bab ii tinjauan pustaka - repository.sari-mutiara.ac.idrepository.sari-mutiara.ac.id/58/3/chapter...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Higiene Perorangan
2.1.1. Pengertian
Kebersihan diri (personal hygiene) merupakan kebersihan diri sendiri yang
dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis.
Pengertian personal hygiene atau hygiene persorangan (usaha kesehatan pribadi)
adalah upaya dari diri seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatannya sendiri.
Kesehatan pribadi adalah kesehatan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat
membina keluarga dan masyarakat yang sehat, dan kesehatan pribadi merupakan
dasar untuk melakukan berbagai kegiatan atau perbuatan yang positif selama hidup.
(Rejeki, 2015)
Usaha kesehatan pribadi adalah daya upaya dari seseorang demi seorang
untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri. Kebersihan diri
yang buruk merupakan cerminan dari kondisi lingkungan dan perilaku individu yang
tidak sehat. Pengetahuan penduduk yang masih rendah dan kebersihan yang kurang
baik mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing. (Entjang, 2000)
2.1.2. Tujuan Personal Higiene
Menurut Rejeki (2015), tujuan personal hygiene adalah:
1. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
9
2. Memelihara kebersihan diri seseorang
3. Memperbaiki personal hygiene yang kurang
4. Pencegahan penyakit
5. Meningkatkan percaya diri seseorang
6. Menciptakan keindahan
Usaha dalam menjaga kesehatan tubuh yaitu dapat dengan memelihara
kebersihan:
a. Kebersihan badan/kulit, seperti mandi, cuci tangan, dan sebagainya. Ditinjau dari
sudut kesehatan, kebersihan adalah merupakan hal yang paling utama. Berikut ini
dijelaskan beberapa tentang kebersihan badan pribadi:
1) Kebersihan kulit
Kulit sangat penting fungsinya bagi kesehatan seseorang. Oleh karena itu,
kebersihan kulit harus selalu dijaga dan dipelihara, agar kulit dapat menjalankan
fungsinya dengan sebaik-baiknya. Cara membersihkan kulit umumnya dilakukan
dengan mandi.
Mandi berguna untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kulit,
menghilangkan bau keringat, merangsang peredaran darah dan syaraf, melemaskan
otot, memberi kesegaran pada tubuh. Mandi dengan air saja tanpa sabun, membuat
badan seseorang belum cukup bersih, terlebih lagi apabila air yang digunakan mandi
airnya kotor. Oleh sebab itu, apabila mandi seseorang seharusnya menggunakan air
yang bersih dan memakai sabun. (Maryanani, 2013)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
10
Menurut Ratag, dkk (2013) siswa yang tidak memiliki kebiasaan mandi yang
baik dapat terinfeksi cacing 441 kali dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan
yang baik.
2) Kebersihan Tangan dan kuku
Sebagaimana kita ketahui kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan
bahaya kontaminasi dan menimbulkan beberapa penyakit. Beberapa usaha dapat
dilakukan antara lain:
1. Membersihkan tangan sebelum makan
2. Memetong kuku secara teratur
3. Mencuci kaki sebelum tidur (Rejeki, 2015)
Kuku mempunyai fungsi dan peranan yang amat penting dalam kehidupan kita.
Kuku yang kotor dapat menjadi sarang berbagai kuman penyakit yang selanjutnya
dapat ditularkan kebagian-bagian tubuh yang lain. Ciri-ciri kuku yang baik, antara
lain adalah kuku harus tumbuh dengan baik, kuat, bersih, dan halus. Seharusnya tidak
membiarkan kuku terlalu panjang. Cara merawat kuku, antara lain:
a) Dilakukan dengan memotong ujung kuku sampai beberapa milimeter dari
tempat perlekatan antara kuku dan kulit.
b) Potongan kuku disesuaikan dengan bentuk ujung jari supaya kelihatan lebih
bagus.
c) Pergunakan alat pemotong kuku atau gunting yang tajam agar memberikan
hasil potongan kuku yang rapi.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
11
d) Sebaiknya setelah dipotong kikirlah tepi kuku agar menjadi lebih rapi dan
tidak tajam.
e) Setelah pemotongan selesai dilakukan, harus dilanjutkan dengan pencucian.
