bab ii tinjauan teoritis 2.1.kesetaraan...

17
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1.Kesetaraan Gender Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan. Menurut Sudirja (2007), terdapat lima tingkat kesetaraan perempuan agar perempuan terlibat dalam proses pembangunan, yaitu : 1. Kesejahteraan; perempuan lebih dianggap sebagai penerima pasif kesejahteraan. Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat kesejahteraan yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan dengan indikator keadaan gizi, angka kematian dan lain sebagainya. Pemberdayaan perempuan tidak terjadi secara murni pada tingkat kesejahteraan ini karena tindakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat mensyaratkan akses perempuan atas sumber daya harus meningkat dan ini berarti perempuan maju ke tahap berikutnya. 2. Akses; tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam masyarakat, seperti tanah, kredit, lapangan kerja dan pelayanan. Mengatasi kesenjangan gender berarti akan meningkatkan akses perempuan sehingga setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti perempuan disadarkan akan situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan mendorong untuk berjuang mendapatkan haknya, termasuk memperoleh akses yang setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah tangga komunitas dan masyarakat. 3. Kesadaran Kritis; tingkat kesadaran ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa masalah-masalah mereka tidak bersal dari ketidakmampuan pribadi mereka, melainkan karena ditundukan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi di dalam diri perempuan. Kesadaran ini akan membangkitkan kemampuan perempuan untuk menganalisis masyarakat secara kritis dan mengenai semua hal yang dianggap perlu “normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tidak bisa diubah jika menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ini

Upload: letram

Post on 19-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1.Kesetaraan Gender

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan

perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi

hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan. Menurut Sudirja (2007),

terdapat lima tingkat kesetaraan perempuan agar perempuan terlibat dalam proses pembangunan,

yaitu :

1. Kesejahteraan; perempuan lebih dianggap sebagai penerima pasif kesejahteraan.

Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat kesejahteraan yang berbeda

diantara laki-laki dan perempuan dengan indikator keadaan gizi, angka kematian dan lain

sebagainya. Pemberdayaan perempuan tidak terjadi secara murni pada tingkat

kesejahteraan ini karena tindakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat

mensyaratkan akses perempuan atas sumber daya harus meningkat dan ini berarti

perempuan maju ke tahap berikutnya.

2. Akses; tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan akses

atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam masyarakat, seperti tanah, kredit,

lapangan kerja dan pelayanan. Mengatasi kesenjangan gender berarti akan meningkatkan

akses perempuan sehingga setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti perempuan

disadarkan akan situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan

mendorong untuk berjuang mendapatkan haknya, termasuk memperoleh akses yang

setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah tangga komunitas

dan masyarakat.

3. Kesadaran Kritis; tingkat kesadaran ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa

masalah-masalah mereka tidak bersal dari ketidakmampuan pribadi mereka, melainkan

karena ditundukan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi di dalam diri

perempuan. Kesadaran ini akan membangkitkan kemampuan perempuan untuk

menganalisis masyarakat secara kritis dan mengenai semua hal yang dianggap perlu

“normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tidak bisa diubah jika

menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ini

merupakan elemen ideologis yang sangat penting dalam proses pemberdayaan, yang

menyediakan basis konseptual untuk penggalangan kekuatan menuju keadilan dan

kesetaraan perempuan.

4. Partisipasi; konsep partisipasi disini diartikan bahwa perempuan setara terhadap laki-laki

untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Kesetaraan dalam tingkat ini

diartikan sebagai partisipasi setara perempuan dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam sebuah proyek pembangunan, partisipasi dapat berarti bahwa perempuan-

perempuan diwakili oleh perempuan dalam proses penilaian kebutuhan, identifikasi

masalah, perencanaan proyek, manajemen, penerapan dan evaluasi. “Kesetaraan dalam

partisipasi” juga berarti melibatkan perempuan dari komunitas dampingan dalam proses

pengambilan keputusan dikomunitasnya. Kesetaraan dalam partisipasi ini tidak mudah

diperoleh. Mobilisasi perempuan yang meningkat akan menghasilkan meningkatnya

jumlah perempuan yang duduk dalam institusi-institusi yang berhak mengambil

keputusan. Meningkatnya jumlah perempuan dalam posisi-posisi penting dalam

komunitasnya merupakan hasil pemberdayaan sekaligus menjadi sumbangan potensial

bagi peningkatan upaya pemberdayaan perempuan.

