bab ii tinjauan teori - podomoro university

44
7 BAB II TINJAUAN TEORI Untuk dapat memformulasikan sebuah kriteria desain yang mampu mengedukasi kesadaran masyarakat, diperlukan tinjauan beberapa teori, mulai dari teori non-arsitektural yang membahas tentang ketentuan batas kadar partikel polusi udara, strategi untuk polusi udara secara teknis, teori kesadaran dari sudut pandang psikologis, dan teori arsitektural yang membahas tentang peran dan tipologi arsitektur dalam edukasi, arsitektur perilaku dan kesadaran, serta preseden sebagai studi kasus yang membantu menggambarkan proses edukasi kesadaran seperti apa yang terjadi di dalam sebuah bangunan arsitektur dengan berbagai macam tipologi. Teori-teori dan studi preseden menjadi arahan dalam tahap penelitian untuk menentukan pertanyaan- pertanyaan dan hal apa saja yang perlu diobservasi. 2.1. Teori Non-Arsitektural 2.1.1. Polusi Udara Polusi udara lebih berbahaya daripada bahaya merokok. Menurut sebuah penilitian yang dilakukan Munzel dan rekan-rekannya, estimasi angka kematian tahun 2015 di Jerman dan Cyprus akibat polusi udara mencapai angka 8,8 juta jiwa sedangkan rokok mencatat angka kematian 4,5 juta jiwa. (Munzel et al. 2019). Penelitian yang mereka lakukan juga memberikan kesimpulan bahwa rokok masih dapat dihindari, sedangkan menghirup polusi udara tidak dapat dihindari. a. Jenis Polusi Udara Pada dasarnya polusi udara dibagi menjadi dua macam, yaitu polusi udara luar ruangan dan polusi udara dalam ruangan. Jenis polusi udara luar ruangan lebih berbahaya karena salah satu kandungan polutan udaranya mengandung zat yang bersifat karsinogenik, yaitu zat yang menyebabkan

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN TEORI

Untuk dapat memformulasikan sebuah kriteria desain yang mampu

mengedukasi kesadaran masyarakat, diperlukan tinjauan beberapa teori, mulai dari

teori non-arsitektural yang membahas tentang ketentuan batas kadar partikel polusi

udara, strategi untuk polusi udara secara teknis, teori kesadaran dari sudut pandang

psikologis, dan teori arsitektural yang membahas tentang peran dan tipologi arsitektur

dalam edukasi, arsitektur perilaku dan kesadaran, serta preseden sebagai studi kasus

yang membantu menggambarkan proses edukasi kesadaran seperti apa yang terjadi di

dalam sebuah bangunan arsitektur dengan berbagai macam tipologi. Teori-teori dan

studi preseden menjadi arahan dalam tahap penelitian untuk menentukan pertanyaan-

pertanyaan dan hal apa saja yang perlu diobservasi.

2.1. Teori Non-Arsitektural

2.1.1. Polusi Udara

Polusi udara lebih berbahaya daripada bahaya merokok. Menurut

sebuah penilitian yang dilakukan Munzel dan rekan-rekannya, estimasi

angka kematian tahun 2015 di Jerman dan Cyprus akibat polusi udara

mencapai angka 8,8 juta jiwa sedangkan rokok mencatat angka kematian

4,5 juta jiwa. (Munzel et al. 2019). Penelitian yang mereka lakukan juga

memberikan kesimpulan bahwa rokok masih dapat dihindari, sedangkan

menghirup polusi udara tidak dapat dihindari.

a. Jenis Polusi Udara

Pada dasarnya polusi udara dibagi menjadi dua macam, yaitu polusi

udara luar ruangan dan polusi udara dalam ruangan. Jenis polusi udara luar

ruangan lebih berbahaya karena salah satu kandungan polutan udaranya

mengandung zat yang bersifat karsinogenik, yaitu zat yang menyebabkan

8

banyaknya gangguan paru-paru hingga penyakit kanker. (Faisal & Susanto,

2019)

b. Komponen Polusi Udara

Komponen polusi udara terbagi menjadi dua menurut sifat fisiknya, yaitu

polusi yang bersifat gas yang beranggotakan Karbon Monoksida(CO),

Sulfur Dioksida(SO2), Nitrogen Dioksida(NO2), dan Ozon(O3) dan polutan

yang bersifat partikel yang biasa disebut particulate matter (PM). Kedua

komponen polusi udara ini sama-sama memberi dampak yang buruk bagi

tubuh, namun yang harus mendapatkan perhatian adalah polutan partikel

yang berukuran sangat kecil yaitu PM2.5 (hanya berukuran 2,5mikron) dan

PM10 (hanya berukuran 10mikron) yang sulit diserap tanaman karena

bentuknya yang padat. Selain itu di dalam PM terdapat unsur gas-gas dan

racun lainnya yang tercampur dan menjadi padat di udara. (Faisal &

Susanto, 2019)

Gambar 2.1. Lokasi PM Bersarang dalam Paru-paru Manusia. Sumber: Jurnal

Respirasi, Faisal & Susanto, 2019

9

c. Standar Perimeteter Polusi Udara

Untuk mengetahui seberapa tingginya tingkat polusi udara di suatu kota

dapat menggunakan acuan berupa Indeks Standar Pencemaran Udara

(ISPU) atau biasa disebut juga dengan AQI (Air Quality Index) yang telah

diatur dalam surat keputusan kepala Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan (Bapedal) KEP107/KABAPEDAL/11/1997.

Dinas Lingkungan Hidup telah mendefinisikan tingkatan-tingkatan

ISPU menjadi 5 tingkatan yaitu, baik (0-50), sedang (51-101), tidak sehat

(101-199), sangat tidak sehat (200-299), berbahaya (300-500). (Beritagar,

2019)

Setiap tingkatan ISPU atau AQI memiliki arti masing-masing dari setiap

warna yang penting untuk dipahami masyarakat (Honestdocs, 2019), yaitu

sebagai berikut:

1. Kategori 0-50 (warna hijau) berarti keadaan di mana suatu wilayah

masih memiliki kadar oksigen yang sangat tinggi dan sangat baik untuk

manusia melakukan beraktivitas di luar rumah, bahkan dianjurkan untuk

membuka ventilasi rumah untuk mengalirkan oksigen ke dalam rumah.

2. Kategori 50-100 (warna kuning) berarti terdapat kadar polutan yang

masih dapat ditoleransi dan masih aman untuk masyarakat melakukan

aktivitas di luar rumah.