f) Agar mendatangkan hasil yang baik, maka kuku sebaiknya dicuci dengan air
hangat, dan pergunakan sikat untuk membersihkan sisa-sisa kotoran yang
kemungkinan masih tertinggal.
g) Kemudian tangan, kaki dan kuku dikeringkan dengan lap atau handuk kering
dan bersih. (Maryanani, 2013)
Kebersihan kuku memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi
kecacingan dimana siswa yang memiliki kebersihan kuku yang tidak baik berpeluang
25,186 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebersihan kuku
yang baik. (Fitri, dkk, 2012). Kebiasaan mencuci tangan mempunyai hubungan
dengan kecacingan dimana siswa yang tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan
yang baik berisiko 93 kali dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan mencuci
tangan yang baik. (Ratag, dkk, 2013)
4. Perawatan kaki dan sepatu
Jamur dapat tumbuh di sela-sela kaki, yang meskipun seperti sepele namun dapat
berkembang menjadi luka yang lebih serius. Di luar rumah, hendaknya memakai
sepatu atau sandal dapat mencegah masuknya cacing tambang ke dalam tubuh
melalui telapak kaki, dan untuk memberi keindahan bagi pemakainya. Kaki dapat
membawa kotoran dari jalan ke rumah, oleh sebab itu perlu dibersihkan. (Maryanani,
2013)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
12
Penggunaan alas kaki memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian
kecacingan dimana siswa yang memiliki kebiasaan penggunaan alas kaki yang tidak
baik berpeluang 5,524 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki
kebiasaan penggunaan alas kaki yang baik. (Fitri, 2012)
2.2.Infeksi Cacing
Cacingan (atau sering disebut kecacingan) merupakan penyakit endemik dan
kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan
tertapi mengerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi
gizi dan kesehatan masyarakat. (Zulkani, 2011)
2.2.1. Ascariasis (Cacing Gelang)
Ascariasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi Ascaris
lumbricoides yaitu sejenis nematoda usus yang tergolong superfamili Ascaroidea,
genus Ascaris. Ascaris lumbricoides ditularkan melalui tanah (soil-transmitted
helminths), ditemukan kosmopolit dengan prevalensi tertinggi di daerah yang
beriklim panas dan lembab, dimana keadaan higiene dan kebersihan lingkungan
kurang memadai. Cacing ini juga ditemukan di daerah beriklim panas dan kering.
Prevalensi lebih rendah. Kebanyakan penderita hidup di daerah Asia (73%),
selanjutnya di Afrika (12%), dan Amerika Latin (8%). Di berbagai daerah di
Indonesia prevalensi lebih dari 70%. (Hadidjaja, 2011)
Cacing dewasa yang jantan berukuran panjang 15-31 cm dengan diameter 2
mm- 4 mm. Sedangkan cacing bentina panjangnya berukuran 20-35 cm, kadang-
kadang sampai mencapai 49 cm, dengan diameter 3-6 mm. Tiap hari dari seekor
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
13
cacing Ascaris betina dapat menghasilkan 200.000 telur. Telurnya berbentuk ovoid
(bulat telur), dengan kulit yang tebal dan transparan yang terdiri dari membrane lipoid
vitelin yang relatif nonpermeabel (tidak ada pada telur-telur yang infertil). Lapisan
tengah tebal transparan dibentuk dari glikogen dan lapisan luar terdapat tonjolan-
tonjolan kasar yaitu lapisan albumin berwarna coklat. Membran vitelin yang
impermeable berguna untuk melindungi embrio. (Irianto, 2013)
Gambar 2.1. Cacing Ascaris lumbricoides
Gambar 2.2. Telur Ascaris lumbricoides
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filim : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
14
Sub-kelas : Phasmida
Ordo : Rhabdidata
Sub-ordo : Ascaridata
Familia : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris limbricoides (Linnaeus, 1758)
Sinonim : Ascaris suum (Goeze, 1782)
Lumbricoides vulgaris Merat (1821)
Ascaris texana Smith and Goeth (1904)
Cara Infeksi
Penularan umumnya dapat terjadi melalui makanan, minuman, dan mainan
dengan perantaraan tangan yang terkontaminasi telur Ascaris yang infektif. Infeksi
sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan anak sering
berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur Ascaris.
