bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan teori, dan … · setelah diberikan treatment dalam dua...

61
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini menggunakan sejumlah disertasi dan artikel dari jurnal terakreditasi dan Internasional sebagai kajian pustaka. Studi terdahulu yang dikaji dalam penelitian ini antara lain Murdana (2014), Albakrawi (2013), Putra (2013), Andi-Pallawa (2012), Rahimy dan Safarpour (2012), Luardini (2009) serta Ratmanida dan Al-Hafizh (2008). Ketujuh penelitian tersebut akan dikaji sebagai berikut. Pustaka pertama bersumber dari disertasi Murdana (2014) dengan judul Kesantunan Berbahasa Inggris Pramuwisata dalam Memandu Wisatawan Mancanegara di Bali: Sebuah Kajian Sosiopragmatikyang mengkaji peringkat kesantunan berdasarkan variasi tutur, jenis-jenis tindak tutur, serta fungsi dan makna tindak tutur, dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertumpu pada filosofi fenomenologis. Murdana (2014) melakukan penelitian terhadap pramuwisata di empat wilayah di Bali, yakni Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar. Hasil temuannya berupa tuturan dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh pramuwisata yang diklasifikasikan sebagai berikut. 1) Jenis variasi tutur: variasi tutur formal, variasi tutur informal, dan variasi tutur bidang profesi. 2) Jenis tindak tutur: tindak tutur lokusioner, tindak tutur ilokusioner, dan tindak tutur perlokusioner. 3) Makna 11

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

    DAN MODEL PENELITIAN

    2.1 Tinjauan Pustaka

    Penelitian ini menggunakan sejumlah disertasi dan artikel dari jurnal

    terakreditasi dan Internasional sebagai kajian pustaka. Studi terdahulu yang dikaji

    dalam penelitian ini antara lain Murdana (2014), Albakrawi (2013), Putra (2013),

    Andi-Pallawa (2012), Rahimy dan Safarpour (2012), Luardini (2009) serta

    Ratmanida dan Al-Hafizh (2008). Ketujuh penelitian tersebut akan dikaji sebagai

    berikut.

    Pustaka pertama bersumber dari disertasi Murdana (2014) dengan judul

    “Kesantunan Berbahasa Inggris Pramuwisata dalam Memandu Wisatawan

    Mancanegara di Bali: Sebuah Kajian Sosiopragmatik” yang mengkaji peringkat

    kesantunan berdasarkan variasi tutur, jenis-jenis tindak tutur, serta fungsi dan

    makna tindak tutur, dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertumpu

    pada filosofi fenomenologis. Murdana (2014) melakukan penelitian terhadap

    pramuwisata di empat wilayah di Bali, yakni Kabupaten Badung, Kabupaten

    Gianyar, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar. Hasil temuannya berupa

    tuturan dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh pramuwisata yang

    diklasifikasikan sebagai berikut. 1) Jenis variasi tutur: variasi tutur formal, variasi

    tutur informal, dan variasi tutur bidang profesi. 2) Jenis tindak tutur: tindak tutur

    lokusioner, tindak tutur ilokusioner, dan tindak tutur perlokusioner. 3) Makna

    11

  • 12

    tindak tutur: makna lokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi. Relevansi

    penelitian Murdana terhadap penelitian ini terletak pada penggunaan bahasa

    Inggris di bidang pariwisata yang mementingkan kesantunan dalam setiap tindak

    tutur. Perbedaannya, penelitian Murdana bergerak di bidang guiding sedangkan

    penelitian ini berfokus di bidang tata hidangan. Perbedaan yang lebih mendasar

    ialah bahwa Murdana dalam penelitiannya mengaplikasikan kelima fungsi tindak

    tutur, sedangkan penelitian ini merekonstruksi teori-teori fungsi bahasa (Jacobson:

    1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, Leech: 1974) dan mengkombinasikannya

    dengan fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan yang ditemukan dalam

    pembelajaran keterampilan berbicara. Penerapan teori linguistik di bidang guiding

    merupakan hal baru dan menjadi keunggulan penelitian Murdana (2014) sehingga

    menarik untuk dikaji. Akan tetapi, analisis hanya terbatas pada pengklasifikasian

    variasi, jenis, dan makna tindak tutur, tanpa membahas unsur linguistik secara

    lebih mendalam.

    Pustaka kedua berasal dari artikel Albakrawi (2013) dengan judul Needs

    Analysis of the English Language Secondary Hotel Students in Jordan, yang

    bertujuan menyusun desain pembelajaran ESP di bidang perhotelan. Ia

    menemukan bahwa kebutuhan peserta didik dalam aspek menyimak antara lain

    menyimak pembicaraan seseorang serta menyimak pesan dan instruksi. Hal ini

    dikarenakan para peserta didik harus mampu menyimak pembicaraan gurunya

    dalam kelas dan seorang pelayan restoran umumnya mencatat pesanan makanan

    dari tamu. Sementara itu, aspek berbicara harus meliputi percakapan dua orang

    yang merupakan refleksi dari peristiwa tutur yang biasa terjadi di hotel. Aspek

  • 13

    membaca meliputi keterampilan membaca iklan, instruksi, brosur, daftar, dan

    tabel. Fungsi bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan di

    hotel, yakni memberi salam (greeting), memuji (complementing), memberi saran

    (advising), menjelaskan fasilitas hotel (explaining hotel facilities), serta mencatat

    pesanan makanan (receiving orders).

    Artikel Albakrawi (2013), yang berdasarkan hasil disertasi doktornya di

    tahun 2005, menegaskan pentingnya melakukan needs analysis sebelum

    menyusun desain pembelajaran. Dalam artikelnya, Albakrawi telah sangat jelas

    merinci keterampilan berbahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik di bidang

    perhotelan. Hal tersebut sangat relevan bagi penelitian ini karena sama-sama

    mengkaji pembelajaran bahasa Inggris di bidang perhotelan. Perbedaannya,

    penelitian ini lebih mengkhusus pada bidang tata hidangan. Di sisi lain, Albakrawi

    belum menyebutkan bentuk-bentuk atau ekspresi-ekspresi bahasa yang

    dibutuhkan pada masing-masing fungsi bahasa yang digunakan di hotel. Oleh

    karena itu, penelitian ini bertujuan melengkapi penelitian Albakrawi dengan cara

    menjabarkan realisasi ekspresi bahasa yang digunakan dalam setiap fungsi bahasa.

    Relevansi artikel Albakrawi (2013) dengan penelitian ini terletak pada kegiatan

    needs analysis yang dilakukan sebelum mendesain suatu pembelajaran. Needs

    analysis dalam penelitian ini dilakukan pada tahap determinasi masalah untuk

    mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan yang dibutuhkan

    dalam pembelajaran keterampilan berbicara.

    Pustaka ketiga yang dikaji dalam penelitian ini adalah tesis Putra (2013)

    yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Langsung

  • 14

    dalam Pengajaran Bahasa Inggris Secara Kuantitatif”. Putra melaksanakan

    penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang terdiri atas empat

    siklus yakni perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi terhadap peserta

    didik level pemula di sebuah lembaga kursus. Ia menemukan bahwa pada tes awal

    nilai rata-rata peserta didik adalah 30,6% yang dikategorikan masih kurang.

    Setelah diberikan treatment dalam dua siklus, nilai rata-rata peserta didik menjadi

    71,3% dengan kategori baik. Di samping itu, ditemukan peningkatan terhadap

    kemampuan berbicara peserta didik dalam konteks percakapan sederhana. Peserta

    didik mampu menggunakan ungkapan dan kosakata tertentu secara komunikatif.

    Aspek yang dijadikan tolak ukur penilaian keterampilan berbicara peserta didik

    antara lain kosa kata, pelafalan, kefasihan, struktur, dan pemahaman. Putra (2013)

    juga menggunakan tindak tutur dalam kegiatan bermain peran. Berdasarkan jenis

    dan fungsinya, tindak tutur langsung dan fungsi direktif lebih banyak digunakan

    guru karena lebih mudah dipahami dan dapat merangsang peserta didik untuk

    berbicara.

    Relevansi penelitian Putra (2013) dengan penelitian ini terletak pada

    penggunaan teori linguistik dan penerapan teknik role play dalam pembelajaran

    keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris. Penelitian Putra (2013)

    membuktikan bahwa keterampilan berbicara peserta didik dapat ditingkatkan

    setelah diberikan treatment berulang kali melalui kegiatan bermain peran (role

    play). Akan tetapi metode penelitian yang digunakan berbeda, Putra (2013)

    menggunakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) sedangkan

    penelitian ini menggunakan model penelitian dan pengembangan (Research and

  • 15

    Development) berdasarkan exploratory mixed method. Metode pembelajaran yang

    digunakan oleh Putra (2013) adalah metode Langsung (Direct Method) sedangkan

    penelitian ini menggunakan Communicative Language Teaching (CLT).

    Perbedaan mendasar dari kedua metode itu terletak pada penggunaan bahasa

    target secara eksklusif dalam metode Langsung, sedangkan dalam metode CLT

    masih diperbolehkan menggunakan bahasa pertama peserta didik untuk

    mempermudah pemahaman. Di samping metode, teori utama yang digunakan

    juga berbeda. Teori linguistik yang mendasari penelitian Putra (2013) adalah

    teori tindak tutur, yakni lokusi, ilokusi, dan perlokusi, sedangkan penelitian ini

    berpijak pada teori-teori fungsi bahasa. Penelitian Putra (2013) hanya mengkaji

    hasil penerapan sebuah metode pembelajaran tanpa mengajukan alternatif atau

    cara baru dalam mengajarkan keterampilan berbicara. Berbeda dengan penelitian

    ini yang memunculkan inovasi dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya

    keterampilan berbicara.

    Pustaka keempat adalah disertasi Andi-Pallawa (2012) dengan judul

    “Strategi Percakapan yang Digunakan oleh Peserta didik Jurusan Bahasa Inggris

    Universitas Tadulako” yang mengidentifikasi strategi percakapan dalam bahasa

    Inggris oleh peserta didik semester empat jurusan Bahasa Inggris Universitas

    Tadulako. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif, data

    dikumpulkan melalui observasi, rekaman video, dan catatan lapangan yang

    dilaksanakan secara bersamaan sebanyak sebelas kali. Untuk melakukan

    percakapan dengan lancar, peserta didik menggunakan dua belas tipe strategi

    percakapan, yakni: (1) jeda, (2) meminta penjelasan, (3) pengalihkodean, (4)

  • 16

    menyimpulkan, (5) mengganti topik, (6) menguraikan/menggambarkan, (7)

    mengecek pemahaman, (8) mengoreksi diri sendiri, (9) memberi klarifikasi, (10)

    mengoreksi orang lain, (11) merujuk diri sendiri, dan (12) merasa heran. Selain

    itu, peserta didik juga menggunakan strategi non-verbal antara lain: (1) berjabat

    tangan, (2) angkat jempol, (3) buka telapak tangan, (4) senyum, (5) tatap mata, (6)

    angguk kepala, dan (7) geleng kepala. Hasil temuan Andi-Pallawa menunjukkan

    bahwa: (1) strategi percakapan membantu pembelajar bahasa Inggris dengan cara

    mengelisitasi fitur bahasa yang belum diketahui dari lawan bicaranya, dan (2)

    strategi percakapan adalah bagian dari penggunaan bahasa. Penggunaan strategi

    percakapan bukan menandakan kegagalan komunikasi melainkan cara mengatasi

    masalah yang muncul dalam percakapan untuk mencapai tujuan komunikasi.