3. Kategori 100-200 (warna oranye-merah) berarti lingkungan sudah

tercemar partikel polutan yang membahayakan kesehatan, dianjurkan untuk

tidak melakukan aktivitas di luar rumah.

4. Kategori 200-300 (warna ungu) berarti kondisi suatu kota sudah

memiliki tingkat polusi yang tinggi dan dianjurkan untuk mengurangi

aktivitas di udara luar dan selalu menggunakan masker.

10

5. Kategori 300-500 (warna merah tua) berarti puncak yang paling

berbahaya dari polusi udara. Masyarakat dianjurkan untuk tetap di dalam

rumah dan menutup semua jendela untuk mencegah udara kotor masuk.

Selain dalam kategori ISPU, terdapat pula standar khusus yang

membatasi PM2.5. Menurut WHO batas aman tahunan PM 2.5 ada di angka

10µg/m3 dan batas aman hariannya 25 µg/m3, sementara Kementrian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam baku mutu ambien udara

nasional melalui PP No. 41 tahun 1999 tentang pencemaran udara

menetapkan 15 µg/m3 sebagai batas aman tahunan dan 65 µg/m3 sebagai

batas aman harian. (Indopos, 2019)

d. Dampak Polusi Udara

Semua jenis polutan tersebut akan menimbulkan gangguan kesehatan

secara fisik apabila terpapar secara terus-menerus. Berbagai macam

penyakit yang timbul akibat polusi udara yang berbahaya adalah gangguan

pernapasan seperti ISPA dan asma, penyakit autoimun, penyakit tulang,

kanker paru-paru, penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung,

penyakit jantung coroner, dan stroke, iritasi mata, penyakit neurologis

seperti alzhemeir, diabetes, obesitas, endokrin, penyakit gastrointestinal

(gangguan pencernaan), penyakit hematologis, penyakit saluran

pernapasan, penyakit hati, penyakit ginjal, dan penyakit hati. (Liputan6,

2019)

Selain kerugian yang harus dialami secara fisik, polusi udara juga

mengakibatkan kerugian terhadap ekonomi negara. Direktur Komite

Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin dalam sebuah

wawancara menyatakan bahwa pada 2016, Indonesia mengalami kerugian

sebesar 51.2 triliun Rupiah untuk biaya pengobatan masyarakat yang sakit

akibat polusi udara. (Detikfinance, 2019).

11

2.1.2. Strategi Menurunkan Polusi Udara

Menurut World Health Organization (WHO) ada beberapa solusi yang

dapat meningkatkan kualitas udara di perkotaan yang padat, mulai dari

meningkatkan meningkatkan manajemen dari asap pabrik dan industry,

menggunakan sumber energi yang terbarukan dan efisien, mengurangi

pembakaran limbah pertanian dan mengatasi masalah kebakaran hutan yang

sering terjadi, membuat kota yang lebih compact dan asri dengan

meningkatkan penghijauan di kota serta bangunan-bangunan yang

menggunakan prinsip bangunan ramah lingkungan (green building),

membuat transportasi yang mudah diakses oleh public dan jalur pejalan kaki

serta sepeda yang aman dan nyaman. (WHO. 2018)

Gambar 2.2. Solusi Alternatif dari WHO untuk Meningkatkan Kualitas

Udara. Diakses dari https://www.who.int/airpollution/infographics/en/

12

Beberapa upaya yang digalakkan pemerintah DKI Jakarta yaitu salah

satunya dengan mendorong untuk mengadakan penghijauan dengan tanaman

berdaya serap polusi udara yang tinggi serta mendorong untuk mengadopsi

prinsip-prinsip bangunan ramah lingkungan (green building). Hal ini telah

diatur dalam Instruksi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 66

Tahun 2019. Solusi penghijauan dapat hadir dalam dua alternatif, yaitu urban

farming dan menggunakan algae untuk meningkatkan kualitas udara. Kedua

alternatif ini sama-sama menyerap polutan yang dikombinasikan dengan

sinar matahari untuk diubah menjadi oksigen. (Nasution, B et al., 2016)

a. Urban Farming

Berdasarkan sebuah wawancara dengan seorah ahli kesehatan

masyarakat dari University of Derby Inggris, Dono Widiatmoko

mengatakan bahwa selain hanya menanam tanaman lidah mertua,

konsep urban farming juga dapat membantu mengurangi polusi

udara sekaligus mengedukasi masyarakat dalam berkontribusi

terhadap kota. Menurut beliau, fleksibilitas konsep urban farming

sangat baik, karena dapat dilakukan di mana saja (atap bangunan,

jendela, taman, kanopi, balkon) dengan media yang membrane

permeable yang tidak akan merusak bangunan, hingga variasi

tanaman yang dapat ditanam mulai dari jenis tanaman hias, sayur-

sayuran, hingga tanaman bumbu dapur. Beliau juga menambahkan

bahwa semakin besar volume dan semakin banyak tumbuhan yang

ditanam akan semakin baik terhadap kualitas udara. (CNN, 2019)

b. Filtrasi Udara dengan Algae

Menurut Carlos Monroy, seorang ahli biologi dan entrepreneur

mengatakan bahwa ada data statistic, 75% oksigen yang manusia

hirup dari laut berasal dari algae. Kemampuan algae untuk

memecahkan senyawa jauh lebih cepat daripada pohon atau

tumbuhan. Algae juga digunakan sebagai alternatif untuk

13

mengurangi polusi udara karena organisme ini menyerap CO2 dan

partikel-partikel polutan utama untuk dikombinasikan dengan sinar

UV dalam proses fotosintesisnya untuk menghasilkan oksigen.

(CGTN, 2018). Selain sebagai alternatif mengurangi polusi udara,

algae juga mampu berkontribusi sebagai alternatif pangan, seperti

instalasi “The Algae Dome” yang dibuat oleh IKEA dan Space10.

(Deezen, 2017)

2.1.3. Teori Kesadaran Diri

a. Pengertian Kesadaran Diri

Kesadaran diri atau self awareness adalah hasil dari proses fisik dan

psikologis yang memiliki hubungan timbal balik dengan peristiwa yang

terjadi di lingkungannya yang terkait pada tujuan hidup, emosi, memori,

pikiran, dan sensasi fisik yang mengikutinya. (Solso, 2008)

b. Aspek Kesadaran Diri

Menurut Solso (2008) untuk menyederhanakan interpretasi subjektif

akan definisi kesadaran dan seseorang dapat dikatakan sadar apabila

memiliki 5 aspek yang membentuk sebuah kata AWAREness (kesadaran), 4

aspek di antaranya merupakan tipe kesadaran psikologis dan 1 aspek

arsitektur merupakan tipe kesadaran fisiologis. Kelima aspek tersebut yaitu:

Attention (Perhatian)

Proses memusatkan pikiran terhadap peristiwa eksternal

ataupun internal. Peristiwa eksternal yang dimaksud adalah

kejadian yang terjadi terhadap lingkungan sekitarnya,

sedangkan peristiwa internal yang dimaksud adalah kejadian

yang terjadi dalam diri seseorang.

14

Wakefulness (Kesiagaan)

Kondisi di mana seseorang siaga terhadap kejadian-kejadian

yang dialaminya dengan terpengaruh oleh perhatiannya kepada

suatu kejadian tersebut. Kondisi ini dialami setiap orang setiap

harinya.

Architecture (Arsitektur)

Lokasi-lokasi fisik struktur fisiologis (dan proses-proses yang

berhubungan dengan struktur-struktur tersebut) yang

menyokong kesadaran.

Recall of knowledge (Mengingat Pengetahuan)

Proses pengambilan kembali pengetahuan tentang diri pribadi

dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Terdapat 3 komponen

dalam aspek ini, yaitu pengetahuan akan diri sendiri,

pengetahuan tentang apa yang telah dipelajari selama hidup di

dunia, dan aktivasi pengetahuan berdasarkan kesadaran

terhadap tindakan-tindakan orang lain.

Emotive (Emosi)

Suatu kondisi sadar yang dapat membentuk perasaan atau emosi

melalui respon yang dikeluarkan kondisi internal terhadap

peristiwa-peristiwa eksternal.

c. Fungsi Kesadaran Diri

Mengenai fungsi-fungsi kesadaran, Baars dan McGoven (Solso, 2008)

membaginya menjadi 8 fungsi sebagai berikut:

Konteks-setting, mendefinisikan konteks dan pengetahuan

mengenai sebuah stimuli yang masuk ke memori.

Adaptasi dan pembelajaran, keterlibatan sadar diperlukan untuk

menangani informasi baru dengan sukses.

15

Prioritisasi dan akses, kesadaran diperlukan untuk mengakses

besarnya jumlah informasi yang terdapat di tingkat

ketidaksadaran.

Rekrutmen dan kontrol, kesadaran memasuki sistem-sistem

motorik untuk menjalankan tindakan-tindakan kesadaran.

Pengambilan keputusan dan fungsi eksekutif, membawa

informasi dan sumber daya keluar dari ketidaksadaran untuk

membantu pengambilan keputusan dan penerapan kendali.

Deteksi dan penyuntingan kekeliruan, kesadaran memasuki

sistem norma (yang terdapat di ketidaksadaran) sehingga kita

dapat mengetahui ketika melakukan kekeliruan.

Monitor diri, membantu mengendalikan fungsi-fungsi sadar dan

fungsi-fungsi tidak-sadar dalam diri kita.

Pengorganisasian dan fleksibilitas, mengandalkan fungsi

otomatis dalam situasi yang telah diprediksikan, sekaligus dapat

menggunakan sumber-sumber daya pengetahuan dalam situasi

tak terduga.

2.2. Teori Arsitektural

2.2.1. Peran Arsitektur dalam Bangunan Edukasi

Berdasarkan jurnal karya Fanqing Lu (2017) dan sebuah

wawancara dengan seorang arsitek bernama Herman Hertzberger (2017),

peran arsitektur dalam bangunan edukasi, yaitu sebagai berikut:

Konektor visual: peran wadah edukasi sebagai konektor visual

akan memusatkan visual pengguna dengan adanya interaksi

aktivitas edukasi yang dominan pada sentral dari wadah edukasi.

Hal ini merespon sebagaimana hakikat manusia untuk berada di

dalam sebuah koneksi ruang di mana ia bisa melihat atau

terlihat. (Wood, 2017)

16

Konektor sosial: peran ini dapat berjalan dengan baik melalui

kontinuitas ruang yang dapat diolah dengan memberikan

kebebasan kepada pengguna untuk mengeksplorasi ruang tanpa

kebingungan, memusatkan ruang arsitektur yang di dalamnya

mampu menyatukan beberapa orang, atau dengan

menggabungkan keduanya. (Wood, 2017)

Narator: arsitektur berperan untuk menyampaikan maksud

edukasi yang diharapkan melalui cerita. Cerita tersebut tidak

hanya disampaikan melalui fungsi dan tipologi arsitektur

edukasinya, juga dapat melalui layout ruang, sirkulasi,

organisasi ruang yang jelas, simbolisasi, dan kualitas ruang

melalui pencahayaan dan material. Cerita yang disampaikan

arsitektur melalui pengalaman ruang dari bangunan edukasi juga

meningkatkan kesadaran recall of knowledge penggunanya

dalam self-learning and interpreting. (Lu, 2017)

2.2.2. Tipologi Bangunan Edukasi

Berdasarkan fungsinya (Architectural-review, n.d.), bangunan edukasi

terbagi menjadi beberapa tipologi sebagai berikut:

a. Perpustakaan merupakan sebuah ruang untuk menjadi pusat

informasi dan edukasi untuk seseorang mengembangkan diri melalui

koleksi pustaka. Perpustakaan bersifat publik namun privat karena di

dalamnya banyak orang yang membutuhkan ketenangan. Sekarang

ini perpustakaan tidak hanya berperan sebagai bangunan yang

fungsional dengan penyebaran bentuk secara radial dengan ruang

pustakawan menjadi datum dari bangunan. Seperti Rolex Learning

Center karya SANAA yang mampu menjadikan perputakaan menjadi

tempat yang intim di mana manusia dapat berinteraksi dengan bebas

17

tanpa mengganggu privasi melalui tata letak zonasi dan permainan

level bangunan. (Prizeman, 2011).

Gambar 2.3. Linimasa Perkembangan Tipologi Perpustakaan.

Diakses dari: https://www.architectural-

review.com/essays/typology/typology-

libraries/8621638.article?blocktitle=L

b. Public Square atau yang biasa disebut dengan pusat komunitas. Pada

awalnya pusat komunitas hanya berupa alun-alun tempat masyarakat

berinteraksi. Interaksi yang tercipta karena ada kesamaan

kepentingan, kedekatan lokasi, jenis komunitas, ataupun kegiatan

yang dilaksanakannya. Pusat komunitas mampu menstimulasi

kesadaran dengan merangkul beragam orang untuk meredakan isu-

isu global, seperti politik, polusi, rasisme, dsb. Keberagaman isu dan

aktivitas membuat pusat komunitas juga memiliki program ruang

yang variatif, seperti amphitheater, sunken sports playground, dsb.

