bab ii tinjauan pustaka sandyavitri (2009), yang dimaksud dengan konstruksi adalah rangkaian...

37
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proyek Konstruksi Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek (Soeharto, 2001). Dalam rangkaian kegiatan tersebut, terdapat suatu proses yang mengolah sumber daya proyek menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa bangunan. Proses yang terjadi dalam rangkaian kegiatan tersebut tentunya melibatkan pihak-pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proyek dibedakan atas hubungan fungsional dan hubungan kerja. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi maka potensi terjadinya konflik sangat besar sehingga dapat dikatakan bahwa proyek konstruksi mengandung konflik yang cukup tinggi. Kegiatan proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mempunyai ciri : 1. Dimulai dari awal proyek (awal rangkaian kegiatan) dan diakhiri dengan akhir proyek (akhir rangkaian kegiatan), serta mempunyai jangka waktu yang umumnya terbatas. 2. Rangkaian kegiatan proyek hanya terjadi satu kali sehingga menghasilkan produk yang bersifat unik. Jadi, tidak ada dua atau lebih proyek yang identik, yang ada adalah proyek yang sejenis. Menurut Sandyavitri (2009), yang dimaksud dengan konstruksi adalah rangkaian kegiatan membangun (construction). Hal ini perlu ditegaskan karena dalam beberapa literatur, yang dimaksud konstruksi adalah hasil dari suatu rangkaian kegiatan berupa bangunan, misalnya jalan raya, jembatan, rumah, saluran air, gelagar beton, dan lain sebagainya. Proyek konstruksi dapat dibedakan menjadi dua jenis kelompok bangunan, yaitu :

Upload: hathien

Post on 14-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proyek Konstruksi

Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu

kali dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek (Soeharto, 2001). Dalam

rangkaian kegiatan tersebut, terdapat suatu proses yang mengolah sumber daya

proyek menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa bangunan. Proses yang terjadi

dalam rangkaian kegiatan tersebut tentunya melibatkan pihak-pihak yang terkait,

baik secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara pihak-pihak yang

terlibat dalam suatu proyek dibedakan atas hubungan fungsional dan hubungan

kerja. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi maka

potensi terjadinya konflik sangat besar sehingga dapat dikatakan bahwa proyek

konstruksi mengandung konflik yang cukup tinggi.

Kegiatan proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang

mempunyai ciri :

1. Dimulai dari awal proyek (awal rangkaian kegiatan) dan diakhiri

dengan akhir proyek (akhir rangkaian kegiatan), serta mempunyai

jangka waktu yang umumnya terbatas.

2. Rangkaian kegiatan proyek hanya terjadi satu kali sehingga

menghasilkan produk yang bersifat unik. Jadi, tidak ada dua atau lebih

proyek yang identik, yang ada adalah proyek yang sejenis.

Menurut Sandyavitri (2009), yang dimaksud dengan konstruksi adalah

rangkaian kegiatan membangun (construction). Hal ini perlu ditegaskan karena

dalam beberapa literatur, yang dimaksud konstruksi adalah hasil dari suatu

rangkaian kegiatan berupa bangunan, misalnya jalan raya, jembatan, rumah,

saluran air, gelagar beton, dan lain sebagainya.

Proyek konstruksi dapat dibedakan menjadi dua jenis kelompok bangunan,

yaitu :

6

1. Bangunan gedung : rumah, kantor, pabrik dan lain-lain. Ciri-ciri dari

kelompok bangunan ini adalah :

a. Proyek konstruksi menghasilkan tempat orang bekerja atau

tinggal.

b. Pekerjaan dilaksanakan pada lokasi yang relatif sempit dan

kondisi pondasi umumnya sudah diketahui.

c. Manajemen dibutuhkan, terutama untuk progressing pekerjaan.

2. Bangunan sipil : jalan, jembatan, bendungan, dan infrastruktur lainnya.

Ciri-ciri dari kelompok bangunan ini adalah :

a. Proyek konstruksi dilaksanakan untuk mengendalikan alam agar

berguna bagi kepentingan manusia.

b. Pekerjaan dilaksanakan pada lokasi yang luas atau panjang dan

kondisi pondasi sangat berbeda satu sama lain dalam suatu

proyek.

c. Manajemen dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan.

2.2 Pengertian Risiko Proyek

Setiap aktivitas yang dilakukan dalam semua bidang kehidupan selalu

akan menimbulkan risiko, karena tidak ada kegiatan yang bebas dari risiko.

Sehingga pola pikir bahwa segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan rencana,

harus diubah dengan pola pendekatan yaitu pola pendekatan dengan

mempertanyakan apa yang terjadi bila sesuatu tidak sesuai dengan rencana

(Flanagan dan Norman, 1993).

Sebuah proyek konstruksi memiliki banyak hal yang harus diperhitungkan

agar pelaksanaan proyek sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Proyek

konstruksi diasosiasikan memiliki risiko yang sangat tinggi berdasarkan aktivitas

yang dilakukan, proses, lingkungan, dan organisasinya. Risiko melibatkan banyak

hal termasuk yang tidak terduga, yang tidak diinginkan, dan sering banyak faktor

yang tidak terprediksi. Beberapa hambatan dapat terjadi dan dapat mengganggu

proses pelaksanaan proyek konstruksi. Hambatan terjadi karena kurangnya

perhitungan akan risiko-risiko yang tidak diperhitungkan dengan baik pada awal

konstruksi dilaksanakan.

7

Risiko merupakan sebuah halangan yang terdapat dalam setiap proyek

konstruksi, setiap kontraktor harus menangani itu dan para pemilik proyek harus

membayar untuk itu (Flanagan dan Norman, 1993). Risiko sendiri adalah suatu

hal yang terjadi diluar perhitungan yang kondisinya tidak pasti dan memiliki

dampak terhadap ruang lingkup proyek, biaya, waktu dan mutu dari pekerjaan.

Risiko memiliki banyak bentuk dan ukuran dimana dideskripsikan sebagai

“kemungkinan beberapa hal dapat terjadi yang akan memberikan dampak

terhadap sebuah tujuan”, risiko sering ditentukan berdasarkan kejadian dan

konsekuensi yang diakibatkan oleh risiko tersebut dimana konsekuensinya bisa

berdampak postif maupun negatif (Alijoyo, 2006). Pada tahap pelaksanaan proyek

konstruksi, berbagai risiko mungkin muncul baik risiko biaya, risiko mutu

maupun risiko yang mempengaruhi waktu proyek (Norken dkk, 2015).

Risiko dan ketidakyakinan memiliki arti yang berbeda, dimana risiko

(risk) berasal dari bahasa Prancis yaitu risqué dan digunakan dalam bidang

asuransi. Risiko dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu (Smith, et al., 1999) :

a. Known Risks, risiko ini termasuk risiko yang memiliki perubahan kecil

terhadap produkivitas dan harga, sering terjadi dan tidak dapat

dihindarkan dalam proyek konstruksi.

b. Known Unknown Risk, adalah risiko yang diketahui dan diprediksi

akan terjadi, tetapi probabilitasnya serta akibat yang terjadi tidak

diketahui.

c. Unknown Unknown Risk, adalah risiko yang tidak diketahui akan terjadi

dan akibatnya tidak dapat diketahui oleh mayoritas staff.

Dalam proyek konstruksi, keoptimisan dalam sebuah proyek baru sering

menuju kepada sikap AGAP (All Goes According To Plan) dimana para

kontraktor menyediakan dana, estimasi dan waktu penyelesaian berdasarkan

AGAP namun proyek konstruksi sendiri memiliki beberapa hal yang sangat sering

diluar perencanaan dan para kontraktor diharapkan lebih menggunakan analisis

WHIF (What Happen If) dimana diperlukan sebuah pemikiran jika sesuatu dapat

terjadi diluar perencanaan (Flanagan dan Norman, 1993).

Risiko-risiko yang dibahas pada manajemen risiko dalam

perkembangannya dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu :

8

1. Risiko Operasional

Risiko ini adalah risiko yang dapat timbul akibat tidak berfungsinya

sistem internal, kesalahan manusia maupun kegagalan sistem. Sumber

risiko ini merupakan sumber terluas dibandingkan sumber risiko

lainnya. Selain bersumber dari kegiatan diatas juga bersumber dari

kegiatan operasional dan jasa, akuntansi, sistem teknologi informasi,

sistem informasi manajemen atau sistem pengelolaan sumber daya

manusia.

