bab iii
TRANSCRIPT
BAB III
KESIMPULAN
Kandung kemih dipersarafi terutama oleh saraf parasimpatis dari medulla
spinalis segmen S2-S3 yang berfungsi untuk kontraksi otot detrusor. Nervus
pudendus membawa serabut saraf motorik dan mengontrol kontraksi otot sfingter
eksternal. Dan nervus hipogastrik membawa serabut saraf simpatis yang membawa
impuls sensasi nyeri dari kandung kemih.
Secara tradisional, neurogenic bladder diklasifikasi berdasarkan defisit
neurologis yang terjadi. Pada kelainan susunan saraf dengan lesi di atas dari pusat
mikturisi di segmen sacral (Upper Motor Neuron), cenderung akan mengakibatkan
inkontinensia urin. Sedangkan lesi pada pusat mikturisi sakral dan susunan saraf
tepi (Lower Motor Neuron) cenderung akan menyebabkan kandung kemih yang
atonik dan retensi urin, walaupun lesi pada nervus pudendus dapat mengakibatkan
inkontinensia.
Diagnosis dari neurogenic bladder memerlukan anamnesis serta pemeriksaan
fisik dan neurologis yang lengkap. Pemeriksaan penunjang seperti radiologi,
urodynamic study, tes fungsi ginjal, dan neurologis juga dapat menunjang.
Diagnosis banding dari neurogenic bladder yaitu inkontinensia akibat iritasi
saluran kemih seperti sistitis dan urethritis, serta retensi urin akibat dari adanya
obstuksi pada saluran kemih bawah, seperti pembesaran prostat, congenital
urethral valve, meatal stenosis serta retensi urin akibat obstruksi saluran kencing.
Penangan kelainan susunan saraf pada pasien sangat diperlukan tergantung
dari etiologi yang menyebabkan. Mungkin juga diperlukan rujukan pada dokter
ahli untuk menangani kausa, seperti ahli bedah saraf, ahli saraf dan ahli penyakit
dalam. Penanganan pasien neurogenic bladder meliputi terapi bedah dan non-
bedah.
19
Pasien dengan lesi UMN, terapi bedah meliputi sacral rhizotomy dan urinary
diversion. Sedangkan terapi non-bedah meliputi obat-obata antikolinergik, toksin
botulinum, kateterisasi dan melatih perilaku mikturisi pasien (behavioral therapy).
Pasien dengan lesi LMN, terapi bedah dapat dilakukan dengan reseksi otot
sfingter eksternal (Sphincterectomy) dan reseksi transuretra. Sedangkan untuk
terapi non-bedah dapat dilakukan dengan kateterisasi, farmakoterapi, dan
behavioral therapy.
Diagnosis serta penanganan yang tepat, harus sesegera mungkin dilakukan
oleh karena keadaan ini dapat mengakibatkan berbagai komplikasi serius yang bisa
mengancam keselamatan nyawa pasien. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
batu saluran kemih, infeksi saluran kemih dan hidronefrosis. Perkembangan pada
penanganan retensi urin ini, bersama dengan follow up pasien secara teratur akan
meningkatkan harapan kualitas hidup pasien dalam jangka panjang.
20