bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dasar Intelligence
2.1.1 Pengertian Intelligence
Walgito (1981) dalam (Ali & Asrori: 2012) Istilah inteligensi, berasal dari bahasa
Latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.
kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna
menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Binet (dalam
Azwar, 1996), menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu
kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk
mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan kemampuan untuk
mengkritik diri sendiri.
Terman, mengatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk
berpikir abstrak, sedangkan Edward Lee Thorndike, mengatakan bahwa inteligensi
adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik terhadap pandangan kebenaran
atau fakta ( dalam Azwar, 1996). Inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam,
tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan
kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya
tertentu ( Anastasi, 1997 ).
Wechsler (1958), berpendapat bahwa inteligensi adalah kumpulan atau seluruh
kapasitas individu untuk bertindak sesuai tujuan, berpikir secara rasional dan bertindak
secara efektif dengan lingkungannya. Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau
keseluruhan karena tersusun dari elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang
tidak seluruhnya bebas.
Sedangkan menurut Jean Piaget inteligensi adalah seluruh kemampuan berpikir
dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti
berpikir, mempertimbangkan, menganalisa, mensintesis, mengevaluasi, dan
menyelesaikan persoalan-persoalan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu
kemampuan dimana seseorang dapat melakukan suatu pemikiran yang logis dan cepat
sehingga dapat bergerak serta mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar
ataupun situasi baru.
2.1.2 Tahapan Perkembangan Intelligence
Dalam buku Psikologi Remaja Jean Piaget (Bybee dan Sund, 1982) membagi
perkembangan intelek/kognitif menjadi empat yaitu
a. Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini interaksi anak dengan
lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan
otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari
lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga
dengan orang tuanya, anak mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi,
melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-
lahan belajar mengoordinasikan tindakan-tindakannya.
b. Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Anak sangat bersifat
egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain,
anak cenderung sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan
karena masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran dalam setiap situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga
pada intuisi.Anak mampu menyimpan kata-kata serta menggunakannya terutama
yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka.
c. Tahap Operasional Konkret
Tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, interaksinya
dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya sudah semakin berkembang
dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat
mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain
dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak
sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka sudah menguji coba
suatu permasalahan. Cara berpikir anak yang masih bersifat konkret menyebabkan
mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang
sesuatu yang konkret. Di sini sering terjadi kesulitan antara orang tua dan guru.
d. Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada tahap ini,
interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman
sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi
ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam berinteraksi dengan orang tua. Namun,
sebenarnya secara diam-diam mereka juga mengharapkan perlindungan dari orang tua
karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, pada
tahap ini ada semacam tarik-menarik anatra keinginan bebas dengan ingin dilindungi.
Karena pada tahap ini anak mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya,
mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan
abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam
suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi perkembangan
kognitifnya.
Menurut Piaget remaja, seharusnya sudah berada pada tahap operasional formal
dan sudah mampu berpikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-
persoalan yang bersifat hipotesis. Oleh karena itu, setiap keputusan perlakuan terhadap
remaja sebaiknya dilandasi oleh dasar pemikiran yang masuk akal sehingga dapat
diterima oleh mereka.
2.1.3 Karakteristik Perkembangan Intelligence
a. Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
1) Segala tindakannya masih bersifat naluriah.
2) Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra.
3) Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu
untuk mengategorikan pengalaman.
4) Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema
sensori-motorisnya.
Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris ini, Piaget
(Bybee dan Sund, 1982 dalam buku Psikologi Remaja) merinci lagi tahap sensori-motoris
ke dalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik tersendiri.
1) Fase pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Individu mampu bereaksi secara refleks.
b) Individu mampu menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum
terkoordinir.
c) Individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasi berbagai pesan yang
diterima dari lingkungannya.
2) Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu
memperluas skema yang dimilkinya berdasarkan hereditas.
3) Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai dapat
memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang
terjadi pada benda itu.
4) Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Individu mampu memahami bahwa benda tetap ada mesipun untuk sementara
waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain.
b) Individu mulai mampu mencoba sesuatu.
c) Individu mampu menentukan tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang
tua.
5) Fase kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Individu mulai mampu untuk meniru.
b) Individu mampu untuk melakukan berbagai percobaan terhadap
lingkungannya secara lbih lancar.
6) Fase keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Individu mulai mampu untuk mengingat dan berpikir.
b) Individu mampu untuk berpikir dengan menggunakan simbol-simbol bahasa
sederhana.
c) Individu mampu memahami diri sendiri sebagai individu yang sedang
berkembang.
b. Karakteristik Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik yang menonjol sebagai
berikut :
1) Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi.
2) Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide.
3) Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa
konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat.
4) Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku :
a) Berpikir imajinatif
b) Berbahasa egosentris
c) Menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi
d) Perkembangan bahasa mulai pesat
c. Karakteristik Tahap Operasional Konkret
Ditandai dengan karakteristik menonjol bahwa segala sesuatu dipahami
sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi,
cara berpikir individu belum menangkap belum menangkap yang abstrak meskipun
arah berpikirnya sudah tampak sistematis dan logis. Dalam memahami konsep,
individu sangat terikat kepada proses mengalami sendiri yang artinya mudah
memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan konsep tersebut.
d. Karakteristik Tahap Operasional Formal
Tahap ini ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
1) Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi.
2) Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak.
3) Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis.
4) Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan.
5) Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri
sendiri tercapai.
6) Individu mulai mampu untuk membayangkan peranan-peranan yang akan
diperankan sebagai orang dewasa.
7) Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan
masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.
2.1.4 Jenis Tes Intelligence
Jenis tes intelligence dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Tes Inteligensi individual, antara lain : Stanford-Binet Intelligence scale, Wechsler
Bellevue Intelligence Scale (WBIS), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC), Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), Wechsler Preschoot and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI).
b. Tes inteligensi kelompok, antara lain :Pintner Cunningham Primary Test, The
California Test of Mental Maturity, The Henmon Nelson Test Mental Ability, Otis
Lennon Mental Ability Test dan Progressive Matrices.
c. Tes inteligensi dengan tindakan/perbuatan.
(Sunaryo, 2004)
2.1.5 Tingkat Kecerdasan
Menurut Sunaryo (2004) tingkat kecerdasan dibagi sebagai berikut :
Tingkatan IQ Deskripsi %
>140 Jenius 0.5
130-139 Sangat superior 3.0
120-129 Superior 7.0
110-119 Cerdas 14,5
100-109 Normal tinggi 25.0
90-99 Normal rendah 25.0
80-89 Bodoh (Dull) 14.5
70-79 Inferior 7.0
60-69 feebleminded 3.0
<60 0.5
50-59 Moron
20-49 Imbecile
<20 Idiot
Tabel.1 Tingkat kecerdasan
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Intelligence
Perkembangan intelektual dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu :
a. Faktor Hereditas
Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang
menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah membawa
kemungkinan apakah akan menjadi kemampuan berpikir setaraf normal, di atas
normal, atau di bawah normal. Namun, potensi ini tidak akan berkembang atau
terwujud seara optimal apabila lingkungan tidak memberi kesempatan untuk
berkembang. Oleh karena itu, peranan lingkungan sangat menentukan perkembangan
intelektual anak.
b. Faktor Lingkungan
Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam
mempengaruhi perkembangan intelek anak, yaitu :
1) Keluarga
Intervensi yang paling penting dilakukan oleh keluarga atau orang tua
adalah memberi pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan
sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan alat bagi anak
untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan, misalnya memberi kesempatan kepada
anak untuk merealisasikan ide-idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan
dorongan keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat
keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas anak.
Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut perhatian orang
tua.
2) Sekolah
Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk
meningkatkan perkembangan anak termasuk perkembangan berpikir anak. Dalam
hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak terletak
di tangannya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik.
Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis peserta didik akan
merasa aman sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat
dikonsultasikan dengan guru mereka.
b) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan
orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual anak. Membawa
para peserta didik ke objek-objek tertentu, seperti objek budaya dan ilmu
pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual peserta didik.
c) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan
olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi
perkembangan berpikir peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggu
secara fisik, perkembangan intelektualnya juga akan terganggu.
d) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak
maupun dengan menyediakan situasi yang memungkinkan para peserta didik
berpendapat atau mengemukakan ide-idenya. Hal ini sangat besar
pengaruhnya bagi perkembangan intelektual peserta didik.
(Ali & Asrori: 2012)
2.1.7 Cara Membantu Perkembangan Intelligence dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Menurut Conny Semiawaan (Ali &Asrori: 2012), penciptaan kondisi lingkungan
yang kondusif bagi pengembangan kemampuan intelektual anak yang di dalamnya
menyangkut keamanan psikologis dan kebebasan psikolgis merupakan faktor yang sangat
penting.
Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa aman secara
psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya adalah sebagai
berikut :
a. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat
(unconditional positive regard). Artinya, apapun keberadaan peserta didik dengan
segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi
kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya setiap peserta didik memiliki kemampuan
intelektual yang dikembangkan secara maksimal.
b. Pendidik menciptakan suasana dimana peserta didik tidak merasa terlalu dinilai oleh
orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan berlebihan dapat
dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri.
Memang kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi
sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan
peserta didik, melainkan menjadi sarana yang dapat dikembangkan sikap kompetitif
secara sehat.
c. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan,
dan perilaku peserta didik, dapat menempatkan diri dalam situasi peserta didik, serta
melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam suasana seperti ini,
peserta didik akan merasa aman untuk mengembangkan dan mengemukakan
pemikiran atau ide-idenya.
d. Menerima remaja secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat (unconditional
positive regard). Artinya, apapun adanya remaja itu dengan segala kekuatan dan
kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi kepercayaan bahwa pada
dasarnya setiap remaja memiliki kemampuan intelektual yang dapat dikembangkan
secara maksimal.
e. Memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku remaja, menempatkan diri dalam
situasi remaja, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam
suasana seperti ini remaja akan merasa aman untuk mengembangkan dan
mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
f. Memberikan suasana psikologis yang aman bagi remaja untuk mengemukakan
pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani mengembangkan pemikirannya sendiri.
Di sini berusaha menciptakan keterbukaan (openness), kehangatan (warmness), dan
kekonkretan (concreteness).
(Ali & Asrori: 2012)
Anak atau remaja akan merasakan kebebasan psikologis jika orang tua dan guru
memberi kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan pikiran atau perasaannya.
Sebagai makhluk sosial, mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam tindakan yang
merugikan orang lain atau merugikan lingkungan tidaklah dibenarkan. Hidup dalam
masyarakat menuntut untuk mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku (Ali
& Asrori: 2012).
Teori Jean Piaget (Ali & Asrori: 2012) mengenai pertumbuhan kognitif sangat erat
dan penting hubungannya dengan umur serta perkembangan moral. Konsep tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas adalah sebagai unsur pokok dalam petumbuhan kognitif.
Pengalaman belajar yang aktif cenderung untuk memajukkan pertumbuhan kognitif,
sedangkan pengalaman belajar yang pasif dan hanya menikmati pengalaman orang lain
saja akan mempunyai konsekuensi yang minimal terhadap pertumbuhan kognitif
termasuk perkembangan intelektual.
Penting bagi pendidik untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap tahap
perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil keputusan tindak
edukatif yang tepat. Dengan demikian, dapat dihasilkan peserta didik yang memahami
pengalaman belajar yang diterimanya. Menyesuaikan system pengajaran dengan
kebutuhan peserta didik merupakan jalan untuk meninggalkan prinsip lama, yaitu guru
tinggal menunggu sampai peserta didik siap sendiri, kemudian baru diberi pelajaran.
Sekarang tidak demikian adanya (Ali & Asrori: 2012)
Model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta
didik siap sendiri, tetapi sekolahlah yang mengajar lingkungan belajar sedemikian rupa
sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi.
Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar tersebut, proses pembelajaran
yang aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke
taraf/tahap berikutnya (Ali & Asrori: 2012).
2.1.8 Gangguan Intelligence
a. Retardasi Mental
1) Pengertian
Dimana keadaan suatu individu dengan inteligensi kurang (abnormal)
sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak) atau keadaan
dimana individu kekurangan inteligensi sehingga daya guna sosial dan dalam
pekerjaan seseorang menjadi terganggu (Maramis, 1999).
2) Penyebab
a) Retardasi mental primer adalah kemungkinan faktor keturunan (retardasi
mental genetik) dan kemungkinan tidak diketahui (retardasi mental
simpleks)
b) Retardasi mental sekunder adalah faktor luar yang diketahui dan
memengaruhi otak (prenatal, perinatal, dan postnatal), misalnya
infeksi/intoksikasi, rudapaksa, gangguan metabolisme/gizi, penyakit otak,
kelainan kromosom, prematuritas, dan gangguan jiwa berat.
Tingkat retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi Keterbelakangan
Mental Amerika Serikat (American Association of Mental Retardation) seperti
dikemukakan oleh Sarwono Sarlito Wirawan (1999) sebagai berikut:
a) Retardasi mental lambat belajar (slow learning) – IQ = 85-90
b) Retardasi mental taraf perbatasan (borderline) – IQ = 70-84
c) Retardasi mental ringan (mild) – IQ = 55-69
d) Retardasi mental sedang (moderate) – IQ = 36-54
e) Retardasi mental berat (severe) – IQ =20-35
f) Retardasi mental sangat berat (profound) – IQ = 0-19
3) Tanda tanda retardasi mental
a) Taraf kecerdasan (IQ) sangat rendah
b) Daya ingat (memori) lemah
c) Tidak mampu mengurus diri sendiri
d) Acuh tak acuh terhadap lingkungan (apatis)
e) Minat hanya mengarah pada hal-hal sederhana
f) Perhatiannya mudah berpindah-pindah (labil)
g) Miskin dan keterbatasan emosi (hanya perasaan takut, marah, senang, benci,
dan terkejut)
h) Kelainan jasmani yang khas
b. Demensia
Adalah kemunduran inteligensi karena kerusakan otak yang sudah tidak
dapat diperbaiki lagi (irreversible).
Faktor penyebab gangguan inteligensi
a) Kerusakan otak : prenatal, perinatal, atau postnatal berupa keturunan, keracunan,
rudapaksa, neoplasma, gangguan pembuluh darah.
b) Psikosis : fungsional atau sindrom otak organic
c) Sosio-budaya : memberi makanan kurang protein pada umur <5tahun
2.2 Konsep Dasar Adaptasi
2.2.1 Pengertian Adaptasi
Adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena
belajar dari pengalaman untuk mengatasi stres. Adaptasi adalah suatu cara penyesuaian
yang berorientasi pada tugas (task oriented). Dalam istilah psikologis dikenal dengan
homeostasis. Dalam penanganan suatu masalah, cukup popular dikenal dengan sebutan
coping (Sunaryo, 2004). Suatu proses penyesuaian terhadap perubahan yang dapat positif
atau negatif yang mempengaruhi meningkat atau menurunnya kesehatan keluarga
(Burgess cit. Friedman, 1992).
Seseorang dikatakan memiliki kemampuan adaptasi yang baik (well adjusted
person) jika mampu melakukan respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan
sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respon dengan mengeluarkan tenaga
dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya bahwa respon-respon yang
dilakukannya sesuai dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok antarindividu, dan
hubungan dengan penciptanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sehat ini adalah
gambaran karakteristik yang paling menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa
suatu adaptasi itu dikatakan baik (Ali & Asrori: 2012)
Dengan demikian, orang yang dipandang mempunyai adaptasi yang baik adalah
individu yang telah belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara
yang matang, efisien, memuaskan, sehat, serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi,
kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan
psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama, dan pekerjaan.
