bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih...

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dasar Intelligence 2.1.1 Pengertian Intelligence Walgito (1981) dalam (Ali & Asrori: 2012) Istilah inteligensi, berasal dari bahasa Latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Binet (dalam Azwar, 1996), menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Terman, mengatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk berpikir abstrak, sedangkan Edward Lee Thorndike, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik terhadap pandangan kebenaran atau fakta ( dalam Azwar, 1996). Inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam, tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya tertentu ( Anastasi, 1997 ). Wechsler (1958), berpendapat bahwa inteligensi adalah kumpulan atau seluruh kapasitas individu untuk bertindak sesuai tujuan, berpikir secara rasional dan bertindak secara efektif dengan lingkungannya. Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau keseluruhan karena tersusun dari elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang tidak seluruhnya bebas. Sedangkan menurut Jean Piaget inteligensi adalah seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisa, mensintesis, mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan dimana seseorang dapat melakukan suatu pemikiran yang logis dan cepat

Upload: phamkhuong

Post on 28-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dasar Intelligence

2.1.1 Pengertian Intelligence

Walgito (1981) dalam (Ali & Asrori: 2012) Istilah inteligensi, berasal dari bahasa

Latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.

kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna

menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Binet (dalam

Azwar, 1996), menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu

kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk

mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan kemampuan untuk

mengkritik diri sendiri.

Terman, mengatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk

berpikir abstrak, sedangkan Edward Lee Thorndike, mengatakan bahwa inteligensi

adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik terhadap pandangan kebenaran

atau fakta ( dalam Azwar, 1996). Inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam,

tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan

kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya

tertentu ( Anastasi, 1997 ).

Wechsler (1958), berpendapat bahwa inteligensi adalah kumpulan atau seluruh

kapasitas individu untuk bertindak sesuai tujuan, berpikir secara rasional dan bertindak

secara efektif dengan lingkungannya. Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau

keseluruhan karena tersusun dari elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang

tidak seluruhnya bebas.

Sedangkan menurut Jean Piaget inteligensi adalah seluruh kemampuan berpikir

dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti

berpikir, mempertimbangkan, menganalisa, mensintesis, mengevaluasi, dan

menyelesaikan persoalan-persoalan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu

kemampuan dimana seseorang dapat melakukan suatu pemikiran yang logis dan cepat

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

sehingga dapat bergerak serta mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar

ataupun situasi baru.

2.1.2 Tahapan Perkembangan Intelligence

Dalam buku Psikologi Remaja Jean Piaget (Bybee dan Sund, 1982) membagi

perkembangan intelek/kognitif menjadi empat yaitu

a. Tahap Sensori-Motoris

Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini interaksi anak dengan

lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan

otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari

lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga

dengan orang tuanya, anak mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi,

melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-

lahan belajar mengoordinasikan tindakan-tindakannya.

b. Tahap Praoperasional

Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Anak sangat bersifat

egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan

lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain,

anak cenderung sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan

karena masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran dalam setiap situasi.

Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga

pada intuisi.Anak mampu menyimpan kata-kata serta menggunakannya terutama

yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka.

c. Tahap Operasional Konkret

Tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, interaksinya

dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya sudah semakin berkembang

dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat

mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain

dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak

sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka sudah menguji coba

suatu permasalahan. Cara berpikir anak yang masih bersifat konkret menyebabkan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang

sesuatu yang konkret. Di sini sering terjadi kesulitan antara orang tua dan guru.

d. Tahap Operasional Formal

Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada tahap ini,

interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman

sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi

ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam berinteraksi dengan orang tua. Namun,

sebenarnya secara diam-diam mereka juga mengharapkan perlindungan dari orang tua

karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, pada

tahap ini ada semacam tarik-menarik anatra keinginan bebas dengan ingin dilindungi.

Karena pada tahap ini anak mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya,

mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan

abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam

suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi perkembangan

kognitifnya.

Menurut Piaget remaja, seharusnya sudah berada pada tahap operasional formal

dan sudah mampu berpikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-

persoalan yang bersifat hipotesis. Oleh karena itu, setiap keputusan perlakuan terhadap

remaja sebaiknya dilandasi oleh dasar pemikiran yang masuk akal sehingga dapat

diterima oleh mereka.

2.1.3 Karakteristik Perkembangan Intelligence

a. Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :

1) Segala tindakannya masih bersifat naluriah.

2) Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra.

3) Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu

untuk mengategorikan pengalaman.

4) Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema

sensori-motorisnya.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris ini, Piaget

(Bybee dan Sund, 1982 dalam buku Psikologi Remaja) merinci lagi tahap sensori-motoris

ke dalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik tersendiri.

1) Fase pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :

a) Individu mampu bereaksi secara refleks.

b) Individu mampu menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum

terkoordinir.

c) Individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasi berbagai pesan yang

diterima dari lingkungannya.

2) Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu

memperluas skema yang dimilkinya berdasarkan hereditas.

3) Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai dapat

memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang

terjadi pada benda itu.

4) Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) Individu mampu memahami bahwa benda tetap ada mesipun untuk sementara

waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain.

b) Individu mulai mampu mencoba sesuatu.

c) Individu mampu menentukan tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang

tua.

5) Fase kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :

a) Individu mulai mampu untuk meniru.

b) Individu mampu untuk melakukan berbagai percobaan terhadap

lingkungannya secara lbih lancar.