2. Risiko Hazard

Risiko ini merupakan suatu keadaan yang dapat memperbesar

kemungkinan terjadinya suatu musibah. Pengertian tersebut dapat

diperluas meliputi berbagai keadaan yang dapat menimbulkan suatu

kerugian. Risiko Hazard dapat diklasifikasikan menjadi 4 bentuk

(Darmawi, 2014) :

a. Physical Hazard, adalah suatu kondisi yang bersumber pada

karakterisik secara fisik dari suatu objek yang memperbesar

kemungkinan terjadi suatu musibah ataupun memperbesar suatu

kerugian.

b. Moral Hazard, adalah suatu kondisi yang bersumber dari orang yang

bersangkutan berkaitan dengan sikap mental atau pandangan hidup

serta kebiasaannya yang dapat memperbesar kemungkinan tejadinya

suatu musibah ataupun kerugian.

c. Morale Hazard, setiap orang pada dasarnya tidak menginginkan

terjadinya suatu kerugian, akan tetapi karena merasa bahwa ia telah

memperoleh jaminan baik atas diri maupun harta miliknya,

seringkali menimbulkan kecerobohan atau kurang hati-hati.

d. Legal Hazard, seringkali peraturan-peraturan ataupun Undang-

Undang yang bertujuan melindungi masyarakat justru diabaikan

ataupun kurang diperhatikan sehingga dapat memperbesar terjadinya

suatu musibah.

9

3. Risiko Finansial

Risiko Finansial merupakan risiko yang diderita oleh investor sebagai

akibat dari ketidakmampuan emiten saham dan obligasi memenuhi

kewajiban pembayaran deviden atau bunga serta pokok pinjaman.

4. Risiko Strategik

Risiko ini terjadi karena serangkaian kondisi yang tidak terduga yang

dapat mengurangi kemampuan manajer untuk mengimplementasikan

strateginya secara signifikan.

Kata risiko memiliki berbagai definisi, namun secara sederhana dapat

diartikan sebagai peluang terjadinya kejadian yang merugikan, yang diakibatkan

adanya ketidakpastian dari apa yang akan dihadapi. Ketidakpastian adalah suatu

potensi perubahan yang akan terjadi di masa datang, sebagai konsekuensi dari

ketidakmampuan untuk mengetahui apa yang akan terjadi bila suatu aktivitas

dilakukan saat ini. Dengan demikian pola pendekatan dalam pelaksanaan proyek

konstruksi sebaiknya menggunakan pola pendekatan berdasarkan risiko, karena

risiko dan ketidakpastian itu pasti akan selamanya muncul selama pelaksanaan

proyek konstruksi yang bersumber dari berbagai aktivitas dalam pelaksanaan

proyek konstruksi itu sendiri.

Dalam hubungannya dengan proyek konstruksi, maka risiko dapat

diartikan sebagai dampak komulatif terjadinya ketidakpastian yang berdampak

negatif terhadap sasaran proyek (Soeharto, 2001).

Risiko proyek konstruksi ditandai oleh faktor-faktor berikut :

1. Peristiwa risiko, menunjukkan dampak negatif yang dapat terjadi pada

proyek konstruksi.

2. Probabilitas terjadinya peristiwa.

3. Kedalaman (severity) dampak dari risiko yang terjadi.

Setiap orang berusaha melindungi diri terhadap risiko, demikian pula

badan usaha akan berusaha melindungi usahanya dari risiko termasuk didalamnya

para pelaksana usaha jasa konstruksi. Menghindari risiko yang satu belum tentu

dapat menghindari risiko yang lain sehingga perlu dianalisis lebih jauh risiko yang

mungkin terjadi, dan bagaimana cara merespon risiko yang paling tepat serta

10

melakukan pengendalian terhadap kemungkinan risiko yang teridentifikasi. Dalam

menghadapi risiko proyek, dikenal suatu golden rule yaitu jangan mengambil

risiko bilamana :

1. Organisasi yang bersangkutan tidak mampu menanggungnya (can not

afford to lose).

2. Manfaat yang diraih lebih kecil dari risiko yang mungkin timbul.

3. Masih tersedia sejumlah alternatif.

4. Belum ada rencana kontinjensi untuk mengatasinya.

Jadi, risiko hanya boleh diambil bilamana potensi manfaat dan

kemungkinan keberhasilannya lebih besar daripada biaya yang diperlukan untuk

menutupi kegagalan yang mungkin terjadi.

2.3 Jenis Risiko Proyek

Risiko pada umumnya dikelompokkan berdasarkan anggaran modal, sifat

dan sumbernya.

1. Risiko berdasarkan anggaran modal proyek dapat dibagi menjadi 2

(Soeharto, 2001), yaitu :

a. Risiko Proyek Tunggal

Risiko yang diperhitungkan hanya dengan melihat karakteristik

hubungan antara risiko pada proyek itu sendiri, terlepas dari faktor

ada atau tidaknya proyek lain di dalam perusahaan pemilik. Risiko

proyek semacam ini kadang-kadang dinamakan stand alone risk.

b. Risiko Kombinasi Multiproyek

Risiko yang dihadapi perusahaan bila perusahaan pemilik

mempunyai multiproyek, maka risiko masing-masing berkombinasi.

2. Risiko berdasarkan sifat dapat dibedakan menjadi 2 jenis (Darmawi,

2014), yaitu :

a. Risiko Spekulatif

Risiko ini memiliki dua kemungkinan yaitu kemungkinan rugi atau

untung. Biasanya risiko ini tidak dapat diasuransikan.

11

b. Risiko Murni

Risiko ini hanya memiliki satu kemungkinan yaitu hanya ada

kemungkinan rugi. Risiko ini dapat diasuransikan.

3. Sumber risiko dapat diartikan sebagai faktor yang dapat menimbulkan

kejadian yang bersifat positif atau negatif. Risiko berdasarkan

sumbernya dijelaskan oleh Wahyuni (2006) dikutip dari Kwakye

(1997), dibagi menjadi :

a. Fundamental physical risks

Merupakan risiko akibat fenomena alam, kesalahan manusia atau

industri, yaitu : kerusakan akibat badai, kebakaran, perang,

kebocoran nuklir atau bahan kimia berbahaya, dan sebagainya.

b. Legal risks

Risiko ini berkaitan dengan bidang hukum, yaitu kerugian terhadap

manusia dan kerusakan pada bangunan atau lingkungan selama masa

pelaksanaan dan pemeliharaan konstruksi, getaran dan gangguan-

gangguan lainnya selama pelaksanaan konstruksi.

c. Construction related risks

Risiko ini berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi, yaitu

kekurangan sumber daya (tenaga kerja, material, peralatan),

keterlambatan penyelesaian pekerjaan, penundaan atau

keterlambatan mengelola site, tingkat kesulitan dan kerumitan

konstruksi, ketidaksesuaian gambar atau volume dalam kontrak

dengan kenyataan di lapangan, dan sebagainya.

d. Price determination risks

Risiko ini berkaitan dengan masalah biaya, meliputi risiko akibat

kesalahan estimasi atau penaksiran yang kurang akurat, tidak

tepatnya pengambilan keputusan, kesalahan meramalkan fluktuasi

dan biaya sumber daya yang digunakan.

e. Contractual risks

Risiko ini meliputi keterlambatan pembayaran, kualitas kerja yang

tidak sesuai dengan kontrak, klaim, persengketaan, dan sebagainya.

12

f. Perfomance risks

Risiko ini diakibatkan oleh bagaimana hasil produktivitas dari

sumber daya yang digunakan, misalnya akibat pengaruh moral

pekerja, pemogokan, jaminan keselamatan dan kesehatan,

perencanaan yang tidak tepat.

g. Economic risks

Risiko ini meliputi inflasi, tingkat suku bunga tinggi, penundaan

pencairan dana, pembengkakan biaya, dan sebagainya.

h. Political risks

Risiko ini diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi dalam dunia

politik, seperti pergantian pemerintahan, dan sebagainya.

i. Market risks

Risiko pasar diakibatkan oleh resesi pasar akan permintaan

konstruksi, persaingan kuat dalam harga terendah, dan sebagainya.

