bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan teori, dan … · setelah diberikan treatment dalam dua...
TRANSCRIPT
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan sejumlah disertasi dan artikel dari jurnal
terakreditasi dan Internasional sebagai kajian pustaka. Studi terdahulu yang dikaji
dalam penelitian ini antara lain Murdana (2014), Albakrawi (2013), Putra (2013),
Andi-Pallawa (2012), Rahimy dan Safarpour (2012), Luardini (2009) serta
Ratmanida dan Al-Hafizh (2008). Ketujuh penelitian tersebut akan dikaji sebagai
berikut.
Pustaka pertama bersumber dari disertasi Murdana (2014) dengan judul
“Kesantunan Berbahasa Inggris Pramuwisata dalam Memandu Wisatawan
Mancanegara di Bali: Sebuah Kajian Sosiopragmatik” yang mengkaji peringkat
kesantunan berdasarkan variasi tutur, jenis-jenis tindak tutur, serta fungsi dan
makna tindak tutur, dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertumpu
pada filosofi fenomenologis. Murdana (2014) melakukan penelitian terhadap
pramuwisata di empat wilayah di Bali, yakni Kabupaten Badung, Kabupaten
Gianyar, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar. Hasil temuannya berupa
tuturan dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh pramuwisata yang
diklasifikasikan sebagai berikut. 1) Jenis variasi tutur: variasi tutur formal, variasi
tutur informal, dan variasi tutur bidang profesi. 2) Jenis tindak tutur: tindak tutur
lokusioner, tindak tutur ilokusioner, dan tindak tutur perlokusioner. 3) Makna
11
-
12
tindak tutur: makna lokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi. Relevansi
penelitian Murdana terhadap penelitian ini terletak pada penggunaan bahasa
Inggris di bidang pariwisata yang mementingkan kesantunan dalam setiap tindak
tutur. Perbedaannya, penelitian Murdana bergerak di bidang guiding sedangkan
penelitian ini berfokus di bidang tata hidangan. Perbedaan yang lebih mendasar
ialah bahwa Murdana dalam penelitiannya mengaplikasikan kelima fungsi tindak
tutur, sedangkan penelitian ini merekonstruksi teori-teori fungsi bahasa (Jacobson:
1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, Leech: 1974) dan mengkombinasikannya
dengan fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan yang ditemukan dalam
pembelajaran keterampilan berbicara. Penerapan teori linguistik di bidang guiding
merupakan hal baru dan menjadi keunggulan penelitian Murdana (2014) sehingga
menarik untuk dikaji. Akan tetapi, analisis hanya terbatas pada pengklasifikasian
variasi, jenis, dan makna tindak tutur, tanpa membahas unsur linguistik secara
lebih mendalam.
Pustaka kedua berasal dari artikel Albakrawi (2013) dengan judul Needs
Analysis of the English Language Secondary Hotel Students in Jordan, yang
bertujuan menyusun desain pembelajaran ESP di bidang perhotelan. Ia
menemukan bahwa kebutuhan peserta didik dalam aspek menyimak antara lain
menyimak pembicaraan seseorang serta menyimak pesan dan instruksi. Hal ini
dikarenakan para peserta didik harus mampu menyimak pembicaraan gurunya
dalam kelas dan seorang pelayan restoran umumnya mencatat pesanan makanan
dari tamu. Sementara itu, aspek berbicara harus meliputi percakapan dua orang
yang merupakan refleksi dari peristiwa tutur yang biasa terjadi di hotel. Aspek
-
13
membaca meliputi keterampilan membaca iklan, instruksi, brosur, daftar, dan
tabel. Fungsi bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan di
hotel, yakni memberi salam (greeting), memuji (complementing), memberi saran
(advising), menjelaskan fasilitas hotel (explaining hotel facilities), serta mencatat
pesanan makanan (receiving orders).
Artikel Albakrawi (2013), yang berdasarkan hasil disertasi doktornya di
tahun 2005, menegaskan pentingnya melakukan needs analysis sebelum
menyusun desain pembelajaran. Dalam artikelnya, Albakrawi telah sangat jelas
merinci keterampilan berbahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik di bidang
perhotelan. Hal tersebut sangat relevan bagi penelitian ini karena sama-sama
mengkaji pembelajaran bahasa Inggris di bidang perhotelan. Perbedaannya,
penelitian ini lebih mengkhusus pada bidang tata hidangan. Di sisi lain, Albakrawi
belum menyebutkan bentuk-bentuk atau ekspresi-ekspresi bahasa yang
dibutuhkan pada masing-masing fungsi bahasa yang digunakan di hotel. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan melengkapi penelitian Albakrawi dengan cara
menjabarkan realisasi ekspresi bahasa yang digunakan dalam setiap fungsi bahasa.
Relevansi artikel Albakrawi (2013) dengan penelitian ini terletak pada kegiatan
needs analysis yang dilakukan sebelum mendesain suatu pembelajaran. Needs
analysis dalam penelitian ini dilakukan pada tahap determinasi masalah untuk
mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan yang dibutuhkan
dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
Pustaka ketiga yang dikaji dalam penelitian ini adalah tesis Putra (2013)
yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Langsung
-
14
dalam Pengajaran Bahasa Inggris Secara Kuantitatif”. Putra melaksanakan
penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang terdiri atas empat
siklus yakni perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi terhadap peserta
didik level pemula di sebuah lembaga kursus. Ia menemukan bahwa pada tes awal
nilai rata-rata peserta didik adalah 30,6% yang dikategorikan masih kurang.
Setelah diberikan treatment dalam dua siklus, nilai rata-rata peserta didik menjadi
71,3% dengan kategori baik. Di samping itu, ditemukan peningkatan terhadap
kemampuan berbicara peserta didik dalam konteks percakapan sederhana. Peserta
didik mampu menggunakan ungkapan dan kosakata tertentu secara komunikatif.
Aspek yang dijadikan tolak ukur penilaian keterampilan berbicara peserta didik
antara lain kosa kata, pelafalan, kefasihan, struktur, dan pemahaman. Putra (2013)
juga menggunakan tindak tutur dalam kegiatan bermain peran. Berdasarkan jenis
dan fungsinya, tindak tutur langsung dan fungsi direktif lebih banyak digunakan
guru karena lebih mudah dipahami dan dapat merangsang peserta didik untuk
berbicara.
Relevansi penelitian Putra (2013) dengan penelitian ini terletak pada
penggunaan teori linguistik dan penerapan teknik role play dalam pembelajaran
keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris. Penelitian Putra (2013)
membuktikan bahwa keterampilan berbicara peserta didik dapat ditingkatkan
setelah diberikan treatment berulang kali melalui kegiatan bermain peran (role
play). Akan tetapi metode penelitian yang digunakan berbeda, Putra (2013)
menggunakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) sedangkan
penelitian ini menggunakan model penelitian dan pengembangan (Research and
-
15
Development) berdasarkan exploratory mixed method. Metode pembelajaran yang
digunakan oleh Putra (2013) adalah metode Langsung (Direct Method) sedangkan
penelitian ini menggunakan Communicative Language Teaching (CLT).
Perbedaan mendasar dari kedua metode itu terletak pada penggunaan bahasa
target secara eksklusif dalam metode Langsung, sedangkan dalam metode CLT
masih diperbolehkan menggunakan bahasa pertama peserta didik untuk
mempermudah pemahaman. Di samping metode, teori utama yang digunakan
juga berbeda. Teori linguistik yang mendasari penelitian Putra (2013) adalah
teori tindak tutur, yakni lokusi, ilokusi, dan perlokusi, sedangkan penelitian ini
berpijak pada teori-teori fungsi bahasa. Penelitian Putra (2013) hanya mengkaji
hasil penerapan sebuah metode pembelajaran tanpa mengajukan alternatif atau
cara baru dalam mengajarkan keterampilan berbicara. Berbeda dengan penelitian
ini yang memunculkan inovasi dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya
keterampilan berbicara.
Pustaka keempat adalah disertasi Andi-Pallawa (2012) dengan judul
“Strategi Percakapan yang Digunakan oleh Peserta didik Jurusan Bahasa Inggris
Universitas Tadulako” yang mengidentifikasi strategi percakapan dalam bahasa
Inggris oleh peserta didik semester empat jurusan Bahasa Inggris Universitas
Tadulako. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif, data
dikumpulkan melalui observasi, rekaman video, dan catatan lapangan yang
dilaksanakan secara bersamaan sebanyak sebelas kali. Untuk melakukan
percakapan dengan lancar, peserta didik menggunakan dua belas tipe strategi
percakapan, yakni: (1) jeda, (2) meminta penjelasan, (3) pengalihkodean, (4)
-
16
menyimpulkan, (5) mengganti topik, (6) menguraikan/menggambarkan, (7)
mengecek pemahaman, (8) mengoreksi diri sendiri, (9) memberi klarifikasi, (10)
mengoreksi orang lain, (11) merujuk diri sendiri, dan (12) merasa heran. Selain
itu, peserta didik juga menggunakan strategi non-verbal antara lain: (1) berjabat
tangan, (2) angkat jempol, (3) buka telapak tangan, (4) senyum, (5) tatap mata, (6)
angguk kepala, dan (7) geleng kepala. Hasil temuan Andi-Pallawa menunjukkan
bahwa: (1) strategi percakapan membantu pembelajar bahasa Inggris dengan cara
mengelisitasi fitur bahasa yang belum diketahui dari lawan bicaranya, dan (2)
strategi percakapan adalah bagian dari penggunaan bahasa. Penggunaan strategi
percakapan bukan menandakan kegagalan komunikasi melainkan cara mengatasi
masalah yang muncul dalam percakapan untuk mencapai tujuan komunikasi.
Relevansi penelitian Andi-Pallawa (2012) dengan penelitian ini terletak
pada pemaparan sejumlah strategi percakapan, baik verbal maupun nonverbal,
yang dapat membantu peserta didik mengatasi hambatan komunikasi. Andi-
Pallawa hanya menggunakan teori strategi-strategi percakapan sedangkan
penelitian ini berpijak pada teori fungsi-fungsi bahasa. Data verbal yang dikaji
dalam penelitian Andi-Pallawa hanya terbatas pada pengklasifikasian stategi
percakapan. Berdasarkan kajian terhadap penelitian tersebut maka penelitian ini
dipandang penting untuk dilakukan karena akan lebih mengelaborasi aspek-aspek
linguistik dalam pembelajaran keterampilan berbicara ditinjau dari penggunaan
fungsi-fungsi bahasa.