6) Fase keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :

a) Individu mulai mampu untuk mengingat dan berpikir.

b) Individu mampu untuk berpikir dengan menggunakan simbol-simbol bahasa

sederhana.

c) Individu mampu memahami diri sendiri sebagai individu yang sedang

berkembang.

b. Karakteristik Tahap Praoperasional

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik yang menonjol sebagai

berikut :

1) Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi.

2) Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide.

3) Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa

konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat.

4) Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku :

a) Berpikir imajinatif

b) Berbahasa egosentris

c) Menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi

d) Perkembangan bahasa mulai pesat

c. Karakteristik Tahap Operasional Konkret

Ditandai dengan karakteristik menonjol bahwa segala sesuatu dipahami

sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi,

cara berpikir individu belum menangkap belum menangkap yang abstrak meskipun

arah berpikirnya sudah tampak sistematis dan logis. Dalam memahami konsep,

individu sangat terikat kepada proses mengalami sendiri yang artinya mudah

memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu

yang berkaitan dengan konsep tersebut.

d. Karakteristik Tahap Operasional Formal

Tahap ini ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :

1) Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi.

2) Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak.

3) Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis.

4) Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan.

5) Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri

sendiri tercapai.

6) Individu mulai mampu untuk membayangkan peranan-peranan yang akan

diperankan sebagai orang dewasa.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

7) Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan

masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.

2.1.4 Jenis Tes Intelligence

Jenis tes intelligence dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

a. Tes Inteligensi individual, antara lain : Stanford-Binet Intelligence scale, Wechsler

Bellevue Intelligence Scale (WBIS), Wechsler Intelligence Scale for Children

(WISC), Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), Wechsler Preschoot and

Primary Scale of Intelligence (WPPSI).

b. Tes inteligensi kelompok, antara lain :Pintner Cunningham Primary Test, The

California Test of Mental Maturity, The Henmon Nelson Test Mental Ability, Otis

Lennon Mental Ability Test dan Progressive Matrices.

c. Tes inteligensi dengan tindakan/perbuatan.

(Sunaryo, 2004)

2.1.5 Tingkat Kecerdasan

Menurut Sunaryo (2004) tingkat kecerdasan dibagi sebagai berikut :

Tingkatan IQ Deskripsi %

>140 Jenius 0.5

130-139 Sangat superior 3.0

120-129 Superior 7.0

110-119 Cerdas 14,5

100-109 Normal tinggi 25.0

90-99 Normal rendah 25.0

80-89 Bodoh (Dull) 14.5

70-79 Inferior 7.0

60-69 feebleminded 3.0

<60 0.5

50-59 Moron

20-49 Imbecile

<20 Idiot

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Tabel.1 Tingkat kecerdasan

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Intelligence

Perkembangan intelektual dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu :

a. Faktor Hereditas

Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang

menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah membawa

kemungkinan apakah akan menjadi kemampuan berpikir setaraf normal, di atas

normal, atau di bawah normal. Namun, potensi ini tidak akan berkembang atau

terwujud seara optimal apabila lingkungan tidak memberi kesempatan untuk

berkembang. Oleh karena itu, peranan lingkungan sangat menentukan perkembangan

intelektual anak.

b. Faktor Lingkungan

Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam

mempengaruhi perkembangan intelek anak, yaitu :

1) Keluarga

Intervensi yang paling penting dilakukan oleh keluarga atau orang tua

adalah memberi pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan

sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan alat bagi anak

untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan, misalnya memberi kesempatan kepada

anak untuk merealisasikan ide-idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan

dorongan keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat

keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas anak.

Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut perhatian orang

tua.

2) Sekolah

Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk

meningkatkan perkembangan anak termasuk perkembangan berpikir anak. Dalam

hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak terletak

di tangannya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut :

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

a) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik.

Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis peserta didik akan

merasa aman sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat

dikonsultasikan dengan guru mereka.

b) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan

orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual anak. Membawa

para peserta didik ke objek-objek tertentu, seperti objek budaya dan ilmu

pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual peserta didik.

c) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan

olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi

perkembangan berpikir peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggu

secara fisik, perkembangan intelektualnya juga akan terganggu.

d) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak

maupun dengan menyediakan situasi yang memungkinkan para peserta didik

berpendapat atau mengemukakan ide-idenya. Hal ini sangat besar

pengaruhnya bagi perkembangan intelektual peserta didik.

(Ali & Asrori: 2012)

2.1.7 Cara Membantu Perkembangan Intelligence dan Implikasinya Bagi Pendidikan

Menurut Conny Semiawaan (Ali &Asrori: 2012), penciptaan kondisi lingkungan

yang kondusif bagi pengembangan kemampuan intelektual anak yang di dalamnya

menyangkut keamanan psikologis dan kebebasan psikolgis merupakan faktor yang sangat

penting.

Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa aman secara

psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya adalah sebagai

berikut :

a. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat

(unconditional positive regard). Artinya, apapun keberadaan peserta didik dengan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi

kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya setiap peserta didik memiliki kemampuan

intelektual yang dikembangkan secara maksimal.

b. Pendidik menciptakan suasana dimana peserta didik tidak merasa terlalu dinilai oleh

orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan berlebihan dapat

dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri.