(Wilkinson, 2017)

18

Gambar 2.4. Linimasa Perkembangan Tipologi Pusat Komunitas.

Diakses dari: https://www.architectural-review.com/essays/typology-

public-square/10017533.article?blocktitle=

19

c. Museum. Bangunan edukasi yang satu ini mengalami beberapa

evolusi berdasarkan beberapa linimasa. Pada awalnya museum sudah

berperan sebagai theatre of memory di mana museum sebagai tempat

mempertunjukkan koleksi-koleksi barang sejarah sebuah negara,

ataupun koleksi-koleksi barang antik lainnya. Pada abad ke 19,

terjadi gebrakan perubahan pendekatan desain museum oleh Frank

Lloyd Wright. Dengan menerapkan bahwa ruang dari museum tidak

hanya berperan sebagai kotak-kotak ruang untuk pameran,

melainkan ruangan itu sendiri memiliki arti dan mampu

mempengaruhi aspek pandangan pengunjung. Selanjutnya, ada juga

era desain museum dengan pendekatan utopia oleh Renzo Piano dan

Richard Rogers di mana museum menjadi ikon sebuah kota dengan

penampilan struktur bangunan berteknologi tinggi. Kemudian

museum juga mengalami perubahan secara tipologi di tangan arsitek-

arsitek berpaham dekonstruksi, mereka memilih untuk menjadikan

museum sebagai objek dari cerita sebuah masa lalu daripada harus

meletakkan benda-benda sejarah untuk dipamerkan. Pada masa

dekonstruksi, desain museum dirancang dengan pendekatan

pengalaman ruang, di mana edukasi berperan di dalamnya dengan

menstimulasi kesadaran pengunjungnya, seperti Jewish Museum

karya Daniel Libeskind. Tidak hanya dengan pendekatan ruang, di

saat yang hamper bersamaan, desain museum juga mendapatkan

pendekatan baru, yaitu museum lansekap. Pendekatan ini membuat

alam atau genius loci suatu daerah menjadi pusat dari perancangan

museum. Museum dengan pendekatan ini hadir untuk mengatasi

masalah-masalah lingkungan seperti polusi atau eksploitasi lahan dan

berperan sebagai media untuk mengedukasi kesadaran penggunanya

melalui memori genius loci daerah tersebut. Contohnya

Matsunoyama Natural Science Museum oleh Tezuka Architect.

Walaupun perancangan museum memiliki berbagai macam

20

pendekatan, pada dasarnya semua museum berfungsi sebagai

bangunan edukasi untuk masyarakat, penyesuaian terhadap konteks

akan jadi penentu ketepatan pendekatan mana yang lebih cocok.

(Marotta, 2012)

Gambar 2.5. Linimasa Perkembangan Tipologi Museum. Diakses

dari: https://www.architectural-review.com/essays/typology/typology-

museums/8640202.article?blocktitle=Museum

d. Sekolah merupakan bangunan yang terdiri dari kelas-kelas, koridor,

dan beberapa fasilitas pendukungnya untuk memberikan fleksibilitas,

konektivitas, ruang inklusivitas sosial, dan pemahaman edukasi bagi

siswanya. Tantangan terbesar merancang bangunan sekolah adalah

menciptakan ruang semenarik mungkin dan pada saat bersamaan

tetap terbuka pada perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan

21

tipologi sekolah yang berwujud formal dengan aktivitasnya yang

juga formal. (Kuhn, 2012)

Gambar 2.6. Linimasa Perkembangan Tipologi Sekolah. Diakses

dari: https://www.architectural-review.com/buildings/school

2.2.3. Perancangan Bentuk

Akan lebih mudah melihat dan memahami secara visual bentuk yang

lebih sederhana dan teratur. (D.K. Ching, 2007) Untuk itu bentuk dasar

dalam sebuah perancangan dibagi 3, yaitu:

a. Lingkaran.

Sebuah deretan titik dengan jarak yang sama dan seimbang dalam

sebuah lengkungan. Pertimbangan dalam memilih bentuk lingkaran:

orientasi aktivitas yang memusat, pengembangan bentuk yang banyak,

karakter dinamis dengan sudut orientasi yang tak terbatas.

22

Gambar 2.7. Wujud Bentuk Dasar Lingkaran. Sumber: Architecture: Form,

Space, and Order 3rd Edition. 2007

b. Segitiga

Sebuah bentuk dasar yang memiliki tiga sisi dan tiga sudut. Bentuk ini

menggambarkan sebuah bentuk yang stabil. Pertimbangan dalam

memilih bentuk segitiga: memiliki orientasi aktivitas yang kuat pada

salah satu sudut orientasi, bentuk yang menyampaikan arah,

perkembangan, dan tujuan, sering mempunyai ruang sisa.

Gambar 2.8. Wujud Bentuk Dasar Segitiga. Sumber: Architecture: Form,

Space, and Order 3rd Edition. 2007

c. Bujur Sangkar

Menggambarkan bentuk yang simetris, jujur, dan rasional dengan

memiliki 4 sisi dan 4 sudut yang sama besar. Pertimbangan dalam

memilih bentuk bujur sangkar: memiliki orientasi aktivitas yang cukup

fleksibel, memiliki karakter formal, netral, dan stabil, penataan dan

pengembangan bentuk relatif lebih mudah.

23

Gambar 2.9. Wujud Bentuk Dasar Bujur Sangkar. Sumber: Architecture:

Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

2.2.4. Hubungan-hubungan Spasial

Melakukan manipulasi konfigurasi bentuk adalah untuk menentukan

besaran ruang solid atau volume ruang, dan bagaimana pola solid-void

mempengaruhi kualitas visual ruang yang dirancang. (D.K. Ching, 2007)

Manipulasi konfigurasi bentuk ini dapat dilakukan melalui hubungan-

hubungan spasial, sebagai berikut:

a. Ruang dalam Ruang.

Konsep hubungan spasial ini adalah menampung kesinambungan

spasial dan visual dari dua ruang. Karakternya yaitu ruang yang lebih

besar menampung ruang yang lebih kecil di dalamnya, ruang yang

lebih kecil tersebut dapat dibuat dengan bentuk yang berbeda dari

ruang yang menyelimutinya untuk menunjukkan adanya hirarki

ruang yang ditampung tersebut.

24

Gambar 2.10. Alternatif Pengembangan Hubungan Ruang dalam

Ruang. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

b. Ruang yang Saling Mengunci.

Konsep hubungan spasial ini adalah menumpuk sebuah bidang ruang

pada bidang ruang yang lainnya. Ruang yang saling menumpuk dan

mengunci ini dapat berfungsi untuk menghubungkan kedua fungsi

ruang aslinya, mengakuisisi salah satu bagian ruang yang mengunci,

ruang yang saling mengunci dapat menghasilkan ruang baru yang

dapat dibagi rata antar ruang yang saling mengunci.

Gambar 2.11. Alternatif Pengembangan Hubungan Ruang yang Saling

Mengunci. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

25

c. Ruang yang Berdekatan.

Konsep hubungan spasial ini adalah menunjukkan sifat

individualistis masing-masing ruang dalam mendefinisikan fungsi

dan simbolnya. Kesinambungan ruang dan visual antara dua ruang

yang berdekatan dapat dipisahkan melalui bidang yang membatasi

akses visual dan fisik, bidang yang berdiri sendiri dalam sebuah

volume, didefinisikan dengan deretan kolom, didefinisikan dalam

perbedaan level, tekstur, atau material.

Gambar 2.12. Alternatif Pengembangan Ruang yang Berdekatan.

Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

26

d. Ruang yang Dihubungkan oleh Ruang.

Konsep hubungan spasial ini adalah mengandalkan ruang perantara

untuk menghubungkan antar ruang. Ruang perantara ini dapat dibuat

dengan bentuk, ukuran, dan orientasi yang sama maupun berbeda.

Gambar 2.13. Alternatif Pengembangan Ruang yang Dihubungkan

oleh Ruang. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition.

2007

2.2.5. Organisasi Ruang

Dengan beberapa metode organisasi ruang yang baik sesuai dengan

fungsi khususnya dapat membentuk pola-pola ruang yang teratur. (D.K.

Ching, 2007) Organisasi ruang tersebut terbagi menjadi 5, yaitu:

27

a. Organisasi Ruang Terpusat.

Sebuah ruang pusat yang dikelilingi oleh beberapa ruang sekunder

yang dikelompokkan. Pusat ruang biasanya memiliki hirarki yang

tinggi dan dianggap utama. Organisasi ruang terpusat berfungsi

untuk menciptakan titik pusat dalam bangunan dan menghilangkan

kondisi aksial.

Gambar 2.14. Bentuk Alternatif Pengembangan dan Contoh Aplikasi

Organisasi Ruang Terpusat. Sumber: Architecture: Form, Space, and

Order 3rd Edition. 2007

b. Organisasi Ruang Linier.

Sederetan ruang baik secara fungsi yang sama ataupun berbeda

tertata dalam satu garis. Organisasi ruang linier bersifat fleksibel

karena dapat merespon beragam kondisi tapak, dapat disusun secara

horizontal, vertikal, ataupun secara diagonal mengikuti arah

kemiringan tanah. Organisasi ruang linier berfungsi untuk

menekankan sebuah pergerakan atau alur, membentuk pola ruang

melalui sumbu (axis), dan menghubungkan beberapa bentuk atau

organisasi ruang lain di sepanjang jalurnya.

28

Gambar 2.15. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi Ruang

Linier. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

c. Organisasi Ruang Radial.

Sebuah pusat dominan yang menjadi acuan menjulurnya jari-jari

organisasi ruang-ruang linier. Organisasi ruang ini sering ditemukan

pada bangunan-bangunan hotel atau hunian vertikal di mana inti

bangunan yang menjadi acuan menjulurnya ruang-ruang kamar atau

29

unitnya. Organisasi ruang ini berfungsi untuk membagi alternatif

ruang yang dapat diakses secara fleksibel oleh pengguna.

Gambar 2.16. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi Ruang

Radial. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

d. Organisasi Ruang Kluster.

Organisasi ruang yang sering disebut organisasi ruang kelompok

homogen di mana kelompok ruang tersebut memanfaatkan suatu ciri

fisik atau hubungan visual, seperti bentuk, ukuran, atau fungsi.

Organisasi ruang ini berfungsi untuk mendapatkan view dari dalam

tapak dengan kualitas yang sama bagi masing-masing ruang dan

membentuk tatanan ruang yang bebas dengan salah satu dari

indikator bentuk, ukuran, atau fungsi.

30

Gambar 2.17. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi

Ruang Kluster. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition.

2007

e. Organisasi Ruang Grid.

Ruang-ruang yang telah diatur dalam sebuah kerangka grid atau

struktural tiga dimensi. Pola grid tidak menggambarkan sesuatu

organisasi yang kaku, organisasi ruang ini dapat mengalami

transformasi seperti diputus, diputar, ditambah, dikurang, ataupun

dilapisi selama identitasnya sebagai grid dalam mengatur ruang tetap

31

dipertahankan. Organisasi ruang grid berfungsi untuk membentuk

desain yang modular dan mendapatkan kejelasan baik orientasi

maupun sirkulasi.

Gambar 2.18. Bentuk Alternatif Pengembangan Organisasi Ruang

Grid. Sumber: Architecture: Form, Space, and Order 3rd Edition. 2007

2.2.6. Hubungan Arsitektur dan Kesadaran Manusia

Solso (2003) mengilustrasikan bagaimana arsitektur dapat

mempengaruhi kesadaran manusia melalui The Falling Water House karya

arsitek Frank Lloyd Wright yang berhasil menyentuh kesadaran

32

penggunanya melalui kesadaran emosi yang tenang dan teduh. Emosi ini

dibentuk dari menggabungkan elemen seni dan alam.

Gambar 2.19. The Falling Water House Karya Frank Lloyd Wright Membangkitkan

Kesadaran melalui Emosi. Diakses dari https://franklloydwright.org/site/fallingwater/

Carl Jung dalam buku The Psychology of Art and the Evolution of the

Conscious Brain (Solso, 2003) menyatakan seorang seniman atau arsitek

dikatakan berhasil apabila mampu menyampaikan pesan dari karya tersebut

melalui kesadaran pengalaman dan pengetahuan yang telah ada di dalam diri

seseorang (aspek recall of knowledge).

Elemen-elemen dalam desain seperti warna, garis, bentuk, fasad, suara,

bahkan bau sekalipun tidak akan memiliki arti apabila karya desain tersebut

tidak mampu mengaktifkan salah satu dari kelima aspek AWAREness. (Solso,

2003)

2.2.7. Arsitektur dan Perilaku Manusia

a. Pengertian Arsitektur

Tandal dan Egam mendefinisikan arsitektur sebagai sintesis cabang

ilmu seni dan ilmu merancang yang senantiasa memperhatikan aspek,

fungsi, dan estetika. Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin

kompleks membuat ilmu perilaku manusia wajib diperhitungkan dalam

33

aspek perancangan yang sering disebut dengan pengkajian lingkungan

perilaku dalam arsitektur. (Wicaksono, 2018)

b. Pengertian Perilaku

Kata perilaku menyatakan sebuah kesadaran struktur sosial orang-orang

dan suatu dinamika yang terjadi secara dinamis dalam suatu periode waktu.

(Heimsath, 1988)

Mengenai sifatnya, Tandal dan Egam membagi dua jenis perilaku

(Wicaksono, 2018), yaitu:

Perilaku tertutup: respon tertutup dari diri seseorang yang tidak

dapat diamati orang lain secara jelas berdasarkan stimulus

perhatian, persepsi, dan pengetahuan/kesadaran. (tipe awareness

psikologis)

Perilaku terbuka: respon seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk tindakan atau praktek. (tipe awareness fisiologis)

c. Pengertian Arsitektur Perilaku

Arsitektur perilaku adalah ilmu untuk menciptakan ruang yang

manusiawi, manusiawi terhadap berbagai macam perilaku manusia beserta

lingkungan dan budaya masyarakatnya. (Wicaksono, 2018)

d. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku manusia sangat mudah dipengaruhi oleh suatu setting atau

lingkungan fisik. Modifikasi suatu setting dapat mempengaruhi perilaku

manusia ke depannya, ntah dapat menciptakan sebuah perilaku yang baik

atau buruk. Untuk itu, menurut Setiawan pada tahun 1995 (Wicaksono,

2018) modifikasi perilaku harus memperhatikan beberapa variabel berikut:

Ruang. Fungsi dan hirarki ruang menjadi factor yang membuat

ruang dapat mempengaruhi perilaku penggunanya.

34

Ukuran dan Bentuk. Ruangan yang dirancang dengan ukuran

yang terlalu besar atau kecil dan bentuk yang terlalu simetris

atau asimetris mampu mempengaruhi psikologis penggunanya.

Perabot dan Penataannya. Penataan layout prabot yang simetris

dan asimetris harus diperhatikan karena memberikan kesan

ruangan menjadi terlalu kaku atau ruangan terlalu berantakan.

Warna. Setiap warna memiliki artinya masing-masing, setiap

arti tersebut memberikan impresi terhadap kualitas ruangnya

yang akan mempengaruhi kesadaran dan suasana internal

pengguna di dalam sebuah ruang.

Suara, Temperatur, dan Pencahayaan. Suara yang terlalu keras,

temperature yang terlalu dingin atau panas, dan pencahayaan

yang terlalu terang atau gelap akan berpengaruh buruk kepada

perilaku manusia di dalam bangunan.

e. Prinsip-prinsip Arsitektur Perilaku

Arsitektur hadir untuk pemenuhan kebutuhan manusia, begitu pula

sebaliknya, dari arsitektur yang tercipta melahirkan kebutuhan manusia yang

baru akan ruang. (Wicaksono, 2018). Untuk itu dalam perancangannya perlu

memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

Mampu berkomunikasi dengan manusia dan lingkungannya.

Sebuah karya perancangan yang baik harus mudah dipahami

penggunanya melalui penginderaan atau imajinasi melalui

simbol-simbol yang mencerminkan fungsi bangunan, skala dan

proporsi yang tepat, material dan struktur yang dapat dirasakan

pengguna.

Mewadahi pengguna dengan rasa nyaman dan menyenangkan.

Nyaman berarti bangunan mampu menstimulasi AWAREness

melalui kenyamanan fisik dan psikis. Menyenangkan berarti

35

bangunan memberikan pengalaman yang berhasil memenuhi

kebutuhan fisik, psikologis, dan kultural penggunanya.

Memenuhi aspek-aspek estetika perancangan arsitektur:

kesatuan, keseimbangan, skala, proporsi, dan irama.

f. Ruang Lingkup Arsitektur Perilaku

Tandal dan Egam menyatakan bahwa arsitektur dan manusia

membentuk skema berulang. Hal ini karena arsitektur mampu

mempengaruhi perilaku manusia melalui pemenuhan kebutuhan-

kebutuhannya dan perilaku manusia akan mengkaji ulang karya arsitektur

sehingga melahirkan sebuah kebutuhan yang baru sehingga perilaku

manusia juga berperan dalam membentuk arsitektur.

Gambar 2.20. Gambar Skema Hubungan Arsitektur dan Perilaku Manusia. Sumber:

Wicaksono, 2018

2.3. Preseden

2.3.1. Farming Kindergarten oleh Vo Trong Nghia Architects

Architect : Vo Trong Nghia Architects

Project Location : Dong Nai, Vietnam

Project Year : 2013

Area : 3800 m2

36

Gambar 2.21. Foto Aerial Farming Kindergarten. Diakses dari

https://www.archdaily.com/566580/farming-kindergarten-vo-trong-nghia-

architects/54624917e58ecee2b400003d-

03_aerial_view_from_ne_with_the_shoe_factory_behind_the_building-

jpg?next_project=no

Berbeda dari tipologi sekolah atau taman kanak-kanak pada

umumnya, sekolah ini dirancang dengan meletakkan arsitektur untuk

berperan baik di dalamnya. Bangunan ini menyampaikan cerita edukasi

tentang berinteraksi dengan alam melalui agriculture education di tengah

kota padat yang sedang berkembang pesat.

Terletak di kota Dong Nai, Vietnam di mana perkembangan kota

yang sangat pesat juga mengakibatkan beberapa kerusakan lingkungan. Kota

ini seringkali dilanda masalah banjir dan tingginya angka kendaraan

bermotor sehingga polusi udara juga menjadi isu dalam perancangan sekolah

ini. Belum lagi kondisi tapak yang terletak persis di sebelah pabrik sepatu.

37

Gambar 2.22. Rencana Tapak Farming Kindergarten. Diakses dari

https://www.archdaily.com/566580/farming-kindergarten-vo-trong-nghia-

architects/54624ad2e58eceedac00003e-site-plan?next_project=no

Isu-isu tersebut dijawab oleh arsiteknya melalui konsep sekolah yang

memperkenalkan edukasi untuk kecintaan alam yang harus ditanam sejak

dini kepada anak-anak. Mayoritas yang bersekolah di sekolah ini juga

merupakan anak-anak yang mana orang tuanya juga bekerja di pabrik sepatu

tersebut.