Pustaka kelima merupakan artikel dari Rahimy dan Safarpour (dalam Asian
Journal of Social Sciences and Humanities, 2012: 50-59) dengan judul The Effect
-
17
of Using Role Play on Iranian EFL Learner’s Speaking Ability, yang melakukan
penelitian terhadap sejumlah pembelajar bahasa Inggris di Iran menggunakan
metode eksperimental. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa melalui
penggunaan teknik role play dalam pembelajaran keterampilan berbicara, mean
score dari experimental group mencapai 23,63 atau lebih tinggi dari mean score
dari control group yakni 21,03. Selain itu, standar deviasi eksperimental group
lebih rendah (1,34) dari control group (1,62) yang menandakan bahwa nilai post-
test pada eksperimental group lebih homogen dibandingkan dengan nilai post-test
pada control group. Penelitian Rahimy dan Safarpour (2012) menunjukkan bahwa
penggunaan teknik role play berhasil meningkatkan keterampilan berbicara
bahasa Inggris para pembelajar di Iran.
Relevansi penelitian Rahimy dan Safarpour (2012) terhadap penelitian ini
terletak pada penggunaan teknik role play dalam meningkatkan keterampilan
berbicara. Akan tetapi, Rahimy dan Safarpour belum merinci materi atau tema apa
yang diberikan dalam kegiatan bermain peran. Mereka hanya menyebutkan
penggunaan teknik role play tanpa membahas tentang aspek linguistik atau non
linguistik. Penelitian tersebut bersifat kuantitatif karena hanya memaparkan hasil-
hasil tes berdasarkan metode statistik, sedangkan penelitian ini menggunakan
mixed method yang berpijak pada data verbal (data linguistik) serta didukung oleh
data kuantitatif. Penelitian ini tidak hanya mengedepankan penggunaan teknik
role play, tetapi juga berfokus pada pembelajaran fungsi-fungsi bahasa di bidang
tata hidangan.
-
18
Pustaka keenam merupakan artikel Luardini (2009) yang menggunakan
fungsi-fungsi bahasa untuk meneliti legenda rakyat Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah. Berdasarkan pendapat Halliday dan Hasan (1985), Luardini menyatakan
bahwa membahas fungsi bahasa sama artinya dengan membahas penggunaan
(use) bahasa karena bahasa tersebut tidak akan bermakna jika tidak digunakan
atau difungsikan. Hasil temuannya menunjukkan bahwa fungsi bahasa pada teks
berupa legenda rakyat Dayak Ngaju menempati kerangka fungsi bahasa yang
dikemukakan oleh Halliday dan Hasan. Fungsi-fungsi bahasa yang ditemukan
dalam enam teks tersebut antara lain: fungsi informatif, meliputi informasi tentang
adat-istiadat, kesenian, kekayaan alam dan sejarah. Fungsi interaktif direalisasikan
dalam fungsi kontrol sesama manusia dengan binatang, tumbuhan, alam sekitar
dan dengan sesama manusia; fungsi saling mendukung dalam kehidupan sehari-
hari dan kepercayaan masyarakat; dan ekspresi diri masyarakat Dayak Ngaju.
Fungsi imaginatif yang dibagi dalam fungsi ritual dan puitik terdapat juga dalam
teks legenda Dayak Ngaju. Fungsi ritual ditemukan dengan diadakannya upacara
adat. Fungsi puitik dalam teks ditemukan dalam bentuk pengulangan klausa dan
ungkapan dengan pararelisme semantis.
Kajian Luardini sangat informatif dalam memaparkan keunikan budaya
masyarakat Dayak Ngaju yang tercermin dalam teks legendanya. Hal ini
membuktikan bahwa fungsi-fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday dan
Hasan (1985) mampu dijadikan pisau analisis untuk membedah fungsi-fungsi
bahasa dalam berbagai jenis teks baik lisan maupun tulisan. Kajian Luardini
(2009) memiliki relevansi dengan penelitian ini yakni dalam penggunaan teori
-
19
fungsi bahasa. Akan tetapi, objek yang diteliti berbeda: Luardini mengkaji fungsi
bahasa pada teks tertulis berupa legenda menggunakan teori Halliday (yaitu
instrumental, regulatoris, representasional, interaksional, personal, heuristik, dan
imajinatif) sedangkan penelitian ini mengkaji fungsi bahasa pada tuturan lisan
dalam kegiatan pembelajaran bahasa dengan menggunakan teori fungsi bahasa
(Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, Leech: 1974).
Pustaka ketujuh bersumber dari Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) yang
melakukan penelitian mengenai analisis kebutuhan bahasa Inggris terhadap para
staf perhotelan di kota Padang. Mereka menyatakan bahwa keterampilan
berbahasa yang paling dibutuhkan adalah keterampilan menyimak, yaitu sebanyak
73%, dengan alasan bahwa para staf perhotelan tersebut sering mendapat
permasalahan dengan keterampilan menyimak. Keterampilan kedua yang juga
sangat dibutuhkan adalah keterampilan berbicara karena tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan mereka mampu berkomunikasi dengan baik dengan para tamu
sedangkan keterampilan berbicara para staf perhotelan tersebut belum memadai.
Secara umum, responden menyatakan sejumlah topik yang sangat penting untuk
dikuasai dalam keterampilan berbicara bahasa Inggris, antara lain: memberi
salam, menerima pesan (secara langsung dan via telepon), menjawab salam,
meminta maaf, memberi petunjuk tentang arah, memberi informasi tentang
makanan, menjelaskan menu makanan, menawarkan makanan, dan menjelaskan
lokasi (tempat). Berdasarkan analisis silabus dan analisis cakupan materi ajar di
jurusan tata boga – PKK UNP dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa
yang difokuskan adalah keterampilan berbicara. Topik-topik yang diajarkan dalam
-
20
keterampilan berbicara antara lain: Restaurant and their services, On the
restaurant table, Reservation, Special wishes and some complications, Greetings,
Receiving customers, Taking orders, Explaining dishes, During the meal, Later
stages of the meal, Drinks, Talking about money, Complaints and other problems,
dan Giving direction. Dari hasil analisis keselarasan materi ajar dengan kebutuhan
bahasa Inggris di dunia perhotelan, Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) menemukan
bahwa sebagian besar materi ajar sudah selaras dan tersedia di jurusan Tata Boga
– PKK Universitas Negeri Padang. Hanya materi untuk menerima pesan, baik
secara langsung maupun via telepon, belum tersedia sehingga masih diperlukan
pengembangan dan penyempurnaan materi ajar di bidang tersebut.
Relevansi penelitian Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) terhadap penelitian
ini terletak pada analisis kebutuhan bahasa Inggris di bidang perhotelan.
Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) telah berkontribusi dengan cara memaparkan
learning needs para staf perhotelan, khususnya di bidang Tata Boga. Mereka
menjelaskan secara terperinci keterampilan berbahasa Inggris yang dibutuhkan
oleh para staf perhotelan berdasarkan kuesioner yang disebarkan. Akan tetapi,
Ratmanida dan Al-Hafizh belum memberikan paparan mengenai materi yang
diajarkan demi memenuhi learning needs tersebut. Penelitian ini menindaklanjuti
hasil penelitian Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) dengan merumuskan desain
pembelajaran beserta materi ajarnya berdasarkan fungsi-fungsi bahasa yang
dibutuhkan khususnya di bidang tata hidangan untuk meningkatkan keterampilan
berbicara.
-
21
Ketujuh pustaka yang telah dikaji di atas memiliki relevansi dalam
penelitian ini. Akan tetapi, belum banyak ditemukan studi yang menggabungkan
praktik pembelajaran bahasa dengan teori linguistik. Oleh karena itu, penelitian
ini sangatlah penting untuk dilakukan untuk melengkapi kekurangan dan
kelemahan studi-studi terdahulu yakni dengan menggabungkan ilmu linguistik
(teori tentang fungsi bahasa) dan pembelajaran bahasa (metode pembelajaran
berdasarkan teori fungsi bahasa) yang disesuaikan dengan learning needs peserta
didik di jurusan Tata Hidangan.
2.2 Konsep
Konsep adalah penjelasan tentang terminologi yang mengacu pada judul
penelitian, dan memberi batasan istilah yang sering digunakan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, dibicarakan beberapa konsep yang relevan, antara lain: (1)
fungsi-fungsi bahasa, (2) metode pembelajaran, (3) keterampilan berbicara, dan
(4) Tata Hidangan. Berikut diuraikan konsep-konsep tersebut secara rinci.
2.2.1 Fungsi-Fungsi Bahasa
Halliday dan Hasan (1985: 17) mendefinisikan fungsi bahasa sebagai
penggunaan bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta membaca dan
mendengar untuk mencapai sasaran dan tujuan. Kata ‘fungsi’ (function) dapat
dipandang sebagai padanan kata ‘penggunaan’ (use) sehingga fungsi bahasa tidak
dapat dipisahkan dari konteks situasi dan konteks budaya yang melatarbelakangi
bahasa itu. Suatu bahasa harus digunakan atau ‘difungsikan’ agar menjadi
bermakna (Halliday dan Hasan, 1985: 17). Sementara itu, Cook (1994)
-
22
mendefinisikan ‘fungsi’ dari sudut pandang pragmatik yang cenderung lebih
berfokus pada tujuan pembicara daripada efek yang ditimbulkan pada pendengar.
Menurut Cook (1994: 37) “fungsi’ melibatkan dua hal yakni: tujuan dari bahasa
secara umum (disebut sebagai fungsi makro), dan tindakan yang dilakukan oleh
ujaran secara khusus (disebut sebagai fungsi mikro). Misalnya ‘memesan’
termasuk dalam fungsi mikro, sedangkan ‘direktif’ dikategorikan sebagai fungsi
makro (Cook, 1994: 37). Brown (2007) menambahkan bahwa fungsi bahasa pada
dasarnya adalah tujuan yang dicapai dengan bahasa, misalnya menyatakan,
meminta, menanggapi, memberi salam, mengucapkan kata perpisahan, dan
sebagainya (Brown, 2007: 245).
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa
adalah alat komunikasi yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu, fungsi bahasa didefinisikan sebagai
tujuan komunikatif yang ingin dicapai dalam penggunaan bahasa. Fungsi bahasa
pada penelitian ini dikategorikan sebagai fungsi makro dan fungsi mikro. Fungsi
makro mengacu pada penggunaan tuturan untuk mencapai tujuan komunikasi
yang diklasifikasikan secara umum misalnya, fungsi interaktif, fungsi informatif,
dan fungsi direktif. Fungsi mikro merupakan tindakan yang dilakukan secara
khusus oleh suatu ujaran misalnya, untuk berbasa-basi, menyatakan, menyuruh,
dan sebagainya.
Realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan tampak pada
penggunaan ujaran atau ekspresi bahasa oleh staf restoran dan tamu untuk
-
23
mencapai tujuan komunikasi, khususnya mengenai layanan makanan dan
minuman di restoran.
2.2.2 Metode Pembelajaran
Pendekatan, metode, dan teknik merupakan tiga terminologi yang kerap
digunakan dalam bidang pengajaran bahasa. Pendekatan adalah seperangkat
asumsi tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa sebagai sumber dari
prinsip-prinsip pengajaran bahasa (Richards, 1986: 15). Metode merupakan
keseluruhan rencana penyajian materi tentang keterampilan tertentu dan materi
yang diajarkan dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu
(Richards, 1986: 15). Dengan kata lain, metode merupakan cara melakukan suatu
pekerjaan sedangkan teknik adalah penjabaran praktis dari metode (Richards,
1986: 15). Harmer (2001:10) mendefinisikan dengan jelas istilah pendekatan,
metode dan teknik yakni: pendekatan mengacu pada hakikat bahasa dan
pembelajaran bahasa yang menjadi sumber praktis dan prinsip-prinsip dalam
pengajaran bahasa; sedangkan metode adalah realisasi praktis dari sebuah
pendekatan yang meliputi berbagai prosedur serta teknik; dan prosedur adalah
urutan yang teratur dari teknik yang digunakan.
Metode pembelajaran dalam penelitian ini didefinisikan, sesuai dengan
pendapat Richards (1986), sebagai keseluruhan rencana penyajian materi untuk
mengajarkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris berdasarkan
pendekatan Communicative Language Teaching (CLT). Metode pembelajaran
yang dirancang meliputi tujuan, silabus, jenis kegiatan pembelajaran, peran
-
24
peserta didik dan guru, materi ajar, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran
keterampilan berbicara menggunakan realisasi fungsi-fungsi bahasa.
2.2.3 Keterampilan Berbicara
Lee (2003:51) menyatakan keterampilan berbicara adalah kemampuan
mengekspresikan ide, berupa opini, harapan, permintaan, dan sebagainya secara
lisan. Saville-Troike (2009: 169) berpendapat bahwa keterampilan berbicara
meliputi segala hal yang perlu diketahui pembicara untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dalam suatu komunitas tertentu. Tarigan (1981) mendefinisikan
keterampilan berbicara sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi
dalam bentuk kata-kata untuk mengekspresikan, menyampaikan pikiran atau
gagasan, dan perasaan. Lebih lanjut, disampaikan oleh Tarigan (1981: 15) bahwa
berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan
menyampaikan pesan berupa gagasan, permintaan, perasaan dan sebagainya yang
menitikberatkan pada kemampuan berkomunikasi secara lisan yang melibatkan
faktor verbal dan nonverbal.
2.2.4 Tata Hidangan
Istilah tata hidangan berarti cara menyusun serta memperindah makanan
dan minuman yang disajikan kepada tamu atau konsumen di restoran. Restoran
adalah suatu tempat yang ruangannya didesain khusus dan dikelola secara
komersial untuk menyediakan jasa pelayanan dan penyajian makanan dan
minuman yang ditujukan untuk masyarakat umum (Siegel, 2000: 6). Pramusaji
-
25
adalah karyawan restoran yang bertugas dan bertanggung jawab melayani
kebutuhan makanan dan minuman bagi para tamu secara profesional. Dapat
dikatakan pramusaji merupakan ujung tombak usaha karena sangat berperan
dalam memberikan kepuasan tamu, yang secara tidak langsung akan memberikan
keuntungan bagi restoran.
Tujuan utama dari tata hidangan adalah menjual makanan dan minuman
sebanyak-banyaknya dengan harga yang telah ditentukan sesuai standar,
memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada tamu, hingga mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan kesinambungan usaha. Penelitian ini
berfokus pada penggunaan bahasa Inggris di bidang tata hidangan dengan
pertimbangan bahwa para pramusaji (waiter) bertugas melayani tamu untuk
makan dan minum sehingga memiliki lebih banyak kesempatan untuk
berkomunikasi langsung dengan para tamu menggunakan bahasa Inggris.
Terdapat dua istilah yang paling sering digunakan dalam bidang tata
hidangan, yaitu: service dan hospitality. Service atau pelayanan adalah tindakan
untuk memenuhi keinginan, kebutuhan, dan harapan para tamu atau konsumen.
Restoran menyediakan pelayanan untuk memenuhi ekspektasi setiap tamu yang
datang, misalnya, meja dan peralatan makan yang bersih, serta makanan yang
sehat (Dahmer dan Kahl: 2009: 2). Hospitality atau keramahtamahan berarti
menciptakan suasana yang menyenangkan selama tamu berada di restoran,
misalnya, menyapa tamu dengan ramah, tersenyum, mengingat nama tamu,
mengetahui makanan yang dipesan, dan mengantisipasi kebutuhan tamu (Dahmer
dan Kahl: 2009: 2). Kedua hal tersebut, pelayanan dan keramahtamahan,
-
26
merupakan unsur terpenting dalam bisnis restoran yang mampu membuat tamu
ingin datang kembali, serta mampu meningkatkan penjualan di restoran.
Dalam penyajian makanan dan minuman terdapat tiga tahapan yang harus
diperhatikan (Siegel, 2000: 10). Tiga tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Persiapan (Mise en place): Persiapan yang baik (misalnya peralatan makan,
posisi meja dan kursi, dan sebagainya) tentunya akan berdampak pada
penyajian yang baik pula.
2) Pelayanan terhadap tamu: Pramusaji harus senantiasa berkonsentrasi dalam
melayani setiap tamu karena kepuasan tamu terletak pada pelayanan yang
maksimal.
3) Penjualan: Pelayanan yang memuaskan terhadap tamu juga merupakan sarana
penjualan produk restoran, yakni makanan dan minuman yang ditawarkan,
sehingga dapat meningkatkan pendapatan atas penjualan. Oleh karena itu,
pengetahuan yang baik mengenai penjualan juga merupakan hal yang penting
bagi seorang pramusaji.
Ketika seorang pramusaji melayani tamu di restoran, ia harus mengikuti
beberapa prosedur kerja yang disebut sebagai sequence of service. Secara umum,
prosedur pelayanan tamu di restoran dapat diuraikan sebagai berikut (Siegel,
2010: 15).
(1) Welcoming guests (menyambut tamu)
(2) Seating the guests (mengarahkan tamu ke mejanya)
(3) Checking comfort and seating arrangement (memastikan kenyamanan
tamu)
-
27
(4) Serving water (menyajikan air minum)
(5) Presenting menu (memberikan menu)
(6) Taking order (mencatat pesanan makanan dan minuman)
(7) Recommending (merekomendasikan produk)
(8) Repeating orders (mengulangi pesanan)
(9) Presenting food and drinks (menghidangkan makanan dan minuman)
(10) Checking guests’ satisfaction (memastikan kepuasan tamu)
(11) Offering dessert (menawarkan hidangan penutup)
(12) Clearing and crumbing (membersihkan meja dari piring kotor)
(13) Presenting the bill (memberikan tagihan)
(14) Thanking the guests and farewell (mengucapkan terima kasih dan salam
penutup)
Prosedur kerja tersebut menjadi kerangka materi pembelajaran yang
membingkai penggunaan fungsi-fungsi bahasa di bidang restoran. Penelitian ini
mengembangkan sebuah metode pembelajaran yang berdasarkan pada ekspresi
bahasa yang digunakan dalam setiap tahapan sequence of service. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai sequence of service sangat penting bagi peserta didik agar
dapat memahami materi tentang fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.
2.3 Landasan Teori
Teori utama yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini
bersumber dari sudut pandang linguistik dan pembelajaran bahasa. Mengingat
fungsi bahasa merupakan penggunaan bahasa baik lisan maupun tulisan untuk
-
28
mencapai tujuan pembicaraan, maka teori-teori mengenai fungsi bahasa dari para
ahli (Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, dan Leech: 1974) dirangkum
dalam penelitian ini dan digunakan sebagai teori utama untuk mengkaji realisasi
fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan. Teori fungsi bahasa, ditunjang oleh
Etnography of SPEAKING (Hymes, 1974) sebagai teori pendukung dalam
menganalisis data lisan, diaplikasikan untuk menjawab permasalahan pertama
mengenai fungsi-fungsi bahasa yang digunakan di bidang tata hidangan.
Di sisi lain, pembelajaran bahasa merupakan usaha memperoleh
keterampilan berkomunikasi dengan penekanan pada pemerolehan keterampilan
berbicara. Metode pembelajaran, oleh Richards dan Rodgers (1986:20),
dijabarkan secara holistik yang meliputi tujuan, silabus, jenis kegiatan belajar
mengajar, peran peserta didik, peran guru, dan peran materi pembelajaran. Teori
tersebut digunakan sebagai landasan teoretis untuk menganalisis proses dan hasil
pembelajaran serta sebagai acuan untuk menyusun sebuah metode pembelajaran
yang komunikatif. Teori tersebut juga digunakan sebagai acuan dalam mendesain
dan mengembangkan metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan
keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris khususnya di bidang tata hidangan,
sesuai dengan rumusan permasalahan kedua dalam penelitian ini.
Dalam setiap penelitian pengembangan (R&D), produk yang dihasilkan harus
diujicoba terlebih dahulu. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang dirancang
dalam penelitian ini juga diuji coba untuk mengetahui efektivitasnya. Hal ini
sesuai dengan rumusan masalah ketiga, yaitu untuk mengetahui efektivitas metode
pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa
-
29
Inggris, khususnya di bidang tata hidangan. Sugiyono (2015: 415-425)
menyebutkan tiga cara untuk menguji efektivitas sebuah metode pembelajaran.
Pertama, pengujian dapat dilakukan dengan eksperimen yaitu dengan cara
membandingkan keadaan sebelum dan sesudah memakai metode pembelajaran
baru, atau dengan membandingkan kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol yang tetap menggunakan metode mengajar lama. Kedua, pengujian
dilakukan dengan t-test berkorelasi menggunakan program SPSS, dan ketiga
adalah dengan uji hipotesis.
Ketiga teori di atas memiliki peranan penting dalam mengkaji tiga
permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut dibahas satu per satu
secara rinci sebagai berikut.
2.3.1 Fungsi-Fungsi Bahasa
Leech (1974: 47-50) membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi lima,
yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetik, dan fatik. Kelima fungsi
bahasa tersebut dapat dikorelasikan dengan lima butir hal yang terdapat di setiap
situasi komunikasi, yaitu 1) pokok persoalan, 2) sumber (yaitu penutur), 3)
penerima (yaitu pendengar), 4) sarana komunikasi di antara penutur dan penerima,
dan 5) pesan dengan bahasa itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan kelima
unsur tersebut secara rinci.
1) Fungsi informasional adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi.
Makna konseptual merupakan hal utama dalam penggunaan bahasa yang
informasional. Fungsi informasional berorientasi pada pokok persoalan.
-
30
2) Fungsi ekspresif, yaitu digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap
penuturnya. Dalam fungsi ini kata-kata sumpah serapah dan kata-kata seru
merupakan contoh yang paling jelas. Makna afektif, yaitu apa yang
dikomunikasikan oleh penutur mengenai sikapnya, merupakan yang paling
penting. Dapat dikatakan bahwa fungsi ekspresif berorientasi pada penutur.
3) Fungsi direktif digunakan untuk mempengaruhi perilaku dan sikap orang lain.
Contohnya adalah perintah dan permohonan. Fungsi direktif memberi
penekanan atau berorientasi lebih terhadap pendengar, bukan pada penutur.
