bab iii

31
5/21/2018 babIII-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/bab-iii-561a8df6aa39f 1/31 TUGAS MK. DINAMIKA STRUKTUR c m v  p (t) KELOMPOK 3 NAMA : MARIANUS D. TURU  MICHAL BUNGA KOREH  JOVANIANUS MASTARAM  MEGA R. EDO JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2010

Upload: lexy-cakep

Post on 11-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bab 3

TRANSCRIPT

Bab III

TUGAS

MK. DINAMIKA STRUKTUR

KELOMPOK 3

NAMA : MARIANUS D. TURU MICHAL BUNGA KOREH

JOVANIANUS MASTARAM

MEGA R. EDOJURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2010

Bab IIIDINAMIK KARAKTERISTIK STRUKTUR BANGUNAN

3.1 Pendahuluan

Pada bab setelah sebelumnya telah disampaikan tentang perbedaan-perbedaan utama antara static dan dinamik. Di samping itu jugatelah disampaikan tentang persamaan diferensial gerakan massa pada struktur derajat kebebasan tunggal (SDOF). Pada persamaan diferensial tersebut melibatkan tiga property utama suatu struktur yaitu massa, kekakuan dan redaman. Ketiga property struktur itu umumnya disebut dinamik karakteristik struktur. Property-properti tersebut sanagt spesifik yang tidak semuanya digunakan pada problema static. Kekakuan elemen/struktur adalah satu-satunya karakteristik yang dipakai pada problem static, sedanakan karakteristik yang lain yaitu massa dan redaman tidak di pakai.

Sebelum sampai pada penyelesaian persamaan diferensial gerakan struktur SDOF, maka perlu diketahui karakteristik dinamik tersebut secara kuantitatif. Terdapat beberapa cara yang dapat dipakai untuk tujuan kuantifikasi karakteristikdinamik dapat diformulasikan dengan sederhana.

3.2 Massa

Sebagaimana telah di diskusikan sebelumnya bahwa suatu struktur yang kontinu berkemungkinan mempunyai banyak derajat kebebasan karena banyaknya massa yang mungkin dapat ditentukan. Banyaknya derajat kebebasan umumnya berasosiasi dengan jumlah massa tersebut akan menimbulkan kesulitan. Hal ini terjadi karena banyaknyapersamaan diferensial yang ada. Sama seperti stuktur dengan derajat kebebasan tunggal, maka pada struktur dengan derajat kebebasan banyak juga diperlukan beberapa asums/penyerdehanaan.

Terdapat dua pendapatan pokok yang umumnya dilakukan untuk mendeskripsikanmassa stuktur. Pendekaan pertama adalah system diskretisasi massa yaitu massa dianggap menggumpal pada tempat-tempat tertentu. Apabila prinsip bangunan geser(shear building) dipakai maka setiap massa hanya akan bergerak secara horizontal. Karena percepatan hanya terjadi pada struktur yang mempunyaimassa maka matriks massa merupakan diagonal.

Pendekatan kedua adlah menurut prinsip consistent mass matrix yang mana element sturktur akan berdeformasi menurut banyak fungsi(shape function) tertentu. Apabila tiga derajat kebebasan (horizontal,vertical dan rotasi)diperhitungkan pada setiap node maka stndar consistensi ass matriz dapat diperoleh dengan off-diagonal matrix tidak sam dengan nol sebagaimana terjadi pada prinsip lumped mass.

Pada sturktur yang massanya terdistribusi secara merata misalnya analisis getaran balok atau cerobong maka pemakaian prinsip consistent mass matrix menjadi lebih tepat. Namun demikian, pada struktur bangunan gedung bertingkat banyak yang aman massa stuktur bangunan gedung umumnya terkonsentrasi pada masing-masing tingkat,maka prinsip lumped mass banyak dipakai dan cukup akurat (Car 1993).

Untuk menghitung massabaik yang single lumped mass maupun multiple lumped mass maka dapat dipakaiformulasi sederhana yaitu,

m = W

gyang mana W adalah berat dan g adalah percepatan gravitasi.C.3.1 Contoh Pemakaian : Massa Struktur SDOF

Suatu struktur derajat kebebasan tunggal dengan tampang seperti gambar 3.1.

Percepatan gravitasi g = 980 cm/dt , akan dihitung massa struktur.

Gambar 3.1 struktur derajat kebebasan tunggalBeban berat terbagi rata W = 2.6(6 + 5) = 28 600 kg

Massa struktur m = W/g = 28 600 kg/ 980 cm/dt = 29,1836 kg dt/cm3.3 Kekakuan

Pada prinsip bangunan geser ( shear building ) balok pada lantai tingkat dianggap tetap horizontal baik sebelum maupun sesudah terjadi penggoyangan. Adapun plat lantai yang menyatu secara kaku dengan balok diharapkan dapat membantu kekakuan balok sehingga anggapan tersebut tidak terlalu kasar. Pada prinsip desain bangunan tahan gempa dikehendaki agar kolom lebih kuat disbanding dengan balok, namun demikian rasio tersebut tidak selalu linear dengan kekakuannya. Dengan prinsip shear building maka di mungkinkan pemakaian lumped mass model. Pada prinsip ini, kekakuan setiap kolom dapat dihitungberdasarkan rumus standar.

Pada prinsipnya, semakin kaku balokmaka semakin besar kemampuannya dalam mengekang rotasi ujung kolom, sehingga akan menambah kekakuan kolom. Apabila pengaruh kekakuan balok terhadap kekakuan kolom akan diperhitungkan, maka kekakuan kolom berdasarkan rumus Muto ( 1975) ataupun aydin dan Gonen (1994) dapat dipakai. Perhitungan kekaukan balok akan lebih teliti apabila pengruh plat lantai ikut diperhatikan sehiingga diperhitungkan sebagai balok T. Pada prisip Muto ( 1975 ), kekauan join juga dapat diperhitungkan sehingga hitungan kekauan baik kekauan balok maupun kekakuan kolom menjadi kebih teliti.3.3.1 kekakuan kolom jepit-jepit

Pada pembahasan prinsip shear building telah dikemukakan bahwa beberapa asumsi perlu diambil untuk menyederhanakan proses analisis dinamik. Salah satu anggapan tersebut adalah bahwa titik pertemuan antara kolom dengan balok dianggap tidak berotasi agar balok tetap horizontal sebelum dan sesudah penggoyangan. Asumsi ini sebenarnya tidak tepat karena kenyataannya join-join tidak berotasi akan menghasilkan suatu kekakuan kolom yang sifatnya upper bound.