2.4 Manajemen Risiko

Risiko terjadi pada semua proyek konstruksi dan tidak dapat diabaikan

namun dapat dikurangi dan dipindahkan sehingga dapat dikontrol. Pemahaman

akan risiko sangat penting dan sangat diperlukan dalam mengidentifikasi dan

menganalisis secara sistematis, menangani dan melakukan pengontrolan sehingga

pencapaian tujuan proyek sesuai dengan waktu (time), biaya (cost), dan kualitas

(quality). Manajemen risiko merupakan aplikasi manajemen umum yang

berhubungan dengan berbagai aktivitas yang dapat menimbulkan risiko.

Manajemen risiko memiliki tujuan untuk dapat mengenali risiko sehingga

nantinya dapat direncanakan strategi penanganan yang akan dilakukan terhadap

risiko yang akan muncul. Strategi yang digunakan diperhitungkan dengan baik

agar mampu untuk mengurangi bahkan menghilangkan risiko yang muncul.

Manajemen risiko harus dilihat sebagai tanggapan dalam mengelola risiko

daripada menanggapi peristiwa setelah risiko terjadi. Tahapan-tahapan dalam

melakukan manajemen risiko yaitu terlebih dahulu melakukan identifikasi,

mengklasifikasikan risiko yang akan terjadi, melakukan analisis atas risiko-risiko

yang telah teridentifikasi dan pada tahap akhir melakukan penanganan-

13

penanganan yang perlu dilakukan berdasarkan berbagai macam pertimbangan

untuk meminimalisir atau menghilangkan risiko, seperti yang terdapat pada

Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Alur manajemen risiko Sumber : Flanagan dan Norman (1993)

Identifikasi risiko dilakukan untuk menentukan sumber-sumber serta tipe

risiko yang memungkinkan dan diperkirakan akan muncul dalam sebuah proyek

konstruksi. Klasifikasi risiko dilakukan untuk menentukan tipe risiko dan efeknya

bagi proyek maupun organisasi yang menanganinya. Setelah risiko

diklasifikasikan, maka selanjutnya dilakukan analisis risiko. Analisis risiko

berguna untuk mengevaluasi konsekuensi serta akibat yang muncul dari tipe-tipe

risiko atau kombinasi dari banyak risiko, dengan menggunakan teknis analisis

serta memperkirakan akibat dari risiko menggunakan berbagai macam metode

pengukuran risiko. Segala jenis keputusan untuk melakukan penanganan risiko

tergantung kepada pihak yang membuat keputusan. Respon risiko

mempertimbangkan bagaimana risiko tersebut akan ditangani dengan cara

mentransfer risiko ke berbagai pihak maupun menahan risiko tersebut.

14

2.5 Identifikasi Risiko

Identifikasi risiko adalah suatu proses analisis untuk menemukan secara

sistematis dan secara berkesinambungan risiko (kerugian yang potensial) yang

menantang perusahaan/lembaga ataupun aktivitas yang akan direncanakan

ataupun yang sedang dilaksanakan atau dioperasikan (Norken dkk, 2015).

Identifikasi risiko merupakan tahap awal dari manajemen risiko yang memiliki

peranan yang sangat penting dalam proses manajemen risiko. Identifikasi risiko

merupakan tahapan tersulit dan juga paling menentukan dalam proses manajemen

risiko.

Kesalahan akibat kurangnya perhitungan dan pertimbangan dalam

pengidentifikasian risiko dapat berakibat pada ketidaktepatan penanganan risiko

dan berujung pada kerugian-kerugian yang timbul bagi pihak-pihak yang

menanganinya. Menurut Thomson dan Perry (1991), untuk mengatasi kesulitan

dalam mengidentifikasi risiko dapat digunakan beberapa cara, antara lain :

menyusun daftar (check list) risiko, wawancara dengan personel kunci (expert)

yang terlibat, melalui diskusi yang membahas topik tertentu (brain storming), dan

dapat pula dilakukan melalui pencatatan satu peristiwa atau lazim disebut use of

record.

Pada pengidentifikasian risiko yang harus dilakukan adalah menentukan

segala jenis sumber dan tipe risiko yang memungkinkan terjadi pada proyek

konstruksi. Sumber risiko yang akan muncul dapat menyebabkan sebuah kejadian

yang nantinya akan memberikan efek pada proyek konstruksi. Sumber risiko bisa

berasal dari inflasi, ketidakstabilan tanah, cuaca yang berubah-ubah, distribusi

material yang terlambat, spesifikasi yang tidak sesuai, dan koordinasi yang buruk

antar pekerja maupun staf. Disarankan untuk membuat daftar sumber risiko sesuai

dengan pengalaman dan jenis proyek, karena risiko untuk setiap jenis proyek

adalah spesifik (tidak sama satu dengan lainnya).

Proses identifikasi risiko dilakukan secara terus menerus dalam

mengkategorikan dan memperkirakan risiko-risiko yang signifikan terdapat dalam

proyek konstruksi, seperti terlihat pada Gambar 2.2 (Al-Bahar dan Crandall,

1990) :

15

Gambar 2.2 Proses identifikasi risiko Sumber : Al-Bahar dan Crandall (1990)

Pada Gambar 2.2 dapat dijelaskan proses-proses pengidentifikasian risiko

dimulai dari adanya ketidakpastian dalam proyek konstruksi. Segala jenis

ketidakpastian yang mempengaruhi kualitas, biaya maupun waktu pekerjaan harus

dipertimbangkan dan dipikirkan serta ditandai (checklist) bahwa ketidakpastian ini

berpengaruh pada kelancaran proses pekerjaan proyek konstruksi. Checklist inilah

yang nantinya digunakan sebagai langkah awal dalam penentuan risiko lebih

lanjut. Setelah risiko ditentukan maka harus dipikirkan pula hal-hal yang dapat

ditimbulkan dari segala jenis risiko yang muncul. Misalnya akibat yang dapat

ditimbulkan berpengaruh pada kecelakaan kerja, kerusakan struktur maupun

waktu pelaksanaan yang bertambah dan pada akhirnya akan berdampak pada

keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi tersebut.

Dari hasil penelitian terdahulu dan dari berbagai literatur yang terkait

maka dapat diperoleh hasil berupa sumber risiko dan faktor-faktor risiko yang

mungkin terjadi pada pelaksanaan proyek konstruksi. Sumber risiko dan faktor-

faktor risiko yang terdapat dalam proyek konstruksi dapat dilihat pada Tabel 2.1.

16

Tabel 2.1 Sumber dan faktor risiko berdasarkan berbagai literatur (1/5)

(A ) ( B ) ( C ) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14

Bencana Alam        

Kebakaran

Cuaca buruk          

Polusi    

Tidak Ramah Lingkungan  

Degradasi Alam  

Inflasi      

Fluktuasi nilai tukar mata uang      

Analisa pasar yang buruk

Kesalahan analisa investor  

Perkiraan biaya yang tidak sesuai

Daya beli konsumen          

Resiko pasar

Kenaikan pajak      

Fluktuasi suku bunga      

Pendapatan perkapita  

Likuiditas akibat krisis  

PENGARANG

A Lingkungan

( D )

NOSUMBER

RESIKOFAKTOR RESIKO

BEkonomi dan

Finansial

17

Perang      

Embargo  

Ketersedian Pekerja  

Distribusi material akibat macet  

Korupsi      

Protes dari buruh, ahli lingkungan dan

masyarakat         

Stabilitas politik  

Satbilitas Ekonomi  

Perbedaan budaya, bahasa, agama  

Tingkat kriminalitas      

Penemuan arkeologi di lokasi proyek  

Vandalisme  

Keterlambatan birokrasi

Sikap pemerintah terhadap investor  

Peraturan keamanan  

Ketidak pastian peraturan    

Kebijakan ekspor, impor  

Sistem peradilan yang bertentangan

Proses persetujuan yang rumit        

Perubahan peraturan    

Peraturan daerah  

CPolitik dan

Lingkungan

D Hukum

Tabel 2.1 Lanjutan (2/5)