Didapat juga laporan bahwa dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesuburan
tanaman sayuran dengan mempergunakan feses manusia, menyebabkan sayuran
merupakan sumber infeksi dari Ascaris. (Irianto, 2013)
Gejala klinik
Ascaris sering tidak bergejala tetapi, jika jumlah cacing di dalam perut
semakin banyak, maka berbagai macam gejala akan muncul.
Gejala infestasi cacing yang masih ringan dapat berupa:
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
15
Ditemukannya cacing dalam tinja
Batuk mengeluarkan cacing
Kurang nafsu makan
Demam
Bunyi mengi saat bernafas (wheezing)
Gejala infeksi cacing yang berat antara lain adalah:
Muntah
Nafas pendek
Perut buncit
Nyeri perut
Usus tersumbat
Saluran empedu tersumbat (Zulkani, 2011)
Patologi dan Patogenesis
Adanya siklus cacing yang melewati paru menyebabkan perdarahan kecil
pada dinding usus dan alveolus. Cacing dewasa di dalam usus menyebabkan gesekan
mekanik pada dinding sehingga dapat menyebabkan kelainan mukosa. Kelainan
mukosa menyebabkan penyerapan zat gizi seperti protein, hidrat arang dan vitamin
berkurang. Juga menyebabkan sakit perut dan mual, sehingga akhirnya menyebabkan
masukan (intake) zat gizi berkurang kalau keadaan demikian berjalan menahun,
akhirnya terjadi kekurangan gizi atau malnutrisi, khususnya pada anak balita yang
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
16
menunjukkan gejala-gejala lebih berat daripada orang dewasa meskipun dihinggapi
sejumlah cacing yang sama banyaknya atau kurang. (Hadidjaja, 2011)
Infeksi ini dapat menimbulkan kematian, baik dikarenakan larva maupun
cacing dewasanya. Larva cacing Ascaris lumbricoides dapat menimbulkan hepatitis,
askariasis pneumonia, juga kutaneus edema, yaitu edema pada kulit, terhadap anak-
anak dapat mengakibatkan nausea (rasa mual), kolik (mulas), diare, urtikaria (gatal-
gatal), kejang-kejang, meningitis (radang selaput otak), juga kadang-kadang
menimbulkan demam, apatis rasa mengantuk, strabismus (mata juling) dan paralysis
(kelumpuhan) dari anggota badan. Terjadi hepatitis dikarenakan larva cacing
menembus dinding usus dan terbawa aliran darah vena ke dalam hati, sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada hati. Ascaris lumbricoides dapat menghasilkan telur
dalam setiap harinya 20.000 butir, atau kira-kira 2-3 buah telur tiap detik. Hal ini
dapat menimbulkan anemia, dan dalam jumlah yang sangat banyak ini dapat juga
menyebabkan toksaemia (karena toksin dari ascaris) dan apendisitis yaitu disebabkan
cacing dewasa masuk ke dalam lumen apendiks. (Irianto, 2013)
Diagnosis
Dengan ditemukan telur di dalam tinja, yang berbentuk khas, berwarna kuning
tengguli, diagnosis askaris dapat ditegakkan. Keluarnya cacing dewasa secara spontan
dari tubuh penderita merupakan diagnosis pasti. Tinja negatif telur ascaris dapat
terjadi bilamana cacing dewasa yang terdapat di dalam usus masih muda dan belum
memproduksi telur, hanya terdapat cacing jantan atau penyakit masih dalam waktu
inkubasi dimana baru ada bentuk larva dalam penderita. (Hadidjaja, 2011)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
17
Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi ascaris tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya
antara 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran
tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan
di tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan
memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar
antara 25-300 C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur
A.lumbricoides menjadi bentuk infektif. (Gandahusada, dkk, 2000)
Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada
masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya
piperasin, pirantel, mebendazol atau albendazol.
Oksantel-pirantel adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran
A.lumbricoides dan T.trichanus. untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu:
Obat mudah diterima masyarakat
Aturan pemakaian sederhana
Mempunyai efek samping yang minim
Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis
cacing
Harganya murah (Gandahusada, dkk, 2000)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
18
Pencegahan
Penularan Ascaris dapat terjadi secara oral, maka sebagai pencegahannya
menghindarkan tangan dalam keadaan kotor, karena kemungkinan adanya
kontaminasi dari telur-telur Ascaris, dan membiasakan mencuci tangan sebelum
makan. Menghindarkan sayuran yang mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu dan
jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang
berterbangan dapat mengkontaminasi makan tersebut ataupun dihinggapi serangga di
mana terbawa telur-telur tersebut.
