bab ii tinjauan pustaka€¦ · susunan atau komposisi muatan lokal 3) ... kompetensi dasar...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Kurikulum Muatan lokal Bahasa
Jawa
2.1.1 Kurikulum Muatan lokal Bahasa Jawa
Muatan Lokal merupakan kegiatan
kurikuler untuk mengembangkan kompetensi
yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi
daerah, termasuk keunggulan daerah, yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam
mata pelajaran yang ada. Kurikulum Muatan
lokal Bahasa Jawa ditetapkan oleh Gubernur
Jawa Tengah pada tanggal 27 Januari 2010 di
Semarang (Kurikulum Muatan lokal Bahasa
Jawa, 2010;). Hal ini ditindaklanjuti oleh Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dengan
menyusun Kurikulum Muatan lokal Mata
Pelajaran Bahasa Jawa sebagai pedoman
penyelengaraan kegiatan pembelajaran Bahasa
Jawa yang mencakup lingkup materi dan
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi
lulusan minimal pada SD/SDLB/MI dan
SMP/SMPLB/MTs Negeri dan Swasta di Jawa
Tengah. Substansi mata pelajaran Muatan lokal
ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak
8
terbatas pada mata pelajaran keterampilan,
Muatan lokal termasuk bagian dari struktur
kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di
dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Keberadaan mata pelajaran Muatan lokal
merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang tidak terpusat, sebagai upaya agar
penyelenggaraan pendidikan di masing-masing
daerah lebih meningkat relevansinya terhadap
keadaan dan kebutuhan daerah yang
bersangkutan. .(Kurikulum Mata Pelajaran
Muatan lokal (Bahasa Jawa) untuk jenjang
pendidikan SD/SDLB/MI dan SMP/SMPLB/Mts
Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah, 2010).
Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan
mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan
kurikulum Muatan lokal Bahasa Jawa
mendukung dan melengkapi kurikulum nasional
(UU Sisdiknas , 2003). Tujuan umum Muatan
lokal Bahasa Jawa adalah sebagai acuan bagi
satuan pendidikan sekolah dalam pengembangan
mulok yang akan dilaksanakan pada tingkat
satuan pendidikan yang bersangkutan,
sedangkan tujuan khusus adalah : memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku
kepada peserta didik agar mereka memiliki
wawasan yang mantap tentang keadaan
9
lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai
dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di
daerahnya dan mendukung kelangsungan
pembangunan daerah serta pembangunan
nasional. Lebih jelas lagi terutama agar peserta
didik dapat: (1) mengenal dan menjadi lebih
akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan
budayanya, (2) memiliki pengetahuan,
kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan
mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya
maupun lingkungan masyarakat pada umumnya
sebagai bekal siswa, (3) memiliki sikap dan
perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-
aturan yang berlaku di daerahnya, serta
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai
luhur budaya setempat dalam rangka menunjang
pembangunan nasional (Dakir, 2004,Iim, 2007,
Muhaimin, 2007).
Lingkup Keadaan dan Kebutuhan Daerah.
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang
terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya
berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan
sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya.
Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang
diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah,
khususnya untuk kelangsungan hidup dan
peningkatan taraf kehidupan masyarakat
10
tersebut, yang disesuaikan dengan arah
perkembangan daerah serta potensi daerah yang
bersangkutan.
Lingkup Isi/Jenis Muatan lokal. Dapat
berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris,
kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan
daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang
berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta
hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang
bersangkutan. Untuk pengembangan dan
penetapan mata pelajaran disesuaikan dengan
kondisi Sekolah Saat Ini, seperti : (1) analisis
Muatan lokal yang ada di sekolah, apakah masih
layak dan relevan Mulok diterapkan di
sekolah?(2) bila muatan lokal yang diterapkan di
sekolah tersebut masih layak digunakan maka
kegiatan berikutnya adalah merubah Muatan
lokal tersebut ke dalam Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar; (3) bila Muatan lokal yang
ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka
sekolah bisa menggunakan Mulok dari sekolah
lain atau tetap menggunakan Mulok yang
ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan
mulok yang lebih sesuai. Pengembangan dan
Penetapan Standar kompetensi dan Kompetensi
dasar yakni: 1) mengidentifikasi keadaan dan
kebutuhan daerah 2) menentukan fungsi dan
11
susunan atau komposisi Muatan lokal 3)
mengidentifikasi bahan kajian Muatan lokal; 4)
menentukan Mata Pelajaran Muatan lokal; 5)
mengembangkan Standart kompetensi dan
Kompetensi dasar berserta silabusnya dan RPP-
nya; 6) Pelaksanaan Sekolah yang mampu
mengembangkan Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar beserta silabus dan RPP-nya
dapat melaksanakan Mulok.
