bab ii tinjauan umum tentang pemindahtanganan … ii.pdfbarang milik daerah adalah semua kekayaan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMINDAHTANGANAN BARANG
MILIK DAERAH BERUPA TANAH
2.1 Tinjauan Umum Barang Milik Daerah
Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang
berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang
dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-
tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.1
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pada Pasal 3 ayat (1)
dan (2) disebutkan bahwa Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau
perolehan lainnya yang sah antara lain:2
1. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
2. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak
3. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
4. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
1 http://pbmkn.perbendaharaan.go.id/Artikel/004.htm diakses pada tanggal 5 Januari
2016. 2 Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
46
Mengenai instansi atau lembaga yang bertugas untuk mengelola barang
milik daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara Pasal 43 menyatakan bahwa Gubernur/bupati/walikota
diberikan wewenang untuk menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik
daerah. Kemudian yang nantinya melakukan pengawasan atas penyelenggaraan
pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Barang
bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya. Berdasarkan Penjelasan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah, instansi dan/atau organ yang melakukan tugas
dan fungsi dalam rangka pengelolaan barang milik daerah dapat digambarkan
dengan bagan berikut:
Adapun Tugas Dan Fungsi Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Kepala
SKPD, Penyimpan Barang dan Pengurus Barang dalam kegiatan berkaitan dengan
Kepala Daerah
Sekretariat Daerah
Kepala SKPD
Penyimpan Barang Pengurus Barang
pengelolaan barang milik daerah yaitu:
1). Tugas Kepala Daerah:3
a. menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah;
b. menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan
bangunan;
c. menetapkan kebijakan, pengamanan barang milik daerah;
d. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah yang memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
e. menyetujui usul pemindahtanganan, penghapusan barang milik daerah
sesuai batas kewenangannya;
f. menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah selain tanah dan/atau
bangunan.
Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan barang daerah berwenang dan
bertanggung jawab atas pembinaan dan pelaksanaan pengelolaan serta tertib
administrasi barang milik daerah.
2). Tugas Dan Fungsi Sekretaris Daerah Selaku Pengelola Barang:4
a. menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik daerah;
b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik daerah;
c. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/ perawatan
barang milik daerah;
3 Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 4 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
d. mengatur pelaksanaan pemanfaatan, penghapusandan pemindah tanganan
barang milik daerah yang telah disetujui oleh Kepala Daerah atau DPRD;
e. melakukan koordinasi dalam pelaksaan inventarisasi barang milik daerah;
dan;
f. melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik
daerah.
3. Tugas dan Tanggungjawab Kepala SKPD:5
a. mengajukan rencana kebutuhan dan pemeliharaan barang milik daerah bagi
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya kepada pengelola barang;
b. mengajukan permohonan penetapan status untuk penggunaan dan/atau
penguasaan barang milik daerah yang diperoleh dari beban APBD dan/atau
perolehan lainnya yang sah kepada Kepala Daerah melalui pengelola
barang;
c. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada
dalam penguasaannya;
d. menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk
kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
e. mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam
penguasaannya;
5 Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
f. mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah
dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang tidak
memerlukan persetujuan DPRD;
g. menyerahkan tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan
yang tidak dimanfaatkan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
SKPD yang dipimpinnya kepada Kepala Daerah melalui pengelola barang;
h. melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik
daerah yang ada dalam penguasaan nya; dan
i. menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran
(LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) serta Laporan
Inventarisasi 5 (lima) tahunan (sensus) yang berada dalam penguasaannya
kepada pengelola barang.
5. Tugas Penyimpan Barang:6
a. menerima, menyimpan dan menyalurkan barang milik daerah;
b. meneliti dan menghimpun dokumen pengadaan barang yang diterima;
c. meneliti jumlah dan kualitas barang yang diterima sesuai dengan dokumen
pengadaan;
d. mencatat barang milik daerah yang diterima ke dalam buku/kartu barang;
e. mengamankan barang milik daerah yang ada dalam persediaan; dan
f. membuat laporan penerimaan, penyaluran dan stock/persediaan barang
milik daerah kepada Kepala SKPD.
6 Lampiran Bagian V Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran, Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
6. Tugas Pengurus Barang:7
a. mencatat seluruh barang milik daerah yang berada di masingmasing SKPD
yang berasal dari APBD maupun perolehan lain yang sah kedalam Kartu
Inventaris Barang (KIB), Kartu Inventaris Ruangan (KIR), Buku Inventaris
(BI) dan Buku Induk Inventaris (BIl), sesuai kodefikasi dan penggolongan
barang milik daerah;
b. melakukan pencatatan barang milik daerah yang dipelihara/diperbaiki
kedalam kartu pemeliharaan;
c. menyiapkan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan
Barang Pengguna Tahunan (LBPT) serta Laporan Inventarisasi 5 (lima)
tahunan yang berada di SKPD kepada pengelola; dan
d. menyiapkan usulan penghapusan barang milik daerah yang rusak atau tidak
dipergunakan lagi.
Seperti contoh misalnya di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali instansi
dan/atau organ yang memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan
pengelolaan segala barang milik daerah adalah:
a. Gubernur selaku Kepala Daerah Provinsi Bali
Gubernur selaku Kepala Daerah memegang kekuasaan terhadap kebijakan
pengelolaan barang milik daerah.
7 Berdasarkan Lampiran Bagian II Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah
b. Sekretariat Daerah selaku pengelola barang. Pada instansi sekretariat daerah
terdapat beberapa asisten yang masing-masing membidangi beberapa bidang.
Seperti Asisten 1 Bidang Pemerintahan, Asisten 2 Bidang Perekonomian,
Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, dan Asisten 3 Bidang Administrasi
Umum. Pada setiap asisten terdiri dari biro-biro yang membidangi beberapa
bidang yang berbeda. Biro aset berada pada asisten bidang administrasi umumn
disamping Biro Keuangan, Biro Umum dan Biro Humas dan Protokol. Biro
Aset yang berada di bawah naungan Sekretariat Daerah Provinsi Bali. Sebelum
bernama Biro Aset, instansi yang bertugas mengelola barang milik daerah
bernama Biro Perbekalan. Kemudian sempat juga berganti nama menjadi Biro
Perlengkapan dan Perawatan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah Provinsi Bali, Biro Perlengkapan dan Perawatan diganti lagi
dengan nama Biro Perlengkapan. Sebutan Biro Perlengkapan hanya sampai
pada tahun 2008, karena berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2
Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali,
Biro Perlengkapan berganti nama menjadi Biro Pengelolaan Aset. Namun sejak
Tahun 2011 hingga 2013 berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4
Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, Biro yang
dulu bernama Biro Pengelolaan Aset diganti menjadi Biro Aset. Biro Aset ini
nantinya bertugas untuk mengelola barang milik daerah secara tertib dan
teratur. Kemudian terakhir Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun
2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah ini mengalami
perubahan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011
Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, khusus mengenai penaamaan
bagian pengelolaan aset daerah tidak mengalami perubahan.
Biro Aset sebagai salah satu biro di lingkungan Sekretariat Daerah Bali
mempunyai tugas pokok berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 37
Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Sekretariat Daerah Provinsi Bali.
Biro Aset selaku pembantu pengelola Barang Milik Daerah bertanggung jawab
mengkoordinir penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah yang ada
pada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah. Pengelolaan barang milik
daerah mencakup kegiatan perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penyaluran, penggunaan,
penatausahaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian,
pembiayaan dan tuntutan ganti rugi.8
c. Kepala Satuan Perangkat Kerja Daerah;
Misalnya Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Badan dan Kepala UPT.
d. Penyimpan Barang;dan
e. Pengurus Barang.
Dalam pengelolaan barang milik daerah untuk menjamin terlaksananya
tertib administrasi dan pengelolaan barang milik daerah, diperlukan adanya
kesamaan persepsi dan langkah-langkah secara integral dan menyeluruh dari
8 www.pemprov.bali.go.id/biroasetdaerah, diakses pada tanggal 15 Desember 2015.
unsure-unsur yang terkait. Pengelolaan barang milik daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan asas-asas sebagai berikut:9
a. Asas Fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di
bidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh
pengguna/kuasa pengguna barang, pengelolaan barang dan Gubernur sesuai
fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
b. Asas Kepastian Hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus
dilaksanakan berdasarkan peraturan Perundang-undangan.
c. Asas Transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah
harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang
benar.
d. Asas Efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar sesuai
batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan daerah secara optimal.
e. Asas Akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
f. Asas Kepastian Nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung
oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan
neraca pemerintahan daerah.
Pemerintah Daerah mengelola barang milik daerah yang diperoleh dari
berbagai sumber, baik dari APBD, APBN maupun sumber lain yang sah untuk
9 Lampiran Bagian Umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
digunakan oleh aparat dalam rangka pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat. Barang milik daerah merupakan kekayaan atau aset daerah yang
harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan arti dan manfaat sebanyak-
banyaknya, dan tidak hanya sebagai kekayaan daerah yang besar tetapi juga harus
dikelola secara efisien dan efektif agar tidak menimbulkan pemborosan serta
harus dapat dipertanggungjawabkan.
2.2 Klasifikasi Tanah sebagai Barang Milik Daerah
Dalam masyarakat agraris dan bahari seperti Indonesia, tanah dan sumber
daya alam memiliki arti dan makna sangat istimewa, yaitu sebagai wujud
eksistensi, akar sosial budaya, alat produksi utama, simbol eksistensi dan status
sosial ekonomi.10 Tanah juga tempat bermukim bagi umat manusia di samping
sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha
pertanian.11
Tanah dapat di nilai pula sebagai suatu harta yang mempunyai sifat
permanen karena memberikan suatu kemantapan untuk di cadangkan bagi
kehidupan di masa mendatang.12
Dan pada akhirnya tanah pulalah yang di jadikan
tempat persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia. Pendek kata
tanah mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini.13 Barang milik daerah
berupa tanah di lingkungan pemerintahan daerah banyak yang menyebutnya
10
Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah utuk Pembangunan, Margaretha Pustaka,
Jakarta, hal.1. 11 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.172.
12 Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.
13
Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung,
hal. 2
sebagai tanah aset daerah. Bahkan di setiap pemerintah daerah secara khusus
membentuk biro aset. Biro aset adalah biro yang secara khusus berfungsi untuk
melakukan inventarisir dan memanajemen aset daerah. Istilah aset pada tanah aset
daerah merupakan istilah ekonomi. Aset bukan merupakan istilah hukum, karena
istilah tanah aset tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Namun
istilah aset baru menjadi konsep hukum setelah adanya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada bagian
lampiran II dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan tersebut tepatnya pada Pernyataan No.01 Penyajian
Laporan Keuangan, Definisi: paragrap 8 memberikan definisi , bahwa: “Aset
adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau
sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya
nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan
sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya”.
Kemudian berdasarkan Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Bab Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan, Sub Bab: Investasi dalam aset yang tidak menghasilkan
pendapatan (paragrap 14), dinyatakan sebagai berikut: “Pemerintah
menginvestasikan dana yang besar dalam bentuk aset yang tidak secara langsung
menghasilkan pendapatan bagi pemerintah, seperti gedung perkantoran, jembatan,
jalan, taman dan kawasan reservasi. Sebagaian besar aset dimaksud mempunyai
masa manfaat yang lama sehingga program pemeliharaan dan rehabilitasi yang
memadai diperlukan untuk mempertahankan manfaat yang hendak dicapai.
Dengan demikian, fungsi aset yang dimaksud bagi pemerintah berbeda dengan
fungsinya bagi organisasi komersial. Sebagian besar aset tersebut tidak
menghasilkan pendapatan secara langsung bagi pemerintah, bahkan menimbulkan
komitmen pemerintah untuk memeliharanya di masa mendatang”.14
Dalam lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah, Bab: Unsur Laporan Keuangan, Sub Bab Neraca
(Paragraf 59), dijelaskan sebagai berikut: “Neraca menggambarkan posisi
keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana
pada tanggal tertentu”.
Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan akuitas
dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut:15
a). Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau social di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan
uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk
penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang
dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
14
Supriyadi, op.cit, hal.150. 15
www.bpk.go.id/dirjenkekayaannegara di akses pada tanggal 23 Desember 2015
b). Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang
penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi
pemerintah.
c). Ekuitas Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih
antara aset dan kewajiban pemerintah.
Tanah merupakan Aset Tetap, disamping Peralatan dan Mesin, gedung dan
bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya, dan konstruksi dalam
pengerjaan. Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai manfaat lebih dari
dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan
oleh masyarakat umum.
Selanjutnya berdasarkan berbagai penjelasan dalam Lampiran II dari
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan tersebut dapat ditarik suatu konsep hukum tengtang Tanah sebagai
aset daerah atau barang milik daerah. Bahwa tanah diakui telah menjadi barang
milik daerah apabila memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:16
1). Diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional
pemerintah dan dalam kondisi siap pakai. Dalam hal ini misalnya, setelah
tanah dimatangkan sampai tanah tersebut siap dipakai;
2). Adanya bukti penguasaan secara hukum, misalnya Sertipikat Hak Pakai
atau Hak Pengelolaan atas nama Daerah;
3). Adanya bukti pembayaran dan penguasaan Sertipikat tanah atas nama
pemilik sebelumnya.
16
Lampiran II dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan
Dengan suatu pernyataan secara negatif, maka tanah-tanah yang tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut diatas bukanlah barang milik daerah atau tanah aset daerah.
Syarat pertama bagi suatu bidang tanah untuk dapat disebut sebagai barang
milik daerah, bahwa tanah tersebut diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam
kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap pakai. Dengan demikian,
tanah-tanah yang diklaim sebagai dalam penguasaan daerah namun tidak
dimaksudkan untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah daerah dan
dalam kondisi tidak siap pakai, maka tanah-tanah yang demikian tersebut tidak
atau belum menjadi barang milik daerah. Artinya tanah-tanah tersebut tidak
mempunyai nilai ekonomi bagi daerah dan bukan merupakan suatu aktiva dalam
neraca.
Syarat kedua bagi suatu bidang tanah untuk dapat disebut barang milik
daerah, yaitu adanya bukti penguasaan secara hukum. Hal ini berkaitan dengan
criteria pengakuan pendapatan. Konsep tentang kemungkinan besar manfaat
ekonomi masa depan terjadi digunakan dalam pengertian derajat kepastian tinggi
bahwa manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan pos atau
kejadian/peristiwa tersebut akan mengalir dari atau ke entitas pelaporan. Konsep
ini diperlukan dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan operasional
pemerintah. Pengkajian derajad kepastian yang melekat dalam arus manfaat
ekonomi masa depan dilakukan atas dasar bukti yang dapat diperoleh pada saat
penyusunan laporan keuangan.17
17
Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, Bab: Unsur Laporan Keuangan, Sub bab: Kemungkinan Besar Manfaat Ekonomi
Masa Depan Terjadi, paragraph 81.
Syarat ketiga yaitu adanya bukti pembayaran dan penguasaan Sertipikat
tanah atas nama pemilik sebelumnya. Dengan demikian, tanah-tanah yang teah
dibebaskan oleh pemerintah daerah namun ganti rugi kepada bekas pemilik tanah
belum dibayar atau sertipikat hak atas tanahnya belum beralih kepadanya, maka
tanah-tanah tersebut tidak atau belum dapat dinyatakan sebagai barang milik
daerah.
Barang Milik Daerah berupa Tanah harus jelas asal-usul status tanahnya.
Status tanahnya dapat berasal dari:18
1. Tanah Negara
a. Jika instansi Pemerintah berdasarkan Staatblad Tahun 1911 Nomor 110
tentang “Penguasaan Benda Benda Tidak Bergerak, Gedung Gedung dan
lain lain Bangunan Milik Negara” kemudian diatur kembali dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah
Tanah Negara, menguasai tanah dimaksud sejak zaman pemerintah Hindia
Belanda sampai pada saat dimulai berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1953, maka tanah tersebut berstatus dalam penguasaan (In
beheer) Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
b. Apabila setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
Tanah Negara dikuasai oleh Instansi Pemerintah berdasarkan Surat
Keputusan Pemberian Hak yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
18
Supriyadi, op.cit, hal 256.
Mengenai penguasaan tanah Negara oleh Instansi Pemerintah atau Daerah
setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 selanjutnya
baru dapat menjadi milik Negara/daerah apabila dikuasai oleh Instansi
Pemerintah atau Daerah tersebut berdasarkan Surat Keputusan Pemberian Hak
yang diterbitkan oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu
Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 tentang Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Serta
Pembatalan Hak Atas Tanah.
Surat Keputusan Pemberian Hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
Nasional yang dimaksudkan adalah Keputusan tentang Pemberian Hak Pakai
dan Hak Pengelolaan atas nama Instansi Pemerintah atau Daerah atas tanah-
tanah yang berasal dari tanah Negara. Apabila tanah-tanah Negara yang
diklaim dalam penguasaan Instansi Pemerintah atau Daerah tersebut belum
diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas nama Instansi Pemerintah
atau Daerah, maka tanah-tanah tersebut belum dan bukan menjadi aset atau
milik Instansi Pemerintah atau Daerah. Lebih-lebih apabila diketahui, bahwa
secara fisik pun bentuk penguasaan Instansi Pemerintah atau Daerah tersebut
tidak nampak jelas.
Para ahli membedakan tanah negara menjadi tiga, yaitu:19
a) tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara, dalam pengertian hak
menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkatan
19 B.F. Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia,
Cetakan Kedua, Djambatan, Jakarta, hal.79-80.
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
yang mempunyai kewenangan:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
b) tanah negara yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanah-tanah yang
diperoleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan nasionalisasi,
pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah dan
berdasarkan akta-akta peralihan hak.
c) tanah negara yang tidak dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat, badan
hukum swasta dan badan keagamaan atau badan sosial serta tanah tanah
yang dimiliki oleh perwakilan negara asing.
Jika dilihat dari status penguasaannya, tanah negara masih dibagi menjadi (1)
tanah wakaf, (2) tanah hak pengelolaan, (3) tanah hak ulayat, (4) tanah hak
kaum, (5) tanah hak kawasan hutan, dan (6) tanah lainnya yang tidak termasuk
lima klasifikasi itu, yang penguasaannya ada pada BPN. Tanah negara
mempunyai dua pengertian, yaitu (a) tanah negara dalam arti luas adalah tanah
yang dikuasai BPN dan penguasaannya ada pada Kepala BPN dan (b) tanah
negara dalam arti sempit adalah tanah yang dikuasai oleh kementerian dan
lembaga dengan hak pakai yang merupakan aset/bagian dari aset negara dan
penguasaannya ada pada Menteri Keuangan.20
2. Tanah-tanah Perusahaan Milik Belanda yang berdasarkan Undang Undang
Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik
Belanda penguasaannya diserahkan kepada salah satu di antara Instansi
Pemerintah tersebut pada angka 1 di atas.21
Tanah-tanah Perusahaan Milik Belanda yang terkena Nasionalisasi
berdasarkan Undang Undang Nomor 86 Tahun 1958 yang dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan Daerah dan Bank Bank Negara, berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian dan Agraria No.SK.8/ka/1963 tanggal 28 Pebruari 1963 kepada
Perusahaan-perusahaan dan bank bank yang menguasai tanah-tanah yang
dimaksud secara sah, dapat diberikan dengan sesuatu hak dengan memperhatikan
penggunaan tanahnya, yaitu: apabila tanahnya merupakan tanah bangunan akan
diberikan dengan hak guna bangunan, dan akan diberikan dengan hak guna usaha
apabila tanah yang dimaksud tanah pertanian/perkebunan bekas hak erpacht atau
konsesi.
Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan Undang Undang Nomor 86
Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda tersebut
dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok
Pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Pasal 1
Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan, bahwa perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi adalah:
20
Laman www.bphn.go.id di akses pada tanggal 5 Januari 2016
21
Supriyadi, loc.cit
(a) Perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik
perseorangan warganegara Belanda dan bertempat kedudukan dalam
wilayah Republik Indonesia;
(b) Perusahaan milik suatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian
modal perseroannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan
warganegara belanda dan badan hukum itu bertempat kedudukan dalam
wilayah Republik Indonesia;
(c) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk
seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warganegara
Belanda yang bertempat kediaman diluar wilayah Republik Indonesia;
(d) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan
merupakan milik sesuatu badan hukum yang bertempat kedudukan di
wilayah Negara Kerajaan Belanda.
Proses nasionalisasi dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan
cara memberi ganti rugi kepada pemilik perusahaan-perusahaan Belanda tersebut,
sehingga harta kekayaan perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi
tersebut menjadi kekayaan milik Negara. Hak-hak atas tanah milik perusahaan
Belanda yang dinasionalisasi tersebut menjadi hapus karena hukum dan tanahnya
menjadi tanah Negara. Hal ini ditegaskan oleh Keputusan Menteri Pertanian dan
Agraria No. Sk.8/Ka/1963, tanggal 28 Pebruari 1963 tentang Pemberian Hak Atas
Tanah Bekas Milik Perusahaan Perusahaan Belanda Kepada Perusahaan
Perusahaan Negara dan Bank Bank Negara.
3. Tanah yang diperoleh dengan cara:22
a) Pembelian tanah untuk Pemerintah melalui Bijblad 11372 jo. 12746;
b) Pembebasan tanah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15
Tahun 1975
c) Pengadaan tanah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2
Tahun 1985;
d) Pengadaan tanah menurut Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 jo.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.1 Tahun 1994;
e) Pencabutan hak berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
f) Pelepasan hak secara Cuma-Cuma oleh pemiliknya kepada pemerintah
(secara umum dikenal sebagai penyerahan tanah untuk Pemerintah).
Tanah-tanah Negara yang perolehannya dengan cara sebagaimana huruf a
sampai dengan huruf f tersebut di atas merupakan tanah-tanah Negara yang
diperoleh melalui acara pembebasan tanah. Pada zaman Hindia Belanda diatur
dalam Bijblad 11372 jo.12746 dengan cara pembelian untuk kepentingan
pemerintah.
Dengan berlakunya Undang Undang Pokok Agraria, Hak Eigendom,
Opstal, Erfpacht sudah tidak ada lagi, dan sebagai gantinya ada hak-hak atas tanah
yang disebut Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha. Hak-hak
tersebut tidak dapat dipunyai oleh instansi/lembaga pemerintah melalui prosedur
jual-beli, sebagaimana diatur dalam Pasal 2; Pasal 26 ayat (2); Pasal 30 ayat (2);
22
Supriyadi, Ibid, hal.261.
Pasal 36 ayat (2) Undang Undang Pokok Agraria, melainkan harus melalui
prosedur pembebasan atau pelepasan hak atas tanah, selanjutnya tanahnya
menjadi tanah Negara, dan instansi/Lembaga Pemerintah termasuk Daerah dapat
memintah hak atas tanah Negara tersebut berupa Hak pakai atau Hak Pengelolaan
kepada Badan Pertanahan Nasional.
Barang milik daerah berupa tanah harus jelas status hak tanahnya. Status
hukum hak atas tanah tersebut nantinya disertipikatkan di kantor Badan
Pertanahan Nasional. Sertipikat hak atas tanah atas nama pemerintah daerah yaitu
sertipikat Hak Pakai dan Sertipikat Hak Pengelolaan, artinya bahwa pemerintah
daerah dapat mempunyai Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atas tanah.
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria pasal 41 ayat (1). Hak pakai hanya
dapat dialihkan dengan ijin pejabat yang berwenang dan jika hal itu dimungkinkan
dalam perjanjian yang bersangkutan.23
Sedangkan Hak Pengelolaan adalah hak
menguasai Negara yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh pemegang haknya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 1974 Pasal 3, Hak
pengelolaan berisikan wewenang untuk :
23
Mudjiono, 1992, Hukum Agraria, Liberty, Yogyakarta, hal 16.
1) Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
2) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya;
3) Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut.
Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, bahwa Hak Pakai atas
nama Departemen, Lembaga Non Departemen, dan Pemerintah Daerah, diberikan
untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama digunakan untuk keperluan
tertentu. Selanjutnya berdasarkan Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai tersebut dinyatakan bahwa: “Hak Pakai yang diberikan untuk waktu yang
tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu tidak
dapat dialihkan kepada pihak lain, akan tetapi dapat dilepaskan oleh pemegang
haknya sehingga menjadi tanah Negara untuk kemudian dimohon dengan hak
baru oleh pihak lain tersebut”.
Secara tersurat, UUPA tidak menyebut Hak Pengelolaan, tetapi hanya
menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA, yaitu:
“Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,
misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa
(Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing.”
Menurut A.P. Parlindungan, istilah Hak Pengelolaan berasal dari istilah
Belanda, “beheersrecht” yang berarti hak penguasaan.24
24
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Jakarta,
hal.113.
Sependapat dengan A.P. Parlindungan, Supriadi menyatakan bahwa
perkataan Hak Pengelolaan sebenarnya berasal dari terjemahan Bahasa Belanda
yang berasal dari kata “Beheersrecht berarti Hak Penguasaan. Hak Penguasaan
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Hak Penguasaan
atas Tanah-tanah Negara.25
Hak Pengelolaan itu tidak mudah dipahami, bahkan
dapat menimbulkan salah tafsir bila disandingkan dengan hak-hak atas tanah yang
diatur dalam Pasal 16 UUPA (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai).konsep penguasaan atas tanah-tanah negara yang pada awalnya dimuat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-
tanah Negara dilandasi oleh asas domein, yang sudah barang tentu tidak sesuai
lagi dengan asas Negara menguasai dalam UUPA. Fungsi/wewenang public yang
tersirat dalam penjelasan umum II (2) UUPA itu kemudian diberi sebutan sebagai
“hak” pengelolaan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang
Konversi atas Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan
tentang Kebijaksanaan Selanjutnya yang berlanjut sampai dengan saat ini.
Maria S.W. Sumardjono dalam salah satu refrensinya berpendapat bahwa
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, maka berlakunya ketentuan umum tersebut tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yan bersifat khusus terkait dengan peralihan dan
pembebanan HGB/HP di atas HPL. Selama HPL yang dipunyai oleh subjek HPL
itu merupakan barang milik negara/daerah, maka ketentuan dalam UU No.1
25
Supriadi, 2007, Hukum Agraria,Sinar Grafika, Jakarta, hal.148.
Tahun 2004 dan PP No.6 Tahun 2006 yang berlaku. UU No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa barang milik negara adalah semua
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan
lain yang sah. Analog dengan hal itu, barang milik daerah adalah semua barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehannya
lainnya yang sah. Terkait dengan aset/barang milik negara/daerah yang berbentuk
tanah, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN pernah menerbitkan Surat Edaran
(SE) No 500-468 tanggal 12 Februari 1996 tentang masalah Ruilslag Tanah-tanah
Pemerintah. Dalam SE tersebut disebutkan bahwa untuk memperoleh
keseragaman dan kesamaan persepsi mengenai tanah aset pemerintah, maka yang
dimaksud dengan aset tersebut adalah:26
1) Tanah-tanah bukan tanah pihak lain dan yang telah dikuasai secara fisik oleh
instansi pemerintah.
2) Tanah-tanah tersebut dikelola dan dipelihara/dirawat dengan dana Instansi
Pemerintah.
3) Tanah tersebut telah terdaftar dalam daftar inventaris Instansi Pemerintah yang
bersangkutan.
4) Tanah secara fisik dikuasai atau digunakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain
berdasarkan hubungan hukum yang dibuat antara pihak lain dengan Instansi
Pemerintah dimaksud.
5) Tanah tersebut angka 1) sampai dengan 3) baik yang sudah ada sertipikatnya
maupun belum ada sertipikat.
26
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, Kompas, Jakarta, hal.211.
2.3 Tinjauan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah
Pemindahtanganan barang milik daerah adalah pengalihan kepemilikan
sebagai tindak lanjut dari penghapusan.27
Pemindahtanganan barang milik daerah
berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan bangunan yang bernilai
lebih dari Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan DPRD. Pemindahtanganan barang
milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan
DPRD apabila: (a). Sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan
kota; (b). Harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah
disediakan dalam dokumen penganggaran; (c). Diperuntukkan bagi pegawai
negeri; (d). Diperuntukkan bagi kepentingan umum; (e). Dikuasai Negara
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status
kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.28
Bentuk-bentuk pemindahtanganan meliputi:
(a). Penjualan;
Penjualan barang milik daerah dilakukan secara lelang melalui Kantor Lelang
Negara setempat, atau melalui Panitia Pelelangan Terbatas untuk barang milik
daerah yang bersifat khusus yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Daerah, dan
hasil penjualan/pelelangan tersebut disetor sepenuhnya ke Kas Daerah. 29
27
www.bangka.kab.go.id/dppka di akses pada tanggal 5 Januari 2016 28
Pasal 58 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 29
Lampiran XII Bagian Pemindahtanganan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17
Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
Fungsi tanah yang dalam penguasaan Pemerintah Daerah harus benar-
benar dipergunakan secara tertib dan harus diamankan. Untuk menghindari
pertentangan dalam masyarakat, maka pelepasan hak atas tanah dan/atau
bangunan harus jelas luas tanah, lokasi dan nilainya. Tanah yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah adalah tanah Negara yang telah diserahkan kepada Pemerintah
Daerah dalam bentuk Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan, atau tanah berasal dari
tanah rakyat yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Daerah dengan memberikan
ganti rugi ataupun tanah lain yang dikuasainya berdasarkan transaksi lain
(sumbangan, hibah), sesuai dengan prosedur dan persyaratan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan. Tanah dengan Hak Pakai atau Hak Pengelolaan
dimaksud, diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yakni
instansi Badan Pertanahan Negara. Berdasarkan Keputusan pemberian Hak Pakai
atau Hak Pengelolaan tersebut, kepada instansi Badan Pertanahan Negara
setempat perlu dimintakan sertifikat Hak Pakai atau Hak Pengelolaan atas nama
Pemerintah Daerah.
(b). Tukar Menukar;
Pelepasan hak atas tanah dan bangunan Pemerintah Daerah selain dengan
cara pembayaran ganti rugi (dijual), juga dapat dilakukan dengan cara tukar
menukar (ruilslagh/tukar guling).
Pengertian ruilslag adalah penukaran lahan. Di sini terjadi suatu tanah
yang dipergunakan atau dipakai dan hak dari pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah untuk ditukar tanahnya dengan tanah lainnya. Prinsip utama
dari penukaran lahan tersebut adalah bahwa pemerintah memandang
lahan/bangunan tersebut sudah tidak pada tempatnya ataupun kawasannya sudah
tidak cocok lagi ataupun tempatnya sudah terlalu sempit sekali sehingga tidak
dapat mengembangkan kantor tersebut.
Pasal 1541 BW telah memperjelas yang dimaksudkan dengan penukaran
yaitu: “Penukaran adalah suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri
saling menyerahkan suatu benda timbal balik”.30
Penukaran adalah suatu nudum
pactum (perjanjian terbuka), bahwa pertama karena pelaksana dari pada salah satu
pihak juga suatu contractus innominatus (kontrak khusus) dan bukanlah suatu
contractus connsensualis (perjanjian persesuaian) tetapi suatu contractus realis
(perjanjian sesungguhnya), sehingga seseorang yang telah setuju untuk saling
menukar, sehingga kalau salah satu pihak wanprestasi, maka pihak lainnya dapat
meminta kembali benda yang sudah diserahkannya tersebut.
Sehingga disinilah perbedaannya dengan jual beli, artinya dalam jual beli
pihak kreditur dapat memaksa pihak debiturnya agar menyerahkan prestasi yang
diharuskan pada pihak debiturnya. Dalam tukar menukar maka, jika tidak
terlaksana penyerahan benda yang diperjanjikan dipertukarkan, maka pihak yang
sudah terlajur menyerahkan barangnya dapat meminta kembali tanah/bangunan
yang sudah diserahkannya tersebut.
Tentunya ketentuan penukaran tanah disini sama saja artinya kalau pihak
yang menyerahkan tanahnya untuk ditukar maka pihak lainnya yang akan
menerima penukaran tersebut jika tidak terjadi ganti tanah yang diperjanjikan dan
syarat-syarat tambahannya, maka pihak pemerintah dapat meminta kembali
30
Pasal 1541 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
tanah/bangunannya atau sebaliknya jika debitur tidak dapat menerima bangunan
dan tanah yang sudah diperjanjikan akan ditukar tersebut dapat memaksa
pemerintah untuk menyerahkan tanah dan bangunan yang sudah dipersiapkannya
untuk pengganti dari lahan pemerintah tersebut. Kalaupun ada disyaratkan suatu
tambahan sejumlah uang tidak berarti bahwa perjanjian tukar menukar ini berubah
menjadi perjanjian jual beli. Perjanjian demikian tetap sah dan tetap dikuasai oleh
ketentuan dari perjanjian tukar menukar.
Adapun tujuan dari pada dilaksanakan pemindahtanganan barang milik
daerah berupa tanah dengan cara tukar menukar adalah:31
a. Untuk meningkatkan tertib administrasi pelaksanaan pelepasan hak atas tanah
dan/atau bangunan dengan cara ganti rugi atau dengan cara tukar menukar
(ruilslag/tukar guling) dalam rangka pengamanan barang milik daerah;
b. Mencegah terjadinya kerugian daerah; dan
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah untuk kepentingan
daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Subjek pelepasan (ganti rugi atau tukar menukar/ruilslag/tukar guling)
adalah pelepasan hak dengan cara ganti rugi atau tukar menukar (ruilslag/tukar
guling) dapat dilakukan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, antar
Pemerintah Daerah, antara Pemerintah Daerah dengan Swasta, BUMN/BUMD,
Koperasi, pegawai/ perorangan, atau Badan Hukum lainnya. Alasan pelepasan hak
(cara ganti rugi atau cara tukar menukar/ruilslag/tukar guling) antara lain:32
a. Terkena planologi;
31
Lampiran Bagian XII Pemindahtanganan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17
Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 32
Ibid.
b. Belum dimanfaatkan secara optimal (idle);
c. Menyatukan barang/aset yang lokasinya terpencar untuk memudahkan
koordinasi dan dalam rangka efisiensi;
d. Memenuhi kebutuhan operasional Pemerintah Daerah sebagai akibat
pengembangan organisasi; dan
e. Pertimbangan khusus dalam rangka pelaksanaan rencana strategis Hankam.
Pelepasan dengan alasan tersebut di atas dilaksanakan karena dana untuk
keperluan memenuhi kebutuhan Pemerintah Daerah tidak tersedia dalam
APBD.
(c). Hibah;
Pertimbangan pelaksanaan hibah barang milik daerah dilaksanakan untuk
kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan,
sebagai berikut: a). Hibah untuk kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan
misalnya untuk kepentingan tempat ibadah, pendidikan, kesehatan dan sejenisnya;
dan b). Hibah untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan yaitu hibah antar
tingkat Pemerintahan (Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan antar
Pemerintah Daerah). Barang milik daerah yang dapat dihibahkan harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a) Bukan merupakan barang rahasia negara/daerah;
b) Bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak;
c) Tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.
Kepala Daerah menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan
yang akan dihibahkan sesuai batas kewenangannya. Hibah barang milik daerah
berupa tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola yang
sejak awal pengadaaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum
dalam dokumen penganggaran, dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
Kepala Daerah. Hibah barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan
dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan oleh pengelola.
Hibah barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dengan nilai sampai
dengan Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dilaksananakan oleh Kepala
Daerah tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(d). Penyertaan modal.
Penyertaan modal pemerintah daerah atas barang milik daerah dilakukan
dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja Badan Usaha
Milik Daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah dan
swasta. Pertimbangan penyertaan modal daerah dilaksanakan atas barang milik
daerah yang sejak awal pengadaaannya direncanakan untuk penyertaan modal dan
barang milik daerah akan lebih optimal apabila dilakukan melalui penyertaan
modal.33
Penyertaan modal Pemerintah Daerah dilaksanakan terhadap tanah
dan/atau bangunan yang telah diserahkan oleh pengguna kepada Kepala Daerah
atau terhadap tanah dan/atau bangunan yang sejak awal direncanakan untuk
penyertaan modal. Penyertaan modal pemerintah daerah dapat juga dilakukan
terhadap barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan. Kepala Daerah
33
http:www.sie-infokum/ditama-binbangkum di akses pada tanggal 5 Januari 2016