    Relevansi penelitian Andi-Pallawa (2012) dengan penelitian ini terletak

    pada pemaparan sejumlah strategi percakapan, baik verbal maupun nonverbal,

    yang dapat membantu peserta didik mengatasi hambatan komunikasi. Andi-

    Pallawa hanya menggunakan teori strategi-strategi percakapan sedangkan

    penelitian ini berpijak pada teori fungsi-fungsi bahasa. Data verbal yang dikaji

    dalam penelitian Andi-Pallawa hanya terbatas pada pengklasifikasian stategi

    percakapan. Berdasarkan kajian terhadap penelitian tersebut maka penelitian ini

    dipandang penting untuk dilakukan karena akan lebih mengelaborasi aspek-aspek

    linguistik dalam pembelajaran keterampilan berbicara ditinjau dari penggunaan

    fungsi-fungsi bahasa.

    Pustaka kelima merupakan artikel dari Rahimy dan Safarpour (dalam Asian

    Journal of Social Sciences and Humanities, 2012: 50-59) dengan judul The Effect

  • 17

    of Using Role Play on Iranian EFL Learner’s Speaking Ability, yang melakukan

    penelitian terhadap sejumlah pembelajar bahasa Inggris di Iran menggunakan

    metode eksperimental. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa melalui

    penggunaan teknik role play dalam pembelajaran keterampilan berbicara, mean

    score dari experimental group mencapai 23,63 atau lebih tinggi dari mean score

    dari control group yakni 21,03. Selain itu, standar deviasi eksperimental group

    lebih rendah (1,34) dari control group (1,62) yang menandakan bahwa nilai post-

    test pada eksperimental group lebih homogen dibandingkan dengan nilai post-test

    pada control group. Penelitian Rahimy dan Safarpour (2012) menunjukkan bahwa

    penggunaan teknik role play berhasil meningkatkan keterampilan berbicara

    bahasa Inggris para pembelajar di Iran.

    Relevansi penelitian Rahimy dan Safarpour (2012) terhadap penelitian ini

    terletak pada penggunaan teknik role play dalam meningkatkan keterampilan

    berbicara. Akan tetapi, Rahimy dan Safarpour belum merinci materi atau tema apa

    yang diberikan dalam kegiatan bermain peran. Mereka hanya menyebutkan

    penggunaan teknik role play tanpa membahas tentang aspek linguistik atau non

    linguistik. Penelitian tersebut bersifat kuantitatif karena hanya memaparkan hasil-

    hasil tes berdasarkan metode statistik, sedangkan penelitian ini menggunakan

    mixed method yang berpijak pada data verbal (data linguistik) serta didukung oleh

    data kuantitatif. Penelitian ini tidak hanya mengedepankan penggunaan teknik

    role play, tetapi juga berfokus pada pembelajaran fungsi-fungsi bahasa di bidang

    tata hidangan.

  • 18

    Pustaka keenam merupakan artikel Luardini (2009) yang menggunakan

    fungsi-fungsi bahasa untuk meneliti legenda rakyat Dayak Ngaju di Kalimantan

    Tengah. Berdasarkan pendapat Halliday dan Hasan (1985), Luardini menyatakan

    bahwa membahas fungsi bahasa sama artinya dengan membahas penggunaan

    (use) bahasa karena bahasa tersebut tidak akan bermakna jika tidak digunakan

    atau difungsikan. Hasil temuannya menunjukkan bahwa fungsi bahasa pada teks

    berupa legenda rakyat Dayak Ngaju menempati kerangka fungsi bahasa yang

    dikemukakan oleh Halliday dan Hasan. Fungsi-fungsi bahasa yang ditemukan

    dalam enam teks tersebut antara lain: fungsi informatif, meliputi informasi tentang

    adat-istiadat, kesenian, kekayaan alam dan sejarah. Fungsi interaktif direalisasikan

    dalam fungsi kontrol sesama manusia dengan binatang, tumbuhan, alam sekitar

    dan dengan sesama manusia; fungsi saling mendukung dalam kehidupan sehari-

    hari dan kepercayaan masyarakat; dan ekspresi diri masyarakat Dayak Ngaju.

    Fungsi imaginatif yang dibagi dalam fungsi ritual dan puitik terdapat juga dalam

    teks legenda Dayak Ngaju. Fungsi ritual ditemukan dengan diadakannya upacara

    adat. Fungsi puitik dalam teks ditemukan dalam bentuk pengulangan klausa dan

    ungkapan dengan pararelisme semantis.

    Kajian Luardini sangat informatif dalam memaparkan keunikan budaya

    masyarakat Dayak Ngaju yang tercermin dalam teks legendanya. Hal ini

    membuktikan bahwa fungsi-fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday dan

    Hasan (1985) mampu dijadikan pisau analisis untuk membedah fungsi-fungsi

    bahasa dalam berbagai jenis teks baik lisan maupun tulisan. Kajian Luardini

    (2009) memiliki relevansi dengan penelitian ini yakni dalam penggunaan teori

  • 19

    fungsi bahasa. Akan tetapi, objek yang diteliti berbeda: Luardini mengkaji fungsi

    bahasa pada teks tertulis berupa legenda menggunakan teori Halliday (yaitu

    instrumental, regulatoris, representasional, interaksional, personal, heuristik, dan

    imajinatif) sedangkan penelitian ini mengkaji fungsi bahasa pada tuturan lisan

    dalam kegiatan pembelajaran bahasa dengan menggunakan teori fungsi bahasa

    (Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, Leech: 1974).

    Pustaka ketujuh bersumber dari Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) yang

    melakukan penelitian mengenai analisis kebutuhan bahasa Inggris terhadap para

    staf perhotelan di kota Padang. Mereka menyatakan bahwa keterampilan

    berbahasa yang paling dibutuhkan adalah keterampilan menyimak, yaitu sebanyak

    73%, dengan alasan bahwa para staf perhotelan tersebut sering mendapat

    permasalahan dengan keterampilan menyimak. Keterampilan kedua yang juga

    sangat dibutuhkan adalah keterampilan berbicara karena tuntutan pekerjaan yang

    mengharuskan mereka mampu berkomunikasi dengan baik dengan para tamu

    sedangkan keterampilan berbicara para staf perhotelan tersebut belum memadai.

    Secara umum, responden menyatakan sejumlah topik yang sangat penting untuk

    dikuasai dalam keterampilan berbicara bahasa Inggris, antara lain: memberi

    salam, menerima pesan (secara langsung dan via telepon), menjawab salam,

    meminta maaf, memberi petunjuk tentang arah, memberi informasi tentang

    makanan, menjelaskan menu makanan, menawarkan makanan, dan menjelaskan

    lokasi (tempat). Berdasarkan analisis silabus dan analisis cakupan materi ajar di

    jurusan tata boga – PKK UNP dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa

    yang difokuskan adalah keterampilan berbicara. Topik-topik yang diajarkan dalam

  • 20

    keterampilan berbicara antara lain: Restaurant and their services, On the

    restaurant table, Reservation, Special wishes and some complications, Greetings,

    Receiving customers, Taking orders, Explaining dishes, During the meal, Later

    stages of the meal, Drinks, Talking about money, Complaints and other problems,

    dan Giving direction. Dari hasil analisis keselarasan materi ajar dengan kebutuhan

    bahasa Inggris di dunia perhotelan, Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) menemukan

    bahwa sebagian besar materi ajar sudah selaras dan tersedia di jurusan Tata Boga

    – PKK Universitas Negeri Padang. Hanya materi untuk menerima pesan, baik

    secara langsung maupun via telepon, belum tersedia sehingga masih diperlukan

    pengembangan dan penyempurnaan materi ajar di bidang tersebut.

    Relevansi penelitian Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) terhadap penelitian

    ini terletak pada analisis kebutuhan bahasa Inggris di bidang perhotelan.

    Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) telah berkontribusi dengan cara memaparkan

    learning needs para staf perhotelan, khususnya di bidang Tata Boga. Mereka

    menjelaskan secara terperinci keterampilan berbahasa Inggris yang dibutuhkan

    oleh para staf perhotelan berdasarkan kuesioner yang disebarkan. Akan tetapi,

    Ratmanida dan Al-Hafizh belum memberikan paparan mengenai materi yang

    diajarkan demi memenuhi learning needs tersebut. Penelitian ini menindaklanjuti

    hasil penelitian Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) dengan merumuskan desain

    pembelajaran beserta materi ajarnya berdasarkan fungsi-fungsi bahasa yang

    dibutuhkan khususnya di bidang tata hidangan untuk meningkatkan keterampilan

    berbicara.

  • 21

    Ketujuh pustaka yang telah dikaji di atas memiliki relevansi dalam

    penelitian ini. Akan tetapi, belum banyak ditemukan studi yang menggabungkan

    praktik pembelajaran bahasa dengan teori linguistik. Oleh karena itu, penelitian

    ini sangatlah penting untuk dilakukan untuk melengkapi kekurangan dan

    kelemahan studi-studi terdahulu yakni dengan menggabungkan ilmu linguistik

    (teori tentang fungsi bahasa) dan pembelajaran bahasa (metode pembelajaran

    berdasarkan teori fungsi bahasa) yang disesuaikan dengan learning needs peserta

    didik di jurusan Tata Hidangan.

    2.2 Konsep

    Konsep adalah penjelasan tentang terminologi yang mengacu pada judul

    penelitian, dan memberi batasan istilah yang sering digunakan dalam penelitian.

    Dalam penelitian ini, dibicarakan beberapa konsep yang relevan, antara lain: (1)

    fungsi-fungsi bahasa, (2) metode pembelajaran, (3) keterampilan berbicara, dan

    (4) Tata Hidangan. Berikut diuraikan konsep-konsep tersebut secara rinci.

    2.2.1 Fungsi-Fungsi Bahasa

    Halliday dan Hasan (1985: 17) mendefinisikan fungsi bahasa sebagai

    penggunaan bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta membaca dan

    mendengar untuk mencapai sasaran dan tujuan. Kata ‘fungsi’ (function) dapat

    dipandang sebagai padanan kata ‘penggunaan’ (use) sehingga fungsi bahasa tidak

    dapat dipisahkan dari konteks situasi dan konteks budaya yang melatarbelakangi

    bahasa itu. Suatu bahasa harus digunakan atau ‘difungsikan’ agar menjadi

    bermakna (Halliday dan Hasan, 1985: 17). Sementara itu, Cook (1994)

  • 22

    mendefinisikan ‘fungsi’ dari sudut pandang pragmatik yang cenderung lebih

    berfokus pada tujuan pembicara daripada efek yang ditimbulkan pada pendengar.

    Menurut Cook (1994: 37) “fungsi’ melibatkan dua hal yakni: tujuan dari bahasa

    secara umum (disebut sebagai fungsi makro), dan tindakan yang dilakukan oleh

    ujaran secara khusus (disebut sebagai fungsi mikro). Misalnya ‘memesan’

    termasuk dalam fungsi mikro, sedangkan ‘direktif’ dikategorikan sebagai fungsi

    makro (Cook, 1994: 37). Brown (2007) menambahkan bahwa fungsi bahasa pada

    dasarnya adalah tujuan yang dicapai dengan bahasa, misalnya menyatakan,

    meminta, menanggapi, memberi salam, mengucapkan kata perpisahan, dan

    sebagainya (Brown, 2007: 245).

    Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa

    adalah alat komunikasi yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, dan

    mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu, fungsi bahasa didefinisikan sebagai

    tujuan komunikatif yang ingin dicapai dalam penggunaan bahasa. Fungsi bahasa

    pada penelitian ini dikategorikan sebagai fungsi makro dan fungsi mikro. Fungsi

    makro mengacu pada penggunaan tuturan untuk mencapai tujuan komunikasi

    yang diklasifikasikan secara umum misalnya, fungsi interaktif, fungsi informatif,

    dan fungsi direktif. Fungsi mikro merupakan tindakan yang dilakukan secara

    khusus oleh suatu ujaran misalnya, untuk berbasa-basi, menyatakan, menyuruh,

    dan sebagainya.

    Realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan tampak pada

    penggunaan ujaran atau ekspresi bahasa oleh staf restoran dan tamu untuk

  • 23

    mencapai tujuan komunikasi, khususnya mengenai layanan makanan dan

    minuman di restoran.

    2.2.2 Metode Pembelajaran

    Pendekatan, metode, dan teknik merupakan tiga terminologi yang kerap

    digunakan dalam bidang pengajaran bahasa. Pendekatan adalah seperangkat

    asumsi tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa sebagai sumber dari

    prinsip-prinsip pengajaran bahasa (Richards, 1986: 15). Metode merupakan

    keseluruhan rencana penyajian materi tentang keterampilan tertentu dan materi

    yang diajarkan dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu

    (Richards, 1986: 15). Dengan kata lain, metode merupakan cara melakukan suatu

    pekerjaan sedangkan teknik adalah penjabaran praktis dari metode (Richards,

    1986: 15). Harmer (2001:10) mendefinisikan dengan jelas istilah pendekatan,

    metode dan teknik yakni: pendekatan mengacu pada hakikat bahasa dan

    pembelajaran bahasa yang menjadi sumber praktis dan prinsip-prinsip dalam

    pengajaran bahasa; sedangkan metode adalah realisasi praktis dari sebuah

    pendekatan yang meliputi berbagai prosedur serta teknik; dan prosedur adalah

    urutan yang teratur dari teknik yang digunakan.

    Metode pembelajaran dalam penelitian ini didefinisikan, sesuai dengan

    pendapat Richards (1986), sebagai keseluruhan rencana penyajian materi untuk

    mengajarkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris berdasarkan

    pendekatan Communicative Language Teaching (CLT). Metode pembelajaran

    yang dirancang meliputi tujuan, silabus, jenis kegiatan pembelajaran, peran

  • 24

    peserta didik dan guru, materi ajar, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran

    keterampilan berbicara menggunakan realisasi fungsi-fungsi bahasa.

    2.2.3 Keterampilan Berbicara

    Lee (2003:51) menyatakan keterampilan berbicara adalah kemampuan

    mengekspresikan ide, berupa opini, harapan, permintaan, dan sebagainya secara

    lisan. Saville-Troike (2009: 169) berpendapat bahwa keterampilan berbicara

    meliputi segala hal yang perlu diketahui pembicara untuk dapat berkomunikasi

    dengan baik dalam suatu komunitas tertentu. Tarigan (1981) mendefinisikan

    keterampilan berbicara sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi

    dalam bentuk kata-kata untuk mengekspresikan, menyampaikan pikiran atau

    gagasan, dan perasaan. Lebih lanjut, disampaikan oleh Tarigan (1981: 15) bahwa

    berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Dengan

    demikian, dapat dikatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan

    menyampaikan pesan berupa gagasan, permintaan, perasaan dan sebagainya yang

    menitikberatkan pada kemampuan berkomunikasi secara lisan yang melibatkan

    faktor verbal dan nonverbal.

    2.2.4 Tata Hidangan

    Istilah tata hidangan berarti cara menyusun serta memperindah makanan

    dan minuman yang disajikan kepada tamu atau konsumen di restoran. Restoran

    adalah suatu tempat yang ruangannya didesain khusus dan dikelola secara

    komersial untuk menyediakan jasa pelayanan dan penyajian makanan dan

    minuman yang ditujukan untuk masyarakat umum (Siegel, 2000: 6). Pramusaji

  • 25

    adalah karyawan restoran yang bertugas dan bertanggung jawab melayani

    kebutuhan makanan dan minuman bagi para tamu secara profesional. Dapat

    dikatakan pramusaji merupakan ujung tombak usaha karena sangat berperan

    dalam memberikan kepuasan tamu, yang secara tidak langsung akan memberikan

    keuntungan bagi restoran.

    Tujuan utama dari tata hidangan adalah menjual makanan dan minuman

    sebanyak-banyaknya dengan harga yang telah ditentukan sesuai standar,

    memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada tamu, hingga mendapatkan

    keuntungan sebesar-besarnya dengan kesinambungan usaha. Penelitian ini

    berfokus pada penggunaan bahasa Inggris di bidang tata hidangan dengan

    pertimbangan bahwa para pramusaji (waiter) bertugas melayani tamu untuk

    makan dan minum sehingga memiliki lebih banyak kesempatan untuk

    berkomunikasi langsung dengan para tamu menggunakan bahasa Inggris.

    Terdapat dua istilah yang paling sering digunakan dalam bidang tata

    hidangan, yaitu: service dan hospitality. Service atau pelayanan adalah tindakan

    untuk memenuhi keinginan, kebutuhan, dan harapan para tamu atau konsumen.

    Restoran menyediakan pelayanan untuk memenuhi ekspektasi setiap tamu yang

    datang, misalnya, meja dan peralatan makan yang bersih, serta makanan yang

    sehat (Dahmer dan Kahl: 2009: 2). Hospitality atau keramahtamahan berarti

    menciptakan suasana yang menyenangkan selama tamu berada di restoran,

    misalnya, menyapa tamu dengan ramah, tersenyum, mengingat nama tamu,

    mengetahui makanan yang dipesan, dan mengantisipasi kebutuhan tamu (Dahmer

    dan Kahl: 2009: 2). Kedua hal tersebut, pelayanan dan keramahtamahan,

  • 26

    merupakan unsur terpenting dalam bisnis restoran yang mampu membuat tamu

    ingin datang kembali, serta mampu meningkatkan penjualan di restoran.

    Dalam penyajian makanan dan minuman terdapat tiga tahapan yang harus

    diperhatikan (Siegel, 2000: 10). Tiga tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut.

    1) Persiapan (Mise en place): Persiapan yang baik (misalnya peralatan makan,

    posisi meja dan kursi, dan sebagainya) tentunya akan berdampak pada

    penyajian yang baik pula.

    2) Pelayanan terhadap tamu: Pramusaji harus senantiasa berkonsentrasi dalam

    melayani setiap tamu karena kepuasan tamu terletak pada pelayanan yang

    maksimal.

    3) Penjualan: Pelayanan yang memuaskan terhadap tamu juga merupakan sarana

    penjualan produk restoran, yakni makanan dan minuman yang ditawarkan,

    sehingga dapat meningkatkan pendapatan atas penjualan. Oleh karena itu,

    pengetahuan yang baik mengenai penjualan juga merupakan hal yang penting

    bagi seorang pramusaji.

    Ketika seorang pramusaji melayani tamu di restoran, ia harus mengikuti

    beberapa prosedur kerja yang disebut sebagai sequence of service. Secara umum,

    prosedur pelayanan tamu di restoran dapat diuraikan sebagai berikut (Siegel,

    2010: 15).

    (1) Welcoming guests (menyambut tamu)

    (2) Seating the guests (mengarahkan tamu ke mejanya)

    (3) Checking comfort and seating arrangement (memastikan kenyamanan

    tamu)

  • 27

    (4) Serving water (menyajikan air minum)

    (5) Presenting menu (memberikan menu)

    (6) Taking order (mencatat pesanan makanan dan minuman)

    (7) Recommending (merekomendasikan produk)

    (8) Repeating orders (mengulangi pesanan)

    (9) Presenting food and drinks (menghidangkan makanan dan minuman)

    (10) Checking guests’ satisfaction (memastikan kepuasan tamu)

    (11) Offering dessert (menawarkan hidangan penutup)

    (12) Clearing and crumbing (membersihkan meja dari piring kotor)

    (13) Presenting the bill (memberikan tagihan)

    (14) Thanking the guests and farewell (mengucapkan terima kasih dan salam

    penutup)

    Prosedur kerja tersebut menjadi kerangka materi pembelajaran yang

    membingkai penggunaan fungsi-fungsi bahasa di bidang restoran. Penelitian ini

    mengembangkan sebuah metode pembelajaran yang berdasarkan pada ekspresi

    bahasa yang digunakan dalam setiap tahapan sequence of service. Oleh karena itu,

    pemahaman mengenai sequence of service sangat penting bagi peserta didik agar

    dapat memahami materi tentang fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

    2.3 Landasan Teori

    Teori utama yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini

    bersumber dari sudut pandang linguistik dan pembelajaran bahasa. Mengingat

    fungsi bahasa merupakan penggunaan bahasa baik lisan maupun tulisan untuk

  • 28

    mencapai tujuan pembicaraan, maka teori-teori mengenai fungsi bahasa dari para

    ahli (Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, dan Leech: 1974) dirangkum

    dalam penelitian ini dan digunakan sebagai teori utama untuk mengkaji realisasi

    fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan. Teori fungsi bahasa, ditunjang oleh

    Etnography of SPEAKING (Hymes, 1974) sebagai teori pendukung dalam

    menganalisis data lisan, diaplikasikan untuk menjawab permasalahan pertama

    mengenai fungsi-fungsi bahasa yang digunakan di bidang tata hidangan.

    Di sisi lain, pembelajaran bahasa merupakan usaha memperoleh

    keterampilan berkomunikasi dengan penekanan pada pemerolehan keterampilan

    berbicara. Metode pembelajaran, oleh Richards dan Rodgers (1986:20),

    dijabarkan secara holistik yang meliputi tujuan, silabus, jenis kegiatan belajar

    mengajar, peran peserta didik, peran guru, dan peran materi pembelajaran. Teori

    tersebut digunakan sebagai landasan teoretis untuk menganalisis proses dan hasil

    pembelajaran serta sebagai acuan untuk menyusun sebuah metode pembelajaran

    yang komunikatif. Teori tersebut juga digunakan sebagai acuan dalam mendesain

    dan mengembangkan metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan

    keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris khususnya di bidang tata hidangan,

    sesuai dengan rumusan permasalahan kedua dalam penelitian ini.

    Dalam setiap penelitian pengembangan (R&D), produk yang dihasilkan harus

    diujicoba terlebih dahulu. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang dirancang

    dalam penelitian ini juga diuji coba untuk mengetahui efektivitasnya. Hal ini

    sesuai dengan rumusan masalah ketiga, yaitu untuk mengetahui efektivitas metode

    pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa

  • 29

    Inggris, khususnya di bidang tata hidangan. Sugiyono (2015: 415-425)

    menyebutkan tiga cara untuk menguji efektivitas sebuah metode pembelajaran.

    Pertama, pengujian dapat dilakukan dengan eksperimen yaitu dengan cara

    membandingkan keadaan sebelum dan sesudah memakai metode pembelajaran

    baru, atau dengan membandingkan kelompok eksperimen dengan kelompok

    kontrol yang tetap menggunakan metode mengajar lama. Kedua, pengujian

    dilakukan dengan t-test berkorelasi menggunakan program SPSS, dan ketiga

    adalah dengan uji hipotesis.

    Ketiga teori di atas memiliki peranan penting dalam mengkaji tiga

    permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut dibahas satu per satu

    secara rinci sebagai berikut.

    2.3.1 Fungsi-Fungsi Bahasa

    Leech (1974: 47-50) membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi lima,

    yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetik, dan fatik. Kelima fungsi

    bahasa tersebut dapat dikorelasikan dengan lima butir hal yang terdapat di setiap

    situasi komunikasi, yaitu 1) pokok persoalan, 2) sumber (yaitu penutur), 3)

    penerima (yaitu pendengar), 4) sarana komunikasi di antara penutur dan penerima,

    dan 5) pesan dengan bahasa itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan kelima

    unsur tersebut secara rinci.

    1) Fungsi informasional adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi.

    Makna konseptual merupakan hal utama dalam penggunaan bahasa yang

    informasional. Fungsi informasional berorientasi pada pokok persoalan.

  • 30

    2) Fungsi ekspresif, yaitu digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap

    penuturnya. Dalam fungsi ini kata-kata sumpah serapah dan kata-kata seru

    merupakan contoh yang paling jelas. Makna afektif, yaitu apa yang

    dikomunikasikan oleh penutur mengenai sikapnya, merupakan yang paling

    penting. Dapat dikatakan bahwa fungsi ekspresif berorientasi pada penutur.

    3) Fungsi direktif digunakan untuk mempengaruhi perilaku dan sikap orang lain.

    Contohnya adalah perintah dan permohonan. Fungsi direktif memberi

    penekanan atau berorientasi lebih terhadap pendengar, bukan pada penutur.

    4) Fungsi estetik, yaitu penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri tanpa

    maksud yang tersembunyi, contohnya pada puisi. Fungsi estetik berorientasi

    pada pesan yang terkandung dalam bahasa. Dengan demikian, dikatakan bahwa

    fungsi ini berhubungan baik dengan makna konseptual maupun makna afektif.

    5) Fungsi fatik, adalah fungsi bahasa yang berorientasi pada sarana komunikasi

    dengan tujuan menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka dan untuk menjaga

    hubungan baik dalam kelompok sosial.

    Kelima kategori yang dikemukakan oleh Leech (1974) memandang fungsi

    bahasa dari segi komunikatif yang searah dengan penelitian ini. Akan tetapi, teori

    tersebut tidak mampu menjangkau semua fungsi bahasa yang terdapat dalam

    korpus data penelitian ini karena tidak tersedianya penjelasan rinci mengenai

    pengklasifikasian fungsi mikro – tidak seperti Searle (1969) yang mencetuskan

    teori tindak tutur lengkap dengan rincian subkategorinya. Selain itu, fungsi

    estetika yang bersifat puitis dianggap kurang sesuai dengan bidang kajian

    penelitian ini yang mengkhusus di bidang tata hidangan. Namun, teori fungsi

  • 31

    bahasa Leech (1974) ini tetap layak dijadikan acuan untuk mengembangkan teori

    fungsi bahasa dalam penelitian ini. Empat dari lima fungsi bahasa yang

    dikemukakan oleh Leech (1974) sangat pantas untuk dijadikan pisau analisis

    untuk membedah realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan, yakni

    fungsi informasional, direktif, ekspresif, dan fatik, sedangkan fungsi estetik (yang

    cenderung bersifat puitis) tidak sesuai untuk diterapkan dalam ragam tutur di

    restoran yang bersifat informatif.

    Halliday (1973: 22-26) mendefinisikan fungsi bahasa sebagai penggunaan

    bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta membaca dan mendengar untuk

    mencapai sasaran dan tujuan. Halliday kemudian membagi fungsi bahasa menjadi

    tujuh kategori yang diuraikan sebagai berikut (1973: 22-26).

    1) Instrumental, yaitu fungsi bahasa untuk memanipulasi lingkungan, yakni

    menciptakan situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya kalimat “Pengadilan ini

    menyatakan Anda bersalah” memiliki daya perlokusioner spesifik yakni

    menimbulkan sebuah kondisi tertentu.

    2) Regulatoris, yaitu fungsi bahasa dalam mengontrol keadaan atau peristiwa.

    Misalnya kalimat “Dengan kelakuan baik, Anda dapat memperoleh

    pembebasan bersyarat dalam sepuluh bulan.” lebih memiliki fungsi regulatoris.

    Aturan-aturan dalam persetujuan, kontrol perilaku, penetapan hukum dan

    kaidah, merupakan ciri-ciri fungsi regulatoris bahasa.

    3) Representasional, yaitu fungsi bahasa untuk membuat pernyataan,

    menyampaikan fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau menghadirkan

    kembali realitas sebagaimana orang melihatnya. Kalimat-kalimat seperti

  • 32

    “Matahari panas” dan “Presiden berpidato tadi malam” menjalankan fungsi

    representasional.

    4) Interaksional, yaitu fungsi bahasa yang mengacu pada fungsinya sebagai alat

    berinteraksi. Fungsi interaksional dapat dilaksanakan seseorang dengan baik

    jika dia mengetahui dan memahami nilai-nilai atau karakteristik budaya yang

    berlaku dalam bahasa tersebut. Komunikasi interaksional menghendaki

    pemahaman tentang slang, jargon, gurauan, folklor, norma budaya, sopan

    santun, dan aspek-aspek lain bagi pergaulan sosial.

    5) Personal, yaitu fungsi bahasa yang menyiratkan makna bahwa bahasa

    merupakan alat untuk mengidentifikasikan diri. Seorang penutur dapat

    mengungkapkan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi naluriah melalui

    penggunaan fungsi personal bahasa. Dalam hal ini, aspek bahasa, kognisi,

    afeksi, dan budaya semuanya berinteraksi.

    6) Heuristik, yaitu fungsi bahasa yang dimanfaatkan untuk memperoleh

    pengetahuan. Fungsi heuristik sering disampaikan dalam bentuk pertanyaan

    yang mengundang jawaban. Anak-anak biasanya menggunakan fungsi

    heuristik dalam pertanyaan “mengapa” tentang dunia di sekitar mereka.

    7) Imajinatif, yaitu fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk berimajinasi atau

    menciptakan ide-ide. Mendongeng, bergurau, atau menulis novel

    membutuhkan penggunaan fungsi imajinatif. Puisi, permainan kata, dan

    contoh-contoh lain permainan bahasa juga termasuk ke dalam fungsi imajinatif.

  • 33

    Teori Halliday ini lebih tepat jika digunakan untuk mengkaji ragam bahasa

    tulisan karena bersifat terlalu formal, misalnya dalam koran, puisi, dongeng, atau

    cerita rakyat (seperti dalam disertasi Luardini: 2009). Terkecuali untuk fungsi

    keempat yaitu fungsi interaksional yang bertujuan untuk berinteraksi. Fungsi ini

    mengharuskan seorang penutur suatu bahasa untuk memahami nilai-nilai budaya

    meliputi kesantunan yang berlaku dalam bahasa tersebut. Fungsi keempat dari

    Halliday ini dapat dijadikan acuan dalam merumuskan teori fungsi bahasa yang

    sesuai dengan arah penelitian ini.

    Menurut Bühler (1965) bahasa dapat memenuhi tiga fungsi yaitu: fungsi

    representasional, fungsi konatif, dan fungsi ekspresif. Ketiga fungsi bahasa

    tersebut dipaparkan sebagai berikut.

    1) Fungsi representasional dilakukan oleh tanda-tanda bahasa (teks, ujaran,

    kalimat, dan lain-lain) ketika tanda-tanda tersebut mengacu pada objek dan

    fakta di dunia nyata. Tanda-tanda tersebut merepresentasikan benda dan fakta

    di dunia nyata.

    2) Fungsi konatif akan terpenuhi ketika teks meminta pembaca atau pendengar

    untuk melakukan sesuatu, baik secara mental, emosi, atau fisik, dan

    mempengaruhi perilaku mereka.

    3) Fungsi ekspresif akan tercapai ketika teks mampu mengungkapkan keadaan

    batin penulis atau pembicara.

    Ketiga rumusan fungsi bahasa dari Bühler ini hanya mampu menjangkau

    sedikit dari kajian fungsi bahasa di bidang tata hidangan. Fungsi representasional

    menurut Bühler identik dengan teori Halliday yaitu merepresentasikan keadaan di

  • 34

    dunia nyata, sedangkan fungsi konatif dapat disejajarkan dengan fungsi direktif

    (Leech, 1974) dan fungsi ekspresif juga serupa dengan teori Leech (1974). Ketiga

    fungsi tersebut dapat dijadikan acuan dalam pengkajian fungsi-fungsi bahasa

    dalam penelitian ini, hanya masih harus dikembangkan sehingga dapat mencakup

    seluruh fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

    Jacobson (1960) membagi fungsi bahasa menjadi enam. Keenam fungsi

    tersebut dapat dicermati di bawah ini.

    1) Fungsi emotif, digunakan dalam perasaan manusia sebagai alat untuk

    mengekspresikan diri.

    2) Fungsi konatif, digunakan untuk memotivasi orang lain agar bersikap atau

    melakukan sesuatu.

    3) Fungsi referensial, digunakan untuk membicarakan suatu permasalahan dengan

    topik tertentu.

    4) Fungsi puitik, digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat tertentu.

    5) Fungsi fatik, digunakan untuk saling menyapa sekadar untuk mengadakan

    kontak dengan orang lain.

    6) Fungsi metalingual, digunakan untuk membahas masalah bahasa dengan

    bahasa tertentu.

    Teori Jacobson ini memiliki banyak persamaan dengan teori-teori fungsi

    bahasa lainnya: fungsi emotif dapat disejajarkan dengan fungsi ekspresif, fungsi

    konatif sama dengan fungsi direktif, fungsi referensial setara dengan fungsi

    representasional, dan fungsi fatik sama dengan fungsi interaktif. Keempat fungsi

    tersebut dapat disesuaikan dengan realisasi fungsi bahasa di bidang tata hidangan,

  • 35

    tetapi masih perlu dikembangkan lagi. Misalnya, fungsi puitik dan fungsi

    metalingual lebih bersifat kebahasaan daripada bersifat praktis, dan kurang sesuai

    dengan arah penelitian ini.

    Empat teori fungsi bahasa tersebut di atas dapat dirangkum sebagai berikut.

    Tabel 2.1

    Taksonomi Fungsi Bahasa

    Cook (1994: 37) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi fungsi makro

    dan fungsi mikro bahasa. Dengan demikian fungsi interaktif, informatif, direktif,

    dan sebagainya disebut sebagai fungsi makro, sedangkan sub fungsi seperti

    ‘memperkenalkan’, ‘menyapa’, ‘memuji’, ‘menyuruh’, dan sebagainya

    diklasifikasikan ke dalam fungsi mikro. Realisasi dari fungsi-fungsi mikro inilah

    yang menjadi landasan dari desain metode yang dikembangkan dalam

    pembelajaran keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris.

    Berdasarkan data verbal yang diperoleh dari percakapan antara waiter dan

    tamu di restoran, tampaknya teori-teori fungsi bahasa tersebut tidak sepenuhnya

    dapat diterapkan secara langsung dalam analisis fungsi bahasa pada bidang tata

    hidangan. Oleh karena itu teori-teori fungsi bahasa tersebut perlu dirumuskan dan

    Leech (1974)

    Halliday (1973)

    Bühler (1965)

    Jacobson (1960)

    Informasional

    Direktif

    Fatik

    Ekspresif

    Estetika

    Representasional

    Instrumental

    Interaksional

    Personal

    Regulatoris

    Imajinatif

    Heuristik

    Representasional

    Konatif

    Ekspresif

    Referensial

    Konatif

    Fatik

    Emotif

    Poetik

    Metalingual

  • 36

    dielaborasi ulang sehingga dapat diaplikasikan sebagai landasan teoretis dalam

    kajian mengenai penggunaan fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

    2.3.2 Konteks Situasi

    Untuk menganalisis fungsi dan makna sebuah teks, Halliday dan Hasan

    (1985) menggunakan tiga unsur konteks situasi, yakni medan wacana, pelibat

    wacana, dan sarana wacana. Medan wacana adalah perihal sesuatu, pelibat wacana

    adalah hubungan antarindividu yang terlibat, sedangkan sarana wacana adalah

    bagian atau fungsi tertentu yang diperankan bahasa dalam proses interaktif (1985:

    33). Sebuah kalimat dalam teks bisa bersifat multi fungsi. Misalnya suatu bagian

    menunjuk pada satu fungsi sedangkan bagian lainnya menunjukkan fungsi yang

    lain. Oleh karena itu, analisis teks harus dilakukan berulang-ulang dari sudut

    pandang yang berbeda. Namun, makna yang terjalin dalam sebuah teks tidak

    dapat dilihat secara terpisah karena setiap bagian yang berbeda tersebut memiliki

    kontribusi terhadap keutuhan makna secara keseluruhan (Halliday dan Hasan,

    1985).

    Secara kontekstual, metafungsi bahasa menurut Halliday meliputi fungsi

    ideasional yang mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan

    dengan interpretasi dan representasi pengalaman, fungsi interpersonal

    mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur

    dengan petutur, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan

    dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Halliday, 1973). ketiga fungsi bahasa

    tersebut merupakan realisasi bentuk fungsi bahasa dalam penggunaannya.

  • 37

    1) Fungsi ideasional

    Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa sebagai representasi pengalaman yang

    digunakan untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar manusia.

    Unsur pokok dalam fungsi ideasional adalah proses kejadian (segala sesuatu

    yang terjadi), partisipan (orang, tempat atau benda yang terlibat di dalam

    proses), dan suasana kejadian (tempat, waktu, cara, penyebab dan sebagainya)

    yang terkait dengan proses tersebut.

    2) Fungsi interpersonal

    Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap

    pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi ini digunakan oleh partisipan

    dalam bertukar pengalaman sehingga terjalin hubungan sosial di antara

    mereka.

    3) Fungsi tekstual

    Fungsi tekstual adalah interpretasi bahasa sebagai pembentuk teks dalam

    bahasa.

    Ketiga unsur dalam konteks situasi yang dikemukakan oleh Halliday dan

    Hasan (1985) dapat dipadukan dengan teori Hymes (1974), yang juga

    mengembangkan sebuah teori tentang etnography of SPEAKING berdasarkan

    konteks situasional dan kultural. Menurut Hymes (1974: 55-60), terdapat

    sejumlah speech components yang harus diperhatikan dalam kegiatan

    berkomunikasi seperti berikut ini.

  • 38

    1. Setting, yakni waktu dan tempat di mana peristiwa tutur terjadi dan Scene yaitu

    latar psikologis atau kultural yang meliputi tingkat formalitas dan keseriusan

    (Hymes, 1974: 55-56).

    2. Participant, yakni siapa yang berbicara (penutur) dan siapa yang menjadi

    pendengar (mitra tutur) (Hymes, 1974: 56).

    3. Ends, terdiri atas maksud, tujuan, dan hasil yang diharapkan dalam suatu

    pembicaraan (Hymes, 1974: 56).

    4. Act Sequence, yakni bentuk (form) dan urutan (order) peristiwa tutur. Alur

    pembicaraan akan berkembang sesuai dengan urutan yang disusun oleh penutur

    (Hymes, 1974: 57).

    5. Key, adalah yang membangun tone, manner, atau spirit dalam pembicaraan

    (Hymes, 1974: 57).

    6. Instrumentalities, yaitu bentuk (form) dan gaya (style) bahasa, misalnya kasual

    atau formal (Hymes, 1974: 58-60).

    7. Norms, meliputi aturan sosial yang berlaku dalam peristiwa tutur yang

    mengatur aksi dan reaksi partisipan (Hymes, 1974: 60).

    8. Genre, adalah jenis tindak tutur misalnya narasi, komentar, eksklamasi, dan

    sebagainya.

    Komponen-komponen dari kedua teori tersebut memiliki sejumlah

    persamaan. Medan wacana dapat disejajarkan dengan setting yang sama-sama

    mengacu pada latar belakang tempat dan waktu peristiwa tutur berlangsung.

    Pelibat wacana sama dengan participant yaitu pihak pembicara dan pendengar

    dalam sebuah percakapan, sedangkan sarana wacana sudah mencakup seluruh

  • 39

    komponen yang dirinci oleh Hymes sebagai ends, acts sequence, key,

    instrumentalities, norms, dan genre.

    Dalam penelitian ini, komponen-komponen untuk mengkaji konteks situasi

    diformulasi ulang menjadi situasi, partisipan, dan fungsi, sebagaimana yang

    diuraikan berikut ini.

    1. Situasi adalah deskripsi mengenai apa yang terjadi, apa yang dibicarakan, di

    mana, kapan, dan bagaimana suatu tuturan dilakukan.

    2. Partisipan mengacu pada individu yang terlibat dalam sebuah tuturan, serta

    hubungan interpersona antara pembicara dan pendengarnya yang tercermin

    dalam pola-pola tata bahasa yang digunakan.

    3. Fungsi bahasa yang bertujuan untuk menjangkau maksud dan tujuan yang

    diupayakan dalam sebuah tuturan.

    Komponen-komponen dalam teori konteks situasi tersebut, baik dari

    Halliday dan Hasan (1985) maupun dari Hymes (1974), menjadi teori yang

    mendukung pembentukan desain metode pembelajaran yang berpijak pada fungsi-

    fungsi bahasa. Aplikasi teori-teori tersebut dalam desain metode pembelajaran

    yang diajukan dalam penelitian ini dipaparkan lebih lanjut pada bab V.

    2.3.3 Metode Pembelajaran Bahasa

    Anthony (1963: 63-67) memberikan definisi mengenai pendekatan, metode,

    dan teknik. Sebuah pendekatan mendeskripsikan hakikat kegiatan pembelajaran

    yang dilakukan. Metode adalah keseluruhan rencana dan penyajian materi secara

    berurutan, tidak ada yang bertentangan, dan semuanya berdasarkan atas

  • 40

    pendekatan yang dipilih. Menurut Anthony (1963), pendekatan bersifat

    aksiomatis sedangkan metode bersifat prosedural. Sebuah pendekatan dapat terdiri

    atas beberapa metode. Teknik bersifat implementasional mengenai hal yang

    sesungguhnya terjadi di kelas. Teknik didefinisikan sebagai sebuah strategi

    khusus yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teknik harus

    konsisten dengan metode dan sejalan dengan pendekatan.

    Sebuah metode pembelajaran adalah realisasi praktis dari suatu pendekatan,

    dan sebuah metode setidaknya meliputi prosedur dan teknik sebagai standar

    minimum (Harmer, 2001: 78). Setiap metode pembelajaran hendaknya

    menampilkan latar belakang dan tujuan metode tersebut dilengkapi dengan sintak

    (prosedur) pelaksanaan, peran guru, dan pengaruh metode terhadap keberhasilan

    pembelajaran (Huda, 2013). Di sisi lain, Richards dan Rodgers (1986: 16)

    menempatkan pendekatan dan metode pada tahap desain, yaitu tujuan

    pembelajaran, silabus, dan topik ditentukan terlebih dahulu serta peran guru dan

    peserta didik, dan materi ajar dispesifikasi. Tahap implementasi, yang oleh

    Anthony (1963) disebut sebagai teknik, kemudian diberi istilah prosedur. Oleh

    karena itu, metode, secara teoretis, berhubungan dengan pendekatan, secara

    susunan ditentukan oleh desain, dan secara praktis terwujudkan dalam prosedur.

    Dari keempat pendapat tentang metode pembelajaran di atas, penelitian ini

    cenderung mengarah pada pendekatan metode yang lebih holistik seperti yang

    dikemukakan oleh Richards dan Rodgers (1986).

  • 41

    Teori Pembelajaran Bahasa

    Sebelum metode pembelajaran dibahas lebih lanjut, terlebih dahulu akan

    dibahas berbagai pendekatan yang mengilhami lahirnya berbagai metode dalam

    pembelajaran bahasa. Dalam setiap pendekatan terdapat teori tentang

    pembelajaran bahasa (theory of language learning) dan teori tentang bahasa

    (theory of language). Berbagai kajian teoretis yang menjadi landasan dalam

    pembelajaran bahasa antara lain dari sudut pandang behaviorisme, naturalisme,

    kognitivisme, dan fungsionalisme. Berikut ini adalah penjelasan dari teori-teori

    tersebut.

    1) Behaviorisme

    Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi

    antara stimulus-respons (Skinner, 1976: 23). Teori ini mementingkan input

    yang berupa stimulus (berbagai cara atau metode yang diberikan guru untuk

    membantu peserta didik belajar) dan output yang berupa respons (reaksi atau

    tanggapan peserta didik terhadap stimulus dari guru tersebut). Faktor lain yang

    juga dianggap penting oleh aliran behavior adalah faktor penguatan

    (reinforcement). Penguatan (baik yang positif maupun negatif) adalah apa saja

    yang dapat memperkuat timbulnya respons. Hubungan antara stimulus dan

    respon dipengaruhi oleh lingkungan yang kemudian menimbulkan perubahan

    tingkah laku yang dikenal dengan konsep proses penguatan yaitu memberi

    penghargaan pada perilaku yang diinginkan (positive reinforcement) dan tidak

    memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat (negative

    reinforcement) (Skinner, 1976: 23) Sementara itu, Thorndike menyatakan

  • 42

    bahwa perilaku belajar manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Rangsangan dari

    lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbicara peserta didik.

    Teori belajar behaviorisme ini berkembang menjadi aliran struktural yang

    kemudian melahirkan Direct Method, serta metode Audiolingual dengan

    penekanan pada drilling dan mimikri (Richards dan Rodgers,1986: 17). Aliran

    ini berpendapat bahwa faktor eksternal lebih mendominasi dalam pembelajaran

    bahasa. Kelemahan dari metode-metode tersebut adalah terlalu menekankan

    pentingnya struktur gramatika sehingga mengesampingkan kompetensi

    komunikatif peserta didik. Latihan dalam pembelajaran bahasa dengan cara

    menghapalkan sebagian ungkapan dan kosakata, menghapalkan percakapan,

    serta melafalkan kata-kata dengan benar tidak mampu membantu peserta didik

    meningkatkan keterampilan mereka dalam menggunakan bahasa target dalam

    kehidupan sehari-hari.

    2) Naturalisme

    Pendekatan naturalisme berdasarkan pada proses dan kondisi pembelajaran.

    Pandangan naturalisme dimplementasikan dalam Metode Councelling-

    Learning, the Silent Way, dan Total Physical Response. Metode Councelling-

    Learning berpusat pada kondisi ruang kelas tempat peserta didik belajar, dan

    berusaha mengurangi intimidasi dan rasa tidak nyaman yang dialami peserta

    didik. Dalam metode tersebut, kondisi kelas sangat mempengaruhi

    keberhasilan peserta didik. Metode Total Physical Response diciptakan dengan

    prinsip bahwa bahasa anak dibangun berdasarkan aktivitas motorik dengan

    cara menghubungkan bahasa dengan tindakan. Sementara itu, metode Silent

  • 43

    way menekankan kebutuhan peserta didik akan rasa aman saat belajar dan

    kesadaran penuh akan pembelajaran. Berbagai teknik yang ditawarkan

    dirancang untuk melatih peserta didik menggunakan kecerdasannya untuk

    memaksimalkan potensi belajar (Richards dan Rodgers,1986: 18-19).

    Ketiga metode tersebut lebih sesuai jika diterapkan pada pembelajar bahasa

    asing yang masih berusia kanak-kanak. Metode TPR memerlukan banyak

    gerakan motorik seperti dalam permainan yang sangat menarik bagi anak-anak,

    tetapi orang dewasa akan merasa canggung dan kurang termotivasi, sedangkan

    metode Silent Way tidak akan banyak membantu peserta didik dalam

    meningkatkan kompetensi komunikatifnya terutama jika waktu belajar sangat

    terbatas.

