Download - BAB III
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Seizure
3.1.1 Definisi Seizure
Seizure (kejang) adalah bentuk serangan cetusan potensial abnormal berlebihan dari
sekelompok neuron kortek/subkortek, bisa sebagai serangan epilepsi maupun bukan
(misalnya akibat uremia, gangguan elektrolit dan lain-lain). Seizure adalah respon fisik
terhadap peningkatan aktifitas elektrik di otak.
3.1.2 Epidemiologi Seizure
Kejang merupakan alasan yang sering dibawa ke Instalansi Gawat Darurat, yaitu
sekitar 1,2% dari seluruh kedatangan, dimana 1/4 nya merupakan kejang pertama. Studi
menunjukkan bahwa 8-10% dari populasi, beresiko seizure satu kali seumur hidup, dan 3%
nya berkesempatan terkena epilepsi. Individu dengan epilepsi memiliki resiko kematian dini
2-3 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki epilepsi.
Angka kejadian kejang yang tidak diprovokasi adalah 50-70/100.000 penduduk. Jika
kejang pertama tidak diprovokasi, maka sekitar 2/3 dari kasus akan berulang, dan mengarah
pada diagnosis epilepsi (kecenderungan untuk seizure berulang). Prevalensi tertinggi seizure
yang tidak diprovokasi adalah pada usia <1 tahun dan >65 tahun, yaitu 85-135 per 100.000
penduduk pada usia >65 tahun, dan 15-30/100.000 penduduk pada usia 20-64 tahun. Angka
kejadian ini meningkat berhubungan dengan angka kejadian serebrovaskular, demensia,
trauma, dan kelainan neurodegeneratif yang sering terjadi pada orang tua.
3.1.3 Penyebab Seizure
Penyebab seizure antara lain:
- Idiopatik. 30% dari kasus baru seizure tidak diketahui penyebabnya.
- Trauma pada otak, dari kecelakaan atau trauma lain.
- Infeksi pada otak, seperti enseohalitis atau meningitis.
- Genetik
- Perubahan metabolik, yang dapat mencegah otak mendapatkan nutrisi
- Gangguan elektrolit, dapat disebabkan oleh terapi obat atau penyakit.
- Toksin, seperti overdosis obat, alkohol, ataupun toksin dari lingkungan
Kebanyakan orang tua mendapatkan seizure berhubungan dengan perubahan fisik
yang berkaitan dengan usia, yaitu:
- Stroke. Dimana arteri menjadi sempit atau tersumbat dan menyebabkan otak
kekurangan darah dan oksigen.
- Perdarahan pada otak (stroke hemoragik)
- Serangan jantung. Menyebabkan terputusnya asupan oksigen ke otak sementara,
yang dapat menyebabkan kejang.
- Penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer atau lainnya, dapat menyebabkan
perubahan struktural otak yang dapat menyebabkan kejang.
- Penyakit ginjal, penyakit liver, alkoholism, dan diabetes
- Tumor otak
- Operasi pada otak. Dapat menyebabkan scar yang dapat menyebabkan kejang.
3.1.4 Klasifikasi Seizure
1. Berdasarkan pada manifestasi klinis
a. Seizure parsial
Seizure parsial mengindikasikan adanya aktifasi dari sistem neuron yang
terbatas pada suatu regio di salah satu hemisfer serebri (terdapat suatu fokus di
korteks serebri) sehingga terjadi kelainan klinis dan kelainan gambaran rekam
otak. Berdasarkan ada atau tidaknya penurunan kesadaran selama serangan,
kejang parsial dibagi menjadi:
1) Parsial simple/sederhana (awereness tidak hilang)
Manifestasi seizure parsial sederhana tergantung dari susunan saraf pusat
yang terkena, dapat berupa gejala motorik, sensorik, autonom, maupun psikis.
- Gejala motorik. Fokus biasanya terdapat di girus presentralis lobus frontalis
(pusat motorik). Kejang dimulai di ibu jari, meluas ke seluruh tangan, lengan,
muka, dan tungkai. Kadang-kadang berhenti pada satu sisi. Tetapi bila
rangsangan sangat kuat, dapat meluas ke lengan/tungkai yang lain, sehingga
menjadi kejang umum, yang disebut Jackson motoric epilepsy.
- Gejala sensorik. Fokus terdapat di girus postsentralis lobus parietalis.
Penderita merasa kesemutan di ibu jari, lengan, muka, tungkai, tanpa kejang
motoris, dapat meluas ke sisi lain, yang disebut Jackson sensoric epilepsy.
Seizure parsial sederhana dapat berkembang menjadi parsial kompleks
dan/atau seizure general sekunder.
Gambar 3.1 Manifestasi Seizure Parsial Sederhana
2) Parsial kompleks (awereness hilang)
Tanda-tanda yang menonjol adalah gejala psikis dan automatisme (epilepsy
psikomotor). Gerakan otomatis dapat berupa mengunyah (gerakan bibir dan
otot mulut), menguap, mengenakan pakaian, mandi, naik sepeda, bahkan
terkadang mengendarai mobil. Namun penderita tidak menjawab bila ditegur.
Umumnya penderita tidak melakukan tindakan kriminal atau menyerang orang
lain, tetapi dapat agresif bila dihalangi kemauannya. Setelah serangan
berakhir, penderita lupa apa yang telah dilakukannya.
Sedangkan gejala psikis, didapatkannya kelainan pikiran seperti “deja vu”
(penderita baru pertama kali melihat sesuatu, tetapi merasa sudah berulang kali
melihatnya) dan “jamais vu” (penderita sudah sering melihat, tetapi
mengatakan baru pertama kali melihatnya).
Bila kejang seperti ini sering terjadi, dapat timbul afasia sensorik dan
hemianopsia oleh karena kelainan di lobus temporalis. Pada rekaman EEG
akan terlihat slow-spike di lobus temporalis.
b. Seizure general
Seizure general mengindikasikan adanya keterlibatan kedua hemisfer otak
secara simultan. Gambaran EEG iktal adalah bilateral dan menggambarkan
adanya neuronal discharge yang menyebar di kedua hemisfer otak. Seizure
general bisa konvulsive (kejang) atau non konvulsive, dan bervariasi dari bentuk
ringan sampai berat.
1) General tonik-klonik
Serangan dimulai dengan fase tonik selama ± 30 detik, dilanjutkan fase
klonik selama ± 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15-30 menit.
Dapat terjadi pada semua usia.
Fase tonik: semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan
sehingga wajahnya merah. Kemudian penderita menahan nafas (apnea) selama
± 30 detik, pada akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat, pupil
melebar, refleks cahaya negatif, refleks patologis positif. Kadang-kadang
ngompol karena kontraksi tonik involunter, DD organik atau histerik.
Fase klonik: terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-
kadang lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada
fase ini wajah menjadi normal kembali, tekanan darah menurun, tanda gejala
vital normal.
Fase post-iktal: setelah kejang pasien tertidur, dan saat bangun penderita
mula-mula mengalami disorientasi, tetapi beberapa menit setelah fase ini
penderita menjadi normal kembali, dan dapat berjalan seperti biasa.
2) General tonik
Pada general tonik didapatkan kekakuan generalisata yang singkat.
3) General klonik
4) General absence (petit-mal)
Tipe ini tidak terdapat kejang, ditandai oleh terjadinya gangguan kesadaran
dalam waktu singkat (6-10 detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh.
Penderita berhenti dari aktivitas yang dilakukan, seakan-akan melamun,
kemudian melakukan aktivitas kembali. Serangan dapat berulang 10-20 kali
dalam sehari. Karena singkat, biasanya tidak diketahui orang sekitarnya. Pada
EEG terdapat gambaran yang sangat khas, yaitu dalam 1 detik terdapat 3
kompleks gelombang tumpul dan runcing, yang disebut 3/sec spike slow wave.
Baik klinis maupun EEG dapat diprovokasi dengan kelelahan, stress,
hipoglikemia, atau hiperventilasi.
Petit-mal banyak terjadi pada ana-anak awal usia sekolah (onset: usia 4-12
tahun). Penderita sering kelihatan seperti melamun ketika serangan
mengakibatkan prestasi sekolahnya menjadi menurun, dan sering dianggap
salah sebagai gangguan behaviour.
5) General mioklonik
Banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan terjadi, terdapat gangguan
kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang aneh dari sekelompok
otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut
myoclonic jerking. Kejang ini dapat terjadi beberapa kali dalam sehari secara
berurutan. Tidak terdapat keadaan post ictal.
6) General atonik
Pada tipe ini, secara mendadak pasien kehilangan tonus otot, yang dapat
mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya
tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara
tiba-tiba pasien terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh seperti sinkop.
Serangan ini berlangsung singkat disebut drop attack. Onset dimulai pada usia
2-5 tahun.
c. Status epileptikus
Status epileptikus adalah seizure yang terjadi berkepanjangan/dalam waktu
yang lama (prolonged) atau terjadi sebagai serial (seizure berulang pada hari yang
sama). Status epileptikus merupakan kegawatan neurologi.
3.1.5 Diagnosis Seizure
a. Anamnesis (Auto dan Alo-anamnesis)
1. Identitas: terutama usia dan jenis kelamin
2. Riwayat kejang: pola/bentuk kejang; lamanya; gejala sebelum, selama, dan pasca
serangan (termasuk gejala fisik, psikis, kesadaran); frekuensi serangan; faktor
atau situasi pencetus
3. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
4. Usia pada saat terjadinya kejang pertama
5. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan perkembangan
bayi/anak
6. Riwayat penyakit dahulu: kejang demam, epilepsi, trauma kepala, gangguan
psikiatri, penggunaan alkohol atau obat-obatan
7. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik
- Tentukan ada/tidaknya aura. Bila ada, berarti kelainan fokal.
- Perhatikan apakah ada pemutaran kepala. Bila waktu kejang kepala tidak di
tengah-tengah, tetapi menoleh ke salah satu sisi, berarti ada kelainan fokal (dengan
fokus berlawanan dengan arah kepala).
- Perhatikan apakah ada hemiparesis post iktal (Todd’s paralysis). Bila ada berarti
ada kelainan fokal
- Waktu terjadinya. Bila terjadi saat mau bangun tidur atau waktu akan tidur, berarti
ada kelainan fokal
- Umur. Grandmal yang murni terjadi mulai umur 3 tahun hingga pubertas. Bila
terjadi kurang dari 3 tahun atau setelah pubertas, cari kelainan fokal.
- Pada anak perhatikan pertumbuhan ekstremitas. Sering pada sisi yang hemiparesis
ringan terlihat atrofi otot dan kuku yang lebih kecil. Pemeriksaan neurologis
(refleks tendon, refleks patologis, tonus, termasuk pemeriksaan fundus okuli) perlu
dikerjakan.
c. Pemeriksaan penunjang
- Electroencephalogram (EEG). Tes ini dapat merekam aktivitas elektrik di otak
dalam bentuk gelombang otak. EEG dapat menangkap gelombang epileptogenik
pada 1,8-4% pasien normal. Spesifisitas EEG mencapai 96% dengan sensitifitas
minimal 29% dan meningkat minimal 59% dengan EEG ulangan. Rekaman EEG
sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik, hiperventilasi,
dan stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan. Bila EEG pertama menunjukkan
hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan
EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah kejang atau dilakukan dengan persyaratan
khusus misalnya dengan mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan
menghentikan obat anti epilepsi (OAE). Pada individu yang memiliki klinis kejang,
50% nya memiliki gambaran EEG yang normal.
- Brain imaging. Diindikasikan pada semua kasus bangkitan pertama yang diduga
ada kelainan struktural dan terjadi pada usia di atas 25 tahun. CT scan dapat
digunakan untuk melihat abnormalitas yang ada di otak yang menjadi penyebab
kejang. MRI berguna bila penyebab kejang adalah suspected but indefinite, seperti
trauma kepala ringan. CT scan atau MRI tidak diperlukan pada sindroma epilepsi
yang jelas, seperti absen, juvenil myoclonic epilepsy, atau benign rolandic epilepsy,
yang disebabkan oleh genetik, dimana hasilnya hampir selalu normal atau tidak
berhubungan dengan epilepsinya.
- Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, gula darah, elektrolit, tes fungsi hati dan
ginjal berguna untuk mengetahui adanya gangguan metabolik, seperti
hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, uremia, dan lain-lain
sebagai penyebab kejang.
- Pemeriksaan likuor, dilakukan bila dicurigai adanya peradangan pada otak, pada
pasien dengan klinis kejang dan febris.
3.1.6 Diagnosis Banding Seizure
- Benign Positional Vertigo
- Breath holding spells in children
- Cardiac arrhythmia
- Hipoglikemia
- Migraine
- Narcolepsy/cataplexy
- Night terrors
- Nightmares
- Nocturnal myoclonus
- Panic attacks
- Periodic paralysis
- Pseudoseizures/Hysterical seizures
- Sleep apnea
- Syncope
- Transient Ischemic attacks (TIA)
3.1.7 Penatalaksanaan Seizure
Kejang merupakan kegawatan di bidang neurologi. Akan tetapi, kejang parsial hanya
berlangsung sebentar dan tidak membahayakan pasien. Namun, jika terdapat luka dan
kejangnya melebihi 5-10 menit sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit. Berikut beberapa
pedoman pertolongan pertama mengatasi kejang:
- Bersikaplah tenang
- Bantu pasien berbaring dan jauhkan dari sesuatu yang keras dan tajam, seperti sudut
meja dan lain-lain
- Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ke tanah, agar air ludah tidak masuk
jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan nafas
- Longgarkan baju, lepaskan kacamata, namun biarkan bila ia memakai kontak lens
- Jangan berusaha memasukkan apapun ke dalam mulut pasien. Lidah tidak dapat
berfungsi untuk menelan, sehingga akan menyebabkan tersedak.
- Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan pasien, karena akan
mengakibatkan perlawanan atau agitasi dari pasien. Hal ini disebabkan pasien belum
sepenuhnya pulih kesadarannya.
- Hindari pemberian obat, minuman, atau makanan sebelum pasien pulih 100%
kesadarannya
- Temanilah pasien hingga sadar seutuhnya. Tanyakanlah “dimana alamatmu”, jika
pasien menjawab dengan benar maka ia telah pulih.
- Jika kejang pertama kali dan berlangsung lebih dari 5 menit segera panggil bantuan
dan ke rumah sakit.
Penatalaksanaan untuk kejang general yang lebih dari 5 menit:
1. Diazepam
Dosis dewasa adalah 5 mg IV sebagai dosis awal, dapat diulangi q3mins dengan
total dosis maksimum 20 mg. Dosis untuk remaja: 2.5 mg IV sebagai dosis awal,
dapat diulangi q3mins dengan total dosis maksimum 10 mg. Dosis untuk anak: 0.2
mg / kg IV sebagai dosis awal (maksimal 2.5 mg), dapat diulangi q3mins, dengan
total dosis maksimum 5 mg. Hentikan pemberian diazepam jika seizure berhenti,
dosis maksimum telah tercapai, atau didapatkan tanda-tanda depresi napas.
2. Lorazepam
Dosis untuk dewasa dan remaja: 2 mg intrabucal sebagai dosis awal, dapat
diulangi q10-15mins, dengan total dosis maksimum 5 mg. Tidak dianjurkan untuk
anak-anak. Hentikan pemberian diazepam jika seizure berhenti, dosis maksimum
telah tercapai, atau didapatkan tanda-tanda depresi napas.
3.2 Epilepsi
3.2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Dimana terjadi minimal 1 kali bangkitan epileptik (terjadinya
tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di
otak). Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat gangguan
fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh muatan listrik abnormal dan berlebihan
di neuron-neuron secara paroksisimal, didasari oleh berbagai faktor etiologi.
3.2.2 Etiologi Epilepsi
Menentukan etiologi epilepsi sangat penting karena berhubungan dengan
penatalaksanaan selanjutnya. Etiologi epilepsi dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
- Idiopatik
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Umumnya
mempunyai predisposisi genetik dan berhubungan dengan usia. Sebagian besar
etiologi epilepsi adalah idiopatik, ditandai dengan epilepsi general (epilepsi grandmal
yang murni terjadi pada usia 3 tahun-pubertas). Bila didapatkan epilepsi idiopatik,
pemeriksaan pertama adalah melihat fungsi otak dengan EEG. Jika pada EEG
didapatkan tanda lateralisasi, pemeriksaan selanjutnya adalah CT scan kepala.
- Kriptogenik
Dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
- Simtomatik
Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat (SSP), kelainan
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol dan
obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif. Secara klinis ditandai dengan:
o Terjadi pertama kali usia kurang dari 3 tahun atau setelah umur 18 tahun
o Kejang parsial
o Didapatkan aura
o Terdapat gejala Todd paralisis (pasien mengalamai hemiparese setelah
serangan epilepsi dan beberapa menit kemudian normal kembali). DD TIA.
o Ada kejang fokal sekunder general yang ditandai awal serangan sadar dan
selanjutnya pasien tidak sadar
o Bila kejang terjadi pada waktu mau bangun tidur atau waktu akan tidur
o Bila waktu kejang kepala tidak di tengah-tengah, tetapi menoleh ke salah satu
sisi, berarti ada kelainan fokal (dengan fokus berlawanan dengan arah kepala)
Bila ada dugaan epilepsi simtomatik maka pemeriksaan pertama kali yang akan
dilakukan adalah melihat struktur otak dengan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala.
3.2.3 Patofisiologi Epilepsi
Beberapa faktor yang ikut berperan dalam patofisiologi terjadinya epilepsi adalah:
- Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel terhadap ion natrium
dan kalium. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion kalium, namun kurang
permeabel terhadap ion natrium, sehingga dalam keadaan normal, konsentrasi ion kalium
tinggi dan ion natrium rendah di dalam sel. Potensial membran ini dapat diganggu dan
berubah oleh berbagai hal misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi
mekanis atau kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh
kelainan genetik.
Bila keseimbangan terganggu akan merubah sifat semi-permeabel sel, sehingga ion
natrium dan kalium berdifusi melalui membran, menyebabkan perubahan kadar ion
(konsentrasi ion kalium berkurang dan ion natrium meningkat di dalam sel), dan
perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan
menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang
akson.
- Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang
terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang kemudian membebaskan zat
transmitter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinaps.
Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan depolarisasi, sedangkan
zat transmiter inihibisi (Gamma Amino Butyric Acid/GABA, glisin) menyebabkan
hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau
inihbisi pada transmisi sinaps.
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya melalui sinaps
eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal
didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan
ini dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inihibisi adalah meninggikan
tingkat polarisasi membran sel, yang jika gagal akan mengakibatkan lepasnya muatan
listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipesinkronisasi. Gangguan
sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dimana eksitasi
lebih unggul dan menimbulkan bangkitan epilepsi. Fosfat-piridoksal penting untuk sintesis
GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada
bayi. Jaringan saraf dapat menjadi hipereksitabel oleh perubahan homeostatis tubuh
(demam, hipoksia, hipokalsemia, overhidrasi, dan perubahan keseimbangan asam basa)
dan faktor eksternal (obat konvulsan, penghentian mendadak obat anti konvulsan terutama
barbiturate, dosis lebih berbagai macam obat dan toksin).
Lepas muatan berasal dari badan sel, dendrite dan akson. Dengan menggunakan
elektrode-mikro, dapat ditunjukkan bahwa aktivitas letupan listrik abnormal yang
berfrekuensi tinggi didapatkan pada sel neuron difokus epileptik. Diduga bahwa aktivitas
autonom ini disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena adanya perbedaan potensial
antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis dendrit ini dapat diakibatkan oleh
tekanan mekanis, misalnya oleh jaringan parut. Neuron epileptik secara histologis
mempunyai ujung sinaps yang sedikit, sehingga rangsang eferen yang diterimanya
berkurang, dan mengakibatkan sel neuron menjadi hipersensitif (misalnya terhadap zat
kimiawi di sekelilingnya), dan terjadi lepas muatan listrik yang berlebihan secara spontan.
- Sel glia
Sel glia berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra seluler di sekitar neuron dan
terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia terganggu dan
mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi
antara kadar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat mendepolarisasi
membran neuron. Sedangkan astroglia berfungsi untuk membuang ion kalium yang
berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang kadar ion
kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang mengitari sel
neuron. Saat ion kalium diserap oleh astroglia, cairan pun ikut terserap dan sel astroglia
menjadi bengkak (edema).
Sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal
(fokus epileptikus) di otak, yang berlepas muatan listrik berlebihan dan hipersinkron, yang
kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis anatomis dan melibatkan daerah di
sekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak. Bila sekelompok neuron tercetus
dalam aktivitas listrik berlebihan maka didapatkan 3 kemungkinan:
1. Aktivitas tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron
tersebut kemudian berhenti.
2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh otak,
kemudian menjadi tahan dan berhenti.
3. Aktivitas menjalar keseluruh otak dan kemudian berhenti.
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan pada bangkitan epilepsi fokal (parsial), sedangkan
keadaan 3 pada bangkitan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi tergantung pada letak
serta fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik berlebihan serta penjalarannya.
Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motorik di lobus
frontalis, bila yang terlibat adalah struktur di lobus parietalis dan oksipitalis akan terjadi
bermacam ragam gangguan sensori, bila melibatkan batang otak dan thalamus akan terjadi
penurunan kesadaran. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan
bangkitan epilepsi klinis, walaupun ia berlepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di
serebelum bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak mampu mencetuskan
bangkitan epilepsi.
Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium dan kalium
yang berhubungan erat dengan kelistrikan dan penjalarannya. Sel neuron mampu
mengeluarkan ion natrium dari dalam sel, dan dibutuhkan energi besar yang diperoleh
melalui senyawa fosfat (ATP). Bila terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan
natrium bertambah, sehingga kebutuhan akan senyawa ATP juga bertambah, dimana
kebutuhan oksigen dan glukosa juga meningkat. Bila kejang berlangsung lama, namun
kebutuhan oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, akan menyebabkan sel neuron rusak atau
mati.
3.2.4 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri
dari dua, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan untuk sindrom epilepsi.
Gambar 3.2Klasifikasi ILAE 1981 untuk Tipe Bangkitan Epilepsi
3.2.5 Diagnosis Epilepsi
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
1. Pastikan adanya bangkitan epilepsi
2. Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bankitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG. Langkah-langkah diagnosis:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis mengenai
- Gejala dan tanda sebelum bangkitan (gejala prodormal)
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadi bangkitan: perubahan
perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan
lain-lain.
- Selama bangkitan/iktal
o Adanya aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan
o Pola/bentuk bangkita: deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
o Aktivitas penderita saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain
video game, berkemih, dan lain-lain.
- Pasca bangkitan/post iktal:
o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.
- Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis, alkohol
- Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan
- Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
o Jenis obat antiepilepsi
o Dosis OAE
o Jadwal minum OAE
o Kepatuhan minum OAE
o Kadar OAE dalam plasma
o Kombinasi terapi OAE
- Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
- Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
- Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
- Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
- Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-lain.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi
- Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan
epilepsi, misalnya trauma kepala, tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan alkohol
atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda-tanda keganasan.
- Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus
yang berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal, yaitu paresis Todd,
gangguan kesadaran pasca iktal, dan afasia pasca iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
- EEG. EEG dapat membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun
sindrom epilepsi, menentukan prognosis, menentukan perlu/tidaknya pemberian OAE.
- Pencitraan otak. Untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Diindikasikan pada
kejang unprovoked pertama pada usia dewasa. CT scan ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, dan MRI untuk kasus elektif. Bila dilihat dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.
- Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologis: DL, elektrolit, GDA, fungsi hati, ureum, kreatinin, dan
albumin.
o Pemeriksaan kadar OAE
- Lumbal punksi
- EKG
3.2.6 Diagnosis Banding Epilepsi
Pada neonatus dan bayi JitteringApneic spell
Pada anak Breath holding spellsSinkopeMigraineBangkitan psikogenik/konversiProlonged QT syndromeNight terrorTicsHypercyanotic attack (pada TOF)
Pada dewasa Sinkope: vasovagal attack, kardiogenik, hipovolumik, hipotensi, dan saat miksiTIAVertigoTransient global amnesiaNarkolepsiBangkitan panik, psikogenikSindrom menierTics
Tabel 3.1Diagnosis Banding Epilepsi
Gambar 3.5Diagnosis Banding Kejang Epilepsi
3.2.7 Penatalaksanaan Epilepsi
Tujuan utama terapi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai
dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Untuk tercapainya tujuan tersebut, diperlukan beberapa upaya antara lain: menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan
angka kesakitan dan kematian, dan mencegah timbulnya efek samping OAE.
Prinsip terapi farmakologi:
- OAE mulai diberikan bila: diagnosis epilepsi telah dipastikan (confirmed) dan setelah
pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan,
kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul, dan setuju.
- OAE harus dimulai sedini mungkin, yaitu setelah pasien mengalami satu serangan
(paroxysmal event adalah epilepsi).
- Terapi OAE dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan (gambar 3.7) dan sindrom epilepsi (gambar 3.6). Keuntungan monoterapi yaitu
efektif, sederhana, toksisitas minimal, dan kemungkinan interaksi OAE sedikit dan murah.
- Dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan
dosis efektif.
- Bila dengan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, perlu
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahan (tappering off) perlahan-lahan.
- Penambahan obat ketiga dilakukan jika dosis maksimal kedua OAE pertama tidak dapat
mengatasi bangkitan.
- Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan,
misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
o Pada pemeriksa neurologik dijumpai kelainan yang mengarah adanya kerusakan otak
o Terdapat riwayat epilepsi pada saudara kandung (orang tua)
o Riwayat bangkitan simtomatik
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penuruna kesadaran, stroke, infeksi
o Bangkitan pertama merupakan status epileptikus
- Efek samping OAE (gambar 3.9) dan interaksi farmakokinetik antar OAE (gambar 3.10)
perlu diperhatikan.
Gambar 3.9 Efek Samping OAE
Gambar 3.10 Interaksi Farmakokinetik antar OAE
Epilepsi pada usia lanjut perlu perhatian khusus. OAE spektrum luas perlu
dipertimbangkan pada epilepsi umum atau tipe campuran (fokal dan umum). Pemberian obat
pada usia lanjut dimulai dari dosis sangat rendah dengan peningkatan dosis (titrasi) dilakukan
secara sangat perlahan (start very slow and go very slow). Setengah dosis dewasa yang
direkomendasikan sebagai dosis awal dan awitan seringkali dapat mengontrol kejang.
Pemberian politerapi OAE sedapat mungkin dihindari. Efektivitas OAE monoterapi untuk
mengontrol bangkitan epilepsi pada lanjut usia lebih baik dibanding pada penderita epilepsi
usia muda.
Gambar 3.11Rekomendasi Epilepsi Parsial pada Lanjut Usia
Penghentian OAE:
- Syarat umum, yaitu bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun; gambaran EEG normal;
dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan; penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
- Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada usia tua,
epilepsi simtomatik, gambaran EEG abnormal, penggunaan lebih dari satu OAE, masih
mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi, dan pada terapi 10 tahun
atau lebih. Sangat jarang pada sindroma epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada
daerah sentro-temporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi mioklonik anak.
- Kemungkinan kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-5
tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif
terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.
3.2.8 Prognosis Epilepsi
Pasien epilepsi usia lanjut mempunyai angka mortalitas dua sampai tiga kali lebih
tinggi daripada populasi umum. Epilepsi pada usia lanjut umumnya mempunya respon yang
baik terhadap pengobatan.
3.3 Status Epileptikus
3.3.1 Definisi Status Epileptikus
Status epileptikus adalah keadaan dimana terjadi kejang berulang-ulang dan diantara
dua serangan pasien tetap tidak sadar atau pasien kejang satu kali tetapi lama kejang lebih
dari 30 menit. Namun, penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan
berlangsung lebih dari 5 menit. Gambaran klinis SE mencakup aktivitas motorik tonik dan
atau klonik kontinyu yang berhubungan dengan gangguan kesadaran yang jelas. Kebanyakan
kasus SE (75%) gejalanya mudah terlihat dan mencakup kejang umum berulang tanpa
pemulihan sempurna di antara kejang.
SE tidak sulit untuk didiagnosis, tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai SE.
Mioklonus post-anoksia setelah suatu henti jantung atau setelah suatu koma yang diinduksi
phenobarbital atau anestesi umum, dapat menyerupai SE.
3.3.2 Etiologi Status Epileptikus
- Pasien epilepsi yang mendadak berhenti minum OAE
- Meningits
- Tumor otak
- Ensefalopati hipertensi
- Abses otak
- Hipoglikemia
- Perdarahan otak
- Sindroma Reye (pada anak-anak), dan lain-lain.
3.3.3 Klasifikasi Status Epileptikus
SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures), yaitu bangkitan tonik klonik
yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.
Pembagian SE berdasar jenis bangkitannya:
SE konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik)
SE konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit atau bangkitan
berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan. Insiden tahunan
diperkirakan antara 6,2 – 20 per 100.000 orang, dan paling sering terjadi pada orang tua
(insiden 22,3 per 100.000 orang). Pada umumnya sekitar 80% pasien dengan SE
konvulsif dapat terkontrol dengan pemberian benzodiazepine atau phenytoin. Bila
bangkitan masih berlangsung maka disebut status epileptikus refrakter, dan diperlukan
penanganan di ICU untuk dilakukan tindakan anestesi.
- Generalized tonic clonic status epilepticus (GCSE). GCSE dapat diawali sebagai
kejang umum, atau sebagain bangkitan sederhana atau parsial kompleks yang menjadi
kejang umum sekunder merupakan tipe SE yang paling umum dan paling mengancam
nyawa.
- Simple partial SE (SPSE) with motor symptom
SE non-konvulsif (SE-NK) (bangkitan bukan umum tonik-klonik)
SE-NK adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang
(EEG status) dan memberikan gejala klinis non motorik termasuk perubahan perilaku
atau awareness. Dapat ditemukan pada 1/3 kasus status epileptikus. Dibagi menjadi SE
lena, SE parsial kompleks, SE nonkonvulsius pada pasien dengan koma, dan SE pada
pasien dengan gangguan belajar.
- Typical absence status epilepticus
- Atypical absence status epilepticus
- Late-onset de novo absence status epilepticus
- Simple partial SE (SPSE) without motor symptoms
- Complex partial SE (CPSE)
- NSCE in coma
- Subtle GSCE
Klasifikasi SE berdasarkan durasi:
- SE Dini (5-30 menit)
- SE menetap/established (>30 menit)
- SE refrakter: bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal
dengan dosis adekuat.
3.3.4 Penatalaksanaan Status Epileptikus
Status epileptikus perlu dihentikan segera, karena semakin lama kejang berlangsung
semakin sulit dikontrol dan semakin banyak kerusakan sel otak. Kerusakan sel otak terjadi
terutama oleh bangkitan eksitasi yang terus-menerus dan bukan oleh komplikasi aktivitas
kejangnya. Tetapi, faktor sistemik (hiperpireksia) dapat menimbulkan kerusakan otak. Oleh
karenanya sebaiknya seizure dapat dihentikan dalam waktu 30 menit baik secara klinik
maupun elektrik.
Penatalaksanaan SE harus dimulai dengan penanganan 5B (Breathing, Blood, Brain,
Bowel, Bladder) untuk menstabilisasi pasien. Suhu badan, tekanan darah, bacaan EKG, serta
fungsi respirasi harus dipantau. Pulse oximetry atau analisis gas darah arteri perlu dilakukan
untuk memeriksa oksigenisasi. Bantuan nafas diberikan jika diperlukan, selanjutnya dipasang
jalur intravena untuk rehidrasi dan penggunaan vasopresor diperlukan jika pasien mengalami
hipotensi. Pendinginan perlu dilakukan bila suhu badan pasien melebihi 40oC. Sampel darah
harus diambil untuk memeriksa hematologi dan kimia darah serta kadar obat antiepilepsi
dalam serum. Jika pasien mengalami hipoglikemia, berikan glukosa intravena. Thiamine
intravena dapat diberikan sebelum atau bersamaan dengan glukosa. Bicarbonate dapat
diberikan untuk menangani asidosis, yang hanya diberikan bila pH darah sangat rendah
hingga mengancam nyawa. Penyebab SE diidentifikasi dan diterapi bila mungkin.
Pemantauan EEG juga penting selama terapi, karena jika bangkitan jelas berhenti namun
pasien tetap tidak sadar, pasien tersebut masih tetap bisa mengalami aktivitas bangkitan
elektrografik kontinyu.
Gambar 3.12 Penanganan SE konvulsif
Penanganan SE:
1. Diazepam iv atau pada anak bila iv tidak memungkinkan, dapat diberikan diazepam
solutin (bukan suppositoria) per rektal. Dosis dewasa: iv 10 mg dalam 2 cc perlahan.
Diazepam sangat cepat melewati BBB, tetapi kadar terapeutiknya hanya dipertahankan 2
jam. Jadi, jika kejang belum hilang atau kumat lagi, diazepam dapat diberikan ulang
dengan dosis 10 mg tiap dua jam (sehari 120 mg). Pada pemberian diazepam harus siap
untuk memberi pernapasan buatan karena diazepam dapat memberi efek samping depresi
napas. Diazepam sebaiknya tidak diberikan dalam bentuk infus (drip), karena akan terjadi
penumpukan diazepam dan metabolit desmetil yang akan menyebabkan koma yang
berlangsung lama setelah kejang dikontrol, dan diazepam dapat diabsorpsi dalam selang
karet.
2. Setelah pemberian injeksi diazepam iv, hendaknya diberi fenitoin secara iv perlahan (50
mg per menit). Perhatian pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung. Jangan
memberi fenitoin secara cepat karena dapat menyebabkan pernapasan berhenti, hipotensi,
atau kadang-kadang cardiac arrest.
3. Bila kejang belum juga berhenti maka harus dicoba diberikan narkose umum dengan short
acting barbiturate seperti thiopentone (oleh ahli anestesi).
Setelah 12-24 jam kejang teratasi, obat-obatan dapat dikurangi secara bertahap dalam
24 jam. Apabila kejang berulang kembali, diperlukan pemberian infus kontinyu lebih lama
dan penghentian dosis secara bertahap dengan lebih perlahan.
Gambar 3.14Dosis Obat pada SE-NK
3.3.5 Prognosis Status Epileptikus
Prognosis ditentukan oleh etiologi dan durasi SE. Angka mortalitas yang tinggi
berhubungan dengan etiologi yang berupa hipoksia, anoksia, penyakit serebrovaskular,
perdarahan, dan abnormalitas metabolik. Dengan durasi SE yang panjang, pemenuhan
kebutuhan metabolik otak yang meningkat menjadi lebih sulit, dan bisa terjadi beberapa
penyulit sistemik dan neurologis. Hilangnya autoregulasi sistemik bisa menyebabkan
komplikasi seperti hipotensi, hipoksia, hipoglikemia, asidosis metabolik, hiperpireksia, dan
gagal napas.
Penyulit sistemik dan aktivitas kejang yang berkepanjangan mengakibatkan kerusakan
otak. 15 pasien dengan kejang yang berkepanjangan beresiko mengalami penurunan fungsi
kognitif, epilepsi, dan abnormalitas neurologis lain. Angka kematian lebih tinggi pada kejang
yang berkepanjangan (>1 jam) dibandingkan yang tidak (30 menit hingga <1 jam). Sehingga
penatalaksanaan SE secara tepat dan agresif penting untuk menurunkan resiko kematian dan
perburukan gejala neurologis.