bab ii tinjauan umum tentang pondok pesantren dan ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/bab 2.pdf · 14...

93
40 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN KEWIRAUSAHAAN A. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren Istilah pesantren biasanya tidak terlepas dengan kata paduannya yaitu kata pondok, sehingga sering disebut sebagai pondok pesantren. Menurut Muhibbuddin, kata pondok sendiri berasal dari kata funduq dari bahasa arab yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri yang diambil awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant artinya manusia baik dengan suku kata tra atau suka menolong. Selain itu ada pula yang mengatakan, bahwa kata santri berasal dari cantrik yaitu orang-orang yang ikut belajar dan mengembara bersama- sama empu-empu ternama. 1 Ketika diadopsi oleh Islam, kata cantrik yang kemudian menjadi santri adalah orang yang belajar kepada guru-guru 1 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I), 18.

Upload: others

Post on 16-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

40

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN

DAN KEWIRAUSAHAAN

A. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Istilah pesantren biasanya tidak terlepas dengan kata paduannya

yaitu kata pondok, sehingga sering disebut sebagai pondok pesantren.

Menurut Muhibbuddin, kata pondok sendiri berasal dari kata funduq dari

bahasa arab yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok

memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang

jauh dari tempat asalnya. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri

yang diambil awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukan tempat,

maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai

gabungan kata sant artinya manusia baik dengan suku kata tra atau suka

menolong. Selain itu ada pula yang mengatakan, bahwa kata santri berasal

dari cantrik yaitu orang-orang yang ikut belajar dan mengembara bersama-

sama empu-empu ternama.1 Ketika diadopsi oleh Islam, kata cantrik yang

kemudian menjadi santri adalah orang yang belajar kepada guru-guru

1Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I), 18.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

41

agama, pada masa itu adalah para wali khususnya yang ada di tanah

jawa.2

Pesantren dalam penyelenggaraan pendidikannya berbentuk asrama

merupakan komunitas khusus di bawah pimpinan kiai dan dibantu oleh

ustadz yang berdomisili bersama-sama santri dengan masjid sebagai pusat

aktivitas belajar mengajar, serta pondok atau asrama sebagai tempat

tinggal para santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu keluarga.3

Ada statemen yang sinonim dengan pesantren, antara lain : pondok, surau,

dayah dan lainnya. Tepatnya istilah Surau terdapat di Minangkabau,

Penyantren di Madura, Pondok di Jawa Barat dan Rangkang di Aceh.4

Pondok pesantren merupakan satu bentuk pendidikan keislaman yang

melembaga di Indonesia. Kata pondok (kamar, gubug, rumah kecil)

dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan pada kesederhanaan

bangunan.5

Dalam perkembangannya, pesantren menampakan keberadaan

sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, di dalamnya didirikan

sekolah, baik secara formal maupun nonformal, bahkan sekarang

pesantren mempunyai trend baru dalam rangka memperbaharui sistem

yang selama ini digunakan yaitu : (a) mulai akrab dengan metodologi

2Muhibuddin, “Pasang Surut Pesantren di Panggung Sejarah”, Mozaik Pesantren, Tahun I (2005), 7-12. 3 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 6. 4Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), 17. 5 Soedjoko Prasodjo, Profil Pesantren, ( Jakarta: LP3ES, 1974), 11.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

42

kegiatan modern. (b) semakin berorientasi pada pendidikan fungsional,

artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. (c) diversifikasi

program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut

dengan kiai sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai

pengetahuan di luar mata pelajaran agama, maupun ketrampilan yang

diperlukan di lapangan kerja. (d) dapat berfungsi sebagai pusat

pengembangan masyarakat.6

Dari pengertian di atas, pesantren merupakan lembaga pendidikan

agama Islam, dengan sistem asrama yang di dalamnya berisikan sekurang-

kurangnya tiga unsur pokok yaitu : kiai, sebagai pengasuh sekaligus

pengajar, santri yang belajar dan masjid sebagai tempat beribadah dan

sentral kegiatan.

2. Dinamika Pesantren di Indonesia

a. Metamorfosis Pesantren dari Lembaga Tradisional menjadi Lembaga

Pendidikan Modern

Pesantren sebagai salah satu elemen penting dari bentuk dan

sistem pendidikan Islam di Indonesia telah berdiri sejalan dengan

pertumbuhan dan perkembangan Islam di nusantara.7 Pesantren dari

6Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Transformasi Sosial Budaya (Editor: Muslih Musa) , Hasbullah , Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1999), 58. 7Untuk melihat sejarah pesantren secara lebih lengkap, lihat misalnya Taufik Abdullah & Sharon Siddique, Islam and society in Southeast Asia, Institute of Southeast Asian Studies, 1986. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti), 1980. Lihat juga Mastuki dan M. Ishem El-Saha (ed), Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka), 2003, Seri I, Cet. 1. Karya lain yang senada misalnya Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan),

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

43

bentuknya yang paling sederhana8 telah mengalami metamorfosa

menjadi suatu lembaga modern.9 Perubahan-perubahan tersebut dapat

dilacak secara historis dari masa permulaan perkembangan Islam,

zaman kolonial hingga zaman setelah kemerdekaan.10

Pada zaman kolonial, pesantren tidak mengalami perkembangan

berarti diakibatkan politik pendidikan kolonial yang tidak berpihak

pada pendidikan Islam.11 Karel Steenbrink dalam karyanya, Pesantren

Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,

mengungkapkan bahwa pendidikan pesantren di mata pemerintah

kolonial adalah pendidikan terbelakang, kumuh, dan sulit

diadaptasikan dengan keilmuan modern. Bahkan inspeksi pendidikan

kolonial tidak memasukkan pendidikan pesantren ke dalam laporan

resmi pemerintah.12 Dalam pandangan Suminto politik pendidikan

kolonial ini sengaja dipropagandakan dengan tujuan untuk

kelangsungan dan kelanggengan kekuasaan penjajah di Indonesia.13

2001. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS), 1994. 8 Bentuk paling sederhana dari pesantren berupa pengajian sederhana di masjid atau di rumah kyai, lihat Abdurrahman Mas’ud dalam Badrus Sholeh (ed), Budaya Damai Komunitas Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2007), XIX-XX. 9 Pesantren dikatakan modern apabila di dalamnya selain mengajarkan kitab-kitab kuning juga mengajarkan ilmi-ilmu umum. Selain itu dalam komplek pesantren terdapat madrasah atau sekolah bahkan universitas. Lihat Zamakhsyari Dhofer, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES, 1982), Cet. 1, 41. 10 Fase-fase perkembangan sejarah pesantren ini misalnya dapat dilihat dalam Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), 55. 11 Lihat Karel A, Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES), 1994, Cet. 2. Lihat juga H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985), 46-50. 12 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, 9. 13 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, . 49.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

44

Arah baru bagi pendidikan Islam khususnya pesantren dalam

menghadapi perubahan mulai terlihat setelah adanya ide pembaharuan

pendidikan di awal abad ke-20. Pembaharuan ini didasari pemikiran

bahwa tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang

menantang dari pihak kolonialisme Belanda dan penetrasi Kristen juga

terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam

menegakkan Islam.14 Berdasarkan pemikiran seperti ini pendidikan

Islam mulai merubah paradigma perjuangan, yang semula sangat anti

dengan sistem pendidikan kolonial dan sama sekali menafikan aspek-

aspek positifnya, kemudian melakukan adaptasi dan akomodasi dengan

mulai memasukan pelajaran-pelajaran umum ke dalam sistem

pembelajaran. Bahkan ormas-ormas Islam mendirikan sekolah-sekolah

yang bercorak modern.15 Tidak mau ketinggalan pesantren pun mulai

melakukan pembaharuan. Respon pesantren yang bersifat akomodatif

pertama kali ditunjukkan oleh pesantren Mambaul Ulum di Surakarta.

Pesantren ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata

pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Sikap pesantren

Mambaul Ulum ini kemudian diikuti beberapa pesantren lain.16 Pada

tahun 1916 berdirilah madrasah salafiyah dengan sistem klasikal di

14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982), 37. 15Di Sumatera Barat misalnya berdiri sekolah Madrasah Diniyah dan Sumatera Thawalib, sedangkan Muhammadiyah mendirikan sekolah gubememen. Begitu juta Komunitas Arab mendirikan madrasah bercorak modern yaitu Jami’at Khair dan Al-Irsyad semua sekolah-sekolah tersebut menyelenggarakan mata pelajaran umum selain ilmu-ilmu agama. 16Azra, Azyumardi, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,(Jakarta: ) xiv.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

45

pesantren Tebuireng. Moh Ilyas, sang pendiri, dengan persetujuan

K.H. Hasyim Asy’ari, memasukan mata pelajaran umum seperti

membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa

melayu. Semenjak itu surat kabar berbahasa Melayu diizinkan masuk

ke pesantren. Moh. Ilyas juga memodifikasi sistem pengajaran bahasa

Arab, dengan mengadopsi sistem pengajaran bahasa Belanda yang

pernah dipelajarinya di HIS. Walaupun K.H. Hasyim Asy’ari dianggap

cukup konservatif, namun pembaharuan dalam pesantren sempat

menimbulkan reaksi yang cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua

memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Tebuireng sudah

dianggap terlalu modern waktu itu.17

Transformasi pesantren dari sistem tradisional ke sistem modern

ini terus berlanjut hingga pasca kemerdekaan, bahkan mungkin sampai

sekarang. Di zaman orde lama, ketradisionalan pesantren mendapat

kritikan tajam dari Presiden Soekarno. Menurutnya pesantren harus

segera melakukan perubahan dengan cara meninggalkan word of life

pesantren, naik di dalam word of mind.18Sebagai respon dari kritikan

tersebut, pada tahun 1965 diselenggarakan seminar pesantren seluruh

Indonesia di Yogyakarta. Dalam seminar ini para ulama dan pengasuh

pesantren untuk pertama kalinya membicarakan hakikat pesantren

secara lebih terbuka. Seminar ini juga telah menimbulkan kesadaran

17 Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta:LP3ES,1986 ), 70-71. 18 Saridjo,Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982 ), 61.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

46

dari dalam untuk memperbaharui sistem pendidikan dan pengajaran

pesantren.

Modernisasi pesantren yang begitu eksplisit dapat dilihat

sewaktu pemerintah orde baru menghendaki pesantren menjadi salah

satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat.19 Melalu proyek

Pelita, pemerintah memberikan bantuan untuk pembinaan pesantren di

seluruh Indonesia. Proyek ini, walaupun menuai kritikan, namun telah

memungkinkan pesantren untuk berkembang lebih maju tidak hanya

dalam modernisasi kurikulum, tetapi juga pengembangan ekonomi dan

sarana dan prasarana fisik.20

Modernisasi pesantren zaman orde baru memungkinkan

pesantren melakukan penyesuaian, adaptasi dan akomodasi, pesantren

kemudian mampu mengembangkan diri dan kembali menempatkan

posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.

Pesantren mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

beragam mulai dari visi dan misi pesantren, pengembangan

kelembagaan, pola kepemimpinan, manajemen, pola pembelajaran,

strategi adaptasi dan pengembangan ekonomi. Dalam konteks yang

terlahir, kita menyaksikan banyak pesantren kemudian memiliki

berbagai unit usaha dan kegiatan produksi dan memberlakukan

kurikulum yang memuat pelajaran keterampilan. Potret pertumbuhan 19 Rahardjo, Dawam, (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1974), 11. 20 Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, 81.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

47

pesantren yang sangat dinamis ini, dalam pandangan Kuntowijoyo,

membuktikan bahwa pesantren responsif terhadap perubahan dengan

mengembangkan kegiatan-kegiatan baru.21

Dampak positif dari perkembangan ini, pesantren yang dulu

dikenal sebagai lembaga tradisional, terbelakang dan rural based

institution, sekarang tidak sulit kita temukan pesantren yang memiliki

gedung dan fasilitas fisik yang cukup megah dan mentereng. Pesantren

juga mengalami metamorphosis dari gejala rural menjadi lembaga

pendidikan urban. Banyak bermunculan pesantren kota, seperti di

Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Palembang, Yogyakarta,

Malang, Semarang, Ujung Pandang atau wilayah sub-urban Jakarta

seperti Parung dan Cilangkap.22 Seperti dikemukakan Zamakhsyari

Dohofier, diantara pesantren perkotaan yang muncul pada 1980-an

adalah pesantren Darun Najah dan Ashidiqiyah di Jakarta, pesantren

Nurul Hakim, Al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, dan Darul Hikmah

di Pekanbaru.23

Seiring perkembangan zaman pesantren terus melakukan inovasi

sesuai dengan tuntutan zaman. Disamping tetap mempertahankan ciri

khasnya pesantren terus melakukan ekspansi dengan melaksanakan

21 Kuntowijoyo, Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika, dalam Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1988), Cet. 8,246. 22 Azra, Azyumardi, dalam Norcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. xxiii. 23 Dhoefier, Zamakhsyari, Peran Pesantren dan Pengembangan Pendidikan dan Pendewasaan Masyarakat, makalah, Direktori Agribisnis Melalui Pondok Pesantren 1994/1996, (Jakarta: Departemen Pertanian RI, 1996) 12.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

48

reformasi dan modernisasi sistem pendidikannya. Walaupun ada

sebagian pesantren yang tetap bertahan pada pola tradisionalnya, akan

tetapi tidak sedikit pesantren yang kemudian mengadopsi sistem

pendidikan modern dengan menerima lembaga pendidikan formal

berupa madrasah dan sekolah-sekolah umum. Kebanyakan pesantren

sekarang memiliki madrasah mulai dari MI, MTs, MA. Banyak juga

pesantren yang mendirikan SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi.

Dalam perkembangan mutakhir, pesantren tumbuh berkembang

menjadi lembaga yang multidimensional yang bukan hanya dikenal

sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi pesantren yang tumbuh

berkembang di tengah masyarakat juga memerankan fungsinya sebagai

pusat aktivitas masyarakat, mulai dari belajar agama, beladiri,

pengembangan ketrampilan, mengobati orang sakit, konsultasi jodoh,

konsultasi keluarga, problem masyarakat bahkan

penyembuhan/rehabilitasi korban narkoba dan sebagian pesantren juga

tidak luput dari aktivitas politik.

b. Transformasi Tradisi Pembelajaran di Pesantren

Sistem pendidikan pesantren didasari, diarahkan dan digerakan

oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam yang

kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mastuhu

menggolongkan nilai-nilai yang menjadi ruh pesantren ini menjadi dua

bagian yaitu nilai-nilai Islam yang bersumber pada kebenaran mutlak

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

49

dan berorientasi ukhra<wi dan nilai-nilai agama yang memiliki

kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan

berbagai masalah kehidupan sehari-hari sesuai dengan kaidah hukum

agama.24 Sedangkan prinsip-prinsip yang dianut pendidikan pesantren

meliputi theocentric, sukarela dan mengabdi, kearifan, kesederhanaan,

kolektivitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin,

mandiri, tempat mengabdi, tempat mengamalkan ajaran agama dan

restu kiai.25

Nilai-nilai yang juga menjadi ciri-ciri pesantren adalah; 1)

adanya hubungan yang akrab antara kiai dan santri. Hal ini

dimungkinkan karena mereka tinggal dalam suatu komplek pesantren

sehingga kiai dapat dengan mudah memantau segala aktifitas

keseharian para santri. 2) kepatuhan santri terhadap kiai sehingga

mereka tidak berani menentangnya karena disamping tidak sopan juga

dilarang agama bahkan tidak mendapat berkah karena durhaka kepada

guru. 3) hidup hemat, sederhana dan mandiri benar-benar diterapkan

dalam kehidupan keseharian, 4) jiwa tolong-menolong dan suasana

persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren. 5) disiplin yang

sangat ketat. 6) keprihatinan untuk mencapai tujuan yang mulia.26

Menurut Agil Siradj, bahwa dalam sistem kehidupan pesantren

24 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, 25 Martin van Brunessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1994), 18. 26 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

50

terdapat spirit yang menjiwai setiap derap langkah warganya berupa

keikhlasan, kesederhanaan, sabar, tawakkal, tawadhu’, jujur, ukhuwah

Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.27

Prinsip dan nilai yang ada dalam perikehidupan pesantren ini

juga tercermin dari tradisi pembelajaran sebagai proses transmisi

keilmuan pesantren. Martin Van Bruinessen menggambarkan bahwa

unsur kunci dalam lembaga pesantren adalah peranan dan kepribadian

kiai yang sangat menentukan dan karismatik. Sikap hormat, takzim,

dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang

ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga

mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan ulama

yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya.28 Kepatuhan ini bagi

pengamat luar, menurut Martin, tampak lebih penting daripada usaha

menguasai ilmu tetapi bagi kiai hal itu merupakan bagian integral dari

ilmu yang akan dikuasai.

Meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks tertulis, namun

penyampaian secara lisan oleh para kiai adalah penting. Kitab

dibacakan oleh kiai di depan sekelompok santri, sementara para santri

yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana

bacaan sang kiai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi

maupun ma’nawi. Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi 27 Siradj,Agil, Said, dkk, Pesantren Masa Depan, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), 215-216. 28 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, h. 18.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

51

biasanya terbatas pada konteks sempit isi kitab. Jarang sekali ada

usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkret,

atau situasi kontemporer.29 Kiai jarang menanyakan apakah santri

benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada

tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat pengantar

sering dihafalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja

dari awal sampai akhir.

Pada masa lalu, menurut Dhofier, pengajaran kitab-kitab Islam

klasik, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham

Syafi’iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan

dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini adalah

untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang tinggal di

pesantren untuk jangka waktu pendek dan tidak bercita-cita menjadi

ulama, mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal

pendalaman perasaan keagamaan. Para santri yang bercita-cita ingin

menjadi ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa Arab

melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum mereka pergi ke

pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.30

Sistem pengajaran seperti tergambar di atas adalah cara-cara

yang lazim dilakukan oleh pesantren-pesantren salafi (tradisional).

29Ibid 30 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1982), Cet. 1, 50.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

52

Seiring terjadinya modernisasi dalam sistem pembelajaran dan

kurikulum pesantren, maka pola pembelajaran tidak hanya sorogan dan

bandongan, tapi sudah menganut sistem klasikal. Materi pelajaranpun

menjadi beragam, tidak hanya mengaji kitab kuning. Namun demikian,

menurut Dhofier, meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan

pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam

pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap

diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren,

mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam

tradisional.31

Dalam perkembangan selanjutnya, tampaknya sistem

pembelajaran pesantren menghadapi berbagai tantangan yang

menghendaki ekspektasi pendidikan tidak hanya menjadi pusat

pengembangan kognitif keilmuan semata, tetapi hal yang juga urgen

adalah bagaimana sebuah lembaga pendidikan bisa mengarahkan anak

didik untuk mandiri dalam kehidupannya setelah menuntaskan proses

belajar di pesantren.32

Menghadapi tantangan seperti ini, mengharuskan pesantren

melakukan transformasi dan pembaharuan dalam sistem pembelajaran

dan orientasi pendidikannya. Pembaharuan yang cukup menarik

31Ibid., 50 32 A. Halim. “ Pesantren Menggali Potensi Ekonomi Pondok”, dalam A. Halim et al, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2005), 219.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

53

diamati adalah adanya keinginan mengembangkan sisi ekonomi

(kewirausahaan) yang integrated dalam kurikulum yang dijalankan

dalam sistem pendidikan berbasis pesantren. Usaha-usaha ini dalam

konteks pembaharuan telah dilakukan berbagai tokoh dan lembaga

yang mencoba mengaplikasikan model pendidikan yang mengambil

corak spesifik pengembangan kewirausahaan selain pengembangan

ilmu-ilmu keislaman.33

3. Reformulasi Tipe Ideal Pendidikan Pesantren

Seperti telah disinggung terdahulu, pada masa-masa awal

pesantren sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan

pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca

huruf Arab dan al-Qur’an. Sementara pesantren yang agak tinggi

adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah,

dan kadang-kadang amalan sufi, disamping tata bahasa Arab (nahwu

sharaf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang

maupun waktu dulu ditentukan oleh tiga serangkai mata pelajaran

yang terdiri dari fiqh menurut madzhab Syafi’i, akidah menurut

madzhab Asy’ari dan amalan-amalan sufi dan karya-karya Imam Al-

33 Contoh paling eksplisit pertama kali tokoh yang memperkenalkan dan menganjurkan pendidikan kewirausahaan ini adalah KH Abdul Halim di Majalengka dengan mendirikan Santi Asrama. Dalam lembaga ini mengajarkan berbagai keterampilan selain pengembangan ilmu agama. Dalam periode selanjutnya perkembangan kewirausahaan mengambil bentuk dengan bemunculan pondok karya pembangunan yang mengedepankan aspek keterampilan. Selain itu berdiri beberapa pesantren yang secara spesifik mengembangkan bidang keilmuan tertentu yang sangat erat dengan pengembangan keterampilan dan kewirausahaan, seperti pesantren Darul Fallah dan PKP Uswatun Hasanah.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

54

Ghazali.34 Sedangkan ciri umum dari pesantren yang dapat diketahui

adalah pesantren ini disebut Gus Dur sebagai sebuah sub-kultur35,

Taufik Abdullah menyebut dengan komunitas alternatif36, sedangkan

Djohan Effendi menyebutkan sebagai kampung peradaban37.

Seiring perkembangan zaman, memasuki era 1970-an pesantren

mengalami pertumbuhan yang luar biasa secara kuantitas, baik di

wilayah rural (pedesaan), sub urban (pinggiran kota) maupun urban

(perkotaan). Perkembangan kuantitas ini meliputi pesantren salafiyah

(tradisional) dan khala<fiyah (modern). Pertumbuhan secara kuantitas

ini, menurut Sulthon Masyhud memperkuat argumentasi bahwa

pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri

dan sejatinya merupakan praktek pendidikan berbasis masyarakat

(community based education).38Hampir 100% pendidikan yang berada

atau dilaksanakan di pesantren adalah milik masyarakat dan berstatus

swasta.

34 Sulthon Mashud, Manajemen Pondok Pesantren, Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, h. (Jakarta : Diva Pustaka,2003), Cet. I, 2-3,22. 35 Wahid, Abdurrahman. Pesantren Sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Rahardho, (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), 19. 36 Taufik Abdullah, Dialog dan Integrasi : Pesantren dalam Perspektif Sejarah, dalam Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1987), Cet. I, 124. 37 Djohan Effendi, Pesantren dan Kampung Peradaban, sebuah Pengantar, dalam Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta : Penamadani, 2005),Cet 2, xvii-xx. 38 Lebih jelas mengenai community based education, baca Stephen May. Indigenous Community-Based Education, Multilingual Matters, 1999, Ervin L. Harlacher & James F. Gollattscheck, Implementing Community-Based Education, Jossey-Bass, 1978. Susan L. Deutsch & John Noble, Community-Based Teaching : a Guide to Developing Education Programs for Medical Students and Resident in Practitioner’s Office, (ACP Press,1997), 1.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

55

Selain perkembangan kuantitas, perkembangan pesantren juga

menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an

bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah

sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan

menjadi empat tipe, yakni: 1) pesantren yang menyelenggarakan

pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang

hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan Perguruan

Tinggi Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,

SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren

Tebuireng Jombang, pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren

Syafi’iyah Jakarta; 2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan

keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu

umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren

Gontor Ponorogo, pesantren Sidogiri Pasuruan dan Darul Rahman

Jakarta; 3) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam

bentuk madrasah diniyah (MD), seperti pesantren Ploso Kediri dan

pesantren Tegalrejo Magelang, dan 4) pesantren yang hanya sekedar

menjadi tempat pengajian.39

Pada pesantren tipe pertama dan kedua, sistem pembelajaran

tradisional seperti sorogan dan bandongan ataupun balaghan dan

39 Qodri Azizy, Memberdayakan Pesantren dan Madrasah, dalam Ismail SM (ed). Dinamika Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002. Cet I. Sulthon Masyhud. Manajemen Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet I, 5.

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

56

halaqah mulai diseimbangkan dengan sistem pembelajaran modern.

Dalam aspek kurikulum, misalnya, pesantren tidak lagi hanya

memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-

ilmu umum yang diakomodasi dari kurikulum pemerintah, seperti

matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris dan sejarah. Sistem

pengajaran yang berpusat pada kiai mulai bergeser.

Ditilik dari sisi kelembagaan, sekarang ini beberapa pesantren

muncul menjadi sebuah institusi atau ‘kampus’ yang memiliki

berbagai kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi

santri, tidak hanya segi akhlak, nilai, intelek, dan spiritualitas, tapi juga

atribut-atribut fisik dan material seperti munculnya pesantren-

pesantren yang sudah terkemas rapi dengan peralatan-peralatan

modern semisal laboratorium bahasa, teknologi komputer dan internet,

dan lain sebagainya.

Berbagai jenis program ketrampilan juga diperkenalkan oleh

pesantren semisal agro industri, industri rumah tangga, pertanian,

perikanan, dan kelautan. Di samping itu, pelayanan terhadap

masyarakat sekitar terus ditingkatkan, misalnya dengan menggerakkan

ekonomi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang dapat

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

57

memberikan keuntungan ekonomi atau pelatihan-pelatihan ketrampilan

dasar.40

Perkembangan positif dari pesantren ini baik dari segi kualitas

maupun kuantitas, telah menarik animo masyarakat untuk menjadikan

pesantren sebagai pendidikan alternatif. Terlebih lagi dengan berbagai

inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan

mengadopsi corak pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin

kompetitif untuk menawarkan pendidikan ke khalayak masyarakat.

Berangkat dari persepsi seperti ini, dalam rangka menghadapi

tantangan zaman di era globalisasi, pesantren diharapkan dapat

merumuskan atau mereformulasi diri sehingga sesuai dengan tuntutan

zaman.41

Dalam kritiknya, Affan Gafar menuturkan bahwa peran penting

pesantren dalam proses pelaksanaan pembangunan sosial di sektor

pendidikan secara khusus tidaklah senantiasa berada pada titik

konstan, tetapi juga mengalami pasang surut. Seperti contoh, ketika

pesantren masih menjadi satu-satunya kiblat pendidikan, peran

lembaga pendidikan dengan kiai sebagai figur tokoh informalnya

memiliki posisi dan peran yang menentukan. Tetapi, ketika dunia

40 Manfred Oepen. The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia, International Seminar vy Technical University Berlin and Friederich-Naumann-Stiftung, Fredrich-Naumann Stiftung. Indonesian Society for Pesantren and Community Development (P3M) : (Berlin: Technical University Berlin, 1988), 16. 41 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, h. 12.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

58

pendidikan semakin dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan

modern yang menawarkan keunggulan sistem pendidikan, kurikulum

yang terprogram secara sistematis, SDM tenaga pengajar yang handal,

dan pengelolaan yang profesional, semakin menggeser keberadaan

pesantren. Peran pesantren juga semakin teredukasi dengan semakin

tingginya tingkat campur tangan pemerintah dalam menggarap sektor

pembangunan dalam berbagai aspeknya sebagaimana pengalaman

peran pemerintahan pada era Orde Baru dengan sistem pemerintahan

yang sentralistik dengan menekankan pemantapan stabilitas politik,

pendekatan keamanan yang ketat, dan prioritas pada pembangunan

pada sektor ekonomi.42

Sementara itu munculnya percepatan kemajuan dalam bidang

sains dan teknologi, perkembangan ekonomi-pasar bebas dan

munculnya berbagai institusi non-pemerintah (LSM) selain pesantren

yang aktif menggarap persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan,

keberadaan elemen-elemen tersebut menjelma menjadi kekuatan yang

sangat berpengaruh dalam perkembangan kehidupan sosial

kontemporer. Keberadaan institusi informal yang cukup heterogen

semacam ini telah menjadi pilar yang cukup fungsional bagi

pemberdayaan masyarakat secara umum, dan proses transformasi

sosial. Biasanya institusi informal tersebut memiliki kepedulian yang

42 Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Demokrasi menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 5.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

59

cukup besar untuk turut melakukan penguatan masyarakat sipil (civil

society) terutama melalui pemberdayaan di bidang pendidikan.43

Pesantren sebagai satu potret LSM terkenal mampu memainkan

berbagai peranan dalam proses pembangunan. Menurut Noeloen

Heyzer, sebagaimana dikutip Affan Gaffar, terdapat tiga jenis peranan

yang dapat dimainkan oleh berbagai LSM secara umum, termasuk

pesantren, yaitu : 1) mendukung dan memberdayakan masyarakat pada

tingkat “grassroot” yang sangat esensial dalam rangka menciptakan

pembangunan yang berkelanjutan, 2) meningkatkan pengaruh politik

secara meluas, melalui jaringan kerjasama, baik dalam suatu negara

maupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya; 3) ikut

mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda

pembangunan.44

Dalam pandangan Fuadudin, kalau saja potensi pesantren dapat

memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dan perkembangan IPTEK,45 maka negeri ini akan

menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan

kompetitif untuk mengejar ketertinggalan bangsanya, SDM yang

mempunyai akar sosial dan kultur Indonesia, bukan SDM yang

43 Sulthon Masyhud, Manajemen …,13. 44 Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Demokrasi menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 12. 45 Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan Iptek adalah pendidikan yang seimbang dan terpadu antara dimensi keimanan, moral dan intelektual, atau pendidikan yang seimbang dan terpadu antara penguasaan ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan penguasaan sains dan teknologi yang didasari oleh nilai-nilai moral agama (imtak).

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

60

berorientasi ideologi dan nilai-nilai kultur yang diimpor dari luar baik

yang fundamentalis radikal maupun yang liberal sekularistik.46

Sebaliknya bila pesantren gagal atau tidak mampu memberikan

pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat dan

perkembangan IPTEK/modernitas, maka alumni pesantren

kemungkinan tidak siap menghadapi realitas kehidupan yang semakin

kompetitif dan bisa jadi akan termarginalkan secara sosial, politik,

ekonomi maupun kultural. Akibatnya mobilitas sosial dan intelektual

umat akan mandeg, tetap berada pada lapisan bawah.

Bagaimana sebaiknya dunia pesantren merespon

perkembangan Iptek dan tuntutan perubahan yang terjadi di

masyarakat. Transformasi sistem pendidikan pesantren yang gradual

bahkan incremental ternyata belum sepenuhnya mampu merespon

perubahan masyarakat dan perkembangan Iptek yang berubah dengan

cepat. Bahkan yang terjadi, akibat dari adaptasi yang gradual dan

incremental yang dilakukan pesantren terhadap sistem pendidikan dan

luar sedikit banyaknya mempengaruhi pemikiran dan pemahaman

keagamaan yang pada gilirannya memberikan warna tersendiri

terhadap pandangan hidup santri. Oleh karena itulah dalam pandangan

46 Fuaduddin TM, Diversivikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Kegamaan. Volume 5, Nomor 4, Oktober-Desember 2007, (Jakarta: Departemen Agama, 2007), 15.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

61

Fuaduddin, pesantren perlu melakukan diverivikasi pada sistem

pendidikannya.47

Zamaksyari Dhofier misalnya mengelompokan pesantren

menjadi pesantren salafi (tradisional) dan pesantren khalafi (modern).

Pesantren salafi adalah pesantren yang tetap mempertahankan

pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di

pesantren, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.

Sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang telah memasukan

pelajaran-pelajaran umum dan memiliki lembaga pendidikan formal

seperti madrasah atau sekolah-sekolah umum bahkan universitas di

lingkungan pesantren.48 Dalam kerangka Amin Haedari, tentang

pondok pesantren khalafi (modern) menurutnya memiliki ciri-ciri

selain kurikulum terdiri dari pelajaran agama dan umum dan di dalam

pesantren ada madrasah dan sekolah umum, ada kalanya kitab kuning

sudah tidak diajarkan lagi. 49 Untuk konteks zaman sekarang tipe

pesantren yang digolongkan menjadi dua bagian seperti itu, salafi dan

khalafi, menurut beberapa peneliti sudah tidak sesuai lagi, mengingat

sudah sangat beragamnya pesantren yang ada.

47 Fuaduddin TM. Diverivikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, 16 48Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Pembagian tipologi pesantren menjadi dua salafi dan khalafi kemudian menjadi standar acuan Depag dalam mengklasifikasikan model pesantren., (Jakarta : LP3ES, 1982), Cet. I, 41-42. 49 Haedari, Amin, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, (Jakarta : Diva Pustaka, 2004), 24-45.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

62

Fuaduddin mencatat paling tidak ada lima model pesantren

yang sedang berkembang saat ini. Kelima model tersebut yaitu:

Pertama, pesantren “salafiyah tradisional”, pesantren yang terbatas

hanya mengajarkan ilmu agama yang bersumber pada literatur Islam

klasik (kitab kuning), dengan metode bandongan/wetonan, sorogan

dan bahtsul masa<il untuk kelas-kelas takhassus. Kedua, pesantren

“salafiyah modern”, yaitu pesantren salafiyah yang sudah mengadopsi

sistem pembelajaran klasikal, dengan memasukkan kurikulum mata

pelajaran umum dan keterampilan. Ketiga, pesantren modern yang

mengadopsi sistem pendidikan modern bukan saja dalam sistem

pembelajaran dan kurikulumnya, namun juga dalam pemikiran yang

memberikan kebebasan santrinya untuk tidak terikat dengan

pemahaman keagamaan (mazhab) tertentu. Keempat, pesantren yang

selain mengajarkan ilmu agama, juga melengkapi sistem

pendidikannya dengan berbagai ketrampilan seperti: pertanian,

perikanan, pertukangan, otomotif, berbagai kerajinan tangan, dsb.

Kelima, pesantren “salafi-haraki”, yaitu pesantren yang mendasarkan

khittoh pendidikannya pada faham keagamaan salafi (haraki) yang

berusaha melakukan gerakan pemurnian ajaran Islam berdasarkan al-

Qur’an dan as-sunnah s{a<h{ubah dan berupaya melaksanakannya

sebagaimana yang dilakukan oleh “tradisi salafi”.50

50 Fuaduddin TM, Diverivikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, h. 20-22.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

63

Sulthon Masyhud menawarkan tipe integrasi antara sistem

pendidikan klasik dan sistem pendidikan modern selain tipologi yang

sudah ada. Menurutnya tipe ini adalah tipe ideal model pendidikan

pesantren yang dapat dikembangkan saat ini.51 Pengembangan tipe

ideal ini, menurutnya, tidak akan merubah total wajah dan keunikan

sistem pendidikan pesantren menjadi sebuah model pendidikan umum

yang cenderung reduksionistik terhadap nilai-nilai yang terkandung

dalam sistem pendidikan pondok pesantren.

B. Internalisasi Nilai-nilai Kewirausahaan

1. Pengertian dan Konsep Dasar Kewirausahaan

Istilah entrepreneurship atau kewirausahaan sudah lama menjadi

wacana di Indonesia, baik pada tingkat formal di perguruan tinggi dan

pemerintahan ataupun pada tingkat nonformal pada kehidupan ekonomi di

masyarakat. Dilihat dari terminologi, dulu dikenal adanya istilah

wiraswasta dan kewirausahaan. Sekarang tampaknya sudah ada semacam

konvensi sehingga istilah tersebut menjadi wirausaha (entrepreneur) dan

kewirausahaan (entrepeneurship).

Entrepreneur berasal dari bahasa Prancis yaitu entreprendre yang

artinya memulai atau melaksanakan. Wiraswasta berasal dari kata : Wira :

utama, gagah berani, luhur; swa: sendiri; sta : berdiri. Dari kata tersebut,

51 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, h. 14.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

64

wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang dapat berdiri

sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai orang-orang

yang tidak bekerja pada sektor pemerintahan, yaitu: para pedagang,

pengusaha, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan swasta,

sedangkan wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai usaha

sendiri. Wirausahawan adalah orang yang berani membuka kegiatan

produktif yang mandiri.

Istilah kewirausahaan, kata dasarnya berasal dari terjemahan

entrepreneur, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan between taker

atau go between. Pada abad pertengahan istilah entrepreneur digunakan

untuk menggambarkan seseorang aktor yang memimpin proyek produksi.

Konsep wirausaha secara lengkap dikemukakan oleh Josep Schumpeter,

yaitu sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan

memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk

organisasi baru atau mengolah bahan baku baru. Orang tersebut

melakukan kegiatannya melalui organisasi bisnis yang baru atau pun yang

telah ada. Dalam definisi tersebut ditekankan bahwa wirausaha adalah

orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah

organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut.52

Menurut beberapa ahli dalam Suryana ada 6 hakekat penting

kewirausahaan sebagai berikut, yaitu : (1) Entrepreneurship adalah suatu 52Suryana, Kewirausahaan, Pedoman Kiat Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses,(Jakarta: Salemba Empat, 2008), 13.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

65

nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya,

tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis. (2)

Entrepreneurship adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu

yang baru dan berbeda (ability to create the new and different) (3)

Entrepreneurship adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi

dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk

memperbaiki kehidupan.53 (4) Entrepreneurship adalah suatu nilai yang

diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan

usaha (venture growth). (5) Entrepreneurship adalah suatu proses dalam

mengerjakan sesuatu yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda

(inovative) yang bermanfaat memberi nilai lebih. (6) Entrepreneurship

adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan

sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan

persaingan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan dengan cara

mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru,

menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang

lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada dan

menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.54

Dahulu orang beranggapan bahwa kewirausahaan adalah bakat

bawaan sejak lahir (entrepeneurship are born not made) dan hanya

53 Zimmerer, Thomas W., Norman Scarborough, Entrepreneurship The New Venture Formation, (Prentice- Hall International , Inc. 1996.), 29 54 Suryana, Ibid. 17

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

66

diperoleh dari hasil praktek di tingkat lapangan dan tidak dapat dipelajari

dan diajari, tetapi sekarang kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu

yang dapat dipelajari dan diajarkan. Ilmu kewirausahaan adalah disiplin

ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku

seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang

dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya.

Dalam konteks bisnis, menurut Zimmerer dalam Suryana,

entrepreneurship adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis

penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan

peluang di pasar. Wirausaha sejak diperkenalkan oleh Richard Castillon

pada tahun 1755. Di luar negeri, istilah kewirausahaan telah dikenal sejak

abad 16, sedangkan di Indonesia baru dikenal pada akhir abad 20.

Beberapa istlah wirausaha seperti di Belanda dikenal dengan ondernemer,

di Jerman dikenal dengan unternehmer.55

Pendidikan entrepreneurship mulai dirintis sejak 1950-an di

beberapa Negara seperti di eropa, Amerika dan Canada. Bahkan sejak

1970-an banyak universitas yang mengajarkan entrepeneurship atau small

business management. Pada tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di

Amerika Serikat memberikan pendidikan entrepreneurship. Di Indonesia,

entrepreneurship dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau

perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan 55Ibid., 23.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

67

tantangan seperti adanya krisis ekonomi pemahaman entrepreneurship

baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan pelatihan di segala

lapisan masyarakat, maka entrepreneurship menjadi berkembang.56

Ada tiga jenis wirausaha, yaitu : (1) Necessity Entrepreneur yaitu

menjadi wirausaha karena terpaksa dan desakan kebutuhan hidup. (2)

Replicative Entrepreneur, yaitu wirausaha yang cenderung meniru-niru

bisnis yang sedang ngetren sehingga rawan terhadap persaingan dan

kejatuhan. (3) Innovative Entrepreneur, yaitu wirausaha inovatif yang

terus berpikir kreatif dalam melihat peluang dan meningkatkannya.

Perdebatan yang sangat klasik adalah perdebatan mengenai apakah

entreprenurship itu dilahirkan (is born) yang menyebabkan seseorang

mempunyai bakat lahiriah untuk menjadi entrepreneur atau sebaliknya

entreprenurship itu dibentuk atau dicetak (is made). Sebagian pakar

berpendapat bahwa entrepreneur itu dilahirkan sebagian pendapat

mengatakan bahwa entrepreneur itu dapat dibentuk dengan berbagai

contoh dan argumentasinya. Misalnya Mr. X tidak mengenyam pendidikan

tinggi tetapi kini dia menjadi pengusaha besar nasional. Di lain pihak kini

banyak pemilik perusahaan yang berpendidikan tinggi tetapi reputasinya

belum melebihi Mr. X tersebut.

56Ibid., 24.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

68

Pendapat lain adalah entreprenur itu dapat dibentuk melalui suatu

pendidikan atau pelatihan kewirausahaan. Contohnya, setelah Perang

Dunia ke-2 beberapa veteran perang di Amerika belajar berwirausaha.

Mereka belajar berwirausaha melalui suatu pendidikan atau pelatihan baik

pendidikan/pelatihan singkat maupun pendidikan/pelatihan yang

berjenjang. Dengan model pengetahuan dan fasilitas lainnya mereka

berwirausaha. Samuel Whalton pendiri Wallmart yang kini menjadi

retailer terbesar di dunia adalah veteran yang memulai usahanya pada usia

47 tahun. Ross Perot pendiri Texas Instrument yang pernah mencalonkan

diri sebagai Presiden Amerika dari partai Independen juga seorang veteran

yang berhasil dibentuk menjadi entrepreneur.

Ada yang mengatakan bahwa seseorang menjadi wirausahawan itu

karena lingkungan. Misalnya, banyak orang WNI keturunan menjadi

wirausahawan yang sukses karena mereka hidup di lingkungan para

wirausahawan atau pelaku usaha.57

Pendapat yang sangat moderat adalah tidak mempertentangkan

antara apakah wirausahawan itu dilahirkan, dibentuk, atau karena

lingkungan. Pendapat tersebut menyatakan bahwa untuk menjadi

wirausahawan tidak cukup hanya karena bakat (dilahirkan) atau hanya

karena dibentuk. Wirausahawan yang akan berhasil adalah wirausahawan

yang memiliki bakat yang selanjutnya dibentuk melalui suatu pendidikan 57Rusdayanto, F. 2009. Wirausaha, Dilahirkan atau Dididik? ( Jakarta: Harian Pikiran Rakyat.,Selasa, 09 Juni 2009), 1.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

69

atau pelatihan, dan hidup di lingkungan yang berhubungan dengan dunia

usaha.

Seseorang yang meskipun berbakat tetapi tidak dibentuk dalam suatu

pendidikan/pelatihan tidaklah akan mudah untuk berwirausaha pada masa

kini. Hal ini disebabkan dunia usaha pada era ini menghadapi

permasalahan permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan

era sebelumnya. Sebaliknya orang yang bakatnya belum terlihat atau

mungkin masih terpendam jika ia memiliki minat dengan motivasi yang

kuat akan lebih mudah untuk dibentuk menjadi wirausahawan. Bagi yang

ingin mempelajari kewirausahaan janganlah berpedoman pada berbakat

atau tidak. Yang penting memiliki minat dan motivasi yang kuat untuk

belajar berwirausaha.

Seorang dikatakan sebagai wirausahawan apabila memiliki segenap

ciri-ciri wirausaha tangguh, dan wirausahawan unggul, Sedangkan dilihat

dari jenisnya terbagi kedalam tiga kelompok yaitu Administrative

Entrepeneur, Innovative Entrepeneur, dan Catalist Entrepeneur.58

58Suryana, Kewirausahaan, Pedoman Kiat Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses ,(Jakarta: Salemba Empat, 2008), 18.

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

70

Menurut Suryana bahwa seorang entrepreneur yang sukses adalah

mereka yang memiliki kompetensi entrepreneurship sebagaimana

terdiskripsikan pada tabel berikut ini:59

Tabel 2.1:

Nilai-nilai dan Deskripsi Nilai Entrepreneurship

No Nilai Deskripsi

1 Mandiri Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

2 Kreatif Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil berbeda dari produk/jasa yang telah ada.

3 Berani mengambil risiko

Kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang menantang, berani dan mampu mengambil risiko kerja.

4 Berorientasi pada tindakan

Mengambil inisiatif untuk bertindak dan bukan menunggu, sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi

5 Kepemimpinan Sikap dan prilaku seseorang selalu terbuka terhadap saran dan kritik, mudah bergaul, bekerjasama, dan mengarahkan orang lain.

6 Kerja Keras Prilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguhdalam menyelesaikan tugas dan mengatasi berbagai hambatan.

7 Jujur Prilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

8 Disiplin Tindakan yang menunjukkan prilaku tertib dan patuh pada berbagai

59 Ibid. 70

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

71

ketentuan dan peraturan.

9 Inovatif Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan peroalan-persoalan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan.

10 Tanggung Jawab Sikap dan prilaku seseorang yang mau dan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya.

11 Kerja sama Prilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya mampu menjalin hubungan dengan orang lain dalam melaksanakan tindakan dan pekerjaan.

12 Pantang Menyerah (ulet)

Sikap dan prilaku seseorang yang tidak mudah menyerah untuk mencapi suatu tujuan dengan berbagai alternative.

13 Komitmen Kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.

14 Realistis Kemampuan menggunakan fakta/realita sebagai landasan berfikir yang rasionil dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/perbuatannya.

15 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui secara mendalam dan luas dari apa yang dipelajari, dilihat, dan didengar.

16 Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.

17 Motivasi Kuat untuk Sukses

Sikap dan tindakan selalu mencari solusi terbaik.

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

72

2. Konsep Islam tentang Entrepreneurship

Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait

konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship),60 namun di antara

keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat: memiliki roh atau jiwa yang

sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam

Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak

cengeng.61 Setidaknya terdapat beberapa ayat Al-Quran maupun Hadis

yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan

kemandirian ini, seperti:

ه الس د علي إن نبي الله داو ده و ن عمل ي أكل م ن أن ي ا م ر ا قط خيـ ام ا أكل أحد طع ان الم ك مده ن عمل ي أكل م )البخارى رواه (ي

Artinya: Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari pada hasil pekerjaan tangannya sendiri, karena sesungguhnya nabi Dawud as. makan makanan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri. (HR. Bukhari).62

Dengan bahasa yang simbolik ini nabi mendorong umatnya untuk

kerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan

sesuatu pada orang lain. Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras

agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat karena zakat

60 Kajian tentang konsep Islam mengenai entrepreneurship, lihat Omar Aidit Ghazali, Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics, (Pelanduk, Publications), 1989, Misbah Oreibi, Contribution of Islamic Thonght to Modern Economics : Proceedings of the Economics, Seminar Held Jointly by Al Azhar University and the International Institute of Islamic Thought, Cairo, 1988/1409, (Cairo : International Institute of Islamic Thought, 1997), 214. 61 Subur, Islam dan Mental Kewirausahaan, studi tentang Konsep dan Pendidikannya, dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Insania, Vol. 12, No. 3, Sep-Des (2007), 3-4. 62 Bukhari, Imam, Shohih Bukhari, Jilid 3, (bairut: 2007), 78

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

73

merupakan kewajiban bagi para muzakki< dan dengan zakat itu manusia

dapat memberikan manfaat bagi orang lain Sebagaimana firman Allah

dalam surat An-Nisa’ : 77

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"63

Dalam Al-Qur’an Surat At Taubah: 105, Allah berfirman:

Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. .64

Demikian juga dalam surat Al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman:

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.65

63 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Duta Surya, (Surabaya, 2012), 117 64 Ibid., 809 65 Ibid, 273

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

74

Dalam hadits yang lain Rasulallah saw juga bersabda:

م (رواه الطبرانى) سل اجب على كل م طلب الحالل و Artinya: Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardhu.66

جل فى بيته واهله وولده وخدمه فـهو له فق الر ا أنـ )رواه الطبرانى( صدقة مArtinya: Segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang dalam rumah tangganya, keluarganya, anaknya dan pembantunya baginya adalah shadaqah. (HR. Thabrani).67

Nash ini jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan

mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja

keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat

menghasilkan kesuksesan (rezki), tetapi harus melalui proses yang penuh

tantangan (resiko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko

akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rezki memiliki makna

bersayap, rezki sekaligus reziko (baca: resiko).68

Dalam sejarah nabi Muhammad, istri dan sebagian besar

sahabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara yang

piawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat.

Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental

entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukanlah

66 Thabrani, Sunan Thabrani, Jilid 2, (Bairut: Da<rul al kutub, 2009), 102 67 Ibid, 133 68 Dialog Interaktif Pagi RCTI, (5 Maret 2007)

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

75

Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia

setidaknya sampai abad ke 13 M, oleh para pedagang muslim.69

Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, nabi dan sebagian besar

sahabat telah merubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang

bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang

tinggi atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan.70

Oleh karena itu, nabi juga bersabda dalam saduran Toto Tasmaran,

bahwa “sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk

mendapatkan penghasilan.” 71 Umar Ibnu Khattab mengatakan hal senada

dengan menggunakan kalimat negatif, “Aku benci salah seorang di antara

kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.72

Dalam konteks Indonesia, keberadaan Islam di Indonesia juga

disebarkan oleh para pedagang. Di samping menyebarkan ilmu agama,

para pedagang ini juga mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada

masyarakat pesisir.73 Di wilayah pantura, misalnya sebagian besar

masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan

69 Lihat Taufik Abdullah (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI dan Yayasan Pustaka Umat, 2003), Cet. II hal. 5-15. 70 Lihat Karen Armstrong, Muhammad Prophet of our Time (London: Harper Collins Publisher, 2006), 23. 71 Lebih jelas mengenai etika kerja muslim, baca Sheila McDonough, Muslim ethics and modernity : a comparative study of the ethical thought of Sayyid Ahmad Khan and Mawlana Mawdudi (Wlfrid, Laurier Univ. Press) 1984. Toto Tasmara, Membudayakan etos Kerja Islami (Jakarta : Gema Insani, 2002), 109. 72 Syihab, Quraisy, Tafsir al Misbah, jilid 7, (Jakarta : Lentera hati, 2005), 365 73 Van Leur, Indonesia, Trade and Society (The Hague/Bandung W. van Hoeve), 1955.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

76

berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu

sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang).74

Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga

sebagai pengusaha tangguh, seperti Abdul Gani Aziz, Djohan Soetan,

Johan Soelaiman, H. Samanhudi, H. Abdul Halim, H.Syamsuddin,

Rahman Tamin, dan seterusnya.75

Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata

bahwa etos bisnis yang dimiliki umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan

kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang.

Benarlah apa yang disabdakan oleh nabi, “Hendaklah kamu berdagang

karena di dalamnya terapat 90 persen pintu rizki.76

3. Nilai dan Sistem Nilai

a. Pengertian dan Nilai Dasar

Nilai merupakan keyakinan dasar bahwa suatu modus (cara)

perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas lebih dapat

disukai secara pribadi atau sosial dari pada suatu modus prilaku atau

keadaan akhir eksistensi yang berlawanan atau kebalikannya.77 Nilai

juga dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran atau konsep mengenai

74Subur, Islam dan Mental Kewirausahaan, studi tentang Konsep dan Pendidikannya, dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, (Jakarta: Insania, Vol. 12 No. 3 Sep-Des 2007), 3-4. 75Secara lengkap melihat perkembangan kelas menengah muslim dalam mobilisasi vertikal baik secara ekonomi maupun politik, lihat Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung, Mizan, 1999), Cet. 4, 23. 76 HR. Ahmad 77 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, (New Jersey, Printice Hall Inc. 1996), 42

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

77

apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya, bisa

juga diartikan sebagai kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia

dalam tindakannya, manusia menyeleksi aktivitasnya berdasarkan

nilai yang dipercayainya. Dalam kacamata psikologi, nilai diartikan

sejumlah energi psikis yang tertanam dalam salah satu unsur

kepribadian.78

Berdasarkan beberapa pengertian itu tampak nilai merupakan

sesuatu yang diyakini paling benar dan memberikan manfaat bagi diri

individu maupun kelompok dan akan dijadikan landasan dalam

kehidupan keseharian baik sebagai seorang individu maupun angota

kelompok. Sebuah nilai dapat beupa sebuah keyakinan relegius,

kebebasan, kesenangan, ketekunan (etos), kejujuran, kesederhanaan,

keterikatan dan sebagainya. Nilai juga mencakup komponen-

komponen memilih, menghargai dan bertindak. Manusia memahami

suatu nilai ketika ia memulai mewujudkan nilai itu dalam

perbuatannya, dengan demikian nilai-nilai akan makin dipahami

bersamaan dengan ia melaksanakannya.

Produk pendidikan haruslah melahirkan lulusan dengan

kepribadian yang matang, baik pada sisi intelektual (akademis),

spiritual, emosional maupun keterampilan tertentu, dan kemampuan

inilah yang akan memberikan efek berantai pada kemampuan

78 Ekosusilo.M, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di SMA Negeri I, SMA Regina Pacis dan SMA Al-Islam I Surakarta, (Sukoharjo, Univet Bantara Press, 2003), 77

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

78

seseorang untuk belajar secara terus menerus melalui berbagai

tantangan di lingkungannya sehingga mereka dapat menolong dirinya

sendiri termasuk memberikan manfaat bagi yang lain. Komponen

esensial dari suatu kepribadian manusia menurut Mulyana adalah nilai

(value) dan kebajikan (virtues).79

Berkaitan dengan pembangunan pendidikan yang efektif,

UNESCO telah mengingatkan pentingnya martabat manusia (human

dignity) sebagai nilai tertinggi, penghargaan terhadap martabat

manusia dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan dapat

mendorong manusia untuk memilih nilai-nilai dasar yang berkisar di

sekelilingnya, nilai ini menurut UNESCO meliputi nilai kesehatan,

nilai kebenaran, nilai kasih sayang, nilai tanggung jawab sosial, nilai

solidaritas global, nilai nasionalisme dan nilai efisiensi ekonomi.80

Nilai-nilai tersebut akan dapat membawa martabat manusia menjadi

mahluk yang bermartabat.

Nilai kesehatan; nilai dasar ini berimplikasi pada kebersihan

dan kebugaran fisik. Pada dasarnya, hakekat fisik manusia diciptakan

Tuhan dengan struktur yang paling sempurna. Hakekat fisik itu

merupakan pemahaman keindahan bentuk dan ukuran alam, serta

benda-benda hasil ciptaan manusia. Karena manusia dikaruniai rasa

79 Mulyana, R, Pengartikulasi Pendidikan Nilai, (Bandung, Alfabeta, 2004), 54 80 UNESCO,1991, Value and Ethics the Science and Technology Curriculum, (Bangkok, Pincipal Regional Office Asia and the Pasific. 1991). 96

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

79

keindahan (sense of aesthetic), maka ia harus mengembangkan

apresiasinya terhadap seni dan keindahan. Untuk itu, pendidikan harus

mampu menumbuhkan rasa keindahan peserta didik melalui

keserasian segala materi yang ada dalam lingkungan pendidikan.

Nilai Kebenaran; kebenaran berimplikasi pada upaya

memperoleh pengetahuan secra terus menerus dalam segala hal.

Peserta didik tidak cukup menemukan kebenaran hanya sampai pada

penemuan data dan mengetahui fakta. Mereka harus mengembangkan

berfikir kritis dan kreatif agar mampu menghadapi tantangan dunia

modern di masa mendatang.

Nilai Kasih Sayang; hakekat moral manusia berada pada

tempat yang paling utama yanitu dalam nilai kasih sayang. Nilai

tersebut berimplikasi pada kebutuhan untuk memperoleh integritas

pribadi, harga diri, kepercayaan diri, kejujuran dan disiplin diri pada

peserta didik. Kemampuan mereka dalam mengintegrasikan nilai

kasih sayang akan tampak dari kematangan pribadi dan perasaan

mereka dalam menjalin hubungan interpersonal yang saling

memahami.

Nilai Spiritual; keberadaan peserta didik dipengaruhi oleh

dimensi-dimensi transedental yang tingkat pemaknaannya tergantung

pada pengalaman dan kesadaran diri masing-masing. Pada seseorang

tertentu, mereka mampu menjangkau kesadaran suprarasional.

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

80

Perwujudan dimensi spiritual ini adalah keimanan, sedangkan

semangat keimanan itu disebut spiritualitas.

Nilai Tanggung Jawab Sosial; dalam kehidupannya, peserta

didik tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan sosial. Ia melakukan

interaksi secara individual maupun kelompok. Interaksi yang

dilakukan ditandai oleh adanya kepedulian terhadap orang lain,

kebaikan antar sesama, kasih saayang, kebebasan, persamaan dan

penghargaan atas hak asasi sesamanya. Karena itu, penanaman rasa

keadilan dan kedamaian merupakan hal penting dalam menumbuhkan

aspirasi peseta didik terhadap kehidupan sosial.

Nilai nasionalisme; nilai dasar ini berarti cinta kepada negara

dan bangsa. Rasa mencintai negara dan bangsa diwujudkan oleh setiap

warga negara dari setiap unsur politik yang berbeda untuk mencapai

suatu tujuan, yaitu membangun harga diri dan citra bangsa. Nilai

nasionalisme ini membentuk suatu komitmen kolektif untuk

melakukan suatu upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi bangsa. Pada

gilirannya, komitmen kolektif berimpliksi pada perlunya pendidikan

untuk menanamkan kesadaran bernegara (civic consciousnees),

sehingga tumbuh kepedulian peserta didik atas hak dan kewajibannya.

Nilai solidaritas gelobal; adalah nilai yang dapat dimiliki

apabila pendidik dan peserta didik memiliki pemahaman yang cukup

tentang dunia internasional. Dengan nilai dasar ini, generasi yang

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

81

memiliki wawasan luas tentang kehidupan gelobal dapat disiapkan

melalui pendidikan. Nialai dasar solidaritas global ini penting

mengingat tatanan kehidupan tidak lagi ditentukan oleh keadaan suatu

bangsa. Kehidupan dewasa ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor

kepentingan lintas negara dan kesadaran antar negara. Dengan

demikian, generasi di masa mendatang diharapkan mampu melakukan

kerjasama untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan.

Nilai Efesiensi Ekonomi; adalah nilai dasar yang berkaitan

dengan upaya menumbuhkan kepribadian peserta didik untuk mau

bekerja keras serta mampu memanfaatkan sumber daya alam secara

kreatif dan imajinatif. Nilai dasar ini menekankan bahwa tujuan

pendidikan harus diarahkan agar peserta didik mampu berkreasi

menghasilkan barang yang berharga dan bermanfaat bagi

kehidupannya. Karena itu, elemen pendidikan dalam menanamkan

nilai dasar efesiensi ekonomi adalah upaya menciptakan semangat

untuk berusaha.

Nilai memiliki makna penting dalam memahami sikap dan

motivasi termasuk karena perannya dalam mempengaruhi sikap

individu. Apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana

proses-proses pencapaian tujuan hidupnya itu dipengaruhi pula oleh

nilai-nilai yang diyakini. Karenanya menurut Robbin nilai akan

mempengaruhi sikap dan prilaku seseorang. Suatu nilai akan menjadi

Page 43: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

82

pegangan seseorang, suatu norma prinsip hidup seseorang, nilai yang

dipilih bebas akan diinternalisasikan, dipelihara dan menjadi pegangan

hidup seseorang. Nilai akan membantu dalam perkembangan pribadi,

kalau seseorang memenuhi semua persyaratan terpenuhinya suatu

nilai, tentunya nilai itu juga akan dengan sendirinya membantu

perkembangan pribadinya, merupakan pengikat kepribadiannya.81

Manusia menurut Max Sceler dalam Hadiwardoyo memahami

nilai dengan hatinya, bukan dengan akal budinya. Manusia

berhubungan dengan dunia nilai melalui keterbukaan dan kepekaan

hatinya, karenanya memahami nilai bukan dengan berfikir tentang

nilai tetapi melalui pengalaman dan mewujudkannya sendiri,

karenanya kemampuan seseorang memahami nilai-nilai konstruktif

akan memperkuat seseorang sebagai anggota ataupun komonitas

masyarakat itu sendiri. Apabila seseorang menempatkan nilai tinggi

pada suatu ide atau perasaan tertentu, maka ide atau perasaan itu

memainkan peranan penting dalam mencetuskan dan mengarahkan

tingkah lakunya.82

b. Tipe dan Cara Memahami Nilai

Robbins melalukan pengelompokan nilai berdasar pada tiga

pendekatan berdasarkan pemikiran Allport dan rekan-rekan. Nilai

81 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, New Jersey, (Printice Hall Inc. 1996), 54 82 Hadiwardoyo.P, Ambroise, Pendidikan Nilai, Nilai Kemanusiaan, Hikmat Bagi Pendidikan, Kaswardi,Eds, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta, PT.Grasindo, 1993), 78

Page 44: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

83

dapat diidentifikasikan kedalam enam tipe nilai yaitu: (1) teoritis:

menganggap sangat penting penemuan kebenaran lewat suatu

pendekatan kritis dan rasional, (2) ekonomis: menekankan kegunaan

dan praktis, (3) estetis: menaruh nilai tertinggi pada bentuk dan

keserasian (harmoni), (4) sosial: memberikan nilai tertinggi pada

kecintaan akan orang-orang, (5) politik: menaruh tekanan pada

diperolehnya kekuasaan dan pengaruh dan (6) relegius: peduli akan

kesatuan pengalaman dan pemahaman mengenai kosmos sebagai

keseluruhan.83

Max Scheler dalam Hadiwardoyo mengungkapkan bahwa

nilai-nilai yang ada tidak sama luhur dan sama tingginya, tetapi antar

nilai memiliki tingkatan yang berbeda, tingkatan dimaksud meliputi:

(1) nilai terkait dengan kenikmatan, dalam tingkat ini, terdapatlah

deretan nilai-nilai yang mengenakan dan tidak mengenakan yang

menyebabkan seseorang menjadi senang atau sebaliknya, (2) nilai-

nilai terkait dengan kehidupan, dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai

yang penting bagi kehidupan seperti kesehatan, kesegaran badan,

kesejahteraan umum, (3) nilai-nilai terkait dengan kejiwaan, dalam

tingkat ini terdapat nilai-nilai tidak terkait dengan fisik maupun

lingkungan, seperti keindahan, kebenaran, kebanggaan dan (4) nilai-

83 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, New Jersey, (Printice Hall Inc. 1996), 57

Page 45: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

84

nilai terkait dengan kerokhanian, dalam tingkatan ini terkait dengan

nilai-nilai yang menyangkut keyakinan kepada Tuhan.84

Dengan memperhatikan berbagai tipe dan tingkatan nilai itu,

tampak bahwa seorang individu akan memiliki abstraksi-abstraksi

yang berbeda yang melekat pada dirinya yang hal itu menjadi daya

dorong utama dalam aktivitas pikir dan fisiknya yang pada gilirannya

juga sebagai alat penentu prestasi yang diraihnya termasuk cara

menikmati prestasi itu sendiri. Memang tidak ada satu cara terbaik

untuk memahami nilai yang diyakini seseorang, akan tetapi dengan

melakukan pengamatan dari dekat selama periode waktu tertentu

untuk melihat apa yang dikerjakannya dapat memberikan suatu

gambaran yang cukup baik tentang nilai-nilai relatifnya.

Milton Rokeach dalam Robbin menciptakan RVS (Rokeceach

Value Survey) model ini terdiri atas dua perangkat nilai, tiap perangkat

berisi 18 butir nilai individu, satu perangkat disebut nilai terminal

yang merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat diinginkan, hal

ini yang menggambarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai seorang

selama hidupnya. Perangkat kedua disebut dengan nilai instrumental,

yang merujuk ke modus prilaku yang lebih disukai, atau cara

mencapai nilai-nilai terminal, tabel berikut sebagai ilustrasi dimana

perbedaan antara perangkat nilai sebagai keadaan akhir yang

84 Hadiwardoyo.P, Ambroise, Pendidikan Nilai, Nilai Kemanusiaan, Hikmat Bagi Pendidikan, Kaswardi,Eds, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta, PT.Grasindo, 1993), 52

Page 46: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

85

diinginkan (nilai terminal) dengan perangkat nilai yang merujuk

kepada perilaku yang lebih disukai (nilai instrumental).85

Tabel: 2.2

Nilai Terminal dan Instrumental dalam Survey Nilai Rokeach (dalam Robbins, 2000)

NO NILAI TERMINAL NILAI INSTRUMENTAL 1 Suatu hidup nyaman

(hidup makmur) Ambisius (kerja keras, bercita-cita tinggi)

2 Suatu hidup menggairahkan (hidup aktif, merangsang)

Berpikiran luas (berpikir terbuka)

3 Rasa berprestasi (kontribusi tahan lama)

Kapabel (mampu efektif)

4 Satu dunia damai (bebas dari perang dan konflik)

Riang (senang, gembira)

5 Satu dunia yang indah (keindahan alam dan seni)

Bersih (rapi teratur)

6 Kesamaan (Persaudaraan, kesempatan yang sama untuk semua)

Berani ( tegak mempertahankan keyakinan)

7 Keamanan keluarga (merawat orang-orang yang dicintai)

Memaafkan (bersedia mengampuni orang lain)

8 Kemerdekaan (ketak bergantungan pilihan bebas)

Membantu (bekerja untuk kesejahteraan orang-orang lain)

9 Kebahagiaan (kepuasan)

Jujur (tulus tidak bohong)

10 Harmoni batin (kebebasan dari konflik batin)

Imaginatif (berani, kreatif)

11 Cinta dewasa (kekariban seksual dan

Bebas (berdikari, mencukupi diri)

85 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, New Jersey, (Printice Hall Inc. 1996), 61

Page 47: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

86

spiritual) 12 Keamanan nasional

(perlindungan) Intelektual (cerdas terhadap serangan reflektif, penuh renungan)

13 Kesenangan (hidup santai dan dapat dinikmati)

Logis (konsisten, rasional)

14 Keselamat (hidup abadi dan terselamatkan)

Mencintai (penuh kasih sayang, lembut)

c. Letak dan Pembentukan Nilai

Nilai berada dalam benak orang (people’s mind), keyakinan

(beliefs), kehendak (desires) perasaan atau pengindraan (sensations)

dan pemikiran (thoughts) berada dalam struktur kerja benak (mind).

nilai merupakan tujuan terpisah yang terjadi secara luar biasa dan di

sekelilingnya terdapat pola-pola tingkah laku yang diorganisasi, dan

memberikan gambaran hubungan tertentu antara drive, motif, sikap

dan nilai.86

Pandangan lain yang lebih sederhana dan pragmatis

sebagaimana dikemukakan oleh UNESCO. Nilai dipersepsikan

sebagai kualitas tingkah laku, pemikiran, perasaan dan sikap manusia

yang diterima dan dihargai masyarakat. Nilai tertanam dalam kondisi

sosial, ekonomi, politik dan keagamaan dalam kehidupan dalam

bentuk yang riil berupa pola-pola bertindak, kode etik dan norma yang

dipertahankan dalam waktu yang relatif lama.

86 Mulyana, R, Pengartikulasi Pendidikan Nilai, (Bandung, Alfabeta, 2004), 57

Page 48: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

87

UNESCO juga memandang bahwa nilai bukan merupakan

realitas tertutup dan berada sendirian. Nilai terikat bersama-sama

dalam ikatan logis dan membentuk satu kesatuan. Bila terdapat nilai

sistem seperti itu, maka tedapat pula nilai utama yang menjadi acuan

dari nilai-nilai lain. Karena itu menurut UNESCO adalah bermanfaat

untuk menemukan nilai domain, manakala kita terlibat dalam proses

perubahan sosial atau perubahan nilai-nilai. Kita dapat melakukan

perubahan besar pada sejumlah nilai dengan mengubah nilai domain.87

Fraenkel dalam Ekososilo mengatakan bahwa nilai sebagai

sebuah pikiran atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi

seseorang dalam kehidupannya. Nilai juga sebagai kepercayaan yang

dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya, maka sebenarnya

sebuah nilai bisa jadi dapat berupa suatu keyakinan relegius,

kebebasan, kesenangan, ketekunan (etos), kejujuran, kesederhanaan,

keterikatan dan sebagainya. Dengan pemahaman nilai yang demikian

maka proses penyadaran nilai (pembentukan nilai) merupakan

aktivitas yang komplek karena berlangsung secara integral dalam

keseluruhan kegiatan pembelajaran seseorang. Dengan kata lain

pembentukan nilai dapat terjadi mulai dari pembelajaran di keluarga,

di lingkungan pergaulan maupun di lingkungan pembelajaran sekolah

87 UNESCO,1991, Value and Ethics the Science and Technology Curriculum, Bangkok, Pincipal Regional Office Asia and the Pasific. 1991

Page 49: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

88

termasuk di dalamnya berbagai kegiatan ekstra dan intra sekolah

termasuk budaya sekolah yang berkembang.88

Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan ranah dalam

sasaran pendidikan, maka masalah pendidikan yang berkait dengan

nilai, adalah termasuk dalam kelompok ranah afektif (affective), lebih

lanjut sebagaimana diungkapkan Benyamin Bloom ranah pendidikan

dimaksud dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ranah kognitif

(cognitive domain) yakni tujuan khusus yang berkaitan dengan proses

intelektual dalam diri siswa, (2) ranah afektif (affective domain) yakni

tujuan khusus yang berkaitan dengan pembentukan sikap, emosi dan

nilai-nilai dan (3) ranah psikomomor (psychomotor domain) yakni

tujuan khusus terkait dengan proses manipulatif dan mekanik atau

keterampilan.89

4. Proses dan Strategi Internalisasi Nilai-nilai Kewirausahaan dalam

Pesantren

a. Pembelajaran yang Menumbuhkan Kompetensi dan Spirit

Kewirausahaan

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan ‘pintu gerbang’

dalam membentuk dan menumbuhkan pribadi ulet, tanggung jawab,

88 Ekosusilo.M, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di SMA Negeri I, SMA Regina Pacis dan SMA Al-Islam I Surakarta, (Sukoharjo, Univet Bantara Press, 2003), 96 89 Bloom,B S, Human Characteristic an School Learning, ( New York:Megraw-Hill, 1976), 34

Page 50: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

89

dan berkualitas yang bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.90

Untuk tujuan tersebut diperlukan suatu pendidikan yang mengarahkan

peserta didik untuk sadar akan pentingnya kewirausahaan.91 Oleh

karena itu mencermati dinamika kehidupan yang kian kompetitif,

praktisi pendidikan dituntut untuk cerdas dalam menciptakan ruang

yang kondusif bagi tumbuhnya spirit kewirausahaan.92 Sementara itu,

memperkuat mental dan mempertajam minat serta kemampuan

kewirausahaan perlu dilakukan melalui proses pembelajaran. Oleh

karena terkait dengan pembangunan mental, maka perlu adanya

revolusi cara belajar yang mengutamakan belajar siswa secara aktif dan

praktis.93 Artinya, bahwa dalam proses pembelajaran yang memiliki

peran aktif adalah siswa, atau dalam preferensi yang sedang ramai

diwacanakan adalah pembelajaran individual, individual learning.

Terkait dengan proses pembelajaran mental entrepreneurship,

sebenarnya tidak ada kunci yang bersifat deterministic bagi aktivitas

pendidik dalam mendesain proses pembelajaran ini.

Suatu hal penting dalam pendidikan seperti ini, dalam setiap

proses pembelajaran hendaknya lebih banyak menekankan dan

90 Harian Wawasan, 10 Juni 2007,. Lebih jelas mengenai orientasi kerja dalam pendidikan, lihat Wim Hoppers, Searching for Relevance : the Development of Work Orientation in Basic Education, (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization), ( Jakarta: 1996 (terj). 11 91 Untuk lebih jelas mengenai pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship education), lihat misalnya karya Calvin Adalah Kent. Entrepreneurship Education, Current Development Future Directions, (Greenwood Publishing, Group), 1999. Lihat juga Robert H Brockhaus Entrepreneurship Education; Adalah Global View, (Ashgate, 2001), 47. 92 Subur, Islam dan Mental Kewirausahaan dalam Jurnal INSANIA. Vol 12 No, 3, Sep-Des 2007. 93 Steve Mariotti, The Young Entrepreneur’s Guide to Starting and Running a Business, (Times Business, 2000. Second Edition), 49.

Page 51: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

90

membiasakan kepada proses belajar yang dapat menumbuhkan ide,

kreativitas berpikir, kemandirian (menekankan model latihan, tugas

mandiri dengan bobot tanggung jawab yang lebih besar) kepercayaan

diri, pemecahan masalah, mengambil keputusan, menemukan peluang,

dan seterusnya. Model pembelajaran dengan pendekatan active

learning94 yang diterapkan oleh beberapa lembaga pendidikan di

Indonesia belakangan ini sebenarnya mengadopsi dari strategi

pembelajaran alternatif yang sering digunakan pada lembaga-lembaga

pendidikan profesi yang menyelenggarakan program kewirausahaan di

Amerika. Tentu saja penggunaan pendekatan active learning yang telah

berjalan itu harus terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan lagi, baik

dari segi kualitas, kuantitas, maupun intensitasnya.

Secara jujur, adopsi terhadap berbagai strategi pembelajaran aktif

dari luar yang mampu menumbuhkan jiwa mandiri harus terus

diupayakan, meskipun model active learning ini banyak menghadapi

hambatan jika diterapkan pada pendidikan dengan model sistem

klasikal seperti yang ada di Indonesia. Dalam situasi seperti ini

diperlukan pendekatan yang memungkinkan suasana pendidikan bisa

diarahkan sesuai tujuan pembelajaran. Misalnya Wim Hoppers

menawarkan pendekatan pendidikan kerja dan pendekatan pendidikan

94 Tentang active learning, lihat Joel A. Michael. Active learning in secondary and college science classrooms: a working for helping the learner to learn, (Lawrence Erlbaum Associates), 2003. David W. Johnson, et. Al, Active Learning : Cooperation in the College Classroom, (Interaction Book Co), (1991).

Page 52: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

91

praktis, yang menekankan teori teraplikasi dalam situasi kerja yang

menstimulir. Pendekatan ini juga dapat meningkatkan relevansi dengan

memberikan kecenderungan praktis yang jelas pada kurikulum.95

Pendidikan kewirausahaan juga suatu proses yang menanamkan

sikap dan perilaku jujur sebagai hal yang penting dalam konteks

membangun mental wirausaha. Sikap jujur akan mengundang banyak

simpati, senang, dan relasi, serta membuat orang lain dengan senang

hati untuk menaruh dan memberikan kepercayaan. Kejujuran akan

menjadi modal utama dan kunci sukses dalam kegiatan wiraswasta,

mengingat orang bekerja itu dengan hati dan jiwa.96

Selain itu pendidikan kewirausahaan juga menekankan

pembinaan mental entrepreneurship. Toto Tasmara menyatakan bahwa

jiwa (mental) kewirausahaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Commitment (niat yang sangat kuat dan bulat), Confident (rasa percaya

yang total pada kemampuan yang ada pada dirinya), Cooperative

(terbuka untuk bekerjasama dengan siapapun), Care (perhatian terhadap

hal yang sangat kecil sekalipun), Creative (tidak pernah merasa puas

dengan apa yang telah dicapai dan selalu berusaha keras untuk terus

berkembang, seperti diasumsikan oleh Ralph Stacey, kreativitas

cenderung meningkat jika situasi semakin parah/terdesak), Challenge

95 Wim Hoppers, Searching for Relevance : the Development of Work Orientation in Basic-Educatuin, (United nation Educational, Scientific and Cultural Organization, 1996 (terj)), 28-29 96 Rafik Issa Beekun. Leadership : An Islamic Perspective, (Amana Publication, 1999), 17.

Page 53: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

92

(melihat kesulitan sebagai tantangan dan pelajaran untuk lebih maju),

Calculaty (dalam melangkah selalu didasarkan pada perhitungan yang

matang), Communication (pandai berkomunikasi dan mempengaruhi

orang lain), Competitiveness (senang berhadapan dengan pesaing yang

lain) dan Change (selalu mendambakan adanya perubahan yang lebih

baik dan maju). Oleh karena itu, jiwa/mental tersebut sebenarnya dapat

dikembangkan secara fungsional maupun intensional dalam setiap

kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pembelajaran di setiap

lembaga pendidikan manapun.97

Dalam pendidikan model ini dikembangkan juga sikap

membangun relasi (ta’a<ruf). Dianjurkan membina hubungan yang

penuh friendship, persahabatan dan kesejajaran, menggunakan kata

yang cukup mengundang simpati, seperti ungkapan terima kasih dan

ungkapan selalu kata maaf dan tolong, ketika berjabat tangan gunakan

dua tangan dan ketika mulai pekerjaan buatlah perencanaan. Kebiasaan

tersebut akan memiliki efek psikis yang sangat positif bagi orang yang

akan menekuni kegiatan wirausaha.98

Fenomena yang berkembang di sebagian pondok pesantren di

tanah air sebenarnya telah memberikan warna tersendiri dalam konteks

pengembangan kewirausahaan ini. Mungkin masih banyak pesantren

97Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), 67. 98Armando Salvatore, Muslim Traditions and Modern Techniques of Power, (LIT Verlag Berlin-Hamburg: Munster, 2001), 32.

Page 54: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

93

tidak memiliki program kewirausahaan, tetapi dalam praktiknya banyak

pondok pesantren yang secara spontanitas mengembangkan kegiatan

kewirausahaan. Pada waktu sore dan malam hari para santri mengaji,

tetapi di waktu siang mereka menggunakan kesempatan yang baik

untuk melakukan berbagai kegiatan pengembangan keterampilan

(bengkel, bata, home industri, dll).99 Kegiatan ini terjadi di pesantren

yang berada baik di pelosok maupun daerah perkotaan. Mereka belajar

sambil bekerja, learning by doing, dengan suatu harapan kelak menjadi

bidang keahliannya selesai dari pondok. Pengembangan mental

kemandirian di sini sangat ditekankan. Oleh karena itu, Pondok

pesantren tidak membekali santrinya dengan formalitas ijasah setelah

mereka keluar dari pondok. Model pengembangan keterampilan seperti

ini sebenarnya telah banyak ditiru oleh lembaga pendidikan formal,

meskipun dengan modifikasi baru yang disebut dengan istilah life

school skill life.100

Secara umum, selain pengelola pesantren, para praktisi

pendidikan juga perlu sharing dan memberi support atas komitmen

pendidikan mental entrepreneurship ini kepada lembaga-lembaga

terkait dengan pelayanan bidang usaha yang muncul di masyarakat agar

benar-benar berfungsi dan benar-benar menyiapkan kebijakan untuk

99Haedari, Amin, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), Cet.I h. 211. 100 Mengenai life skill education selengkapnya lihat Laura Gadberry, Motivating Life Skill Modules for Individuals with Spinal Cord Injury, (American Occupational Therapy Association, 1996), 32.

Page 55: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

94

mempermudah dan melayani masyarakat. Praktisi pendidikan penting

juga menjalin hubungan erat dengan dunia usaha agar benar-benar

terjadi proses learning by doing. 101Dalam konteks pesantren, yang

sudah melakukan pelayanan bidang usaha dengan menjalin hubungan

business dengan pihak lain misalnya dilakukan oleh pesantren al-Ittifaq

Bandung. Pesantren menjalin mitra bisnis mereka dengan pasar

swalayan dalam memasarkan produk pertanahannya. Selain itu sebagai

pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat sekitar, pondok

melakukan pembinaan dan memberikan kesempatan partisipasi dalam

berbagai usaha pertanian yang dikembangkan pondok pesantren

tersebut.102

Dalam konteks kehidupan manusia yang sedang berikhtiar

menuju sukses, tidak dilupakan pula faktor yang bersifat non-teknis,

yang dimaksudkan adalah meningkatkan intensitas dan kualitas

spiritual.103 Dorongan untuk melakukan upaya yang bersifat spiritual ini

tercermin dalam firman Allah. “Barang siapa yang bertakwa dan

bertawakkal kepada Allah, maka akan diberi jalan keluar, kemudahan,

dan diberi rizki dengan jalan yang tiada disangka-sangka”104 sementara

dalam ayat yang lain juga dijelaskan, “Barang siapa yang bertakwa 101 Harian Wawasan, (10 Juni 2007), 11. 102 Achmad Syahid, H.M. Annas Mahduri, Pesantren dan pengembangan ekonomi umat: Pesantren Al-Ittifaq dalam perbandingan. (Jakarta : Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama dengan Indonesian Institute for Civil Society, 2002), 2. 103 Kajian mengenai intensitas dan kualitas spiritual yang mendorong spirit untuk sukses misalnya R.C. Douglas, Spiritual Evolution or Regeneration, (Kessinger Publishing), 1998. Tobin Hart, The Secret spiritual world of children, (New World Library, 2003), 34. 104 QS Attaalaq:4

Page 56: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

95

pada Allah, niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam

segala urusan.”105

Dengan kualitas takwa dan tawakkal yang ada pada dirinya,

manusia tidak gampang stress. Demikian juga dalam sebuah Hadist,

Nabi bersabda, “Lau tatawakkalun ‘alalla<h h}aqqat tawakkul

larazaqakumulla<hu kama< ruziqa attairu yaru<hu himashanwa ya’u<du

bithanan” (Jika kalian bertawakal pada Allah dengan sungguh-sungguh,

niscaya Allah akan memberi kalian rizki sebagaimana Allah memberi

rizki pada burung, dimana pagi-pagi burung pergi perut dalam keadaan

kosong dan pulang dalam keadaan kenyang).106

Strategi dalam rangka menanamkan nilai-nilai dan semangat

pendidikan kewirausahaan ini bisa melalui berbagai cara, Meredith

mengemukakan penjelasan nilai hakiki penting dari wirausaha ini

dengan menekankan salah satunya percaya diri (self confidence).107

Menurutnya sikap tersebut merupakan paduan sikap dan keyakinan

seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan, yang bersifat

internal, sangat relatif dan dinamis dan banyak ditentukan oleh

kemampuannya untuk memulai, melaksanakan dan menyelesaikan

suatu pekerjaan.

105 HR. Imam Turmuzi 106 HR. Ahmad Turmudzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari Abu Hurairah 107 Geoffrey G. Meredith. Kewirausahaan : Teori dan Praktek, Jakarta : PPM, 2000 lihat juga Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung : Alfabeta, 2003), 11.

Page 57: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

96

Kepercayaan diri akan mempengaruhi gagasan, karsa, inisiatif,

kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja, kegairahan

berkarya. Kunci keberhasilan dalam bisnis adalah untuk memahami diri

sendiri. Oleh karena itu wirausaha yang sukses adalah wirausaha yang

mandiri dan percaya diri. Kemudian ia menjelaskan pentingnya

orientasi terhadap tugas dan hasil. Dalam pandangannya seseorang yang

selalu mengutamakan tugas dan hasil, adalah orang yang selalu

mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba,

ketekunan dan kerja keras. Dalam kewirausahaan peluang hanya

diperoleh apabila ada inisiatif. Perilaku inisiatif biasanya diperoleh

melalui pelatihan dan pengalaman bertahun-tahun dan

pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis,

tanggap, bergairah dan semangat berprestasi.108

Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah keberanian

mengambil risiko. Wirausaha adalah orang yang lebih menyukai usaha-

usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau

kegagalan dari pada usaha yang kurang menantang. Wirausaha

menghindari situasi risiko yang rendah karena tidak ada tantangan dan

menjauhi situasi risiko yang tinggi karena ingin berhasil.109 Pada situasi

108 Geoffrey G. Meredith, Kewirausahaan : Teori dan Praktek, (Jakarta : PPM), 2000 lihat juga Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung : Alfabeta, 2003), 15. 109Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa), 1995. Lihat juga Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses., (Jakarta : Salemba Empat, 2003), 12.

Page 58: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

97

ini ada dua alternatif yang harus dipilih yaitu alternatif yang

mengandung risiko dan alternatif yang konservatif.

Pilihan terhadap risiko tergantung pada daya tarik setiap

alternatif, kesediaan untuk rugi. Kemungkinan relatif untuk sukses atau

gagal. Selanjutnya kemampuan untuk mengambil risiko tergantung dari

keyakinan pada diri sendiri, kesediaan untuk menggunakan kemampuan

dalam mencari peluang dan kemungkinan untuk memperoleh

keuntungan, kemampuan untuk menilai situasi risiko secara realitis.110

Faktor significant yang tak bisa diabaikan adalah jiwa

kepemimpinan.111 Seorang wirausaha harus memiliki sifat

kepemimpinan, kepeloporan, keteladanan. Ia selalu menampilkan

produk dan jasa-jasa baru dan berbeda sehingga ia menjadi pelopor baik

dalam proses produksi maupun pemasaran. Dan selalu memanfaatkan

perbedaan sebagai suatu yang menambah nilai.

Seorang entrepreneur dituntut pula untuk selalu berorientasi ke

masa depan. Wirausaha harus memiliki perspektif dan pandangan ke

masa depan, kuncinya adalah dengan kemampuan untuk menciptakan

110 Geoffrey G. Meredith, Kewirausahaan: Teori dan Praktek, (Jakarta: PPM, 2000), lihat juga Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung: Alfabeta, 2003), 7. 111 Joseph Murphy, Preparing School Leader Defining A Research and Action Agenda, (USA : Rowman & Littlefield Education, 2006), 20-21

Page 59: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

98

sesuatu yang baru dan berbeda dari yang ada sekarang. Selain itu perlu

juga menjaga keorisinilan kreativitas dan inovasi.112

Kewirausahaan adalah berpikir dan bertindak sesuatu yang baru

atau berpikir sesuatu yang lama dengan cara-cara baru. Menurut Everett

E.Hagen ciri-cirinya antara lain openness to experience (terbuka

terhadap pengalaman), creative imagination (memiliki kemampuan

untuk bekerja dengan penuh imajinasi), confidence and content in one’s

own evaluation (memiliki keyakinan atas penilaian dirinya dan teguh

pendirian), satisfaction in facing and attacking problems and in

resolving confusion or inconsistency (selalu memiliki kepuasan dalam

menghadapi dan memecahkan persoalan), has duty or responsibility to

achieve (memiliki tugas dan rasa tanggung jawab untuk berprestasi),

intelligence and energetic (memiliki kecerdasan dan energik).113

Menurut Suryana wirausaha yang sukses pada umumnya adalah

mereka yang memiliki kompetensi yaitu: seseorang yang memiliki ilmu

pengetahuan, keterampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap,

motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan

pekerjaan/kegiatan.114

112 Marian Jones & Pavlos Dimitratos, Emerging Paradigms in International entrepreneurship, (Edward Elgar Publishing, 2004), 361. 113 Justin G. Longenecker, et al, Kewirausahaan : Manajemen Usaha Kecil, (Jakarta : Salemba Empat, 2000), 32. 114 Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses. (Jakarta : Salemba Empat, 2003), 34.

Page 60: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

99

b. Pembelajaran yang Dapat Membangun Etos Kerja Kewirausahaan

Salah satu sumber laba yang menimbulkan bencana nasional

akhir-akhir ini adalah karena tidak dimilikinya etos kerja yang

memadai bagi bangsa kita. Belajar dari negara lain, Jerman dan Jepang

yang luluh lantak di PD II. Tetapi kini, lima puluh tahun kemudian,

mereka menjadi bangsa termaju di Eropa dan Asia. Mengapa? Karena

etos kerja mereka tidak ikut hancur. Yang hancur hanya gedung-

gedung, jalan dan infrastruktur fisik.115

Max Weber116 menyatakan intisari etos kerja orang Jerman

adalah: rasional, disiplin tinggi, kerja keras, berorientasi pada

kesuksesan material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar

kesenangan, menabung dan investasi. Di timur, orang Jepang

menghayati “bushido” (etos para samurai) perpaduan Shintoisme dan

Zen Budhism. Inilah yang disebut oleh Jansen H. Sunamo sebagai

“karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang”. Ada 7 prinsip dalam

bushido, ialah (1) Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar

berdasarkan kebenaran, jika harus mati demi keputusan itu, matilah

dengan gagah, terhormat, (2) Yu : berani, ksatria, (3) Jin : murah hati,

mencintai dan bersikap baik terhadap sesama, (4) Re : bersikap santun,

bertindak benar, (5) Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh-

115Joko Sutrisno, “Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Usia Dini”, makalah pengantar ke Falsafah Sains (S3) PPS Institut Pertanian Bogor, (Bogor: IPB, Desember 2003), 12. 116Pembahasan secara komprehensif mengenai etos dan etika kerja hasil penelitian Max Weber, lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (Courier Dover Publications, 2003), 4.

Page 61: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

100

sesungguh-sungguhnya, tanpa pamrih, (6) Melyo : menjaga

kehormatan martabat, kemuliaan, dan (7) Chugo : mengabdi, loyal,

jelas bahwa kemajuan Jepang karena mereka komit dalam penerapan

bushido, konsisten, inten dan berkualitas.117

Pandangan tentang kesuksesan etos kerja orang Jepang dengan

menghayati ‘bushido’ ini juga mendapat perhatian dari para ahli

sosiologi. Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade

belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara

etos kerja manusia (atau komunitas) dengan keberhasilannya: bahwa

keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap,

perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di

dalam komunitas atau konteks sosialnya. Melalui pengamatan terhadap

karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang

unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang

penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting

dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia.118

Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan

manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan

manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam

lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya

117 Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses. (Jakarta: Salemba Empat, 2003), 16. 118 Kusmayanto Kadiman, Etos Kerja….untuk Siapa?. Pidato Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, (Jakarta: 2002), 2.

Page 62: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

101

dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar,

tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas

penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun

kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.119

Indonesia mempunyai falsafah Pancasila, tetapi gagal menjadi

etos kerja bangsa kita karena masyarakat tidak komit, tidak inten, dan

tidak bersungguh-sungguh dalam menerapkan prinsip-prinsip

Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. “Ketuhanan Yang Maha Esa”

misalnya, sering ditampilkan sebagai “Keuangan yang maha kuasa”.

Kemanusiaan yang adil dan beradab”, “Persatuan Indonesia”

prakteknya menjadi “persatuan pejabat dan konglomerat” dsb. Inilah

bukti dari ramalan Ronggowarsito dan inilah zaman edan. Dampak

kondisi ini etos kerja yang berkembang adalah etos kerja asal-

asalan.120

Beberapa pernyataan berikut adalah gambaran ungkapan yang

sering muncul ke permukaan yang menggambarkan etos kerja asal-

asalan, atau istilah Sinamo sebagai “etos kerja edan”, ialah (a)

bekerjalah sesuai keinginan penguasa, (2) bekerja sebisanya saja, (3)

bekerja jangan sok suci, kerja adalah demi uang, (4) bekerja seadanya

saja ngak usah ngoyo, tak lari gunung dikejar, (5) bekerja harus pinter-

119 Kusmayanto Kadiman. Etos kerja….untuk siapa? 120 Joko Sutrisno, “Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Usia Dini”, makalah pengantar ke Falsafah Sains (S3) PPS Institut Pertanian Bogor, (Bandung: IPB, Desember 2003), 3.

Page 63: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

102

pinter, yang penting aman, (6) bekerja santai saja mengapa harus

ngotot, (7) bekerja asal-asalan saja, wajar-wajar saja, kan gajinya kecil,

(8) bekerja semau gue, kan di sini saya yang berkuasa. Ungkapan-

ungkapan seperti tersebut di atas menggambarkan tidak adanya etos

kerja yang pantas untuk dikembangkan apalagi menghadapi persaingan

global. Maka dari itu wajarlah jika bangsa ini harus menerima pil pahit

bencana nasional krisis yang berkepanjangan yang tak kunjung usai.

Untuk mencapai kualifikasi wirausaha unggul maka SDM perusahaan

harus memiliki etos kerja unggul.121

Suatu penelitian yang cukup komprehensif mengenai spirit of

work atau etos kerja misalnya Jack Hawley dalam karyanya

reawakeneing the spirit in work, menjelaskan penting menghayati

dimensi spiritual dalam menjaga spirit dan etos kerja yang sungguh-

sungguh.122 Dalam karyanya tersebut ia mengeksplorasi isu

manajemen dalam paradigma baru kepada metode berpikir hidup

menjadi seorang pemimpin atau manajer. Ia menekankan begitu

pentingnya dimensi spiritual dalam menjaga etos kerja. Menurutnya

kesadaran spiritual secara konstan akan membangkitkan semangat

kerja (spirit of work) dengan penuh energi.123 Senada dengan hal

121 Salim Siagian dan Asfahani. Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat 17.8.45, (Kloang Klede Jaya PT Putra Timur bekerjasama dengan Puslatkop dan PK Depkop dan PPK. Jakarta, 1995), 2. 122 Jack Hawley, Reawakening the Spirit in Work, (Berrett-Koehler Publisher, 1993), 1-2 123 Hack Hawley, Reawakening the Spirit in Work, (Berrett-Koehler Publishers, 1993), 19-32, Senada dengan pernyataan Jack Hawley, dapat disebut disini misalnya Jay Alden Conger, Spirit at work Discovering the Spirituality in Leadership (Jossey-Bass, 1994), 12.

Page 64: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

103

tersebut, misalnya Ted Andrews menyatakan spirit of work

dipengaruhi juga oleh interaksi-dialogs yang harmoni antara manusia

dan alam. Keseimbangan yang terjaga tersebut akan menimbulkan

semangat dan etos kerja yang selaras dan tidak mudah terdistorsi

dengan berbagai pengaruh yang ia sebut dengan distorsi akibat

modernisasi (moderns distortion).124

Dalam rangka menumbuhkan etos kerja unggul, misalnya

Jansen H. Sinamo mengembangkan 8 etos kerja unggul, yang ia

rincikan menjadi kerja itu suci, kerja itu sehat, kerja itu rahmat, kerja

itu amanah, kerja itu seni, kerja itu ibadah, kerja itu mulia, dan kerja

itu kehormatan.125

Dalam konteks dunia pendidikan, etos kerja dapat ditumbuhkan

melalui pengelolaan manajemen pendidikan yang efektif, sehingga

mampu menggerakkan dan memberi motivasi positif kepada peserta

didik dalam menumbuhkan semangat dan etos kerja yang lebih serius

dalam aplikasi-aplikasi praktis yang disediakan oleh lembaga

pendidikan sebagai wahana pelatihan bagi para peserta didik

tersebut.126

124 Ted Andrews. How to Meet and Work with Spirit guides (Liewellyn Worldwide, 1992), 2-3. 125 Jansen H. SInamo, Dari the hidden prosperity, M.P. Tumanggor, 2003, lihat juga Jansen H. Sinamo, Ethos 21 : etos kerja profesional di era digital, (Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2002), 3. 126 E. Mark Hanson, Educational Administration and Organizational Behavior, (New York: Pearson Education, 2003, Fifth Edition), 206-208.

Page 65: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

104

Sebagai contoh tak terbantahkan hingga sekarang semangat etos

kerja yang didasarkan pada ajaran suatu doktrin agama terjadi pada

masyarakat Kristen Protestan. Melalui karya fenomenal Max Wiber,

The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, diyakini telah

memberikan semangat pencerahan kepada umat Kristen Protestan

untuk memperbaharui cara hidup mereka dalam memaknai dan

menciptakan kebahagiaan di atas nilai-nilai ekonomi yang didasarkan

pada semangat kerja keras. Mereka meyakini bahwa kerja keras adalah

ibadah.127

Keterlibatan siswa atau santri dalam proses kegiatan usaha yang

dimiliki oleh sekolah atau pesantren akan bermakna positif pada

peningkatan etos kerja peserta didik. Untuk konteks pesantren, etos

kerja dicerminkan pada proses pendidikan yang dilaksanakan secara

kontinuitas mulai dari terbit fajar hingga tiba waktu istirahat tidur.

Dalam proses itu para santri dituntut untuk bertanggung jawab secara

mandiri dalam menjalani program-program pesantren dimana ia

menuntut ilmu. Dengan demikian santri, lambat laun secara otomatis

mengetahui tugas dan kewajiban masing-masing dalam tanggung

jawab yang diberikan oleh pesantren kepada mereka. Etos kerja tidak

hanya tercermin saat mereka belajar secara teoritis, namun juga

127 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Courier Dover Publications, 2003. (terj. Oleh Talcott Parsons). Lihat juga Adrian Furnham, The Protestant work ethic: the psychology of work-related beliefs and behaviours. (Routledge, 1990), 17-30.

Page 66: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

105

ditanamkan pada kegiatan-kegiatan praktis di berbagai layanan atau

unit usaha yang dimiliki pesantren.128

5. Menggalakan Kurikulum Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life

skill)

Pengembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya

menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera

dalam Garis-garis besar Haluan Negara. Oleh karena itu

pengembangan kurikulum pesantren biasanya mengakomodasi

tuntutan-tuntutan sistematik dan lebih dari itu tuntutan-tuntutan

sosiologis masyarakat Indonesia. Visi tersebut secara rinci mencakup

terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,

berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia

yang sehat, mandiri beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah

air, berkesadaran hukum dalam lingkungan, menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta

berdisiplin.129

Secara konseptual, sebenarnya lembaga pesantren optimis akan

mampu memenuhi tuntutan reformasi pembangunan nasional di atas,

128 Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren; Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), Cet. 2, 3. 129 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 73.

Page 67: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

106

karena fleksibilitas dan keterbukaan sistemik yang melekat padanya.

Dengan kata lain, perwujudan masyarakat berkualitas tersebut dapat

dibangun melalui perubahan kurikulum pesantren yang berusaha

membekali peserta didik untuk menjadi subyek pembangunan yang

mampu menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif dan

profesional pada bidangnya masing-masing. Namun perlu diingat

bahwa kurikulum hanya merupakan salah satu subsistem lembaga

pesantren, proses pengembangannya tidak boleh bertentangan dengan

kerangka penyelenggaraan pesantren yang di kenal khas, baik dalam

isi dan pendekatan yang digunakan.130

Dalam konteks pendidikan kewirausahaan pengembangan

kurikulum didasarkan pada pembekalan kecakapan hidup santri.

Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat

membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life

competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan

santri. Respons pondok pesantren terhadap perkembangan tersebut

salah satunya dengan diterapkannya pendidikan berbasis kompetensi,

dengan semakin banyak memasukkan keterampilan dan praktek

keterampilan secara nyata dengan dasar pendidikan wirausaha atau

entrepreneurship, yang diharapkan bisa membekali santri dengan

130 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok …., 73

Page 68: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

107

berbagai kemampuan sesuai dengan tuntutan zaman. Terutama

berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.131

Menyadari hal tersebut maka pengembangan model pendidikan

yang harus yang dikembangkan di pesantren adalah sebuah model

pendidikan yang berbasis kompetensi.132 Pendidikan yang dikelola

oleh pesantren mempunyai tugas untuk mengembangkan skill,

knowledge dan ability terhadap santri, dengan mengembangkan

komponen-komponen pendidikan yang ada baik dari segi metode,

media, materi maupun tenaga edukatifnya.

Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan

sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas mensyaratkan pesantren

harus meningkatkan mutu sekaligus memperbaharui model

pendidikannya, sebab model pendidikan pesantren yang mendasarkan

diri pada sistem konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup

membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki

kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama,

pengetahuan umum dan kecakapan teknologis. Padahal ketiga elemen

131 Lihat Muhammad Tholhah Hasan, Pondok Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabra Press, 2005, Cet. 6. Lihat juga Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), Cet. I, 185. 132 Mengenai pendidikan berbasis kompetensi, baca misalnya Terry Hyland, Competence, Education and NVQs : Dessenting Perspectives, Cassell, 1994. Lihat juga Richard Winter & Maire Maisch, Profesional Competence and Higher Education : the ASSET programe, (Routledge, 1996), 5.

Page 69: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

108

ini merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks

perubahan sosial akibat modernisasi.133

Pengembangan model pendidikan ini tidak akan merubah total

wajah dan keunikan sistem pendidikan pesantren menjadi sebuah

model pendidikan umum yang cenderung reduksionistik terhadap

nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan pondok

pesantren. Untuk melahirkan generasi yang mempunyai kompetensi

unggul tidak cukup dengan memberikan bekal pengetahuan, namun

harus dibarengi dengan kemampuan ketrampilan dengan

memanfaatkan potensi dari masyarakat sekitar untuk itu perlu

dikembangkan pesantren sebagai basis pencetak santri-santri yang

mempunyai jiwa mandiri dengan mengembangkan potensi alam yang

ada dan jiwa wirausaha yang tinggi, sehingga lahir santri yang mampu

berkiprah baik kemampuan agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.134

Pengelolaan pesantren diharapkan melakukan upaya-upaya

untuk mengembangkan kemampuan santri untuk mendalami sebuah

ketrampilan khusus sesuai yang diminati oleh santri. Kemampuan

tersebut meliputi berbagai bidang sesuai jenis kegiatan usaha yang

dijalankan oleh pesantren, bidang usaha itu bisa meliputi pertanian,

133 Lihat Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren : Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), Cet. 2, 65. 134 Zakiah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islaml, (Bumi Aksara, Cet-6, 2006), hal. 28. Lihat HJ. Zurinal Z, Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, Cet. I, 2006).

Page 70: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

109

pengembangan industri pengolahan, dan peternakan. semua jenis usaha

yang dimiliki oleh pesantren tersebut dimaksudkan untuk memberikan

kesempatan bagi para santri untuk menerapkan pengalaman dan

keahlian yang telah dimiliki.135

Konsep ‘life skill’ dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang

baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad based curriculum yang

diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas.136

Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh

masyarakat. Pengertian life skill sebenarnya lebih luas dari sekedar

untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekedar

ketrampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang

betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya

sendiri.

Namun penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi

pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik,

seperti fisika, kimia, dan biologi. Program ini memang baik, tetapi

sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa

yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu

135 Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), Cet, I, 23. 136 Secara mendalam lihat Susan M. Drake, Creating standards-based integrated curriculum : aligning curriculum, content, assessment, and instruction, (Corwin Press), 2007, Second Edition. Carol Jean Peterson, Competency-based curriculum and instruction, National League for Nursing, 1979, John W. Burke, Competency Based Education and Training, (Routledge, 1989), 23.

Page 71: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

110

seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan

kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup.137

Untuk mengadopsi life skill ke dalam kurikulum pendidikan,

sekarang harus disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan daerah

dimana sekolah atau pesantren itu berada. Misalnya, anak yang hidup

di Jakarta, tentu akan berbeda life skill yang dibutuhkan dengan

mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam

perekonomian modern, misalnya pertukangan tidak banyak

mendapatkan tempat.

Pembekalan pendidikan life skill,138 selain memberi berbagai

ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani.

Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para santri antara lain, jahit

menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut

kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe,

pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan

meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin dan

otomotif.139

Melalui kegiatan yang positif, membangun, dan beraneka ragam

tersebut, para santri bisa terbekali tidak hanya sebatas pada

137 Kosasih, Pendidikan Life Skills Efektif Atasi Pengangguran, artikel, 10 Maret 2009. http://www.Jugaguru.com 138 Lebih komprehensif mengenai Life skills in school and society, (the Association for supervision and Curriculum Development), 1969, Laura Gadberry, Motivating Life Skill Modules for Individuals with Spinal Cord Injury, (American: Occupational Therapy Association, 1996), 5. 139 Kosasih. Pendidikan Life Skills Efektif Atasi Penganggura..http://www.Jugagguru.com /article

Page 72: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

111

pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan dan sikap kepribadian yang

baik dan luhur. Kegiatan ini juga membuktikan tanggung jawab moral

dari pesantren.

6. Pemberdayaan Potensi Ekonomi di Pesantren

Menurut Yusuf Qardhawi, banyak orang memiliki persepsi yang

salah terhadap Islam dalam masalah ekonomi. Menurut mereka Islam

sama sekali tidak memperhatikan masalah ekonomi, agama dan

ekonomi adalah sesuatu yang sangat bertentangan. Anggapan yang

demikian sangatlah keliru karena Islam sangat memperhatikan masalah

ekonomi.140 Baik al-Qur’an maupun Hadist sangat menganjurkan umat

Islam supaya tidak meninggalkan dunia atau masalah ekonomi.141 Al-

Qur’an menganggap harta sebagai penopang kehidupan142dan

kenikmatan yang diberikan Allah SWT. kepada hamba-hambanya.143

Nabi sendiri juga sangat mengkhawatirkan kemiskinan dan

menganjurkan umat Islam supaya bersungguh-sungguh mencari rizki.

Kondisi kemiskinan menurut Qardhawi bisa mempengaruhi keimanan

seseorang (ka<dal faqru an yaku<na kufran).

140 Lihat Yusuf Qardhawi, al Hill al Islami Faridhah Islamiah,(Kairo : Bank al-Taqwa, tt), 64. 141 Lihat Omar Aidit Ghazali, Readings in the Concept and Methodology of Islamic Economics, Pelanduk Publication, 1989. Misbah Oreibi, Contribution of Islamic Tgought to Modern Economics : Proceedings of the Economics, Seminar Held Jointly by Al-Ashar University and the Internasional Institute of Islamic Thought, Cairo, 1988/1409, (Cairo : International Institute of Islamic Thought, 1997), 214. 142al-Qur`an, 4: 5. 143Ibid., 93: 7.

Page 73: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

112

Pesantren sebagai sebuah “institusi budaya” yang lahir atas

prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak

awal berdirinya merupakan potensi strategi yang ada di tengah

kehidupan masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren memposisikan

dirinya (hanya) sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun

sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berupaya melakukan

reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat, seperti

ekonomi, sosial, dan politik. Berikut ini unsur-unsur yang dapat

diberdayakan di dalam lingkungan pesantren.

Potensi pesantren yang pertama adalah kiai yang merupakan

elemen paling esensial di dalam pesantren. Kiai adalah orang yang

memimpin pesantren dalam kharisma tinggi, ibadah yang tekun serta

pengetahuan keagamaan yang luas dan mendalam. Oleh sebab itu,

pada kiai, di samping memberikan pelajaran agama dan menjadi

pemimpin spiritual pada santrinya, tidak jarang juga menjadi “dokter-

dokter psikosomatis” bagi masyarakat.144 Sebagaimana telah

disinggung, keunikan sekaligus sebagai magnet pesantren adalah figur

kiai pemimpin pesantren. Andaikata dalam lingkungan pesantren

tersebut terdapat beberapa kiai, maka keberadaan mereka haruslah

tetap mengikuti ritme kiai sepuh di lingkungan pesantren tersebut.

144 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia, (Jakarta: IAIN, 2002), 771.

Page 74: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

113

Dalam masalah ini, muncul faktor yang sangat penting sekaligus

sebagai syarat dalam tradisi Islam, yaitu seorang kiai adalah pemegang

ilmu-ilmu agama doktrinal. Tugas ini tidak dapat dilimpahkan kepada

masyarakat umum karena berhubungan dengan kepercayaan bahwa

ulama merupakan pewaris Nabi, seperti disebutkan dalam sebuah

Hadits.145 Bila demikian, bagaimana keunikan kepemimpinan kiai

pesantren ini dapat dipandang sebagai potensi pesantren yang bernilai

ekonomis?

Setidaknya ada tiga jawaban yang dapat diberikan. 146Pertama,

dengan “menjual” figur kiai karena kedalaman ilmunya. Artinya figur

seorang kiai pesantren merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa

bagi calon santri, wali santri, dan masyarakat untuk berburu ilmu.

Kedalaman ilmu sang kiai inilah sesungguhnya awal potensi ekonomi

itu terbangun. Ini tidak berarti komersialisasi ilmu, tetapi sudah

seharusnya orang-orang yang berilmu itu memperoleh penghargaan

meski tidak selalu berupa materi. Meski potensi berasal dari figur

seorang atau beberapa kiai pesantren, tetapi karena institusi pesantren

biasanya melekat dengan figur sang kiai, maka pemanfaatan potensi

tersebut juga untuk kemaslahatan pesantren. Kedua, pada umumnya

seorang kiai adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah.

145Wahid, Abdurrahman “Prolog” dalam Marzuki Wahid, et al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), 15. 146 A. Halim. “Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren”, dalam A. Halim et al, Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 224.

Page 75: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

114

Ketokohan seorang kiai ini memunculkan sebuah kepercayaan,

dan dari ke percayaan melahirkan akses. Dari sinilah jalur-jalur

komunikasi, baik dalam kerangka ekonomis, politis, maupun yang

lainnya terbangun dengan sendirinya. Persoalan bagaimana mengemas

kepercayaan yang telah menjadi aset itu dengan moralitas agama?

Dalam konteks inilah kiai pesantren diuji. Ketiga, pada umumnya,

seorang kiai, sebelum membangun sebuah pesantren, telah mandiri

secara ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya.

Pada beberapa pesantren para santri bahkan belajar bertani dan

berdagang kepada sang kiai. Kiai pesantren semacam ini sering

menjadi tumpuan keuangan pesantren. Ini berarti sejak awal kiai telah

mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari aspek

mental, tetapi juga sosial dan ekonomi. Jiwa dan semangat

entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perekonomian

pesantren. Apabila aset dan jiwa kewirausahaan ini dipadukan, maka

hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pesantren.

Potensi ekonomi kedua yang melekat pada pesantren adalah

santri, atau murid atau siswa.147 Analisis potensi diri ini harus

dipahami, bahwa para santri tersebut sering mempunyai potensi/bakat

bawaan, seperti kemampuan membaca al-Qur’an, kaligrafi,

147 Istilah “santri” biasanya dipakai untuk seseorang yang hanya belajar atau mengaji di Ponpes, sedangkan murid atau siswa biasanya dipakai untuk seseorang yang belajar di sekolah formal. Adapun yang belajar di sekolah yang belajar di sekolah formal milik pesantren, meski bisa disebut sebagai murid atau siswa, tetapi sebutan umum yang lazim dipakai adalah santri.

Page 76: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

115

pertukangan, dan sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya

selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, ada baiknya bila

dalam pesantren diterapkan penelusuran potensi/bakat dan minat

santri, kemudian dibina dan dilatih. Dengan demikian, dalam pesantren

tersebut perlu juga dikembangkan Wadah Apresiasi Potensi Santri

(WAPOSI) wadah semacam ini, mungkin sudah ada di beberapa

pesantren, tinggal bagaimana mengaturnya supaya produktif. Perlu

juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri murid ini menambah

pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan

seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah pesantren menjadi

semakin kaya ragam dan warna.148

Seperti telah disinggung di atas, salah satu keunikan pesantren

terletak pada sistem pendidikannya yang integral. Artinya, model

pendidikan khas pesantren, seperti sorogan149 non klasikal dipadukan

dengan model pendidikan modern yang klasikal. Disamping itu, juga

disiplin ilmu yang ditekuninya, tidak hanya ilmu agama, melainkan

sekaligus pelajaran umum lainnya, seperti bahasa Inggris, matematika, 148 A. Halim “Menggali”, 227 149 Sistem sorogan adalah sistem pendidikan Islam tradisional individual. Umpama seorang murid mendatangi seorang guru yang akan membacakan beberapa baris al-Qur’an atau kata-kata yang berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa. Pada gilirannya murid mengulang dan menerjemahkan kata demi kata persis seperti yang dilakukan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa sehingga para murid diharapkan mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu kalimat bahas Arab. Dengan demikian, para murid dapat belajar tata bahasa Arab langsung dari kitab-kitab tersebut. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan tersebut secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajaran yang baru bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Para guru pengajian dalam taraf ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai murid lebih dari 3 atau 4 orang. Jika dalam seluruh hidup guru tersebut ia berhasil menelurkan sekitar 10 murid yang dapat menyelesaikan pelajaran di pesantren, ia akan dianggap sebagai seorang guru yang berhasil. Lihat Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta : LP3ES, 1994), 28-363.

Page 77: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

116

sosiologi, antropologi dan sebagainya. Untuk yang terakhir ini,

biasanya dapat dijumpai pada pesantren yang sekaligus mengelola

lembaga pendidikan formal, baik dengan nama madrasah seperti MTs

dan MA, maupun sekolah seperti SMP dan SMA. Pesantren-pesantren

yang sudah menerapkan pendidikan seperti ini diantaranya pesantren

Gontor Ponorogo, pesantren al-Fallah Ciampea Bogor, pesantren

Darun Najah Jakarta, pesantren al-Muthfawiyah Tapanuli Selatan, dan

pesantren lainnya.150 Di sinilah letak keunikan pendidikan

pesantren.151

Bagaimana halnya dengan potensi ekonomi dari pendidikan

pesantren ini? Sebagaimana lazimnya pendidikan, didalamnya pasti

ada murid-siswa, guru, sarana, dan prasarana. Dari sisi murid-siswa

misalnya, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar

shahriah.152 Untuk kelancaran proses pembelajaran, diperlukan

seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa

dikembangkan salah satu unit usaha pesantren yang menyediakan

sarana belajar tersebut, semisal toko buku atau kitab, alat tulis, dan

foto copy, belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari seperti makan

minum, air, telepon, asrama, pakaian, dan sebagainya.

150 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia, 771. 151 A. Halim “Menggali”, 229. 152 Syahriah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan kata syahr yang berarti bulan. Di Ponpes Syahriah berarti kewajiban membayar uang SPP bagi santri-murid setiap bulan.

Page 78: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

117

Potensi ekonomi dari sektor pendidikan ini tentu semakin

sempurna bila digabungkan dengan potensi diri santri-murid seperti

telah dijelaskan dalam point dua. Persoalannya tinggal bagaimana

semua potensi ini dikelola secara profesional, tetapi tetap

menampilkan karakteristik pesantren. Inilah salah satu tantangan

pesantren dan lembaga pendidikan yang ada dalam pesantren. Karena

potensi ekonomi santri murid itulah diperlukan keberanian manajerial

dari para pengasuh untuk mewarnai manajemen pesantren secara lebih

profesional dan modern, tetapi khas pesantren.

Dalam konteks ini, kekarismatikan seorang kiai, tidak hanya

dilihat dari aspek agama, tetapi juga aspek yang lain, seperti wawasan

dan manajerial kiai. Apabila ketiga pilar utama ini terpenuhi. Pesantren

telah memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu: Pertama, sebagai pusat

pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua,

sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human

resource). Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan

pada masyarakat (agent of development).153

7. Memperkuat Kerjasama

Kerja sama menjadi sebuah keharusan dalam sebuah dinamika

kehidupan sosial. Mustahil sebuah peran sosial kemasyarakatan dapat

153 Akhmad Faozan, “Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi”, dalam Ibda’; Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 4 No. 1 Jan-Jun 2006, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 3.

Page 79: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

118

dikembangkan tanpa adanya jalinan kerjasama antara satu dengan

lainnya. Begitu juga dengan pesantren. Tidak seperti pada awal

berdirinya, kesendirian pesantren justru berpotensi memperlemah

eksistensinya, baik sebagai lembaga tafaqquh fi al di<n, lembaga

dakwah, lembaga pendidikan, apalagi lembaga sosial. Terlebih lagi

apabila kesendirian itu dibarengi dengan sikap ekslusifisme dan

mengisolir diri, tentunya hal itu akan menjadi boomerang bagi

perkembangan pesantren.154

Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari watak

keterbukaan untuk melakukan kerjasama, khususnya dengan

masyarakat pesantren. Perluasan peran pesantren hingga memasuki

ranah sosial kemasyarakatan. Menurut Amin Haedari tidak terbatas

pada lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam sebagaimana

pada awal perkembangannya, tentunya menuntut adanya perluasan

wilayah kerjasama. Terkait dengan hal itu, menurut Suyata, setidaknya

ada tiga wilayah kerjasama yang bisa dibangun dan diperkokoh, yaitu

1) kerja sama antar instansi pesantren, 2) kerjasama antar pesantren

dan pemerintah, 3) kerjasama antara pesantren dan swasta.155

154Haedari, Amin, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial.(Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006), 184. 155 Suyata. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Hidup, dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, (Jakarta: Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat, 1985), 23.

Page 80: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

119

a. Kerjasama Antar Instansi Pesantren

Peran sosial kemasyarakatan akan lebih mudah dimainkan

manakala dilakukan secara kompak melalui sinergi antar pesantren.

Melalui sinergi ini, sangat dimungkinkan akan ditemukannya

ragam kebutuhan dan persoalan bersama, sekaligus alternatif yang

bisa dilakukan untuk memecahkannya. Sebagai contoh persoalan

yang terkait dengan anggapan bahwa agama dan pesantren

menghambat kemajuan dan pembangunan. Hal ini jelas sebuah

hambatan bagi pesantren dalam mengembangkan peran sosial.

Bagaimana pesantren mau berperan dalam dunia kemasyarakatan,

sedang keberadaannya dinilai sebagai penghambat kemajuan dan

pembangunan.156 Demikian juga dengan isu terorisme yang

belakangan marak dituduhkan ke masyarakat pesantren. Sebuah isu

yang juga berpotensi mempersempit ruang gerak pesantren dalam

mengembangkan peran sosial kemasyarakatan.

Menghadapi persoalan semacam ini secara apriori tentu

bukan sebuah pemecahan apalagi hanya mengandalkan pada

kekuatan sendiri dan mendasarkan pada dalil dan argumentasi yang

bersifat apologetic. Sudah semestinya pesantren melakukan sinergi

antar lembaga untuk memikirkan pemecahan bersama dengan

156Ibid., 24.

Page 81: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

120

tekad, semangat, dan usaha bersama untuk memperbaiki kehidupan

pesantren.

Terkait dengan hal ini, sinergi antar pesantren sejatinya

menjadi solusi cerdas dalam kancah sosial kemasyarakatan.

Optimalisasi RMI atau organisasi pesantren lainnya, menjadi

sebuah kebutuhan dalam menyikapi peran sosial, juga dalam

mengembangkan peran kemasyarakatan pesantren itu sendiri.

Kerjasama antar pesantren juga bisa dibangun dalam

konteks melakukan proyek bersama seperti : pengumpulan zakat

dan pemanfaatannya, pekan olahraga pesantren, perkemahan

pesantren, perbaikan pembelajaran bahasa Arab, dan kegiatan-

kegiatan sosial lainnya.

b. Kerjasama Antara Pesantren dan Pemerintah

Hubungan kerjasama antara pesantren dan pemerintah

sudah terjalin sejak lama, sejak sebelum Indonesia merdeka.

Bahkan pasang surut dinamika pesantren di kancah nasional juga

dipengaruhi dengan pasang surut kerjasama di antara pesantren dan

pemerintah.

Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa setelah melewati tiga

sampai empat dasawarsa kelam tanpa perhatian, perbincangan

tentang pesantren mulai menghangat lagi pada pertengahan

Page 82: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

121

dasawarsa 70-an. Hal ini disebabkan kepentingan pemerintah untuk

melibatkan dunia pesantren dalam pembangunan157

Alasan melibatkan pesantren dalam pembangunan itu antara

lain. Pertama pembangunan memerlukan dukungan dari pesantren

yang dinilai mempunyai pengaruh yang mengakar di lingkungan

masyarakat. Saat itu, tidak penting apakah pesantren mendukung

rezim pemerintah atau tidak. Yang penting, masyarakat pesantren

mendukung program pembangunan yang dicanangkan.158Kedua

pembangunan akan berjalan efektif manakala disadari sebagai

kegiatan masyarakat. Sedang pemerintah hanya mendorong,

memafasilitasi, melindungi, dan membina. Ketiga, dalam proses

pembangunan yang berjalan cepat, terdapat kemungkinan besar

bahwa lembaga tradisional semacam pesantren, tidak saja akan

ketinggalan dalam perkembangan dan perubahan, tetapi juga bisa

terancam eksistensinya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk

melakukan responsi secara positif dan kreatif.159

c. Kerjasama Antara Pesantren dan Swasta

Sejalan dengan menghangatnya kembali perbincangan

tentang pesantren yang dibarengi dengan munculnya gagasan

partisipasi pesantren dalam program pemerintah, sejak dekade 157Rahardjo, Dawam, ed. Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES), 1995), 1-38. 158Azra, Azyumardi, Kata Pengantar, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. 1, xix. 159 Suyata, Pesantren sebagai Lembaga Sosial Hidup….24

Page 83: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

122

tujuh puluhan hingga sekarang, sudah banyak pesantren yang

dinilai berhasil membuka jaringan (network) dan melakukan aliansi

dengan pihak-pihak di luar pesantren, seperti LSM dan lembaga

asing, guna merealisasikan program pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat.160

Kenyataan tersebut menunjukkan bagaimana sinergi

pesantren dengan pihak luar menjadi sebuah kekuatan dalam

mengembangkan peran sosial kemasyarakatan pesantren itu

sendiri. Melalui sinergi dengan pihak luar, pesantren dapat mencari

kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi

atau tempat dan usaha lain untuk latihan dan pendidikan kejuruan.

Dalam hal ini, pengembangan kompontren, Baitul Mal wa Tamwil

(BMT), pertanian, peternakan, dan kegiatan lainnya menjadi salah

satu alternatif bagi perluasan peran sosial pesantren.161

Sebagai sebuah lembaga, pesantren merupakan wadah yang

mampu menampung beragam persoalan sosial yang melingkupi

masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pesantren bisa melakukan

kajian terhadap beragam persoalan yang ada. Juga penyuluhan

dalam upaya penyadaran masyarakat menuju kehidupan yang lebih

tertata. Pada tahap aplikasinya, semua itu bisa dilakukan dengan

160Haedari, Amin, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial, (Jakarta: LKIS, 2005), 190. 161Ibid. 191.

Page 84: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

123

menjalin kerjasama dengan pihak swasta atau lembaga lain yang

concern dalam permasalahan sosial. Di sinilah kemudian pesantren

dapat memperteguh keberadaannya sebagai lembaga sosial

kemasyarakatan.

C. Peran Kiai, Pengurus dan Ustadz dalam Proses Internalisasi Nilai-nilai

Kewirausahaan

1. Peran Kiai

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja

karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur,

metode dan jaringan yang ditetapkan oleh pesantren tersebut. Karena

keunikannya menurut C. Geertz menyebut pesantren sebagai sub kultur

masyarakat Indonesia (khususnya Jawa).162 Pesantren sebagai pendidikan

keagamaan memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya

menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain

belum berjalan secara fungsional, maka pesantren menjadi pusat kegiatan

sosial masyarakat, mulai orang belajar agama, bela diri, mengobati orang

sakit, konsultasi pertanian, mencari jodoh sampai pada menyusun

162Clifford Geertz, “The Javanese Kiyai: The Changing Role of A Cultural Broker”, dalam Comparative Studies in Society and History, vol 2 (1959-1960)

Page 85: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

124

perlawanan terhadap kaum penjajah, semua dilakukan di pesantren yang

dipimpin oleh seorang kiai.163

Figur kiai tidak saja menjadi pemimpin agama tetapi sekaligus juga

pemimpin gerakan sosial politik masyarakat. Karena posisinya yang

menyatu dengan rakyat, maka pesantren memiliki akar yang kuat untuk

menjadi basis perjuangan rakyat. Di samping memiliki jaringan sosial

yang kuat dengan masyarakat, pesantren juga memiliki jaringan yang kuat

antar pesantren, karena sebagian besar pengaruh pesantren tidak saja

terkait dengan persamaan pola pikir, paham keagamaan, tetapi juga

memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat.164 Hal lain yang

menyebabkan hubungan dunia pesantren menjadi sangat kuat adalah

adanya kesamaan ideologi. Hampir semua pesantren di Indonesia memiliki

kesamaan referensi dengan metode pengajaran dan pemahaman

keagamaan yang sama pula. Kesamaan referensi kitab kuning dalam dunia

pesantren ini terjadi karena adanya seleksi yang cukup ketat di kalangan

pesantren, misalnya ada kategori kitab mu’tabar, dimana hanya kitab-kitab

mu’tabar yang boleh dipelajari di pesantren.165

Karena posisi kiai semakin penting dalam sistem kehidupan dan

tradisi pesantren maka jaringan pesantren identik dengan jaringan kiai.

163Rahardjo, Dawam, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, dalam Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta : LP3ES, 1995), Cet. 5, 8. 164Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta : LP3ES, 1982), 62. 165 Martin van Brunessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 37.

Page 86: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

125

Dalam masyarakat lingkungannya, seorang kiai mempunyai kekuasaan

dalam arti memiliki komponen-komponen kekuasaan, seperti pertama,

kewibawaan dengan sifat-sifat berkelana dan bertani, terampil berpidato,

mahir berdiplomasi dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita

masyarakat (murah hati dan sebagainya). Kedua, memiliki wewenang

kemampuan melaksanakan upacara intensifikasi. Ketiga, mempunyai

karisma atau memiliki kekuatan saleh, dan keempat, mempunyai

kekuasaan dalam arti khusus, seperti mampu mengarahkan kekuatan fisik

dan mengorganisasi orang banyak atau dasar suatu sistem sanksi.166

Dalam situasi masyarakat Indonesia yang masih diwarnai oleh para

kepemimpinan patrialis, kepemimpinan pesantren yang masih memiliki

watak karismatik ini sangat berpengaruh. Oleh karena itu, komunitas

pesantren sebagai salah satu komunitas dalam masyarakat Indonesia,

memiliki posisi strategis dalam masyarakat muslim di Indonesia. Belum

lagi kalau dilihat dari perkembangan belakangan, dimana para alumni

pesantren atau kelompok masyarakat santri semakin memiliki peran yang

baik di masyarakat perkotaan, maka pengaruh pesantren dalam

kepemimpinannya yang lebih luas semakin menemukan

momentumnya.167

166 Ahmad Susilo, Strategi Pondok Pesantren (Jakarta: KUcica, 2003),167. 167Haedari, Amin, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), Cet. 1, 215.

Page 87: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

126

Dalam posisi pesantren yang semakin diperhitungkan di tengah

masyarakat memungkinkan pesantren atau lebih tepatnya kiai meluaskan

jaringannya dalam rangka adaptasi mempertahankan keberlangsungan

eksistensi pesantren. Kita menyaksikan dalam membina jaringan,

pesantren tidak hanya menjalin relasi dengan masyarakat sekitar, tetapi

juga dengan masyarakat yang lebih luas seperti pemerintah, perguruan

tinggi, pelaku dunia usaha, jaringan domestik maupun internasional dan

seterusnya.168

Secara substansial, jaringan pesantren atau jaringan sosial kiai

terletak pada getaran jiwa atau semangat untuk melaksanakannya dengan

mengharap keberhasilan di bawah ridho-Nya. Getaran jiwa atau semangat

ini adalah dasar utama suatu kegiatan agar berhasil sesuai dengan cita-cita.

Seorang kiai apabila sudah pasang niat untuk berusaha menjalankan suatu

kegiatan yang baik (dakwah) yaitu menyebarkan ajaran agama Islam,

pantang mundur selangkah pun, sekalipun mungkin dihadapannya akan

terbentang rintangan untuk menggagalkannya. Justru rintangan tersebut

tantangan yang harus dihadapi dan harus ditaklukan, meskipun harus

dihadapi dengan harta dan jiwa.

Kesediaan untuk mengorbankan harta dan jiwa tersebut merupakan

manivestasi atas ajaran-ajaran agama Islam yang sudah mendalam. Dalam

menentang tantangan-tantangan yang dihadapinya, bisa dikerjakan sendiri

168Ibid., 192.

Page 88: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

127

tanpa bantuan dari pihak luar. Bantuan dari pihak luar dianggap perlu bila

mereka sudah mencoba untuk melawan tantangan tersebut dan dirasakan

belum cukup tenaga untuk melawannya. Biasanya bantuan tersebut

diambilkan dari tenaga-tenaga temannya dahulu yang pernah satu

pesantren waktu mencari ilmu di suatu pesantren tertentu. Ajakan tersebut

akan dipenuhi oleh mereka. Hal tersebut bahwa dirasakan satu perjuangan,

satu nasib, dan satu agama, yang satu dengan yang lainnya harus saling

tolong-menolong dalam kebaikan dan dalam ridho-Nya, serta tidak tolong-

menolong dalam kejahatan dan kemungkaran.

Menurut Endang Turmudi ada dua tipe kiai di pesantren

berdasarkan latar belakang pendidikan mereka, yakni kiai tradisional yang

mengambil pendidikan Islam di pesantren tradisional dan kiai modern yang

pengetahuan Islamnya diperoleh dari lembaga pendidikan Islam modern.

Kiai modern, di sisi lain mempunyai metodologi pengajaran Islam yang

lebih baik dari pada kiai tradisional. Namun perbedaan ini hanyalah

perbedaan generasi, dalam arti bahwa kebanyakan kiai tradisional berasal

dari generasi awal yang tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh

pendidikan modern.169

Meskipun kategorisasi ini mungkin agak kabur dalam pengertian

bahwa baik kiai tradisional maupun kiai modern dapat memiliki kualitas

yang sama dalam mengajar. Namun perbedaan dalam latar belakang

169 Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, (Yogjakarta, LKIS, 2004), 120

Page 89: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

128

pendidikan mereka telah menciptakan citra yang berbeda di kalngan santri.

Bahkan kepemimpinan seorang kiai modern berbeda dengan

kepemimpinan kiai tradisional. Ikatan emosional antara kiai tradisional

dengan para santrinya lebih kuat dibanding dengan kiai modern.170

Penelitian yang dilakukan oleh Abu Choir meneliti tentang

pembaharuan manajemen pesantren di PPS Pasuruan, menemukan bukti

bahwa pembaharuan manajemen PPS dilatarbelakangi oleh adanya

kemauan kiai, tersedianya SDM, dan adanya tuntutan kondisi

perkembangan PPS yang berubah. Pembaharuan manajemen ini tentu tidak

akan berjalan tanpa kemauan dari kiai. Penelitian ini juga menemukan

bukti bahwa kiai selaku pengasuh pesantren melakukan langkah-langkah:

Pemberian wewenang, sosialisasi pembagian wewenang, pembentukan

lembaga kolektif, dan pengembangan fungsi manajemen. Hasil

pembaharuan meliputi pembaharuan wewenang dengan pembagian

wewenang makro dan wewenang mikro serta pengasuh memegang

wewenang yang makro atau garis-garis besar program pesantren,

Sedangkan pengurus memegang wewenang mikro yakni kewenangan

operasional dan kiai juga melakukan pembaharuan mengenai

kepemimpinan dengan menggunakan manajemen terbuka.171

170 Ibid. 121 171Choir, Abu, “Manajemen Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Studi Kasus Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan”, (Tesis--Universitas Islam Negeri Malang, Malang, 2002)

Page 90: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

129

Dalam hal ini kiai memiliki peran yang strategis dalam proses

internalisasi nilai-nilai kewirausahaan baik dari sisi ketokohan kiai,

pendidikan maupun manajemen yang diterapkannya.

2. Peran Pengurus

Dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan di pesantren

dibutuhkan peran dan dukungan dari berbagai pihak, baik pihak internal

pesantren maupun pihak eksternal pesantren. Pihak internal pesantren

adalah anggota komunitas pesantren seperti kiai, pengurus, ustadz dan

santri. Sedangkan dari pihak eksternal adalah masyarakat, dunia usaha,

mitra kerja dan pemerintah. Pihak internal pesantren memiliki peran lebih

penting dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan.

Bedasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan, pengurus

memiliki peran di pesantren dalam proses internalisasi nilai-nilai

kewirausahaan. Dalam penelitian Sujianto menemukan hasil yang

memberikan penguatan tentang peran pengurus dalam kemajuan koperasi

di pondok pesantren. Studi ini menemukan bahwa kinerja pengurus dapat

memotivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dalam koperasi pesantren.

Pengurus yang memliki kecakapan dan dapat dipercaya mampu

meningkatkan loyalitas anggota.172 Demikian juga penelitian yang

dilakukan oleh Abu Choir bahwa upaya pembaharuan manajemen yang

172Sujianto, Agus Eko, Pengaruh Pembinaan Anggota, Modernitas Kyai, Kinerja Pengurus dan Partisipasi Anggota Terhadap Kinerja Koperasi Pondok Pesantren di Kabupaten Tulungagung, (Disertasi: Program Studi Pendidikan Ekonomi: Program Pasca Sarjana , Universitas Negeri Malang, Malang, 2009)

Page 91: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

130

dilakukan oleh pondok pesantren Sidogiri tidak akan berjalan tanpa

kemauan pengurus untuk melaksanakannya.173

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengelola

program-program pendidikan memerlukan manajemen guna mendukung

pencapaian tujuan institusinya, menjaga keseimbangan serta untuk

mencapai efisiensi dan keefektifan. Keberhasilan pendidikan di pesantren

sangat dipengaruhi sejauh mana pihak pengelola atau pengurus

mengaktualisasikan fungsi-manajemen baik proses perencanaan (planning),

pengorganisasian (organizing), pengaktifan atau pengimplementasian

(directing), dan pengawasan (controlling) atau pengendalian yang efektif

dalam mengelola resources yang dimiliki.174

Dengan demikian pengurus sebagai pelaksana utama manajemen

pesantren memiliki peran yang signifikan terhadap proses internalisasi

nilai-nilai kewirausahaan di pesantren. Hal ini mengingat pengurus adalah

sebagai pelaku utama dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen

pesantren dan fungsi-fungsi manajemen pesantren diperlukan agar

keseluruhan sumberdaya organisasi atau pesantren dapat dikelola dan

dipergunakan secara efektif dan efisien sehingga tujuan pesantren dapat

tercapai. Gambar: 2.1 secara diagramatis, jika dikaitkan antara tujuan

organisasi atau pesantren yaitu yang harus dicapai secara efektif dan

173 Ibid, Choir, Abu. 174 Sule, Erni, Tisnawati, Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, 2006) 8

Page 92: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

131

efisien, dan sumber-sumber daya organisasi atau pesantren dengan fungsi-

fungsi manajemen.175

Gambar: 2.1 Sumberdaya organisasi, tujuan organisasi dan

Fungsi-fungsi organisasi

3. Peran Ustadz

Ditinjau dari sisi bahasa bahwa istilah ustadz identik dengan istilah

guru. Dalam hazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki beberapa

pedoman istilah seperti “ustadz”, “mu’alim”, “muaddib” dan “murabbi”.

Beberapa istilah untuk sebutan ustadz itu berkaitan dengan bebrapa istilah

untuk pendidikan yaitu ”ta’lim” dan “tarbiyah”. Istilah mualim lebih

menekankan ustadz sebagai pengajar, penyampai pengetahuan (knowledge)

dan ilmu (science). Sedangkan istilah mu’addib lebih menekankan pada

ustadz sebagai pembina moralitas dan akhlak peserta didik dengan

keteladanan, dan istilah murabbi< lebih menekankan pengembangan dan

175 Ibid, 10

Page 93: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN DAN ...digilib.uinsby.ac.id/710/5/Bab 2.pdf · 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982),

132

pemeliharaan baik aspek jasmaniah maupun rahaniah dengan kasih sayang.

Sedangkan istilah yang umum dipakai dan memiliki cakupan makna yang

luas dan netral adalah ustadz yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

“guru”.176

Proses pembelajaran di pesantren ustadz merupakan sumberdaya

edukatif dan sekaligus aktor proses pembelajaran yang utama. Karena itu

upaya pemberdayaan ustadz merupakan keniscayaan karena peran ustadz

sebagai sumber edukatif yang utama tak akan pernah tergantikan walaupun

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama tehnologi

pembelajaran mengalami perkembangan sangat pesat dan karena perubahan

sosial yang diikuti dengan perubahan tuntutan masyarakat terhadap

kopentensi lulusan pendidikan khususnya pesantren.177

Dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan di pesantren,

ustadz memiliki peran penting baik melalui lembaga pendidikan maupun

lembaga ekonomi pesantren. Hal ini dikarenakan peran ustadz sebagai

aktor utama dalam proses pembelajaran tidak tergantikan oleh siapapun,

hanya saja efektifitas dalam mencapai tujuan sangat bergantung pada

sistem dan faktor pendukung proses pembelajaran tersebut.

176 Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiitualitas, (Malang, UPT. UMM Pres, Malang, 2008), 107 177 Ibid, 116