Apabila asumsi tersebut dipakai maka kondisi kolom dengan dukungan jepit-jepit akan diperoleh. Pada kondisi tersebut tentu saja kolom akan menjadi sangat kaku. Adanya rotasi join akan mengurangi kekauan kolom. Untuk menghitung kekakuan kolom ini diambil model kolom jepit-jepit yang join atasnya mengalami perubahan tempat secara horisontal seperti pada gambar 3.2.

a) Kolom jepit-jepit b) jepit-jepit

Gambar 3.2 kekakuan kolom jepit-jepit dan jepit-sendi

Menurut prinsip mekanika, suatu kolom jepit-jepit penjang h dengan kekauan lentur ( flexural rigidity ) El yang salah satu ujungnya mengalami perpindahan tempat sebesar y, maka pada ujung-ujung elemen tersebut akan timbul momen sebesar,

H1 = (12EI/h3)y

Pada hakekatnya gaya horisontal yang bekerja pada join atas P = H1 = H2 maka kekakuan kolom dapat dihitungan dengan,

persamaan (3.4)

Persamaan 3.4 adalah kekakuan kolom prismatis jepit-jepit dengan mengabaikan efek P-delta. Untuk kolom jepit-sendi maka kekakuannya dapat dicari dengan cara yang sama dan dapat dihitung dengan,

persamaan ( 3.5 )

Struktur bagunan umunya didukung oleh beberapa kolom, seperti yang tampak pada gambar 3.3.a. Kolom-kolom tersebut fungsi utamanya adalah bersama-sama menahan beban baik beban vertikal maupun beban horisontal. Kolom-kolom tersebut berarti akan memperkuat satu sama lain dalam menahan beban. Untuk keperluan pemodelan kekauan kolom, kondisi tersebut dimodel sebagai serangkaian pegas paralel yang bekerja secara bersama-sama. Ciri-ciri rangkaian pegas paralel adalah apabila kolom-kolom/pegas-pegas tersebut berhubungan dengan massa secara bersamaan. Hal inilah yang menjadi salah satu ciri utama pegas paralel

a) Struktur SDOF

b) Pegas paralel c) pegas seri

Pegas yang tersusun secara paralel seperti pada gambar 3.3.b menganut prisip persamaan regangan artinya seluruh pegas mengalami regangan yang sama, sehingga kekakuan total yang merupakan kekakuan ekivalen dapat dihitung menurut rumus,

persamaan 3.6Yang mana i = 1,2,3,....n adalah jumlah kolom, Ki adalah kekakuan kolom i menurut persamaan 3.4 atau persamaan 3.5

Pada rangkaian pegas seri pada gambar 3.3.c kondisinya agak sedikit berbeda. Pada rangkaian ini sebelum bertemu dengan massa maka pegas yang satu saling bertemu/berhubungan dengan pegas yang lain. Oleh karena itu pegas yang satu saling bertemu/berhubungan dengan pegas yang lain. Oleh karena itu pegas-pegas tersebut tidak saling memperkuat sebagaimana rangkaian paralel tetapi justru saling memperlemah. Pembanan vertikal pada lapisan-lapisan tanah ( gambar 3.3.b ) yang mana tiap-tiap lapis mempunyai kekauan masing-masing adalah salah satu contoh dari pemodelan kekakuan tanah dengan pegas seri. Pada rangkaian tersebut perpendekan pegas merupakan jumlah dari perpendekan masing-masing pegas dan menganut prisip persamaan tegangan/beban sepanjang pegas sehingga,

persamaan 3.7

Yang mana y adalah perpendekan yang dialami oleh masing-masing pegas.

Total perpendekan yang dialami oleh pegas seri adalah jumlah dari perpendekan yang dialami oleh masing-masing pegas sehingga,

persamaan 3.8

Dengan demikian kekakuan ekivalen rangkaian pegas seri dapat dihitung menurut rumus,

persamaan 3.93.3.2 kekakuan kolom menurut cara Muto (1956,1975)

Menghitung dengan metode di atas, kekakuan kolom juga dapat dihitung dengan cara Muto ( 1975 ). Pada pembahasan di atas diambil suatu asumsi bahwa join-join dianggap tidak berotasai, artinya balok-balok yang mengapit kolom dianggap mempunyai kekakuan tak terhingga. Kondisi seperti ini memang langka dan bahkan mungkin tidak ada, dan oleh karenanya kekakuan kolom yang diperoleh adalah kekakuan upper bound/upper limit.

Muto(1975) memberikan alternatif tata cara menghitung kekakuan kolom dengan memperhitungkan kekakuan balok. Hal ini berarti bahwa join-join dimungkinkan untuk berotasi. Sebekum menginjak pada kekakuan kolom dengan cara ini maka perlu diketahui terlebih dahulu notasi-notasi yang diperlukan untuk menghitungKekakuan tersebut. Gambar 3.4 adalah contoh strutur yang mana kolom mempunyai momen inersia potongan misalnya Ic = 1600 cm4 dan inersia balok Ib = 15000 cm4. Kekakuan relative balok dan kolom dimyatakan dalam,

(3.10)

Yang mana K adalah suatu koefisien, kc dan kb masing- masing adalah kekakuan relatif kolom dan balok, hc dan ib, berturut-turut adalah tinggi kolom dan panjang balok.

Gambar 3.4 Kekakuan Relatif Balok dan Kolom

Pada penuturan kekakuan kolom dengan cara Muto ini terdapat beberapa asumsi yang diantaraya adalah :

1. Bangunan cukup besar, banyak kolom, simetri, gaya geser kolom dianggap sama,

2. Join-joinmenglami rotasi yang sama,

3. Pengaruh P- delta (beban gravitasi diabaikan)

4. Bending momen bangunan anti-simetrik,

5. Titik balik pada kolom dan balok dianggap di tengah-tengah.

Untuk membahas kekakuan kolom dengan memakai metode ini, maka dipakai model stuktur portal (diambil di tengah-tengahpotongan portal) seperti gambar 3.5.

Notasi Q yang Nampak pada gambartersebut adalah gaya geser tingkat. Struktur mengalami penggoyangan sebesar , sudut notasi goyangan R = /h dan sudut rotasi join . Menurut prinsip mekanika maka,

(3.11)

Dan

(3.12)

Gambar 3.5 Portal SimetriKesemimbangan join adalah,

(3.13)

Dan keseimbangan tingkat adalah,

2 = - Q h

(3.14)

Subtitusi persamaan 3.11 kedalam persamaan 3.13 akan diperoleh,

2{ 2E K (3-3R)} + 2 {2E K (3)} = 0

(+) R = 0

(3.15)

Dengan memperhatikan persamaan 3.12, maka persamaan 3.13 sesungguhnya dapat ditulis menjadi :

2 = -22= -12 E

(3.16)

Dengan menghubungkan antara persamaan 3.16 dengan persamaan 3.14 maka akan diperoleh

(3.17)

Dengan,

(3.18)

Dengan catatan bahwa k tersebut adalah khusus untuk pembahasan dimana satu kolom dipegang oleh dua balok pada join bawah dan 2 balok pada join atas. Mengingat bahwa R=, maka persamaan 3.17 dapat ditulis menjadi

(3.19)

Karena K = , maka kekakuan kolom dapat diperoleh dengan ,

(3.20)

Dengan,

dan

(3.21)

Yang mana adalah kekakuan kolom jepit-jepit dan adalah koefisien relatif antar balok, misalnya pada struktur pada struktur pada gambar 3.6

Gambar 3.6 Beberapa Kondisi Pengekangan Kolom oleh Balok-balok

untuk kolom tengah yaitu kolom yang dipegang oleh 4-balok sperti pada gambar 3.6b, maka koefisien k dihitung menurut rumus,

Untuk kolom tepi yaitu kolom yang dipegang oleh dua balok seperti gambar 3.6a, maka k adalah,

dan,

=Terdapat sedikit perbedaan rumus k untuk kolom timgkat dasar baik kolom tengah maupun kolom tepi (gambar 3.6.c) yaitu,

dan

(3.24)

Nilai k menurut persamaan 3.22) sampai 3.24) adalah benuk persamaan umum, sehingga rumus tersebutlah yang selanjutnya akan dipakai. Selanjutnya Muto (1975) menyampaikan bahwa titik balik lengkungan kolom umumnya tidak selalu ditengah-tengah. Titik balik tersebut bergantung juga pada letak timgkat yang ditinjau. Tingkat-tingkat atas titik baliknya semakin kebawah sedangkan tingkat-tingkat bawah titik balliknya semakin keatas. Disamping itu ada kemungkinan inggi tingkat yang tidak sama dan kekakuan yang kurang seragam. Untuk itu perlu adanya koreksi pada saat perhitungan kekakuan kolom.

C.3.2. Contoh Pemakaian : Kekakuan Struktur SDOF

Struktur SDOF dengan tampang dan beban gravitasi seperti gambar 3.7. Diketahui modulus elastic beton untuk balok Eb = 2,5.105kg/cm2, sedangkan untuk kolom Ek = 2,8.105 kg/cm2. Akan dihitung kekakuan kolom dengan anggapan jepit-jepit dan dengan cara Muto.

Gambar 3.7 Kekakuan Kolom Pada Struktur SDOF

1. Menghitung momen inersia potongan

= 1/12.20.303 = 45.000 cm4,Ic3=Ic1=1/12.20.403 = 106.666.67 cm4=1/12.20.403 = 151 875 cm4=1/12.20.403 =106.666.67 cm42. Kekakuan kolom jepit-jepit (prinsip shear building)

(12.2,8.105.0,45.105)/(400)3 = 2362,500 kg/cm

(12.2,8.105.1,0666.105)/(400)3= 5599.694 kg/cm

Kekakuan total

Kt = K1+K2+K3 = 10324,6494 kg/cm

3. Kekakuan Dengan cara Muto (1975)

a. Besaran EI/L

EIC1/hc1 = (2,8.105.0,45.105)/(400) = 3,150.107 kgcm

EIC2/hC2 = (2,8.105.1,066.105)/(400)= 7,466.107 kgcm

EIb1/hb1 = (2,5.105.1,518.105)/(600)= 6,328.107 kgcm

EIb2/hb2 = (2,5.105. 1,066.105)/(500)=5,330.105kgcm

b. Nilai k

Diambil nilai konstanta K = 3,15.107 kgcm, maka

kc1= 3,150/3,150 =1

kc2=7,466/3,150 = 2,370

kc3=kc1kb1=6,328/3,150 = 2,009

kb2=5,330/3,150 = 1,692

c. k1= 2,009/1 = 2,009

k2= (2,009+1,692)/2,37 = 1,562

k3=1,692/1=1,692

d. Nilai Koefiien Muto (Cm)

Cm1= (k1+0,5)/(k1+2)= (2,009+0,5)/( 2,009+2)=0,6258

Cm2= (k2+0,5)/(k2+2)= (1,562+0,5)/(1,562+2) =0,5788

Cm3= (k3+0,5)/(k3+2)=( 1,692+0,5)/(1,692+2) =0,5937

e. Kekakuan kolom

Kekauan total kolom

Km = (0,6258+0,5937).2362,50 + 0.5788.5599,694

Km = 5504,8224 kg/cm (54,28%kf).

Berdasarkan hasil diatas dapat diketahui bahwa apabila kekakuan balok diperhitungkan maka kekakuan kolom tersebut akan berkurang secara drastis. Berkurangnya kekakuan kolom tersebut akan sangat terasa pada bangunan-bangunan yang semakin tinggi karena kekakuan relatif balok akan semakin kecil pada bangunan-bangunan yang semakin tinggi. Semakin fleksibel balok, maka semakin kecil kekakuan kolom.

Apabila nilai k pada persamaan 3.22) disubtitusikan pada nilai Cm, maka akan diperoleh,

(3.25)

Yang mana kb1 adalah jumlah kekakuan ralatif balok pada tingkat ke-i. Apabila dipecah menjadi jumlah kekakuan relatif balok pada join atas dan join bawah, maka persamaan 3.25) akan menjadi,

Yang mana kba adalah jumlah kekakuan relatif balok yang bertemu pada join atas, sedangkan kbb adalah jumlah kekakuan relatif balok yang bertemu pada jan bawah.

Persamaan 3.26) juga berlaku pada kolom tingkat dasar yang dapat berotasi yang dikontrol oleh adanya balok-balok sloof seperti pada gambar 3.9.a. Dengan cara yang sama, maka kekakuan kolom tingkat dasar dengan dukungan jepit adalah,

(3.27)

Yang mana Cm1 adalah koefisien kekakuan cara Muto tingkat 1.

Persamaan 3.27) diturunkan dengan catatan bahwa titik balik pada kolom tingkat dasar berada pada 1/3 h dari join atas dengan h adalah tinggi kolom. Apabila kekakuan tingkat dasar diambil rata-rata dari kekakuan kolom jepit-jepit da kekakuan kolom normal (persamaan 3.27) maka kekakuan kolom tingkat dasar dapat dihitung demgan rumus,

(3.28)

Untuk memudahkan pemahaman, maka persamaan 3.26),3.27) dan 3.28) dapat digambar dan dapat dimengerti secara mudah, secara visual sebagai berikut

Gambar 3.8 Visualisasi Koefisien Kekakuan Metode Muto (1975)

Apabila pada tingkat dasar ada kolom yang lebi pendek dari kolom normal, misalnya dengan tinggi h() seperi pada gambar 3.9.b maka Muto (1975) menyarankan bahwa koefisien kekakuan untuk kolom yang pendek terssebut adalah,

2

(3.29)

Gambar 3.9 Pengekangan Kolom oleh Balok Sloof & Kolom yg Tak Sama Tinggi3.3.3. Kekakuan Kolom Menurut Blume dkk(1961)

Blume dkk (1961) telah menyadari bahwa kekakuan yang diperoleh dari anggapan kolom jepit-japit tidak tepat. Kekakuan kolom akan mempengaruhi oleh sistem penekangan pada ujung-ujung kolom. Semakin kuat pengekangan ujungujung kolom maka semakin kaku pula kolom yang bersangkutan. Balok-balok portal yang mengikat kolom mempunyai kekakuan tertentu, tetepi yang jelas kekuatan balok-balok tersebut tidak tak terhingga. Perubahan kekuatan kolom akan lebih signifikan dari pada balok pada bangunan yang semakin tinggi. Oleh karena itu kekakuan relatif balok terhadap kolom akan semakin kecil pada bangunan yang semakin tinggi. Hal ini juga berarti bahwa pengekangan balok terhadap kolom akan semakin kecil pada bangunan yang semakin tinggi.

Blume (1961) mengambil suatu kasus pada bangunan reguler (jarak kolom yang sama) mempunyai banyak kolom (banyak bentang kolom) dan bertingkat banyak. Bangunan seperti ini memungkinkan untuk diberlakukan beberapa asumsi. Pertama, rotasi join dianggap sama untuk sebagian besar joint yang ada. Kedua, rotasi semua joint dianngap searah sebagaimana yang ditunjukan oleh mode pertama. Asumsi selanjutnya adalah anggapan bahwa terjadi momen yang anti simetri artinya titik balik dianggap terjadi ditengah tengah balok atau kolom. kondisi seperti ini berate mengabaikan efek dari P-delta akibat beban gravitasi. Muto (1975) juga mengambil asumsi yang senada. Blume (1961) kemudian mengatakan bahwa kekakuan kolom dapat dihitung dengan,

Kb = Cb Kf

(3.30)

dengan,

Cb = 1 -

(3.31)

yang mana Cb adalah koefisien kekakuan Blume, Kf adalah kekakuan kolom jepit-jepit, kc adalah kekakuan relalif suatu kolom yang ditinjau, kja dan kjb berturut-turut adalah kekakuan pada joint atas dan joint bawah.

sebagaimana cara Muto (1975), cara Blume (1961) ini juga dapat dimengerti dengan mudah apabila digambar sehingga secara visual koefisien kekakuan dapat diketahui secara lebih jelas sebagai berikut ini,

Gambar 3.10 Pengekangan Kolom Dan Visualisasi Koefisien Kekakuan

Selanjutnya Blume (1961) mengatakan bahwa titik-titik yang berada ditengah kolom atau tengah balok tidak akan akurat pada tingkat-tingkat tertentu, terutama tingkat dasar dan juga tingkat paling atas. Oleh karena itu rumus 3.31) tersebut sensitive pada daerah-daerah tertentu atau dengan kata lain bahwa pada tingkat-tingkat tersebut, persamaan 3.31) akan menghasilkan kesalahan yang cukup besar. untuk itu modifikasi atas persamaan 3.31) sangat diperlukan untuk tingkat dasar, tingkat diatasnya atau tingkat yang paling tinggi. Rumus yang diajukan Muto (1975) dapat juga dipakai.

3.3.4 Kekakuan Kolom Menurut Aydin dan Gonen (1994)

Aydin dan Gonen (1994) mengatakan bahwa kekakuan kolom sebagaimana yang telah didiskusikan di atas sangat diperlukan pada problem-problem dinamik, khususnya untuk menyusun matriks kekakuan. beberapa asumsi dasar tetp diperlukan untuk menghitung kekakuan kolom suatu portal. Asumsi-asumsi pertama yang dipakai adalah dengan mengabaikan efek gravitasi atau efek P-delta. Asumsi-asumsi yang lain adalah bahwasemua elemen baik balok maupun kolom adalahbersifat elastic, bertampang prismatic, gaya horizontal hanya bekerja pada tiap-tiap elevasi tingkat dan titik balik defleksi sebuah elemen dianggap terjadi ditengah-tengah elemen sebagaimana tampak pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11 model deformasi kolom dan balok

Dengan memakai prinsip slope deflection, maka diperoleh beberapa persamaan momen pada setiap elemen yang bertemu pada setiap join yang ditinjau. Selanjutnya dengan memakai prinsip keseimbangan bahwa jumlah momen yang bekerja pada setiap joint harus sama dengan nol, maka akan diperoleh sudut rotasi pada yang bersangkutan. Sudut rotasi join tersebut merupakanfungsi dari kekakuan relative balok terhadap kolom. Koefisien kekakuan kolom dapat diketahui setelah gaya geser yang bekerja pada kolom yang bersangkutan dapat dihitung. koefisien kekakuan pada tingkat normal ( bukan tingkat dasar ) akhirnya dapat dihitung menurut persamaan,

Cag = 1 - { }

(3.32)

yang mana Cag adalah koefisien kekakuan Aydin dan Gonen terhadap kekakuan kolom jepit-jepit Kf dan,

ca = dan cb =

(3.33)

Dengan catatan bahwa ca adalah rasio antara jumlah kekakuan relative balok dan jumlah kekakuan relative kolom pada join atas sedangkan cb adalah rasio sejenis untuk join bawah.

Selanjutnya Aydin dan Gonen (1994) memandang bahwa pada tingkat ke 2, koefisien kekakuan menurut persamaan 3.32 perlu ada sedikit koreksi menjadi,

Cag2 = Cag = 1 - { }

(3.34)

dengan Cag2 adalah koefisien kekakuan Aydin dan Gonen untuk tingkat 2 dan,

c2 =

(3.35)yang mana kc2 dan kc3 adalah kekakuan relative tingkat ke-2 dan ke-3.

Pada tingkat paling bawah, maka apabila kolom dianggap dijepit pada tanah dasar, maka koefisien kekakuan yang dimaksud dapat dihitung menurut,

Cag1 =

(3.36)yang mana Cag1 adalah koefisien kekakuan Aydin dan Gonen untuk tingkat ke-I ( tingkat dasar ).

Apabila ujung bawah kolom dianggap sendi, maka

Cag1 =

(3.37)C.3.3 Contoh pemakaian : kekakuan struktur 7-tingkat

Suatu struktur bangunan bertingkat banyak dengan kekakuan relative balok dan kolom seperti yang tampak pada Gambar 3.12. Akan dihitung kekakuan relative menurut cara Muto (1975), Blume (1961) dan Aydin dan Gonen (1994).

1) Momen Inersia dan I/L balok

Ib1 = 1/12.30.853 = 1,5353.106 cm4, Ib1/L = Ib1/900 = 1705,903 cm3Ib2 = 1/12.30.753 = 1,0547.106 cm4, Ib2/L = Ib2/900 = 1171,875 cm3Ib3 = 1/12.30.703 = 0,8575.106 cm4, Ib3/L = Ib3/900 = 1225,000 cm32) Momen Inersia dan I/L kolom

Ic1 = 1/12.60.603 = 1,080.106 cm4, Ic1/Hc = Ic1/900 = 2700,000 cm3Ic2 = 1/12.70.703 = 2,001.106 cm4, Ic2/ Hc = Ic2/900 = 5002,083 cm3Ib1 = 1/12.50.503 = 0,521.106 cm4, Ic3/ Hc = Ic3/900 = 1302,080 cm33) Koefisien k

Apabila diambil nilai k = 1000 cm3 ,maka,

kb1 = 1,7059 , kb2 = 1,1719 dan kb3 = 1,2250

kc1 = 2,7000 , kc2 = 5,0021 dan kc3 = 1,3201

Gambar 3.12 Kekakuan Relative Balok Dan Kolom

4) Kekakuan kolom, K = Cm.Kfa) Menurut Muto (1975)

a.1) Koefisien kekakuabn kolom tepi

Dengan menggunakan persamaan 3.26) maka,

Cm7 = (1,1719 + 1,1719)/(1,1719 + 1,1919 + 4.1,3201) = 0,3074

Cm6 = Cm7Cm5 = (1,1719 + 1,7509)/(1,1719 + 1,7509 + 4.1,3201) = 0,3562

Cm4 = (1,7509 + 1,7509)/(1,7509 + 1,7509 + 4.2,7000) = 0,2448

Cm3= Cm2 = Cm4

kekakuan tingkat dasar dengan menggunakan persamaan 3.27 atau 3.28,

Cm1 = (1,7509 + 0.5 . 2,7)/(1,7509 + 2. 2,7) = 0,4336 ( pers 3.27)

Cm1 = (1,7509 + 2,7)/(1,7509 + 2. 2,7) = 0,6224 (pers. 3.28)

a.2) koefisien kekakuan kolom tengah

Cm7 = 2(1,1719 + 1,225)/(2(1,1719 + 1,225) + 4. 2,70) = 0,330

Cm6 = Cm7Cm5 = (1,1719 + 1,7509 + 2. 1,225)/(1,1719 + 1,7509 + 2. 1,225 + 4. 2,7) = 0,3238

Cm4 = 2(1,709 + 1,225)/ (2(1,7509 + 1,225) + 4. 5,0021 = 0,2293

Cm3 = Cm2 = Cm4Cm1 = (1,709 + 1,225 + 0,5. 5,002)/(1,7509 + 1,225 + 2. 5,002) = 0,4219

Cm1 = (1,709 + 1,225 + 5,002)/(1,7509 + 1,225 + 2. 5,0021) = 0,6147

b) Menurut cara Blume (1961)

b.1) Koefisien kekakuan kolom tepi

Cb7 = 1 1,3201/(1,1719 + 1,3201) 1,3201/(1,1719 + 2. 1,3201) = 0,1240

Cb6 = 1 2.(1,3201/(1,1719 + 2. 1,3201 )) = 0,3074

Cb5 = 1 1,3201/(1,1719 + 2. 1,3201) 1,3201/(1,7509 + 1,3201 + 2,7) = 0,4248

Cb4 = 1 2,7/(2,7 + 1,3201 + 2. 1,3201) 2,7(2. 2,7 + 1,709) = 0,1029

Cb3 = 1 2(2,7/(2. 2,7 + 1,225)) = 0,1849

Cb2 = Cb3

Cb1 = 1 2,7/(1,709 + 2,7) = 0,3939

b.2) Koefisien kekakuan kolom tengah

Cb7 = 1 2,7/(2,7 + 1,1719 + 1,225) 2,7/(2. 2,7 + 1,1719 + 1,225) = 0,1240

Cb6 = 1 2(2,7/(2(2,7 + 1,225))) = 0,3121

Cb5 = 1 2,7(2(2,7 + 1,225)) 2,7/(2,7 + 5,0021 + 1,7509 + 1,225) = 0,4032

Cb4 = 1 5,0021/(5,0021 + 2,7 + 1,7509 + 1,225) 5,0221/(2. 5,0021 + 1,709 + 1,225) = 0,1461

Cb3 = 1 2(5,0221/(2. 5,0221 + 1,7509 + 1,225)) = 0,2293

Cb2 = Cb3Cb1 = 1 5,0021/(2. 5,0021 + 1,7509 + 1,225 ) = 0,6146

c) MenurutAydin dan Gonen (1994)

c.1) Koefisien kekakuan kolom tepi, Cag :

Cag7 = 1 1,5(5,9948/14,5361) = 0,3814 (tingkat ke 7)

Cag6 = 1 - 1,5(4,6994/10,1002) = 0,3021

Cag5 = 1 1,5(4,6382/10,0162) = 0,3054

Cag4 = 1 1,5(4,2791/8,8289) = 0,2729

Cag3 = 1 1,5(3,9452/7,8364) = 0,2448

Cag2 = Cag3

Cag1 = (6. 0,3241 + 1)/(6. 0,3234 + 4) = 0,4954

c.2 Koefisien kekakuan kolom tengah, Cag :

Cag7 = 1 1,5(5,9948/14,5361) = 0,3841

Cag6 = 1 1,5(4,6994 /10,1002) = 0,3021

Cag5 = 1 1,5(4,4732/9,4711) = 0,2916

Cag4 = 1 1,5(4,0205/8,0444) = 0,2503

Cag3 = 1 1,5(3,7580/7,2886) = 0,2266

Cag2 = Cag3

Cag1 = (6. 0,2975 + 1)/(6. 0,2975 + 4) = 0,4814

Tabel 3.1 Koefisien K = C Kf

berdasarkan rumus rumus yang digunakan maka tampak semakin fleksibel kekakuan balok maka system pengekangan terhadap kolom akan semakin lemah. Akibatnya kolom akan semakin mudah berotasi baik pada join atas maupun pada joint bawah. Pada kondisi tersebut kekakuan balok akan semakin mengecil. Berdasarkan pada hasil pada table 3.1 diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum kekakuan menurut rumus-rumus tersebut hamper sama, hanya saja pada tingkat dasar dan tingkat paling atas, koefisien kekakuan menurut rumus Blume (1961) sangat berbeda dibandingkan dengan rumus-rumus yang lain. Hasil koefisien kekakuan menurut Aydin dan Gonen (1994) hamper sama dengan menurut Muto (1975).

3.3.5 Kekakuan Strukur Dinding ( Structural Wall )

Struktur dinding (structural wall) sangat sering dipakai sebagai struktur utama penahan beban horizontal. Sebagaiman telah diketahui pada portal bangunan bertingkat sangat banyak, karena deflected shape portal mengikuti pola shear mode maka simpangan natar tingkat pada tingkat-tingkat bawah umumnya menjadi sangat besar. Simpangan antar tingkat yang besardapat mengakibatkan terjdinya sendi sendi plastic pada balok. Sesuatu yang perlu diperhatikan adalah bahwa terbentuknya sendi-sendi plastic jangan sampai terjadi terlalu dini karena begitu tingginya bamgunan. Oleh karena itu diperlukan elemen struktur yang lain yaitu struktur dinding beton bertulang yang dapat mengendalikan simpangan antar tingkat yang berlebih pada tingkat-tingkat bawah.

Antara struktur dinding dan portal mempunyai pola simpangan yang saling berlawanan ( confict of deformation modes ). Struktur portal akan mengalami pola simpangan yang didominasi shear, sedangakan struktur dinding mempunyai pola simpangan yang didominasi oleh lentur (flexure). Tingkat-tingkat bawah struktur portal umumnya dibantu oleh struktur dinidng. Walaupun perilaku struktur dinding dan kolom pada portal sangat berbeda, namun rumus kekakuan kolom dapat diaplikasikan pada struktur dinding. pada struktur dinding, selain kekakuan akibat lentur, maka kekakuan akibat pengaruh geser perlu diikutsertakan. Oleh karena itu kekakuan struktur dinding adalah jumlah dari pengaruh lentur dan geser.

Gambar 3.13 Struktur Dinding

Gambar 3.14 Potongan

Blume dkk (1961) mengatakan bahwa untuk struktur dinding dengan dukungan jepit-jepit (join tidak mengalami rotasi, kekakuannya dapat dihiutng menurut rumus,

Kw = + yangmana G adalah modulus geser bahan, A adalah l;uas tampang struktur dinding, lw adalah panjang struktur dinding dan adalah suatu koefisien yang bergantung pada potongan struktur dinding.

Menurut Muto (1975) nilai = 1, = l 1.5 dan = 1.5 untuk struktur dinding dengan potongan berturut-turut seperti pada Gambar 3.14. Untuk struktur dinding yang jepit bebas atau seperti pada cantilever wall, maka kekakuan struktur dinding dapat dihitung dengan rumus,

KW = yangmana h adalah tinggi tingkat dan v adalah poisson ratio.

3.3.6 Kekakuan Elemen Bracing

Untuk mengurangi simpangan horizontal yang berlebihan, suatu struktur kadang-kadang dipasang system bracing terutama pada struktur baja. Dengan adanya struktur ini maka struktur akan menjadi kaku, karen bracing mempunyai kekakuan yang cukup besar. Walaupun system bracing dibuat secara bersilangan ( dua arah ), namun demikian struktur ini hanya akan bekerja dalam satu arah saja yaitu arah tarik. Hal ini terjadi karena pada arah desak struktur atau elemen bracing akan mudah sekali tertekuk/buckling. Untuk menurunkan rumus kekakuan elemen bracing ini maka diambil model struktur seperti pada Gambar 3.15.

Gambar 3.15 Struktur dengan Bracing

Menurut prinsip mekanika, pada suatu batang tarik akan diperoleh suatu hubungan,

P = , dan = u cos ()

Kemudian juga diperoleh hubungan,

H = P cos ()

Dengan memperhatikan persamaan 3.40) maka persamaan 3.41) akan menjadi,

H = u cos () cos ()

H = cos () uDengan demikian kekakuan brancing adalah,

3.3.7. Kekakuan Beberapa Elemen Balok

a. Balok kantilever

Gambar 3.16

Dengan memakai prinsip bidang momen sebagai beban, maka lendutan pada ujung balok adalah,

Kekakuan balok kantilever adalah,

Gambar 3.17 Balok sederhana dengan beban terpusat

b. Balok Sederhana

Dengan prinsip yang sama, maka lendutan pada tengah bentangan adalah,

Oleh karena itu maka kekakuan balok sederhana tersebut menjadi,

c. Balok Jepit-Jepit

Cara menghitung kekakuan balok jepit-jepit adalah senada dengan cara-cara sebelumnya yang dihitung terlebih dahululendutan pada tengah-tengah bentangan. Untuk itu maka,

Gambar 3.18 Balok Jepit-jepitDengan demikian maka reaksi dukungan RA adalah,

Dan kemudian,

Dengan demikian, kekakuan balok jepit-jepit adalah,

d. Kekakuan Kombinasi

d.1) Pegas Paralel

Gambar 3.19 Kekakuan Pegas

Kekakuan struktur pada Gambar 3.19 adalah,

K = k1 + k2 = + k2d.2) Pegas Seri

Gambar 3.20 Kekakuan Model Pegas seriKekakuan balok seperti gambar 3.20 adalah,

Sistem paralel dan juga seri dapat dikombinasikan dengan balok sederhana maupun balok yang di jepit pada kedua ujung-ujungnya. Kekakuan totalnya adalah jumlah antara kekakuan kombinasi baik kekakuan paralel maupun kekakuan seri. Untuk mengidentifikasi apakah suatu hubungan itu paralel atau seri maka dapat dilihat hubungan antara pegas dengan massa. Apabila pegas/pegas-pegas secara bersama-sama bertemu maka hubungan tersebut disebut hubungan paralel. Kalau pegas sebelum bertemu massa bertemu pegas terlebih dahulu maka hubungannya disebut hubungan seri

e. Kekakuan Berbagai Macam Elemen

Kekakuan struktur gambar 3.21.a),

Gambar 3.21 Berbagai Macam Kekakuan Kombinasi PegasKekakuan struktur Gambar 3.21.b),

Kekakuan struktur Gambar 3.21.c),

Kekakuan struktur Gambar 3.21.d) adalah mirip dengan struktur seperti Gambar 3.21.c). Kekakuan struktur seperti pada Gambar 3.21.e) dapat diperoleh dengan mudahk karena k1, k2, dan k3 adalah pegas paralel.

f. Kekakuan Macam-Macam Pegas

Apabila E adalah modulus elastic nbahan, I adalah momen inersia potongan dan l adalah panjang pegas, maka kekakuan pegas sepperti Gambar 3.22.a) adalah,

Kemudian apabila A adalah luas potongan batang, maka kekakuan batang akibat gaya aksial seperti Gambar 3.22.b) adalah,

Selajutnya apabila r adalah jari-jari spiral, G adalah modulus geser bahan, d adalah diameter batang spiral, maka kekakuan spiral akibat gaya aksial Gambar 3.22.c) adalah,

Akhirnya apabila J adalah konstanta torsi, maka kekakuan batang akibat gaya punter Gambar 3.22.d) adalah dapat di hitung dengan ,

Gambar 3.22 Berbagai Macam Kekakuan Pegas

3.4. Redaman

Redaman merupakan peristiwa pelepasan energy (energy dissipation) oleh struktur akibat adanya berbagai macam sebab. Beberapa panyebab itu diantaranya adalah pelepasan energy oleh adanya gerakan antar molekul didalam material, pelepasan energy oleh gesekan alat penyambung maupun sistim dukungan , pelepasan energy akibat gesekan dengan udara dan pada respon inelastic pelepasan energy juga terjadi akibat adanya rotasi sendi plastic. Karena redaman berfungsi melepaskan energy maka hal tersebut akan mengurangi respon struktur.

Secara umum redaman atau damping dapat dikategorikan menurut damping system dan damping types. Dampyng system yang dimaksud adalah bagaimana sistim struktur mempunyai kemampuan dalam menyerap energy. Menurut sistim struktur yang dimaksud, terdapat dua sistim didipasi energy yaitu,

3.4.1. Damping Klasik (Classical Damping)

Apabila dalam sistim struktur memakai bahan yang sama bahannya mempunyai rasio redaman (damping ratio) yang relative kecil dan struktur damping dijepit di dasarnya maka sistim struktur tersebut mempunyai damping yang bersifat klasik (classical damping). Damping dengan sistim ini akan memenuhi kaidah kondisi orthogonal (orthogonality condition).

3.4.2. Damping Nonklasik (Non Classical Damping)

Damping dengan sistim ini akan berbentuk pada suatu sistim struktur yang memakai bahan yang berlainan yang mana bahan-bahan yang bersangkutan mempunyai rasio redaman yang berbeda secara signifikan. Sebagai contoh suatu bangunan yang bagian bawahnya dipakai struktur beton bertulang sedangkan bagian atasnya memakai struktyr baja. Antara keduanya mempunyai kemampuan disipasi energy yang berbeda sehingga keduanya tidak bisa membangun redaman yang klasik. adanya interaksi antara tanah dengan struktur juga akan membantuk sistim redaman yang non klasik, karena tanah mempunyai redaman yang cukup besar misalnya antara 10-25%, sedangkan struktur atasnya mempunyai rasio redaman yang relative kecil, misalnya 4-7%. Struktur tampak pada Gambat 8.3 adalah struktur yang mempunyai damping non klasik. Kasus yang lain berlakunya redaman non klasik adalah apabila massa, kekakuan ataupun matriks redaman berubah-ubah menurut frekuensi. Hal ini terjadi pada analisis yang memperhitungkan pengaruh tanah terhadap analisis struktur.

Berdasarkan jenisnya, maka damping akan dibedakan dalam beberapa golongan yaitu sebagai berikut ini,

a. Damping Proporsional Terhadap Massa (Mass Porpotional Damping)

Dalam hal ini suatu damping akan berbanding langsung dengan masa struktur apabila dipakai matriks massa diagonal, maka damping matriks juga hanya pada diagonal saja. Chopra (1995) mengatakan bahwa damping jenis ini agak kurang rasional secara fisik karena massa hanya bersinggungan dengan udara padahal redaman akibat ini relatif kecil dan bahkan kadang-kadang dapat diabaikan.

b. Damping Proporsional dengan Kekakuan (Stiffness Proportional Damping)

Senada dengan sebelumnya, redaman jenis ini merupakan fungsi dari kekakuan, artinya isian pada matriks redaman akan senada dengan matriks kekakuan. Selanjutnya Chopra (1995) mengatakan bahwa damping jenis ini secara fisik agak rasional, karena disipasi energy akan cdikaitkan dengan deformasi antar tingkat. Deformasi atau simpangan antar tingkat banyak bergantung pada kekakuan dan banyak pernyataan telah disampaikan bahwa semakin besar simpangan struktur maka semakin besar pula potensi meredam energy.

c. Damping Proporsional dengan Massa & Kekakuan (Mass and Stiffness Proportional Damping)

Menyadari bahwa dua jenis redaman diatas masih mempunyai kelemahan-kelemahan maka umumnya dipakai kombinasi antara kedua jenis redaman tersebut. Kelemahan-kelemahan terletak pada nilai-nilai rasio redaman pada mode-mode yang lebih tinggi. Pada jenis redaman yang pertama dan kedua, pada mode-mode yang lebih tinggi rasio redamannya menjadi sangat kecil dan sangat besar. Sebaliknya pada mode-mode yang rendah rasio redamannya menjadi kebalikannya. Dengan kenyataan inilah dipakai kombinasi antar jenis redaman yang pertama dengan yang kedua.

Masalah redaman pada struktur memang relatif lebih kompleks disbanding dengan dinamik karakteristik yang lain seperti massa dan kekakuan. Dua hal yang terakhir ini relatif mudah dimengerti dan dihitung. Sebaliknya masalah redaman, baik mekanisme dan besarannya relatif sulit dimengerti. Pada bab berikutnya akan dibahas formulasi-formulasi matriks redaman untuk beberapa jenis redaman diatas.

K3

M

y

M1

M2

M1 M2

h h

M1 M2

h

y

5m

6m

h

q=2,6 t/m

K2

K1

l

l

h

q=2,6 t/m

y

P

K3

K2

K1

EMBED AutoCAD.Drawing.17

EMBED AutoCAD.Drawing.17

EMBED AutoCAD.Drawing.17

EMBED AutoCAD.Drawing.17

y

h3

h2

h1

P

P

K3

k2

K1

EMBED AutoCAD.Drawing.17

EMBED AutoCAD.Drawing.17

EMBED AutoCAD.Drawing.17

_1338666534.dwg

_1338666539.dwg

_1338666547.dwg

_1338666549.dwg

_1338696335.dwg

_1338666550.dwg

_1338666548.dwg

_1338666545.dwg

_1338666546.dwg

_1338666540.dwgAdmin

_1338666544.dwgAdmin

_1338666537.dwg

Sheet1

TingkBlume (1961), CbMuto (1975), CmAydin dan Gonen, CagKet.

kol.tepiTengahkol.tepiTengahkol.tepiTengah

70.12400.12400.30740.33000.38140.3814

60.30740.31210.30740.33000.30210.3021

50.42480.40320.35620.32380.30540.2916

40.10290.14610.24480.22930.27290.2503

30.18490.22930.24480.22930.24480.2266

20.18490.22930.24480.22930.24480.2266

10.39390.61460.333642190.49540.4814

0.62240.6147

_1338666536.dwg

_1338666526.dwg

_1338666528.dwg

_1338666533.dwg

_1338666527.dwg

_1338666524.dwgAdmin

_1338666525.dwg

_1338666523.dwg