(A ) ( B ) ( C ) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14

Bencana Alam        

Kebakaran

Cuaca buruk          

Polusi    

Tidak Ramah Lingkungan  

Degradasi Alam  

Inflasi      

Fluktuasi nilai tukar mata uang      

Analisa pasar yang buruk

Kesalahan analisa investor  

Perkiraan biaya yang tidak sesuai

Daya beli konsumen          

Resiko pasar

Kenaikan pajak      

Fluktuasi suku bunga      

Pendapatan perkapita  

Likuiditas akibat krisis  

PENGARANG

A Lingkungan

( D )

NOSUMBER

RESIKOFAKTOR RESIKO

BEkonomi dan

Finansial

18

Pembatalan tender  

Price dumping oleh kompetitor  

Kontrak yang tidak menguntungkan    

Kompetisi antar kontraktor    

Design yang tidak selesai        

Design yang tidak efektif  

Kesalahan dan Kelalaian Design      

Kurangnya spesifikasi      

Tidak lengkapnya design  

Design yang tidak setujui      

Kualitas design  

Lambatnya respon perubahan design  

Terbatasnya inovasi dan kreatifitas  

Permasalahan design        

Kesalahan pemilihan tim  

Keselahan jadwal pekerjaan

Pengkoordinasian yang buruk              

Manajemen sumber daya yang buruk  

SDA terbatas    

Perbedaan standar keamanan dan

kesehatan   

Cash flow unbalance  

Pengaruh terhadap proyek lain

Perubahan manajemen  

Keterlambatan kepemilikan lokasi

proyek   

Pembatalan oleh pihak terkait  

Kebutuhan yang tidak jelas  

Kualitas kontraktor    

Kurangnya komitmen manajemen    

Hubungan yang tidak baik antar tim    

ETender dan

Kontrak

D Design

Manajemen

ProyekE

(A ) ( B ) ( C ) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14

Bencana Alam        

Kebakaran

Cuaca buruk          

Polusi    

Tidak Ramah Lingkungan  

Degradasi Alam  

Inflasi      

Fluktuasi nilai tukar mata uang      

Analisa pasar yang buruk

Kesalahan analisa investor  

Perkiraan biaya yang tidak sesuai

Daya beli konsumen          

Resiko pasar

Kenaikan pajak      

Fluktuasi suku bunga      

Pendapatan perkapita  

Likuiditas akibat krisis  

PENGARANG

A Lingkungan

( D )

NOSUMBER

RESIKOFAKTOR RESIKO

BEkonomi dan

Finansial

Tabel 2.1 Lanjutan (3/5)

F

G

19

Keterlambatan dalam menyelesaikan

masalah 

Prestasi yang tidak pasti    

Kurangnya informasi    

Tidak konsistennya biaya, waktu dan

lingkup pekerjaan 

Konflik SDM di satu organisasi  

Permasalahan keuangan dari owner      

Permasalahan keuangan dari kontraktor    

Kegagalan subkontraktor  

Kesalahan rencana anggaran        

Pemotongan dana  

Modal    

Pembayaran yang terlambat    

Kerusakan Struktur  

Kerusakan Peralatan      

Kecelakaan Pekerja  

Kebakaran material dan alat  

Kesalahan identifikasi keadaan tanah          

Pekerja yang absen  

Kualitas pekerja  

Distribusi material akibat macet            

Kualitas material      

Kesalahan teknik konstruksi        

Pengontrolan kualitas          

Batasan pekerjaan  

Produktivitas          

FPengerjaan

Konstruksi

(A ) ( B ) ( C ) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14

Bencana Alam        

Kebakaran

Cuaca buruk          

Polusi    

Tidak Ramah Lingkungan  

Degradasi Alam  

Inflasi      

Fluktuasi nilai tukar mata uang      

Analisa pasar yang buruk

Kesalahan analisa investor  

Perkiraan biaya yang tidak sesuai

Daya beli konsumen          

Resiko pasar

Kenaikan pajak      

Fluktuasi suku bunga      

Pendapatan perkapita  

Likuiditas akibat krisis  

PENGARANG

A Lingkungan

( D )

NOSUMBER

RESIKOFAKTOR RESIKO

BEkonomi dan

Finansial

H

Tabel 2.1 Lanjutan (4/5)

20

Tabel 2.1 Lanjutan (5/5)

(A ) ( B ) ( C ) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14

Bencana Alam        

Kebakaran

Cuaca buruk          

Polusi    

Tidak Ramah Lingkungan  

Degradasi Alam  

Inflasi      

Fluktuasi nilai tukar mata uang      

Analisa pasar yang buruk

Kesalahan analisa investor  

Perkiraan biaya yang tidak sesuai

Daya beli konsumen          

Resiko pasar

Kenaikan pajak      

Fluktuasi suku bunga      

Pendapatan perkapita  

Likuiditas akibat krisis  

PENGARANG

A Lingkungan

( D )

NOSUMBER

RESIKOFAKTOR RESIKO

BEkonomi dan

Finansial

Ketersediaan alat  

Adaptasi alat    

Kelengkapan alat  

Daya guna alat  

Mesin  

Kepemilikan hak cipta  

Penanggungjawaban data  

G Teknologi

H Lain-lain

I

J

21

Keterangan pengarang Tabel 2.1 :

P1 : Al-Bahar dan Crandall (1990)

P2 : Kim dan Bajaj (2000)

P3 : Skorupka (2003)

P4 : Zhi (1995)

P5 : De Marco dan Thaheem (2014)

P6 : Dey (2009)

P7 : Chileshe (2012)

P8 : Sharma (2013)

P9 : Zou dan Couani (2012)

P10 : Chapman (2001)

P11 : Sandyavitri (2009)

P12 : Azhar, et al. (2008)

P13 : Smith, et al. (1999)

P14 : Flanagan dan Norman (1993)

2.6 Keterlambatan Proyek Konstruksi

Menurut Proboyo (1999), keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi

umumnya selalu menimbulkan akibat yang merugikan baik bagi pemilik maupun

kontraktor, karena dampak keterlambatan adalah konflik dan perdebatan tentang

apa dan siapa yang menjadi penyebab, juga tuntutan waktu dan biaya tambah.

Menurut Alifen et al. (2000), keterlambatan proyek sering kali menjadi

sumber perselisihan dan tuntutan antara pemilik dan kontraktor, sehingga akan

menjadi sangat mahal nilainya baik ditinjau dari sisi kontraktor maupun pemilik.

Kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak, disamping itu

kontraktor juga akan mengalami tambahan biaya overhead selama proyek masih

berlangsung. Dari sisi pemilik, keterlambatan proyek akan membawa dampak

pengurangan pemasukan karena penundaan pengoperasian fasilitasnya.

Menurut Alifen et al. (2000), keterlambatan proyek dapat disebabkan oleh

pihak kontraktor, pemilik atau disebabkan oleh keadaan alam dan lingkungan

diluar kemampuan manusia atau disebut dengan force majeur. Standard dokumen

kontrak yang diterbitkan oleh AIA (American Institute Of Architects)

membedakan keterlambatan proyek menjadi tiga (3) kelompok yaitu :

22

a. Excusable/Compensable Delay adalah keterlambatan yang beralasan dan

dapat dikompensasi. Kasus keterlambatan yang beralasan dan dapat

dikompensasi adalah keterlambatan yang disebabkan oleh pihak pemilik

dalam kaitannya karena tidak dapat menyediakan jalan tempuh ke

proyek, perubahan gambar rencana, perubahan lingkup pekerjaan

kontraktor, keterlambatan dalam menyetujui gambar kerja, jadwal,

material, kurangnya koordinasi dan supervisi lapangan, pembayaran

tertunda, dan campur tangan pemilik yang bukan wewenangnya. Dalam

kasus ini kontraktor berhak atas dispensasi waktu dan biaya ekstra.

b. Excusable/Non Compensable Delay adalah keterlambatan yang beralasan,

tetapi tidak dapat dikompensasi. Kasus keterlambatan yang beralasan,

tetapi tidak dapat dikompensasi adalah keterlambatan yang diluar

kemampuan baik kontraktor maupun pemilik. Sebagai contoh, cuaca

buruk, kebakaran, banjir, pemogokan buruh, peperangan, perusakan oleh

pihak lain, larangan kerja, wabah penyakit, inflasi/eskalasi harga, dan

lain sebagainya. Kasus ini biasanya disebut dengan force majeur.

c. Non-Excusable Delay adalah keterlambatan yang tidak beralasan. Kasus

keterlambatan yang tidak beralasan adalah keterlambatan yang

disebabkan karena kegagalan kontraktor memenuhi tanggung jawabnya

dalam pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, kekurangan dalam

penyediaan sumber daya proyek (manusia, alat, material, subkontraktor,

uang), kegagalan koordinasi lapangan, kegagalan perencanaan jadwal,

produktivitas yang rendah, dan sebagainya. Dalam kasus ini kontraktor

akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak.

