bab ii tinjauan teori - podomoro university
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
Untuk dapat memformulasikan sebuah kriteria desain yang mampu
mengedukasi kesadaran masyarakat, diperlukan tinjauan beberapa teori, mulai dari
teori non-arsitektural yang membahas tentang ketentuan batas kadar partikel polusi
udara, strategi untuk polusi udara secara teknis, teori kesadaran dari sudut pandang
psikologis, dan teori arsitektural yang membahas tentang peran dan tipologi arsitektur
dalam edukasi, arsitektur perilaku dan kesadaran, serta preseden sebagai studi kasus
yang membantu menggambarkan proses edukasi kesadaran seperti apa yang terjadi di
dalam sebuah bangunan arsitektur dengan berbagai macam tipologi. Teori-teori dan
studi preseden menjadi arahan dalam tahap penelitian untuk menentukan pertanyaan-
pertanyaan dan hal apa saja yang perlu diobservasi.
2.1. Teori Non-Arsitektural
2.1.1. Polusi Udara
Polusi udara lebih berbahaya daripada bahaya merokok. Menurut
sebuah penilitian yang dilakukan Munzel dan rekan-rekannya, estimasi
angka kematian tahun 2015 di Jerman dan Cyprus akibat polusi udara
mencapai angka 8,8 juta jiwa sedangkan rokok mencatat angka kematian
4,5 juta jiwa. (Munzel et al. 2019). Penelitian yang mereka lakukan juga
memberikan kesimpulan bahwa rokok masih dapat dihindari, sedangkan
menghirup polusi udara tidak dapat dihindari.
a. Jenis Polusi Udara
Pada dasarnya polusi udara dibagi menjadi dua macam, yaitu polusi
udara luar ruangan dan polusi udara dalam ruangan. Jenis polusi udara luar
ruangan lebih berbahaya karena salah satu kandungan polutan udaranya
mengandung zat yang bersifat karsinogenik, yaitu zat yang menyebabkan
8
banyaknya gangguan paru-paru hingga penyakit kanker. (Faisal & Susanto,
2019)
b. Komponen Polusi Udara
Komponen polusi udara terbagi menjadi dua menurut sifat fisiknya, yaitu
polusi yang bersifat gas yang beranggotakan Karbon Monoksida(CO),
Sulfur Dioksida(SO2), Nitrogen Dioksida(NO2), dan Ozon(O3) dan polutan
yang bersifat partikel yang biasa disebut particulate matter (PM). Kedua
komponen polusi udara ini sama-sama memberi dampak yang buruk bagi
tubuh, namun yang harus mendapatkan perhatian adalah polutan partikel
yang berukuran sangat kecil yaitu PM2.5 (hanya berukuran 2,5mikron) dan
PM10 (hanya berukuran 10mikron) yang sulit diserap tanaman karena
bentuknya yang padat. Selain itu di dalam PM terdapat unsur gas-gas dan
racun lainnya yang tercampur dan menjadi padat di udara. (Faisal &
Susanto, 2019)
Gambar 2.1. Lokasi PM Bersarang dalam Paru-paru Manusia. Sumber: Jurnal
Respirasi, Faisal & Susanto, 2019
9
c. Standar Perimeteter Polusi Udara
Untuk mengetahui seberapa tingginya tingkat polusi udara di suatu kota
dapat menggunakan acuan berupa Indeks Standar Pencemaran Udara
(ISPU) atau biasa disebut juga dengan AQI (Air Quality Index) yang telah
diatur dalam surat keputusan kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bapedal) KEP107/KABAPEDAL/11/1997.
Dinas Lingkungan Hidup telah mendefinisikan tingkatan-tingkatan
ISPU menjadi 5 tingkatan yaitu, baik (0-50), sedang (51-101), tidak sehat
(101-199), sangat tidak sehat (200-299), berbahaya (300-500). (Beritagar,
2019)
Setiap tingkatan ISPU atau AQI memiliki arti masing-masing dari setiap
warna yang penting untuk dipahami masyarakat (Honestdocs, 2019), yaitu
sebagai berikut:
1. Kategori 0-50 (warna hijau) berarti keadaan di mana suatu wilayah
masih memiliki kadar oksigen yang sangat tinggi dan sangat baik untuk
manusia melakukan beraktivitas di luar rumah, bahkan dianjurkan untuk
membuka ventilasi rumah untuk mengalirkan oksigen ke dalam rumah.
2. Kategori 50-100 (warna kuning) berarti terdapat kadar polutan yang
masih dapat ditoleransi dan masih aman untuk masyarakat melakukan
aktivitas di luar rumah.
3. Kategori 100-200 (warna oranye-merah) berarti lingkungan sudah
tercemar partikel polutan yang membahayakan kesehatan, dianjurkan untuk
tidak melakukan aktivitas di luar rumah.
4. Kategori 200-300 (warna ungu) berarti kondisi suatu kota sudah
memiliki tingkat polusi yang tinggi dan dianjurkan untuk mengurangi
aktivitas di udara luar dan selalu menggunakan masker.
10
5. Kategori 300-500 (warna merah tua) berarti puncak yang paling
berbahaya dari polusi udara. Masyarakat dianjurkan untuk tetap di dalam
rumah dan menutup semua jendela untuk mencegah udara kotor masuk.
Selain dalam kategori ISPU, terdapat pula standar khusus yang
membatasi PM2.5. Menurut WHO batas aman tahunan PM 2.5 ada di angka
10µg/m3 dan batas aman hariannya 25 µg/m3, sementara Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam baku mutu ambien udara
nasional melalui PP No. 41 tahun 1999 tentang pencemaran udara
menetapkan 15 µg/m3 sebagai batas aman tahunan dan 65 µg/m3 sebagai
batas aman harian. (Indopos, 2019)
d. Dampak Polusi Udara
Semua jenis polutan tersebut akan menimbulkan gangguan kesehatan
secara fisik apabila terpapar secara terus-menerus. Berbagai macam
penyakit yang timbul akibat polusi udara yang berbahaya adalah gangguan
pernapasan seperti ISPA dan asma, penyakit autoimun, penyakit tulang,
kanker paru-paru, penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung,
penyakit jantung coroner, dan stroke, iritasi mata, penyakit neurologis
seperti alzhemeir, diabetes, obesitas, endokrin, penyakit gastrointestinal
(gangguan pencernaan), penyakit hematologis, penyakit saluran
pernapasan, penyakit hati, penyakit ginjal, dan penyakit hati. (Liputan6,
2019)
Selain kerugian yang harus dialami secara fisik, polusi udara juga
mengakibatkan kerugian terhadap ekonomi negara. Direktur Komite
Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin dalam sebuah
wawancara menyatakan bahwa pada 2016, Indonesia mengalami kerugian
sebesar 51.2 triliun Rupiah untuk biaya pengobatan masyarakat yang sakit
akibat polusi udara. (Detikfinance, 2019).
11
2.1.2. Strategi Menurunkan Polusi Udara
Menurut World Health Organization (WHO) ada beberapa solusi yang
dapat meningkatkan kualitas udara di perkotaan yang padat, mulai dari
meningkatkan meningkatkan manajemen dari asap pabrik dan industry,
menggunakan sumber energi yang terbarukan dan efisien, mengurangi
pembakaran limbah pertanian dan mengatasi masalah kebakaran hutan yang
sering terjadi, membuat kota yang lebih compact dan asri dengan
meningkatkan penghijauan di kota serta bangunan-bangunan yang
menggunakan prinsip bangunan ramah lingkungan (green building),
membuat transportasi yang mudah diakses oleh public dan jalur pejalan kaki
serta sepeda yang aman dan nyaman. (WHO. 2018)
Gambar 2.2. Solusi Alternatif dari WHO untuk Meningkatkan Kualitas
Udara. Diakses dari https://www.who.int/airpollution/infographics/en/
12
Beberapa upaya yang digalakkan pemerintah DKI Jakarta yaitu salah
satunya dengan mendorong untuk mengadakan penghijauan dengan tanaman
berdaya serap polusi udara yang tinggi serta mendorong untuk mengadopsi
prinsip-prinsip bangunan ramah lingkungan (green building). Hal ini telah
diatur dalam Instruksi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 66
Tahun 2019. Solusi penghijauan dapat hadir dalam dua alternatif, yaitu urban
farming dan menggunakan algae untuk meningkatkan kualitas udara. Kedua
alternatif ini sama-sama menyerap polutan yang dikombinasikan dengan
sinar matahari untuk diubah menjadi oksigen. (Nasution, B et al., 2016)
a. Urban Farming
Berdasarkan sebuah wawancara dengan seorah ahli kesehatan
masyarakat dari University of Derby Inggris, Dono Widiatmoko
mengatakan bahwa selain hanya menanam tanaman lidah mertua,
konsep urban farming juga dapat membantu mengurangi polusi
udara sekaligus mengedukasi masyarakat dalam berkontribusi
terhadap kota. Menurut beliau, fleksibilitas konsep urban farming
sangat baik, karena dapat dilakukan di mana saja (atap bangunan,
jendela, taman, kanopi, balkon) dengan media yang membrane
permeable yang tidak akan merusak bangunan, hingga variasi
tanaman yang dapat ditanam mulai dari jenis tanaman hias, sayur-
sayuran, hingga tanaman bumbu dapur. Beliau juga menambahkan
bahwa semakin besar volume dan semakin banyak tumbuhan yang
ditanam akan semakin baik terhadap kualitas udara. (CNN, 2019)
b. Filtrasi Udara dengan Algae
Menurut Carlos Monroy, seorang ahli biologi dan entrepreneur
mengatakan bahwa ada data statistic, 75% oksigen yang manusia
hirup dari laut berasal dari algae. Kemampuan algae untuk
memecahkan senyawa jauh lebih cepat daripada pohon atau
tumbuhan. Algae juga digunakan sebagai alternatif untuk
13
mengurangi polusi udara karena organisme ini menyerap CO2 dan
partikel-partikel polutan utama untuk dikombinasikan dengan sinar
UV dalam proses fotosintesisnya untuk menghasilkan oksigen.
(CGTN, 2018). Selain sebagai alternatif mengurangi polusi udara,
algae juga mampu berkontribusi sebagai alternatif pangan, seperti
instalasi “The Algae Dome” yang dibuat oleh IKEA dan Space10.
(Deezen, 2017)
2.1.3. Teori Kesadaran Diri
a. Pengertian Kesadaran Diri
Kesadaran diri atau self awareness adalah hasil dari proses fisik dan
psikologis yang memiliki hubungan timbal balik dengan peristiwa yang
terjadi di lingkungannya yang terkait pada tujuan hidup, emosi, memori,
pikiran, dan sensasi fisik yang mengikutinya. (Solso, 2008)
b. Aspek Kesadaran Diri
Menurut Solso (2008) untuk menyederhanakan interpretasi subjektif
akan definisi kesadaran dan seseorang dapat dikatakan sadar apabila
memiliki 5 aspek yang membentuk sebuah kata AWAREness (kesadaran), 4
aspek di antaranya merupakan tipe kesadaran psikologis dan 1 aspek
arsitektur merupakan tipe kesadaran fisiologis. Kelima aspek tersebut yaitu:
Attention (Perhatian)
Proses memusatkan pikiran terhadap peristiwa eksternal
ataupun internal. Peristiwa eksternal yang dimaksud adalah
kejadian yang terjadi terhadap lingkungan sekitarnya,
sedangkan peristiwa internal yang dimaksud adalah kejadian
yang terjadi dalam diri seseorang.
14
Wakefulness (Kesiagaan)
Kondisi di mana seseorang siaga terhadap kejadian-kejadian
yang dialaminya dengan terpengaruh oleh perhatiannya kepada
suatu kejadian tersebut. Kondisi ini dialami setiap orang setiap
harinya.
Architecture (Arsitektur)
Lokasi-lokasi fisik struktur fisiologis (dan proses-proses yang
berhubungan dengan struktur-struktur tersebut) yang
menyokong kesadaran.
Recall of knowledge (Mengingat Pengetahuan)
Proses pengambilan kembali pengetahuan tentang diri pribadi
dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Terdapat 3 komponen
dalam aspek ini, yaitu pengetahuan akan diri sendiri,
pengetahuan tentang apa yang telah dipelajari selama hidup di
dunia, dan aktivasi pengetahuan berdasarkan kesadaran
terhadap tindakan-tindakan orang lain.
Emotive (Emosi)
Suatu kondisi sadar yang dapat membentuk perasaan atau emosi
melalui respon yang dikeluarkan kondisi internal terhadap
peristiwa-peristiwa eksternal.
c. Fungsi Kesadaran Diri
Mengenai fungsi-fungsi kesadaran, Baars dan McGoven (Solso, 2008)
membaginya menjadi 8 fungsi sebagai berikut:
Konteks-setting, mendefinisikan konteks dan pengetahuan
mengenai sebuah stimuli yang masuk ke memori.
Adaptasi dan pembelajaran, keterlibatan sadar diperlukan untuk
menangani informasi baru dengan sukses.
15
Prioritisasi dan akses, kesadaran diperlukan untuk mengakses
besarnya jumlah informasi yang terdapat di tingkat
ketidaksadaran.
Rekrutmen dan kontrol, kesadaran memasuki sistem-sistem
motorik untuk menjalankan tindakan-tindakan kesadaran.
Pengambilan keputusan dan fungsi eksekutif, membawa
informasi dan sumber daya keluar dari ketidaksadaran untuk
membantu pengambilan keputusan dan penerapan kendali.
Deteksi dan penyuntingan kekeliruan, kesadaran memasuki
sistem norma (yang terdapat di ketidaksadaran) sehingga kita
dapat mengetahui ketika melakukan kekeliruan.
Monitor diri, membantu mengendalikan fungsi-fungsi sadar dan
fungsi-fungsi tidak-sadar dalam diri kita.
Pengorganisasian dan fleksibilitas, mengandalkan fungsi
otomatis dalam situasi yang telah diprediksikan, sekaligus dapat
menggunakan sumber-sumber daya pengetahuan dalam situasi
tak terduga.
2.2. Teori Arsitektural
2.2.1. Peran Arsitektur dalam Bangunan Edukasi
Berdasarkan jurnal karya Fanqing Lu (2017) dan sebuah
wawancara dengan seorang arsitek bernama Herman Hertzberger (2017),
peran arsitektur dalam bangunan edukasi, yaitu sebagai berikut:
Konektor visual: peran wadah edukasi sebagai konektor visual
akan memusatkan visual pengguna dengan adanya interaksi
aktivitas edukasi yang dominan pada sentral dari wadah edukasi.
Hal ini merespon sebagaimana hakikat manusia untuk berada di
dalam sebuah koneksi ruang di mana ia bisa melihat atau
terlihat. (Wood, 2017)
16
Konektor sosial: peran ini dapat berjalan dengan baik melalui
kontinuitas ruang yang dapat diolah dengan memberikan
kebebasan kepada pengguna untuk mengeksplorasi ruang tanpa
kebingungan, memusatkan ruang arsitektur yang di dalamnya
mampu menyatukan beberapa orang, atau dengan
menggabungkan keduanya. (Wood, 2017)
Narator: arsitektur berperan untuk menyampaikan maksud
edukasi yang diharapkan melalui cerita. Cerita tersebut tidak
hanya disampaikan melalui fungsi dan tipologi arsitektur
edukasinya, juga dapat melalui layout ruang, sirkulasi,
organisasi ruang yang jelas, simbolisasi, dan kualitas ruang
melalui pencahayaan dan material. Cerita yang disampaikan
arsitektur melalui pengalaman ruang dari bangunan edukasi juga
meningkatkan kesadaran recall of knowledge penggunanya
dalam self-learning and interpreting. (Lu, 2017)
2.2.2. Tipologi Bangunan Edukasi
Berdasarkan fungsinya (Architectural-review, n.d.), bangunan edukasi
terbagi menjadi beberapa tipologi sebagai berikut:
a. Perpustakaan merupakan sebuah ruang untuk menjadi pusat
informasi dan edukasi untuk seseorang mengembangkan diri melalui
koleksi pustaka. Perpustakaan bersifat publik namun privat karena di
dalamnya banyak orang yang membutuhkan ketenangan. Sekarang
ini perpustakaan tidak hanya berperan sebagai bangunan yang
fungsional dengan penyebaran bentuk secara radial dengan ruang
pustakawan menjadi datum dari bangunan. Seperti Rolex Learning
Center karya SANAA yang mampu menjadikan perputakaan menjadi
tempat yang intim di mana manusia dapat berinteraksi dengan bebas
17
tanpa mengganggu privasi melalui tata letak zonasi dan permainan
level bangunan. (Prizeman, 2011).
Gambar 2.3. Linimasa Perkembangan Tipologi Perpustakaan.
Diakses dari: https://www.architectural-
review.com/essays/typology/typology-
libraries/8621638.article?blocktitle=L
b. Public Square atau yang biasa disebut dengan pusat komunitas. Pada
awalnya pusat komunitas hanya berupa alun-alun tempat masyarakat
berinteraksi. Interaksi yang tercipta karena ada kesamaan
kepentingan, kedekatan lokasi, jenis komunitas, ataupun kegiatan
yang dilaksanakannya. Pusat komunitas mampu menstimulasi
kesadaran dengan merangkul beragam orang untuk meredakan isu-
isu global, seperti politik, polusi, rasisme, dsb. Keberagaman isu dan
aktivitas membuat pusat komunitas juga memiliki program ruang
yang variatif, seperti amphitheater, sunken sports playground, dsb.
(Wilkinson, 2017)
18
Gambar 2.4. Linimasa Perkembangan Tipologi Pusat Komunitas.
Diakses dari: https://www.architectural-review.com/essays/typology-
public-square/10017533.article?blocktitle=
19
c. Museum. Bangunan edukasi yang satu ini mengalami beberapa
evolusi berdasarkan beberapa linimasa. Pada awalnya museum sudah
berperan sebagai theatre of memory di mana museum sebagai tempat
mempertunjukkan koleksi-koleksi barang sejarah sebuah negara,
ataupun koleksi-koleksi barang antik lainnya. Pada abad ke 19,
terjadi gebrakan perubahan pendekatan desain museum oleh Frank
Lloyd Wright. Dengan menerapkan bahwa ruang dari museum tidak
hanya berperan sebagai kotak-kotak ruang untuk pameran,
melainkan ruangan itu sendiri memiliki arti dan mampu
mempengaruhi aspek pandangan pengunjung. Selanjutnya, ada juga
era desain museum dengan pendekatan utopia oleh Renzo Piano dan
Richard Rogers di mana museum menjadi ikon sebuah kota dengan
penampilan struktur bangunan berteknologi tinggi. Kemudian
museum juga mengalami perubahan secara tipologi di tangan arsitek-
arsitek berpaham dekonstruksi, mereka memilih untuk menjadikan
museum sebagai objek dari cerita sebuah masa lalu daripada harus
meletakkan benda-benda sejarah untuk dipamerkan. Pada masa
dekonstruksi, desain museum dirancang dengan pendekatan
pengalaman ruang, di mana edukasi berperan di dalamnya dengan
menstimulasi kesadaran pengunjungnya, seperti Jewish Museum
karya Daniel Libeskind. Tidak hanya dengan pendekatan ruang, di
saat yang hamper bersamaan, desain museum juga mendapatkan
pendekatan baru, yaitu museum lansekap. Pendekatan ini membuat
alam atau genius loci suatu daerah menjadi pusat dari perancangan
museum. Museum dengan pendekatan ini hadir untuk mengatasi
masalah-masalah lingkungan seperti polusi atau eksploitasi lahan dan
berperan sebagai media untuk mengedukasi kesadaran penggunanya
melalui memori genius loci daerah tersebut. Contohnya
Matsunoyama Natural Science Museum oleh Tezuka Architect.
Walaupun perancangan museum memiliki berbagai macam
20
pendekatan, pada dasarnya semua museum berfungsi sebagai
bangunan edukasi untuk masyarakat, penyesuaian terhadap konteks
akan jadi penentu ketepatan pendekatan mana yang lebih cocok.
(Marotta, 2012)
Gambar 2.5. Linimasa Perkembangan Tipologi Museum. Diakses
dari: https://www.architectural-review.com/essays/typology/typology-
museums/8640202.article?blocktitle=Museum
d. Sekolah merupakan bangunan yang terdiri dari kelas-kelas, koridor,
dan beberapa fasilitas pendukungnya untuk memberikan fleksibilitas,
konektivitas, ruang inklusivitas sosial, dan pemahaman edukasi bagi
siswanya. Tantangan terbesar merancang bangunan sekolah adalah
menciptakan ruang semenarik mungkin dan pada saat bersamaan
tetap terbuka pada perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan
21
tipologi sekolah yang berwujud formal dengan aktivitasnya yang
juga formal. (Kuhn, 2012)
Gambar 2.6. Linimasa Perkembangan Tipologi Sekolah. Diakses
dari: https://www.architectural-review.com/buildings/school
2.2.3. Perancangan Bentuk
Akan lebih mudah melihat dan memahami secara visual bentuk yang
lebih sederhana dan teratur. (D.K. Ching, 2007) Untuk itu bentuk dasar
dalam sebuah perancangan dibagi 3, yaitu:
a. Lingkaran.
Sebuah deretan titik dengan jarak yang sama dan seimbang dalam
sebuah lengkungan. Pertimbangan dalam memilih bentuk lingkaran:
orientasi aktivitas yang memusat, pengembangan bentuk yang banyak,
karakter dinamis dengan sudut orientasi yang tak terbatas.
22
Gambar 2.7. Wujud Bentuk Dasar Lingkaran. Sumber: Architecture: Form,
Space, and Order 3rd Edition. 2007
b. Segitiga
Sebuah bentuk dasar yang memiliki tiga sisi dan tiga sudut. Bentuk ini
menggambarkan sebuah bentuk yang stabil. Pertimbangan dalam
memilih bentuk segitiga: memiliki orientasi aktivitas yang kuat pada
salah satu sudut orientasi, bentuk yang menyampaikan arah,
perkembangan, dan tujuan, sering mempunyai ruang sisa.
Gambar 2.8. Wujud Bentuk Dasar Segitiga. Sumber: Architecture: Form,
Space, and Order 3rd Edition. 2007
c. Bujur Sangkar
Menggambarkan bentuk yang simetris, jujur, dan rasional dengan
memiliki 4 sisi dan 4 sudut yang sama besar. Pertimbangan dalam
memilih bentuk bujur sangkar: memiliki orientasi aktivitas yang cukup
fleksibel, memiliki karakter formal, netral, dan stabil, penataan dan
pengembangan bentuk relatif lebih mudah.
23
Gambar 2.9. Wujud Bentuk Dasar Bujur Sangkar. Sumber: Architecture:
Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
2.2.4. Hubungan-hubungan Spasial
Melakukan manipulasi konfigurasi bentuk adalah untuk menentukan
besaran ruang solid atau volume ruang, dan bagaimana pola solid-void
mempengaruhi kualitas visual ruang yang dirancang. (D.K. Ching, 2007)
Manipulasi konfigurasi bentuk ini dapat dilakukan melalui hubungan-
hubungan spasial, sebagai berikut:
a. Ruang dalam Ruang.
Konsep hubungan spasial ini adalah menampung kesinambungan
spasial dan visual dari dua ruang. Karakternya yaitu ruang yang lebih
besar menampung ruang yang lebih kecil di dalamnya, ruang yang
lebih kecil tersebut dapat dibuat dengan bentuk yang berbeda dari
ruang yang menyelimutinya untuk menunjukkan adanya hirarki
ruang yang ditampung tersebut.
24
Gambar 2.10. Alternatif Pengembangan Hubungan Ruang dalam
Ruang. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
b. Ruang yang Saling Mengunci.
Konsep hubungan spasial ini adalah menumpuk sebuah bidang ruang
pada bidang ruang yang lainnya. Ruang yang saling menumpuk dan
mengunci ini dapat berfungsi untuk menghubungkan kedua fungsi
ruang aslinya, mengakuisisi salah satu bagian ruang yang mengunci,
ruang yang saling mengunci dapat menghasilkan ruang baru yang
dapat dibagi rata antar ruang yang saling mengunci.
Gambar 2.11. Alternatif Pengembangan Hubungan Ruang yang Saling
Mengunci. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
25
c. Ruang yang Berdekatan.
Konsep hubungan spasial ini adalah menunjukkan sifat
individualistis masing-masing ruang dalam mendefinisikan fungsi
dan simbolnya. Kesinambungan ruang dan visual antara dua ruang
yang berdekatan dapat dipisahkan melalui bidang yang membatasi
akses visual dan fisik, bidang yang berdiri sendiri dalam sebuah
volume, didefinisikan dengan deretan kolom, didefinisikan dalam
perbedaan level, tekstur, atau material.
Gambar 2.12. Alternatif Pengembangan Ruang yang Berdekatan.
Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
26
d. Ruang yang Dihubungkan oleh Ruang.
Konsep hubungan spasial ini adalah mengandalkan ruang perantara
untuk menghubungkan antar ruang. Ruang perantara ini dapat dibuat
dengan bentuk, ukuran, dan orientasi yang sama maupun berbeda.
Gambar 2.13. Alternatif Pengembangan Ruang yang Dihubungkan
oleh Ruang. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition.
2007
2.2.5. Organisasi Ruang
Dengan beberapa metode organisasi ruang yang baik sesuai dengan
fungsi khususnya dapat membentuk pola-pola ruang yang teratur. (D.K.
Ching, 2007) Organisasi ruang tersebut terbagi menjadi 5, yaitu:
27
a. Organisasi Ruang Terpusat.
Sebuah ruang pusat yang dikelilingi oleh beberapa ruang sekunder
yang dikelompokkan. Pusat ruang biasanya memiliki hirarki yang
tinggi dan dianggap utama. Organisasi ruang terpusat berfungsi
untuk menciptakan titik pusat dalam bangunan dan menghilangkan
kondisi aksial.
Gambar 2.14. Bentuk Alternatif Pengembangan dan Contoh Aplikasi
Organisasi Ruang Terpusat. Sumber: Architecture: Form, Space, and
Order 3rd Edition. 2007
b. Organisasi Ruang Linier.
Sederetan ruang baik secara fungsi yang sama ataupun berbeda
tertata dalam satu garis. Organisasi ruang linier bersifat fleksibel
karena dapat merespon beragam kondisi tapak, dapat disusun secara
horizontal, vertikal, ataupun secara diagonal mengikuti arah
kemiringan tanah. Organisasi ruang linier berfungsi untuk
menekankan sebuah pergerakan atau alur, membentuk pola ruang
melalui sumbu (axis), dan menghubungkan beberapa bentuk atau
organisasi ruang lain di sepanjang jalurnya.
28
Gambar 2.15. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi Ruang
Linier. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
c. Organisasi Ruang Radial.
Sebuah pusat dominan yang menjadi acuan menjulurnya jari-jari
organisasi ruang-ruang linier. Organisasi ruang ini sering ditemukan
pada bangunan-bangunan hotel atau hunian vertikal di mana inti
bangunan yang menjadi acuan menjulurnya ruang-ruang kamar atau
29
unitnya. Organisasi ruang ini berfungsi untuk membagi alternatif
ruang yang dapat diakses secara fleksibel oleh pengguna.
Gambar 2.16. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi Ruang
Radial. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
d. Organisasi Ruang Kluster.
Organisasi ruang yang sering disebut organisasi ruang kelompok
homogen di mana kelompok ruang tersebut memanfaatkan suatu ciri
fisik atau hubungan visual, seperti bentuk, ukuran, atau fungsi.
Organisasi ruang ini berfungsi untuk mendapatkan view dari dalam
tapak dengan kualitas yang sama bagi masing-masing ruang dan
membentuk tatanan ruang yang bebas dengan salah satu dari
indikator bentuk, ukuran, atau fungsi.
30
Gambar 2.17. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi
Ruang Kluster. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition.
2007
e. Organisasi Ruang Grid.
Ruang-ruang yang telah diatur dalam sebuah kerangka grid atau
struktural tiga dimensi. Pola grid tidak menggambarkan sesuatu
organisasi yang kaku, organisasi ruang ini dapat mengalami
transformasi seperti diputus, diputar, ditambah, dikurang, ataupun
dilapisi selama identitasnya sebagai grid dalam mengatur ruang tetap
31
dipertahankan. Organisasi ruang grid berfungsi untuk membentuk
desain yang modular dan mendapatkan kejelasan baik orientasi
maupun sirkulasi.
Gambar 2.18. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi Ruang
Grid. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007
2.2.6. Hubungan Arsitektur dan Kesadaran Manusia
Solso (2003) mengilustrasikan bagaimana arsitektur dapat
mempengaruhi kesadaran manusia melalui The Falling Water House karya
arsitek Frank Lloyd Wright yang berhasil menyentuh kesadaran
32
penggunanya melalui kesadaran emosi yang tenang dan teduh. Emosi ini
dibentuk dari menggabungkan elemen seni dan alam.
Gambar 2.19. The Falling Water House Karya Frank Lloyd Wright Membangkitkan
Kesadaran melalui Emosi. Diakses dari https://franklloydwright.org/site/fallingwater/
Carl Jung dalam buku The Psychology of Art and the Evolution of the
Conscious Brain (Solso, 2003) menyatakan seorang seniman atau arsitek
dikatakan berhasil apabila mampu menyampaikan pesan dari karya tersebut
melalui kesadaran pengalaman dan pengetahuan yang telah ada di dalam diri
seseorang (aspek recall of knowledge).
Elemen-elemen dalam desain seperti warna, garis, bentuk, fasad, suara,
bahkan bau sekalipun tidak akan memiliki arti apabila karya desain tersebut
tidak mampu mengaktifkan salah satu dari kelima aspek AWAREness. (Solso,
2003)
2.2.7. Arsitektur dan Perilaku Manusia
a. Pengertian Arsitektur
Tandal dan Egam mendefinisikan arsitektur sebagai sintesis cabang
ilmu seni dan ilmu merancang yang senantiasa memperhatikan aspek,
fungsi, dan estetika. Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin
kompleks membuat ilmu perilaku manusia wajib diperhitungkan dalam
33
aspek perancangan yang sering disebut dengan pengkajian lingkungan
perilaku dalam arsitektur. (Wicaksono, 2018)
b. Pengertian Perilaku
Kata perilaku menyatakan sebuah kesadaran struktur sosial orang-orang
dan suatu dinamika yang terjadi secara dinamis dalam suatu periode waktu.
(Heimsath, 1988)
Mengenai sifatnya, Tandal dan Egam membagi dua jenis perilaku
(Wicaksono, 2018), yaitu:
Perilaku tertutup: respon tertutup dari diri seseorang yang tidak
dapat diamati orang lain secara jelas berdasarkan stimulus
perhatian, persepsi, dan pengetahuan/kesadaran. (tipe awareness
psikologis)
Perilaku terbuka: respon seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk tindakan atau praktek. (tipe awareness fisiologis)
c. Pengertian Arsitektur Perilaku
Arsitektur perilaku adalah ilmu untuk menciptakan ruang yang
manusiawi, manusiawi terhadap berbagai macam perilaku manusia beserta
lingkungan dan budaya masyarakatnya. (Wicaksono, 2018)
d. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku manusia sangat mudah dipengaruhi oleh suatu setting atau
lingkungan fisik. Modifikasi suatu setting dapat mempengaruhi perilaku
manusia ke depannya, ntah dapat menciptakan sebuah perilaku yang baik
atau buruk. Untuk itu, menurut Setiawan pada tahun 1995 (Wicaksono,
2018) modifikasi perilaku harus memperhatikan beberapa variabel berikut:
Ruang. Fungsi dan hirarki ruang menjadi factor yang membuat
ruang dapat mempengaruhi perilaku penggunanya.
34
Ukuran dan Bentuk. Ruangan yang dirancang dengan ukuran
yang terlalu besar atau kecil dan bentuk yang terlalu simetris
atau asimetris mampu mempengaruhi psikologis penggunanya.
Perabot dan Penataannya. Penataan layout prabot yang simetris
dan asimetris harus diperhatikan karena memberikan kesan
ruangan menjadi terlalu kaku atau ruangan terlalu berantakan.
Warna. Setiap warna memiliki artinya masing-masing, setiap
arti tersebut memberikan impresi terhadap kualitas ruangnya
yang akan mempengaruhi kesadaran dan suasana internal
pengguna di dalam sebuah ruang.
Suara, Temperatur, dan Pencahayaan. Suara yang terlalu keras,
temperature yang terlalu dingin atau panas, dan pencahayaan
yang terlalu terang atau gelap akan berpengaruh buruk kepada
perilaku manusia di dalam bangunan.
e. Prinsip-prinsip Arsitektur Perilaku
Arsitektur hadir untuk pemenuhan kebutuhan manusia, begitu pula
sebaliknya, dari arsitektur yang tercipta melahirkan kebutuhan manusia yang
baru akan ruang. (Wicaksono, 2018). Untuk itu dalam perancangannya perlu
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
Mampu berkomunikasi dengan manusia dan lingkungannya.
Sebuah karya perancangan yang baik harus mudah dipahami
penggunanya melalui penginderaan atau imajinasi melalui
simbol-simbol yang mencerminkan fungsi bangunan, skala dan
proporsi yang tepat, material dan struktur yang dapat dirasakan
pengguna.
Mewadahi pengguna dengan rasa nyaman dan menyenangkan.
Nyaman berarti bangunan mampu menstimulasi AWAREness
melalui kenyamanan fisik dan psikis. Menyenangkan berarti
35
bangunan memberikan pengalaman yang berhasil memenuhi
kebutuhan fisik, psikologis, dan kultural penggunanya.
Memenuhi aspek-aspek estetika perancangan arsitektur:
kesatuan, keseimbangan, skala, proporsi, dan irama.
f. Ruang Lingkup Arsitektur Perilaku
Tandal dan Egam menyatakan bahwa arsitektur dan manusia
membentuk skema berulang. Hal ini karena arsitektur mampu
mempengaruhi perilaku manusia melalui pemenuhan kebutuhan-
kebutuhannya dan perilaku manusia akan mengkaji ulang karya arsitektur
sehingga melahirkan sebuah kebutuhan yang baru sehingga perilaku
manusia juga berperan dalam membentuk arsitektur.
Gambar 2.20. Gambar Skema Hubungan Arsitektur dan Perilaku Manusia. Sumber:
Wicaksono, 2018
2.3. Preseden
2.3.1. Farming Kindergarten oleh Vo Trong Nghia Architects
Architect : Vo Trong Nghia Architects
Project Location : Dong Nai, Vietnam
Project Year : 2013
Area : 3800 m2
36
Gambar 2.21. Foto Aerial Farming Kindergarten. Diakses dari
https://www.archdaily.com/566580/farming-kindergarten-vo-trong-nghia-
architects/54624917e58ecee2b400003d-
03_aerial_view_from_ne_with_the_shoe_factory_behind_the_building-
jpg?next_project=no
Berbeda dari tipologi sekolah atau taman kanak-kanak pada
umumnya, sekolah ini dirancang dengan meletakkan arsitektur untuk
berperan baik di dalamnya. Bangunan ini menyampaikan cerita edukasi
tentang berinteraksi dengan alam melalui agriculture education di tengah
kota padat yang sedang berkembang pesat.
Terletak di kota Dong Nai, Vietnam di mana perkembangan kota
yang sangat pesat juga mengakibatkan beberapa kerusakan lingkungan. Kota
ini seringkali dilanda masalah banjir dan tingginya angka kendaraan
bermotor sehingga polusi udara juga menjadi isu dalam perancangan sekolah
ini. Belum lagi kondisi tapak yang terletak persis di sebelah pabrik sepatu.
37
Gambar 2.22. Rencana Tapak Farming Kindergarten. Diakses dari
https://www.archdaily.com/566580/farming-kindergarten-vo-trong-nghia-
architects/54624ad2e58eceedac00003e-site-plan?next_project=no
Isu-isu tersebut dijawab oleh arsiteknya melalui konsep sekolah yang
memperkenalkan edukasi untuk kecintaan alam yang harus ditanam sejak
dini kepada anak-anak. Mayoritas yang bersekolah di sekolah ini juga
merupakan anak-anak yang mana orang tuanya juga bekerja di pabrik sepatu
tersebut.
Edukasi kesadaran tersebut dirancang oleh arsitek melalui ruang-
ruang kelas dan koridornya semua yang bersifat looping dengan memiliki
38
ruang komunal dan void di tengah-tengahnya berupa halaman hijau yang
sangat luas untuk anak-anak bermain dan belajar. Fokus utamanya adalah
bukan edukasi yang melulu dilakukan di dalam ruang kelas, melainkan di
luar ruang di mana anak lebih banyak dibuat berinteraksi dengan alam.
Gambar 2.23. Lubang Void yang Dimanfaatkan Sebagai Taman
Komunal. Diakses dari https://www.archdaily.com/566580/farming-
kindergarten-vo-trong-nghia-architects/5462494de58ece4d99000043-
10_green_roof-jpg?next_project=no
Selain itu bagian atap yang biasa dibuat hanya sebagai pelindung
bangunan dari cuaca dan orang tua sangat mempertimbangkan keamanan
anak jika bermain di area atap, tidak berlaku pada rancangan sekolah ini.
Bentuk looping yang dihubungkan dengan ramp-ramp yang melingkar
membuat bangunan terasa aman untuk diakses. Selain itu area atap
dimanfaatkan untuk area urban farming untuk anak-anak lebih banyak
berinteraksi dengan alam.
Kesimpulannya, bangunan ini sudah menerapkan peran-peran
arsitektur di dalam wadah edukasi pengenalan akan alam dengan baik
melalui organisasi ruangnya yang terpusat pada taman-taman hijaunya yang
39
luas, akses sirkulasi menuju atap yang nyaman dan aman, program ruang
yang sangat jelas mengedukasi anak untuk banyak berinteraksi dengan alam,
konektivitas sosial dan spasial yang mengizinkan anak-anak memiliki
pengalaman ruangnya sendiri dan mengakomodasi self learning dan
interpreting yang baik, dan kualitas pencahayaan dengan memanfaatkan
sinar matahari yang masuk melalui kisi-kisi, void, dan bukaan berupa
jendela-jendela yang transparan.
Gambar 2.24. Area Atap yang Dimanfaatkan Sebagai Urban Farming.
Diakses dari https://www.archdaily.com/566580/farming-kindergarten-
vo-trong-nghia-architects/54624989e58eceedac00003b-
18_experimental_vegetable_garden-jpg?next_project=no
2.3.2. Yad Vashem Holocaust History Museum
Architect : Safdie Architects
Project Location : Jerusalem, Israel
Project Year : 2005
Area : 17700 m2
40
Gambar 2.25. Foto Aerial Museum Ekspansi dan Konteks
Lingkungannya. Diakses dari
https://www.yadvashem.org/museum/holocaust-history-museum.html
Terletak di dekat puncak yang dianggap sakral, yaitu Gunung Herzl
atau yang lebih dikenal dengan Mount of Remembrance. Museum ekspansi
ini dibuat juga untuk sebagai monument of remembrance bagi para orang
Israel terkait kejadian Holocaust. Museum ini tidak hanya mengedukasi
sejarah kelam tersebut melalui peninggalan barang-barang yang tersisa dari
para korban, tetapi juga edukasi melalui sebuah cerita yang dirangkai di
dalam pengalaman ruang. Pengunjung museum dibuat seolah-olah ikut
dalam situasi mengerikan yang terjadi kala itu melalui desain bangunannya.
Pengalaman masing-masing pengunjunglah yang akan meningkatkan
kesadarannya masing-masing melalui interpretasi masing-masing
pengunjung melalui pengalaman yang dirasakannya di dalam museum.
Museum ini terletak di radius ±1km dari perumahan dan mudah diakses
melalui transportasi publik.
41
Entrance Museum dimulai dari sebuah plaza besar, aqueduct
eksisting, dan sebuah mevoah (pusat informasi museum). Di dalam pusat
informasi, pengunjung dibuat seperti seseorang yang belum menyadari
bahwa status dirinya adalah seorang yang sedang diburu. Gambaran tersebut
digambarkan melalui bayangan-bayangan garis-garis pada baju pengunjung
yang tercipta melalui langit-langit kisi-kisi kayu seolah-seolah menjadi
seorang tawanan, namun masih dapat bergerak bebas. Pergerakan bebas
tersebut digambarkan melalui ruang gerak sirkulasi manusia yang dibuat
lebar dan fleksibel karena tidak berdinding.
Gambar 2.26. Rencana Tapak Museum dan Sirkulasinya. Diakses dari
https://www.yadvashem.org/museum/holocaust-history-museum.html
42
Sebelum memasuki massa utama museum yang didominasi beton
yang merepresentasikan sebuah keadaan yang dingin ada di dalamnya,
pengunjung harus melewati sebuah jembatan yang terkesan ringan dari
material baja dan panel-panel kayu. Massa utama museum ini juga dibuat
sunken di antara kontur tanah untuk menghormati Mount of Remembrance.
Gambar 2.27. Jembatan yang Menghubungkan Mevoah dengan Massa
Utama Museum. Diakses dari
https://www.safdiearchitects.com/posts/rising-to-the-symbolic
Massa utama bangunan dibuat segitiga yang memanjang membentuk
koridor linier yang semakin sempit di bagian ujungnya. Arsiteknya ingin
membentuk kesadaran emosi pengunjung melalui himpitan dinding beton
yang tinggi dan keras serta sobekan massa untuk memasukkan sedikit cahaya
dari langit-langit seolah-olah pengunjung sedang bersembunyi dari
pembantaian. Di dalamnya juga terdapat gang-gang berbentuk zigzag untuk
43
area pameran dan pada gang terakhir terbentuk sebuah kerucut seperti
gunung yang dipasang foto-foto dan nama korban pada dindingnya.
Gambar 2.28. Sketsa Ide Monumen untuk Memasukkan Cahaya Matahari
ke dalam Sebuah Gua dengan Tujuan Memfokuskan Foto-foto yang
Dipajang pada Dinding. Lu. 2017
Di bagian akhir dari koridor linier yang panjang dan semakin sempit
terdapat teras besar yang menawarkan pemandangan Gunung Herzl sebagai
makna puncak berakhirnya kejadian Holocaust ini.
44
Gambar 2.29. Akhir dari Perjalanan Linier di dalam Museum. Lu. 2017
2.3.3. Rumah Atsiri oleh Ir. Paulus Mintarga
Arsitek : Ir. Paulus Mintarga
Lokasi Proyek : Tawangmangu, Indonesia
Tipologi : Museum
Tahun : 2018
Area : 9745 m2
Gambar 2.30. Tampak Luar Rumah Atsiri. Diakses dari
https://gramho.com/media/2103530934771685961
45
Bangunan ini awalnya merupakan sebuah pabrik minyak atsiri yang
dibangun pada tahun 1963 di Desa Plumbon, Tawangmangu, Jawa Tengah.
Terletak di daerah yang cukup jauh dari kota Solo, Rumah Atsiri ini
diproyeksikan menjadi sebuah edu-recreation dengan mempelajari berbagai
macam minyak atsiri.
Dalam pengembangannya, tim arsitek tetap menghormati identitas
bangunan lamanya walaupun Rumah Atsiri tidak termasuk dalam cagar
budaya.
Adapun program-program edukasi baru yang ditawarkan oleh tim
arsitek disajikan seperti sebuah siklus. Siklus itu dimulai dari program
penanaman dan pengembangbiakkan minyak atsiri pada lahan seluas 2,3
hektar, kemudian diolah sesuai dengan kebutuhan produksi, seperti parfum,
bahan olahan makanan, sabun di dalam sebuah laboratorium, setelah produk
dihasilkan dijual melalui fungsi ritel dan dipamerkan melalui taman koleksi
dan museum. Pengunjung juga dapat mencicipi berbagai makanan olahan
dari atsiri pada fungsi pujaseranya. Selain itu, pengunjung juga dapat belajar
di ruang workshop dan kunjungan ke greenhouse Rumah Atsiri.
Rumah Atsiri merupakan salah satu preseden tipologi museum
edukasi dengan pendekatan museum lansekap, hal ini ditunjukan melalui
bentukan museum yang mempertahankan genius loci tapak yaitu perkebunan
minyak atsiri dan mengembangkannya sebagai museum hidup yang
menceritakan kekayaan atsiri di daerah tersebut.
46
Gambar 2.31. Perspektif Mata Burung Taman Atsiri. Diakses dari
http://www.constructionplusasia.com/id/rumah-atsiri-indonesia/
Gambar 2.32. Greenhouse Rumah Atsiri. Diakses dari
http://www.constructionplusasia.com/id/rumah-atsiri-indonesia/
Gambar 2.33. Pujasera di Rumah Atsiri. Diakses dari
https://jejakbocahilang.wordpress.com/2018/12/23/rumah-atsiri-
indonesia/#jp-carousel-14820
47
Gambar 2.34. Aksonometri Program Ruang Rumah Atsiri Tahap 1 dan
Tahap 2. Diakses dari http://www.constructionplusasia.com/id/rumah-
atsiri-indonesia/
48
2.4. Pisau Analisa
Indikator Teori Preseden
Farming
Kindergarten
Yad
Vashem
Museum
Rumah
Atsiri
Bangunan mengedukasi melalui
aspek-aspek AWARENESS
Bangunan memiliki target pengguna
yang akan diedukasi dengan jelas
Bangunan memiliki konektivitas
sosial dengan menciptakan wadah
interaksi antar pengguna
Bangunan menerapkan pemusatan
visual pada aktivitas manusia di
dalam sentral wadah edukasi.
Bangunan mudah dikenali
berdasarkan tipologi melalui hirarki
fungsi dan program ruang
Pembagian zonasi ruang terlihat
jelas
Sirkulasi di dalam bangunan
mengizinkan pengguna bergerak
bebas (fleksibel) namun tidak
membingungkan
Alur cerita edukasi disampaikan
dengan jelas melalui organisasi
ruang
49
Bangunan menerapkan skala ruang
yang sesuai dengan konteks edukasi
kesadaran yang akan disampaikan
Bangunan menerapkan warna yang
sesuai dengan konteks edukasi
kesadaran yang akan disampaikan
Pencahayaan, temperature, dan
suara di dalam bangunan mengatur
perilaku dan respon penggunanya
Ukuran dan Bentuk ruang
mempengaruhi perilaku
penggunanya
Tabel 2.1. Tabel Checklist Studi Preseden. Sumber: Dokumen Pribadi
Setelah melakukan tinjauan teori dan studi preseden, ditemukan beberapa poin
kesimpulan aplikasi teori dalam strategi perancangan sebuah wadah edukasi yang
berhasil, yaitu sebagai berikut:
1. Organisasi ruang yang digunakan biasanya terpusat atau linier untuk membantu
menjelaskan maksud edukasi dengan lebih mudah, di mana terpusat akan lebih
berperan sebagai konektor visual dan sosial, sedangkan linier akan berperan sebagai
narrator.
2. Bangunan biasanya memanfaatkan kondisi lingkungan alam, baik konteksnya
sakral, heritage, ataupun memiliki isu lingungan lainnya di dalam tapak ataupun di
sekitarnya sebagai media untuk membangun kesadaran penggunanya.
3. Bangunan edukasi-edukasi ini selalu menerapkan void untuk membentuk
konektivitas visual dan sosial.
4. Pemanfaatan cahaya matahari melalui skylight ataupun bukaan-bukaan yang besar
berperan untuk memberikan efek emosi kepada pengunjung.
5. Sirkulasi berupa koridor umumnya dibuat melebihi dari standar 1,2m untuk
menciptakan ruang gerak yang fleksibel dan dinamis.
50
6. Hubungan antar lantai bangunan tidak dihubungkan dengan lift, melainkan dengan
tangga ataupun ramp dengan tujuan membentuk sebuah alur sirkulasi agar
pengunjung dapat mengeksplorasi ruang di setiap lantai.
7. Jumlah lantai bangunan edukasi biasanya 2-3 lantai untuk tidak membuat para
pengunjung juga terlalu lelah karena mengeksplorasi seluruh ruang dengan tangga
atau ramp.
8. Warna-warna dan tekstur yang digunakan umumnya warna dan tekstur natural yang
bersifat netral sehingga tidak membiaskan fokus dari edukasi yang akan
disampaikan melalui bangunan.
9. Hubungan antar ruang yang paling sering digunakan berdasarkan urutannya adalah
hubungan ruang yang dihubungkan oleh ruang, ruang yang berdekatan, ruang yang
saling mengunci, dan yang terakhir adalah ruang dalam ruang.