Bila belum mampu melaksanakan Mulok
berdasarkan kegiatan-kegiatan yang
direncanakan oleh sekolah, maka dapat meminta
bantuan kepada sekolah lain yang masih dalam
satu daerah. Bila beberapa sekolah dalam satu
daerah belum mampu mengembangkan SK dan
KD Mulok, dapat meminta bantuan Tim
Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah
setempat, atau meminta bantuan dari LPMP di
propinsi. Pihak yang terlibat dalam
Pengembangan Muatan lokal TPK, LPMP,
Perguruan tinggi, Instansi/lembaga di luar
Depdiknas, misalnya: pemerintah
Daerah/Bapeda, Dinas Departemen lain terkait,
dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat.
Rambu-Rambu Bahan kajian disesuaikan dengan
tingkat perkembangan peserta didik
12
(pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan
sosial).
2.1.2 Pembelajaran Bahasa Jawa di SD
Bahasa Jawa adalah suatu bahasa daerah
yang merupakan bagian dari kebudayaan
nasional Indonesia, yang hidup dan tetap
dipergunakan dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Bahasa Jawa yang terus
berkembang maka diperlukan penyesuaian ejaan
huruf Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu
bahasa daerah sehingga perlu dilestarikan
supaya tidak hilang keberadaannya. Kurikulum
Bahasa Jawa (2010: 1) pelestarian dan
pengembangan Bahasa Jawa didasarkan pada
beberapa hal sebagai berikut:
1) Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi
sebagian besar penduduk Jawa; 2) Bahasa
Jawa memperkokoh jati diri dan
kepribadian orang dewasa; 3) Bahasa Jawa,
termasuk didalamnya sastra dan budaya
Jawa, mendukung kekayaan khasanah
budaya bangsa; 4) Bahasa, Sastra dan
budaya Jawa merupakan warisan budaya
adiluhung, dan 5) bahasa, Sastra, dan
budaya Jawa dikembangkan untuk
mendukung life skill.
13
Fungsi Bahasa Jawa yang tadinya lebih
luas meliputi sampai pada bahasa resmi di
kalangan pemerintahan dan ilmu pengetahuan di
sekolah sekarang menjadi lebih singkat.
Sabdwara (Supartinah, 2010: 24) fungsi Bahasa
Jawa antara lain:
a. Bahasa Jawa adalah bahasa budaya di
samping berfungsi komunikatif juga berperan
sebagai sarana perwujudan sikap budaya yang
sarat dengan nilai-nilai luhur.
b. Sopan santun berbahasa Jawa berarti
mengetahui akan batas-batas sopan santun,
mengetahui cara menggunakan adat yang baik
dan mempunyai rasa tanggungjawab untuk
perbaikan hidup bersama.
c. Agar mencapai kesopanan yang dapat menjadi
hiasan diri pribadi seseorang, maka syarat
yang harus ditempuh adalah sebagai
berikut:1) Pandai menenggangkan perasaan
orang lain di dalam pergaulan, 2)pandai
menghormati kawan maupun lawan, dan 3)
pandai menjaga tutur kata, tidak kasar, dan
tidak menyakiti hati orang lain
Pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah
dasar meliputi , menyimak, berbicara, membaca
14
dan menulis. Menyimak pada hakikatnya sama
dengan kegiatan membaca hanya saja pada
menyimak merupakan pemahaman teks lisan.
Kegiatan berbicara diarahkan pada kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan
perasaan secara lisan dengan menggunakan
Bahasa Jawa. Membaca diarahkan pada
kemampuan memahami isi bacaan, makna suatu
bacaan ditentukan oleh situasi dan konteks
dalam bacaan. Kegiatan menulis diarahkan
untuk mengembangkan kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan
perasaan secara tertulis. Program pengajaran
Muatan lokal Bahasa Jawa, lingkup mata
pelajaran Bahasa Jawa meliputi penguasaan
kebahasaan, kemampuan memahami
mengapresiasi sastra dan kemampuan
menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa
mempunyai tiga ragam bahasa yaitu basa ngoko,
basa madya, dan basa krama.