4) Fungsi estetik, yaitu penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri tanpa
maksud yang tersembunyi, contohnya pada puisi. Fungsi estetik berorientasi
pada pesan yang terkandung dalam bahasa. Dengan demikian, dikatakan bahwa
fungsi ini berhubungan baik dengan makna konseptual maupun makna afektif.
5) Fungsi fatik, adalah fungsi bahasa yang berorientasi pada sarana komunikasi
dengan tujuan menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka dan untuk menjaga
hubungan baik dalam kelompok sosial.
Kelima kategori yang dikemukakan oleh Leech (1974) memandang fungsi
bahasa dari segi komunikatif yang searah dengan penelitian ini. Akan tetapi, teori
tersebut tidak mampu menjangkau semua fungsi bahasa yang terdapat dalam
korpus data penelitian ini karena tidak tersedianya penjelasan rinci mengenai
pengklasifikasian fungsi mikro – tidak seperti Searle (1969) yang mencetuskan
teori tindak tutur lengkap dengan rincian subkategorinya. Selain itu, fungsi
estetika yang bersifat puitis dianggap kurang sesuai dengan bidang kajian
penelitian ini yang mengkhusus di bidang tata hidangan. Namun, teori fungsi
-
31
bahasa Leech (1974) ini tetap layak dijadikan acuan untuk mengembangkan teori
fungsi bahasa dalam penelitian ini. Empat dari lima fungsi bahasa yang
dikemukakan oleh Leech (1974) sangat pantas untuk dijadikan pisau analisis
untuk membedah realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan, yakni
fungsi informasional, direktif, ekspresif, dan fatik, sedangkan fungsi estetik (yang
cenderung bersifat puitis) tidak sesuai untuk diterapkan dalam ragam tutur di
restoran yang bersifat informatif.
Halliday (1973: 22-26) mendefinisikan fungsi bahasa sebagai penggunaan
bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta membaca dan mendengar untuk
mencapai sasaran dan tujuan. Halliday kemudian membagi fungsi bahasa menjadi
tujuh kategori yang diuraikan sebagai berikut (1973: 22-26).
1) Instrumental, yaitu fungsi bahasa untuk memanipulasi lingkungan, yakni
menciptakan situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya kalimat “Pengadilan ini
menyatakan Anda bersalah” memiliki daya perlokusioner spesifik yakni
menimbulkan sebuah kondisi tertentu.
2) Regulatoris, yaitu fungsi bahasa dalam mengontrol keadaan atau peristiwa.
Misalnya kalimat “Dengan kelakuan baik, Anda dapat memperoleh
pembebasan bersyarat dalam sepuluh bulan.” lebih memiliki fungsi regulatoris.
Aturan-aturan dalam persetujuan, kontrol perilaku, penetapan hukum dan
kaidah, merupakan ciri-ciri fungsi regulatoris bahasa.
3) Representasional, yaitu fungsi bahasa untuk membuat pernyataan,
menyampaikan fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau menghadirkan
kembali realitas sebagaimana orang melihatnya. Kalimat-kalimat seperti
-
32
“Matahari panas” dan “Presiden berpidato tadi malam” menjalankan fungsi
representasional.
4) Interaksional, yaitu fungsi bahasa yang mengacu pada fungsinya sebagai alat
berinteraksi. Fungsi interaksional dapat dilaksanakan seseorang dengan baik
jika dia mengetahui dan memahami nilai-nilai atau karakteristik budaya yang
berlaku dalam bahasa tersebut. Komunikasi interaksional menghendaki
pemahaman tentang slang, jargon, gurauan, folklor, norma budaya, sopan
santun, dan aspek-aspek lain bagi pergaulan sosial.
5) Personal, yaitu fungsi bahasa yang menyiratkan makna bahwa bahasa
merupakan alat untuk mengidentifikasikan diri. Seorang penutur dapat
mengungkapkan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi naluriah melalui
penggunaan fungsi personal bahasa. Dalam hal ini, aspek bahasa, kognisi,
afeksi, dan budaya semuanya berinteraksi.
6) Heuristik, yaitu fungsi bahasa yang dimanfaatkan untuk memperoleh
pengetahuan. Fungsi heuristik sering disampaikan dalam bentuk pertanyaan
yang mengundang jawaban. Anak-anak biasanya menggunakan fungsi
heuristik dalam pertanyaan “mengapa” tentang dunia di sekitar mereka.
7) Imajinatif, yaitu fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk berimajinasi atau
menciptakan ide-ide. Mendongeng, bergurau, atau menulis novel
membutuhkan penggunaan fungsi imajinatif. Puisi, permainan kata, dan
contoh-contoh lain permainan bahasa juga termasuk ke dalam fungsi imajinatif.
-
33
Teori Halliday ini lebih tepat jika digunakan untuk mengkaji ragam bahasa
tulisan karena bersifat terlalu formal, misalnya dalam koran, puisi, dongeng, atau
cerita rakyat (seperti dalam disertasi Luardini: 2009). Terkecuali untuk fungsi
keempat yaitu fungsi interaksional yang bertujuan untuk berinteraksi. Fungsi ini
mengharuskan seorang penutur suatu bahasa untuk memahami nilai-nilai budaya
meliputi kesantunan yang berlaku dalam bahasa tersebut. Fungsi keempat dari
Halliday ini dapat dijadikan acuan dalam merumuskan teori fungsi bahasa yang
sesuai dengan arah penelitian ini.
Menurut Bühler (1965) bahasa dapat memenuhi tiga fungsi yaitu: fungsi
representasional, fungsi konatif, dan fungsi ekspresif. Ketiga fungsi bahasa
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
1) Fungsi representasional dilakukan oleh tanda-tanda bahasa (teks, ujaran,
kalimat, dan lain-lain) ketika tanda-tanda tersebut mengacu pada objek dan
fakta di dunia nyata. Tanda-tanda tersebut merepresentasikan benda dan fakta
di dunia nyata.
2) Fungsi konatif akan terpenuhi ketika teks meminta pembaca atau pendengar
untuk melakukan sesuatu, baik secara mental, emosi, atau fisik, dan
mempengaruhi perilaku mereka.
3) Fungsi ekspresif akan tercapai ketika teks mampu mengungkapkan keadaan
batin penulis atau pembicara.
Ketiga rumusan fungsi bahasa dari Bühler ini hanya mampu menjangkau
sedikit dari kajian fungsi bahasa di bidang tata hidangan. Fungsi representasional
menurut Bühler identik dengan teori Halliday yaitu merepresentasikan keadaan di
-
34
dunia nyata, sedangkan fungsi konatif dapat disejajarkan dengan fungsi direktif
(Leech, 1974) dan fungsi ekspresif juga serupa dengan teori Leech (1974). Ketiga
fungsi tersebut dapat dijadikan acuan dalam pengkajian fungsi-fungsi bahasa
dalam penelitian ini, hanya masih harus dikembangkan sehingga dapat mencakup
seluruh fungsi bahasa di bidang tata hidangan.
Jacobson (1960) membagi fungsi bahasa menjadi enam. Keenam fungsi
tersebut dapat dicermati di bawah ini.
1) Fungsi emotif, digunakan dalam perasaan manusia sebagai alat untuk
mengekspresikan diri.
2) Fungsi konatif, digunakan untuk memotivasi orang lain agar bersikap atau
melakukan sesuatu.
3) Fungsi referensial, digunakan untuk membicarakan suatu permasalahan dengan
topik tertentu.
4) Fungsi puitik, digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat tertentu.
5) Fungsi fatik, digunakan untuk saling menyapa sekadar untuk mengadakan
kontak dengan orang lain.
6) Fungsi metalingual, digunakan untuk membahas masalah bahasa dengan
bahasa tertentu.
Teori Jacobson ini memiliki banyak persamaan dengan teori-teori fungsi
bahasa lainnya: fungsi emotif dapat disejajarkan dengan fungsi ekspresif, fungsi
konatif sama dengan fungsi direktif, fungsi referensial setara dengan fungsi
representasional, dan fungsi fatik sama dengan fungsi interaktif. Keempat fungsi
tersebut dapat disesuaikan dengan realisasi fungsi bahasa di bidang tata hidangan,
-
35
tetapi masih perlu dikembangkan lagi. Misalnya, fungsi puitik dan fungsi
metalingual lebih bersifat kebahasaan daripada bersifat praktis, dan kurang sesuai
dengan arah penelitian ini.
Empat teori fungsi bahasa tersebut di atas dapat dirangkum sebagai berikut.
Tabel 2.1
Taksonomi Fungsi Bahasa
Cook (1994: 37) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi fungsi makro
dan fungsi mikro bahasa. Dengan demikian fungsi interaktif, informatif, direktif,
dan sebagainya disebut sebagai fungsi makro, sedangkan sub fungsi seperti
‘memperkenalkan’, ‘menyapa’, ‘memuji’, ‘menyuruh’, dan sebagainya
diklasifikasikan ke dalam fungsi mikro. Realisasi dari fungsi-fungsi mikro inilah
yang menjadi landasan dari desain metode yang dikembangkan dalam
pembelajaran keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan data verbal yang diperoleh dari percakapan antara waiter dan
tamu di restoran, tampaknya teori-teori fungsi bahasa tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterapkan secara langsung dalam analisis fungsi bahasa pada bidang tata
hidangan. Oleh karena itu teori-teori fungsi bahasa tersebut perlu dirumuskan dan
Leech (1974)
Halliday (1973)
Bühler (1965)
Jacobson (1960)
Informasional
Direktif
Fatik
Ekspresif
Estetika
Representasional
Instrumental
Interaksional
Personal
Regulatoris
Imajinatif
Heuristik
Representasional
Konatif
Ekspresif
Referensial
Konatif
Fatik
Emotif
Poetik
Metalingual
-
36
dielaborasi ulang sehingga dapat diaplikasikan sebagai landasan teoretis dalam
kajian mengenai penggunaan fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.
2.3.2 Konteks Situasi
Untuk menganalisis fungsi dan makna sebuah teks, Halliday dan Hasan
(1985) menggunakan tiga unsur konteks situasi, yakni medan wacana, pelibat
wacana, dan sarana wacana. Medan wacana adalah perihal sesuatu, pelibat wacana
adalah hubungan antarindividu yang terlibat, sedangkan sarana wacana adalah
bagian atau fungsi tertentu yang diperankan bahasa dalam proses interaktif (1985:
33). Sebuah kalimat dalam teks bisa bersifat multi fungsi. Misalnya suatu bagian
menunjuk pada satu fungsi sedangkan bagian lainnya menunjukkan fungsi yang
lain. Oleh karena itu, analisis teks harus dilakukan berulang-ulang dari sudut
pandang yang berbeda. Namun, makna yang terjalin dalam sebuah teks tidak
dapat dilihat secara terpisah karena setiap bagian yang berbeda tersebut memiliki
kontribusi terhadap keutuhan makna secara keseluruhan (Halliday dan Hasan,
1985).
Secara kontekstual, metafungsi bahasa menurut Halliday meliputi fungsi
ideasional yang mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan
dengan interpretasi dan representasi pengalaman, fungsi interpersonal
mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur
dengan petutur, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan
dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Halliday, 1973). ketiga fungsi bahasa
tersebut merupakan realisasi bentuk fungsi bahasa dalam penggunaannya.