Memang kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi

sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan

peserta didik, melainkan menjadi sarana yang dapat dikembangkan sikap kompetitif

secara sehat.

c. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan,

dan perilaku peserta didik, dapat menempatkan diri dalam situasi peserta didik, serta

melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam suasana seperti ini,

peserta didik akan merasa aman untuk mengembangkan dan mengemukakan

pemikiran atau ide-idenya.

d. Menerima remaja secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat (unconditional

positive regard). Artinya, apapun adanya remaja itu dengan segala kekuatan dan

kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi kepercayaan bahwa pada

dasarnya setiap remaja memiliki kemampuan intelektual yang dapat dikembangkan

secara maksimal.

e. Memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku remaja, menempatkan diri dalam

situasi remaja, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam

suasana seperti ini remaja akan merasa aman untuk mengembangkan dan

mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.

f. Memberikan suasana psikologis yang aman bagi remaja untuk mengemukakan

pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani mengembangkan pemikirannya sendiri.

Di sini berusaha menciptakan keterbukaan (openness), kehangatan (warmness), dan

kekonkretan (concreteness).

(Ali & Asrori: 2012)

Anak atau remaja akan merasakan kebebasan psikologis jika orang tua dan guru

memberi kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan pikiran atau perasaannya.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Sebagai makhluk sosial, mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam tindakan yang

merugikan orang lain atau merugikan lingkungan tidaklah dibenarkan. Hidup dalam

masyarakat menuntut untuk mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku (Ali

& Asrori: 2012).

Teori Jean Piaget (Ali & Asrori: 2012) mengenai pertumbuhan kognitif sangat erat

dan penting hubungannya dengan umur serta perkembangan moral. Konsep tersebut

menunjukkan bahwa aktivitas adalah sebagai unsur pokok dalam petumbuhan kognitif.

Pengalaman belajar yang aktif cenderung untuk memajukkan pertumbuhan kognitif,

sedangkan pengalaman belajar yang pasif dan hanya menikmati pengalaman orang lain

saja akan mempunyai konsekuensi yang minimal terhadap pertumbuhan kognitif

termasuk perkembangan intelektual.

Penting bagi pendidik untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap tahap

perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil keputusan tindak

edukatif yang tepat. Dengan demikian, dapat dihasilkan peserta didik yang memahami

pengalaman belajar yang diterimanya. Menyesuaikan system pengajaran dengan

kebutuhan peserta didik merupakan jalan untuk meninggalkan prinsip lama, yaitu guru

tinggal menunggu sampai peserta didik siap sendiri, kemudian baru diberi pelajaran.

Sekarang tidak demikian adanya (Ali & Asrori: 2012)

Model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta

didik siap sendiri, tetapi sekolahlah yang mengajar lingkungan belajar sedemikian rupa

sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi.

Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar tersebut, proses pembelajaran

yang aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke

taraf/tahap berikutnya (Ali & Asrori: 2012).

2.1.8 Gangguan Intelligence

a. Retardasi Mental

1) Pengertian

Dimana keadaan suatu individu dengan inteligensi kurang (abnormal)

sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak) atau keadaan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

dimana individu kekurangan inteligensi sehingga daya guna sosial dan dalam

pekerjaan seseorang menjadi terganggu (Maramis, 1999).

2) Penyebab

a) Retardasi mental primer adalah kemungkinan faktor keturunan (retardasi

mental genetik) dan kemungkinan tidak diketahui (retardasi mental

simpleks)

b) Retardasi mental sekunder adalah faktor luar yang diketahui dan

memengaruhi otak (prenatal, perinatal, dan postnatal), misalnya

infeksi/intoksikasi, rudapaksa, gangguan metabolisme/gizi, penyakit otak,

kelainan kromosom, prematuritas, dan gangguan jiwa berat.

Tingkat retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi Keterbelakangan

Mental Amerika Serikat (American Association of Mental Retardation) seperti

dikemukakan oleh Sarwono Sarlito Wirawan (1999) sebagai berikut:

a) Retardasi mental lambat belajar (slow learning) – IQ = 85-90

b) Retardasi mental taraf perbatasan (borderline) – IQ = 70-84

c) Retardasi mental ringan (mild) – IQ = 55-69

d) Retardasi mental sedang (moderate) – IQ = 36-54

e) Retardasi mental berat (severe) – IQ =20-35

f) Retardasi mental sangat berat (profound) – IQ = 0-19

3) Tanda tanda retardasi mental

a) Taraf kecerdasan (IQ) sangat rendah

b) Daya ingat (memori) lemah

c) Tidak mampu mengurus diri sendiri

d) Acuh tak acuh terhadap lingkungan (apatis)

e) Minat hanya mengarah pada hal-hal sederhana

f) Perhatiannya mudah berpindah-pindah (labil)

g) Miskin dan keterbatasan emosi (hanya perasaan takut, marah, senang, benci,

dan terkejut)

h) Kelainan jasmani yang khas

b. Demensia

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Adalah kemunduran inteligensi karena kerusakan otak yang sudah tidak

dapat diperbaiki lagi (irreversible).

Faktor penyebab gangguan inteligensi

a) Kerusakan otak : prenatal, perinatal, atau postnatal berupa keturunan, keracunan,

rudapaksa, neoplasma, gangguan pembuluh darah.

b) Psikosis : fungsional atau sindrom otak organic

c) Sosio-budaya : memberi makanan kurang protein pada umur <5tahun

2.2 Konsep Dasar Adaptasi

2.2.1 Pengertian Adaptasi

Adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena

belajar dari pengalaman untuk mengatasi stres. Adaptasi adalah suatu cara penyesuaian

yang berorientasi pada tugas (task oriented). Dalam istilah psikologis dikenal dengan

homeostasis. Dalam penanganan suatu masalah, cukup popular dikenal dengan sebutan

coping (Sunaryo, 2004). Suatu proses penyesuaian terhadap perubahan yang dapat positif

atau negatif yang mempengaruhi meningkat atau menurunnya kesehatan keluarga

(Burgess cit. Friedman, 1992).