Orang seperti itu mampu menciptakan dan mengisi hubungan antarpribadi dan
kebahagiaan timbal balik yang mengandung realisasi dan perkembangan kepribadian
secara terus menerus (Ali & Asrori: 2012)
2.2.2 Tujuan Adaptasi
a. Menghadapi tuntutan keadaan secara sadar.
b. Menghadapi tuntutan keadaan secara realistik.
c. Menghadapi tuntutan keadaan secara objektif.
d. Menghadapi tuntutan keadaan secara rasional.
Cara yang ditempuh dapat bersifat terbuka maupun tertutup, antara lain:
a. Menghadapi tuntutan secara frontal (terang-terangan)
b. Regresi (menarik diri) atau tidak mau tahu sama sekali
c. Kompromi (kesepakatan)
(Sunaryo, 2004)
2.2.3 Jenis Adaptasi
a. Adaptasi fisiologi
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian diri makhluk hidup melalui fungsi
kerja organ-organ tubuh supaya bisa bertahan hidup. Adaptasi ini berlangsung di
dalam tubuh sehingga sulit untuk diamati. Adaptasi fisiologi ini penekanannya
menyangkut fungsi alat-alat tubuh yang umumnya terletak di bagian dalam tubuh
mengalami perubahan sehingga tetap bertahan hidup.
b. Adaptasi psikologis
1) Sadar : individu mencoba memecahkan/menyesuaikan diri dengan masalah.
2) Tidak sadar : menggunakan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism.
3) Menggunakan gejala fisik (confers) atau psikofisiologik/psikosomatik.
Apabila seseorang mengalami hambatan atau kesulitan dalam beradaptasi,
baik berupa tekanan, perubahan, maupun ketegangan emosi dapat menimbulkan stres.
Stres dapat terjadi jika suatu keinginan tidak dapat terpenuhi.
(Sunaryo, 2004)
2.2.4 Proses Adaptasi
a. Motivasi
Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses
adaptasi. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan
kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam
organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan merupakan kondisi yang tidak
menyenangkan karena sesungguhnya kebebasan dari ketegangan dan keseimbangan
dari kekuatan-kekuatan internal lebih wajar dalam organisme apabila dibandingkan
dengan kedua kondisi tersebut. Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan
pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang berlebihan atau
kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan
konflik. Respon penyesuaian diri, baik ataupun buruk secara sederhana dapat
dipandang sebagai suatu upaya organisme unuk menjauhi ketegangan dan untuk
memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon dikatakan sehat, efisien,
merusak atau patologis ditentukan terutama oleh kualitas motivasi selain hubungan
individu dan lingkungannya.
b. Sikap Terhadap Realitas
Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu
bereaksi terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang
membentuk realitas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sikap yang sehat terhadap
terhadap realitas dan kontak yang baik itu sangat diperlukan bagi adaptasi yang sehat.
Berbagai tuntutan realitas, adanya pembatasan, aturan, dan norma-norma menuntut
individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses kearah hubungan
yang harmonis antara tuntutan internal yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap
dengan tuntutan eksternal dari realitas. Jika individu tidak tahan terhadap tuntutan-
tuntutan tersebut, akan muncul konflik, tekanan, dan frustasi. Dalam situasi seperti
ini, organisme didorong untuk mencari perbedaan perilaku yang memungkinkan
untuk pembebasan diri dari ketegangan.
c. Pola Dasar
Dalam adaptasi sehari-hari terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri.
Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip penyesuaian diri yang ditujukan kepada diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungannya maka proses penyesuaian diri menurut
Sunarto (1998), dapat ditunjukan sebagai berikut :
1) Mula-mula individu, di satu sisi, merupakan dorongan keinginan untuk
memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat
peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri.
2) Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara
objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan.
3) Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada dirinya
dan kenyataan objektif di luar dirinya.
4) Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes, dan tidak kaku sehingga
menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan.
5) Dapat bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif yang layak dikembangkan
sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh
lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan.
6) Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, selalu
menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta
dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang
serius dengan keadaan dirinya.
7) Kesanggupan merespon frustasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat, dan
profesional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh
manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam.
8) Kesanggupan bertindak secara terbuka dan sanggup menerima kritik dan
tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup memperbaiki tindakan-
tindakan yang sudah tidak sesuai lagi.
9) Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta
selaras dengan hak dan kewajibannya.
10) Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan
segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan kesepian.
(Ali & Asrori: 2012)
2.2.5 Karakteristik Adaptasi Remaja
a. Penyesuaian Diri Remaja Terhadap Peran dan Identitasnya
Pesatnya perkembangan fisik dan psikis, seringkali menyebabkan remaja
mengalami krisis peran dan identitas. Remaja senantiasa berjuang agar dapat
memainkan perannya agar sesuai dengan perkembangan masa peralihannya dari masa
anak-anak menjadi dewasa. Hal ini bertujuan untuk memperoleh identitas diri yang
semakin jelas dan dapat dimengerti serta diterima oleh lingkungannya, baik
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini, penyesuaian diri
remaja secara khas berupaya untuk dapat berperan sebagai subjek yang
kepribadiannya berbeda dengan anak-anak ataupun orang dewasa.
b. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Pendidikan
Krisis identitas atau masa topan dan badai pada diri remaja seringkali
menimbulkan kendala dalam penyesuaian diri terhadap kegiatan belajarnya. Pada
umumnya, remaja sebenarnya mengetahui bahwa untuk menjadi orang yang sukses
harus belajar dengan rajin. Namun, karena dipengaruhi oleh upaya pencarian identitas
diri yang kuat menyebabkan mereka seringkali lebih senang mencari kegiatan-
kegiatan selain belajar tetapi menyenangkan bersama-sama dengan kelompoknya.
Akibatnya, yang muncul di permukaan adalah seringkali ditemui remaja yang malas
dan tidak disiplin dalam belajar. Tidak jarang remaja ingin sukses dalam menempuh
pendidikannya, tetapi dengan cara yang mudah dan tidak perlu belajar susah payah.
Jadi, adaptasi remaja secara khas berjuang ingin meraih sukses dalam studi, tetapi
dengan cara-cara yang menimbulkan perasaan bebas dan senang, terhindar dari
tekanan dan konflik, atau bahkan frustasi.
c. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Kehidupan Seks
Secara fisik, remaja telah mengalami kematangan pertumbuhan fungsi
seksual sehingga perkembangan dorongan seksual juga semakin kuat. Artinya, remaja
perlu menyesuaikan penyaluran kebutuhan seksualnya dalam batas-batas penerimaan
lingkungan sosialnya sehingga terbebas dari kecemasan psikoseksual, tetapi juga
tidak melanggar nilai-nilai moral masyarakat dan agama. Penyesuaian remaja dalam
hal ini adalah remaja ingin memahami kondisi seksual dirinya dan lawan jenisnya
serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorngan seksualnya yang dapat
dimengerti dan dibenarkan oleh norma sosial dan agama.
d. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Norma Sosial
Remaja yang cenderung membentuk kelompok masyarakat tersendiri,
seringkali juga membentuk dan memiliki kesepakatan aturan tersendiri yang
terkadang kurang dapat dimengerti oleh lingkungan masyarakat di luar kelompok
remaja itu sendiri. Penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial mengarah ke dalam
2 dimensi. Yang pertama, remaja ingin diakui keberadaannya dalam masyarakat luas,
yang berarti remaja harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Kedua, remaja ingin bebas menciptakan aturan-aturan tersendiri yang
lebih sesuai untuk kelompoknya, tetapi menuntut agar dapat dimengerti dan diterima
oleh masyarakat dewasa. Tujuannya adalah agar dapat terwujud internalisasi norma,
baik pada kelompok remaja itu sendiri, lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat luas.
e. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Penggunaan Waktu Luang
Waktu luang remaja merupakan suatu kesempatan untuk memenuhi
dorongan bertindak bebas. Namun, di sisi lain, remaja dituntut mampu menggunakan
waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang
lain. Jadi, upaya penyesuaian remaja adalah melakukan penyesuaian antara dorongan
kebebasannya serta inisiatif dan kreativitasnya dengan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat. Sehingga wkatu luang yang dimiliki para remaja dapat menunjang
pengembangan diri dan manfaat sosial.
f. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Penggunaan Uang
Remaja berupaya untuk memenuhi dorongan sosial lain yang memerlukan
dukungan finansial. Karena remaja belum sepenuhnya mandiri, dalam masalah
finansial, mereka memperoleh jatah dari orang tua sesuai dengan kemampuan
keluarganya. Rangsangan, tantangan, tawaran, inisiatif, kreativitas, petualangan, dan
kesempatan-kesempatan yang ada pada remaja seringkali mengakibatkan
melonjaknya penggunaan uang pada remaja sehingga menyebabkan jatah yang
diterima dari orang tuanya menjadi tidak cukup. Oleh karena itu, perjuangan
penyesuaian diri pada remaja adalah berusaha untuk mampu bertindak secara
proporsional, melakukan penyesuaian antara pemenuhan kebutuhannya dengan
kondisi ekonomi orang tuanya. Sehingga diharapkan para remaja menggunakan uang
secara efektif dan efesien.
g. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Kecemasan, Konfik, dan Frustasi
Karena dinamika perkembangan yang sangat dinamis, remaja seringkali
dihadapkan pada kecemasan, konflik, dan frustasi. Strategi penyesuaian diri terhadap
hal tersebut biasanya melalui suatu mekanisme pertahanan diri oleh Sigmund Freud
(Corey, 1989) disebut dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)
seperti kompensasi, rasionalisasi, proyeksi, sublimasi, identifikasi, regresi, dan
fiksasi. Cara-cara yang ditempuh tersebut ada yang cenderung negatif atau kurang
sehat dan ada pula yang relatif positif. Dalam batas-batas kewajaran dan situasi
tertentu untuk sementara cara-cara tersebut memang masih memberikan manfaat
dalam upaya penyesuaian diri remaja. Namun jika cara-cara tersebut sering ditempuh
dan menjadi kebiasaan, hal itu akan menjadi tidak sehat.
(Ali & Asrori: 2012)
2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Adaptasi Remaja
Schneiders (1984) mengatakan, terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi
proses penyesuaian diri remaja, yaitu
a. Kondisi Fisik
Seringkali kondisi fisik berpengaruh kuat terhadap proses adaptasi remaja.
Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi adaptasi
remaja adalah
1) Hereditas dan Konstitusi Fisik
Dalam mengidentifikasi pengaruh hereditas terhadap penyesuaian diri,
lebih digunakan pendekatan fisik karena hereditas dipandang lebih dekat dan
tak terpisahkan dari mekanisme fisik. Di sini berkembang prinsip umum
bahwa semakin dekat kapasitas pribadi, sifat, atau kecenderungan berkaitan
dengan konstitusi fisik sehingga semakin besar pengaruhnya terhadap
penyesuaian diri remaja. Faktor lain yang berkaitan dengan konstitusi tubuh
yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah inteligensi dan imajinasi.
Dua faktor ini memerankan peranan penting dalam penyesuaian diri.
2) Sistem Utama Tubuh
Yang termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh
terhadap adaptasi adalah sistem saraf, kelenjar, dan otot. Sistem saraf yang
berkembang dengan normal dan sehat merupakan syarat mutlak bagi fungsi-
fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara maksimal yang akan berpengaruh
secara baik pula kepada penyesuaian diri individu. Dengan kata lain, fungsi
yang memadai dari sistem saraf merupakan kondisi umum yang diperlukan
bagi adaptasi yang baik. Gejala psikosomatis adalah salah satu contoh nyata
dari berfungsinya sistem saraf yang kurang baik sehingga dapat mempengaruhi
penyesuaian diri yang kurang baik pula.
3) Kesehatan Fisik
Adaptasi seseorang akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam
kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat
dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya
yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses adaptasi.
Sebaliknya, kondisi fisik yang tidak sehat dapat menyebabkan perasaan rendah
diri, kurang percaya diri, atau bahkan menyalahkan diri sehingga akan
berpengaruh kurang baik bagi proses penyesuaian diri.
b. Kepribadian
Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian
diri adalah
1) Kemauan dan Kemampuan untuk Berubah (Modifiability)
Kemauan dan kemampuan untuk berubah merupakan karakteristik
kepribadian yang pengaruhnya sangat menonjol terhadap proses adaptasi.
Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri
membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan,
perilaku, dan sikap. Oleh sebab itu, semakin kaku dan tidak ada kemauan serta
kemampuan merespon lingkungan, semakin besar kemungkinannya untuk
mengalami kesulitan. Bagi individu yang belajar dengan sungguh-sungguh
untuk dapat berubah, kemampuan adaptasinya pun akan berkembang.
2) Pengaturan Diri (Self-Regulation)
Pengaturan diri sama pentingnya dengan proses adaptasi dan
pemeliharaan stabilitas mental, kemampuan untuk mengatur diri, dan
mengarahkan diri. Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari
keadaan malasuai dan penyimpangan kepribadian.Kemampuan pengaturan diri
dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan
realisasi diri.
3) Realisasi Diri (Self-Realization)
Sebelumnya telah dibahas bahwa kemampuan pengaturan diri
mengimplikasikan potensi dan kemampuan ke arah realisasi diri. Proses dan
pencapaian hasilnya secara bertahap sangat erat kaitannya dengan
perkembangan kepribadian. Jika perkembangan kepribadiannya berjalan
normal sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, didalamnya tersirat potensi
laten dalam bentuk sikap, tanggung jawab, penghayatan nilai-nilai,
penghargaan diri dan lingkungan, serta karakteristik lainnya menuju
pembentukan kepribadian dewasa.
4) Inteligensi
Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul tergantung pada
kualitas dasar yang penting peranannya dalam penyesuaian diri, yaitu kualitas
inteligensi. Tidak sedikit, baik buruknya penyesuaian diri seseorang
ditentukan oleh kapasitas intelektualnya atau inteigensinya. Inteligensi sangat
penting bagi perolehan perkembangan gagasan, prinsip, dan tujuan yang
memainkan peranan penting dalam proses penyesuaian diri.
c. Edukasi
Termasuk unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah
1) Belajar
Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri
individu karena pada umumnya respon-respon dan sifat-sifat kepribadian
yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap ke dalam diri
individu melalui proses belajar. Pengaruh proses belajar itu akan muncul
dalam bentuk coba-coba dan gagal (trial and error), pengondisian
(conditioning), dan menghubung-hubungkan (association) berbagai faktor
yang ada dimana individu itu melakukan proses penyesuaian diri.
2) Pengalaman
Ada dua jenis pengalaman yang memiiki nilai signifikan terhadap
proses penyesuaian diri, yaitu
a) Pengalaman yang menyehatkan (Salutary experiences)
b) Pengalaman traumatic (traumatic experiences)
Pengalaman yang menyehatkan adalah peristiwa-peristiwa yang
dialami oleh individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang mengenakkan,
mengasikkan, dan bahkan dirasa ingin mengulangnya kembali.Pengalaman
traumatik adalah peristiwa yang tidak mengenakkan, menyedihkan yang
dialami oleh seseorang yang menyebabkan terjadi keragu-raguan, kurang
percaya diri, rendah diri atau bahkan rasa takut ketika menyesuaikan diri
dengan lingkungan barunya.
3) Latihan
Merupakan proses belajar yang diorientasikan kepada perolehan
keterampilan atau kebiasaan. Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang
kompleks yang mencakup di dalamnya proses psikologis dan sosiologis
maka memerlukan latihan yang sungguh-sungguh agar mencapai hasil
penyesuaian diri yang baik. Tidak jarang seseorang yang sebelumnya
memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik dan kaku, tetapi
karena melakukan latihan secara sungguh-sungguh, sehingga menjadi bagus
dalam setiap adaptasi dengan lingkungan barunya.
4) Determinasi Diri
Bahwa sesungguhnya individu itu sendiri harus mampu menentukan
dirinya sendiri untuk melakukan proses penyesuaian diri. Hal ini penting
karena determnasi diri merupakan faktor yang sangat kuat yang dapat
digunakan untuk kebaikan atau keburukan untuk mencapai penyesuaian diri
secara tuntas, atau bahkan untuk merusak diri sendiri.Dengan determinasi
diri, seseorang sebenarnya dapat secara bertahap mengatasi penolakan diri
tersebut maupun pengaruh buruk lainnya.
d. Lingkungan
Berbicara faktor lingkungan sebagai variabel yang berpengaruh terhadap
penyesuaian diri sudah tentu meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1) Lingkungan Keluarga
Merupakan lingkungan utama yang sangat penting atau bahkan tidak
ada yang lebih penting kaitannya terhadap penyesuaian diri individu selain
keluarga. Unsur-unsur dalam keluarga, seperti konstelasi keluarga, interaksi
orang tua dengan anak, interaksi antaranggota keluarga, peran sosial dalam
keluarga, karakteristik anggota keluarga, kekohesifan keluarga, dan gangguan
dalam keluarga akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri individu
anggotanya. Derajat keanggotaan keluarga juga dapat memengaruhi
penyesuaian diri anak karena faktor ini sesungguhnya menjadi sumber
pengaruh sosialisasi yang menjadi syarat proses penyesuaian diri.
Kekohesifan keluarga atau gangguan keluarga juga dapat mempengaruhi
penyesuaian diri individu karena kekohesifan maupun gangguan keluarga
akan menciptakan iklim psikologis dalam kehidupan keluarga. Ada sejumlah
karakteristik menonjoldalam interaksi orang tua dengan anak yang memiliki
pengaruh terhadap penyesuaian diri, yaitu
a) Penerimaan (acceptance)
Penerimaan orang tua terhadap anaknya yang diwujudkan dalam
bentuk perhatian, kehangatan, kasih sayang, akan memberikan sumbangan
yang berarti bagi berkembangnya penyesuaian diri yang baik pada anak
juga akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan adaptasi pada
anak.
b) Identifikasi (identification)
Anak memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasi dirinya
terhadap pola sikap dan perilaku orang tuanya. Proses identifikasi ini
sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian diri anak. Jika
orang tua dapat dijadikan model identifikasi yang baik, akan berpengaruh
positif pula terhadap perkembangan adaptasi anak.
c) Idealisasi (idealization)
Merupakan suatu bentuk proses identifikasi yang sifatnya lebih
mendalam. Proses idealisasi diwujudkan dalam bentuk mengidealkan
sosok salah satu dari kedua orang tuanya yang dipilih, baik dalam cara
berpikir, bersikap, maupun berperilaku. Idealisasi sebagai suatu bentuk
identifikasi yang bersifat mendalam juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan adaptasi anak.
d) Identifikasi negatif (negative identification)
Proses ini muncul justru jia anak mengidentifikasi sifat-sifat negatif
dari orang tuanya. Jika ada tanda-tanda bahwa prses identifikasi negatif
yang justru berkembang pada anak, harus segera dilakukan pencegahan
karena akan mengganggu perkembangan penyesuaian diri ke arah yang
baik. Di sini peran orang tua sangat penting untuk berusaha
menghilangkan sifat-sifat negatif tersebut.
e) Identifikasi menyilang (cross identification)
Adalah identifikasi yang dilakukan oleh anak kepada orang tuanya
yang berlawanan jenis.Identifikasi seperti ini kurang baik terhadap
perkembangan adaptasi anak.
f) Tindakan hukuman dan disiplin yang terlalu keras (punishment and
overdiscipline)
Pemberian hukuman dan disiplin yang terlalu keras juga berakibat
kurang baik terhadap perkembangan adaptasi anak karena dapat
menimbulkan perasaan terancam, tidak aman, atau bahkan merasa turun
harkat dan martabat kemanusiaannya. Jadi, penerapan hukuman dan
disiplin menuntut keterampilan orang tua agar dilakukan dengan bijaksana
dan memberikan iklim yang menimbulkan afeksi penghargaan.
g) Kecemburuan dan kebencian (jealousy and hatred)
Kecemburuan dan kebencian biasanya muncul karena pemberian
hukuman dan peraturan kedisiplinan yang terlalu keras sehingga
mengakibatkan anak membenci orang tua dan orang tua membenci anak.
Padahal, sesungguhnya anak membutuhkan rasa kasih sayang, perhatian,
rasa aman, dan perasaan ingin memiliki dan dimiliki. Kebutuhan-
kebutuhan inilah yang tidak akan terpenuhi jika suasana kebencian,
kecemburuan, dan penolakan orang tua justru berkembang dalam
keluarga. Kondisi ini akan berpengaruh tidak baik terhadap perkembangan
adaptasi anak.
h) Pemanjaan dan perlindungan yang berlebihan (overindulgence and over-
protection)
Pemanjaan dan perlindungan yang berlebihan secara sepintas
seolah-olah memberikan perasaan aman terhadap anak, tetapi
sesungguhnya secara psikologis yang sifatnya mendasar justru
menimbulkan perasaan tidak aman, kecemburuan, gugup, serta kurang
percaya diri dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Biasanya anak
yang terlalu dimanja mengembangkan sifat memusatkan segala sesuatunya
kepada dirinya sendiri, memanjakan diri sendiri, dan cenderung
mementingkan diri sendiri sehingga akan berpengaruh tidak baik terhadap
proses pengembangan adaptasi anak.
i) Penolakan (rejection)
Penolakan orang tua terhadap anak merupakan pengalaman yang
paling tidak mengenakkan, sangat tidak menguntungkan, dan bahkan
dapat merusak anak. Dengan penolakan tersebut, anak akan merasa
dirinya tidak berharga, tidak berguna, tidak bermartabat, meskipun
sebenarnya ingin atau bahkan sudah berbuat sebaik-baiknya menurut
ukuran mereka. Perasaan seperti itu sangat tidak baik pengaruhnya
terhadap perkembangan adaptasi anak.
2) Lingkungan Sekolah
Sebagaimana lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga dapat
menjadi kondisi yang memungkinkan berkembang atau terhambatnya proses
perkembangan penyesuaian diri. Umumnya, sekolah dipandang sebagai media
yang sangat berguna untuk mempengaruhi kehidupan dan perkembangan
intelektual, sosial, nilai-nilai, sikap, dan moral siswa. Tidak jarang siswa lebih
mendengarkan dan menuruti apa yang dikatakan guru daripada orang tuanya.
Oleh sebab itu, proses sosialisasi yang dilakukan melalui iklim kehidupan
sekolah yang diciptakan oleh guru dalam interaksi edukatifnya sangat
berpengaruh terhadap perkembangan adaptasi anak.
3) Lingkungan Masyarakat
Karena keluarga dan sekolah itu berada di dalam lingkungan
masyarakat, lingkungan masyarakat juga menjadi faktor yang dapat
berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian diri. Konsistensi nilai-nilai,
aturan, norma, moral, dan perilaku masyarakat akan diidentifikasi oleh
individu yang berada dalam masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap
proses perkembangan adaptasi anak. Faktanya, tidak sedikit kecenderungan ke
arah penyimpangan perilaku dan kenakalan remaja sebagai salah satu bentuk
adaptasi diri yang tidak baik berasal dari pengaruh lingkungan masyarakat.
e. Agama dan Budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya.Agama memberikan
sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat
mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Agama secara
konsisten dan terus menerus kontinu mengingatkan manusia tentang nilai-nilai
intrinsik dan kemuliaan manusia diciptakan oleh Tuhan, bukan sekadar nilai-nilai
instrumental sebagaimana yang dihasilkan oleh manusia. Selain agama, budaya juga
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu. Hal ini
terlihat jika dilihat dari adaya karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu
melalui berbagai media dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain
itu, tidak sedikit konflik pribadi, kecemasan, frustasi, serta berbagai perilaku neurotik
atau penyimpangan perilaku yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung
oleh budaya sekitarnya. Sebagaimana faktor agama, faktr budaya pun memiliki
pengaruh yang sangat kuat bagi perkembangan adaptasi individu.(Ali & Asrori: 2012)
2.3 Hubungan Intelligence Terhadap Adaptasi
Inteligensi menurut Piaget merupakan pernyataan dari tingkah laku adaptif yang
terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada penyusunan pemikiran (Bybee dan
Sund, 1982 dalam Ali & Asrori: 2012). Piaget memposisikan subjek sebagai pihak yang aktif
dalam interaksi adaptif antara individu atau terjadi hubungan dialektis antara individu dengan
lingkungannya. Seorang individu tidak pernah terpisah dari lingkungannya dan juga tidak
semacam cerita penerima pasif. Interaksi antara individu dengan lingkungannya lebih bersifat
interaksi timbal balik. Hanya dalam bentuk interaksinya juga, setiap perubahan tingkah laku
merupakan hasil dialektis pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya.
Karena pandangannya yang demikian itu, teori Piaget tentang inteligensi atau kognitif
disebut juga dengan teori interaksionisme (interactionism theory) (Bybee dan Sund, 1982
dalam Ali & Asrori: 2012)
Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap individu memiliki kecenderungan
inheren untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Inteligensi sebagai bentuk khusus dari
penyesuaian individu baru dapat diketahui berkat dua proses yang saling mengisi yang
dikenal dengan istilah asimilasi dan akomodasi. Individu sebagai suatu sistem untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena kemampuan mengakomodasi struktur
kognitifnya sedemikian rupa sehingga objek yang baru itu dapat ditangkap dan dipahami
secara memadai. Asimilasi adalah suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan
pengalaman-pengalaman dengan struktur psikologis yang telah ada pada diri individu.
Struktur psikologis dalam diri individu ini disebut dengan skema yang berarti kerangka
mental individu yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu yang dilihat dan
didengarnya. Skema mampu menyusun pengamatan-pengamatan dan tingkah laku sehingga
terjadilah suatu rangkaian tindakan fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.
Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul tergantung pada kualitas dasar
yang penting peranannya dalam penyesuaian diri, yaitu kualitas inteligensi. Tidak sedikit,
baik buruknya adaptasi seseorang ditentukan oleh kapasitas intelektualnya atau
inteligensinya. Inteligensi sangat penting bagi perolehan perkembangan gagasan, prinsip, dan
tujuan yang memainkan peranan penting dalam proses penyesuaian diri (Ali & Asrori: 2012).