Mengingat prevalensi yang tinggi pada golongan anak-anak maka perlu
diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing Ascaris ini. Dan dianjurkan
untuk membiasakan mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan
memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama di luar rumah. Ada baiknya di
desa-desa diberi pendidikan dengan cara peragaan secara audio visual, sehingga
dengan cara ini mudah dapat dimengerti oleh mereka. (Irianto, 2013)
2.2.2. Trikuriasis (Cacing Cambuk)
Trikuriasis adalah penyakit kosmopolit yang disebabkan Trichuris trichiura,
salah satu cacing yang termasuk kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah dan
terutama ditemukan di daerah tropis pada anak usia 5-15 tahun. Prevalensi di
Indonesia bervariasi antara 60-90% tergantung beberapa faktor antara lain daerah
pemeriksaan misalnya apakah perdesaan, kota, kumuh, bersih dan sebagainya. Variasi
prevalensi juga tergantung umur kelompok yang diperiksa, teknik pemeriksaan,
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
19
pekerjaan seseorang, kebiasaan penduduk setempat seperti tempat buang air besar,
cuci tangan sebelum makan, tidak beralaskan kaki, dll. (Hadidjaja, 2011)
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4
cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya mambulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu
spikulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10.000 butir. (Gandahusada,
dkk, 2000)
Gambar 2.3. Trichuris trichiura
Gambar 2.4. Telur Trichuris trichiura
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
20
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filim : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Aphasmidia
Ordo : Enoplida
Sub-ordo : Trichurata
Super Famili : Trichurioidea
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura Linnaeus (1771)
Sinonim : Trichocephalus trichurus, Blanchard (1895)
Trichuris dispar, Rudolphi (1802)
Trichochepalus hominis Schrenk (1788)
Ascaris trichiura Linne (1771)
Cara Infeksi
Infeksi terjadi jika manusia menelan makanan yang mengandung telur parasit
Trichuris trichiura yang telah mengeram di dalam tanah selama 2-3 minggu. Larva
akan menetas di dalam usus halus lalu berpindah ke usus. Setiap larva akan tumbuh
sepanjang 12,5 cm. (Zulkani, 2011)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
21
Gejala Klinik
Pada infeksi ringan tidak ditemukan gejala. Gejala gastrointestinal yang
nonspesifik dapat dikeluhkan seperti mual, muntah, nyeri abdomen, diare, dan
konstipasi, yaitu pada infeksi yang lebih berat. Kemudian dapat ditemukan disentri
yang bilamana menahun mengarah ke anemia defisiensi besi. Pada kasus berat
ditemukan juga prolapsus rekti. Rektum tampak keluar anus pada waktu mengejan
dan pada permukaannya ditemukan sejumlah cacing yang banyak sekali. (Hadidjaja,
2011)
Patologi dan Patogenesis
Cacing yang dewasa di dalam kolon dan rektum memasukkan kepalanya ke
dalam mukosa usus sehingga menimbulkan iritasi dan luka. Cacing dewasa
menghisap darah dan karena menyebabkan luka pada mukosa usus lama kelamaan
terjadi anemia. Bakteri dan amuba dapat masuk ke dalam luka sehingga
menyebabkan infeksi sekunder bakteri dan infeksi protozoa. (Hadidjaja, 2011)
Cacing menghisap darah tuan rumah dan perdarahan dapat terjadi pada daerah
penyerangan. Trichuris dapat menyerang mukosa apendiks dan disertai penyerangan
bakteri ppathogen sehingga dapat menyebabkan proses imflamatori subkutan. Infeksi
ringan biasanya asimtomatik, sedangkan infeksi berat dapat dikacaukan dengan
penyakit cacing tambang, emeobiasus atau apendiksitis. Pada infeksi berat dapat
terjadi prolapsis rectal yang terjadi karena ketegangan yang disebabkan sering buang
kotoran. (Irianto, 2013)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
22
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan penemuan telur Trichuris di tinja. Gejala
klinik tidak spesifik dan menyerupai berbagai penyakit gastrointestinal lain.