Edukasi kesadaran tersebut dirancang oleh arsitek melalui ruang-

ruang kelas dan koridornya semua yang bersifat looping dengan memiliki

38

ruang komunal dan void di tengah-tengahnya berupa halaman hijau yang

sangat luas untuk anak-anak bermain dan belajar. Fokus utamanya adalah

bukan edukasi yang melulu dilakukan di dalam ruang kelas, melainkan di

luar ruang di mana anak lebih banyak dibuat berinteraksi dengan alam.

Gambar 2.23. Lubang Void yang Dimanfaatkan Sebagai Taman

Komunal. Diakses dari https://www.archdaily.com/566580/farming-

kindergarten-vo-trong-nghia-architects/5462494de58ece4d99000043-

10_green_roof-jpg?next_project=no

Selain itu bagian atap yang biasa dibuat hanya sebagai pelindung

bangunan dari cuaca dan orang tua sangat mempertimbangkan keamanan

anak jika bermain di area atap, tidak berlaku pada rancangan sekolah ini.

Bentuk looping yang dihubungkan dengan ramp-ramp yang melingkar

membuat bangunan terasa aman untuk diakses. Selain itu area atap

dimanfaatkan untuk area urban farming untuk anak-anak lebih banyak

berinteraksi dengan alam.

Kesimpulannya, bangunan ini sudah menerapkan peran-peran

arsitektur di dalam wadah edukasi pengenalan akan alam dengan baik

melalui organisasi ruangnya yang terpusat pada taman-taman hijaunya yang

39

luas, akses sirkulasi menuju atap yang nyaman dan aman, program ruang

yang sangat jelas mengedukasi anak untuk banyak berinteraksi dengan alam,

konektivitas sosial dan spasial yang mengizinkan anak-anak memiliki

pengalaman ruangnya sendiri dan mengakomodasi self learning dan

interpreting yang baik, dan kualitas pencahayaan dengan memanfaatkan

sinar matahari yang masuk melalui kisi-kisi, void, dan bukaan berupa

jendela-jendela yang transparan.

Gambar 2.24. Area Atap yang Dimanfaatkan Sebagai Urban Farming.

Diakses dari https://www.archdaily.com/566580/farming-kindergarten-

vo-trong-nghia-architects/54624989e58eceedac00003b-

18_experimental_vegetable_garden-jpg?next_project=no

2.3.2. Yad Vashem Holocaust History Museum

Architect : Safdie Architects

Project Location : Jerusalem, Israel

Project Year : 2005

Area : 17700 m2

40

Gambar 2.25. Foto Aerial Museum Ekspansi dan Konteks

Lingkungannya. Diakses dari

https://www.yadvashem.org/museum/holocaust-history-museum.html

Terletak di dekat puncak yang dianggap sakral, yaitu Gunung Herzl

atau yang lebih dikenal dengan Mount of Remembrance. Museum ekspansi

ini dibuat juga untuk sebagai monument of remembrance bagi para orang

Israel terkait kejadian Holocaust. Museum ini tidak hanya mengedukasi

sejarah kelam tersebut melalui peninggalan barang-barang yang tersisa dari

para korban, tetapi juga edukasi melalui sebuah cerita yang dirangkai di

dalam pengalaman ruang. Pengunjung museum dibuat seolah-olah ikut

dalam situasi mengerikan yang terjadi kala itu melalui desain bangunannya.

Pengalaman masing-masing pengunjunglah yang akan meningkatkan

kesadarannya masing-masing melalui interpretasi masing-masing

pengunjung melalui pengalaman yang dirasakannya di dalam museum.

Museum ini terletak di radius ±1km dari perumahan dan mudah diakses

melalui transportasi publik.

41

Entrance Museum dimulai dari sebuah plaza besar, aqueduct

eksisting, dan sebuah mevoah (pusat informasi museum). Di dalam pusat

informasi, pengunjung dibuat seperti seseorang yang belum menyadari

bahwa status dirinya adalah seorang yang sedang diburu. Gambaran tersebut

digambarkan melalui bayangan-bayangan garis-garis pada baju pengunjung

yang tercipta melalui langit-langit kisi-kisi kayu seolah-seolah menjadi

seorang tawanan, namun masih dapat bergerak bebas. Pergerakan bebas

tersebut digambarkan melalui ruang gerak sirkulasi manusia yang dibuat

lebar dan fleksibel karena tidak berdinding.

Gambar 2.26. Rencana Tapak Museum dan Sirkulasinya. Diakses dari

https://www.yadvashem.org/museum/holocaust-history-museum.html

42

Sebelum memasuki massa utama museum yang didominasi beton

yang merepresentasikan sebuah keadaan yang dingin ada di dalamnya,

pengunjung harus melewati sebuah jembatan yang terkesan ringan dari

material baja dan panel-panel kayu. Massa utama museum ini juga dibuat

sunken di antara kontur tanah untuk menghormati Mount of Remembrance.

Gambar 2.27. Jembatan yang Menghubungkan Mevoah dengan Massa

Utama Museum. Diakses dari

https://www.safdiearchitects.com/posts/rising-to-the-symbolic

Massa utama bangunan dibuat segitiga yang memanjang membentuk

koridor linier yang semakin sempit di bagian ujungnya. Arsiteknya ingin

membentuk kesadaran emosi pengunjung melalui himpitan dinding beton

yang tinggi dan keras serta sobekan massa untuk memasukkan sedikit cahaya

dari langit-langit seolah-olah pengunjung sedang bersembunyi dari

pembantaian. Di dalamnya juga terdapat gang-gang berbentuk zigzag untuk

43

area pameran dan pada gang terakhir terbentuk sebuah kerucut seperti

gunung yang dipasang foto-foto dan nama korban pada dindingnya.

Gambar 2.28. Sketsa Ide Monumen untuk Memasukkan Cahaya Matahari

ke dalam Sebuah Gua dengan Tujuan Memfokuskan Foto-foto yang

Dipajang pada Dinding. Lu. 2017

Di bagian akhir dari koridor linier yang panjang dan semakin sempit

terdapat teras besar yang menawarkan pemandangan Gunung Herzl sebagai

makna puncak berakhirnya kejadian Holocaust ini.