2.7 Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Pelaksanaan Proyek

Konstruksi

Berdasarkan sumber risiko dan faktor risiko pada penjelasan sebelumnya,

terdapat beberapa sumber dan faktor risiko yang dapat menyebabkan

keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi. Sumber risiko dan faktor risiko

yang dapat menyebabkan keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi tersebut

selanjutnya dieliminasi dan disesuaikan dengan kondisi di wilayah perkotaan

23

Sarbagita. Eliminasi dilakukan dengan cara mempertimbangkan apakah faktor

risiko tersebut dapat muncul dan berpengaruh pada wilayah penelitian atau tidak.

Apabila faktor risiko dianggap jarang muncul atau tidak berpengaruh maka faktor

risiko dihilangkan. Faktor risiko dan sumber risiko yang diidentifikasi dapat

menyebabkan keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi di wilayah perkotaan

Sarbagita dirangkum pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Faktor risiko terhadap keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi (1/2)

No Sumber

Risiko Faktor Risiko

Referensi

1 Lingkungan

Alam

Bencana Alam

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Kim dan Bajaj (2000), Zhi (1995),

Dey (2009)

Terganggunya Pekerjaan

Akibat Cuaca Buruk

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Zhi (1995), Chileshe (2012),

Sharma (2013), Flanagan dan

Norman (1993)

2 Lingkungan

Sosial

Protes dari Masyarakat,

Pekerja, Ahli Lingkungan

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Kim dan Bajaj (2000), Skorupka

(2003), Zhi (1995), Sharma

(2013), Flanagan dan Norman

(1993)

Pencurian Material &

Peralatan di Lapangan

Zhi (1995), Chileshe (2012),

Flanagan dan Norman (1993)

3 Ekonomi

Kenaikan Harga Barang

Akibat Inflasi

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Skorupka (2003), Zhi (1995),

Sharma (2013), Zou dan Couani

(2012), Chapman (2001)

Fluktuasi Nilai Tukar

Mata Uang

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Kim dan Bajaj (2000), Zhi (1995),

Dey (2009), Chileshe (2012),

Sharma (2013)

4 Regulasi

Perubahan Peraturan Al-Bahar dan Crandall (1990),

Chapman (2001)

Proses Persetujuan yang

Rumit dan Lama

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Zhi (1995), Sharma (2013), Zou

dan Couani (2012)

5 Tender dan

Kontrak

Pembatalan Tender Skorupka (2003)

Kontrak yang Tidak Detail Zhi (1995), Flanagan dan Norman

(1993)

24

No Sumber

Risiko Faktor Risiko

Referensi

6 Design

Perubahan dalam Design

karena Kesalahan

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Chileshe (2012), Sharma (2013),

Chapman (2001)

Perubahan Skup Pekerjaan

Atas Permintaan Klien

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Dey (2009), Sandyavitri (2009)

7 Manajemen

Proyek

Kesalahan Pemilihan Tim

di Lapangan Skorupka (2003)

Kesalahan Prioritas &

Penjadwalan Pekerjaan Skorupka (2003)

Koordinasi dan

Komunikasi yang Buruk

Skorupka (2003), Zhi (1995), Dey

(2009), Chileshe (2012), Sharma

(2013), Zou dan Couani (2012),

Chapman (2001)

Keterlambatan Merespon

Permasalahan Chapman (2001)

Tidak Konsistennya Biaya,

Waktu dan Lingkup

Pekerjaan

Sharma (2013)

Permasalahan Keuangan

Pihak Owner dan

Kontraktor

Chileshe (2012), Zou dan Couani

(2012), Flanagan dan Norman

(1993)

Pembayaran yang

Terlambat Chileshe (2012), Chapman (2001)

8 Proses

Konstruksi

Kerusakan Material Skorupka (2003), Zou dan Couani

(2012), Smith, et al. (1999)

Terganggunya

Ketersediaan Material

Kim dan Bajaj (2000), Skorupka

(2003), Zhi (1995), Sharma

(2013), Sandyavitri (2009),

Flanagan dan Norman (1993)

Terganggunya

Produktivitas Tenaga

Kerja

Skorupka (2003)

Kesalahan Teknologi dan

Metode Kerja

Al-Bahar dan Crandall (1990),

Zhi (1995), Chileshe (2012),

Flanagan dan Norman (1993)

Kegagalan Subkontraktor Kim dan Bajaj (2000)

Terganggunya

Produktivitas Peralatan Dey (2009)

Tabel 2.2 Lanjutan (2/2)

25

2.8 Pengklasifikasian Risiko dan Analisis Risiko

Klasifikasi risiko dibuat dengan tujuan mempermudah pemahaman dan

pembedaan risiko yang ada sehingga membantu dan memudahkan dalam

melakukan analisis risiko. Terdapat tiga cara untuk melakukan klasifikasi risiko

yaitu dengan melakukan identifikasi konsekuensi risiko, jenisnya dan

pengaruhnya seperti terlihat pada Gambar 2.3 (Flanagan dan Norman, 1993).

Gambar 2.3 Klasifikasi risiko Sumber : Flanagan dan Norman (1993)

Berdasarkan konsekuensinya, risiko dapat dibagi berdasarkan frekuensi

kejadian, akibat risiko, dan kemungkinannya. Berdasarkan pengaruh risiko, risiko

dibagi berdasarkan pengaruhnya terhadap perusahaan, lingkungan, pasar, dan

proyek. Berdasarkan jenisnya, risiko dibagi menjadi risiko murni dan risiko

spekulasi. Risiko murni (pure risk) adalah risiko yang dapat berakibat merugikan

atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu jenis

risiko murni adalah kebakaran, apabila terjadi sebuah kebakaran pada area site

26

maka kebakaran akan menimbulkan kerugian. Risiko spekulasi adalah risiko yang

dihadapi oleh perusahaan yang dapat memberikan kerugian maupun keuntungan.

Misalnya sebuah perusahaan melakukan investasi, investasi ini nantinya akan

dapat menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan tersebut.

Analisis risiko dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara

kualitatif terfokus pada identifikasi dan penilaian risiko, dan secara kuantitatif

terfokus pada evaluasi probabilitas terhadap terjadinya risiko dimana sumber

risiko harus diidentifikasikan dan akibatnya diperhitungkan. Analisis risiko secara

kualitatif adalah proses dalam menilai pengaruh yang kuat dan kemungkinan yang

terjadi dalam mengidentifikasi risiko. Secara kualitatif analisis risiko memiliki

dua tujuan yaitu identifikasi dan penilaian awal risiko yang sasarannya adalah

menyusun sumber risiko utama dan menggambarkan tingkat konsekuensi yang

sering terjadi. Melakukan analisis risiko secara sistematis dapat membantu untuk

(Godfrey, 1996) :

1. Mengidentifikasi, menilai dan memberikan ranking risiko secara jelas.

2. Memusatkan perhatian pada risiko dominan.

3. Memperjelas keputusan tentang kerugian.

4. Meminimalkan potensi kerugian apabila timbul keadaan terburuk.

5. Mengontrol aspek ketidakpastian.

6. Memperjelas peran setiap orang yang terlibat dalam manajemen

risiko.

Menurut Flanagan dan Norman (1993), langkah-langkah analisis risiko

adalah seperti terlihat pada Gambar 2.4.