-
37
1) Fungsi ideasional
Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa sebagai representasi pengalaman yang
digunakan untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar manusia.
Unsur pokok dalam fungsi ideasional adalah proses kejadian (segala sesuatu
yang terjadi), partisipan (orang, tempat atau benda yang terlibat di dalam
proses), dan suasana kejadian (tempat, waktu, cara, penyebab dan sebagainya)
yang terkait dengan proses tersebut.
2) Fungsi interpersonal
Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap
pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi ini digunakan oleh partisipan
dalam bertukar pengalaman sehingga terjalin hubungan sosial di antara
mereka.
3) Fungsi tekstual
Fungsi tekstual adalah interpretasi bahasa sebagai pembentuk teks dalam
bahasa.
Ketiga unsur dalam konteks situasi yang dikemukakan oleh Halliday dan
Hasan (1985) dapat dipadukan dengan teori Hymes (1974), yang juga
mengembangkan sebuah teori tentang etnography of SPEAKING berdasarkan
konteks situasional dan kultural. Menurut Hymes (1974: 55-60), terdapat
sejumlah speech components yang harus diperhatikan dalam kegiatan
berkomunikasi seperti berikut ini.
-
38
1. Setting, yakni waktu dan tempat di mana peristiwa tutur terjadi dan Scene yaitu
latar psikologis atau kultural yang meliputi tingkat formalitas dan keseriusan
(Hymes, 1974: 55-56).
2. Participant, yakni siapa yang berbicara (penutur) dan siapa yang menjadi
pendengar (mitra tutur) (Hymes, 1974: 56).
3. Ends, terdiri atas maksud, tujuan, dan hasil yang diharapkan dalam suatu
pembicaraan (Hymes, 1974: 56).
4. Act Sequence, yakni bentuk (form) dan urutan (order) peristiwa tutur. Alur
pembicaraan akan berkembang sesuai dengan urutan yang disusun oleh penutur
(Hymes, 1974: 57).
5. Key, adalah yang membangun tone, manner, atau spirit dalam pembicaraan
(Hymes, 1974: 57).
6. Instrumentalities, yaitu bentuk (form) dan gaya (style) bahasa, misalnya kasual
atau formal (Hymes, 1974: 58-60).
7. Norms, meliputi aturan sosial yang berlaku dalam peristiwa tutur yang
mengatur aksi dan reaksi partisipan (Hymes, 1974: 60).
8. Genre, adalah jenis tindak tutur misalnya narasi, komentar, eksklamasi, dan
sebagainya.
Komponen-komponen dari kedua teori tersebut memiliki sejumlah
persamaan. Medan wacana dapat disejajarkan dengan setting yang sama-sama
mengacu pada latar belakang tempat dan waktu peristiwa tutur berlangsung.
Pelibat wacana sama dengan participant yaitu pihak pembicara dan pendengar
dalam sebuah percakapan, sedangkan sarana wacana sudah mencakup seluruh
-
39
komponen yang dirinci oleh Hymes sebagai ends, acts sequence, key,
instrumentalities, norms, dan genre.
Dalam penelitian ini, komponen-komponen untuk mengkaji konteks situasi
diformulasi ulang menjadi situasi, partisipan, dan fungsi, sebagaimana yang
diuraikan berikut ini.
1. Situasi adalah deskripsi mengenai apa yang terjadi, apa yang dibicarakan, di
mana, kapan, dan bagaimana suatu tuturan dilakukan.
2. Partisipan mengacu pada individu yang terlibat dalam sebuah tuturan, serta
hubungan interpersona antara pembicara dan pendengarnya yang tercermin
dalam pola-pola tata bahasa yang digunakan.
3. Fungsi bahasa yang bertujuan untuk menjangkau maksud dan tujuan yang
diupayakan dalam sebuah tuturan.
Komponen-komponen dalam teori konteks situasi tersebut, baik dari
Halliday dan Hasan (1985) maupun dari Hymes (1974), menjadi teori yang
mendukung pembentukan desain metode pembelajaran yang berpijak pada fungsi-
fungsi bahasa. Aplikasi teori-teori tersebut dalam desain metode pembelajaran
yang diajukan dalam penelitian ini dipaparkan lebih lanjut pada bab V.
2.3.3 Metode Pembelajaran Bahasa
Anthony (1963: 63-67) memberikan definisi mengenai pendekatan, metode,
dan teknik. Sebuah pendekatan mendeskripsikan hakikat kegiatan pembelajaran
yang dilakukan. Metode adalah keseluruhan rencana dan penyajian materi secara
berurutan, tidak ada yang bertentangan, dan semuanya berdasarkan atas
-
40
pendekatan yang dipilih. Menurut Anthony (1963), pendekatan bersifat
aksiomatis sedangkan metode bersifat prosedural. Sebuah pendekatan dapat terdiri
atas beberapa metode. Teknik bersifat implementasional mengenai hal yang
sesungguhnya terjadi di kelas. Teknik didefinisikan sebagai sebuah strategi
khusus yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teknik harus
konsisten dengan metode dan sejalan dengan pendekatan.
Sebuah metode pembelajaran adalah realisasi praktis dari suatu pendekatan,
dan sebuah metode setidaknya meliputi prosedur dan teknik sebagai standar
minimum (Harmer, 2001: 78). Setiap metode pembelajaran hendaknya
menampilkan latar belakang dan tujuan metode tersebut dilengkapi dengan sintak
(prosedur) pelaksanaan, peran guru, dan pengaruh metode terhadap keberhasilan
pembelajaran (Huda, 2013). Di sisi lain, Richards dan Rodgers (1986: 16)
menempatkan pendekatan dan metode pada tahap desain, yaitu tujuan
pembelajaran, silabus, dan topik ditentukan terlebih dahulu serta peran guru dan
peserta didik, dan materi ajar dispesifikasi. Tahap implementasi, yang oleh
Anthony (1963) disebut sebagai teknik, kemudian diberi istilah prosedur. Oleh
karena itu, metode, secara teoretis, berhubungan dengan pendekatan, secara
susunan ditentukan oleh desain, dan secara praktis terwujudkan dalam prosedur.
Dari keempat pendapat tentang metode pembelajaran di atas, penelitian ini
cenderung mengarah pada pendekatan metode yang lebih holistik seperti yang
dikemukakan oleh Richards dan Rodgers (1986).
-
41
Teori Pembelajaran Bahasa
Sebelum metode pembelajaran dibahas lebih lanjut, terlebih dahulu akan
dibahas berbagai pendekatan yang mengilhami lahirnya berbagai metode dalam
pembelajaran bahasa. Dalam setiap pendekatan terdapat teori tentang
pembelajaran bahasa (theory of language learning) dan teori tentang bahasa
(theory of language). Berbagai kajian teoretis yang menjadi landasan dalam
pembelajaran bahasa antara lain dari sudut pandang behaviorisme, naturalisme,
kognitivisme, dan fungsionalisme. Berikut ini adalah penjelasan dari teori-teori
tersebut.
1) Behaviorisme
Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi
antara stimulus-respons (Skinner, 1976: 23). Teori ini mementingkan input
yang berupa stimulus (berbagai cara atau metode yang diberikan guru untuk
membantu peserta didik belajar) dan output yang berupa respons (reaksi atau
tanggapan peserta didik terhadap stimulus dari guru tersebut). Faktor lain yang
juga dianggap penting oleh aliran behavior adalah faktor penguatan
(reinforcement). Penguatan (baik yang positif maupun negatif) adalah apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respons. Hubungan antara stimulus dan
respon dipengaruhi oleh lingkungan yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku yang dikenal dengan konsep proses penguatan yaitu memberi
penghargaan pada perilaku yang diinginkan (positive reinforcement) dan tidak
memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat (negative
reinforcement) (Skinner, 1976: 23) Sementara itu, Thorndike menyatakan
-
42
bahwa perilaku belajar manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Rangsangan dari
lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbicara peserta didik.
Teori belajar behaviorisme ini berkembang menjadi aliran struktural yang
kemudian melahirkan Direct Method, serta metode Audiolingual dengan
penekanan pada drilling dan mimikri (Richards dan Rodgers,1986: 17). Aliran
ini berpendapat bahwa faktor eksternal lebih mendominasi dalam pembelajaran
bahasa. Kelemahan dari metode-metode tersebut adalah terlalu menekankan
pentingnya struktur gramatika sehingga mengesampingkan kompetensi
komunikatif peserta didik. Latihan dalam pembelajaran bahasa dengan cara
menghapalkan sebagian ungkapan dan kosakata, menghapalkan percakapan,
serta melafalkan kata-kata dengan benar tidak mampu membantu peserta didik
meningkatkan keterampilan mereka dalam menggunakan bahasa target dalam
kehidupan sehari-hari.
2) Naturalisme
Pendekatan naturalisme berdasarkan pada proses dan kondisi pembelajaran.
Pandangan naturalisme dimplementasikan dalam Metode Councelling-
Learning, the Silent Way, dan Total Physical Response. Metode Councelling-
Learning berpusat pada kondisi ruang kelas tempat peserta didik belajar, dan
berusaha mengurangi intimidasi dan rasa tidak nyaman yang dialami peserta
didik. Dalam metode tersebut, kondisi kelas sangat mempengaruhi
keberhasilan peserta didik. Metode Total Physical Response diciptakan dengan
prinsip bahwa bahasa anak dibangun berdasarkan aktivitas motorik dengan
cara menghubungkan bahasa dengan tindakan. Sementara itu, metode Silent
-
43
way menekankan kebutuhan peserta didik akan rasa aman saat belajar dan
kesadaran penuh akan pembelajaran. Berbagai teknik yang ditawarkan
dirancang untuk melatih peserta didik menggunakan kecerdasannya untuk
memaksimalkan potensi belajar (Richards dan Rodgers,1986: 18-19).
Ketiga metode tersebut lebih sesuai jika diterapkan pada pembelajar bahasa
asing yang masih berusia kanak-kanak. Metode TPR memerlukan banyak
gerakan motorik seperti dalam permainan yang sangat menarik bagi anak-anak,
tetapi orang dewasa akan merasa canggung dan kurang termotivasi, sedangkan
metode Silent Way tidak akan banyak membantu peserta didik dalam
meningkatkan kompetensi komunikatifnya terutama jika waktu belajar sangat
terbatas.
3) Kognitivisme
Kognitivisme memandang bahasa sebagai salah satu kemampuan dari
pematangan kognitif dan mengakui pentingnya faktor kemampuan individu
dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Peserta
didik berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan
melakukan percobaan. Proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna
jika guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat
menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam
struktur kognisi peserta didik. Perkembangan individu dapat dilihat dari
struktur dan fungsi kognitifnya. Fungsi kognitif adalah proses biologis alamiah
yang melekat pada seseorang sejak lahir dan tidak berubah seumur hidupnya,
sedangkan struktur kognitif mengalami perubahan semenjak masa kanak-
-
44
kanak. Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh maturasi (kematangan),
aktivitas, dan interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan bahasa
(Richards dan Rodgers,1986: 19-21).