Seseorang dikatakan memiliki kemampuan adaptasi yang baik (well adjusted

person) jika mampu melakukan respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan

sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respon dengan mengeluarkan tenaga

dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya bahwa respon-respon yang

dilakukannya sesuai dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok antarindividu, dan

hubungan dengan penciptanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sehat ini adalah

gambaran karakteristik yang paling menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa

suatu adaptasi itu dikatakan baik (Ali & Asrori: 2012)

Dengan demikian, orang yang dipandang mempunyai adaptasi yang baik adalah

individu yang telah belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara

yang matang, efisien, memuaskan, sehat, serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi,

kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan

psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama, dan pekerjaan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Orang seperti itu mampu menciptakan dan mengisi hubungan antarpribadi dan

kebahagiaan timbal balik yang mengandung realisasi dan perkembangan kepribadian

secara terus menerus (Ali & Asrori: 2012)

2.2.2 Tujuan Adaptasi

a. Menghadapi tuntutan keadaan secara sadar.

b. Menghadapi tuntutan keadaan secara realistik.

c. Menghadapi tuntutan keadaan secara objektif.

d. Menghadapi tuntutan keadaan secara rasional.

Cara yang ditempuh dapat bersifat terbuka maupun tertutup, antara lain:

a. Menghadapi tuntutan secara frontal (terang-terangan)

b. Regresi (menarik diri) atau tidak mau tahu sama sekali

c. Kompromi (kesepakatan)

(Sunaryo, 2004)

2.2.3 Jenis Adaptasi

a. Adaptasi fisiologi

Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian diri makhluk hidup melalui fungsi

kerja organ-organ tubuh supaya bisa bertahan hidup. Adaptasi ini berlangsung di

dalam tubuh sehingga sulit untuk diamati. Adaptasi fisiologi ini penekanannya

menyangkut fungsi alat-alat tubuh yang umumnya terletak di bagian dalam tubuh

mengalami perubahan sehingga tetap bertahan hidup.

b. Adaptasi psikologis

1) Sadar : individu mencoba memecahkan/menyesuaikan diri dengan masalah.

2) Tidak sadar : menggunakan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism.

3) Menggunakan gejala fisik (confers) atau psikofisiologik/psikosomatik.

Apabila seseorang mengalami hambatan atau kesulitan dalam beradaptasi,

baik berupa tekanan, perubahan, maupun ketegangan emosi dapat menimbulkan stres.

Stres dapat terjadi jika suatu keinginan tidak dapat terpenuhi.

(Sunaryo, 2004)

2.2.4 Proses Adaptasi

a. Motivasi

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses

adaptasi. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan

kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam

organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan merupakan kondisi yang tidak

menyenangkan karena sesungguhnya kebebasan dari ketegangan dan keseimbangan

dari kekuatan-kekuatan internal lebih wajar dalam organisme apabila dibandingkan

dengan kedua kondisi tersebut. Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan

pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang berlebihan atau

kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan

konflik. Respon penyesuaian diri, baik ataupun buruk secara sederhana dapat

dipandang sebagai suatu upaya organisme unuk menjauhi ketegangan dan untuk

memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon dikatakan sehat, efisien,

merusak atau patologis ditentukan terutama oleh kualitas motivasi selain hubungan

individu dan lingkungannya.

b. Sikap Terhadap Realitas

Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu

bereaksi terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang

membentuk realitas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sikap yang sehat terhadap

terhadap realitas dan kontak yang baik itu sangat diperlukan bagi adaptasi yang sehat.

Berbagai tuntutan realitas, adanya pembatasan, aturan, dan norma-norma menuntut

individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses kearah hubungan

yang harmonis antara tuntutan internal yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap

dengan tuntutan eksternal dari realitas. Jika individu tidak tahan terhadap tuntutan-

tuntutan tersebut, akan muncul konflik, tekanan, dan frustasi. Dalam situasi seperti

ini, organisme didorong untuk mencari perbedaan perilaku yang memungkinkan

untuk pembebasan diri dari ketegangan.

c. Pola Dasar

Dalam adaptasi sehari-hari terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri.

Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip penyesuaian diri yang ditujukan kepada diri

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

sendiri, orang lain, maupun lingkungannya maka proses penyesuaian diri menurut

Sunarto (1998), dapat ditunjukan sebagai berikut :

1) Mula-mula individu, di satu sisi, merupakan dorongan keinginan untuk

memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat

peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri.

2) Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara

objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan.

3) Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada dirinya

dan kenyataan objektif di luar dirinya.

4) Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes, dan tidak kaku sehingga

menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan.

5) Dapat bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif yang layak dikembangkan

sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh

lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan.

6) Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, selalu

menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta

dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang

serius dengan keadaan dirinya.

7) Kesanggupan merespon frustasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat, dan

profesional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh

manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam.

8) Kesanggupan bertindak secara terbuka dan sanggup menerima kritik dan

tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup memperbaiki tindakan-

tindakan yang sudah tidak sesuai lagi.

9) Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta

selaras dengan hak dan kewajibannya.

10) Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan

segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan kesepian.