27

Gambar 2.4 Analisis risiko Sumber : Flanagan dan Norman (1993)

Dari Gambar 2.4 diketahui langkah awal untuk melakukan analisis risiko

adalah identifikasi risiko yang mungkin terjadi, selanjutnya risiko-risiko yang

teridentifikasi dinilai dengan penilaian risiko. Penilaian dilakukan terhadap

pengaruh risiko itu pada biaya, mutu dan waktu proyek. Setelah dilakukan

penilaian risiko, selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap risiko tersebut.

Pengukuran terhadap risiko dilakukan dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan

kuantitatif. Secara kualitatif hasil dari penilaian risiko lebih terfokus pada

keputusan langsung yang diambil berdasarkan ranking, perbandingan maupun

analisis deskriptif. Secara kuantitatif dilakukan dengan analisis probabilitas,

sensitivitas, skenario, simulasi, dan analisis korelasi.

28

2.8.1 Penilaian dan Penerimaan Risiko

a. Penilaian (assessment) risiko

Penilaian (assessment) risiko pada dasarnya adalah

melakukan perhitungan atau penilaian terhadap akibat (effect)

dari risiko yang teridentifikasi. Besar kecilnya akibat dari risiko

akan dapat dikategorikan atau diklasifikasikan, mana risiko

dengan tingkat yang utama (major risks), yang mempunyai

akibat (effect) yang besar dan luas serta membutuhkan

pengelolaan, dan mana risiko dengan tingkat yang ringan (minor

risks) yang tidak memerlukan penanganan khusus karena akibat

dari risiko ada dalam batas-batas yang dapat diterima.

Godfrey (1996) menyebutkan nilai risiko ditentukan

sebagai perkalian antara kemungkinan (likelihood) dengan

konsekuensi (consequence) risiko. Kemungkinan adalah peluang

terjadinya kejadian yang merugikan yang dinyatakan dalam

jumlah kejadian pertahun atau persatuan waktu. Dalam

memberikan penilaian untuk berbagai kemungkinan faktor

risiko yang muncul, dapat menggunakan skala frekuensi

(Likelihood) pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Skala frekuensi (Likelihood)

Tingkat Frekuensi Peluang Skala

Sangat sering 80 ≤ x ≤ 100% 5

Sering 60 ≤ x < 80% 4

Kadang-kadang 40 ≤ x < 60% 3

Jarang 20 ≤ x < 40% 2

Sangat jarang 0 ≤ x < 20% 1

Dimana : x adalah frekuensi risiko

Sumber: Godfrey (1996)

29

Sedangkan konsekuensi adalah besaran kerugian yang

diakibatkan oleh terjadinya suatu kejadian yang merugikan yang

dinyatakan dalam nilai uang atau ukuran kerugian lainnya.

Untuk menghitung besarnya konsekuensi pengaruh faktor risiko

dapat menggunakan skala konsekuensi pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Skala konsekuensi (Consequences)

Tingkat Konsekuensi Peluang Skala

Sangat besar 80 ≤ x ≤ 100% 5

Besar 60 ≤ x < 80% 4

Sedang 40 ≤ x < 60% 3

Kecil 20 ≤ x < 40% 2

Sangat kecil 0 ≤ x < 20% 1

Dimana : x adalah konsekuensi risiko

Sumber: Godfrey (1996)

Setelah diketahui skala konsekuensi dan skala frekuensi

maka analisis penilaian risiko dapat dilakukan. Nilai risiko (risk

index) adalah hasil perkalian antara modus (nilai yang paling

sering muncul) frekuensi dengan modus dari konsekuensi risiko.

Sehingga, nilai risiko dapat dirumuskan dalam Persamaan 2.1.

RI = P × I (2.1)

Keterangan:

RI = Risk Index

P = Probability atau Kemungkinan (Likelihood)

I = Impact atau Dampak (Consequence)

Setelah didapatkan nilai Risk Index (RI) maka tingkat

penerimaan risiko dapat ditentukan seperti yang dapat dilihat

pada Tabel 2.5.

30

Tabel 2.5 Penilaian dan tingkat penerimaan risiko

Consequences Catastropic Critical Serious Marginal Negligble

Likelihood 5 4 3 2 1

Frequent (5) Unacceptable Unacceptable Unacceptable Undesirable Undesirable

25 20 15 10 5

Probable (4) Unacceptable Unacceptable Undesirable Undesirable Acceptable

20 16 12 8 4

Occasional (3) Unacceptable Undesirable Undesirable Undesirable Acceptable

15 12 9 6 3

Remote (2) Undesirable Undesirable Undesirable Acceptable Negligible

10 8 6 4 2

Improbable (1) Undesirable Acceptable Acceptable Negligible Negligible

5 4 3 2 1

Key Description Guidance

Unacceptable Tidak dapat diterima, harus dihilangkan atau ditransfer

Undesirable Tidak diharapkan, harus dihindari

Acceptable Dapat Diterima

Negligible Dapat Diterima Sepenuhnya

Sumber: Godfrey (1996)

b. Penerimaan risiko

Tingkat penerimaan risiko dapat dibagi menjadi 4, yaitu :

1. Unacceptable, yaitu risiko yang tidak dapat ditoleransi,

harus dihindari atau bila mungkin ditransfer kepada pihak

lain.

2. Undesirable, yaitu risiko yang tidak diharapkan, yang

memerlukan penanganan atau mitigasi risiko (risk

reduction) sampai pada tingkat yang dapat diterima.

3. Acceptable, yaitu risiko yang dapat diterima karena tidak

mempunyai dampak yang besar dan masih dalam batas

yang dapat diterima.

4. Negligible, yaitu risiko yang dampaknya sangat kecil

sehingga dapat diabaikan.

Risiko yang termasuk dalam risiko unacceptable dan

undesirable merupakan jenis risiko dengan kategori utama

(major/main risks) yang memerlukan perhatian dan penanganan

31

yang khusus karena mempunyai akibat (effect) dan dampak yang

besar apabila risiko tersebut tidak dikurangi atau bila perlu

dihindari, sedangkan risiko yang termasuk dalam acceptable dan

negligible merupakan risiko dengan kategori minor (minor risks)

yang tidak mempunyai akibat atau dampak yang berarti

sehingga dapat diterima dan bahkan dapat diabaikan.

Dari tingkat penerimaan risiko dan dengan

mempertimbangkan nilai risiko yang diperoleh dari perkalian

skala frekuensi dan konsekuensi, maka skala penerimaan risiko

dapat disusun dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Skala penerimaan risiko

Penerimaan Risiko Skala Penerimaan

Unacceptable x > 12

Undesirable 5 ≤ x ≤ 12

Acceptable 2 < x < 5

Negliglible x ≤ 2

Dimana : x adalah nilai risiko

Sumber: Godfrey (1996)

2.8.2 Mitigasi Risiko

Mitigasi risiko adalah tindakan yang dapat dilakukan untuk

mengurangi akibat dari risiko apabila risiko telah dapat teridentifikasi,

tindakan ini juga merupakan penanganan risiko sampai pada batas yang

dapat diterima, walaupun penanganan risiko belum tentu sepenuhnya dapat

dihilangkan karena kadang-kadang masih ada risiko sisa yang sering

disebut residual risk (Norken dkk, 2015). Flanagan dan Norman (1993)

menguraikan ada 4 cara untuk melakukan mitigasi risiko, antara lain :

1. Menahan risiko (risk retention), yaitu tindakan menahan atau

menerima risiko karena akibat (effect) dari risiko tersebut masih

dalam batas yang dapat diterima, dalam arti kata bahwa

konsekuensi dari risiko masih dalam batas-batas yang dapat

dipikul.

32

2. Mengurangi risiko (risk reduction), yaitu dengan melakukan

usaha-usaha atau tindakan untuk mengurangi konsekuensi dari

risiko yang diperkirakan terjadi, walaupun masih ada

kemungkinan risiko tidak sepenuhnya bisa dikurangi, tetapi

masih pada tingkat konsekuensi yang dapat diterima.

3. Memindahkan risiko (risk transfer), yaitu tindakan

memindahkan sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain yang

mempunyai kemampuan untuk memikul atau mengendalikan

risiko yang diperkirakan akan terjadi.

4. Menghindari risiko (risk avoidance), yaitu tindakan menghindari

konsekuensi risiko dengan menghindari aktivitas yang

diperkirakan mempunyai tingkat kerugian/konsekuensi yang

sangat tinggi.