5. Kontrol; partisipasi perempuan yang meningkat pada proses pengambilan keputusan akan

berdampak pada akses dan distribusi keuntungan yang adil bagi perempuan jika

partisipasi tersebut diikuti dengan kontrol yang meningkat pula atas faktor-faktor

produksi. Kesetaraan dalam hal kontrol berarti sebuah keseimbangan kekuasaan antara

perempuan dan laki-laki, dimana tidak ada satu pihak pun berada di bawah dominasi

yang lainnya. Ini berarti perempuan mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki

untuk mempengaruhi masa depan mereka dan masa depan masyarakat mereka. Hanya

dengan memiliki kontrol inilah perempuan dapat meningkatkan aksesnya terhadap

sumberdaya dan karenannya akan mensejahterakan diri dan anak-anaknya. Kesetaraan

dalam partisipasi dan kontrol merupakan persyaratan yang diperlukan jika kita mau

membuat kemajuan pada kesetaraan gender dalam hal kesejahteraan.

2.2.Konsep Pemberdayaan Perempuan

Hasil temuan secara umum bahwa konsep pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan

dipahami berbeda oleh aparat pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah tempat penelitian.

Pemahaman mereka tentang pemberdayaan dan pemberdayaan perempuan ternyata berbeda

dengan ‘empowerment’ yang selama ini dianggap sebanding dengan istilah ‘pemberdayaan’.

Bedanya adalah pemahaman terhadap istilah ‘pemberdayaan’ pada umumnya tidak dikaitkan

dengan unsur ‘kekuasaan’ atau fenomena adanya ‘relasi kekuasaan yang timpang antara

perempuan dan lak-laki’, tetapi dipahami sebagai sebuah upaya meningkatnya akses perempuan

terhadap berbagai sumberdaya (ekonomi, politik, social, budaya) dan meningkatnya kemampuan

perempuan di berbagai bidang (pendidikan, keterampilan). Sedangkan empowerment dari kata

empower artinya memberkuasa, atau makna yang dipahami adalah peningkatan kapasitas untuk

membuat keputusan mandiri yang mengubah hubungan kekuasaan-kekuasaan yang tidak

dikehendaki (Pranarka dan Moeljarto, 1996: 44-45).

Sekalipun demikian, pemberdayaan “yang berbasis” kesetaraan gender baru “terasa” pasca

reformasi 1998. Karena itu, tahun 1999 masa pemerintah reformasi isu ketidakadilan dan

ketidaksetaraan gender dipahami sebagai salah satu hambatan proses pembangunan dan istilah

‘pemberdayaan perempuan’ muncul. Namun kenyataan adanya fakta ketidakadilan dan

ketidaksetaraan gender sepertinya dipahami setengah hati, artinya analisis pemerintah terhadap

keadaan tersebut adalah dikarenakan rendahnya kapasitas perempuan, seperti yang selalu

disampaikan oleh aparat pemerintah dalam setiap kesempatan wawancara. Mereka belum

melihat dan mengakui (atau mungkin enggan melihat dan enggan mengakui) ada satu hal lain

yang cukup penting yaitu kenyataan adanya relasi kekuasan yang timpang antara perempuan dan

lak-laki di segala bidang. Pemahaman ‘setengah hati’ tersebut tentu berdampak pada

implementasi kebijakan atau program-program pemberdayaan perempuan di tingkat yang paling

rendah yaitu di komunitas tingkat desa.

Di sisi lain, menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007: 2-6), pemberdayaan

(empowerment) merupakan suatu “proses menjadi”, bukan suatu “proses instan”. Sebagai

“proses", pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.

Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Tahap pertama, adalah penyadaran. Pada

tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian

penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu. Tahap kedua, adalah

pengkapasitasan. Inilah yang disebut “capacity building”, atau dalam bahasa yang lebih

sederhana memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya atau kuasa, yang bersangkutan

harus mampu terlebih dulu. Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu: (1)

Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia baik dalam konteks individu

maupun kelompok. (2) Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi

organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut, organisasi, dan sistem nilai. (3)

Pengkapasitasan sistim nilai. Setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan, sistem nilainya pun

demikian. Sistem nilai adalah “aturan main”. Tahap ketiga, adalah pemberian daya itu sendiri

atau pemberdayaan (empowerment) dalam makna sempit. Pada tahap ini kepada target diberikan

daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang

telah dimiliki.

2.2.1. Peran Serta Perempuan Terbatas

Program pemberdayaan perempuan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak didasarkan pada

kebutuhan perempuan yang sesungguhnya, pengalaman mengikuti pertemuan Musyawarah

Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) oleh peneliti dan narasumber membuktikan hal

itu. Musrenbangdes sebagai satu-satunya forum pemerintah di tingkat terendah yang menetapkan

kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat sebagai bahan awal pemerintah di tingkat

Nasional (Bappenas) merancang pembangunan sulit diakses oleh perempuan. Hampir setiap

tahun ketika rapat ini diselenggarakan tidak pernah ada kelompok perempuan yang diundang

hadir, aparat desa biasanya mengundang kepala keluarga yang sudah tentu para suami atau lak-

laki. Jika pun ada perempuan, bisanya diwakili oleh pengurus PKK, dan tidak ada persiapan

khusus untuk itu, sehingga keberadaan perempuan disitu hanya sebagai pelengkap ‘asal ada

perempuan’ (PTO PNPM, 2008).

2.2.2. Keterbatasan Dalam Pengembangan Potensi Diri

Program pemberdayaan perempuan pada umumnya hanya terfokus pada akses perempuan

terhadap sumberdaya tertentu dan peningkatan kapasitas perempuan terhadap keterampilan

tertentu. Untuk program pemberdayaan perempuan terkait dengan peningkatan keterampilan

misalnya, keterampilan yang biasanya dikhususkan bagi perempuan adalah keterampilan yang

berhubungan dengan peran perempuan dalam keluarga atau peran domestic dengan maksud

supaya perempuan memiliki keterampilan yang lebih baik dalam bidang pengasuhan keluarga,

bukan dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi perempuan sebagai

individu supaya mandiri dan dapat membuat keputusan mandiri yang mengubah relasi kekuasaan

yang timpang baik yang terjadi dalam lingkup rumah tangga maupun dalam lingkup masyarakat

sekitar (Asry, 2011).

2.2.3. Ketimpangan Gender

Terkait dengan akses misalnya, menurut catatan kami masih ada program-program

pemberdayaan masyarakat yang sulit diakses oleh perempuan, seperti yang terjadi di desa

Winumuru kecamatan Paberiwai kabupaten Sumba Timur, untuk program peningkatan ekonomi

berupa pinjaman uang secara bergulir kecenderungannya hanya diperuntukkan untuk para kepala

keluarga yang notabene laki-laki. Hal ini senada dengan yang dikatakan Moeljarto (1996:135)

bahwa pemberdayaan juga merupakan proses pematahan (breakdown) dari hubungan atau relasi

antara subjek dan objek, termasuk dikotomi laki-laki-perempuan. Proses ini mementingkan

adanya pengakuan subjek akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki objek. Secara garis

besar proses ini mengutamakan mengalirnya daya (flow of power) dari subjek ke objek. Atau

dengan kata lain dari “mengalirnya daya dari laki-laki ke perempuan”. Dalam hal ini perempuan

menjadi objek pemberdayaan.

2.2.4. Prioritas Program Simpan Pinjam Perempuan(SPP) Tidak Merata

Untuk program pemberdayaan perempuan yang dikhususkan bagi perempuan, pada

kenyataannya tidak semua perempuan dapat mengakses program tersebut. Kecenderungan yang

terjadi adalah perempuan dari golongan tertentu saja yang dapat menikmati. Kelompok Simpan

Pinjam Perempuan(SPP) sebagai satu-satunya kelompok perempuan di desa yang dianggap

memiliki kepengurusan jelas dari mulai tingkat desa adalah satu-satunya organisasi perempuan

yang selalu dipercaya untuk mengelola program ini. Namun, pada kenyataannya tidak semua

perempuan di desa menjadi pengurus, anggota atau Kelompok Simpan Pinjam Perempuan(SPP),

seperti yang diungkapkan oleh narasumber bahwa program pemberdayaan perempuan yang

masuk ke desa biasanya hanya dapat dinikmati oleh perempuan tertentu, yang diistilahkan oleh

mereka ‘perempuan yang dekat dengan pemerintahan desa’.

Perempuan lain yang ‘tidak dekat dengan pemerintahan desa’ atau diistilahkan oleh mereka

‘perempuan biasa’ sudah hampir dapat dipastikan tidak dapat atau jarang menikmati program-

program tersebut. Informasi lain yang kami temukan terkait dengan fenomena ini adalah

dikarenakan sulitnya ‘perempuan biasa’ diajak untuk terlibat dalam program pemberdayaan

perempuan. Meskipun demikian seharusnya ada tindakan khusus oleh pemerintah untuk

mendorong kelompok perempuan seperti ini dapat mengakses dan menikmati program

pemberdayaan perempuan atau ada tindakan afirmasi (affirmative action) bagi kelompok

perempuan yang dianggap sulit diajak terlibat ini. Namun kenyataannya baik pemerintah desa

maupun kabupaten jarang atau tidak pernah melakukan tindakan khusus semacam ini, terkesan

kepentingan mereka hanya program pemberdayaan perempuan ini selesai dilaksanakan dan ada

laporan pelaksanaan kegiatan yang dianggap sebagai alat pertanggungjawaban penggunaan

keuangan Negara, tanpa harus susah-susah melalui proses afirmasi (affirmative action) bagi

perempuan tertentu (Asry, 2011).

2.3.Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan

2.3.1. Konsep Perempuan dan Pembangunan dalam Perspektif Gender

Langkah pertama yang perlu dipahami dalam membahas peran perempuan dalam

pembangunan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Hal ini

sangat esensial dalam menganalisis persoalan‐persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa

perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan jender (gender differences) dan ketidakadilan

gender (gender inequalities) dalam struktur masyarakat.

Dalam implementasinya, terjadi kerancuan dalam memahami jender dan seks. Hal ini terjadi

karena sifat, peran, kedudukan yang ada pada jenis kelamin tertentu terjadi akibat proses sosial

yang panjang, sehingga sering dianggap sebagai kodrat yang tidak dapat dipertukarkan dari

laki‐laki ke perempuan, atau sebaliknya. Misalnya, mendidik dan merawat anak, menjaga

kebersihan rumah, dan memasak seolah‐olah menjadi kodrat perempuan. Sedangkan laki‐laki

harus kuat secara fisik agar bisa melakukan pekerjaan‐pekerjaan kasar dan dianggap lebih kuat

dari perempuan. Padahal kegiatan‐kegiatan tersebut juga dapat dipertukarkan (Hunga, 2013).

Perbedaan‐perbedaan gender ini tidak menjadi masalah selama tidak merugikan salah satu

pihak. Akan tetapi seringkali perbedaan ini menimbulkan ketidakadilan gender, seperti:

marginalisasi, subordinasi, steriotipe dan kekerasan, serta bias gender dalam program

pembangunan.

2.3.2. Aspek Legal Perempuan dalam Pembangunan

Secara normatif, Undang‐Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa setiap warga

negara (laki‐laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan

pembangunan.

Sudirja (2007:4-5) mengemukakan bahwa secara normatif, Undang‐Undang Dasar 1945

sudah memberi penegasan bahwa setiap warga negara (laki‐laki dan perempuan) memiliki hak

dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan. Peran dan kedudukan perempuan dalam

pembangunan mulai mendapat perhatian “serius” dari pemerintah dengan dimasukkannya isu

perempuan dalam Garis‐garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya

lembaga Menteri Peranan Wanita pada tahun yang sama (yang berubah menjadi Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, dimana sebagai mitra sejajar pria, perempuan

dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu ditingkatkan dan

diarahkan secara bersungguh‐sungguh melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan,

agar:

a. Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun

masyarakat;

b. Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal mungkin;

c. Perempuan dapat berfungsi sebagai mitra sejajar pria di semua bidang dan proses

pembangunan, utamanya berpartisipasi di bidang‐bidang non tradisional (misalnya

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan

keamanan).

2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra sejajar pria

perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku, dan pandangan masyarakat terhadap

perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan keluarga dan rumah tangga.

3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik.

Secara formal kesetaraan antara perempuan dan laki‐laki mendapat pengesahan dengan

diterbitkannya:

a. Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan.”

b. Keputusan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Nomor

02/Kep/MENUPW/IV/1991 tentang “Pengesahan Pedoman Pelaksanaan

Penanganan Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa di Pusat

dan Daerah.”

c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 1995 tentang “Peningkatan

Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah”.

d. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 1996 tentang “Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam

Pembangunan di Daerah”.

2.3.3. Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi Keluarga

Keadaan suatu masyarakat sebagian besar ditentukan orang-orang yang ada dalam

masyarakat itu. Mengingat keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil, maka keluarga

berperan penting dalam menentukan keadaan masyarakat. Keluarga sejahtera memberikan

pengaruh positif terhadap anggota-anggotanya, dan menjadi wadah pembentukan kader penerus

yang baik, inilah harapan setiap anggota keluarga. Dalam hal ini suami bertanggung jawab dalam

memenuhi kebutuhan keluarga. Selain suami yang notabene sebagai kepala rumah tangga, isteri

juga merupakan salah satu unsur penting dan berperan dalam menjalankan kehidupan rumah

tangga, baik sebagai ibu rumah tangga maupun pencari nafkah bagi keluarga.

Partisipasi perempuan dalam peningkatan sosial ekonomi keluarga tidak kalah penting

dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan mampu melakukan banyak hal baik bersifat

reproduksi yang tidak menghasilkan materi maupun bekerja mencari nafkah yang langsung

menghasilkan (income earning work) guna kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan rumah

tangga. Perempuan atau isteri terlibat dalam pekerjaan adalah didorong oleh pendapatan suami

yang rendah, sehingga mereka bekerja sebagai petani, pedagang kecil, pembantu rumah tangga,

buruh, karyawan dan lain sebagainya. Jadi, perempuan turut berpartisipasi mencari penghasilan

dengan merubah perannya dari sektor domestik ke sektor publik1, disebabkan oleh dua hal

utama, yakni: tekanan ekonomi keluarga, dan keinginan untuk meningkatkan harga diri,

1Munandar1989(dalamhttp://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/26249/4/ Chapter% 20II. pdf)

persamaan hak yang biasanya terdapat pada perempuan berpendidikan dan perempuan perkotaan

(Hunga, 2012).

Motivasi tekanan sosial ekonomi suami yang rendah seperti yang telah disinggung

sebelumnya, merupakan kekurangmampuan yang disebabkan banyak faktor. Akan tetapi secara

umum dapat dijelaskan, faktor yang mempengaruhi adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,

profesionalisme, pengalaman kerja yang pada dasarnya menentukan besar kecilnya penghasilan

suami2.

Selain itu, Munandar (1998) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi

isteri dalam membangun ekonomi keluarga, yakni: pendidikan, sosio-kultural, sosio-psikologis,

sosio-phisik dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut dikatakannya sebagai yang memotivasi

perempuan untuk bekerja di luar rumah tangga, yakni3: a). Untuk menambah penghasilan

keluarga; b). Untuk ekonomi, tidak tergantung kepada suami; c). Untuk menghindari rasa

kebosanan dan mengisi waktu kosong; d). Karena ketidakpuasan dalam perkawinan; e). Karena

mempunyai minat dan keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan; f). Untuk memperoleh status;

dan g). Untuk mengembangkan diri.

Jadi jelaslah bahwa partisipasi perempuan pada sektor publik selain menguntungkan secara

ekonomi, perempuan juga mendapat pengalaman yang berguna untuk membina rumah tangga.

Dengan demikian kedudukan dan peranan perempuan dalam keluarga, masyarakat semakin

nyata.

Mely G. Tan (2011) menekankan bahwa pemberdayaan adalah juga sebagai sebuah proses

menantang hubungan kekuasaan yang ada dan memperoleh penguasaan yang lebih besar atas

sumber-sumber kekuasaan. Pemberdayaan terwujud sebagai re-distribusi (pembagian kembali)

kekuasaan, apakah antar negara, klas, kasta, etnis, gender dan individu. Seiring dengan

pemahaman tersebut maka tujuan pemberdayaan perempuan sekurang-kurangnya adalah:

a. Untuk menantang ideologi patriarkhi, yaitu dominasi laki-laki atas perempuan;

b. Mengubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender

dan ketidaksamaan social (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses dan pranata

pendidikan, media, proses politik, model-model pembangunan, dan pranata pemerintah)

2 Sajogyo 1985 (dalam http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/26249/4/ Chapter% 20II. pdf)3Munandar1989(dalam http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/26249/4/ Chapter% 20II. pdf)

c. Memberi kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses kepada dan

penguasaan terhadap sumber-sumber material maupun informasi.

Sebagai contoh yang juga merupakan temuan penelitian dikaitkan dengan pandangan ini

tentang konsep pemberdayaan, memberi kemampuan ekonomis tidak dengan sendirinya

meningkatkan posisi sosial perempuan. Kenyataan empiris memperlihatkan bahwa perempuan

yang mapan dari segi pendidikan dan mempunyai pekerjaan dengan upah yang baik masih tetap

bias mengalami perlakuan pelecehan, bahkan penganiayaan oleh suami. Oleh karena itu yang

perlu diperjuangkan adalah memperbaiki keadaan maupun posisi kaum perempuan itu sendiri

bukan hanya memperbaiki kapasitas.

2.4.Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan

Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat

dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan

antar wilayah. Persoalan pengangguran lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang

kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Upaya untuk menanggulanginya harus menggunakan

pendekatan multi disiplin yang berdimensi pemberdayaan. Pemberdayaan yang tepat harus

memadukan aspek-aspek penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan. Mulai tahun

2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta

PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program

untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan

PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan

(PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan

lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan,

serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. Lebih jelas dapat dilihat

pada gambar di bawah ini:

Bagan Alur Tahapan PNPM Mandiri Perdesaan

Sumber: PTO PNPM, 2008

2.4.1. Visi dan Misi PNPM Mandiri Perdesaan

Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian

masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.

Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di

lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber

daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan

kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi

dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial

dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.

Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang

dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai

kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan

kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan,

maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai

pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat

menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah

tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).

2.4.2. Tujuan PNPM Mandiri Pedesaan

Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan

kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam

pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

Tujuan khususnya meliputi:

a. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau

kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan,

pemantauan dan pelestarian pembangunan.

b. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber

daya local.

c. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan

pembangunan partisipatif.

d. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh

masyarakat.

e. Melembagakan pengelolaan dana bergulir.

f. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD).

g. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan

kemiskinan perdesaan

2.4.3. Keluaran Program

Keluaran program PNPM Mandiri perdesaan diupayakan dalam konteks pencapaian

pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang melingkupi:

a. Terjadinya peningkatan keterlibatan Rumah tangga miskin (RTM) dan kelompok

perempuan mulai perencanaan sampai dengan pelestarian.

b. Terlembaganya sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa.

c. Terjadinya peningkatan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi

pembangunan partisipatif.

d. Berfungsi dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan bagi

masyarakat.

e. Terlembaganya pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan social

dasar dan ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM.

f. Terbentuk dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan.

g. Terjadinya peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan

dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan

2.4.4. Prinsip Dasar PNPM Mandiri Perdesaan

Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM Mandiri Perdesaan mempunyai prinsip atau nilai-

nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan

maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM Mandiri

Perdesaan. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan PNPM

Mandiri Perdesaan. Prinsip-prinsip itu meliputi:

a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Pengertian prinsip bertumpu pada

pembangunan manusia adalah masyarakat hendaknya memilih kegiatan yang

berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada

pembangunan fisik semata.

b. Otonomi. Pengertian prinsip otonomi adalah masyarakat memiliki hak dan

kewenangan mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa

intervensi negatif dari luar

c. Desentralisasi. Pengertian prinsip desentralisasi adalah memberikan ruang

yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan

sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah pusat dan

pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat.

d. Berorientasi pada masyarakat miskin. Pengertian prinsip berorientasi pada

masyarakat miskin adalah segala keputusan yang diambil berpihak kepada

masyarakat miskin.

e. Partisipasi. Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara

aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari

tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan

memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill.

f. Kesetaraan dan keadilan gender. Pengertian prinsip kesetaraan dan keadilan

gender adalah masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai

kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan program dan dalam menikmati

manfaat kegiatan pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran

kedudukan pada saat situasi konflik.

g. Demokratis. Pengertian prinsip demokratis adalah masyarakat mengambil

keputusan pembangunan secara musyawarah dan mufakat

h. Transparansi dan Akuntabel. Pengertian prinsip transparansi dan akuntabel

adalah masyarakat memiliki akses terhadap segala informasi dan proses

pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan

secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis,

legal, maupun administratif

i. Prioritas. Pengertian prinsip prioritas adalah masyarakat memilih kegiatan

yang diutamakan dengan mempertimbangkan kemendesakan dan kemanfaatan

untuk pengentasan kemiskinan.

j. Keberlanjutan. Pengertian prinsip keberlanjutan adalah bahwa dalam setiap

pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus

telah mempertimbangkan sistem pelestariannya.

2.4.5. Sasaran PNPM Mandiri Perdesaan

Sasaran PNPM Mandiri Perdesaan diperuntukan bagi dua hal, yakni lokasi sasaran dan

kelompok sasaran. Tahun 2009, lokasi sasaran PNPM Mandiri Perdesaan meliputi seluruh

kecamatan dan perdesaan di Indonesia yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.

Untuk tahun 2008, ketentuan pemilihan lokasi sasaran berdasarkan ketentuan: a). Kecamatan-

kecamatan yang tidak termasuk kategori “kecamatan bermasalah dalam PPK,”, dan b).

Kecamatan-kecamatan yang diusulkan oleh pemerintahan daerah dalam skema kontribusi

pendanaan. Sedangkan kelompok sasaran, meliputi: a). Rumah Tangga Miskin (RTM) di

perdesaan; b). Kelembagaan masyarakat di perdesaan; dan c). Kelembagaan pemerintahan lokal.

2.4.6. Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan

Pelaku-pelaku yang berkedudukan dan berperan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri

Perdesaan pada tingkat desa, sesuai dengan (PTO PNPM, 2008) meliputi:

a. Kepala Desa (Kades)

Peran Kepala Desa adalah sebagai pembina dan pengendali kelancaran serta keberhasilan

pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di desa.

Bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa menyusun peraturan desa yang

relevan dan mendukung terjadinya proses pelembagaan prinsip dan prosedur PNPM Mandiri

Perdesaan sebagai pola pembangunan partisipatif, serta pengembangan dan pelestarian aset

PNPM Mandiri Perdesaan yang telah ada di desa. Kepala Desa juga berperan mewakili desanya

dalam pembentukan forum musyawarah atau badan kerja sama antar desa.

b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD atau sebutan lainnya)

Dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri

Perdesaan, BPD (atau sebutan lainnya) berperan sebagai lembaga yang mengawasi proses dari

setiap tahapan PNPM Mandiri Perdesaan, termasuk sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan

pelestarian di desa. Selain itu juga berperan dalam melegalisasi atau mengesahkan peraturan desa

yang berkaitan dengan pelembagaan dan pelestarian PNPM Mandiri Perdesaan di desa. BPD

juga bertugas mewakili masyarakat bersama Kepala Desa dalam membuat persetujuan

pembentukan badan kerja sama antar desa.

c. Tim Pengelola Kegiatan (TPK)

Tim Pengelola Kegiatan (TPK) terdiri dari anggota masyarakat yang dipilih melalui

musyawarah desa yang mempunyai fungsi dan peran untuk mengkoordinasikan pelaksanaan

kegiatan di desa dan mengelola administrasi, serta keuangan PNPM Mandiri Perdesaan. TPK

sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Bendahara, dan Sekretaris.

d. Kelompok Masyarakat (Pokmas)

Kelompok Masyarakat (Pokmas) adalah kelompok masyarakat yang terlibat dan mendukung

kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan, baik kelompok sosial, kelompok ekonomi maupun

kelompok perempuan. Termasuk sebagai kelompok masyarakat misalnya kelompok arisan,

pengajian, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP),

kelompok usaha ekonomi, kelompok pengelola air, kelompok pengelola pasar desa.

2.5.Kerangka Pikir Penelitian

Sejauh ini telah banyak program pemerintah yang dikeluarkan untuk menangani masalah

kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan

merupakan program pemerintah yang hadir di tengah-tengah masyarakat perdesaan dengan

ekonomi lemah. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan

dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam

pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Salah satu dari program PNPM Mandiri

perdesaan tersebut adalah Simpan Pinjam Perempuan (SPP).

Kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) ini mendorong anggota untuk aktif

terlibat pada setiap tahapan kegiatan. Tingkat partisipasi dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu:

(1) Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan (perencanaan); (2) Partisipasi dalam tahap

pelaksanaan; dan (3) Partisipasi pada menikmati hasil kegiatan; dan (4) Partisipasi dalam tahap

evaluasi. Partisipasi perempuan diduga berhubungan dengan faktor internal dan eksternal. Faktor

internal dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Umur anggota; (2) Pekerjaan; (3) Tingkat

pendapatan; dan (4) Tingkat pendidikan; sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh peran

Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Pengelola Kegiatan (TPK), Kepala Desa,

dan Badan Permusyawarahan Desa (BPD). Kedua faktor ini diduga berkontribusi pada tingkat

partisipasi perempuan dan representasi sosial dalam program SPP-PNPM.

Karena itu, kerangka pikir penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Bagan Kerangka Pikir Penelitian

PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Winumuru

Partisipasi Perempuan pada Program PNPM Mandiri

Perdesaan

Partisipasi Perempuan

Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan

(SPP)

Usaha:Membuka kios

Jualan, beternak dll

PerencanaanPelaksanaanPemanfaatan

Faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan

perempuan

LainnyaPendidikann

EkonomiBudaya