(Ali & Asrori: 2012)

2.2.5 Karakteristik Adaptasi Remaja

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

a. Penyesuaian Diri Remaja Terhadap Peran dan Identitasnya

Pesatnya perkembangan fisik dan psikis, seringkali menyebabkan remaja

mengalami krisis peran dan identitas. Remaja senantiasa berjuang agar dapat

memainkan perannya agar sesuai dengan perkembangan masa peralihannya dari masa

anak-anak menjadi dewasa. Hal ini bertujuan untuk memperoleh identitas diri yang

semakin jelas dan dapat dimengerti serta diterima oleh lingkungannya, baik

lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini, penyesuaian diri

remaja secara khas berupaya untuk dapat berperan sebagai subjek yang

kepribadiannya berbeda dengan anak-anak ataupun orang dewasa.

b. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Pendidikan

Krisis identitas atau masa topan dan badai pada diri remaja seringkali

menimbulkan kendala dalam penyesuaian diri terhadap kegiatan belajarnya. Pada

umumnya, remaja sebenarnya mengetahui bahwa untuk menjadi orang yang sukses

harus belajar dengan rajin. Namun, karena dipengaruhi oleh upaya pencarian identitas

diri yang kuat menyebabkan mereka seringkali lebih senang mencari kegiatan-

kegiatan selain belajar tetapi menyenangkan bersama-sama dengan kelompoknya.

Akibatnya, yang muncul di permukaan adalah seringkali ditemui remaja yang malas

dan tidak disiplin dalam belajar. Tidak jarang remaja ingin sukses dalam menempuh

pendidikannya, tetapi dengan cara yang mudah dan tidak perlu belajar susah payah.

Jadi, adaptasi remaja secara khas berjuang ingin meraih sukses dalam studi, tetapi

dengan cara-cara yang menimbulkan perasaan bebas dan senang, terhindar dari

tekanan dan konflik, atau bahkan frustasi.

c. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Kehidupan Seks

Secara fisik, remaja telah mengalami kematangan pertumbuhan fungsi

seksual sehingga perkembangan dorongan seksual juga semakin kuat. Artinya, remaja

perlu menyesuaikan penyaluran kebutuhan seksualnya dalam batas-batas penerimaan

lingkungan sosialnya sehingga terbebas dari kecemasan psikoseksual, tetapi juga

tidak melanggar nilai-nilai moral masyarakat dan agama. Penyesuaian remaja dalam

hal ini adalah remaja ingin memahami kondisi seksual dirinya dan lawan jenisnya

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorngan seksualnya yang dapat

dimengerti dan dibenarkan oleh norma sosial dan agama.

d. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Norma Sosial

Remaja yang cenderung membentuk kelompok masyarakat tersendiri,

seringkali juga membentuk dan memiliki kesepakatan aturan tersendiri yang

terkadang kurang dapat dimengerti oleh lingkungan masyarakat di luar kelompok

remaja itu sendiri. Penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial mengarah ke dalam

2 dimensi. Yang pertama, remaja ingin diakui keberadaannya dalam masyarakat luas,

yang berarti remaja harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat. Kedua, remaja ingin bebas menciptakan aturan-aturan tersendiri yang

lebih sesuai untuk kelompoknya, tetapi menuntut agar dapat dimengerti dan diterima

oleh masyarakat dewasa. Tujuannya adalah agar dapat terwujud internalisasi norma,

baik pada kelompok remaja itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah maupun

masyarakat luas.

e. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Penggunaan Waktu Luang

Waktu luang remaja merupakan suatu kesempatan untuk memenuhi

dorongan bertindak bebas. Namun, di sisi lain, remaja dituntut mampu menggunakan

waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang

lain. Jadi, upaya penyesuaian remaja adalah melakukan penyesuaian antara dorongan

kebebasannya serta inisiatif dan kreativitasnya dengan kegiatan-kegiatan yang

bermanfaat. Sehingga wkatu luang yang dimiliki para remaja dapat menunjang

pengembangan diri dan manfaat sosial.

f. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Penggunaan Uang

Remaja berupaya untuk memenuhi dorongan sosial lain yang memerlukan

dukungan finansial. Karena remaja belum sepenuhnya mandiri, dalam masalah

finansial, mereka memperoleh jatah dari orang tua sesuai dengan kemampuan

keluarganya. Rangsangan, tantangan, tawaran, inisiatif, kreativitas, petualangan, dan

kesempatan-kesempatan yang ada pada remaja seringkali mengakibatkan

melonjaknya penggunaan uang pada remaja sehingga menyebabkan jatah yang

diterima dari orang tuanya menjadi tidak cukup. Oleh karena itu, perjuangan

penyesuaian diri pada remaja adalah berusaha untuk mampu bertindak secara

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

proporsional, melakukan penyesuaian antara pemenuhan kebutuhannya dengan

kondisi ekonomi orang tuanya. Sehingga diharapkan para remaja menggunakan uang

secara efektif dan efesien.

g. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Kecemasan, Konfik, dan Frustasi

Karena dinamika perkembangan yang sangat dinamis, remaja seringkali

dihadapkan pada kecemasan, konflik, dan frustasi. Strategi penyesuaian diri terhadap

hal tersebut biasanya melalui suatu mekanisme pertahanan diri oleh Sigmund Freud

(Corey, 1989) disebut dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)

seperti kompensasi, rasionalisasi, proyeksi, sublimasi, identifikasi, regresi, dan

fiksasi. Cara-cara yang ditempuh tersebut ada yang cenderung negatif atau kurang

sehat dan ada pula yang relatif positif. Dalam batas-batas kewajaran dan situasi

tertentu untuk sementara cara-cara tersebut memang masih memberikan manfaat

dalam upaya penyesuaian diri remaja. Namun jika cara-cara tersebut sering ditempuh

dan menjadi kebiasaan, hal itu akan menjadi tidak sehat.