44

Gambar 2.29. Akhir dari Perjalanan Linier di dalam Museum. Lu. 2017

2.3.3. Rumah Atsiri oleh Ir. Paulus Mintarga

Arsitek : Ir. Paulus Mintarga

Lokasi Proyek : Tawangmangu, Indonesia

Tipologi : Museum

Tahun : 2018

Area : 9745 m2

Gambar 2.30. Tampak Luar Rumah Atsiri. Diakses dari

https://gramho.com/media/2103530934771685961

45

Bangunan ini awalnya merupakan sebuah pabrik minyak atsiri yang

dibangun pada tahun 1963 di Desa Plumbon, Tawangmangu, Jawa Tengah.

Terletak di daerah yang cukup jauh dari kota Solo, Rumah Atsiri ini

diproyeksikan menjadi sebuah edu-recreation dengan mempelajari berbagai

macam minyak atsiri.

Dalam pengembangannya, tim arsitek tetap menghormati identitas

bangunan lamanya walaupun Rumah Atsiri tidak termasuk dalam cagar

budaya.

Adapun program-program edukasi baru yang ditawarkan oleh tim

arsitek disajikan seperti sebuah siklus. Siklus itu dimulai dari program

penanaman dan pengembangbiakkan minyak atsiri pada lahan seluas 2,3

hektar, kemudian diolah sesuai dengan kebutuhan produksi, seperti parfum,

bahan olahan makanan, sabun di dalam sebuah laboratorium, setelah produk

dihasilkan dijual melalui fungsi ritel dan dipamerkan melalui taman koleksi

dan museum. Pengunjung juga dapat mencicipi berbagai makanan olahan

dari atsiri pada fungsi pujaseranya. Selain itu, pengunjung juga dapat belajar

di ruang workshop dan kunjungan ke greenhouse Rumah Atsiri.

Rumah Atsiri merupakan salah satu preseden tipologi museum

edukasi dengan pendekatan museum lansekap, hal ini ditunjukan melalui

bentukan museum yang mempertahankan genius loci tapak yaitu perkebunan

minyak atsiri dan mengembangkannya sebagai museum hidup yang

menceritakan kekayaan atsiri di daerah tersebut.

46

Gambar 2.31. Perspektif Mata Burung Taman Atsiri. Diakses dari

http://www.constructionplusasia.com/id/rumah-atsiri-indonesia/

Gambar 2.32. Greenhouse Rumah Atsiri. Diakses dari

http://www.constructionplusasia.com/id/rumah-atsiri-indonesia/

Gambar 2.33. Pujasera di Rumah Atsiri. Diakses dari

https://jejakbocahilang.wordpress.com/2018/12/23/rumah-atsiri-

indonesia/#jp-carousel-14820

47

Gambar 2.34. Aksonometri Program Ruang Rumah Atsiri Tahap 1 dan

Tahap 2. Diakses dari http://www.constructionplusasia.com/id/rumah-

atsiri-indonesia/

48

2.4. Pisau Analisa

Indikator Teori Preseden

Farming

Kindergarten

Yad

Vashem

Museum

Rumah

Atsiri

Bangunan mengedukasi melalui

aspek-aspek AWARENESS

Bangunan memiliki target pengguna

yang akan diedukasi dengan jelas

Bangunan memiliki konektivitas

sosial dengan menciptakan wadah

interaksi antar pengguna

Bangunan menerapkan pemusatan

visual pada aktivitas manusia di

dalam sentral wadah edukasi.

Bangunan mudah dikenali

berdasarkan tipologi melalui hirarki

fungsi dan program ruang

Pembagian zonasi ruang terlihat

jelas

Sirkulasi di dalam bangunan

mengizinkan pengguna bergerak

bebas (fleksibel) namun tidak

membingungkan

Alur cerita edukasi disampaikan

dengan jelas melalui organisasi

ruang

49

Bangunan menerapkan skala ruang

yang sesuai dengan konteks edukasi

kesadaran yang akan disampaikan

Bangunan menerapkan warna yang

sesuai dengan konteks edukasi

kesadaran yang akan disampaikan

Pencahayaan, temperature, dan

suara di dalam bangunan mengatur

perilaku dan respon penggunanya

Ukuran dan Bentuk ruang

mempengaruhi perilaku

penggunanya

Tabel 2.1. Tabel Checklist Studi Preseden. Sumber: Dokumen Pribadi

Setelah melakukan tinjauan teori dan studi preseden, ditemukan beberapa poin

kesimpulan aplikasi teori dalam strategi perancangan sebuah wadah edukasi yang

berhasil, yaitu sebagai berikut:

1. Organisasi ruang yang digunakan biasanya terpusat atau linier untuk membantu

menjelaskan maksud edukasi dengan lebih mudah, di mana terpusat akan lebih

berperan sebagai konektor visual dan sosial, sedangkan linier akan berperan sebagai

narrator.

2. Bangunan biasanya memanfaatkan kondisi lingkungan alam, baik konteksnya

sakral, heritage, ataupun memiliki isu lingungan lainnya di dalam tapak ataupun di

sekitarnya sebagai media untuk membangun kesadaran penggunanya.

3. Bangunan edukasi-edukasi ini selalu menerapkan void untuk membentuk

konektivitas visual dan sosial.

4. Pemanfaatan cahaya matahari melalui skylight ataupun bukaan-bukaan yang besar

berperan untuk memberikan efek emosi kepada pengunjung.

5. Sirkulasi berupa koridor umumnya dibuat melebihi dari standar 1,2m untuk

menciptakan ruang gerak yang fleksibel dan dinamis.

50

6. Hubungan antar lantai bangunan tidak dihubungkan dengan lift, melainkan dengan

tangga ataupun ramp dengan tujuan membentuk sebuah alur sirkulasi agar

pengunjung dapat mengeksplorasi ruang di setiap lantai.

7. Jumlah lantai bangunan edukasi biasanya 2-3 lantai untuk tidak membuat para

pengunjung juga terlalu lelah karena mengeksplorasi seluruh ruang dengan tangga

atau ramp.

8. Warna-warna dan tekstur yang digunakan umumnya warna dan tekstur natural yang

bersifat netral sehingga tidak membiaskan fokus dari edukasi yang akan

disampaikan melalui bangunan.

9. Hubungan antar ruang yang paling sering digunakan berdasarkan urutannya adalah

hubungan ruang yang dihubungkan oleh ruang, ruang yang berdekatan, ruang yang

saling mengunci, dan yang terakhir adalah ruang dalam ruang.