Aliran ini menjadi landasan psikologi pendidikan yang kemudian berkembang
menjadi pembelajaran kontekstual. Contextual Teaching and Learning (CTL)
menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menghubungkan
materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Metode CTL kurang sesuai
diterapkan dalam penelitian ini karena subjek penelitian, yakni peserta didik,
belum memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang tata hidangan,
sehingga akan sulit bagi mereka untuk terlibat secara aktif dalam mengaitkan
materi pembelajaran dengan kehidupan nyata di restoran.
4) Fungsionalisme
Teori fungsionalisme menjadi landasan pikiran dari metode komunikatif. Teori
ini memperlakukan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan memahami
maksud tuturan secara lisan dan kontekstual, yang melibatkan lokasi (where),
waktu (when) dan kepada siapa tuturan ditujukan (to whom) (Brown, 2007:
46). Teori fungsional berkaitan dengan faktor-faktor sosial, bahasa tergantung
pada masyarakat penuturnya, bukan pada sistem yang terkandung di dalamnya.
Aliran ini kemudian menghasilkan metode Communicative Language
Teaching (CLT).
Dalam penelitian ini, bahasa dilihat sebagai media komunikasi dalam interaksi
antarindividu. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai dengan arah penelitian
ini adalah Communicative Language Teaching (CLT) yang lebih berfokus pada
-
45
interaksi antar peserta didik serta aspek kelancaran berbahasa dan pelafalan
dibandingkan dengan struktur bahasa secara gramatika (Richards dan Rodgers,
2001). Akan tetapi CLT juga memiliki kelemahan yaitu terletak pada sulitnya
memeriksa penggunaan bahasa dari setiap peserta didik, terutama dalam kelas-
kelas besar. Peserta didik diperbolehkan membuat kesalahan secara gramatika
tetapi mereka perlu dikoreksi oleh guru, tidak secara langsung di tengah
percakapan, supaya kompetensi peserta didik dapat berkembang dan mereka
tidak mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Guru memegang peranan
penting yang menentukan apakah suasana kelas akan menjadi menarik atau
membosankan. Oleh karena itu, guru harus mempersiapkan materi sebelumnya
dan berusaha membuatnya menjadi semenarik dan sekreatif mungkin, sehingga
peserta didik merasa termotivasi untuk menggunakan bahasa yang dipelajari di
kelas. Untuk menutupi kekurangan dari CLT tersebut, penelitian ini
menyediakan rubrik penilaian lengkap dengan performance criteria dan
performance task yang dapat membantu guru dalam menilai dan memeriksa
penggunaan bahasa peserta didik.
Teori Bahasa
Sejumlah pendekatan dan metode pembelajaran bahasa yang telah dibahas
sebelumnya tidak akan lengkap jika tidak disertai dengan teori bahasa. Terdapat
tiga teori utama mengenai bahasa. Teori pertama adalah teori struktural yang
memandang bahasa sebagai sistem struktural yang berhubungan dengan elemen-
elemen kode dan makna. Menurut teori ini, target dari pembelajaran bahasa adalah
-
46
penguasaan elemen-elemen dalam sistem bahasa tersebut yang dikategorikan ke
dalam unit fonologi, gramatika, dan leksikal (Richards dan Rodgers,1986: 16).
Teori kedua adalah teori fungsional yang memandang bahasa sebagai media
untuk menyampaikan makna fungsional. Teori ini mengedepankan dimensi
semantik dan komunikatif, tidak hanya gramatika dan struktur. Teori ini lebih
banyak digunakan dalam pembelajaran English for Specific Purposes (ESP)
(Richards dan Rodgers,1986: 17).
Teori ketiga adalah teori interaksional, yaitu teori bahasa yang melihat
bahasa sebagai alat untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan transaksi
sosial antarindividu. Teori ini meliputi analisis interaksi, analisis wacana, dan
etnometodologi (Richards dan Rodgers,1986: 17). Dari ketiga teori tersebut, teori
fungsional yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi dipandang sebagai teori
yang paling sesuai dengan arah penelitian ini.
Sejumlah metode pembelajaran bahasa dan teori bahasa yang disebutkan di
atas memiliki keunggulan dan kelemahannya tersendiri. Akan tetapi, teori
linguistik mengenai fungsi-fungsi bahasa belum banyak diterapkan dalam metode
pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengangkat teori
fungsi bahasa sebagai landasan fundamental pengembangan sebuah metode
pembelajaran bahasa Inggris yang berfokus pada peningkatan keterampilan
berbicara peserta didik di bidang vokasional. Berbagai hal yang menjadi
pertimbangan dalam pengembangan metode tersebut dibahas sebagai berikut.
-
47
2.3.3.1 Desain sistem instruksional
Desain adalah rancangan atau perencanaan tentang cara sebuah pendekatan
dikembangkan untuk diimplementasikan di dalam kelas (Padmadewi, 2012:8).
Dalam upaya menghasilkan sebuah metode dari suatu pendekatan, sangatlah
penting untuk mengembangkan sebuah desain sistem instruksional yang terdiri
atas: (a) tujuan, (b) silabus, (c) jenis kegiatan belajar mengajar, (d) peran peserta
didik, (e) peran guru, dan (f) peran materi pembelajaran (Richards and Rodgers,
1986:20). Berikut ini adalah uraian singkat mengenai keenam komponen tersebut.
(a) Tujuan
Pemilihan teori bahasa dan teori pembelajaran yang digunakan sangat
berpengaruh terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah metode
pembelajaran. Spesifikasi tujuan pembelajaran harus sudah ditentukan pada
tahap perancangan metode. Misalnya, metode tertentu ingin menekankan
penguasaan keterampilan lisan, sedangkan metode lainnya ingin membuat
peserta didik lebih memahami struktur gramatika dari bahasa target.
Metode yang bersifat product-oriented lebih menekankan keakuratan
gramatikal, sedangkan metode yang bersifat process-oriented cenderung
mementingkan kefasihan dalam berkomunikasi (Richards and Rodgers,
1986:20). Penentuan tujuan sebuah metode harus memperhatikan tiga
komponen yakni: 1) performansi yang mendeskripsikan apa yang harus
mampu dilakukan peserta didik; 2) kondisi tempat peserta didik akan
tampil; dan 3) standar yang mengindikasikan tingkat kemampuan peserta
didik (Nunan, 1988: 64).
-
48
(b) Silabus
Setiap metode pembelajaran bahasa selalu meliputi aspek konten yaitu
sesuatu yang dibicarakan dan aspek kebahasaan yakni bagaimana cara
membicarakannya (Richards dan Rodgers, 1986:20). Silabus merupakan
garis besar kegiatan yang akan dilakukan, alat pengajaran yang
memfasilitasi pembelajaran (Widdowson, 1984: 26). Silabus juga
mengandung spesifikasi unit yang akan diajarkan (Allen, 1984: 61). Silabus
terdiri atas pilihan materi ajar yang telah disesuaikan dengan tingkat
kemahiran dan durasi pembelajaran (Allen, 1984: 65). Silabus dapat
berorientasi pada produk (product-oriented syllabus) dan pada proses
(process-oriented syllabus). Silabus yang berorientasi pada produk berfokus
pada pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh
peserta didik pada akhir pembelajaran, sedangkan silabus yang berorientasi
pada proses berfokus pada pengalaman belajar (Richards and Rodgers,
1986: 27). Jenis silabus yang berorientasi pada produk antara lain: silabus
gramatikal, dan silabus fungsional-nosional (Nunan, 1988: 27). Silabus
gramatikal terlalu menekankan aspek kebahasaan. Akan tetapi pembelajaran
bahasa tidak hanya mengenai struktur bahasa saja tetapi juga tujuan
komunikatif bahasa yang digunakan (Nunan, 1988: 31). Silabus fungsional-
nosional meliputi tujuan komunikatif yang ingin dicapai, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor situasional, kontekstual, dan ekstra
linguistik sehingga perancangan silabus menjadi lebih rumit (Nunan, 1988:
37). Jenis silabus yang berorientasi pada proses yakni: silabus prosedural
-
49
yang disusun berdasarkan urutan kegiatan belajar, silabus berbasis tugas
(task-based syllabus) yang meliputi jenis-jenis aktivitas pembelajaran, dan
silabus konten yang berdasarkan materi pembelajaran (Nunan, 1988: 42-49).
(c) Jenis kegiatan belajar mengajar
Tujuan sebuah metode akan menentukan pemilihan kegiatan pembelajaran,
apakah berfokus pada aspek gramatika atau pada kemampuan komunikatif.
Misalnya, metode Audiolingual menggunakan dialog dan latihan pola secara
ekstensif; the Silent Way menggunakan kegiatan problem-solving,
Communicative Language Teaching menggunakan kegiatan information
gap dan information transfer.
Pola pengelompokan peserta didik juga disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran, apakah peserta didik bekerja sendiri, berpasangan, atau
berkelompok. Secara umum, jenis kegiatan yang digunakan dalam
pembelajaran bahasa antara lain: dialog, merespon instruksi, group
problem-solving, bertukar informasi, improvisasi, tanya jawab, atau drilling
(Richards dan Rodgers, 1986:22).
(d) Peran peserta didik
Dalam kegiatan pembelajaran, hendaknya peserta didik merencanakan
sendiri program belajarnya dan bertanggung jawab atas segala hal yang
dilakukannya di kelas. Peserta didik juga memantau dan mengevaluasi
perkembangan belajarnya. Peserta didik merupakan anggota kelompok dan
belajar berinteraksi dengan sesamanya, serta peserta didik membantu
mengajari peserta didik lain. Peserta didik tidak hanya belajar dari guru,
-
50
tetapi juga dari peserta didik lain, dan dari sumber belajar lainnya (Richards
dan Rodgers, 1986:76-77).
(e) Peran guru
Dalam Communicative Language Teaching, guru memainkan dua peranan
yakni: 1) memfasilitasi proses komunikasi seluruh peserta didik di kelas
dengan berbagai jenis kegiatan dan teks, dan 2) bertindak sebagai partisipan
independen dalam kelompok belajar mengajar. Guru juga berperan sebagai
pengatur sumber belajar, pemandu kegiatan belajar, peneliti sekaligus
pembelajar yang mengamati proses pembelajaran (Richards dan Rodgers,
1986:77).
(f) Peran materi pembelajaran
Penentuan materi pembelajaran mencerminkan tujuan utama dari metode
(untuk memfasilitasi komunikasi, untuk mempraktikkan konten, dan
sebagainya), bentuk materi (buku teks, flash cards, audio visual, software,
dan lain-lain), hubungan materi dengan sumber input lainnya (apakah materi
berfungsi sebagai sumber input utama atau hanya sebagian kecil), serta
kemampuan guru (kompetensi bahasa atau pengalaman guru) (Richards dan
Rodgers, 1986:26).