(Ali & Asrori: 2012)

2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Adaptasi Remaja

Schneiders (1984) mengatakan, terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi

proses penyesuaian diri remaja, yaitu

a. Kondisi Fisik

Seringkali kondisi fisik berpengaruh kuat terhadap proses adaptasi remaja.

Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi adaptasi

remaja adalah

1) Hereditas dan Konstitusi Fisik

Dalam mengidentifikasi pengaruh hereditas terhadap penyesuaian diri,

lebih digunakan pendekatan fisik karena hereditas dipandang lebih dekat dan

tak terpisahkan dari mekanisme fisik. Di sini berkembang prinsip umum

bahwa semakin dekat kapasitas pribadi, sifat, atau kecenderungan berkaitan

dengan konstitusi fisik sehingga semakin besar pengaruhnya terhadap

penyesuaian diri remaja. Faktor lain yang berkaitan dengan konstitusi tubuh

yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah inteligensi dan imajinasi.

Dua faktor ini memerankan peranan penting dalam penyesuaian diri.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

2) Sistem Utama Tubuh

Yang termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh

terhadap adaptasi adalah sistem saraf, kelenjar, dan otot. Sistem saraf yang

berkembang dengan normal dan sehat merupakan syarat mutlak bagi fungsi-

fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara maksimal yang akan berpengaruh

secara baik pula kepada penyesuaian diri individu. Dengan kata lain, fungsi

yang memadai dari sistem saraf merupakan kondisi umum yang diperlukan

bagi adaptasi yang baik. Gejala psikosomatis adalah salah satu contoh nyata

dari berfungsinya sistem saraf yang kurang baik sehingga dapat mempengaruhi

penyesuaian diri yang kurang baik pula.

3) Kesehatan Fisik

Adaptasi seseorang akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam

kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat

dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya

yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses adaptasi.

Sebaliknya, kondisi fisik yang tidak sehat dapat menyebabkan perasaan rendah

diri, kurang percaya diri, atau bahkan menyalahkan diri sehingga akan

berpengaruh kurang baik bagi proses penyesuaian diri.

b. Kepribadian

Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian

diri adalah

1) Kemauan dan Kemampuan untuk Berubah (Modifiability)

Kemauan dan kemampuan untuk berubah merupakan karakteristik

kepribadian yang pengaruhnya sangat menonjol terhadap proses adaptasi.

Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri

membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan,

perilaku, dan sikap. Oleh sebab itu, semakin kaku dan tidak ada kemauan serta

kemampuan merespon lingkungan, semakin besar kemungkinannya untuk

mengalami kesulitan. Bagi individu yang belajar dengan sungguh-sungguh

untuk dapat berubah, kemampuan adaptasinya pun akan berkembang.

2) Pengaturan Diri (Self-Regulation)

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Pengaturan diri sama pentingnya dengan proses adaptasi dan

pemeliharaan stabilitas mental, kemampuan untuk mengatur diri, dan

mengarahkan diri. Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari

keadaan malasuai dan penyimpangan kepribadian.Kemampuan pengaturan diri

dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan

realisasi diri.

3) Realisasi Diri (Self-Realization)

Sebelumnya telah dibahas bahwa kemampuan pengaturan diri

mengimplikasikan potensi dan kemampuan ke arah realisasi diri. Proses dan

pencapaian hasilnya secara bertahap sangat erat kaitannya dengan

perkembangan kepribadian. Jika perkembangan kepribadiannya berjalan

normal sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, didalamnya tersirat potensi

laten dalam bentuk sikap, tanggung jawab, penghayatan nilai-nilai,

penghargaan diri dan lingkungan, serta karakteristik lainnya menuju

pembentukan kepribadian dewasa.

4) Inteligensi

Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul tergantung pada

kualitas dasar yang penting peranannya dalam penyesuaian diri, yaitu kualitas

inteligensi. Tidak sedikit, baik buruknya penyesuaian diri seseorang

ditentukan oleh kapasitas intelektualnya atau inteigensinya. Inteligensi sangat

penting bagi perolehan perkembangan gagasan, prinsip, dan tujuan yang

memainkan peranan penting dalam proses penyesuaian diri.

c. Edukasi

Termasuk unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat

mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah

1) Belajar

Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri

individu karena pada umumnya respon-respon dan sifat-sifat kepribadian

yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap ke dalam diri

individu melalui proses belajar. Pengaruh proses belajar itu akan muncul

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

dalam bentuk coba-coba dan gagal (trial and error), pengondisian

(conditioning), dan menghubung-hubungkan (association) berbagai faktor

yang ada dimana individu itu melakukan proses penyesuaian diri.

2) Pengalaman

Ada dua jenis pengalaman yang memiiki nilai signifikan terhadap

proses penyesuaian diri, yaitu

a) Pengalaman yang menyehatkan (Salutary experiences)

b) Pengalaman traumatic (traumatic experiences)

Pengalaman yang menyehatkan adalah peristiwa-peristiwa yang

dialami oleh individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang mengenakkan,

mengasikkan, dan bahkan dirasa ingin mengulangnya kembali.Pengalaman

traumatik adalah peristiwa yang tidak mengenakkan, menyedihkan yang

dialami oleh seseorang yang menyebabkan terjadi keragu-raguan, kurang

percaya diri, rendah diri atau bahkan rasa takut ketika menyesuaikan diri

dengan lingkungan barunya.

