas. Kebanyakan

kasus SE (75%) gejalanya mudah terlihat dan mencakup kejang umum berulang tanpa

pemulihan sempurna di antara kejang.

SE tidak sulit untuk didiagnosis, tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai SE.

Mioklonus post-anoksia setelah suatu henti jantung atau setelah suatu koma yang diinduksi

phenobarbital atau anestesi umum, dapat menyerupai SE.

3.3.2 Etiologi Status Epileptikus

- Pasien epilepsi yang mendadak berhenti minum OAE

- Meningits

- Tumor otak

- Ensefalopati hipertensi

- Abses otak

- Hipoglikemia

- Perdarahan otak

- Sindroma Reye (pada anak-anak), dan lain-lain.

3.3.3 Klasifikasi Status Epileptikus

SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures), yaitu bangkitan tonik klonik

yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

Pembagian SE berdasar jenis bangkitannya:

SE konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik)

SE konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit atau bangkitan

berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan. Insiden tahunan

diperkirakan antara 6,2 – 20 per 100.000 orang, dan paling sering terjadi pada orang tua

(insiden 22,3 per 100.000 orang). Pada umumnya sekitar 80% pasien dengan SE

konvulsif dapat terkontrol dengan pemberian benzodiazepine atau phenytoin. Bila

bangkitan masih berlangsung maka disebut status epileptikus refrakter, dan diperlukan

penanganan di ICU untuk dilakukan tindakan anestesi.

- Generalized tonic clonic status epilepticus (GCSE). GCSE dapat diawali sebagai

kejang umum, atau sebagain bangkitan sederhana atau parsial kompleks yang menjadi

kejang umum sekunder merupakan tipe SE yang paling umum dan paling mengancam

nyawa.

- Simple partial SE (SPSE) with motor symptom

SE non-konvulsif (SE-NK) (bangkitan bukan umum tonik-klonik)

SE-NK adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang

(EEG status) dan memberikan gejala klinis non motorik termasuk perubahan perilaku

atau awareness. Dapat ditemukan pada 1/3 kasus status epileptikus. Dibagi menjadi SE

lena, SE parsial kompleks, SE nonkonvulsius pada pasien dengan koma, dan SE pada

pasien dengan gangguan belajar.

- Typical absence status epilepticus

- Atypical absence status epilepticus

- Late-onset de novo absence status epilepticus

- Simple partial SE (SPSE) without motor symptoms

- Complex partial SE (CPSE)

- NSCE in coma

- Subtle GSCE

Klasifikasi SE berdasarkan durasi:

- SE Dini (5-30 menit)

- SE menetap/established (>30 menit)

- SE refrakter: bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal

dengan dosis adekuat.

3.3.4 Penatalaksanaan Status Epileptikus

Status epileptikus perlu dihentikan segera, karena semakin lama kejang berlangsung

semakin sulit dikontrol dan semakin banyak kerusakan sel otak. Kerusakan sel otak terjadi

terutama oleh bangkitan eksitasi yang terus-menerus dan bukan oleh komplikasi aktivitas

kejangnya. Tetapi, faktor sistemik (hiperpireksia) dapat menimbulkan kerusakan otak. Oleh

karenanya sebaiknya seizure dapat dihentikan dalam waktu 30 menit baik secara klinik

maupun elektrik.

Penatalaksanaan SE harus dimulai dengan penanganan 5B (Breathing, Blood, Brain,

Bowel, Bladder) untuk menstabilisasi pasien. Suhu badan, tekanan darah, bacaan EKG, serta

fungsi respirasi harus dipantau. Pulse oximetry atau analisis gas darah arteri perlu dilakukan

untuk memeriksa oksigenisasi. Bantuan nafas diberikan jika diperlukan, selanjutnya dipasang

jalur intravena untuk rehidrasi dan penggunaan vasopresor diperlukan jika pasien mengalami

hipotensi. Pendinginan perlu dilakukan bila suhu badan pasien melebihi 40oC. Sampel darah

harus diambil untuk memeriksa hematologi dan kimia darah serta kadar obat antiepilepsi

dalam serum. Jika pasien mengalami hipoglikemia, berikan glukosa intravena. Thiamine

intravena dapat diberikan sebelum atau bersamaan dengan glukosa. Bicarbonate dapat

diberikan untuk menangani asidosis, yang hanya diberikan bila pH darah sangat rendah

hingga mengancam nyawa. Penyebab SE diidentifikasi dan diterapi bila mungkin.

Pemantauan EEG juga penting selama terapi, karena jika bangkitan jelas berhenti namun

pasien tetap tidak sadar, pasien tersebut masih tetap bisa mengalami aktivitas bangkitan

elektrografik kontinyu.

Gambar 3.12 Penanganan SE konvulsif

Penanganan SE:

1. Diazepam iv atau pada anak bila iv tidak memungkinkan, dapat diberikan diazepam

solutin (bukan suppositoria) per rektal. Dosis dewasa: iv 10 mg dalam 2 cc perlahan.

Diazepam sangat cepat melewati BBB, tetapi kadar terapeutiknya hanya dipertahankan 2

jam. Jadi, jika kejang belum hilang atau kumat lagi, diazepam dapat diberikan ulang

dengan dosis 10 mg tiap dua jam (sehari 120 mg). Pada pemberian diazepam harus siap

untuk memberi pernapasan buatan karena diazepam dapat memberi efek samping depresi

napas. Diazepam sebaiknya tidak diberikan dalam bentuk infus (drip), karena akan terjadi

penumpukan diazepam dan metabolit desmetil yang akan menyebabkan koma yang

berlangsung lama setelah kejang dikontrol, dan diazepam dapat diabsorpsi dalam selang

karet.

2. Setelah pemberian injeksi diazepam iv, hendaknya diberi fenitoin secara iv perlahan (50

mg per menit). Perhatian pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung. Jangan

memberi fenitoin secara cepat karena dapat menyebabkan pernapasan berhenti, hipotensi,

atau kadang-kadang cardiac arrest.

3. Bila kejang belum juga berhenti maka harus dicoba diberikan narkose umum dengan short

acting barbiturate seperti thiopentone (oleh ahli anestesi).

Setelah 12-24 jam kejang teratasi, obat-obatan dapat dikurangi secara bertahap dalam

24 jam. Apabila kejang berulang kembali, diperlukan pemberian infus kontinyu lebih lama

dan penghentian dosis secara bertahap dengan lebih perlahan.

Gambar 3.13 OAE pada SE konvulsif

Gambar 3.12 Alur Penanganan SE konvulsif

Gambar 3.13 Penanganan SE-NK

Gambar 3.14Dosis Obat pada SE-NK

3.3.5 Prognosis Status Epileptikus

Prognosis ditentukan oleh etiologi dan durasi SE. Angka mortalitas yang tinggi

berhubungan dengan etiologi yang berupa hipoksia, anoksia, penyakit serebrovaskular,

perdarahan, dan abnormalitas metabolik. Dengan durasi SE yang panjang, pemenuhan

kebutuhan metabolik otak yang meningkat menjadi lebih sulit, dan bisa terjadi beberapa

penyulit sistemik dan neurologis. Hilangnya autoregulasi sistemik bisa menyebabkan

komplikasi seperti hipotensi, hipoksia, hipoglikemia, asidosis metabolik, hiperpireksia, dan

gagal napas.

Penyulit sistemik dan aktivitas kejang yang berkepanjangan mengakibatkan kerusakan

otak. 15 pasien dengan kejang yang berkepanjangan beresiko mengalami penurunan fungsi

kognitif, epilepsi, dan abnormalitas neurologis lain. Angka kematian lebih tinggi pada kejang

yang berkepanjangan (>1 jam) dibandingkan yang tidak (30 menit hingga <1 jam). Sehingga

penatalaksanaan SE secara tepat dan agresif penting untuk menurunkan resiko kematian dan

perburukan gejala neurologis.