2.3.3.2 Prosedur
Pada tataran ini terlihat realisasi pendekatan dan desain yang digunakan
dalam sebuah metode pembelajaran. Terdapat tiga dimensi yang menjadi
pertimbangan dalam merencanakan prosedur pembelajaran, antara lain: a)
penggunaan kegiatan pembelajaran (drilling, dialog, information-gap) untuk
-
51
mempresentasikan bahasa baru dan memperkenalkan aspek kebahasaan dari
bahasa target, b) cara kegiatan tertentu digunakan untuk mempraktikkan bahasa,
dan c) cara memberikan feedback kepada peserta didik tentang penggunaan
bahasa mereka (Richards and Rodgers, 1986:26-27).
2.3.3.3 Penilaian
Setiap proses pembelajaran tentunya meliputi penilaian terhadap hasil
belajar peserta didik. Salah satu bentuk penilaian pembelajaran adalah tes, yaitu
metode untuk mengukur kemampuan, pengetahuan, atau penampilan peserta didik
dalam bidang tertentu (Brown, 2004:3). Terdapat lima jenis tes, yaitu 1) Tes
kemampuan bahasa (Language Aptitude Test); 2) Tes kemahiran (Proficiency
test); 3) Tes penempatan (Placement Test); 4) Tes diagnostik (Diagnostic Test),
dan 5) Tes pencapaian (Achievement Test) (Brown, 2004: 43-47). Berikut ini
dijelaskan secara singkat jenis-jenis tes tersebut.
1) Language Aptitude Test
Tes kemampuan bahasa dirancang untuk mengukur kapasitas atau
kemampuan umum dalam mempelajari bahasa asing. Contoh tes standar
kemampuan bahasa yang digunakan di Amerika Serikat adalah the
Modern Language Aptitude Test (MLAT) dan Pimsleur Language Aptitude
Battery (PLAB) yang menugasi peserta didik mengerjakan sejumlah
latihan berhubungan dengan kebahasaan (Brown, 2004: 43).
2) Proficiency Test
Tes kemahiran untuk mengukur keseluruhan kompetensi berbahasa,
meliputi tata bahasa, kosakata, pemahaman membaca dan menyimak.
-
52
Contoh jenis tes ini adalah Test of English as a Foreign Language
(TOEFL) (Brown, 2004: 44-45).
3) Diagnostic Test
Tes diagnostik dirancang untuk mendiagnosis aspek tertentu dari bahasa,
yang dipandang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya, tes pelafalan
untuk mendiagnosis fitur-fitur fonologi bahasa Inggris yang sulit
dilafalkan oleh peserta didik, sehingga harus dimasukkan ke dalam
kurikulum. Tes diagnostik dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai
(Brown, 2004: 47).
4) Placement Test
Tes penempatan bertujuan untuk mengelompokkan peserta didik sesuai
dengan kemampuan. Tes jenis ini bervariasi menurut kebutuhan
pembelajaran yang akan diikuti, di antaranya meliputi pemahaman lisan
dan tulisan, open-ended response, dan gap-filling (Brown, 2004: 46).
5) Achievement Test
Tes pencapaian berhubungan langsung dengan pelajaran di kelas, materi,
dan seluruh kurikulum. Tes jenis ini harus dilakukan untuk menguji materi
ajar tertentu yang difokuskan pada tujuan pembelajaran. Tes ini
menganalisis seberapa jauh pemahaman peserta didik terhadap materi
yang sudah diajarkan sebelumnya (Brown, 2004: 47).
Metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, digunakan jenis tes
pencapaian (Achievement Test) untuk mengukur hasil belajar peserta didik.
-
53
Sebelum melakukan penilaian terhadap keterampilan berbicara peserta didik,
perlu diketahui terlebih dahulu tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara seperti
yang dijelaskan berikut ini (Brown, 2004: 141-142).
1) Imitatif: pada akhir pembelajaran, peserta didik hanya dituntut untuk
mampu menirukan kata atau frasa / kalimat. Hal yang diperhatikan pada
tipe ini hanyalah kemampuan melafalkan, tidak sampai pada pemahaman
atau percakapan interaktif antar peserta didik.
2) Intensif: penilaian tipe kedua ini meliputi kemampuan menghasilkan
ujaran lisan yang sangat singkat. Misalnya, membaca keras, melengkapi
dialog, dan menerjemahkan kalimat sederhana.
3) Responsif: meliputi interaksi dan pemahaman, tetapi hanya terbatas pada
percakapan yang sangat singkat. Misalnya, percakapan mengenai sapaan,
basa-basi, permintaan sederhana, serta memberikan pendapat.
4) Interaktif: perbedaan antara responsif dan interaktif terletak pada durasi
dan kompleksitas interaksi yang terkadang melibatkan beberapa partisipan.
Interaksi dapat berupa transaksional (bertujuan untuk bertukar informasi)
atau interpersonal (bertujuan untuk menjalin hubungan sosial).
5) Ekstensif: berupa monolog meliputi pidato, presentasi lisan, dan bercerita.
Gaya bahasa cenderung lebih formal dan interaksi dengan pendengar
sangat terbatas.
Berdasarkan uraian tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara tersebut,
dapat disimpulkan bahwa desain metode pembelajaran yang dirancang dalam
penelitian ini mengaplikasikan penilaian yang bersifat interaktif. Interactive
-
54
Speaking yang dimaksud adalah percakapan (baik transaksional maupun
interpersonal) antar peserta didik yang berperan sebagai tamu dan pramusaji di
restoran.
Dalam mendesain penilaian yang interaktif, Brown (2004: 167-179)
memberikan empat alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk menilai
keberhasilan pembelajaran peserta didik, yakni wawancara (interview), bermain
peran (role play), diskusi, dan permainan (games). Berikut ini adalah penjelasan
kegiatan-kegiatan tersebut.
1) Interview
Ketika membahas tentang penilaian keterampilan lisan, hal pertama yang
terlintas adalah wawancara lisan yaitu penguji dan yang diuji duduk saling
berhadapan dan bertukar informasi. Setiap wawancara setidaknya terdiri atas
empat bagian, yakni: a) warm-up yang terdiri atas basa-basi, perkenalan,
penguji membantu peserta didik merasa nyaman dan mengurangi kecemasan
peserta didik; b) Level check yaitu penguji menstimulasi peserta didik untuk
merespons setiap pertanyaan sesuai level yang diuji; c) Probe yaitu penguji
mengajukan pertanyaan yang sedikit melebihi materi yang sudah diajarkan. Hal
ini bertujuan agar peserta didik mengerahkan seluruh pengetahuan kognitif dan
linguistiknya; dan d) Wind-down adalah tahap terakhir ketika penguji
memberikan pertanyaan mudah sehingga peserta didik merasa lebih santai
(Brown, 2004: 168).
-
55
2) Role Play
Bermain peran adalah kegiatan yang sangat populer dalam pembelajaran
bahasa komunikatif. Dengan bermain peran peserta didik mendapat kebebasan
untuk mengembangkan kreativitas berbahasanya. Peserta didik juga diberikan
kesempatan untuk berdiskusi dan merencanakan apa yang akan mereka katakan
sehingga dapat mengurangi kecemasan yang timbul saat proses penilaian
(Brown, 2004: 174).
3) Discussions
Sebagai instrumen penilaian formal, diskusi antar peserta didik sulit untuk
dinilai. tetapi sebagai penilaian informal, teknik diskusi menawarkan
keotentikan dan spontanitas peserta didik yang tidak didapatkan melalui teknik
lainnya. Teknik ini dapat digunakan untuk mengamati bahasa tubuh, gerak
kinesik, eye contact, kesantunan, cara menginterupsi, memberi pendapat, dan
sebagainya (Brown, 2004: 175).
4) Games
Beberapa jenis permainan yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian
terhadap kemampuan bahasa peserta didik antara lain: Crossword puzzles,
Information gap, dan City maps (Brown, 2004: 175-176).
Dari beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan untuk mengumpulkan
data mengenai keberhasilan belajar peserta didik, desain metode pembelajaran
yang dirancang dalam disertasi ini memilih teknik Interview, Role play dan
Information Gap (games) sebagai cara untuk memperoleh penilaian dan menguji
keefektifan metode yang dirancang.
-
56
2.3.4 Pengujian Efektivitas Metode Pembelajaran
Hasil akhir dari setiap penelitian dan pengembangan adalah berupa desain
produk baru lengkap dengan spesifikasinya. Desain produk masih bersifat
hipotetik karena belum teruji efektivitasnya. Oleh karena itu harus diadakan
pengujian-pengujian untuk mengetahui efektivitas desain produk tersebut. Produk
dari penelitian ini adalah berupa metode pembelajaran untuk meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Inggris, khususnya di bidang tata hidangan.
Efektivitas metode pembelajaran dapat diukur dari kecepatan pemahaman
peserta didik terhadap pelajaran, peningkatan kreativitas peserta didik, serta hasil
belajar (Sugiyono, 2015: 413). Pengujian dapat dilakukan dengan eksperimen,
yaitu dengan membandingkan efektivitas metode pembelajaran lama
(konvensional) dengan metode pembelajaran yang baru. Sebelum metode
pembelajaran baru dicobakan, terlebih dahulu dipilih kelompok yang akan diajar
dengan metode baru tersebut (kelompok eksperimen) dan kelompok yang tetap
menggunakan metode lama (kelompok kontrol). Kedua kelompok tersebut
diberikan pre-test atau melalui pengamatan untuk mengetahui kemampuan awal
kedua kelompok tersebut. Jika kemampuan kedua kelompok tersebut tidak
berbeda secara signifikan, maka eksperimen dapat dilakukan. Model eksperimen
tersebut ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini.
-
57
Gambar 2.1
Model Eksperimen dengan Kelompok Kontrol
(Sugiyono, 2015: 416)
Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. O1 adalah nilai awal
kelompok eksperimen, dan O3 adalah nilai awal kelompok kontrol. Setelah posisi
kedua kelompok tersebut seimbang, maka kelompok eksperimen diberi perlakuan
dengan metode baru, sedangkan kelompok kontrol tetap menggunakan metode
lama. O2 adalah pencapaian kelompok eksperimen setelah diajar dengan metode
baru, dan O4 adalah pencapaian kelompok kontrol yang diajar menggunakan
metode lama. Jika nilai O2 lebih tinggi secara signifikan dari nilai O4, maka
metode pembelajaran baru tersebut lebih efektif daripada metode pembelajaran
lama (Sugiyono, 2015: 416-417).
Pengujian signifikansi efektivitas metode pembelajaran baru yang
diterapkan pada dua kelompok juga dapat menggunakan t-test berkorelasi. Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2015:422).
O1
O3
O2
O4
X
1 – 2
s12 s2
2
√ n1 n2
2r s1
√n1 S2
√n2
t =
-
58
Keterangan:
1 : Rata-rata sampel 1 (kelompok kontrol)
2 : Rata-rata sampel 2 (kelompok eksperimen)
S1 : Simpangan baku sampel 1 (kelompok kontrol)
S2 : Simpangan baku sampel 2 (kelompok eksperimen)
S12 : Varians sampel 1
S22 : Varians sampel 2
r : korelasi antara data dua kelompok
Untuk dapat menggunakan rumus tersebut, diperlukan perhitungan statistik
menggunakan SPSS sehingga dapat ditemukan harga / nilai yang diperlukan untuk
menghitung t. Pengujian dengan rumus t-test berkorelasi dilanjutkan dengan uji
hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut (Sugiyono, 2015: 423).
Ho : efektivitas metode baru lebih kecil atau sama dengan metode
pembelajaran lama (hipotesis awal)
μ1 ≤ μ2
Ha : efektivitas metode pembelajaran baru lebih baik daripada metode
pembelajaran lama (hipotesis alternatif)
μ1 μ2
Uji hipotesis yang digunakan adalah uji pihak kanan, karena hipotesis
alternatif (Ha) berbunyi “lebih baik”. Apabila harga t jatuh pada daerah
penerimaan Ha, maka Ha yang menyatakan bahwa “efektivitas metode
pembelajaran baru lebih baik daripada metode lama” diterima. Uji hipotesis pihak
kanan digambarkan sebagai berikut.
-
59
Gambar 2.2
Uji Hipotesis Pihak Kanan
Dengan terujinya produk yang berupa metode pembelajaran tersebut, maka
langkah pengujian efektivitas metode pembelajaran baru telah dinyatakan selesai.
2.3.5 Kompetensi Komunikatif
Richards dan Rodgers (1986: 71) mengemukakan empat dimensi
kompetensi komunikatif. Keempat dimensi tersebut adalah: kompetensi
gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi
strategis.
1) Kompetensi gramatikal mengacu pada apa yang disebut oleh Chomsky sebagai
kompetensi linguistik yang berada pada kapasitas gramatikal dan leksikal.
2) Kompetensi sosiolinguistik adalah pemahaman terhadap konteks sosial tempat
komunikasi terjadi, termasuk hubungan partisipan, informasi dan tujuan
komunikatif dalam interaksi.
3) Kompetensi wacana mengacu pada interpretasi pesan dan keterkaitannya
terhadap keseluruhan teks.
Daerah penerimaan Ha
0 t tabel t hitung
-
60
4) Kompetensi strategis merupakan strategi yang digunakan partisipan untuk
memulai, mengakhiri, mempertahankan, memperbaiki, dan mengarahkan
komunikasi (Richards, 1986: 71).
Finocchiaro dan Bonomo (1973: 40-42) menyebutkan empat landasan
dalam subsistem bahasa yang saling berinterelasi dalam menghasilkan sebuah
tuturan. Keempat aspek tersebut yaitu: 1) The sound system meliputi pelafalan
bunyi vokal dan konsonan, intonasi, ritme, tekanan (stress) dan jeda (pause); 2)
The grammar system meliputi a) morfologi yakni pembentukan kata melalui
infleksi bentuk jamak (plurality), kepemilikan (possession), kala (tense) dan
sebagainya, atau melalui derivasi yakni perubahan kelas kata melalui perubahan
prefiks, sufiks, atau infiks; b) sintaksis yakni susunan kata, frasa atau klausa
dalam sebuah teks; c) morfofonemik yakni perubahan bunyi akibat pengaruh
gramatika dalam lingkungan tertentu; 3) The lexical system meliputi kelas kata
(nomina, verba, ajektiva, dan adverbia) serta fungsi dari kata tersebut di dalam
struktur klausa; 4) The cultural system meliputi semua hal yang termasuk dalam
fitur bahasa dan sistem leksikal mengingat bahwa bahasa ditentukan oleh budaya,
sehingga penggunaan bahasa harus berterima dalam budaya tersebut. Beberapa di
antaranya ditentukan oleh isi dan nada dari respon verbal dan fisikal.
Nunan (2003: 135), mendefinisikan bahwa pembelajaran keterampilan
berbicara sebagai tindakan yang menyebabkan peserta didik mampu melakukan
hal-hal sebagai berikut.
-
61
1) Menghasilkan bunyi-bunyi bahasa Inggris.
2) Menggunakan penekanan kata dan kalimat, intonasi, dan irama bahasa
target.
3) Memilih kata dan kalimat yang tepat, sesuai dengan latar belakang sosial,
penutur, situasi dan tema percakapan.
4) Mengorganisasikan ide-ide secara logis dan bermakna.
5) Memakai bahasa sebagai alat untuk memberi penilaian.
6) Memakai bahasa dengan cepat dan yakin, atau yang disebut dengan
kefasihan berbahasa.
Lebih lanjut, Nunan (2003: 135) kemudian memaparkan sejumlah kegiatan
komunikatif dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Kegiatan-kegiatan
tersebut yaitu:
1) Saling memperkenalkan diri.
2) Bermain peran dalam menerangkan sesuatu, memerankan wawancara,
mengajukan permintaan, mengungkapkan rasa simpati, dan mengundang
serta memberikan jawabannya.
3) Tanya jawab tentang keadaan sehari-hari.
4) Menceritakan kembali isi iklan yang dibaca.
5) Bercakap-cakap berpasangan.
6) Memberi komentar dan saran tentang sesuatu.
7) Berpidato dan menceritakan pengalaman pribadi.
8) Bermain simulasi dalam menawarkan bantuan, berargumentasi tentang
suatu topik yang telah ditentukan, dan kegiatan sejenis lainnya.
-
62
Harmer (2001: 269) mengklasifikasikan sejumlah keterampilan makro dan
mikro dalam berbicara. Keterampilan makro adalah sebagai berikut.
1) Mampu menggunakan fungsi-fungsi komunikatif sesuai dengan situasi,
partisipan, dan tujuan.
2) Mampu menggunakan ragam dan gaya bahasa, implikatur, dan berbagai
aspek sosiolinguistik dalam percakapan.
3) Mampu menjalin interaksi dalam peristiwa tutur.
4) Mampu menggunakan aspek-aspek kinesik, gerak tubuh, dan tanda-tanda
nonverbal bersama dengan bahasa verbal.
5) Mampu mengembangkan strategi berbicara, seperti parafrase, menambahkan
informasi, dan mengklarifikasi.
Keterampilan mikro dalam berbicara dipaparkan oleh Harmer (2001: 271) sebagai
berikut.
1) Mampu membedakan fonem-fonem dan alofon dalam ragam bahasa Inggris.
2) Mampu menggunakan bentuk-bentuk bahasa sesuai konteks.
3) Mampu menggunakan pola tekanan pada kata/kalimat, dan intonasi yang
tepat.
4) Mampu menggunakan bentuk singkatan kata atau frasa.
5) Mampu menggunakan unit-unit leksikal untuk mencapai tujuan pragmatik.
6) Mampu mengucapkan kalimat dengan lancar.
7) Mampu menggunakan berbagai strategi percakapan, misalnya jeda,
mengkoreksi diri, dan mengulangi, untuk memperjelas pemahaman.
-
63
8) Mampu menggunakan kelas kata gramatika (nomina, verba, dan sebagainya),
sistem bahasa ( bentuk kala, plural, dan lain-lain), urutan kata, pola, aturan,
dan bentuk eliptikal.
9) Mampu menghasilkan ujaran secara alami.
10) Mampu mengekspresikan makna dalam berbagai bentuk gramatika.
11) Mampu menggunakan alat-alat kohesi dalam tuturan lisan.
Harmer (1983: 43) kemudian menggambarkan perbedaan kegiatan
pembelajaran komunikatif dengan non-komunikatif. Kegiatan komunikatif
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Memiliki keinginan untuk berkomunikasi.
2) Memiliki tujuan komunikatif.
3) Berpusat pada isi, bukan bentuk komunikasi.
4) Menggunakan berbagai jenis bahasa.
5) Guru tidak mengintervensi.
6) Materi kegiatan tidak sepenuhnya ditentukan di awal pembelajaran.
Sementara itu, kegiatan non-komunikatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut
(Harmer, 1983: 43).
1) Tidak memiliki keinginan untuk berkomunikasi.
2) Tidak memiliki tujuan komunikatif.
3) Berpusat pada bentuk, bukan isi dari komunikasi.
4) Menggunakan hanya satu jenis bahasa.
-
64
5) Guru mengintervensi.
6) Materi kegiatan sepenuhnya ditentukan oleh guru di awal pembelajaran.
Pengenalan sebuah bahasa baru seringkali menjadi kegiatan non-
komunikatif. Dalam hal ini guru akan menerapkan teknik terkontrol, meminta
peserta didik untuk mengulangi dan melakukan pengulangan terus-menerus
(drill). Pada saat yang sama, guru mengharuskan ketepatan struktur bahasa, dan
mengoreksi setiap kesalahan peserta didik. Meskipun tahap pengenalan ini harus
dipersingkat dan menghindari pengulangan, tahap ini penting untuk membantu
peserta didik mengenal bahasa dan membuatnya mampu memproduksi bahasa
tersebut untuk pertama kalinya. (Harmer, 1983: 45)
Di sisi lain, Richards (2006: 27) merinci beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dalam merancang pembelajaran berbasis komunikatif, yaitu:
1) Menentukan tujuan pemerolehan bahasa target, misalnya untuk ESP,
perhotelan, atau travel.
2) Menggambarkan setting atau tempat di mana akan digunakan bahasa target,
misalnya di kantor, di pesawat, di hotel, dan lain-lain.
3) Menentukan peran sosial yang akan dimainkan oleh peserta didik, misalnya
sebagai wisatawan, resepsionis, waiter, dan sebagainya.
4) Peristiwa komunikatif tempat peserta didik akan berpartisipasi, misalnya dalam
kehidupan sehari-hari, situasi profesional, akademis, dan lain-lain.
5) Fungsi bahasa dalam peristiwa tutur tempat peserta didik akan menggunakan
bahasa, misalnya saat berkenalan, menceritakan sesuatu, dan lain-lain.
-
65
2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Berbicara
Keberhasilan pembelajaran bahasa ditentukan oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal bersumber dari dalam diri peserta didik misalnya bakat,
minat, kemauan, cita-cita, obsesi, kebutuhan, dan pengalaman belajar. Faktor
eksternal bersumber dari luar diri peserta didik, misalnya lingkungan, guru,
teman, sarana prasarana, buku ajar, dan sebagainya. Thornburry (2005: 25-26)
menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penting yang menentukan keberhasilan
keterampilan berbicara, yakni: 1) faktor kognitif; 2) faktor afektif; dan 3) faktor
performa. Ketiga faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Faktor kognitif
a. Mengenal topik: sebuah topik yang dikenal baik akan mempermudah
kegiatan berbicara. Inilah alasan peserta didik lebih mudah berbicara
tentang pekerjaan atau keluarganya daripada membicarakan tentang hal di
luar kehidupan sehari-harinya.
b. Mengenal genre: memberi perkuliahan atau berpidato akan lebih sulit
dilakukan jika tidak mengenal genre tertentu.
c.