(Hadidjaja, 2011)
Epidemiologi
Infeksi pada manusia sering terjadi tapi intensitasnya rendah. Di daerah tropis
tercatat 80 persen penduduk positif, sedangkan di seluruh dunia tercatat 500 juta yang
terkena infeksi. Infeksi banyak terdapat di daerah curah tinggi, iklim subtropis dan
pada tempat yang banyak populasi tanah. Anak-anak lebih mudah terserang daripada
orang dewasa. Infeksi berat terhadap anak-anak yang suka bermain di tanah dan
mereka mendapat kontaminan dari pekarangan yang kotor. Infeksi terjadi karena
menelan telur yang telah berembrio melalui tangan, makanan, atau minuman yang
telah terkontaminasi, langsung melalui debu, hewan rumah atau barang mainan.
(Irianto, 2013)
Pengobatan
Pengobatan Trichuris sukar dilakukan karena letak cacing di dalam mukosa
usus di luar jangkauan daya anthelmintika. Dianjurkan pemakaian preparat enzim
yang zat putih telur, dengan demikian substansi badan parasit akan hancur,
selanjutnya pemberian zat warna Dithiazanin dalam kapsul yang larut dalam usus
halus. Obat ini per oral sangat toksis, tapi praktis dapat dilakukan sebagai berikut.
0,5-1 gram dilarutkan dalam 300 ml akuades dengan dosis 30 mg per kg berat badan.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
23
Hal ini dilakukan supaya cacing dapat berubah posisi kepalanya dalam waktu
daya kerja obat. Doenges (1996) menganjurkan pemakaian Piperazin (1,8 g dalam
500 ml larutan garam fisiologis). Harapan besar dapat digantungkan pada preparat
baru Diklorovos bendazol (Minzolum R) bekerja baik pada telur-telurnya, tapi tidak
mempan terhadap cacingnya sendiri. Sekarang Mebendazol sudah dikenal cukup
ampuh untuk trichuriasis, dengan dosis 2 kali sehari, selama 3 hari berturut-turut.
(Irianto, 2013)
Pencegahan
Pencegahan yang utama adalah kebersihan, sedangkan infeksi di daerah yang
sangat endemik dapat dengan:
Pengobatan bagi yang terserang cacing Trichuris.
1. Membuang tinja pada tempatnya sehingga tidak membuat pencemaran
lingkungan oleh telur cacing.
2. Mencuci tangan sebelum makan
3. Pendidikan terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan
higiene.
4. Mencuci bersih sayur-sayuran atau memasaknya sebelum dimakan. (Koes,
2013)
2.2.3. Ankilostomasis dan Nekatoriasis (Cacing Tambang)
Ankilostomasis atau nekatoriasis, penyakit yang disebabkan cacing tambang
kadang-kadang disebut anemia pekerja tambang atau penyakit terowongan. Cacing
diberi nama Ancylostoma karena bentuk bagian depan melengkung seperti kait
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
24
(dalam bahasa Yunani ancylo) ditemukan Ancylostomata duodenale dan/atau Necator
americanus, tergantung dari daerah tempat tinggal penderita A. duodenale lebih
banyak ditemukan di dunia lama, sedangkan N. americanus banyak di Dunia baru.
(Hadidjaja, 2011)
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat
pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.amaricanus tiap hari mengeluarkan telur
kira-kira 9000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000 butir. Cacing betina
berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Bentuk
badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale
menyerupai huruf C. Rongga mulut mulut kudua jenis cacing ini besar. N.americanus
mempunyai kitin, sedangkan pada A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan
mempunyai bursaa kopulatriks. (Gandahusada, dkk, 2000)
(a) (b)
Gambar 2.5 (a) Ancylostomata duodenale, (b) Necator americanus
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
25
Gambar 2.6. Telur cacing tambang
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filim : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Phasmidia
Ordo : Rhabditida
Sub-ordo : Strongylata
Superfamilia : Srongyloidea
Familia : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma duodenale.,
Sinonim : Srongylus quadridentatus Siebold, 1851
Dochmius ankylostomum Molin, 1861
Scelerostoma duadenale Cobboold, 1864
Strongylus duodenale Scheider, 1866
Dochmius duodenale Leuckart, 1867
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
26
Uncinaria duodenalis Railliet, 1885
Kingdom : Animalia
Filim : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Phasmidia
Ordo : Rhabditida
Sub-ordo : Strongylata
Superfamilia : Srongyloidea
Familia : Ancylostomatidae
Genus : Necator
Spesies : Necator americanus
Sinonim : Uncinaria Americana Stiles, 1902
Ancylostoma americanus Siccardi, 1905
Ancylostoma Americana Verdun, 1907
Cara infeksi
Membuang air besar di sembarangan tempat menyebabkan penyebaran telur
secara luas dan terus menerus. Telur cacing tambang setelah beberapa hari menjadi
larva infektif di tanah gembur yang menembus kulit manusia yang teduh dan larva
yang disebut larva filariform kemudian akan menembus kulit manusia yang bekerja
atau main di lingkungan tersebut. A. duodenale selain dapat menembus kulit juga
dapat menembus selaput lendir mulut, sedangkan N. amaricanus hanya dapat
menembus kulit. Setelah menembus kulit larva masuk ke dalam aliran darah dan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
27
akhirnya mencapai paru setelah melewati kapilar alveoli paru. Kemudian naik ke
trakea, ke faring, tertelan masuk ke esofagus dan akhirnya sampai di usus halus
dimana menjadi dewasa. (Hadidjaja, 2011)
Patogenesis
Larva di dalam paru menyebabkan lesi berupa bercak-bercak hemoragi. Di
dalam usus cacing dewasa dengan mulutnya yang dilengkapi dengan lempeng khitin
pada N. americanus di bagian dorsal dan dua pasang gigi pada A. duodenale
menancapkan diri pada vili mukosa usus, yang dihisap ke dalam mulut sehingga
kapiler pecah, usus terluka dan keluar darah yang kemudian masuk ke dalam mulut
cacing. Ada 2 pendapat yaitu cacing menggunakan darah itu untuk pertumbuhannya
atau hanya mengambil zat asam untuk keperluan hidupnya. Luka yang dibuat cacing
akan terus mengeluarkan darah dengan dikeluarkan zat-zat anti beku oleh cacing.
Pada waktu melakukan kopulasi cacing-cacing jantan meninggalkan lokasinya di
usus, mencari betina, sehingga terdapat luka di mana-mana yang mengeluarkan darah.
Semakin banyak cacing dewasa semakin banyak luka yang ditimbulkannya. Hal
tersebut mengakibatkan anemia yang sifatnya hipokhrom normositer. (Hadidjaja,
2011)
Gejala klinik
Pada tempat larva filariform cacing tambang menembus kulit terjadi kelainan
yang disebut ground-itch, berupa kemerahan kulit yang gatal sekali sebagai reaksi
alergi. Biasanya kelainan ini ditemukan pada tungkai kaki atau tungkai bawah dan
terjadi selama kira-kira seminggu. Setelah masuk ke dalam kulit larva meneruskan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
28
perjalanan di dalam badan manusia dan di dalam paru menembus alveolus masuk ke
dalam trakea. Perjalanan larva ini disertai batuk dan pneumonitis. Akhirnya bila
sudah sampai di usus dan menjadi dewasa penderita dapat mengalami nausea, diare
dan sakit perut. Kadang-kadang ada gejala yang disebut pica yaitu penderita makan
kotoran seperti tanah dan pasir. (Hadidjaja, 2011)
Diagnosis
Ditemukan gejala kulit berupa grounditch atau anemia dapat mengarah ke
diagnosis infeksi dengan cacing tambang bilamana dilakukan anamnesis secara
cermat yaitu dengan memperhatikan misalnya pekerjaan, lingkungan, sosial-ekonomi
penderita. Gejala klinik oleh cacing dewasa baru timbul pada infeksi sejumlah cacing
yang banyak yaitu kira-kira melebihi 200 cacing dewasa. Infeksi dengan beberapa
cacing tambang tidak akan menimbulkan gejala klinik. Di dalam tinja segar
ditemukan banyak telur dengan ciri-ciri khas, sedangkan di dalam spesimen tinja
yang lama dapat ditemukan larva rabditiform atau filariform. Telur berbentuk bulat,
berukuran 40µm x 60µm, tidak berwarna dengan dinding hialin, tipis, transparan
berisi 4-8 sel embrio. (Hadidjaja, 2011)
Epidemiologi
Telur cacing ini untuk pertumbuhannya memerlukan temperatur terendah
sekitar 180C dan tanah yang lembab. Dengan demikian suatu kenyataan, bahwa
daerah-daerah panas merupakan tempat penyebarannya. Telur akan rusak bila
temperaturnya turun dibawah 100C. Migrasi orang-orang juga merupakan faktor
penyebaran. Cacing tambang terdapat di daerah tropika dan subtropika di antara 450
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
29
Lintang Utara dan 300 Lintang selatan, kecuali Ancylostoma duodenale terdapat di
daerah pertambangan Eropa Utara. Necator americanus tersebar di separuh belahan
bumi sebelah barat, Afrika tengah dan selatan, Asia Selatan, Indonesia, Australia dan
Kepulauan Pasifik.
Penyebaran disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
1. Pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat-tempat yang
dilewati orang lain
2. Tanah atau pasir tempat pembuangan kotoran yang merupakan medium yang
baik bagi larva
3. Suhu panas dan lembab
4. Populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu
Di Cina perpindahan terjadi karena pemakaian pupuk dari kotoran manusia. Di
Indonesia ankilostomasis banyak terdapat pada karyawan perkebunan karet. Orang
Negro lebih resisten dari orang kulit putih terhadap Necator americanus. (Irianto,
2013)
Pengobatan
Pengobatan massal dapat dilakukan bila frekuensinya melebihi 50%, jumlah
cacing rata-rata melebihi 150 ekor dan bila fasilitas untuk memeriksa seluruh
penduduk setempat tidak ada. Di perdesaan, bila sistem pengairan air selokan tidak
baik untuk sanitasi, defekasi di sembarang tempat dapat dihindari dengan pembuatan
lubang-lubang kakus. (Koes, 2013)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
30
Pengobatan massal meskipun ada obat yang ampuh, sulit dilaksanakan, karena
dilakukan 3-4 kali setahun dan harga obat tidak terjangkau. Maka penyuluhan kepada
masyarakat menjadi penting sekali dan dititik beratkan pada perubahan kebiasaan
yang mempertinggi prevalensi infeksi cacing dan mengembangkan sanitasi
lingkungan yang baik. (Gandahusada, dkk, 2000)
Pencegahan
Pencegahan infeksi cacing tambang dapat dihindarkan dengan cara sebagai
berikut.
1. Pembuangan tinja pada jamban-jamban yang memenuhi syarat kesehatan
2. Memakai sepatu untuk menghindari masuknya larva melalui kulit
3. Mengobati orang-orang yang mengandung parasit (Irianto, 2013)
2.3. Kerangka Teori
(Neafie RC, Margono SS, Piggott J, Spillmann RK, Hadidja P, Khuroo MS, NgKK,
Wong HF, Kong MS, Ismid IS, Goldsmith RS, Muttalib MA, Sasongko A, dalam
Hadidjaja, 2011)
1. Higiene Perorangan
2. Kebersihan
Lingkungan
Kecacingan
Tanah
Daerah Tropis
Iklim panas
dan lembab
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
31
2.4. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
2.5. Hipotesis Penelitian
1) Ada hubungan pemakaian alas kaki dengan kejadian kecacingan Soil-
transmitted helminths pada siswa SDN 060952 Kelurahan Martubung,
Kecamatan Medan Labuhan tahun 2016.
2) Ada hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan Soil-
transmitted helminths pada siswa SDN 060952 Kelurahan Martubung,
Kecamatan Medan Labuhan tahun 2016.
3) Ada hubungan kebersihan kuku dan tangan dengan kejadian kecacingan Soil-
transmitted helminths pada siswa SDN 060952 Kelurahan Martubung,
Kecamatan Medan Labuhan tahun 2016.
4) Ada hubungan kebiasaan mandi dengan kejadian kecacingan Soil-transmitted
helminths pada siswa SDN 060952 Kelurahan Martubung, Kecamatan Medan
Labuhan tahun 2016.
Higiene Perorangan
Pemakaian Alas Kaki
Kebiasaan Mencuci
Tangan
Kebersihan Kuku dan
Tangan
Kebiasaan Mandi
Kecacingan Soil-
transmitted
helminths
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA