bab ii tinjauan pustaka - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/6520/3/bab ii.pdfkanker merupakan...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker
Kanker merupakan tumor yang membahayakan (malignant tumor). Tumor
merupakan istilah umum untuk menunjukkan adanya pertumbuhan tidak normal
dari masa atau jaringan yang membahayakan kehidupan yang terbentuk karena
adanya mutasi pada biosintesis sel (Siswandono, 2008).
Berdasarkan lokalisasinya, tumor dibedakan sebagai berikut:
1. Karsinoma: pada jaringan kelenjar
2. Sarkoma: pada jaringan penghubung
3. Limfoma: pada ganglia limfatik
4. Leukimia: pada sel darah
Penyebab dari kanker disebut dengan karsinogen. Contoh senyawa
karsinogen antara lain adalah virus-virus tertentu; senyawa kimia hidrokarbon
polisiklik aromatik seperti: benzo(a)piren, amin aromatik; beberapa produk kimia
alami, seperti: safrol, sikasin; serta radiasi senyawa radioaktif, sinar ultra-violet,
atau sinar x. Obat antikanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan
untuk pengobatan kanker.
Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara:
1. Pembedahan, terutama untuk tumor padat yang terlokalisasi seperti
karsinoma pada payudara dan kolorektal.
2. Radiasi, digunakan untuk pengobatan penunjang sesudah pembedahan
dan juga untuk pengobatan tumor yang sesuai, seperti seminoma
testikular dan karsinoma nesofaring.
3. Kemoterapi, terutama untuk pengobatan tumor yang tidak terlokalisasi,
seperti leukemia, kariokarsinoma, multipel mieloma, dan juga untuk
pengobatan penunjang sesudah pembedahan. Kemoterapi bertujuan
untuk merusak secara selektif sel yang terkena kanker tanpa
mengganggu sel normal. Tetapi tujuan ini sering mengalami kegagalan
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
5
karena sedikit sekali obat antikanker yang bekerja secara selektif pada
jaringan kanker
4. Endokrinoterapi, merupakan bagian dari kemoterapi, yaitu penggunaan
hormon tertentu untuk pengobatan tumor pada organ yang
proliferasinya tergantung pada hormon, seperti karsinoma payudara.
5. Imunoterapi, cara ini masih dalam penelitian dan pada masa
mendatang mungkin berperan penting dalam pencegahan
mikrometatasis (Siswandono, 2008).
B. Photodynamic Therapy (PDT)
PDT adalah pengobatan baru, digunakan terutama untuk terapi kanker,
yang tergantung pada retensi fotosensitizer (photosensitizer, PS) pada sel tumor
dan iradiasi tumor dengan cahaya tampak. Setelah aktivasi, PS menghasilkan
spesies oksigen reaktif (singlet oksigen / 1O2), dan radikal bebas, seperti ∙OH,
HO2∙,
∙O2
- yang mampu merusak membran, DNA, dan struktur selular lainnya,
yang berarti bahwa PDT dapat menjadi pengobatan alternatif yang sangat berguna
untuk tumor yang resisten terhadap obat (Sobolev et al, 2000).
Upaya pertama penggunaan fotosensitizer untuk menyembuhkan penyakit
kulit adalah pada zaman Mesir Kuno, India, dan Yunani, dimana ekstrak tanaman
yang mengandung psoralen dan cahaya digunakan untuk mengobati psoriasis dan
vitiligo. Istilah fotodinamik diciptakan oleh Von Tappeiner pada tahun 1904
untuk menggambarkan reaksi kimia yang tergantung pada oksigen yang
disebabkan oleh fotosensitisasi. Secara umum, terapi berbasis fotosensitizer
adalah pengobatan yang melibatkan senyawa fotosensitizer, yang selektif
terakumulasi dalam sel target, diikuti dengan radiasi secara lokal pada lesi dengan
cahaya tampak.
Keuntungan utama dari PDT yang lain misalnya oncotherapies, termasuk
tingkatan yang agak signifikan dari selektivitas akumulasi obat dalam jaringan
tumor. Tidak adanya toksisitas sistemik obat, kemampuan penyinaran hanya pada
tumor, kemungkinan mengobati beberapa lesi bersamaan dan kemampuan untuk
mengobati tumor dalam meningkatkan respon (Luksiene, 2003).
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
6
Gambar 1. Ilustrasi tahapan proses PDT (dimodifikasi dari
http://www.photochembgsu.com/applications/therapy.html)
Proses fotodinamik kanker terdiri dari (Gambar 1) :
1. Fotosensitizer diberikan baik secara injeksi, topikal, atau oral kepada pasien.
2. Kemudian terjadi keseimbangan akumulasi senyawa fotosensitizer pada
jaringan tumor terhadap jaringan normal pada waktu tertentu. Pada saat
senyawa fotosensitizer hanya terakumulasi pada jaringan tumor dan pada
jaringan normal sudah tereliminasi, dilakukan penyinaran.
3. Penyinaran dengan sumber cahaya pada panjang gelombang yang sesuai
dengan spektrum absorpsi fotosensitizer.
4. Sel tumor dihancurkan oleh produk sitotoksik yang dihasilkan dari
penyinaran fotosensitizer.
C. Fotosensitizer
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi fotosensitizer
yang ideal. Senyawa harus merupakan senyawa murni, senyawa memiliki
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
7
yield kuantum yang tinggi pada produksi singlet oksigen, senyawa memiliki
toksisitas yang rendah atau tidak toksik saat tidak ada penyinaran, senyawa
memiliki absorpsi yang signifikan pada panjang gelombang daerah merah.
Selain itu, senyawa juga harus mudah terdistribusi pada jaringan tumor dan
mudah tereliminasi pada jaringan normal (Pandey dan Zheng, 2000).
Mekanisme fotofisika dan fotokimia PDT yang menghasilkan singlet
oksigen sebagai produk utamanya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme fotofisika dan fotokimia PDT, diagram Jablonski (dimodifikasi
dari Bonnett, 1995)
Porfirin atau senyawa dengan struktur dasar porfirin telah dievaluasi
secara klinis efektif sebagai fotosensitizer pada terapi fotodinamik. Porfirin
merupakan salah satu senyawa dengan struktur dasar tetrapirol makrosiklik.
Golongan senyawa tetrapirol makrosiklik merupakan senyawa dengan 4
cincin pirol yang dihubungkan satu sama lain oleh karbon metin (Battersby,
2000).
Gambar 3. Porfirin dan turunannya
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
8
Senyawa golongan tetrapirol makrosiklik dibagi atas porfirin, klorin dan
bakterioklorin (Gambar 3). Turunan porfirin banyak diselidiki dan digunakan
sebagai fotosensitizer pada PDT, tetapi masih berkendala pada penetrasi
cahaya. Senyawa porfirin seperti protoporfirin IX (PPIX) menunjukkan
spektrum absorpsi dengan serapan pada pita Q1 yang lebih rendah
dibandingkan dengan senyawa klorin seperti feoforbid a (Kwitniewski,
2008), panjang gelombang pada pita Q1 merupakan panjang gelombang yang
digunakan pada eksitasi fotosensitizer untuk PDT. Perbandingan spektrum
absorbsi kedua senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 4:
Gambar 4. Modifikasi spektrum panjang gelombang dari porfirin (atas) dan klorin (bawah)
(Djalil, 2012)
Senyawa klorin memiliki panjang gelombang pita Q1 lebih besar
dibandingkan senyawa porfirin (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
350 400 450 500 550 600 650 700 750
Soret
Q1
Q2
abso
rban
si
panjang gelombang (nm)
Q4 Q3
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
9
klorin memiliki penetrasi cahaya yang lebih baik dengan energi yang lebih kecil
pada daerah merah dibanding porfirin. Salah satu senyawa golongan klorin yang
diprediksi mampu menjadi fotosensitizer adalah feoforbid a, yang telah diteliti
menunjukkan λmax pada 666 nm dibandingkan protoporfirin IX (Gambar 5) yang
menunjukkan λmax sebesar 635 nm (Djalil et al, 2012).
Gambar 5. Protoporfirin IX (PPIX)
D. Feoforbid a
Feoforbid a (Pa) merupakan turunan klorofil. Pa merupakan komponen
aktif dari ramuan ethnopharmacological Scutellaria barbata di Cina. Dalam
penelitian sebelumnya, feoforbid a menunjukkan efek antitumor pada paru-paru
manusia dan kanker sel hati. Selain itu, Pa telah menunjukkan efek antikanker
yang dimediasi PDT pada hepatoma manusia dan sel sarkoma uterus. Sementara
itu, efek penghambatan Pa juga dilaporkan dalam sejumlah sel kanker manusia
lainnya, seperti jurikat leukemia, melanoma berpigmen, kanker kolon, dan
karsinoma pankreas (Patrick et al, 2009).
Feoforbid a merupakan hasil degradasi klorofil dan dijelaskan melalui
skema pada Gambar 6:
Chlorophyll Chlorophyllase
Chlorophyllide
Chlorophyllide Mg-dechelatase
Pheophorbide
Gambar 6. Skema degradasi klorofil pada pembentukan pheophorbide (Biswal, 2005)
Enzim chlorophyllase, pada dasarnya merupakan protein hidrofobik yang
berikatan pada kloroplas. Sehingga terjadi hidrolisis klorofil menjadi
chlorophyllide dan fitol, sebagai langkah pertama dalam pemecahan pigmen. Pada
langkah berikutnya, Mg dechelatase bekerja pada chlorophyllide dan
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
10
menghilangkan Mg2+
dari chlorophyllide, yang menghasilkan pembentukan
pheophorbide. Enzim Mg dechelatase juga terikat pada membran organel
(Biswal, 2005).
Dari penelitian “Diamino acid derivatives of PpIX as potential
photosensitizers for photodynamic therapy of squamous cell carcinoma and
prostate cancer: In vitro studies” oleh Kwitniewski et al, 2008 disebutkan bahwa
PP(Ser)2Arg2 lebih berpotensi sebagai fotosensitizer pada PDT. Substituen asam
amino berperan dalam memfasilitasi masuknya fotosensitizer ke dalam sel melalui
reseptor asam amino yang ada pada membran sel tumor. Untuk menemukan
fotosensitizer yang lebih potensial antara feoforbid a dan turunannya dibanding
PPIX maka dilakukan modifikasi terhadap asam amino dan gugus hidroksi dari
struktur senyawa feoforbid a.
(i) (ii)
(iii) (iv) (v)
Gambar 7. Struktur feoforbid a dan turunannya, (i) feoforbid a, (ii) 1-hidroksi feoforbid a,
(iii) lisin feoforbid a, (iv) serin feoforbid a dan (v) arginin feoforbid a
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
11
E. Human Serum Albumine (HSA)
HSA adalah protein yang paling melimpah dalam plasma. Sebagai
konstituen protein terlarut utama pada sistem peredaran darah, HSA memiliki
banyak fungsi fisiologis dan farmakologis. HSA berkontribusi untuk tekanan
darah koloid osmotik dan bertanggung jawab terutama untuk pemeliharaan pH
darah. Selain itu, juga memiliki peran penting dalam transportasi dan disposisi
ligan endogen dan eksogen yang ada dalam darah. Kemampuan mengejutkan lain
yaitu mampu mengikat berbagai macam hasil obat yang berperan dalam
farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Fungsi farmakokinetik utamanya
berpartisipasi dalam penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.
Distribusi obat adalah salah satu peran dari HSA. Kebanyakan obat yang
didistribusikan dalam plasma, mencapai jaringan target dengan mengikat HSA.
Jadi, setelah mengikat obat, protein plasma memiliki pengaruh signifikan dari
farmakokinetik banyak obat. Pengikatan yang kuat dapat menurunkan konsentrasi
obat bebas dalam plasma, sedangkan ikatan yang lemah dapat menyebabkan
sebentar atau buruknya distribusi. Inilah sebabnya mengapa perusahaan farmasi
telah mengembangkan standarisasi pengikatan terhadap HSA sebagai langkah
awal desain obat baru. Oleh karena itu, merupakan pedoman penting untuk
menyelidiki interaksi antara senyawa baru dengan aktivitas biologis dan
interaksinya dengan HSA dalam tahap awal penemuan obat (Song et al., 2011).
Serum albumin manusia memiliki kemampuan berikatan yang beragam,
baik kovalen atau reversibel, sebagian besar dengan berbagai senyawa endogen
dan eksogen. Beberapa protein transpor yang berbeda ada dalam plasma darah
tapi hanya albumin yang mampu mengikat keragaman ligan dan bersifat
reversibel dengan afinitas tinggi (Kragh-Hansen, 1990). HSA merupakan protein
plasma yang berikatan dengan obat dalam jumlah besar, sehingga bebas terbatas
dengan konsentrasi aktif. Masalah besar yang harus dihadapi adalah mengatasi
afinitas pengikatan suatu senyawa terhadap HSA dalam pengembangan obat
(Ghuman, 2005).
Serum albumin manusia (HSA) adalah salah satu senyawa kunci dalam
darah manusia yang mempengaruhi banyak distribusi obat. Telah terbukti bahwa
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
12
HSA memiliki tiga domain utama, masing-masing dengan dua subdomain. Situs
pengikat utama, yaitu situs I dan situs II, terletak di subdomain IIA dan IIIA
(Gambar 8). Poin utama dari situs yang mengikat adalah residu bermuatan positif,
seperti lisin atau arginin, dan residu terpolarisasi cincin terbentuk seperti tirosin
atau histidin. Teknik ini sering digunakan untuk mengkarakterisasi situs yang
mengikat berbagai obat-obatan (Pandey et al., 1997).
Gambar 8. Molekul HSA
F. Peripheral Benzodiazepine Receptor (PBR)
Benzodizepin telah diamati di banyak jaringan dan dibagi menjadi dua
kelas utama. Yang pertama adalah situs dimana efek farmakologi benzodizepin
dimediasi. Tipe ini disebut central benzodiazepine receptor (CBR), dimana
banyak ditemukan pada sistem saraf pusat dan terlokalisasi ke neuron. Tipe kedua
yaitu periferal benzodiazepine receptor (PBR) (Zisterer dan Williams, 1997).
Meskipun secara ekstensif dikarakteristikan secara farmakologi dan
biokimia, dan terlibat dalam banyak proses biologi, fungsi yang tepat dari reseptor
benzodiazepine perifer masih menjadi pertanyaan. PBR pertama kali digambarkan
sebagai tempat pengikatan dengan afinitas tinggi untuk diazepam dalam ginjal
tikus. Hal ini menyebabkan munculnya sebutan "perifer" pada reseptor
benzodiazepin yang mencerminkan ekspresi dalam jaringan perifer, berbeda
dengan CBR, yang ditunjukkan secara khusus dalam sistem saraf pusat.
PBR merupakan protein 18 - kD terletak pada membran luar mitokondria
dari berbagai jenis sel, termasuk sel-sel dari sistem hematopoietik. PBR telah
terlibat dalam beberapa fungsi mitokondria, termasuk pengendalian respirasi,
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
13
translokasi kolesterol dari luar ke dalam membran pada sel adrenal, dan modulasi
dari membran dalam aktivitas ion-chanel oleh porfirin dikarboksilat, yang
merupakan ligan endogen dari PBR (Casellas et al., 2002).
PBR memainkan peran penting dalam biosintesis steroid pada kontrol
transportasi steroid dan dalam regulasi heme, serta transportasi porfirin. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya overexpression dari PBR pada sel kanker sebagai
faktor prognostik dalam perkembangan penyakit. Hal ini diperjelas dengan
terdapatnya akumulasi fotosensitizer dalam membran mitokondria. Fotosensitizer
diketahui memiliki cincin porfirin pada struktur umumnya yang berpotensi
sebagai ligan untuk PBR. Serta dapat meningkatkan efektifitas fotodinamik dilihat
dari kemampuannya mengikat porfirin yang merupakan target penting dan
potensial dalam proses fotodinamik. Peningkatan akumulasi fotosensitizer akan
meningkatkan jumlah reseptor PBR pada permukaan sel kanker (Bombalska dan
Graczyk, 2009). Pada sel kanker juga menunjukkan akumulasi PBR lebih banyak
dibandingkan pada sel normal sebagai target fotosensitizer untuk PDT (Chen et al,
2011).
PBR yang terletak pada membran mitokondria luar dan dalam memiliki
peran sebagai transport protein ke dalam dan ke luar membran. Pada fungsinya
sebagai transport mitokondria, PBR diketahui mampu mengikat protoporfirin IX
(PPIX) dan terlibat langsung terhadap transport PPIX. PPIX merupakan turunan
dari porfirin. PBR memiliki afinitas yang tinggi dalam berikatan dengan PPIX.
Khususnya interaksi dalam memediasi aksi porfirin sebagai fotosensitizer dalam
terapi fotodinamik (Wendler et al, 2003). PBR adalah situs pengikatan
mitokondria untuk ligan alami porfirin seperti PPIX dan heme (Mojzisova et al,
2007).
Meskipun nama “PBR” telah diterima secara luas dalam komunitas ilmiah,
tetapi nama tersebut masih belum mewakili temuan mengenai struktur, peran, dan
fungsi subseluler dari protein ini. Sehingga terdapat kesepakatan perubahan nama
baru menjadi translocator protein (TSPO) (18 kDa) yang berlaku untuk protein
tersebut (Gambar 9) (Papadopoulos et al).
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
14
Gambar 9. Molekul PBR atau TSPO
G. Doking Molekuler
Usaha penemuan dan pengembangan obat baru pada mulanya bersifat
coba-coba (trial and error) sehingga dibutuhkan biaya yang besar dan waktu yang
lama. Untuk itu perlu terobosan dan inovasi agar pengembangan dan penemuan
obat tetap layak secara ekonomi. Dalam upaya merancang dan mengembangkan
obat baru, langkah awal yang dilakukan antara lain dengan mengembangkan
kandidat obat yang telah ada, yang sudah diketahui struktur molekul dan aktivitas
biologisnya, untuk dijadikan sebagai senyawa penuntun atas dasar penalaran yang
sistematik dan rasional dengan mengurangi faktor coba-coba seminimal mungkin.
Teknik-teknik komputasional yang digunakan dalam desain obat berbasis
struktur menjadi teknik yang efisien untuk pengembangan dan optimasi senyawa
obat agar menghasilkan obat yang lebih poten. Selain itu teknik ini dapat
memberikan gambaran dan prediksi yang lebih detail tentang mekanisme aksi
suatu obat dalam mengatasi suatu penyakit. Telah diketahui bahwa senyawa yang
terkandung dalam produk alami mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
obat. Dengan berkembangnya teknologi komputer, rancangan obat rasional
mempunyai prospek yang cerah dalam pencarian obat baru. Dengan bantuan
program pemodelan dan dinamika molekul, dan telah diketahuinya sruktur
molekul tiga dimensi enzim sebagai reseptor target, akan dapat diketahui cara
kerja obat pada tingkat molekul dan peran berbagai kekuatan sifat fisika dan kimia
pada proses interaksi obat reseptor.
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014
15
Doking molekuler merupakan salah satu metode komputasi kimia yang
mulai banyak digunakan. Doking molekuler dapat digunakan untuk memprediksi
apakah suatu molekul (senyawa) obat yang dirancang akan mempunyai aktivitas
biologis yang diinginkan atau tidak. Tujuan dari doking adalah untuk menemukan
konformasi energi ligan terendah pada situs pengikatan protein yang sesuai.
Dari doking molekuler akan dihasilkan skor yang menggambarkan energi
total ikatan protein ligan. Dengan membandingkan skor suatu senyawa dengan
senyawa lainnya, maka akan dapat dijelaskan mana senyawa yang lebih poten.
Makin kecil skor suatu hasil doking berarti komplek protein-ligan semakin stabil
sehingga ligan (senyawa) semakin poten. Dengan visualisasi maka akan terlihat
asam amino mana yang berperan dalam menjaga stabilitas senyawa tersebut pada
reseptornya (bisa juga berupa enzim) (Purnomo, 2011).
Doking Molekuler Feoforbid..., Cony Suita Rama, Fakultas Farmasi, UMP, 2014