bab ii tinpus
TRANSCRIPT
![Page 1: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/1.jpg)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
2.1.1. Klasifikasi
Awalnya dalam klasifikasi ikan nila memiliki genus Tilapia yang akhirnya
mengalami perubahan oleh Dr. Trewavas. Perubahan klasifikasi ini menyebabkan
genus Tilapia terbagi menjadi tiga genus yaitu, genus Oreochromia, genus
Sarotherodon dan genus Tilapia. Penggolongan ini berdasarkan perilaku
kepedulian induk ikan terhadap telur dan anak-anaknya. Adapun klasifikasi
lengkap yang telah dirumuskan oleh Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas
(1982), dalam Dirjen Perikanan (1991) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia .
Sub Kingdom : Metazoa
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata.
Class : Osteichtyes
Sub.Class : Acanthopterygii
Ordo : Percomorphy
Sub Ordo : Percoidei
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Species : Oreochromis niloticus
![Page 2: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/2.jpg)
2.1.2. Morfologi
Menurut Khairuman dan Amri (2008) dalam Elyana (2011), berdasarkan
morfologinya, kelompok ikan Oreochromis memang berbeda dengan kelompok
Tilapia. Secara umum, bentuk tubuh nila memanjang dan ramping dengan sisik
berukuran besar berbentuk ctenoid. Bentuk matanya besar dan menonjol serta
bagian tepi berwarna putih. Gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah
tubuh kemudian berlanjut lagi, tetapi letaknya lebih ke bawah dibandingkan letak
garis yang memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik pada gurat sisi 34 buah.
Sirip punggung, sirip perut, dan sirip duburnya memiliki jari –jari lemah tetapi
keras dan tajam seperti duri. Sirip punggung dan sirip dada berwarna hitam,
sedangkan pinggir punggung berwarna abu – abu atau hitam.
Ikan nila termasuk kelompok Tilapia yang memiliki bentuk tubuh
memanjang, ramping dan relatif pipih. Ikan nila dapat hidup di perairan yang
dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat
hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa, sawah,
tambak air payau atau di dalam jaring terapung. Salah satu sifat biologi ikan nila
yang penting sehingga ikan ini cocok untuk dibudidayakan adalah respon yang
luas terhadap pakan yakni dapat tumbuh dengan memanfaatkan pakan alami serta
pakan buatan warna badan ikan nila t, umumnya keabu-abuan sampai kehijauan,
kondisi warna dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ikan nila gift
mempunyai lima sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral fin),
sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin).
![Page 3: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/3.jpg)
2.2. Biologi Chlorella vulgaris
2.2.1. Klasifikasi
Menurut Wikipedia (2011) dalam Zahir (2011), taksonomi Chlorella
vulgaris memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Family : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella vulgaris
2.2.2. Morfologi
Menurut Surawiria (2005) dalam Zahir (2011), Chlorella vulgaris adalah
mikroalga yang masuk dalam golongan alga hijau (Clorophyta) bentuk sel
Chlorella vulgaris bulat, bulat lonjong dengan garis tengah sel antara 2 – 8 µm.
Chlorella vulgaris berkembang biak dengan cara membelah diri dan
pembentukan spora. Chlorella vulgaris bersifat fotoautotrof, yaitu dapat membuat
makanan sendiri melalui proses fotosintesis. Chlorella vulgaris merupakan salah
satu jenis alga yang memiliki beberapa keistimewaan mampu bertahan terhadap
segala perubahan alam kerena memiliki ketahanan genetis dengan mekanisme
perubahan DNA yang sangat tinggi serta memiliki bentuk, ukuran dan sifat
dinding sel yang tersusun dari senyawa selulosa dan lignin yang kuat. Semua ini
membuat Chlorella vulgaris mudah menyesuaikan diri pada lingkungan yang
ekstrim dan bertahan dalam waktu lama.
![Page 4: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/4.jpg)
Chlorella vulgaris merupakan alga yang termasuk ke dalam organisme
uniselular. Jenis selnya adalah eukariotik dengan kemampuan fotosintesis untuk
menghasilkan makanan. Mikroalga ini belum memiliki akar, batang, dan daun
sejati, tetapi telah memiliki pigmen klorofil sehingga bersifat fotoautotrof dengan
sifat cenderung membentuk koloni. Selnya bereproduksi dengan membentuk dua
sampai delapan sel yang terdapat dalam sel induk dan akan dilepaskan jika
kondisi lingkungan mendukung (Kawaroe, 2010 dalam Harnadiemas, 2012).
2.3. Pengenceran Alga
Chlorella sp. tumbuh pada salinitas 25 ppt. Alga tumbuh lambat pada
salinitas 15ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm.
Chlorella tumbuh baik pada suhu 20°C, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32°C.
Tuimbuh sangat baiksekitar 20°C -23°C (Hirata, 1981 dalam Rostini, 2007).
Menurut Rostini (2007), fitoplankton merupakan jenis alga, termasuk ke
dalam sub filum Thallofita yang mempunyai klorofil. Fitoplankton yang ada di
seluruh dunia adalah sebagai produsen primer yang dapat menyediakan makanan
untuk fauna lebih banyak daripada seluruh flora yang ada di daratan. Kapasitas
fotosintesis dari semua fitoplankton yangada di laut lebih besar daripada seluruh
flora yang ada di daratan. Konsentrasi fitoplankton yang besar di laut menjadikan
banyak zooplankton sebagai konsumen primer bagi ikan, udang-udangan dan
sebagainya. Penyebarluasan teknologi dalam bidang budidaya fitoplankton
berperan penting bagi pembenihan ikan dan udang laut. Teknologi praktis
budidaya fitoplankton yang dilakukan di IPPTP Bojonegara Serang adalah
merupakan bagian dari transfer teknologi yang disampaikan oleh para tenaga ahli
![Page 5: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/5.jpg)
budidaya laut Jepang kepada para pendamping Indonesia selama enam tahun. Dua
jenis fitoplankton Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii telah digunakan dalam
praktek budidaya fitoplankton ini.
Metode pengenceran alga dapat dilakukan dengan cara pengenceran
bertingkat yaitu dengan menggunakan teknik pengenceran secara aseptik/ steril;
penambahan 9 ml medium kultur dan 1 ml sampel (10-1) dan seterusnya, lalu
diinkubasi pada suhu yang sesuai, fotoperiode dan intensitas cahaya yang
terkontrol (Anonim, 2009).
2.4. Deterjen
2.4.1. Deterjen bubuk
Deterjen merupakan bahan kimia yang biasa digunakan bahan untuk
mencuci. Struktur kimia deterjen terdiri dari gabungan kelompok atom
hydrophobic dan hydrophylic. Berdasarkan susunan ionnya, dikenal tiga macam
deterjen yaitu anionic (deterjen yang digunakan untuk keperluan rumah tangga) ,
cationic (deterjen yang kadang-kadang juga digunakan untuk keperluan rumah
tangga) dan nonionic deterjen (Supriharyono, 2000).
Menurut Supriharyono (2000), deterjen mempunyai berbagai pengaruh
yang membahayakan lingkungan perairan permukaan. Banyaknya kandungan
deterjen di permukaan air akan menghambat transfer massa, sehingga berbahaya
bagi kehidupan. Ada tiga faktor yang menentukan kualitas cemaran deterjen yaitu:
1. Non-biodegradable, komponen kimia deterjen sulit diuraikan secara biologi,
menyebabkan terbentuknya busa diperairan;
![Page 6: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/6.jpg)
2. Kandungan fosfat, deterjen biasanya mengandung komponen fosfat. Kondisi
menyebabkan terjadinya subur atau banyaknya kandungan unsur hara (fosfor)
diperairan; dan
3. Mempunyai daya racun yang langsung pada organisme.
Deterjen dapat bersifat lethal dan sublethal terhadap ikan. Pada konsentrasi
sublethal deterjen dapat merusak jaringan epitelium insang ikan, maka insang ikan
uji akan rusak. Kondisi ini akan lebih membahayakan kehidupan ikan, apabila
kandungan oksigen terlarutnya rendah. Disamping mengganggu organ pernafasan,
konsentrasi sublethal dari deterjen juga diketahui dapat menghambat pertumbuhan
ikan.
LAS merupakan surfaktan sintetis karena biaya yang relatif rendah,
memiliki kinerja yang baik dan mudah terdegradasi atau ramah lingkungan karena
memiliki rantai lurus. LAS digunakan sebagai deterjen rumah tangga seperti
deterjen serbuk, dan deterjen cair, produk pencuci peralatan rumah tangga dan
pembersih. Selain itu, LAS juga digunakan dalam industri tekstil dan fiber, bahan
kimia, dan pertanian (Hera, 2009 dalam Solichin, 2011).
LAS pada kondisi aerob (cukup oksigen dan mikroorganisme) mudah
terurai. Tetapi, LAS tidak dapat terurai pada kondisi anaeron (tidak terdapat
udara), sehingga jika badan air memang sudah menghitam seperti kondisi sungan
Jakarta, akan terjadi kondisi anaerobik yang tidak memungkinkan LAS terurai.
LAS yang tidak terurai ini memiliki efek sangat toksik bagi organisme (cukup
dapat mematikan ikan dalam kadar 3-10 mg/liter) dan bersifat bioakumulatif
(tersimpan dalam jaringan) (Sudrajat, 2002 dalam Solichin, 2011).
![Page 7: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/7.jpg)
LAS mempunyai gugus alkil lurus / tidak bercabang yang dengan mudah
dapat diurai oleh mikroorganisme. Deterjen dalam badan air dapat merusak insang
dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air
yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa di
permukaan air menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga
menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air
kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian. Linear alkyl benzene
sulfonate (LAS) merupakan zat karsinogenik (www.google.com, 2008).
Surfaktan deterjen Linear alkyl benzene sulfonate (LAS) adalah ionik
lunak deterjen-non, yang memiliki karbon rantai lurus panjang dan kemampuan
pembersihan kuat. Ini adalah racun bagi organisme perairan, dan bagaimanapun
itu adalah biodegradable. Oleh karena itu, banyak digunakan untuk tujuan
kosmetik dan rumah tangga. Efek akut dan kronis deterjen ini pada ikan laut tropis
belum diketahui (Rejeki, 2008).
2.4.2. Deterjen cair
Prosedur percobaan dalam pembuatan deterjen cair adalah mencampur 10
% SLS DG, 20% soda abu, CMC lokal 5%, pewarna secukupnya dan air 64.5% ke
dalam reaktor kemudian memanaskan campuran bahan diatas kemudian diaduk.
Setelah tercampur homogen api dimatikan, lalu didinginkan Setelah dingin
ditambah parfum sebanyak 1 % kemudian mengalirkan larutan ke bak filter dan
diteruskan ke bak penampung. Karakteristik deterjen cair yaitu larutan agak
kental, jika belum digunakan tidak berbusa, jika digunakan busanya sedikit.
Warnanya bening putih, keruh jika tidak ditambahkan pewarna. Kelebihan dari
detergen cair ini adalah mempermudah busa dari deterjen cair ini lebih sedikit
![Page 8: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/8.jpg)
dibanding deterjen bubuk sehingga dapat mengurangi polusi air, pemakaian
deterjen cair ini lebih sedikit dibanding deterjen bubuk karena deterjen cair ini
mudah larut dengan air (Setiawan et al., 2011).
2.4.3. Deterjen krim
Menurut Susanto (2009), deterjen krim bentuknya hampir sama dengan
sabun colek, tetapi kandungan formula keduanya berbeda. Di luar negeri, produk
biasanya tidak dijual dalam partai kecil, tetapi dijual dalam partai besar (kemasan
25 kg). Deterjen yang memiliki kutub positif disebut sebagai cationic detergents.
Sebagai tambahan selain bahan pencuci yang bersih, mereka juga mengandung
sifat anti kuman yang membuat mereka banyak digunakan di rumah sakit.
Kebanyakan deterjen jenis ini adalah turunan dari ammonia.
Deterjen mengandung zat surface active (surfaktan), yaitu anionik,
kationik, dan nonionik. Surfaktan yang digunakan dalam deterjen adalah jenis
anionik dalam bentuk sulfat dan sulfonat. Surfaktan sulfonat yang dipergunakan
adalah Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) dan Linier Alkyl Sulfonate (LAS).
Lingkungan perairan yang tercemar limbah deterjen kategori keras ini dalam
konsentrasi tinggi dapat membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang
mengkonsumsi biota tersebut (Prihessy, 1999 dalam Pratiwi et al., 2012).
Bahan aktif merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini harus
ada dalam proses pembuatan deterjen. Secara kimia bahan ini dapat berupa
Sodium Lauryl Sulfonate (SLS). Beberapa nama dagang dari bahan aktif ini
diantaranya Luthensol, Emal, dan Neopelex (NP). Di pasar beredar beberapa jenis
Emal dan NP, yaitu Emal-10, Emal-20, Emal-30, NP-10, NP-20, dan NP-30.
![Page 9: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/9.jpg)
Secara fungsional bahan aktif ini mempunyai andil dalam meningkatkan daya
bersih. Ciri dari bahan aktif adalah busanya sangat banyak (Suirta, 2013).
2.5. Analisis Probit
Suatu kerangka dasar toksikologi dapat mencakup suatu fase penggantian
dari pengambilan atau absorpsi racun ke tanggapan fisiologis dan perilaku dari
makhluk hidup yang terkena. Fase awal meliputi proses biologis yang
mempengaruhi absorpsi, penyebaran, dan metabolisme zat kimia. Fase kinetik
inilah yang menentukan bentuk kimiawi dan pengangkutan zat kimia aktif pada
tempat aksi primer. Titik ini, terdapat suatu fase toksodinamik dimana zat kimia
racun yang dekat berinteraksi dengan target atau penerima primer (enzim, lemak,
membran, asam nukleat, dan sebagainya). Hal ini dapat memulai suatu rangkaian
rumit pengaruh biologis yang berubah menjadi suatu tanggapan letal atau subletal
(Aldridge 1978, dalam Arifin 2010).
Pengukuran toksisitas (daya racun) dari suatu jenis bahan pencemar dapat
dilakukan dengan menetapkan nilai LC50 dari bahan pencemar tersebut terhadap
hewan percobaan dengan melakukan analisa probit. Analisa probit adalah suatu
metode pengujian yang umum dipergunakan untuk menilai toksisitas dari suatu
bahan pencemar, yang diukur dari lethal concentration, yang diartikan sebagai
berapa miligram bahan pencemar untuk setiap kilogram hewan uji yang dapat
mengakibatkan kematian sebanyak 50 % dari populasinya. Meskipun analisa
probit merupakan teknik parametrik yang biasa dipakai untuk menangani data
toksisitas, simpangan nyata dari model log probit dapat terjadi, sebagai contoh,
pada saat data tidak tersebar normal (Buikema et al, 1982 dalam Arifin 2010).
![Page 10: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/10.jpg)
Hasil dari uji jaringan di laboratorium (bioassay) dinyatakan dalam bentuk
toksisitas letal akut (misalnya, LC50-96 jam) atau ukuran suatu respon subletal dalam
makhluk yang diuji terhadap suatu jangka waktu yang spesifik. Pengukuran
subletal, hasil-hasil mungkin dinyatakan sebagai “konsentrasi pengaruh tengah”
atau EC50, yang merupakan konsentrasi pada 50 % dari makhluk hidup yang diuji
memperlihatkan respons yang diukur. EC50 biasanya memiliki pola hubungan
yang mirip dengan hubungan untuk LC50. Uji-uji toksisitas seperti uji letalitas
akut, uji toksisitas larva/embrio, uji toksisitas kronis untuk pengaruh
perkembangbiakan, dan uji terhadap biokonsentrasi/bioakumulasi adalah berguna
untuk mengkaji berbahayanya zat kimia terhadap kehidupan di air (Cairns et al,
1978 dalam Arifin 2010).
2.6. Program Komputer Ekotoksikologi
2.6.1. Program TOXSTAT
Menurut Haeruddin dan Diana (2003), pola respon osmotik biota uji
terhadap berbagai konsentrasi fenol dalam media ditetapkan dengan analisis
regresi. Konsentrasi terendah yang menimbulakan efek (LOEC) dan konsentrasi
tertinggi yang tidak menimbulkan efek (NOEC) dihitung dengan perangkat lunak
TOXSTAT versi 3.2.
Penghitungan nilai NOEC (No Observed Effect Concentration) dan LOEC
(Lowest Observed Effect Concentration) dilakukan dengan program TOXSTAT.
Selanjutnya menggunakan transformasi Arcsine square-root, Shapiro-Wilks untuk
uji normalitas data, dan Bartlett untuk uji homogenitas. Jika uji tersebut telah
dilakukan dan data menyebar normal serta seragam, kemudian dilakukan uji
![Page 11: Bab II Tinpus](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082611/55cf96fb550346d0338f0aba/html5/thumbnails/11.jpg)
statistik dengan t-dunnett’s. Analisis Rancangan Acak Lengkap dapat juga
digunakan untuk perhitungan nilai NOEC dan LOEC dengan persamaan
matematis sebagai berikut:
yij = μ + αi + εij ….(7)
Dimana:
yi : jumlah larva akibat perlakuan logam berat
m : rataan umum
ai : pengaruh logam berat ke-i
eij : galat pengamatan ke-j pada sampel ke-i (Desratriyanti, 2009).
2.6.2. Program EFFL
Menurut Desratriyanti (2009), nilai atau hasil yang didapat dari uji
toksisitas akut dengan menggunakan embrio Bivalvia dilaporkan sebagai nilai
EC50 (Effective Concetration) berdasarkan jumlah abnormalitas dan mortalitas
biota uji. Perhitungan nilai EC50 dilakukan dengan program EFFL dengan
metode Spearman-Karber. Nilai EC50 dapat juga dihitung menggunakan grafik
regresi linier antara konsentrasi toksikan dengan % abnormalitas. Regresi linier
yang digunakan dengan persamaan matematis sebagai berikut :
Y = ax ± b ….(6)
Dimana :
Y = % abnormalitas larva akibat pengaruh toksikan
x = konsentrasi toksikan
a dan b = konstanta