bab ii tinjauan pustaka a.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/bab ii.pdf · 2019. 12. 5. ·...

26
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agent Agent adalah sesuatu yang disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur biologis yang dikarenakan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protzoa, metazoa dll), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksid, obat obatan, arsen pestisida dll), unsur fisika yang disebabkan pelh panas, benturan dll, serta unsur psikis atau genetik yang terkait dengan herditer atau keturunan. Demikian juga dengan unsur kebiasaan hidup (rokok, alcohol dll), perubahan hormonal dan unsur fisioigis seperti kehamilan, persalinan dll. (Budiarto, 2003). B. Jenis Jenis Cacing 1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) a. Morfologi dan Siklus Hidup Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Gelang

Upload: others

Post on 04-Mar-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Agent

Agent adalah sesuatu yang disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur

biologis yang dikarenakan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur,

parasit, protzoa, metazoa dll), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak

memenuhi standar gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan

karena bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon

monoksid, obat obatan, arsen pestisida dll), unsur fisika yang disebabkan

pelh panas, benturan dll, serta unsur psikis atau genetik yang terkait dengan

herditer atau keturunan. Demikian juga dengan unsur kebiasaan hidup (rokok,

alcohol dll), perubahan hormonal dan unsur fisioigis seperti kehamilan,

persalinan dll. (Budiarto, 2003).

B. Jenis – Jenis Cacing

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

a. Morfologi dan Siklus Hidup

Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Gelang

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

9

. Di tanah yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk

infektif dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Bila telur infektif tertelan,

telur akan menetas menjadi larva di usus halus. Selanjutnya larva

menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe,

lalu terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru, larva menembus

dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus,

kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva

menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan di faring sehingga

penderita batuk dan larva tertelan ke dalam esofagus, lalu ke usus halus. Di

usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur infektif

tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3

bulan (Depkes RI, 2017:23). A. lumbricoides merupakan jenis cacing

terbanyak yang menyebabkan infeksi pada manusia. Angka kejadian

infeksi A.lumbricoides ini cukup tinggi di negara berkembang seperti

Indonesia dibandingkan dengan negara maju (Rampengan,2015).

Tingginya angka kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena

banyaknya telur disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan

tanah kondusif. Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan

kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat baik untuk

menunjang perkembangan telur cacing A.lumbricoides tersebut (Sutanto

dkk, 2014).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

10

b. Gejala Klinis

1. Fase migrasi larva

Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada

jaringan yang dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan

respons inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks dan

akan menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala

pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering,

demam dan pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai

darah. Pneumonia yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE

disebut sindrom Loeffler. Larva yang mati di hati dapat

menimbulkan granuloma eosinofilia. (Depkes RI, 2017)

2. Fase intestinal

Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang

menimbulkan gejala klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak

khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, lesu,

tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing Ascaris dapat

menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan

mikronutrisi. Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan

kegagalan pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan,

terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.

Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus

sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing dewasa dapat

masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis

(radang usus buntu) akut atau gangren. Jika cacing dewasa masuk

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

11

dan menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis

(radang kantong empedu), kolangitis (radang saluran empedu),

pangkreatitis dan abses hati. Selain ke bermigrasi ke organ, cacing

dewasa juga dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau

hidung. Migrasi cacing dewasa dapat terjadi karena rangsangan

seperti demam tinggi atau obat-obatan. (Depkes RI, 2017).

c. . Diagnosis

Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides

pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja

dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan

Infeksi berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila

cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut, hidung atau anus.

(Depkes RI, 2017).

d. Pengobatan

Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk

askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2

tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200 mg

untuk anak usia 12 –24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasadan

anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol

diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk

ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1

gram.

Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat akibat

cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan apendiks. Pengobatan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

12

askariasis harus disertai dengan perubahan perilaku hidup bersih sehat

dan perbaikan sanitasi (Depkes RI, 2017).

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

a. Morfologi dan siklus hidup

Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing Cambuk

Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur

tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam

lingkungan yang sesuai, yaitu di tanah yang lembab dan teduh

dengan suhu 30o C. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan

merupakan bentuk infektif. Bila telur matang tertelan, larva akan

keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.