2.2 Evaluasi Program
2.2.1 Pengertian Evaluasi Program
Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1)
evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris) bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang berarti “Evaluasi” atau penilaian,
15
yang artinya kegiatan yang membandingkan
sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu.
Sedangkan menurut Arma Abdullah dalam
Tayibnapis (2008: 5) evaluasi adalah proses
pemberian makna bagi satu pengukuran dengan
mempertimbangkan pada standart tertentu,
artinya ketika kita mengukur suatu proses maka
kita akan mengacu pada standart tertentu
menurut kaidah-kaidah yang berlaku.
Menurut Stake dalam Tayibnapis (2008: 6)
evaluasi program adalah suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melihat tingkat keberhasilan program. Ada
beberapa pengertian tentang program sendiri.
Evaluasi program adalah kegiatan untuk
mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan
dari kegiatan yang direncanakan (Arikunto,
2005;5).
Tayibnapis (2008: 21) memandang bahwa
evaluasi program adalah kegiatan untuk
merespon suatu program yang telah, sedang, dan
akan dilaksanakan. Stake mengemukakan bahwa
evaluasi program pendidikan berorientasi
langsung pada kegiatan dalam pelaksanaan
program dan evaluasi dilakukan untuk merespon
pihak-pihak yang membutuhkan informasi
mengenai program tersebut, Stake menekankan
adanya dasar kegiatan dalam evaluasi yaitu
deskriptions, dan judgement dan membedakan
adanya tiga tahap dalam program pendidikan
atendent (context), transactions (process) dan
16
outcomes (output). Menurut Fitzpatrick, Sanders
dan Worthen, (2004) peran utama evaluasi
program adalah untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti; Apakah program tersebut
berjalan baik? Manfaat apa yang bisa diperoleh
dari suatu program? Apakah program berjalan
efektif? Bagian program mana yang pengaruhnya
lebih besar? ;Penyesuaian apa yang harus dibuat
agar program bisa berjalan lebih efektif?
Jadi Evaluasi program adalah suatu unit
atau kesatuan kegiatan yang bertujuan
mengumpulkan informasi tentang realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung
dalam proses yang berkesinambungan, dan
terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan
sekelompok orang guna pengambilan keputusan.
Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui
pencapaian tujuan program yang telah
dilaksanakan.
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115),
evaluasi program dilakukan dengan tujuan
untuk: 1)Menunjukkan sumbangan program
terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil
evaluasi ini penting untuk mengembangkan
program yang sama ditempat lain; 2)Mengambil
keputusan tentang keberlanjutan sebuah
17
program, apakah program perlu diteruskan,
diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin
mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi
program dapat dikatakan merupakan salah satu
bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu,
dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan langkah bagaimana melaksanakan
penelitian. Menurut Arikunto dan Jabar (2009: 7),
terdapat perbedaan yang mencolok antara
penelitian dan evaluasi program adalah sebagai
berikut:
1) Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui gambaran tentang sesuatu
kemudian hasilnya dideskripsikan,
sedangkan dalam evaluasi program
pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi
mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil
pelaksanaan program, setelah data yang
terkumpul dibandingkan dengan citra atau
standar tertentu.
2) Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut
oleh rumusan masalah karena ingin
mengetahui jawaban dari penelitiannya,
sedangkan dalam evaluasi program
pelaksana ingin mengetahui tingkat
ketercapaian tujuan pgogram, dan apabila
18
tujuan belum tercapai sebagaimana
ditentukan, pelaksana ingin mengetahui
letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
2.2.3 Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi sama artinya dengan kegiatan
supervisi. Kegiatan evaluasi/supervisi yaitu
untuk mengambil keputusan atau melakukan
tindak lanjut dari program yang telah
dilaksanakan. Menurut Arikunto dan Jabar
(2009: 22),manfaat dari evaluasi program dapat
berupa penghentian program, merevisi program,
melanjutkan program, dan menyebarluaskan
program.
Menurut Mulyatiningsih (2011: 117),
manfaat dari evaluasi program, yaitu 1)
Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya,atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan,
2) Merevisi program, karena ada bagian-bagian
yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat
kesalahan tapi hanya sedikit), 3) Melanjutkan
program,karena pelaksanaan program
menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah
sesuai dengan harapan dan memberikan hasil
yang bermanfaat, 4) Menyebar luaskan program
(melaksanakan progran di tempat-tempat lain
19
atau mengulangi lagi program dilain
waktu),karena program tersebut berhasil dengan
baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di
tempat dan waktu yang lain. Jadi manfaat
evaluasi program adalah tindakan-tindakan
seperti penghentian program, merevisi program,
melanjutkan program, dan menyebarluaskan
program.
2.3 Model-Model Evaluasi Program
2.3.1 Pengertian Model-Model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan
yang lainnya memang tampak bervariasi, akan
tetapi maksud dan tujuannya sama yaitu
melakukan kegiatan pengumpulan data atau
informasi yang berkenaan dengan objek yang
dievaluasi. Selanjutnya informasi yang
terkumpul dapat diberikan kepada pengambil
keputusan agar dapat dengan tepat
menentukan tindak lanjut tentang program
yang sudah dievaluasi.
Menurut Kaufman dan Thomas yang
dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safruddin Abdul Jabar (2009: 40 ),
membedakan model evaluasi menjadi delapan,
yaitu: 1) Goal Oriented Evaluation Model,
dikembangkan oleh Tyler; 2) Goal Free Evaluation
20
dan 3) Formatif Summatif Evaluation Model,
dikembangkan oleh Michael Scriven; 4)
Countenance Evaluation Model, dan ; 5)
Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake; 6) CSE-UCLA Evaluation Model,
menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan,
dikembangkan oleh Alkin; 7) CIPP Evaluation
Model, dikembangkan oleh Stufflebeam; dan 8)
Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus.
2.3.2 Goal Oriented Evaluation Model
Model ini merupakan model yang muncul
paling awal. Yang menjadi objek pengamatan
pada model ini adalah tujuan dari program yang
sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan,
terus-menerus, mencek sejauh mana tujuan
tersebut sudah terlaksana didalam proses
pelaksanaan program Model ini dikembangkan
oleh Tyler ( Arikunto, Suharsimi, 2004 :25)
Secara umum model evaluasi ini
memberikan penekanan terhadap produktivitas
dan akuntability dalam suatu aktifitas. Model ini
juga sering dipergunakan untuk mengukur
pencapaian dan kemajuan peserta didik. Model
ini menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan
evaluasi. Model ini sering mengutarakan
21
pertanyaan seperti apakah peserta didik dapat
mencapai suatu sasaran dengan baik?, apakah
para dosen dapat menjalankan pekerjaanya
dengan baik. Untuk membentuk ujian
pencapaian, Tyler, menggariskan beberapa
prosedur yang perlu diikuti, yaitu:
1) Mengenal pasti sasaran program yang
hendak dijalankan.
2) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk
tingkah laku dan isi kandungan.
3) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang
hendak digunakan.
4) Menentukan arah untuk mewakili situasi
5) Menentukan arah untuk mendapatkan
hasil.
Tyler ( Arikunto, Suharsimi, 2004 :27)
mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan
antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang
sebenarnya. Pendekatan Tyler memberikan dasar
pada pengukuran tingkah laku dalam suatu
tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada
hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler
telah membuat beberapa perubahan dalam
konsepnya mengenai penilaian. Perubahan ini
dikembangkan dalam definisi penilaiannya awal
yaitu penilaian dalam program yang dibuat
22
dengan membandingkan konsep program dengan
dasar yang relevan untuk memantapkan
perencanaan program. Termasuk didalamnya: 1)
Penilaian di tingkat implementasi, 2) Penilaian
dalam monitoring yang berkelanjutan dalam
suatu program.
Menurut Tyler (dalam Azizi, 2008), penilai
harus menilai tingkah laku peserta didik, pada
perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam
pendidikan. Selain itu evaluasi mesti dibuat pada
akhir program. Dalam model ini, langkah
pertama adalah mengenali tujuan suatu program.
Setelah tujuan program diketahui, indikator-
indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran
diketahui pasti. Hasil kajian akan dibandingkan
dengan tujuan program dan keputusan dibuat
level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler,
apabila tujuan program tidak tercapai
sepenuhnya, ini membawa implikasi sama bahwa
program pembelajaran lemah atau juga bahwa
tujuan yang dipilih tidak sesuai.
2.3.3 Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh
Michael Scriven ini dapat dikatakan berlawanan
dengan model pertama yang dikembangkan Tyler
evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu
23
sejak awal proses terus melihat sejauh mana
tujuan tersebut sudah tercapai, dalam model goal
free evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru
menoleh dari tujuan (Arikunto, Suharsimi, 2004
:29). Yang perlu diperhatikan dalam program
tersebut adalah bagaimana kerjanya program,
dengan jalan mengidentifikasi penampilan-
penampilan yang terjadi baik hal positif (hal yang
diharapkan) maupun hal negatif (memang tidak
diharapkan).
Alasan mengapa tujuan program tidak
perlu diperhatikan karena ada kemungkinan
evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan
khusus. Jika masing-masing tujuan khusus
tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan,
tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh
mana masing-masing penampilan tersebut
mendukung penampilan terakhir yang
diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya
jumlah penampilan khusus ini tidak banyak
bermanfaat. Dari uraian ini dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan “evaluasi lepas dari
tujuan” dalam model ini bukannya lepas sama
sekali dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan
khusus. Model ini hanya mempertimbangkan
tujuan umum yang akan dicapai oleh program,
bukan secara rinci perkomponen.
24
2.3.4 Formatif Summatif Evaluation Model
Selain model "evaluasi lepas dari tujuan",
Michael Scriven juga mengembangan model lain,
yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya tahapan dan lingkup objek yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada
waktu program masih berjalan (disebut evaluasi
formatif) dan ketika program sudah selesai atau
berakhir (disebut evaluasi sumatif (Arikunto,
Suharsimi, 2004 :31). Berbeda dengan model
yang pertama dikembangkan, model yang kedua
ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak
dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan
evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan
evaluasi sumatif. Sehingga model yang
dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk
tentang "apa, kapan, dan tujuan" evaluasi
tersebut dilaksanakan. Para evaluator
pendidikan, termasuk guru-guru yang
mempunyai tugas evaluasi, tentu sudah
mengenal dengan baik apa yang dimaksud
dengan evaluasi formatif dan sumatif. Hampir
setiap bulan guru-guru melaksanakan evaluasi
formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi
tersebut dilaksanakan untuk mengetahui sampai
seberapa tinggi tingkat keberhasilan atau
ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok
25
bahasan. Oleh karena luas atau sempitnya
materi yang tercakup di dalam pokok bahasan
setiap mata pelajaran tidak sama maka tidak
dapat ditentukan dengan pasti kapan evaluasi
formatif dilaksanakan dan berapa kali untuk
masing-masing mata pelajaran.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih
berlangsung atau ketika program masih dekat
dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi
formatif tersebut adalah mengetahui sejauh mana
program yang dirancang dapat berlangsung,
sekaligus mengidentifikasi hambatan. Dengan
diketahuinya hambatan dan hal-hal yang
menyebabkan program tidak lancar, pengambil
keputusan secara dini dapat mengadakan
perbaikan yang mendukung kelancaran
pencapaian tujuan program.
Evaluasi sumatif dilakukan setelah
program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif
adalah untuk mengukur ketercapaian program.
Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program
pembelajaran dimaksudkan sebagai sarana
untuk mengetahui posisi atau kedudukan
individu di dalam kelompoknya. Mengingat
bahwa objek sasaran dan waktu pelaksanaan
berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif
26
maka lingkup sasaran yang dievaluasi juga
berbeda.
2.3.5 Countenance Evaluation Model
Model ini dikembangkan oleh Stake.
Menurut ulasan tambahan yang diberikan oleh
Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004:33, model
Stake menekankan pada adanya pelaksanaan
dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi (description)
dan (2) pertimbangan (judgments), serta
membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi
program, yaitu (1) anteseden
(antecedents/context), (2) transaksi
(trarisaction/process), dan (3) keluaran (output -
outcomes).
Tiga hal yang dituliskan di antara dua
diagram, menunjukkan objek atau sasaran
evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi,
evaluator harus mampu mengidentifikasi tiga hal,
yaitu (1) anteseden yang diartikan sebagai
konteks, (2) transaksi yang diartikan sebagai
proses, dan (3) outcome yang diartikan sebagai
hasil. Selanjutnya kedua matriks yang
digambarkan sebagai deskripsi dan
pertimbangan, menunjukkan langkah-langkah
yang terjadi selama proses evaluasi.
27
Matriks pertama, yaitu deskripsi berkaitan
dengan dua hal yang menunjukkan posisi
sesuatu (yang menjadi sasaran evaluasi), yaitu
apa maksud tujuan yang diharapkan oleh
program, dan pengamatan akibat, atau apa yang
sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul
terjadi. Selanjutnya evaluator mengikuti matriks
kedua, yang menunjukkan langkah
pertimbangan, yang dalam langkah tersebut
mengacu pada standar.
Menurut Stake, ketika evaluator tengah
mempertimbangkan program pendidikan, mereka
mau tidak mau harus melakukan dua
perbandingan, yaitu (1) membandingkan kondisi
hasil evaluasi program tertentu dengan yang
terjadi di program lain, dengan objek sasaran
yang sama; (2) membandingkan kondisi hasil
pelaksanaan program dengan standar program
yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang
akan dicapai.
Analisis proses evaluasi yang dikemukakan
Stake (1967, dalam Tayibnapis, 2000) membawa
dampak yang cukup besar dalam bidang ini dan
meletakkan dasar sederhana namun merupakan
konsep yang cukup kuat untuk perkembangan
yang lebih jauh dalam bidang evaluasi.
28
Penekanan yang umum atau hal yang
penting dalam model ini ialah bahwa evaluator
yang membuat penilaian tentang program yang
dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description
di satu pihak berbeda dengan judgement atau
menilai. Dalam model ini, antecedents
(masukan), transaction (proses), dan outcomes
(hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan apakah ada perbedaan tujuan
dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan dengan standar yang absolut,
untuk menilai manfaat program. Stake
mengatakan bahwa tak ada penelitian dapat
diandalkan apabila tidak dinilai.
2.3.6 Responsive Evaluation Model
Dalam model evaluasi ini Stake
mendefinisikan evaluasi sebagai suatu nilai
pengamatan dibandingkan dengan keahlian.
Stake (1967 dalam Azizi, 2008), telah
menggariskan beberapa ciri pendekatan model
evaluasi responsif, yaitu:
1) Lebih ke arah aktivitas program (proses)
daripada tujuan program.
2) Mempunyai hubungan dengan banyak
kalangan untuk mendapatkan hasil
evaluasi.
29
3) Perbedaan nilai perspektif dari banyak
individu menjadi ukuran dalam melaporkan
kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan ini adalah sistem yang
mengorbankan beberapa fakta dalam evaluasi
dengan harapan dapat meningkatkan
penggunaan hasil evaluasi kepada individu atau
program itu sendiri. Kebanyakan evaluator lebih
menekankan pada kenyataan, penggunaan ujian
obyektif, menentukan standar program dan
laporan penyelidikan. Evaluasi ini kurang
memberikan pengaruh dalam komunikasi formal
dibandingkan dengan komunikasi biasa.
Model ini berdasarkan pada apa yang biasa
individu lakukan untuk menilai suatu perkara.
Mereka akan memperhatikan dan kemudian akan
bertindak. Untuk melaksanakan evaluasi ini,
evaluator dipaksa bekerja lebih keras untuk
memastikan individu yang dipilih memahami apa
yang perlu dilakukan. Evaluator juga perlu
membuat prosedur yang baku dan mencari serta
mengatur tim untuk memperhatikan pelaksanaan
program tersebut. Dengan bantuan tim, evaluator
akan menyediakan catatan, deskripsi, hasil
tujuan serta membuat grafik. Evaluator juga
menilai kualitas dan record orang yang
membantu evaluasi.
30
2.3.7 CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu
CSE dan UCLA. Yang pertama, yaitu CSE,
merupakan singkatan dari Center for the Study of
Evaluation, sedangkan UCLA merupakan
singkatan dari University of California in Los
Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah
adanya lima tahap yang dilakukan dalam
evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan,
implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes
(1984, dalam Arikunto 2004) memberikan
penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi
empat tahap, yaitu (1) needs assessment, (2)
program planning, (3) formatife evaluation, dan
(4) summatife evaluation.
2.3.8 CIPP Evaluation Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model pengambilan keputusan yang
dikembangkan oleh Stufflebeam yang dikenal
dengan CIPP Evaluation Model. CIPP merupakan
singkatan dari Context, Input, Process and
Product. CIPP evaluation model is designed to
systematically guide both evaluators and
stakeholders in posing relevant questions and
conducting assessments at the beginning of a
project (context and input evaluation), while it is in
31
progress (input and process evaluation), and at its
end (product evaluation). (Guili Zhang,2011).