    3) Kognitivisme

    Kognitivisme memandang bahasa sebagai salah satu kemampuan dari

    pematangan kognitif dan mengakui pentingnya faktor kemampuan individu

    dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Peserta

    didik berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan

    melakukan percobaan. Proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna

    jika guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat

    menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam

    struktur kognisi peserta didik. Perkembangan individu dapat dilihat dari

    struktur dan fungsi kognitifnya. Fungsi kognitif adalah proses biologis alamiah

    yang melekat pada seseorang sejak lahir dan tidak berubah seumur hidupnya,

    sedangkan struktur kognitif mengalami perubahan semenjak masa kanak-

  • 44

    kanak. Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh maturasi (kematangan),

    aktivitas, dan interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan bahasa

    (Richards dan Rodgers,1986: 19-21).

    Aliran ini menjadi landasan psikologi pendidikan yang kemudian berkembang

    menjadi pembelajaran kontekstual. Contextual Teaching and Learning (CTL)

    menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menghubungkan

    materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Metode CTL kurang sesuai

    diterapkan dalam penelitian ini karena subjek penelitian, yakni peserta didik,

    belum memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang tata hidangan,

    sehingga akan sulit bagi mereka untuk terlibat secara aktif dalam mengaitkan

    materi pembelajaran dengan kehidupan nyata di restoran.

    4) Fungsionalisme

    Teori fungsionalisme menjadi landasan pikiran dari metode komunikatif. Teori

    ini memperlakukan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan memahami

    maksud tuturan secara lisan dan kontekstual, yang melibatkan lokasi (where),

    waktu (when) dan kepada siapa tuturan ditujukan (to whom) (Brown, 2007:

    46). Teori fungsional berkaitan dengan faktor-faktor sosial, bahasa tergantung

    pada masyarakat penuturnya, bukan pada sistem yang terkandung di dalamnya.

    Aliran ini kemudian menghasilkan metode Communicative Language

    Teaching (CLT).

    Dalam penelitian ini, bahasa dilihat sebagai media komunikasi dalam interaksi

    antarindividu. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai dengan arah penelitian

    ini adalah Communicative Language Teaching (CLT) yang lebih berfokus pada

  • 45

    interaksi antar peserta didik serta aspek kelancaran berbahasa dan pelafalan

    dibandingkan dengan struktur bahasa secara gramatika (Richards dan Rodgers,

    2001). Akan tetapi CLT juga memiliki kelemahan yaitu terletak pada sulitnya

    memeriksa penggunaan bahasa dari setiap peserta didik, terutama dalam kelas-

    kelas besar. Peserta didik diperbolehkan membuat kesalahan secara gramatika

    tetapi mereka perlu dikoreksi oleh guru, tidak secara langsung di tengah

    percakapan, supaya kompetensi peserta didik dapat berkembang dan mereka

    tidak mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Guru memegang peranan

    penting yang menentukan apakah suasana kelas akan menjadi menarik atau

    membosankan. Oleh karena itu, guru harus mempersiapkan materi sebelumnya

    dan berusaha membuatnya menjadi semenarik dan sekreatif mungkin, sehingga

    peserta didik merasa termotivasi untuk menggunakan bahasa yang dipelajari di

    kelas. Untuk menutupi kekurangan dari CLT tersebut, penelitian ini

    menyediakan rubrik penilaian lengkap dengan performance criteria dan

    performance task yang dapat membantu guru dalam menilai dan memeriksa

    penggunaan bahasa peserta didik.

    Teori Bahasa

    Sejumlah pendekatan dan metode pembelajaran bahasa yang telah dibahas

    sebelumnya tidak akan lengkap jika tidak disertai dengan teori bahasa. Terdapat

    tiga teori utama mengenai bahasa. Teori pertama adalah teori struktural yang

    memandang bahasa sebagai sistem struktural yang berhubungan dengan elemen-

    elemen kode dan makna. Menurut teori ini, target dari pembelajaran bahasa adalah

  • 46

    penguasaan elemen-elemen dalam sistem bahasa tersebut yang dikategorikan ke

    dalam unit fonologi, gramatika, dan leksikal (Richards dan Rodgers,1986: 16).

    Teori kedua adalah teori fungsional yang memandang bahasa sebagai media

    untuk menyampaikan makna fungsional. Teori ini mengedepankan dimensi

    semantik dan komunikatif, tidak hanya gramatika dan struktur. Teori ini lebih

    banyak digunakan dalam pembelajaran English for Specific Purposes (ESP)

    (Richards dan Rodgers,1986: 17).

    Teori ketiga adalah teori interaksional, yaitu teori bahasa yang melihat

    bahasa sebagai alat untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan transaksi

    sosial antarindividu. Teori ini meliputi analisis interaksi, analisis wacana, dan

    etnometodologi (Richards dan Rodgers,1986: 17). Dari ketiga teori tersebut, teori

    fungsional yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi dipandang sebagai teori

    yang paling sesuai dengan arah penelitian ini.

    Sejumlah metode pembelajaran bahasa dan teori bahasa yang disebutkan di

    atas memiliki keunggulan dan kelemahannya tersendiri. Akan tetapi, teori

    linguistik mengenai fungsi-fungsi bahasa belum banyak diterapkan dalam metode

    pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengangkat teori

    fungsi bahasa sebagai landasan fundamental pengembangan sebuah metode

    pembelajaran bahasa Inggris yang berfokus pada peningkatan keterampilan

    berbicara peserta didik di bidang vokasional. Berbagai hal yang menjadi

    pertimbangan dalam pengembangan metode tersebut dibahas sebagai berikut.

  • 47

    2.3.3.1 Desain sistem instruksional

    Desain adalah rancangan atau perencanaan tentang cara sebuah pendekatan

    dikembangkan untuk diimplementasikan di dalam kelas (Padmadewi, 2012:8).

    Dalam upaya menghasilkan sebuah metode dari suatu pendekatan, sangatlah

    penting untuk mengembangkan sebuah desain sistem instruksional yang terdiri

    atas: (a) tujuan, (b) silabus, (c) jenis kegiatan belajar mengajar, (d) peran peserta

    didik, (e) peran guru, dan (f) peran materi pembelajaran (Richards and Rodgers,

    1986:20). Berikut ini adalah uraian singkat mengenai keenam komponen tersebut.

    (a) Tujuan

    Pemilihan teori bahasa dan teori pembelajaran yang digunakan sangat

    berpengaruh terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah metode

    pembelajaran. Spesifikasi tujuan pembelajaran harus sudah ditentukan pada

    tahap perancangan metode. Misalnya, metode tertentu ingin menekankan

    penguasaan keterampilan lisan, sedangkan metode lainnya ingin membuat

    peserta didik lebih memahami struktur gramatika dari bahasa target.

    Metode yang bersifat product-oriented lebih menekankan keakuratan

    gramatikal, sedangkan metode yang bersifat process-oriented cenderung

    mementingkan kefasihan dalam berkomunikasi (Richards and Rodgers,

    1986:20). Penentuan tujuan sebuah metode harus memperhatikan tiga

    komponen yakni: 1) performansi yang mendeskripsikan apa yang harus

    mampu dilakukan peserta didik; 2) kondisi tempat peserta didik akan

    tampil; dan 3) standar yang mengindikasikan tingkat kemampuan peserta

    didik (Nunan, 1988: 64).

  • 48

    (b) Silabus

    Setiap metode pembelajaran bahasa selalu meliputi aspek konten yaitu

    sesuatu yang dibicarakan dan aspek kebahasaan yakni bagaimana cara

    membicarakannya (Richards dan Rodgers, 1986:20). Silabus merupakan

    garis besar kegiatan yang akan dilakukan, alat pengajaran yang

    memfasilitasi pembelajaran (Widdowson, 1984: 26). Silabus juga

    mengandung spesifikasi unit yang akan diajarkan (Allen, 1984: 61). Silabus

    terdiri atas pilihan materi ajar yang telah disesuaikan dengan tingkat

    kemahiran dan durasi pembelajaran (Allen, 1984: 65). Silabus dapat

    berorientasi pada produk (product-oriented syllabus) dan pada proses

    (process-oriented syllabus). Silabus yang berorientasi pada produk berfokus

    pada pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh

    peserta didik pada akhir pembelajaran, sedangkan silabus yang berorientasi

    pada proses berfokus pada pengalaman belajar (Richards and Rodgers,

    1986: 27). Jenis silabus yang berorientasi pada produk antara lain: silabus

    gramatikal, dan silabus fungsional-nosional (Nunan, 1988: 27). Silabus

    gramatikal terlalu menekankan aspek kebahasaan. Akan tetapi pembelajaran

    bahasa tidak hanya mengenai struktur bahasa saja tetapi juga tujuan

    komunikatif bahasa yang digunakan (Nunan, 1988: 31). Silabus fungsional-

    nosional meliputi tujuan komunikatif yang ingin dicapai, dengan

    mempertimbangkan faktor-faktor situasional, kontekstual, dan ekstra

    linguistik sehingga perancangan silabus menjadi lebih rumit (Nunan, 1988:

    37). Jenis silabus yang berorientasi pada proses yakni: silabus prosedural

  • 49

    yang disusun berdasarkan urutan kegiatan belajar, silabus berbasis tugas

    (task-based syllabus) yang meliputi jenis-jenis aktivitas pembelajaran, dan

    silabus konten yang berdasarkan materi pembelajaran (Nunan, 1988: 42-49).

    (c) Jenis kegiatan belajar mengajar

    Tujuan sebuah metode akan menentukan pemilihan kegiatan pembelajaran,

    apakah berfokus pada aspek gramatika atau pada kemampuan komunikatif.

    Misalnya, metode Audiolingual menggunakan dialog dan latihan pola secara

    ekstensif; the Silent Way menggunakan kegiatan problem-solving,

    Communicative Language Teaching menggunakan kegiatan information

    gap dan information transfer.

    Pola pengelompokan peserta didik juga disesuaikan dengan tujuan

    pembelajaran, apakah peserta didik bekerja sendiri, berpasangan, atau

    berkelompok. Secara umum, jenis kegiatan yang digunakan dalam

    pembelajaran bahasa antara lain: dialog, merespon instruksi, group

    problem-solving, bertukar informasi, improvisasi, tanya jawab, atau drilling

    (Richards dan Rodgers, 1986:22).

    (d) Peran peserta didik

    Dalam kegiatan pembelajaran, hendaknya peserta didik merencanakan

    sendiri program belajarnya dan bertanggung jawab atas segala hal yang

    dilakukannya di kelas. Peserta didik juga memantau dan mengevaluasi

    perkembangan belajarnya. Peserta didik merupakan anggota kelompok dan

    belajar berinteraksi dengan sesamanya, serta peserta didik membantu

    mengajari peserta didik lain. Peserta didik tidak hanya belajar dari guru,

  • 50

    tetapi juga dari peserta didik lain, dan dari sumber belajar lainnya (Richards

    dan Rodgers, 1986:76-77).

    (e) Peran guru

    Dalam Communicative Language Teaching, guru memainkan dua peranan

    yakni: 1) memfasilitasi proses komunikasi seluruh peserta didik di kelas

    dengan berbagai jenis kegiatan dan teks, dan 2) bertindak sebagai partisipan

    independen dalam kelompok belajar mengajar. Guru juga berperan sebagai

    pengatur sumber belajar, pemandu kegiatan belajar, peneliti sekaligus

    pembelajar yang mengamati proses pembelajaran (Richards dan Rodgers,

    1986:77).

    (f) Peran materi pembelajaran

    Penentuan materi pembelajaran mencerminkan tujuan utama dari metode

    (untuk memfasilitasi komunikasi, untuk mempraktikkan konten, dan

    sebagainya), bentuk materi (buku teks, flash cards, audio visual, software,

    dan lain-lain), hubungan materi dengan sumber input lainnya (apakah materi

    berfungsi sebagai sumber input utama atau hanya sebagian kecil), serta

    kemampuan guru (kompetensi bahasa atau pengalaman guru) (Richards dan

    Rodgers, 1986:26).

    2.3.3.2 Prosedur

    Pada tataran ini terlihat realisasi pendekatan dan desain yang digunakan

    dalam sebuah metode pembelajaran. Terdapat tiga dimensi yang menjadi

    pertimbangan dalam merencanakan prosedur pembelajaran, antara lain: a)

    penggunaan kegiatan pembelajaran (drilling, dialog, information-gap) untuk

  • 51

    mempresentasikan bahasa baru dan memperkenalkan aspek kebahasaan dari

    bahasa target, b) cara kegiatan tertentu digunakan untuk mempraktikkan bahasa,

    dan c) cara memberikan feedback kepada peserta didik tentang penggunaan

    bahasa mereka (Richards and Rodgers, 1986:26-27).

    2.3.3.3 Penilaian

    Setiap proses pembelajaran tentunya meliputi penilaian terhadap hasil

    belajar peserta didik. Salah satu bentuk penilaian pembelajaran adalah tes, yaitu

    metode untuk mengukur kemampuan, pengetahuan, atau penampilan peserta didik

    dalam bidang tertentu (Brown, 2004:3). Terdapat lima jenis tes, yaitu 1) Tes

    kemampuan bahasa (Language Aptitude Test); 2) Tes kemahiran (Proficiency

    test); 3) Tes penempatan (Placement Test); 4) Tes diagnostik (Diagnostic Test),

    dan 5) Tes pencapaian (Achievement Test) (Brown, 2004: 43-47). Berikut ini

    dijelaskan secara singkat jenis-jenis tes tersebut.

    1) Language Aptitude Test

    Tes kemampuan bahasa dirancang untuk mengukur kapasitas atau

    kemampuan umum dalam mempelajari bahasa asing. Contoh tes standar

    kemampuan bahasa yang digunakan di Amerika Serikat adalah the

    Modern Language Aptitude Test (MLAT) dan Pimsleur Language Aptitude

    Battery (PLAB) yang menugasi peserta didik mengerjakan sejumlah

    latihan berhubungan dengan kebahasaan (Brown, 2004: 43).

    2) Proficiency Test

    Tes kemahiran untuk mengukur keseluruhan kompetensi berbahasa,

    meliputi tata bahasa, kosakata, pemahaman membaca dan menyimak.

  • 52

    Contoh jenis tes ini adalah Test of English as a Foreign Language

    (TOEFL) (Brown, 2004: 44-45).

    3) Diagnostic Test

    Tes diagnostik dirancang untuk mendiagnosis aspek tertentu dari bahasa,

    yang dipandang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya, tes pelafalan

    untuk mendiagnosis fitur-fitur fonologi bahasa Inggris yang sulit

    dilafalkan oleh peserta didik, sehingga harus dimasukkan ke dalam

    kurikulum. Tes diagnostik dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai

    (Brown, 2004: 47).

    4) Placement Test

    Tes penempatan bertujuan untuk mengelompokkan peserta didik sesuai

    dengan kemampuan. Tes jenis ini bervariasi menurut kebutuhan

    pembelajaran yang akan diikuti, di antaranya meliputi pemahaman lisan

    dan tulisan, open-ended response, dan gap-filling (Brown, 2004: 46).

    5) Achievement Test

    Tes pencapaian berhubungan langsung dengan pelajaran di kelas, materi,

    dan seluruh kurikulum. Tes jenis ini harus dilakukan untuk menguji materi

    ajar tertentu yang difokuskan pada tujuan pembelajaran. Tes ini

    menganalisis seberapa jauh pemahaman peserta didik terhadap materi

    yang sudah diajarkan sebelumnya (Brown, 2004: 47).

    Metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini bertujuan untuk

    meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, digunakan jenis tes

    pencapaian (Achievement Test) untuk mengukur hasil belajar peserta didik.

  • 53

    Sebelum melakukan penilaian terhadap keterampilan berbicara peserta didik,

    perlu diketahui terlebih dahulu tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara seperti

    yang dijelaskan berikut ini (Brown, 2004: 141-142).

    1) Imitatif: pada akhir pembelajaran, peserta didik hanya dituntut untuk

    mampu menirukan kata atau frasa / kalimat. Hal yang diperhatikan pada

    tipe ini hanyalah kemampuan melafalkan, tidak sampai pada pemahaman

    atau percakapan interaktif antar peserta didik.

    2) Intensif: penilaian tipe kedua ini meliputi kemampuan menghasilkan

    ujaran lisan yang sangat singkat. Misalnya, membaca keras, melengkapi

    dialog, dan menerjemahkan kalimat sederhana.

    3) Responsif: meliputi interaksi dan pemahaman, tetapi hanya terbatas pada

    percakapan yang sangat singkat. Misalnya, percakapan mengenai sapaan,

    basa-basi, permintaan sederhana, serta memberikan pendapat.

    4) Interaktif: perbedaan antara responsif dan interaktif terletak pada durasi

    dan kompleksitas interaksi yang terkadang melibatkan beberapa partisipan.

    Interaksi dapat berupa transaksional (bertujuan untuk bertukar informasi)

    atau interpersonal (bertujuan untuk menjalin hubungan sosial).

    5) Ekstensif: berupa monolog meliputi pidato, presentasi lisan, dan bercerita.

    Gaya bahasa cenderung lebih formal dan interaksi dengan pendengar

    sangat terbatas.

    Berdasarkan uraian tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara tersebut,

    dapat disimpulkan bahwa desain metode pembelajaran yang dirancang dalam

    penelitian ini mengaplikasikan penilaian yang bersifat interaktif. Interactive

  • 54

    Speaking yang dimaksud adalah percakapan (baik transaksional maupun

    interpersonal) antar peserta didik yang berperan sebagai tamu dan pramusaji di

    restoran.

    Dalam mendesain penilaian yang interaktif, Brown (2004: 167-179)

    memberikan empat alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk menilai

    keberhasilan pembelajaran peserta didik, yakni wawancara (interview), bermain

    peran (role play), diskusi, dan permainan (games). Berikut ini adalah penjelasan

    kegiatan-kegiatan tersebut.

    1) Interview

    Ketika membahas tentang penilaian keterampilan lisan, hal pertama yang

    terlintas adalah wawancara lisan yaitu penguji dan yang diuji duduk saling

    berhadapan dan bertukar informasi. Setiap wawancara setidaknya terdiri atas

    empat bagian, yakni: a) warm-up yang terdiri atas basa-basi, perkenalan,

    penguji membantu peserta didik merasa nyaman dan mengurangi kecemasan

    peserta didik; b) Level check yaitu penguji menstimulasi peserta didik untuk

    merespons setiap pertanyaan sesuai level yang diuji; c) Probe yaitu penguji

    mengajukan pertanyaan yang sedikit melebihi materi yang sudah diajarkan. Hal

    ini bertujuan agar peserta didik mengerahkan seluruh pengetahuan kognitif dan

    linguistiknya; dan d) Wind-down adalah tahap terakhir ketika penguji

    memberikan pertanyaan mudah sehingga peserta didik merasa lebih santai

    (Brown, 2004: 168).

  • 55

    2) Role Play

    Bermain peran adalah kegiatan yang sangat populer dalam pembelajaran

    bahasa komunikatif. Dengan bermain peran peserta didik mendapat kebebasan

    untuk mengembangkan kreativitas berbahasanya. Peserta didik juga diberikan

    kesempatan untuk berdiskusi dan merencanakan apa yang akan mereka katakan

    sehingga dapat mengurangi kecemasan yang timbul saat proses penilaian

    (Brown, 2004: 174).

    3) Discussions

    Sebagai instrumen penilaian formal, diskusi antar peserta didik sulit untuk

    dinilai. tetapi sebagai penilaian informal, teknik diskusi menawarkan

    keotentikan dan spontanitas peserta didik yang tidak didapatkan melalui teknik

    lainnya. Teknik ini dapat digunakan untuk mengamati bahasa tubuh, gerak

    kinesik, eye contact, kesantunan, cara menginterupsi, memberi pendapat, dan

    sebagainya (Brown, 2004: 175).

    4) Games

    Beberapa jenis permainan yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian

    terhadap kemampuan bahasa peserta didik antara lain: Crossword puzzles,

    Information gap, dan City maps (Brown, 2004: 175-176).

    Dari beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan untuk mengumpulkan

    data mengenai keberhasilan belajar peserta didik, desain metode pembelajaran

    yang dirancang dalam disertasi ini memilih teknik Interview, Role play dan

    Information Gap (games) sebagai cara untuk memperoleh penilaian dan menguji

    keefektifan metode yang dirancang.

  • 56

    2.3.4 Pengujian Efektivitas Metode Pembelajaran

    Hasil akhir dari setiap penelitian dan pengembangan adalah berupa desain

    produk baru lengkap dengan spesifikasinya. Desain produk masih bersifat

    hipotetik karena belum teruji efektivitasnya. Oleh karena itu harus diadakan

    pengujian-pengujian untuk mengetahui efektivitas desain produk tersebut. Produk

    dari penelitian ini adalah berupa metode pembelajaran untuk meningkatkan

    keterampilan berbicara bahasa Inggris, khususnya di bidang tata hidangan.

    Efektivitas metode pembelajaran dapat diukur dari kecepatan pemahaman

    peserta didik terhadap pelajaran, peningkatan kreativitas peserta didik, serta hasil

    belajar (Sugiyono, 2015: 413). Pengujian dapat dilakukan dengan eksperimen,

    yaitu dengan membandingkan efektivitas metode pembelajaran lama

    (konvensional) dengan metode pembelajaran yang baru. Sebelum metode

    pembelajaran baru dicobakan, terlebih dahulu dipilih kelompok yang akan diajar

    dengan metode baru tersebut (kelompok eksperimen) dan kelompok yang tetap

    menggunakan metode lama (kelompok kontrol). Kedua kelompok tersebut

    diberikan pre-test atau melalui pengamatan untuk mengetahui kemampuan awal

    kedua kelompok tersebut. Jika kemampuan kedua kelompok tersebut tidak

    berbeda secara signifikan, maka eksperimen dapat dilakukan. Model eksperimen

    tersebut ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini.

  • 57

    Gambar 2.1

    Model Eksperimen dengan Kelompok Kontrol

    (Sugiyono, 2015: 416)

    Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. O1 adalah nilai awal

    kelompok eksperimen, dan O3 adalah nilai awal kelompok kontrol. Setelah posisi

    kedua kelompok tersebut seimbang, maka kelompok eksperimen diberi perlakuan

    dengan metode baru, sedangkan kelompok kontrol tetap menggunakan metode

    lama. O2 adalah pencapaian kelompok eksperimen setelah diajar dengan metode

    baru, dan O4 adalah pencapaian kelompok kontrol yang diajar menggunakan

    metode lama. Jika nilai O2 lebih tinggi secara signifikan dari nilai O4, maka

    metode pembelajaran baru tersebut lebih efektif daripada metode pembelajaran

    lama (Sugiyono, 2015: 416-417).

    Pengujian signifikansi efektivitas metode pembelajaran baru yang

    diterapkan pada dua kelompok juga dapat menggunakan t-test berkorelasi. Rumus

    yang digunakan adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2015:422).

    O1

    O3

    O2

    O4

    X

    1 – 2

    s12 s2

    2

    √ n1 n2

    2r s1

    √n1 S2

    √n2

    t =

  • 58

    Keterangan:

    1 : Rata-rata sampel 1 (kelompok kontrol)

    2 : Rata-rata sampel 2 (kelompok eksperimen)

    S1 : Simpangan baku sampel 1 (kelompok kontrol)

    S2 : Simpangan baku sampel 2 (kelompok eksperimen)

    S12 : Varians sampel 1

    S22 : Varians sampel 2

    r : korelasi antara data dua kelompok

    Untuk dapat menggunakan rumus tersebut, diperlukan perhitungan statistik

    menggunakan SPSS sehingga dapat ditemukan harga / nilai yang diperlukan untuk

    menghitung t. Pengujian dengan rumus t-test berkorelasi dilanjutkan dengan uji

    hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut (Sugiyono, 2015: 423).

    Ho : efektivitas metode baru lebih kecil atau sama dengan metode

    pembelajaran lama (hipotesis awal)

    μ1 ≤ μ2

    Ha : efektivitas metode pembelajaran baru lebih baik daripada metode

    pembelajaran lama (hipotesis alternatif)

    μ1 μ2

    Uji hipotesis yang digunakan adalah uji pihak kanan, karena hipotesis

    alternatif (Ha) berbunyi “lebih baik”. Apabila harga t jatuh pada daerah

    penerimaan Ha, maka Ha yang menyatakan bahwa “efektivitas metode

    pembelajaran baru lebih baik daripada metode lama” diterima. Uji hipotesis pihak

    kanan digambarkan sebagai berikut.

  • 59

    Gambar 2.2

    Uji Hipotesis Pihak Kanan

    Dengan terujinya produk yang berupa metode pembelajaran tersebut, maka

    langkah pengujian efektivitas metode pembelajaran baru telah dinyatakan selesai.

    2.3.5 Kompetensi Komunikatif

    Richards dan Rodgers (1986: 71) mengemukakan empat dimensi

    kompetensi komunikatif. Keempat dimensi tersebut adalah: kompetensi

    gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi

    strategis.

    1) Kompetensi gramatikal mengacu pada apa yang disebut oleh Chomsky sebagai

    kompetensi linguistik yang berada pada kapasitas gramatikal dan leksikal.

    2) Kompetensi sosiolinguistik adalah pemahaman terhadap konteks sosial tempat

    komunikasi terjadi, termasuk hubungan partisipan, informasi dan tujuan

    komunikatif dalam interaksi.

    3) Kompetensi wacana mengacu pada interpretasi pesan dan keterkaitannya

    terhadap keseluruhan teks.

    Daerah penerimaan Ha

    0 t tabel t hitung

  • 60

    4) Kompetensi strategis merupakan strategi yang digunakan partisipan untuk

    memulai, mengakhiri, mempertahankan, memperbaiki, dan mengarahkan

    komunikasi (Richards, 1986: 71).

    Finocchiaro dan Bonomo (1973: 40-42) menyebutkan empat landasan

    dalam subsistem bahasa yang saling berinterelasi dalam menghasilkan sebuah

    tuturan. Keempat aspek tersebut yaitu: 1) The sound system meliputi pelafalan

    bunyi vokal dan konsonan, intonasi, ritme, tekanan (stress) dan jeda (pause); 2)

    The grammar system meliputi a) morfologi yakni pembentukan kata melalui

    infleksi bentuk jamak (plurality), kepemilikan (possession), kala (tense) dan

    sebagainya, atau melalui derivasi yakni perubahan kelas kata melalui perubahan

    prefiks, sufiks, atau infiks; b) sintaksis yakni susunan kata, frasa atau klausa

    dalam sebuah teks; c) morfofonemik yakni perubahan bunyi akibat pengaruh

    gramatika dalam lingkungan tertentu; 3) The lexical system meliputi kelas kata

    (nomina, verba, ajektiva, dan adverbia) serta fungsi dari kata tersebut di dalam

    struktur klausa; 4) The cultural system meliputi semua hal yang termasuk dalam

    fitur bahasa dan sistem leksikal mengingat bahwa bahasa ditentukan oleh budaya,

    sehingga penggunaan bahasa harus berterima dalam budaya tersebut. Beberapa di

    antaranya ditentukan oleh isi dan nada dari respon verbal dan fisikal.

    Nunan (2003: 135), mendefinisikan bahwa pembelajaran keterampilan

    berbicara sebagai tindakan yang menyebabkan peserta didik mampu melakukan

    hal-hal sebagai berikut.

  • 61

    1) Menghasilkan bunyi-bunyi bahasa Inggris.

    2) Menggunakan penekanan kata dan kalimat, intonasi, dan irama bahasa

    target.

    3) Memilih kata dan kalimat yang tepat, sesuai dengan latar belakang sosial,

    penutur, situasi dan tema percakapan.

    4) Mengorganisasikan ide-ide secara logis dan bermakna.

    5) Memakai bahasa sebagai alat untuk memberi penilaian.

    6) Memakai bahasa dengan cepat dan yakin, atau yang disebut dengan

    kefasihan berbahasa.

    Lebih lanjut, Nunan (2003: 135) kemudian memaparkan sejumlah kegiatan

    komunikatif dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Kegiatan-kegiatan

    tersebut yaitu:

    1) Saling memperkenalkan diri.

    2) Bermain peran dalam menerangkan sesuatu, memerankan wawancara,

    mengajukan permintaan, mengungkapkan rasa simpati, dan mengundang

    serta memberikan jawabannya.

    3) Tanya jawab tentang keadaan sehari-hari.

    4) Menceritakan kembali isi iklan yang dibaca.

    5) Bercakap-cakap berpasangan.

    6) Memberi komentar dan saran tentang sesuatu.

    7) Berpidato dan menceritakan pengalaman pribadi.

    8) Bermain simulasi dalam menawarkan bantuan, berargumentasi tentang

    suatu topik yang telah ditentukan, dan kegiatan sejenis lainnya.

  • 62

    Harmer (2001: 269) mengklasifikasikan sejumlah keterampilan makro dan

    mikro dalam berbicara. Keterampilan makro adalah sebagai berikut.

    1) Mampu menggunakan fungsi-fungsi komunikatif sesuai dengan situasi,

    partisipan, dan tujuan.

    2) Mampu menggunakan ragam dan gaya bahasa, implikatur, dan berbagai

    aspek sosiolinguistik dalam percakapan.

    3) Mampu menjalin interaksi dalam peristiwa tutur.

    4) Mampu menggunakan aspek-aspek kinesik, gerak tubuh, dan tanda-tanda

    nonverbal bersama dengan bahasa verbal.

    5) Mampu mengembangkan strategi berbicara, seperti parafrase, menambahkan

    informasi, dan mengklarifikasi.

    Keterampilan mikro dalam berbicara dipaparkan oleh Harmer (2001: 271) sebagai

    berikut.

    1) Mampu membedakan fonem-fonem dan alofon dalam ragam bahasa Inggris.

    2) Mampu menggunakan bentuk-bentuk bahasa sesuai konteks.

    3) Mampu menggunakan pola tekanan pada kata/kalimat, dan intonasi yang

    tepat.

    4) Mampu menggunakan bentuk singkatan kata atau frasa.

    5) Mampu menggunakan unit-unit leksikal untuk mencapai tujuan pragmatik.

    6) Mampu mengucapkan kalimat dengan lancar.

    7) Mampu menggunakan berbagai strategi percakapan, misalnya jeda,

    mengkoreksi diri, dan mengulangi, untuk memperjelas pemahaman.

  • 63

    8) Mampu menggunakan kelas kata gramatika (nomina, verba, dan sebagainya),

    sistem bahasa ( bentuk kala, plural, dan lain-lain), urutan kata, pola, aturan,

    dan bentuk eliptikal.

    9) Mampu menghasilkan ujaran secara alami.

    10) Mampu mengekspresikan makna dalam berbagai bentuk gramatika.

    11) Mampu menggunakan alat-alat kohesi dalam tuturan lisan.

    Harmer (1983: 43) kemudian menggambarkan perbedaan kegiatan

    pembelajaran komunikatif dengan non-komunikatif. Kegiatan komunikatif

    memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

    1) Memiliki keinginan untuk berkomunikasi.

    2) Memiliki tujuan komunikatif.

    3) Berpusat pada isi, bukan bentuk komunikasi.

    4) Menggunakan berbagai jenis bahasa.

    5) Guru tidak mengintervensi.

    6) Materi kegiatan tidak sepenuhnya ditentukan di awal pembelajaran.

    Sementara itu, kegiatan non-komunikatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut

    (Harmer, 1983: 43).

    1) Tidak memiliki keinginan untuk berkomunikasi.

    2) Tidak memiliki tujuan komunikatif.

    3) Berpusat pada bentuk, bukan isi dari komunikasi.

    4) Menggunakan hanya satu jenis bahasa.

  • 64

    5) Guru mengintervensi.

    6) Materi kegiatan sepenuhnya ditentukan oleh guru di awal pembelajaran.

    Pengenalan sebuah bahasa baru seringkali menjadi kegiatan non-

    komunikatif. Dalam hal ini guru akan menerapkan teknik terkontrol, meminta

    peserta didik untuk mengulangi dan melakukan pengulangan terus-menerus

    (drill). Pada saat yang sama, guru mengharuskan ketepatan struktur bahasa, dan

    mengoreksi setiap kesalahan peserta didik. Meskipun tahap pengenalan ini harus

    dipersingkat dan menghindari pengulangan, tahap ini penting untuk membantu

    peserta didik mengenal bahasa dan membuatnya mampu memproduksi bahasa

    tersebut untuk pertama kalinya. (Harmer, 1983: 45)

    Di sisi lain, Richards (2006: 27) merinci beberapa aspek yang perlu

    diperhatikan dalam merancang pembelajaran berbasis komunikatif, yaitu:

    1) Menentukan tujuan pemerolehan bahasa target, misalnya untuk ESP,

    perhotelan, atau travel.

    2) Menggambarkan setting atau tempat di mana akan digunakan bahasa target,

    misalnya di kantor, di pesawat, di hotel, dan lain-lain.

    3) Menentukan peran sosial yang akan dimainkan oleh peserta didik, misalnya

    sebagai wisatawan, resepsionis, waiter, dan sebagainya.

    4) Peristiwa komunikatif tempat peserta didik akan berpartisipasi, misalnya dalam

    kehidupan sehari-hari, situasi profesional, akademis, dan lain-lain.

    5) Fungsi bahasa dalam peristiwa tutur tempat peserta didik akan menggunakan

    bahasa, misalnya saat berkenalan, menceritakan sesuatu, dan lain-lain.

  • 65

    2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Berbicara

    Keberhasilan pembelajaran bahasa ditentukan oleh faktor internal dan faktor

    eksternal. Faktor internal bersumber dari dalam diri peserta didik misalnya bakat,

    minat, kemauan, cita-cita, obsesi, kebutuhan, dan pengalaman belajar. Faktor

    eksternal bersumber dari luar diri peserta didik, misalnya lingkungan, guru,

    teman, sarana prasarana, buku ajar, dan sebagainya. Thornburry (2005: 25-26)

    menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penting yang menentukan keberhasilan

    keterampilan berbicara, yakni: 1) faktor kognitif; 2) faktor afektif; dan 3) faktor

    performa. Ketiga faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

    1) Faktor kognitif

    a. Mengenal topik: sebuah topik yang dikenal baik akan mempermudah

    kegiatan berbicara. Inilah alasan peserta didik lebih mudah berbicara

    tentang pekerjaan atau keluarganya daripada membicarakan tentang hal di

    luar kehidupan sehari-harinya.

    b. Mengenal genre: memberi perkuliahan atau berpidato akan lebih sulit

    dilakukan jika tidak mengenal genre tertentu.

    c.