Sesudah menjadi dewasa cacing akan turun ke usus bagian distal dan

masuk ke daerah kolon,terutama sekum. Cacing dewasa hidup di

kolon asendens dan sekumdengan bagian anteriornya yang seperti

cambuk masuk ke dalammukosa usus. T. Trichiura tidak mempunyai

siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai

cacing dewasa betina bertelur ±30 -90 hari (Depkes RI, 2017:25).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

13

Cacing betina panjangnya ± 5 cm, sedangkan cacing jantan ± 4cm.

Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya ± 3/5 dari panjang

seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk; pada cacing

betina bulat tumpul sedangkan pada cacing jantanmelingkar dan terdapat

satu spikulum. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap

hari sebanyak 3.000 -10.000 butir.

b. Patofisiologi dan gejala klinis

T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis.

Trikuriasis ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang

jelas atau sama sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat terutama pada

anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat

menimbulkan prolapsus rekti (keluarnya dinding rektum dari anus)

akibat Penderita mengejan dengan kuat dan sering timbul pada

waktu defekasi. Selain itu Penderita dapat mengalami diare yang

diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat badan

turun.Bagian anterior cacing yang masuk ke dalam mukosa usus

menyebabkan trauma yang menimbulkan peradangan dan

perdarahan. T. trichiura juga mengisap darah hospes, sehingga

mengakibatkan anemia. (Depkes RI, 2017).

c. Diagnosis

Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada

sediaan basah tinja langsung atau menemukan cacing dewasa pada

pemeriksaan kolonoskopi. Telur T. trichiura memilki karakteristik

seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua

kutub sehingga mudah untuk diidentifikasi. Penghitungan telur per

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

14

gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk

menentukan berat ringannya infeksi (Depkes RI, 2017).

d. Pengobatan

Obat untuk trikuriasis adalah albendazol 400 mg selama 3 hari

ataumebendazol 100mg 2x sehari selama 3 hari berturut-turut.

(Depkes RI, 2017).

3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

a. Morfologi dan Siklus Hidup

Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang

Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang

sesuai telur menetas mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1 -

2 hari. Larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform dalam

waktu ± 3 hari. Larva filariform bertahan hidup 7 - 8 minggu di

tanah dan dapat menembus kulit. Infeksi terjadi bila larva filariform

menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga dapat terjadi dengan

menelan larva filariform.Bila larva filariform menembus kulit, larva

akan masuk ke kapiler darah dan terbawa aliran darah ke jantung dan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

15

paru. Di paru larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding

alveolus, kemudian masuk rongga alveolus, dan naik ke trakea

melalui bronkiolus dan bronkus menuju ke faring. Di faring larva

akan menimbulkan rangsangan sehingga penderita batuk dan larva

tertelan masuk ke esofagus. Dari esofagus, larva menuju ke usus

halus dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa. (Depkes RI, 2017).

Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia

adalah A. duodenale dan N. americanus. Cacing betina berukuran

panjang ± 1 cm sedangkan cacing jantan berukuran ± 0,8 cm. Cacing

jantan mempunyai bursa kopulatriks. Bentuk badan N. americanus

biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale menyerupai

huruf C. N. americanus tiap hari bertelur 5.000-10.000 butir,

sedangkan A. duodenale 10.000-25.000 butir. Rongga mulut N.

americanus mempunyai benda kitin, sedangkan A. duodenale

mempunyai dua pasang gigi yang berfungsi untuk melekatkan diri di

mukosa usus. Cacing tambang diberi nama “cacing tambang” karena

pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja

pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang

memadai. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan

lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. bentuk infektif dari

cacing tersebut adalah bentuk filariform. Setelah cacing tersebut

menetas dari telurnya, munculah larva rhabditiform yang kemudian

akan berkembang menjadi larva filariform.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

16

b. Patofisiologi dan Gejala Klinis

1. Stadium larva

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka

terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch yaitu reaksi lokal

eritematosa dengan papul-papul yang disertai rasa gatal.

Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan

penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faringeal,

batuk, sakit leher, dan suara serak. Larva cacing di paru dapat

menimbulkan pneumonitis dengan gejala yang lebih ringan dari

pnemonitis Ascaris. (Depkes RI, 2017).

2. Stadium Dewasa

Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat dari

kehilangan darah karena invansi parasit di mukosa dan submukosa

usus halus. Gejala tergantung spesies dan jumlah cacing serta

keadaan gizi penderita. Seekor N Americanus menyebabkan

kehilangan darah sebanyak 0,005 – 0,1 cc/ hari, sedangkan A.

Duodenale 0,08 – 0,34 cc / hari. Biasanya terjadi anemia hipokrom

mikrositer dan eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak

menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi

kerja turun (Depkes RI, 2017).

c. Diagnosis

Diagnosis di tegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar.

Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Penghitungan telur

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

17

per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk

menentukan berat ringannya infeksi (Depkes RI, 2017).

d. Pengobatan

Obat untuk ifeksi cacing tambang adalah albendazol dosis tunggal

400 mg oral atau mebendazol 2 x 100 mg/ hari atau pirantel pamoat 11

mg/kgBB maksimum 1 gram. Mebendazol dan pirantel pamoat

diberikan selama 3 hari berturut-turut, WHO merekomendasikan dosis

albendazol yaitu 200 mg untuk mengingkatkan kadar haemoglobin

perlu diberikan asupan makanan bergizi dan suplemen zat besi (Depkes

RI, 2017).

C. Kecacingan

Cacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing dalam

tubuh manusia yang ditularkan melalui tanah. Penderita Cacingan yang

selanjutnya disebut Penderita adalah seseorang yang dalam pemeriksaan

tinjanya mengandung telur cacing dan/atau cacing (Depkes RI, 2017).

Cacingan yang akan dibahas adalah infeksi dari cacing yang ditularkan

melalui tanah (soil transmitted helminths/STH) yaitu cacing yang dalam

siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi

bentuk infektif. STH yang banyak di Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang

(Ancylostoma duodenale, Necator americanus). (Depkes RI, 2017).

Telur cacing gelang (A. lumbricoides) dan cacing cambuk (T. trichiura)

dalam siklus hidupnya memerlukan tanah liat serta lingkungan yang hangat

dan lembab untuk dapat berkembang menjadi bentuk infektif.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

18

Telur A. lumbriciodes yang telah dibuahi dan mencemari tanah akan

menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimum 25o - 30

oC. Telur

T. trichiura akan matang dalam 3 - 6 minggu pada suhu optimum 30oC. Telur

matang kedua spesies itu tidak menetas di tanah dan dapat bertahan hidup

beberapa tahun, khususnya telur A. lumbricoides. Selain keadaan tanah dan

lingkungan yang sesuai, endemisitas juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang

dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam hospes

(inang). Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah,

debu, sayuran, dan lain-lain), semakin tinggi endemisitas di suatu daerah.

(Depkes RI, 2017).

Di daerah perkebunan dan pertambangan sering terjadi infeksi cacing

tambang pada penduduk yang tinggal di sekitarnya. Cacing tambang dalam

siklus penularannya memerlukan tanah berpasir yang gembur, tercampur

humus, dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang

menetas menjadi larva rhabditiform dalam waktu 24 – 36 jam untuk

kemudian pada hari ke 5 – 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu

optimum bagi N.americanus adalah 28o – 32

oC dan untuk A.duodenale sedikit

lebih rendah yaitu 23o – 25

oC sehingga N.americanus lebih banyak

ditemukan di Indonesia dari pada A.duodenale. Larva filariform dapat

bertahan 7 – 8 minggu di tanah. (Depkes RI, 2017).

Gejala penyakit kecacingan memang tidak nyata dan sering dikaitkan

dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan

eosinofelia. Anak yang menderita kecacingan biasanya lesu, tidak bergairah,

konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

19

perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut); biasnaya

pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes) dan seperti batuk pilek, perut

sering sakit, diare dan nafsu makan kurang.

Gambar 2.4 Cacing Perut di Dalam Usus

D. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia

Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi

telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui

tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui

makanan sedangkan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus telur

dikeluarkan bersama feses kemudian telur berubah menjadi larva filariform

bertahan hidup 7-8 minggu ditanah dan dapat menenbus permukaan kulit.

(Depkes RI, 2017).

Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui

makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan

tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada

makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat

yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya

membawa telur cacing tersebut (Helmy, 2015).

Transmisi sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses

pembersihan nya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

20

tersebut diberi pupuk berupa tinja segar. Penggunaan tinja sebagai pupuk

harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi

(Jalaluddin, 2009).

E. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit Cacingan di Indonesia

secara nasional dimulai pada tahun 1975 setelah dibentuk unit struktural di

Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan, yaitu Sub Direktorat

Cacing Tambang dan Parasit Perut Lainnya. Karena terbatasnya dana

kebijakan pemberantasan Cacingan dilakukan “Limited Control Programme”,

program pemberantasan yang dilaksanakan pada PELITA III (tahun 1979 –

1984) yang mengambil prioritas utama yaitu daerah produksi vital

(pertambangan, perkebunan, pertanian, transmigrasi dan industri). (Depkes

RI, 2017).

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya

adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan

pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan

serta pendidikan kesehatan (Depkes RI, 2017).

Hal yang perlu dibiasakan agar terhindar dari penyakit kecacingan

sebagai berikut :

a. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan,

gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.

b. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

21

c. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap

jempol.

d. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.

e. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan

buang kotoran di jamban.

f. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban

g. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang

tangan.

h. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke

puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.

i. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas

j. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya

kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.

k. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang

mentah atau setengah matang.

l. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.

m. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap

penyakit kecacingan.

n. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang

mengalir.

Menurut Sugiyono (2010) kunci pemberantasan cacingan adalah

memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram

jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir

atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

22

di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci

tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai

penularan cacingan bisa diputus. Pada saat bersamaan, anak-anak yang

menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah

minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga.

Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu

bertahuntahun. Negara maju sepenti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh

ulah para cacing perut ini.

Pada kasus kecacingan baik ringan maupun sedang, gejalanya sulit untuk

diketahui. Untuk memastikannya, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan

mikroskop, jika terbukti mengandung telur cacing anak tersebut harus segera

diberi pengobatan.

F. Host

Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikian rupa

sehingga menjadi faktor risiko yang terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di

sebabkan oleh faktor intrinsik. Faktor penjamu dan agent dapat diumpamakan

sebagai tanah dan benih. Tumbuhnya benir tergantung keadaan tanah yang

dianalogikan dengan timbulnya penyakit yang tergantung dari keadaan

penjamu (Budiarto, 2003).

1. Faktor Personal Hygiene

Personal hygiene atau kebersihan perorangan adalah upaya

seseorang untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya

sendiri, antara lain seperti memelihara kebersihan kuku, tangan, kaki,

rambut, makan makanan yang sehat, cara hidup teratur, meningkatkan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

23

daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, meningkatkan taraf kecerdasan

dan rohani, melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat

dan pemeriksaan kesehatan (Entjang, 2001 Dalam Nuramani, 2016).

Pencegahan dan pemberantas penyakit cacing pada umumnya merupakan

pemutusan rantai penularan, yaitu salah satunya dengan melakukan praktik

personal hygiene.

Infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang sangat

erat dengan kebiasaan defekasi (buang air besar/BAB) sembarangan, tidak

mencuci tangan sebelum makan serta anak-anak yang bermain di tanah

tanpa menggunakan alas kaki dan kebersihan kuku. Kebiasaan BAB

sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing. Pada

umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab dan kemudian

berkembang menjadi telur infektif. Telur cacing infektif yang ada di tanah

dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia bila tidak mencuci

tangan sebelum makan dan infeksi Cacingan juga dapat terjadi melalui

larva cacing yang menembus kulit (Depkes RI, 2017).

a. Kebiasaan Memakai Alas Kaki

Kebiasaan menggunakan alas kaki merupakan aktivitas

menggunakan alas kaki berupa sandal atau sepatu ketika berada diluar

rumah, khususnya ketika akan kontak dengan tanah. Penelitian tersebut

didukung oleh penelitian Fitri dkk (2012) memberikan pengaruh

bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Hasil uji chi-square

diperoleh nilai P value = 0,000 , maka dapat disimpulkan ada hubungan

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

24

yang signifikan antara penggunaan alas kaki dengan infeksi kecacingan.

Kaki merupakan bagian dari tubuh kita pertama yang melakukan kontak

langsung dengan tanah. Selain melalui makanan yang tercemar oleh

larva cacing, cacing juga masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit

(pori-pori) yang tidak menggunakan alas kaki (Fitri dkk, 2012). Larva

cacing yang berada di tanah masuk melalui kulit lewat kaki anak tidak

memakai alas kaki yang menginjak larva atau telur, yang biasanya

ditandai dengan munculnya rasa gatal. Maka untuk menghindari

masuknya telur cacing melalui perantaraan kulit kaki perlu dilakukan

upaya penggunaan alas kaki (Chadijjah, 2014).

b. Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan

Anak – anak paling sering terserang penyakit cacingan karena

biasanya jari – jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau

makan nasi tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.

Menjamah makanan tanpa mencuci tangan memakai sabun terlebih

dahulu sangat berbahaya karena ditangan terdapat banyak kotoran

setelah melakukan banyak kegiatan. Kegiatan manusia sebagian besar

menggunakan tangan sehingga tangan dapat menjadi sumber penularan

penyakit, penyakit yang dapat ditularkan melalui tangan antara lain,

diare, kecacingan, keracunan dll (Jalaludin,2009).

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Jalaluddin (2009) pada

anak SD di Kota Lhokseumawe Tahun mencuci tangan yang benar dan

menggunakan sabun sebelum makan dapat mengurangi infeksi cacing

gelang. Menurut Mujid, bahwa cara yang paling baik dalam

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

25

memutuskan mata rantai penularan infeksi kecacingan yang ditularkan

melalui tanah, antara lain dengan menjaga kebersihan pribadi misalnya

mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan menggunting kuku

secara rutin. (Fitri dkk, 2012).

Berdasarkan penelitian (Widyasari,2015) dalam penelitian

pengaruh sanitasi lingkungan, personal hygiene dan karakteristik anak

terhadap infeksi kecacingan pada murid Sekolah Dasar, menemukan

bahwa ada pengaruh antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan

dengan kejadian infeksi kecacingan.

c. Kebiasaan Memotong Kuku

Kebersihan kuku dapat berhubungan dengan infeksi cacing,

dimana kuku yang panjang dan kotor dapat menjadi tempat melekatnya

berbagai kotoran yang mengandung mikroorganisme, salah satunya

adalah telur cacing. Telur cacing dapat terselit di dalam kuku, kemudian

dapat masuk kedalam tubuh apabila tertelan. Hal tersebut dapat

diperparah bila tidak terbiasa mencuci tangan dengan sabun dan air

mengalir sebelum makan (Jalaluddin, 2009).

. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Fitri, dkk (2012) yang

menemukan adanya hubungan antara kebersihan kuku dengan infeksi

cacing pada murid SD (P=0,000). Pertumbuhan kuku jari tangan dalam

1 minggu rata-rata 0,5 mm sampai 1,5 mm, empat kali lebih cepat dari

pada pertumbuhan kuku jari kaki.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

26

G. Environment

Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang

terjadinya penyakit, karena faktor ini datangnya dari luar atau biasa disebut

dengan faktor ekstrinsik. Faktor lingkingan ini dibagi menjadi lingkungan

biologis (flora dan fauna), lingkungan fisik dan lingkungan sosial ekonomi

(Budiarto, 2003).

Cara seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun

sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak

mempengaruhi kesehatan nya. Dengan kata lain seseorang mengelola

lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga

atau masyarakatnya. