bab iii

13
A. DIAGNOSIS Bronkopneumonia Pneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru disebelah distal bronkiolus terminalis yang meliputi: bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, alveoli dan jaringan intersitial paru. Secara anatomi pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia lobaris, pneumonia segementalis dan pneumonia lobularis. Pneumonia lobularis disebut juga bronkopneumonia. Eksudat mukoporulen yang dihasilkan oleh peradangan tersebut menyumbat saluran-saluran napas kecil dan menghasilkan bercak-bercak konsolidasi lobulus-lobulus paru yang berdekatan. Pneumonia virus adalah penyebab pneumonia yang paling sering dan lazim selama usia beberapa tahun pertama dan yang paling lazim disebabkan oleh Respiratory Sinsitial Virus Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa hari, termasuk rhinitis dan batuk. Suhu biasanya lebih rendah daripada pneumonia bekteri. Takipneu yang disertai dengan retraksi intercostal, subcostal, dan suprastrenal, pelebaran cuping hidung dan penggunaan otot tambahan sering didapatkan. Infeksi berat sering disertai sianosis dan kelelahan pernafasan. Auskultasi dada didapatkan ronkhi dan mengi yang luas yang sukar dilokalisasi sumbernya dan ditemukan hipersonor. Pneumonia bakteri selama masa anak terutama di bawah usia 2 tahun bukanlah merupakan infeksi yang lazim bila tidak ada penyakit kronis yang mendasar, seperti kistik fibrosis atau defisiensi imunologis. Kejadian yang paling sering mengganggu

Upload: yuniar-luthfia-listyadevi

Post on 25-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

A. DIAGNOSIS

Bronkopneumonia

Pneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru disebelah distal bronkiolus terminalis yang meliputi: bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, alveoli dan jaringan intersitial paru. Secara anatomi pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia lobaris, pneumonia segementalis dan pneumonia lobularis. Pneumonia lobularis disebut juga bronkopneumonia. Eksudat mukoporulen yang dihasilkan oleh peradangan tersebut menyumbat saluran-saluran napas kecil dan menghasilkan bercak-bercak konsolidasi lobulus-lobulus paru yang berdekatan.

Pneumonia virus adalah penyebab pneumonia yang paling sering dan lazim selama usia beberapa tahun pertama dan yang paling lazim disebabkan oleh Respiratory Sinsitial Virus Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa hari, termasuk rhinitis dan batuk. Suhu biasanya lebih rendah daripada pneumonia bekteri. Takipneu yang disertai dengan retraksi intercostal, subcostal, dan suprastrenal, pelebaran cuping hidung dan penggunaan otot tambahan sering didapatkan. Infeksi berat sering disertai sianosis dan kelelahan pernafasan. Auskultasi dada didapatkan ronkhi dan mengi yang luas yang sukar dilokalisasi sumbernya dan ditemukan hipersonor.Pneumonia bakteri selama masa anak terutama di bawah usia 2 tahun bukanlah merupakan infeksi yang lazim bila tidak ada penyakit kronis yang mendasar, seperti kistik fibrosis atau defisiensi imunologis. Kejadian yang paling sering mengganggu mekanisme pertahanan paru yaitu infeksi virus yang mengubah sifat-sifat sekresi normal, menghambat fagositosis, mengubah flora bekteri, dan mengganggu lapisan epitel saluran pernafasan normal. Penyakit virus pernafasan sering mendahului perkembangan pneumonia bakteri beberapa hari. Pada pemeriksaan laboratorium darah akibat infeksi bakterial, didapatkan peningkatan jumlah sel lekosit (11.000-40.000/mm3)Pada anamnesis bronkopneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas selama beberapa hari. Panas tinggi biasanya 39 - 40C, sehingga dapat terjadi kejang pada individu tersebut. Selain itu penderita biasanya berkeringat dan menggigil. Anak sangat gelisah, sesak napas, napas cepat dangkal serta napas cuping hidung, pernapasan dari mulut disertai nyeri dada sehingga penderita memfiksir dada yang sakit. Penderita juga batuk-batuk, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk mula-mula kering kemudian menjadi produktif.Hasil pemeriksaan fisik pada bronkopneumonia tergantung pada luas daerah yang terkena. Biasanya didapatkan batuk, napas cepat, sesak napas, napas cuping hidung, retraksi, takikardi, lemah, sianosis sekitar mulut dan hidung serta panas tinggi. Pada perkusi dada sering tidak didapatkan kelainan dan pada auskultasi didapatkan ronkhi basah halus nyaring. Bila sarang bronkopneumonianya menjadi satu mungkin pada perkusi terdengar keredupan, suara pernapasan terdengar mengeras, pada auskultasi didapatkan ronkhi basah halus nyaring. Jika didapatkan tanda-tanda sumbatan saluran napas bagian bawah berupa wheezing dan eksperium yang memanjang maka disebut bronkopneumonia dengan komponen asmatik. Hepar dapat terdorong kebawah atau dapat pula membesar. Bila terjadi komplikasi gagal jantung kongestif maka didapatkan hepar membesar dengan tepi tumpul disertai dengan frekuensi napas > 60 x/menit dan nadi 160 x/menit.12,13 Rachmatullah P. Ilmu Penyakit Paru Buku I. Semarang : Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP, 1993 : 1 24Trastenojo MS. Pneumonia Pada Bayi dan Anak-Anak. Dalam;Kumpulan Naskah Ilmiah 19811985. Semarang : Laboratorium IKA FK UNDIP,1986:1 6

Pada pemeriksaan laboratorium darah akibat infeksi bakterial didapatkan peningkatan LED, lekositosis (15.000 40.000/mm3) dengan predominan PMN dan hitung jenis bergeser kekiri. Jika terdapat lekopeni (kurang dari 5000/mm3) biasanya terkait dengan pneumonia bakterial berat.Jika disebabkan oleh virus, lekosit dalam batas normal atau lekopeni kadang-kadang ditemui anemia ringan atau sedang.1 1. Behrman RE, Vaughan VC, Nelson WE. Nelson Text Book of Pediatric. 2th ed. Tokyo : WB Saunders Company, 1987 : 1046 52

Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan elektrolit perlu dilakukan untuk mengetahui gangguan keseimbangan elektrolit, karena penderita dengan panas tinggi dan frekuensi napas yang meningkat dapat menyebabkan evaporasi cairan berlebihan.14,15 14. Soemantri Ag, Tamam M. Anemia. Di dalam : Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, Sholeh HM, Irawan PW, Wastoro D, Sudigbia I, editor. Pedoman pelayanan medik anak edisi 2 jilid 1. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997: 149-78.

15. Baldy CM. Sel darah merah. Di dalam : Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi ke-4 jilid 1. Jakarta : EGC, 1994 : 231-5.Mba, ini dafpusnya kok rada rancu yaa ? ngebahasnya elektrolit tapi kok dafpus nya tentang anemiaa~ ???Foto polos thoraks dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada bronkopneumonia didapatkan kelainan radiologis paru yang dapat berupa infiltrat lokal maupun tersebar atau juga konsolidasi lobus. Namun perlu ditekankan bahwa gejala klinis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting oleh karena ada beberapa keadaan dimana gambaran radiologis tidak selalu tampak yaitu pada permulaan penyakit atau bila pneumonia sangat berat.2 2. Sidhartani ZM. Epydemiology community Acquired Pneumonia. Dalam : S imposium Respiralogi Anak Masa Kini. Bandung 11-12 Desember 1998: 1-11

Foto polos dada dapat juga menunjukkan adanya komplikasi bronkopneumonia seperti efusi pleura, pleuritis, abses paru, pneumothoraks, pericarditis dan cor pulmonale sub acutum.3 3. Staf Pengajar FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985; 1197 1201 dan 1228 32.

Pada kasus ini diagnosis bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis yaitu anak panas tinggi, terus menerus disertai batuk ngekel dan pilek, juga adanya sesak nafas

2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, takipneu : RR 68x/menit, nafas cuping hidung, retraksi suprasternal dan retraksi epigastrial, pada auskultasi terdengar ronkhi basah halus nyaring di kedua paru disetai adanya suara hantaran. Pada saat pemeriksaan masih didapatkan panas 38,7oC.

3. Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan paru corakan bronkovaskuler normal, tampak bercak kesuraman pada lapangan atas ke dua paru dan lapangan bawah paru kanan, hilus paru kanan kiri tak melebar. Kesan gambaran bronkopneumonia.Komplikasi yang mungkin terjadi pada pneumonia adalah sebagai berikut 3,5,11 3. Staf Pengajar FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985; 1197 1201 dan 1228 32.

5. Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, Sholeh Kosim HM, Irawan P.W, Wastoro D, Sudigdja I. Pedoman Pelayanan Medik Anak RSDK / FK Undip Semarang : Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FK Undip, 1997 : 76-83, 147-57.

11. Trastenojo MS, Sidhartani : Pulmonologi Dalam : Pedoman Pelayanan Medik Anak RSDK / Fk UNDIP Semarang : Laboratorium FK UNDIP / UPF Kesehatan Anak RSDK, 1989 : 30 971.Komplikasi intra pulmoner yaitu abses, paru, empiema, efusi pleura, atelektasis, pneumothoraks, bronkiektasis, dan gagal napas.

2.Komplikasi ekstra pulmoner yaitu corpulmonale sub akutum (CPSA), otitis media akut (OMA), meningitis, pericarditis, syok septik, peritonitis, artritis dan endocarditis.

Komplikasi yang berat dan paling sering dijumpai adalah gagal napas dan CPSA. Secara klinis gagal napas ditandai dengan sianosis, frekuensi napas > 60 x/menit dan napas tidak adekuat. Sedangkan diagnosis secara laboratoris didapatkan dari hasil pemeriksaan analisa gas darah.

CPSA adalah kelainan jantung akibat dari berbagai hal yang pada prinsipnya disebabkan oleh meningkatnya tahanan vaskuler paru. Dinyatakan juga sebagai hipertrofi ventrikel kanan dengan atau tanpa kegagalan jantung kanan yang sering terjadi akibat kelainan primer paru. Diagnosis CPSA ditegakkan dengan adanya peningkatan frekuensi napas > 60 x/menit, denyut jantung > 160 x/menit disertai hepatomegali dengan tepi tumpul.

Pada penderita ini didapatkan SIRS curiga sepsis yang kemungkinan merupakan komplikasi akibat infeksi kuman Streptococcus pneumoni. Hal ini bisa dilihat dari hasil pemeriksaan didapatkan takipneu, hipertermi, dan leukositosis. Pada kasus ini dari pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi napas lebih dari 60 kali/menit (68x/menit), denyut jantung 140 x/menit, ada hepar teraba 1/3-1/3 BH, kenyal, tepi tajam, dan permukaan rata. Hal ini belum cukup untuk menegakkan komplikasi bronkopneumonia yaitu CPSA.

Pengelolaan penderita secara umum di bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUP dr Kariadi dibagi ke dalam aspek :

1. Aspek Keperawatan

2. Aspek Medikamentosa

3. Aspek Dietetik

4. Aspek Edukasi

1. Aspek Keperawatan

- Penderita ini harus dirawat inap di rumah Sakit karena menunjukkan tanda-tanda ISPA yang cukup berat yaitu sesak nafas, takipneu, retraksi supresternal dan epigastrium.

- Jalan napas dibersihkan dan diberikan oksigen 60 % head box 8 L/menit serta dilakukan pengisapan lendir secara teratur.

2. Aspek MedikamentosaPrinsip pengobatan bronkopneumonia disesuaikan dengan penyebabnya oleh karena itu pengobatan antibiotik sebaiknya disesuaikan dengan hasil kultur darah dan tes kepekaan. Namun mengingat hal tersebut memerulukan waktu lama, maka pengobatan antibiotika dalam praktek dilakukan berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan penyebab sebagai terapi empiris. Sebelum diketahui kuman penyebab berdasarkan hasil kultur, biasanya diberikan antibiotika berspektrum luas meliputi antibiotika untuk kuman gram (+) dan gram (-).

Umur kurang dari 3 bulan biasanya disebabkan oleh kuman gram positif (( Streptococcus) atau gram negatif (E. Coli, Klebsiella, Pseudomonas), diberikan kombinasi Ampisillin : 50-100 mg/Kg BB/hari, im/iv, terbagi dalam empat dosis ditambah dengan Aminoglikosida misalnya Gentamisin 5-7 mg/KgBB/hari im/iv terbagi dalam 2 dosis. Lamanya pengobatan 7-10 hari.

Untuk menurunkan panas diberikan Paracetamol dengan dosis 10 mg/kgBB sekali pemberian serta pemberian ambroksol mengencerkan lendir sehingga mudah dilakukan isap lendir.

Pada pasien ini, pengelolaan bronkopneumonia dengan pemberian antibiotika berupa injeksi Ampisilin 3 x 125 mg iv dan injeksi Gentamicin 2x 10 mg iv yang sebelum pemberian mutlak dilakukan tes alergi dulu pada kulit penderita.

Untuk penurun panas pada pasien ini diberikan paracetamol dengan dosis 10 mg sekali pemberian kalau panas dan sebagai roboransia diberikan vitamin C 3 X tablet dan untuk mengatasi batuk dan sesak karena sekresi lendir maka pada pasien ini diberikan Ambroxol 3 x 2 mg yang bersifat mukolitik. Selama waktu 3 hari pengobatan kondisi penderita membaik secara klinis, maka pemberian antibiotika diteruskan.

Hidrasi yang adekuat perlu dipertahankan dengan memberikan cairan. Kebutuhan cairan dengan bronkopneumonia, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Panas yang ditandai kenaikan suhu lebih dari 37 derajat celcius, memerlukan koreksi 12,5 % setiap kenaikan suhu 1 derajat celcius

Incessible water loss yang meningkat akibat hiperventilasi sehingga kebutuhan cairan meningkat 10 %

Bahaya komplikasi CPSA yang dapat dicetuskan atau diperberat pada keadaan over hidrasi (pemberian cairan yang berlebihan) sehingga kebutuhan cairan perlu dikurangi 10-25 %.

3. Aspek Dietetik

Diet diberikan sesuai dengan usia, status gizi, dan penerimaan terhadap makanan baik rasa maupun variasinya.dan dapat diterima baik rasa maupun variasinya. Penderita ini berusia 2 bulan dengan gizi baik, bronkopneumonia, SIRS curiga sepsis dengan berat badan koreksi 5000 gram, maka pemberian makannya adalah makanan tinggi kalori, tinggi protein dan dinaikkan secara bertahap.

Kebutuhan kalori pada penderita ini dengan berat badan koreksi 5000 gram, suhu 38,7 c, adalah 500 kkal dengan protein 10 gram. Kebutuhan cairan setelah melalui pertimbangan seperti di atas adalah 450 cc per hari. Diberikan infus 240/10/10 tetes/menit. Pada hari pertama diberikan program cairan, makanan, dan minuman seperti tabel di bawah ini.

Kebutuhan 24 jamCairan (450 cc)Kalori (450 cc)Protein (10 gr)

Infus D 5 %24048-

12x30 cc SGM I360226,085,76

Jumlah600274,085,76

Kecukupan133,33%54,82%57,6%

Keberhasilan diet selama penderita dirawat dapat dilihat dari penambahan berat badan atau setidaknya mempertahankan berat badan selama sakit dan juga terlihat dari penerimaan anak terhadap diet yang disediakan.C. PROGNOSIS

Prognosis penderita bronkopneumonia secara umum tergantung dari ada tidaknya komplikasi selain faktor usia, status gizi, kecepatan pengobatan yang diberikan. Dengan pemberian antibiotika yang tepat secara dini dan pemberian diet yang tepat, mortalitas penyakit dapat diturunkan.

Prognosis penderita ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah ad bonam karena tidak terdapat komplikasi yang berat dan keadaan penderita membaik selama perawatan, prognosis terhadap kesembuhan (quo a ??? )

ASMA

Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma meningkat pada anak maupun dewasa. Asma memberikan dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olahraga serta aktivitas seluruh keluarga.2 Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas asma yang relatif tinggi. WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti. Namun, belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat penyakit asma, termasuk pada anak.

Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara lain :

1. Jenis Kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Namun, dari benua Amerika dilaporkan bahwa belakangan ini tidak ada perbedaan prevalens asma antara anak laki-laki dan perempuan.

2. Usia

Pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Data dari Melbourne menyebutkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia < 6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi sebelum usia 3 tahun.3. Riwayat atopi

Atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak.4. Lingkungan

Adanya alergen di lingkungan hidup anak akan meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang paling sering mencetuskan penyakit asma anta lain adalah serpihan kulit, binatang peliharaan, tungau debu rumah, jamur dan kecoa.

5. Ras

Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

6. Asap rokok

Prevalensi asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Pada anak yang terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak masuk sekolah, dan umunya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak terpajan.

7. Outdoor air polution

Beberapa partikel halus di udaraseperti debu jalan raya, nitrat dioksida, karbon monoksida, atau SO2, diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala asma, tapi belum didapati bukti yang disepakati. Namun, secara teoritis, diduga bahwa adanya pajanan terhadap endotoxin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang melalui jejak Th1. Saat ini, teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis. (Guilbert,2003) 8. Infeksi respiratorik

Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi (termasuk asma) dengan infeksi respiratorik. Penelitian di Jerman mendapatkan adanya penurunan prevalens asma sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang saat bayi sedang mengalami rhinitis. Penelitian di New Guinea menunjukkan bahwa kelompok anak yang sering terserang infeksi respiratorik mempunyai prevalens asma yang rendah. Sebenarnya hubungan antara infeksi respiratorik dengan prevalensi asma masih merupakan kontroversi. Namun, hal ini tidak berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap asma. (Guilbert,2003)