2.8.3 Kepemilikan/alokasi Risiko

Setelah risiko teridentifikasi dan diklasifikasikan, kemudian risiko

tersebut harus dialokasikan kepada berbagai pihak yang terikat kontrak.

Alokasi ini didasarkan penilaian terhadap hubungan antara pihak-pihak

yang terlibat dengan risiko tersebut. Alokasi risiko merupakan penentuan

dan pelimpahan tanggung jawab terhadap suatu risiko (Norken dkk, 2015).

Metode yang lebih sesuai untuk alokasi risiko adalah dengan

berdasarkan kendali atas kehadiran dan efek yang ditimbulkan risiko, jika

risiko tersebut terjadi. Untuk beberapa kasus lebih cocok untuk

mengalokasikan risiko berdasarkan sifat risiko tersebut atau berdasarkan

kemampuan atau ketidakmampuan pihak-pihak untuk melakukan

pekerjaan proyek atau kegiatan yang spesifik, prinsip-prinsip

pengalokasian risiko dari Flanagan dan Norman (1993) yaitu :

a. Pihak mana yang mempunyai kontrol terbaik terhadap kejadian

yang menimbulkan risiko,

b. Pihak mana yang dapat menangani risiko apabila risiko itu

muncul,

33

c. Pihak mana yang mengambil tanggung jawab jika risiko tidak

terkontrol,

d. Jika risiko diluar kontrol semua pihak, maka diasumsikan

sebagai risiko bersama.

Jika risiko sudah dialokasikan, maka semakin kecil kemungkinan

timbulnya perselisihan antara pihak yang terlibat, sebanding dengan

semakin sedikitnya risiko yang belum dialokasikan. Tapi risiko yang sudah

dialokasikan juga dapat menimbulkan perselisihan, jika risiko tersebut

salah dialokasikan, apalagi jika risiko tersebut menyebabkan kehilangan

dan kerugian yang besar (Norken dkk, 2015).

2.9 Kualifikasi Jasa Pelaksana Konstruksi

Penggolongan kualifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi didasarkan pada

kriteria tingkat/kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, serta

kemampuan melakukan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan kriteria risiko

dan/atau kriteria penggunaan teknologi dan/atau kriteria besaran biaya (nilai

proyek/nilai pekerjaan). Kualifikasi jasa pelaksana konstruksi dibagi menjadi :

1. Kualifikasi K1 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) sampai dengan Rp. 1 milyar. Badan usaha

untuk kualifikasi K1 dapat berbentuk Perseroan Komanditer (CV),

Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT), tidak termasuk badan

usaha PT-PMA. Minimal memiliki Surat Keterampilan Teknik (SKT)

untuk ditetapkan sebagai Penanggung Jawab Teknik (PJT).

2. Kualifikasi K2 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) sampai dengan Rp. 1,75 milyar. Badan usaha

untuk kualifikasi K2 dapat berbentuk Perseroan Komanditer (CV),

Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT), tidak termasuk badan

usaha PT-PMA. Minimal memiliki Surat Keterampilan Teknik (SKT)

untuk ditetapkan sebagai Penanggung Jawab Teknik (PJT).

3. Kualifikasi K3 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) sampai dengan Rp. 2,5 milyar. Badan usaha

34

untuk kualifikasi K3 dapat berbentuk Perseroan Komanditer (CV),

Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT), tidak termasuk badan

usaha Perseroan Terbatas Penanam Modal Asing (PT-PMA). Minimal

memiliki Surat Keterampilan Teknik (SKT) untuk ditetapkan sebagai

Penanggung Jawab Teknik (PJT).

4. Kualifikasi M1 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) sampai dengan Rp. 10 milyar. Badan usaha

untuk kualifikasi M1 dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Firma,

Koperasi atau Perseroan Komanditer (CV), tidak termasuk badan usaha

Penanam Modal Asing (PT-PMA). Menimal memiliki Surat

Keterampilan Teknik (SKT) untuk ditetapkan sebagai Penanggung

Jawab Teknik (PJT).

5. Kualifikasi M2 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) diatas Rp. 1 milyar sampai dengan Rp. 50

milyar. Badan usaha untuk kualifikasi M2 harus berbentuk Perseroan

Terbatas (PT), tidak termasuk badan usaha Penanam Modal Asing (PT-

PMA). Memiliki Sertifikat Keterangan Ahli (SKA) minimal ahli muda

untuk ditetapkan sebagai Penanggung Jawab Teknik (PJT) dan

Penanggung Jawab Bidang (PJB).

6. Kualifikasi B1 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) diatas Rp. 1 milyar sampai Rp. 250 milyar.

Badan usaha untuk kualifikasi B1 harus berbentuk Perseroan Terbatas

(PT). Memiliki Sertifikat Keterangan Ahli (SKA) minimal ahli madya

untuk Penanggung Jawab Teknik (PJT) dan Sertifikat Keterangan Ahli

(SKA) minimal ahli muda untuk Penanggung Jawab Bidang (PJB).

7. Kualifikasi B2 dapat melaksanakan pekerjaan dengan batasan nilai

pekerjaan (nilai proyek) diatas Rp. 1 milyar sampai dengan tidak

terbatas. Badan usaha untuk kualifikasi B2 harus berbentuk Perseroan

Terbatas (PT), termasuk badan usaha Penanam Modal Asing (PT-

PMA). Memiliki Sertifikat Keterangan Ahli (SKA) minimal ahli madya

untuk ditetapkan sebagai Penanggung Jawab Teknik (PJT).

35

Tabel 2.7 Kualifikasi pekerjaan kontraktor

Sumber : Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (2013)

2.10 Sampel

Berikut akan dijelaskan pengertian sampel dan teknik pengambilan sampel

yang umum digunakan pada penelitian.

2.10.1 Pengertian Sampel

Dalam suatu penelitian tidak semua data dan informasi akan

diproses serta tidak semua orang atau benda akan diteliti melainkan cukup

dengan menggunakan sampel yang mewakilinya. Sampel adalah bagian

dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan

diteliti. Adapun keuntungan dari penggunaan sampel adalah:

1. Memudahkan peneliti untuk jumlah sampel lebih sedikit

dibandingkan dengan menggunakan populasi dan apabila

populasinya terlalu besar dikhawatirkan akan terlewati.

2. Penelitian lebih efisien, yaitu dalam arti penghematan uang,

waktu dan tenaga.

3. Lebih teliti dan cermat dalam pengumpulan data, artinya jika

subjeknya banyak dikhawatirkan adanya bias dari orang yang

mengumpulkan data. Misalnya staf pengumpul data mengalami

kelelahan sehingga pencatatan data tidak akurat.

4. Penelitian lebih efektif, jika penelitian bersifat destruktif

(merusak) yang menggunakan spesemen akan hemat dan bisa

dijangkau tanpa merusak semua bahan yang ada serta bisa

digunakan untuk menjaring populasi yang jumlahnya banyak.

Kualifikasi Pekerjaan Kontraktor

Kualifikasi Golongan Batas Nilai Proyek/Pekerjaan

B2 Besar > 1 M s/d tak terbatas

B1 Besar > 1 M s/d 250 M

M2 Menengah > 1 M s/d 50 M

M1 Menengah ≤ 10 M

K3 Kecil ≤ 2,5 M

K2 Kecil ≤ 1,75M

K1 Kecil ≤ 1 M

36

2.10.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara

mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel

ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang

benar-benar dapat mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi

yang sebenarnya.

Secara umum ada dua macam teknik pengambilan sampel yang

digunakan dalam penelitian (Riduwan, 2006), yaitu :

1. Probability Sampling

Probability sampling adalah teknik sampling yang

digunakan untuk memberikan peluang yang sama pada setiap

anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel, yang

tergolong teknik probability sampling yaitu :

a. Simple random sampling

Adalah cara pengambilan sampel dari anggota populasi

secara acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam

anggota populasi tersebut. Hal ini dilakukan apabila anggota

populasi dianggap homogen (sejenis).

b. Proportionate stratified random sampling

Adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara

acak dan berstrata secara proporsional. Hal ini dilakukan

apabila anggota populasinya hiterogen (tidak sejenis).

c. Disproporsionate stratified random sampling

Adalah pengambilan sampel secara acak dan berstrata tetapi

sebagian ada yang kurang proporsional pembagiannya dan

dilakukan apabila anggota populasinya hiterogen.

d. Area sampling (sampling daerah/wilayah)

Adalah teknik sampling yang dilakukan dengan cara

mengambil wakil dari setiap daerah/wilayah geografis yang

ada.