3) Latihan

Merupakan proses belajar yang diorientasikan kepada perolehan

keterampilan atau kebiasaan. Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang

kompleks yang mencakup di dalamnya proses psikologis dan sosiologis

maka memerlukan latihan yang sungguh-sungguh agar mencapai hasil

penyesuaian diri yang baik. Tidak jarang seseorang yang sebelumnya

memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik dan kaku, tetapi

karena melakukan latihan secara sungguh-sungguh, sehingga menjadi bagus

dalam setiap adaptasi dengan lingkungan barunya.

4) Determinasi Diri

Bahwa sesungguhnya individu itu sendiri harus mampu menentukan

dirinya sendiri untuk melakukan proses penyesuaian diri. Hal ini penting

karena determnasi diri merupakan faktor yang sangat kuat yang dapat

digunakan untuk kebaikan atau keburukan untuk mencapai penyesuaian diri

secara tuntas, atau bahkan untuk merusak diri sendiri.Dengan determinasi

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

diri, seseorang sebenarnya dapat secara bertahap mengatasi penolakan diri

tersebut maupun pengaruh buruk lainnya.

d. Lingkungan

Berbicara faktor lingkungan sebagai variabel yang berpengaruh terhadap

penyesuaian diri sudah tentu meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.

1) Lingkungan Keluarga

Merupakan lingkungan utama yang sangat penting atau bahkan tidak

ada yang lebih penting kaitannya terhadap penyesuaian diri individu selain

keluarga. Unsur-unsur dalam keluarga, seperti konstelasi keluarga, interaksi

orang tua dengan anak, interaksi antaranggota keluarga, peran sosial dalam

keluarga, karakteristik anggota keluarga, kekohesifan keluarga, dan gangguan

dalam keluarga akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri individu

anggotanya. Derajat keanggotaan keluarga juga dapat memengaruhi

penyesuaian diri anak karena faktor ini sesungguhnya menjadi sumber

pengaruh sosialisasi yang menjadi syarat proses penyesuaian diri.

Kekohesifan keluarga atau gangguan keluarga juga dapat mempengaruhi

penyesuaian diri individu karena kekohesifan maupun gangguan keluarga

akan menciptakan iklim psikologis dalam kehidupan keluarga. Ada sejumlah

karakteristik menonjoldalam interaksi orang tua dengan anak yang memiliki

pengaruh terhadap penyesuaian diri, yaitu

a) Penerimaan (acceptance)

Penerimaan orang tua terhadap anaknya yang diwujudkan dalam

bentuk perhatian, kehangatan, kasih sayang, akan memberikan sumbangan

yang berarti bagi berkembangnya penyesuaian diri yang baik pada anak

juga akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan adaptasi pada

anak.

b) Identifikasi (identification)

Anak memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasi dirinya

terhadap pola sikap dan perilaku orang tuanya. Proses identifikasi ini

sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian diri anak. Jika

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

orang tua dapat dijadikan model identifikasi yang baik, akan berpengaruh

positif pula terhadap perkembangan adaptasi anak.

c) Idealisasi (idealization)

Merupakan suatu bentuk proses identifikasi yang sifatnya lebih

mendalam. Proses idealisasi diwujudkan dalam bentuk mengidealkan

sosok salah satu dari kedua orang tuanya yang dipilih, baik dalam cara

berpikir, bersikap, maupun berperilaku. Idealisasi sebagai suatu bentuk

identifikasi yang bersifat mendalam juga sangat berpengaruh terhadap

perkembangan adaptasi anak.

d) Identifikasi negatif (negative identification)

Proses ini muncul justru jia anak mengidentifikasi sifat-sifat negatif

dari orang tuanya. Jika ada tanda-tanda bahwa prses identifikasi negatif

yang justru berkembang pada anak, harus segera dilakukan pencegahan

karena akan mengganggu perkembangan penyesuaian diri ke arah yang

baik. Di sini peran orang tua sangat penting untuk berusaha

menghilangkan sifat-sifat negatif tersebut.

e) Identifikasi menyilang (cross identification)

Adalah identifikasi yang dilakukan oleh anak kepada orang tuanya

yang berlawanan jenis.Identifikasi seperti ini kurang baik terhadap

perkembangan adaptasi anak.

f) Tindakan hukuman dan disiplin yang terlalu keras (punishment and

overdiscipline)

Pemberian hukuman dan disiplin yang terlalu keras juga berakibat

kurang baik terhadap perkembangan adaptasi anak karena dapat

menimbulkan perasaan terancam, tidak aman, atau bahkan merasa turun

harkat dan martabat kemanusiaannya. Jadi, penerapan hukuman dan

disiplin menuntut keterampilan orang tua agar dilakukan dengan bijaksana

dan memberikan iklim yang menimbulkan afeksi penghargaan.

g) Kecemburuan dan kebencian (jealousy and hatred)

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

Kecemburuan dan kebencian biasanya muncul karena pemberian

hukuman dan peraturan kedisiplinan yang terlalu keras sehingga

mengakibatkan anak membenci orang tua dan orang tua membenci anak.

Padahal, sesungguhnya anak membutuhkan rasa kasih sayang, perhatian,

rasa aman, dan perasaan ingin memiliki dan dimiliki. Kebutuhan-

kebutuhan inilah yang tidak akan terpenuhi jika suasana kebencian,

kecemburuan, dan penolakan orang tua justru berkembang dalam

keluarga. Kondisi ini akan berpengaruh tidak baik terhadap perkembangan

adaptasi anak.

h) Pemanjaan dan perlindungan yang berlebihan (overindulgence and over-

protection)

Pemanjaan dan perlindungan yang berlebihan secara sepintas

seolah-olah memberikan perasaan aman terhadap anak, tetapi

sesungguhnya secara psikologis yang sifatnya mendasar justru

menimbulkan perasaan tidak aman, kecemburuan, gugup, serta kurang

percaya diri dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Biasanya anak

yang terlalu dimanja mengembangkan sifat memusatkan segala sesuatunya

kepada dirinya sendiri, memanjakan diri sendiri, dan cenderung

mementingkan diri sendiri sehingga akan berpengaruh tidak baik terhadap

proses pengembangan adaptasi anak.

i) Penolakan (rejection)

Penolakan orang tua terhadap anak merupakan pengalaman yang

paling tidak mengenakkan, sangat tidak menguntungkan, dan bahkan

dapat merusak anak. Dengan penolakan tersebut, anak akan merasa

dirinya tidak berharga, tidak berguna, tidak bermartabat, meskipun

sebenarnya ingin atau bahkan sudah berbuat sebaik-baiknya menurut

ukuran mereka. Perasaan seperti itu sangat tidak baik pengaruhnya

terhadap perkembangan adaptasi anak.

2) Lingkungan Sekolah

Sebagaimana lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga dapat

menjadi kondisi yang memungkinkan berkembang atau terhambatnya proses

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

perkembangan penyesuaian diri. Umumnya, sekolah dipandang sebagai media

yang sangat berguna untuk mempengaruhi kehidupan dan perkembangan

intelektual, sosial, nilai-nilai, sikap, dan moral siswa. Tidak jarang siswa lebih

mendengarkan dan menuruti apa yang dikatakan guru daripada orang tuanya.

Oleh sebab itu, proses sosialisasi yang dilakukan melalui iklim kehidupan

sekolah yang diciptakan oleh guru dalam interaksi edukatifnya sangat

berpengaruh terhadap perkembangan adaptasi anak.

3) Lingkungan Masyarakat

Karena keluarga dan sekolah itu berada di dalam lingkungan

masyarakat, lingkungan masyarakat juga menjadi faktor yang dapat

berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian diri. Konsistensi nilai-nilai,

aturan, norma, moral, dan perilaku masyarakat akan diidentifikasi oleh

individu yang berada dalam masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap

proses perkembangan adaptasi anak. Faktanya, tidak sedikit kecenderungan ke

arah penyimpangan perilaku dan kenakalan remaja sebagai salah satu bentuk

adaptasi diri yang tidak baik berasal dari pengaruh lingkungan masyarakat.

e. Agama dan Budaya

Agama berkaitan erat dengan faktor budaya.Agama memberikan

sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat

mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Agama secara

konsisten dan terus menerus kontinu mengingatkan manusia tentang nilai-nilai

intrinsik dan kemuliaan manusia diciptakan oleh Tuhan, bukan sekadar nilai-nilai

instrumental sebagaimana yang dihasilkan oleh manusia. Selain agama, budaya juga

merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu. Hal ini

terlihat jika dilihat dari adaya karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu

melalui berbagai media dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain

itu, tidak sedikit konflik pribadi, kecemasan, frustasi, serta berbagai perilaku neurotik

atau penyimpangan perilaku yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung

oleh budaya sekitarnya. Sebagaimana faktor agama, faktr budaya pun memiliki

pengaruh yang sangat kuat bagi perkembangan adaptasi individu.(Ali & Asrori: 2012)

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

2.3 Hubungan Intelligence Terhadap Adaptasi

Inteligensi menurut Piaget merupakan pernyataan dari tingkah laku adaptif yang

terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada penyusunan pemikiran (Bybee dan

Sund, 1982 dalam Ali & Asrori: 2012). Piaget memposisikan subjek sebagai pihak yang aktif

dalam interaksi adaptif antara individu atau terjadi hubungan dialektis antara individu dengan

lingkungannya. Seorang individu tidak pernah terpisah dari lingkungannya dan juga tidak

semacam cerita penerima pasif. Interaksi antara individu dengan lingkungannya lebih bersifat

interaksi timbal balik. Hanya dalam bentuk interaksinya juga, setiap perubahan tingkah laku

merupakan hasil dialektis pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya.

Karena pandangannya yang demikian itu, teori Piaget tentang inteligensi atau kognitif

disebut juga dengan teori interaksionisme (interactionism theory) (Bybee dan Sund, 1982

dalam Ali & Asrori: 2012)

Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap individu memiliki kecenderungan

inheren untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Inteligensi sebagai bentuk khusus dari

penyesuaian individu baru dapat diketahui berkat dua proses yang saling mengisi yang

dikenal dengan istilah asimilasi dan akomodasi. Individu sebagai suatu sistem untuk dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena kemampuan mengakomodasi struktur

kognitifnya sedemikian rupa sehingga objek yang baru itu dapat ditangkap dan dipahami

secara memadai. Asimilasi adalah suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan

pengalaman-pengalaman dengan struktur psikologis yang telah ada pada diri individu.

Struktur psikologis dalam diri individu ini disebut dengan skema yang berarti kerangka

mental individu yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu yang dilihat dan

didengarnya. Skema mampu menyusun pengamatan-pengamatan dan tingkah laku sehingga

terjadilah suatu rangkaian tindakan fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.

Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul tergantung pada kualitas dasar

yang penting peranannya dalam penyesuaian diri, yaitu kualitas inteligensi. Tidak sedikit,

baik buruknya adaptasi seseorang ditentukan oleh kapasitas intelektualnya atau

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena

inteligensinya. Inteligensi sangat penting bagi perolehan perkembangan gagasan, prinsip, dan

tujuan yang memainkan peranan penting dalam proses penyesuaian diri (Ali & Asrori: 2012).