Menururt Endang Mulyatiningsih (2011: 126),
mengemukakan bahwa evaluasi CIPP dikenal
dengan nama evaluasi formatif dengan tujuan
untuk mengambil keputusan dan perbaikan
program. Komponen evaluasi meliputi:
1) Context
Orientasi utama dari evaluasi konteks
adalah mengidentifikasi latar belakang perlunya
mengadakan perubahan atau munculnya
program dari beberapa subjek yang terlibat dalam
pengambilan keputusan (Endang Mulyatiningsih,
2011: 127).
2) Input
Evaluasi input dilakukan untuk
mengidentifikasi dan menilai kapabilitas sumber
daya bahan, alat, manusia dan biaya, untuk
melaksanakan program yang telah dipilih
(Endang Mulyatiningsih, 2011: 129).
3) Process
Evaluasi proses bertujuan untuk
mengidentifikasi atau memprediksi hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan kegiatan atau
32
implementasi program. Evaluasi dilakukan
dengan mencatat atau mendokumentasikan
setiap kejadian dalam pelaksanaan kegiatan,
memonitor kegiatan-kegiatan yang berpotensi
menghambat dan menimbulkan kesulitan yang
tidak diharapkan, menemukan informasi khusus
yang berada diluar rencana; menilai dan
menjelaskan proses secara aktual. Selama proses
evaluasi, evaluator dituntut berinteraksi dengan
staf pelaksana program secara terus menerus
(Endang Mulyatiningsih, 2011: 130-131).
4) Product
Tujuan utama evaluasi produk adalah
untuk mengukur, menginterpretasikan dan
memutuskan hasil yang telah dicapai oleh
program, yaitu apakah telah dapat memenuhi
kebutuhan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan atau belum (Endang Mulyatiningsih,
2011: 132).
2.3.9 Discrepancy Model
Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat
untuk membuat pertimbangan (judgement) atas
kekurangan dan kelebihan suatu objek
berdasarkan diantara standar dan kinerja. Model
33
ini juga dianggap menggunakan pendekatan
formatif dan berorientasi pada analisis system.
Standar dapat diukur dengan menjawab
pertanyaan bagaimana program berjalan.
Sementara pencapaiannya adalah lebih kepada
apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya
boleh membantu dengan membentuk dan
menjelaskan peranan standar dan pencapaian.
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi
yang diperoleh berbeda dan dikumpulkan dengan
beberapa cara, yaitu (Azizi, 2008):
1) Merencanakan bentuk penilaian,
menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian input, bertujuan membantu
pihak pengurus dengan memastikan
sumber yang diperlukan mencukupi.
3) Proses penilaian, memastikan aktivitas
yang dirancang berjalan dengan lancar dan
memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian hasil, judgement di tahap
pencapaian suatu hasil yang direncanakan.
2.4 Penelitian Yang Relevan
Ratna Widowati Sadi Putra.
2007.Pelaksanaan Kurikulum Muatan lokal
Bahasa Jawa Bagi Siswa yang Berbahasa Tengger
di SDN 1 Ngadas Kec. Poncokusumo Kab.
34
Malang. Hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa
di SDN 1 Ngadas (1) guru membuat perencanaan
mengajar harian, dikarenakan penerapan
pembelajaran kelas rangkap dimana satu orang
guru mengajar 6 kelas sekaligus. Komponen
perencanaan meliputi, (a) sebagian guru
membuat perencanaan mengajar harian, (b) guru
kelas selalu merumuskan tujuan pembelajaran
sesuai dengan kurikulum, dan standar
kompetensi dirinci menjadi kompetensi dasar, (c)
merencanakan metode mengajar berupa
pembelajaran klasikal, ceramah, diskusi, dan
pembelajaran kelompok, (d) merencanakan media
pembelajaran Bahasa Jawa yang berupa buku
teks/text book yaitu Piwulang Basa Jawa Kangge
Kelas 1-6, (e) merencanakan bentuk soal tes yaitu
bentuk soal pilihan ganda jenis asosiasi pilihan
berganda dan melengkapi pilihan, serta bentuk
uraian jenis uraian non objektif, (f)
merencanakan waktu pelaksanaan tes, yaitu
evaluasi formatif atau evaluasi proses yang
dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, serta
evaluasi sumatif yang dilaksanakan setiap akhir
semester, (g) merencanakan balikan dan bentuk
balikan yang berupa pengulangan/review. (2)
Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa antara
35
lain, (a) menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Tengger sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran Bahasa Jawa, (b) selalu melakukan
apersepsi dan membuat kaitan antar materi
sebelum memulai kegiatan belajar, (c) bahan
kajian pembelajaran Bahasa Jawa yaitu
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan
apresiasi karya sastra, (d) siswa sering mengalami
kesulitan belajar Bahasa Jawa dalam hal menulis
huruf Jawa dan membaca wacana Bahasa Jawa,
(e) dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan tersebut adalah menanyakan kepada
teman yang lebih menguasai materi atau
menanyakan langsung pada guru kelas. (3)
Evaluasi pembelajaran Bahasa Jawa meliputi
evaluasi harian, berbentuk lisan dan tertulis
dalam jangka waktu tertentu. Evaluasi ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman
siswa terhadap materi dan sebagai alat untuk
memotivasi siswa yang pada umumnya memiliki
motivasi belajar rendah.