37

2. Nonprobability Sampling

Nonprobability sampling adalah teknik sampling yang

tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota

populasi untuk dijadikan anggota sampel. Menurut Sugiyono

(2012) yang tergolong dalam teknik ini antara lain :

a. Sampling sistematis

Adalah pengambilan sampel didasarkan atas urutan dari

populasi yang telah diberi nomor urut atau anggota sampel

diambil dari populasi pada jarak interval waktu dan ruang

dengan urutan yang seragam.

b. Sampling kuota

Adalah penentuan sampel dari populasi yang mempunyai

ciri-ciri tertentu sampai jumlah (jatah) yang dikehendaki atau

pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan tertentu dari peneliti.

c. Sampling aksidental

Adalah teknik penentuan sampel berdasarkan faktor

spontanitas, artinya siapa saja secara tidak sengaja bertemu

dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka

orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel (responden).

d. Purposive sampling (sampling pertimbangan)

Adalah teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti

mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam

pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan

tertentu. Dalam hal ini hanya mereka yang ahli yang patut

memberikan pertimbangan untuk pengambilan sampel yang

diperlukan. Oleh karena itu, sampling ini cocok untuk studi

kasus yang mana aspek dari kasus tunggal yang

representative diamati dan dianalisis. Dalam penelitian untuk

tugas akhir ini digunakan teknik purposive sampling.

38

e. Sampling jenuh

Adalah teknik pengambilan sampel apabila semua populasi

digunakan sebagai sampel dan dikenal juga dengan istilah

sensus. Sampling jenuh dilakukan bila populasinya kurang

dari 30 orang.

f. Snowball sampling

Adalah teknik sampling yang semula berjumlah kecil

kemudian anggota sampel mengajak para sahabatnya untuk

dijadikan sampel dan seterusnya sehingga jumlah sampel

semakin banyak jumlahnya.

2.11 Skala Pengukuran pada Instrumen Penelitian

Pengukuran adalah penetapan atau pemberian angka terhadap obyek

menurut aturan tertentu. Maksud dari pengukuran ini adalah untuk

mengklasifikasikan variabel yang diukur agar tidak terjadi kesalahan dalam

menentukan analisis data dan langkah penelitian selanjutnya (Riduwan, 2006).

Jawaban pada kuesioner merupakan kualitatif karena dinyatakan dalam bentuk

kata bukan angka. Kemudian data kualitatif ini harus dikualifikasi atau diubah

terlebih dahulu menjadi data kuantitatif dengan cara memberi skor atau memberi

rangking tertentu agar bisa diproses secara statistik.

Slaka pengukuran yang digunakan pada instrumen penelitian adalah Skala

Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang atau kelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Skala dengan format

Likert yang sering dipakai memiliki lima pilihan skala, misalnya :

1. Sangat Sering = 5

2. Sering = 4

3. Jarang = 3

4. Sangat Jarang = 2

5. Tidak Pernah = 1

Saat menanggapi pertanyaan dalam Skala Likert, responden menentukan

tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pertanyaan dengan memilih salah satu

dari pilihan jawaban yang tersedia.

39

2.12 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Dalam setiap penelitian, kriteria data yang harus diperhatikan adalah

validitas dan reliabilitas sebuah data. Validitas adalah suatu derajat ketepatan

instrumen (alat ukur) yang digunakan dalam melakukan pengukuran tentang apa

yang diukur. Validitas berguna untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan

kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sebuah instrumen

dinyatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat

menunjukkan data variabel yang diteliti secara tepat. Menurut Usman dan Akbar

(2011) untuk menghitung validitas digunakan Persamaan 2.2.

𝑟𝑥𝑦 =𝑁 ∑𝑋𝑌 −(∑𝑋)(∑𝑌)

(𝑁 ∑𝑋2 −(∑𝑋)2)(𝑁 ∑𝑌2 −(∑𝑌)2) (2.2)

Dimana :

X = Skor yang diperoleh subyek dari seluruh item/pertanyaan

Y = Skor total yang diperoleh dari seluruh item/pertanyaan

ΣX = Jumlah skor dalam distribusi X

ΣY = Jumlah skor dalam distribusi Y

ΣX2 = Jumlah kuadrat dalam skor distribusi X

ΣY2 = Jumlah kuadrat dalam skor distribusi Y

N = Banyaknya responden

Dasar pengambilan keputusan dalam uji validitas adalah :

1. Jika nilai r hitung > r tabel, maka item pertanyaan atau pernyataan

dalam kuesioner berkorelasi signifikan terhadap skor total (artinya

item kuesioner dinyatakan valid).

2. Jika nilai r hitung < r tabel, maka item pertanyaan atau pernyataan

dalam kuesioner tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total

(artinya item kuesioner dinyatakan tidak valid).

Sedangkan reliabilitas dapat dikatakan bahwa suatu instrumen dapat

dipercaya untuk digunakan sebagai pengumpul data. Sebuah instrumen dikatakan

baik apabila mampu mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban

tertentu, dan instrumen yang reliabel akan menghasilkan data yang dipercaya

40

apabila data memang sesuai dengan kenyataan. Reliabilitas instrumen dapat diuji

menggunakan 2 cara yaitu dengan pengujian eksternal dan pengujian internal.

Pengujian eksternal dilakukan dengan menyusun dua perangkat instrumen dan

keduanya diuji ke kelompok responden dan hasilnya dikorelasikan dengan

korelasi Pearson. Pengujian internal dapat dilakukan salah satunya dengan cara

menggunakan Alpha Cronbach. Alpha Cronbach dapat diinterpretasikan sebagai

korelasi dari skala yang diamati dengan semua kemungkinan pengukuran skala

lain yang mengukur hal yang sama dan menggunakan jumlah butir pertanyaan

yang sama. Alpha Cronbach dapat digunakan untuk menguji reliabilitas instrumen

Skala Likert (skala 1 sampai 5). Nilai Alpha Cronbach yang digunakan minimal

bernilai 0,7 yang dinyatakan cukup, semakin tinggi nilai Alpha Cronbach maka

semakin baik pula instrumen yang digunakan (Nunnally, 1978). Rumus dari

koefisien reliabilitas Alpha Cronbach terlihat pada Persamaan 2.3.

α = 𝑘

𝑘−1 × (1−

∑𝑆𝑖

𝑆𝑡) (2.3)

Dimana :

α = nilai reliabilitas

k = jumlah item/pertanyaan

St = varians total

∑Si = jumlah varians skor tiap-tiap item/pertanyaan

Untuk mendapatkan nilai varians skor tiap-tiap item/pertanyaan, digunakan

Persamaan 2.4.

Si = ∑X i

2−(∑X i)

2

𝑁

𝑁 (2.4)

Dimana :

Si = varians skor tiap-tiap item/pertanyaan

∑Xi2 = jumlah kuadrat item xi

(∑Xi)2 = jumlah item xi dikuadratkan

N = jumlah responden

41

Untuk mendapatkan nilai varians total, digunakan Persamaan 2.5.

St = ∑Xt

2−(∑Xt )

2

𝑁

𝑁 (2.5)

Dimana :

St = varians total

∑Xt2 = jumlah kuadrat seluruh skor item/pertanyaan

(∑Xt)2 = jumlah seluruh skor item dikuadratkan

N = jumlah responden

Pengujian reliabilitas dan validitas kuesioner dapat dilakukan dengan

berbagai program bantu (software) misalnya SPSS (Statistical Product and

Service Solution). SPSS adalah sebuah program yang mampu melakukan analisis

statistik dengan manajemen data menggunakan menu-menu deskriptif dan

sederhana sehingga mudah dipahami cara operasinya. SPSS dapat membaca

berbagai jenis data yang dimasukkan, program ini digunakan untuk melakukan

pengolahan data statistik untuk berbagai riset sains dan sosial.