bab iii

12
BAB III PEMBAHASAN A. Asal-Usul Suku Bugis Di Sulawesi Sulawesi Selatan adalah tempat asal dari suku Bugis yang dapat dilihat dari bahasa dan adat istiadatnya. Hal ini bermula sejak abad ke-15 yang mana banyak perantau dari Melayu dan Minangkabau yang datang ke Gowa dan mendiami akulturasi budaya. Mereka inilah yang kemudian disebut suku Bugis. Bugis sebenarnya merupakan suku dari Deutero melayu, atau melayu muda, masuk ke nusantara setelah gelombang migrasi pertama Asia tepatnya Yunan, kata Bugis sendiri sebenarnya berasal dari kata To Ugi, yang berarti Orang bugis. Penamaan Ugi sendiri merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (Bukan tiongkok melainkan yang terdapat di Jazirah Sulawesi Selatan tepatnya kecamatan Pemmana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpungi. Ketika rakyat Lasatumpungi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka, mereka menjuluki diri mereka sebagai To Ugi atau pengikut raja Lasattumpungi, Lasattumpungi sendiri adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara lattu ayahanda dari saweri gading. Sedangkan Saweri gading sendiri adalah isteri dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo, dia yang membuat lebih dari 9000 halaman folio karya sastra namanya pun sampai kini sangat tenar di sulawesi bahkan dijadikan nama untuk sebuah museum. 7

Upload: zulfikri

Post on 01-Oct-2015

242 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sosiologi

TRANSCRIPT

14

BAB III PEMBAHASAN0. Asal-Usul Suku Bugis Di SulawesiSulawesi Selatan adalah tempat asal dari suku Bugis yang dapat dilihat dari bahasa dan adat istiadatnya. Hal ini bermula sejak abad ke-15 yang mana banyak perantau dari Melayu dan Minangkabau yang datang ke Gowa dan mendiami akulturasi budaya. Mereka inilah yang kemudian disebut suku Bugis.Bugis sebenarnya merupakan suku dari Deutero melayu, atau melayu muda, masuk ke nusantara setelah gelombang migrasi pertama Asia tepatnya Yunan, kata Bugis sendiri sebenarnya berasal dari kata To Ugi, yang berarti Orang bugis. Penamaan Ugi sendiri merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (Bukan tiongkok melainkan yang terdapat di Jazirah Sulawesi Selatan tepatnya kecamatan Pemmana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpungi.Ketika rakyat Lasatumpungi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka, mereka menjuluki diri mereka sebagai To Ugi atau pengikut raja Lasattumpungi, Lasattumpungi sendiri adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara lattu ayahanda dari saweri gading. Sedangkan Saweri gading sendiri adalah isteri dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo, dia yang membuat lebih dari 9000 halaman folio karya sastra namanya pun sampai kini sangat tenar di sulawesi bahkan dijadikan nama untuk sebuah museum.Dalam perkembangan selanjutnya komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain dan kemudian membentuk aksara, bahasa dan pemerintahan mereka sendiri, beberapa kerajaan klasik yang terkenal adalah Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Pinrang), Sidrap (sidenreng dan Rappang), meski tersebar dan membentuk etnik bugis tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar dan sampai saat ini orang bugis tersebar di beberapa kabupaten antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Sinjai, Pinrang barru. Sedangkan daerah peralihan Bugis dan Makassar antara lain Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene dan Kepulauan, Daerah peraliahan Bugis dan Mandar antara lain kabupaten Polmas dan Pinrang.Dan karena masyarakat Bugis tersebar di beberapa dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan, mata pencaharian lain masyarakat Bugis adalah pedagang, masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan, konflik Bugis dengan Makassar pada abad 16,17,18,19 menyebabkan tidak tenangnya daerah Bugis Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang-orang Bugis yang bermigrasi terutama didaerah pesisir dinusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Thailand.0. Bahasa BugisBahasa Bugis disebut juga Bahasa Ugi atau Bugi. Menurut ahli etnolinguistik klasik, Escer (1938), Bahasa Bugis sekelompok dengan Bahasa-bahasa orang Luwu, Sadan, Mandar, Pitu Ulunna Sallu, Makassar dan Seko. Bahasa Bugis terdiri pula atas beberapa dialek, seperti dialek Bone, Soppeng, Luwuk, Wajo, Bulukumba, Sidenreng, Pare-Pare dan lain-lain. Sejak berabad-abad yang lalu orang Bugis telah mengenal tulisan sendiri yang disebut aksara lontarak, yaitu aksara tradisional yang mungkin berasal dari huruf sansekerta yang ditulis di atas daun lontar (daun sejenis palem).0. Sistem Kekerabatan Mayarakat BugisSistem kekerabatan masyarakat Bugis tergolong bilateral atau lebih tepat parental. Di mana hubungan kekerabatan dihitung melalui dua jalur, yaitu hubungan kerabat sedarah (consanguinity) yang disebut seajing atau sampunglolo, dan hubungan kerabat karena perkawinan (affinal) yang disebut siteppatepa. Kerabat seajing amat besar peranannya dalam kehidupan sehari-hari, selain kewajiban mengurus masalah perkawinan dan kekerabatan, mereka juga berkewajiban membela dan mempertahankan sirik atau siri, yaitu martabat atau harga diri keluarga luas tersebut. Kerabat siteppa-teppa baru berperan banyak apabila keluarga luas tersebut mengedakan upacara-upacara seputar lingkaran hidup, seperti upacara perkawinan, kelahiran, kematian, mendirikan rumah baru dan sebagainya.Adapun anggota keluarga yang tergolong seajing(rpp marpp)yaitu:1. Iyya,Saya (yang bersangkutan)1. Indo(ibu kandung iyya)1. Ambo(ayah kandung iyya)1. Nene(nenek kandungIyyabaik dari pihak ibu maupun dari ayah1. Lato(kakek kandungIyyabaik dari ibu maupun dari ayah)1. Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuanIyya)1. Silisureng woroan(saudara laki-lakiiyya)1. Ana(anak kandungiyya)1. Anaur(keponakan kandungiyya)1. Amaur(paman kandungiyya)1. Eppo(cucu kandungiyya)1. Inaur / amaur makkunrai(bibi kandungiyya)Sedangkan anggota keluarga yang termasuksiteppa-teppa (siteppang marpp)yaitu :1. Baineatauindo anana(istriiyya)1. Matua riale(ibu ayah/ kandung istri)1. Ipa woroan(saudara laki-laki istriiyya)1. Ipa makkunrai(saudara kandung perempuan istriiyya)1. Baiseng (ibu / ayah kandung dari isteri / suami)1. Manttu riale(menantu, istri atau suami dari anak kandungiyya).Konsep Siri dan Pesse itu sebenarnya pranata pertahanan diri (malu atau harga diri) dan kepedulian, dalam konteks hubungan sosial, antara dua orang, antar keluarga dan kerabat, dan dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam konteks sosial itulah, diatur siapa - siapa yang berada dalam posisi tomasiri atau nipakasiriki (Makassar) dalam keluarga dan kerabat. Dalam sistem kekerabatan (Bugis: Asseajingeng, Makassar:Bija Pammanakang) dikenalrpp marpp (ada 12 bagian), harus ada siri pada keluarga dekat dansiteppang mareppe(ada 6 bagian). Hal ini juga menyangkut pada pengaturan siapa dan bagaimana seharusnya pantas atau tidak pantas orang yang dikawini dalam siklus kekerabatan.Dalam hubungan siri, semua orang yang masuk dalam lingkaran kekerabatan bisa saling sipassiriki (saling memiliki rasa malu dan segan) terhadap satu sama lain, bisa terkait dengan sifat dan kelakukan, ketauladanan, etos kerja, dan lain sebagainya, baik yang bersifat masalah pribadi, keluarga maupun dalam lingkup sosial. Seseorang hanya dapat dipandang dalam lingkungan kerabat dan masyarakatnya jika ia menanamkan dan memegang nilai - nilai moral, prinsip adat serta keteguhan dalam memperjuangkan sesuatu. Semua itu bisa dicapai jika kita memiliki siri dan dipassiriki, dalam konteks sosial, memiliki kepedulian (pace/pesse) terhadap siapa saja yang berada di lingkungannya dimana semuanya dipandang kerabat dan diperlakukan layaknya kerabat.Dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desanya sendiri, adat Bugis-Makassar menetapkan beberapa bentuk perkawinan yang ideal, sebagai berikut:11. Perkawinan yang disebut assialang marola (atau passialleang bajina dalam bahasa Makassar) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu,11. Perkawinan antara ripaddeppe mabelae (atau nipakambani bellaya dalam bahasa Makassar) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga juga dari kedua belah pihak.11. Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut, walaupun dianggap ideal, bukan menjadi suatu hal yang diwajibkan, sehingga banyak pemuda dapat saja kawin dengan gadis-gadis yang bukan saudara-saudara sepupunya. Adapun perkawinan-perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang (salimara) adalah:0. Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah,0. antara saudara-saudara sekandung,0. antara mantu dan mertua,0. antara paman atau bibi dengan kemenakannya,0. antara kakek atau nenek dengan cucunya11. Perkawinan yang dilangsungkan secara adat melalui deretan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:0. Mapucce-puce (akkuisissing dalam bahasa Makassar), ialah kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk memeriksa kemungkinan apakah peminangan dapat dilakukan. Kalau kemungkinan itu tampak ada, maka peminangan diadakan.0. Massuro (assuro dalam bahasa Makassar), yang merupakan kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng atau mas-kawinnya, balanja atau belanja perkawinan, penyelenggaraan pestanya, dan sebagainya. Setelah mencapai kesepakatan, maka masing-masing keluarga melakukan madduppa0. Madduppa (ammuntuli dalam bahasa Makassar), ialah pemberitahuan kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.Hari perkawinan dimulai dengan mappaenre balanja (appanai leko dalam bahasa Makassar), ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, maskawin. Sesampainya di rumah mempelai wanita maka akan dilangsungkan upacara pernikahan, yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan atau aggaukeng (pagaukang dalam bahasa Makassar). Pada pesta itu, para tamu yang di luar diundang memberi kado-kado atau uang sebagai sumbangan (soloreng).Beberapa hari sesudah hari pernikahan, pengantin baru mengunjungi keluarga dari pihak suami dan tinggal beberapa lama di sana. Dalam kunjungan itu, istri baru harus membawa pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga suami. Kemudian ada kunjungan ke keluarga istri, juga dengan pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga istri. Pengantin baru juga harus tinggal beberapa lama di rumah keluarga itu. Barulah setelahnya mereka dapat menempati rumah mereka sendiri sebagai nalaoanni alena (naentengammi kalenna dalam bahasa Makassar). Hal itu berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah-tangga sendiri.Perkawinan yang tidak dilakukan menurut adat yang terurai di atas disebut silariang. Dalam hal itu, si laki-laki membawa lari si gadis yang hendak dinikahinya. Kawin lari semacam ini biasanya terjadi karena pinangan dari pihak laki-laki ditolak, atau karena belanja perkawinan yang ditentukan oleh keluarga si gadis terlampaui tinggi. Hal yang terakhir ini sebenarnya juga suatu penolakan pinangan secara halus.Para kerabat si gadis yang mengejar kedua pelarian itu disebut tomasiri dan kalau mereka berhasil menemukan para pelarian, maka ada kemungkinan bahwa si laki-laki akan dibunuh. Dalam keadaan bersembunyi, yang biasanya berlangsung berbulan-bulan lamanya, si laki-laki kemudian akan berusaha mencari perlindungan pada seorang terkemuka dalam masyarakat. Kalau pemuka masyarakat ini sudi, ia akan mempergunakan kewibawaannya untuk meredakan kemarahan dari kaum kerabat si gadis dan menyarankan mereka untuk menerima baik kembali kedua mempelai baru itu sebagai kerabat. Kalau memang ada tanda-tanda kerabat si gadis itu mau menerima mereka kembali, maka keluarga si laki-laki akan mengambil inisiatif untuk mengunjungi keluarga si gadis. Penerimaan pihak keluarga si gadis untuk berbaik kembali disebut dalam bahasa Bugis, maddeceng, atau abbadji dalam bahasa Makassar.Penyebab kawin lari ini biasanya tidak terjadi karena sompa (Bugis) atau sunrang (Makassar) ialah maskawin yang tinggi, melainkan karena belanja perkawinan yang tinggi. Sompa atau sunrang itu besar kecilnya disesuaikan dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang dan dihitung dalam nilai rella (= real) ialah nominal Rp 2,-. Mas kawin yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella tertentu dapat saja terdiri atas sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang semuanya punya makna penting dalam adat perkawinan di suku Bugis-Makassar.0. Mata Pencaharian Mayarakat Suku BugisPada dasarnya mata pencaharian utama masyarakat Bugis adalah menanam padi di sawah yang telah mengembangkan sistem irigasi tradisional. Selain itu, pertanian sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman keras juga cukup berkembang seperti, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, sayur dan palawija. Tanaman perdagangannya adalah tembakau, cengkeh, kelapa dan buah-buahan. Akan tetapi di mata masyarakat lain orang Makassar lebih terkenal sebagai nelayan penangkap ikan, pedagang dan pelaut yang gigih. Mereka telah mengembangkan tradisi dan pengetahuan kelautan yang mengagumkan. Jenis perahu Makassar yang disebut pinisi terkenal sebagai perahu yang kuat dan ramping serta mampu mengarungi lautan luas selama berbulan-bulan. Karena ciri kebudayaan seperti itu, maka orang Makassar sering diidentikkan dengan orang Bugis, tidak heran kalau kedua nama itu sering ditulis oleh penulis lama dalam kata majemuk Bugis-Makassar. Sedangkan kaum wanitanya terkenal dengan kerajinan-kerajinan sarung bugisnya.0. Interaksi etnis Bugis dengan Etnis lainnyaPada dasarnya setiap suku bangsa menempati wilayah kebudayaan yang bersifat ekslusif, tertutup dengan batas-batas wilayah geografis yang tegas. Seiring dengan perkemabangan pengetahuan dan kompleksnya akan kebutuhan hidup, keekslusifan itu hilang. Setiap kelompok maupun individu suku bangsa tertentu cenderung tidak dibatasi untuk berintekrasi dengan suku bangsa lain, baik di wilayahnya sendiri maupun di luar wilayah kebudayaannya.Suatu daerah yang dianggap potensial dalam memenuhi kebutuhan hidup menjadi tujuan utama berbagai kelompok maupun individu dari berbagai daerah dan menjadikannya arena interaksi denagn berbagai kepentingan. Interaksi yang terus menerus antar suku bangsa di satu lokasi bisa berdampak positiv maupun negatif. Sebagai gambaran dampak interaksi negatif dapat kita lihat beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia seperti kasus Aceh, Maluku, Papua, dan Poso. Kasus ini muncul akibat ketidakseimbangan pelayanan sosial, paradigma keagamaan yang disalah artikan, etnosentrisme yang berlebihan salah satu suku bangsa lain kepada suku bangsa yang lain sehingga menimbulkan pergesekan pada tingkat ideologi yang bermuara pada munculnya konflik.1. Stereotip EtnikSecara teoritis ada dua macam stereotip yaitu: Bersifat positifBersifat positif sehingga jarang menjadi permasalahan yang mengemuka Bersifat negatifBersifat negatif terdiri dari:1. Stereotip superego [the superego stereotype]Melihat bahwa suatu kelompok mempunyai sifat-sifat pribadi tertentu seperti berambisi, rajin, penuh usaha, cerdas, curang, dan tidak jujur.1. Stereotip id [the id stereotype]Melihat bahwa suatu kelompok cenderung berada pada lapisan bawah masyarakat seperti tidak berambisi, malas, dan lain-lain.1. Potensi Konflik dan PengelolaannyaKonflik dapat terjadi secara pribadi maupun di dalam suatu kelompok yang menyadari adanya suatu perbedaan-perbedaan misalnya di dalam ciri-ciri, unsur-unsur kebudayaan, dan lain-lain. Ciri-ciri tersebut dapat mempertajam terjadinya perbedaan sehingga dapat menyebabkan terjadinya suatu pertentangan atau pertikaian. Konflik merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan (Soerjono Soekanto, 1993: 107).Lebih lanjut lagi menurut Soekanto (dalam Arios, 2004: 107-108) yang menjelaskan sebab terjadinya konflik antara lain : Perbedaan antara individu-individu Perbedaan kebudayaan Perbedaan kepentingan Perubahan sosialPerbedaan kebudayaan dianggap sebagai salah satu potensi konflik utama di berbagai daerah di Indonesia. Perbedaan kepribadian masing-masing suku bangsa tidak jarang diartikan menurut pemahamannya sendiri, padahal kebenaran suatu budaya harus dipandang menurut budaya itu sendiri.Dalam proses interaksi pada masyarakat yang multi etnik, memungkinkan terjadinya interaksi antar suku bangsa, dan juga interaksi atas suatu kepentingan. Kondisi ini sangat jelas terlihat pada masyarakat Kawasan Pulau Baai. Setiap suku bangsa di daerah ini tetap memegang teguh budaya masing-masing yang tampak dalam interaksi dengan suku bangsa lain, sehingga mereka dapat dengan mudah dibedakan. Tetapi seluruh suku bangsa di daerah ini diikat oleh satu bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia dialek Bengkulu yang tidak terlalu kentara.

7