Nanik Siti Hasanah. 2011. Penerapan
Pembelajaran Muatan lokal Bahasa Jawa dalam
Melestarikan Etika Lingkungan Pergaulan Siswa
Sekolah Dasar Negeri Plumbon 01 Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran
36
2010/2011. Setelah dilakukan analisis data
diperoleh kesimpulan bahwa perencanaan
pembelajaran yang dibuat guru berupa rencana
harian dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan
rencana yang telah dipersiapkan. Selama proses
pembelajaran Bahasa Jawa di kelas rendah (kelas
1,2,dan 3) tidak sepenuhnya menggunakan
Bahasa Jawa, sedangkan di kelas tinggi (kelas 4
dan 5) sepenuhnya menggunakan Bahasa Jawa.
Berkaitan dengan usaha penerapan pembelajaran
Bahasa Jawa, Kepala Sekolah Dasar Plumbon 01
membuat kebijakan “Kamis berbahasa Jawa”
yang berupa surat keputusan. Hasil pengamatan,
siswa bersikap sopan terhadap guru yang
ditunjukkan dengan perbuatan dan tutur kata.
Dalam pergaulan antar siswa, digunakan Bahasa
Jawa ngoko atau ngoko alus. Berdasarkan
temuan-temuan penelitian disarankan kepada
guru, siswa, dan lingkungan pendidikan sebagai
berikut : (1) Guru hendaknya meningkatkan
kompetensi sebagai pendidik yang professional (2)
Pembiasaan berbahasa Jawa bagi siswa
hendaknya tidak hanya di lingkungan sekolah. (3)
Kepala UPTD kecamatan disarankan untuk
mengambil kebijakan dalam upaya melestarikan
37
budaya Jawa yang salah satunya adalah
berbahasa Jawa.
2.5 Kerangka Berfikir
Sesuai dengan teori CIPP (Contect, Input,
Process, Product) dalam penelitian program
evaluasi Muatan lokal Bahasa Jawa ini mencari
penjelasan apakah Muatan Lokal Bahasa Jawa ini
masih diperlukan di SDN Kalisegoro, apakah
masih dapat diteruskan atau dihentikan.
Program-program Muatan Lokal Bahasa
Jawa di SDN Kalisegoro yang berupa Program
Tahunan, Program Semester, Silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran dan jadwal pelajaran
serta ekstra kurikuler apakah sudah memenuhi
keperluan program tersebut.
Proses pelaksanaan program Muatan Lokal
Bahasa Jawa apakah sudah berjalan sesuai
dengan program yang telah dibuat atau yang
telah ada, adakah kendala-kendala yang
menghambat proses berjalannya program
tersebut. Dari proses itu apakah sudah
menggambarkan berjalannya program Mulok
Bahasa Jawa atau belum. Dari hasil pelaksanaan
program nantinya dapat digunakan sebagai
rekomendasi kebijakan apakah program Mulok
dapat dilaksanakan terus atau dihentikan.
38
Seperti teori yang dikemukakan
Mulyatiningsih bahwa model CIPP dikenal
dengan evaluasi formatif dan sumatif dengan
tujuan untuk mengambil keputusan dan
perbaikan program. Pada pelaksanaan ini peneliti
hanya meneliti sampai pada proses, tidak sampai
produk karena ingin mengetahui pada proses
pelaksanaan program saja. Dari gambaran di atas
dapat digambarkan dengan diagram sebagai
berikut:
Program
Mulok
Bahasa Jawa
Rekomendasi
Kebijakan
Input Program
Mulok Bahasa
Jawa
Proses pelaksanaan
Program Mulok
Bahasa Jawa
Konteks
pelaksanaan
Program Mulok
Bahasa Jawa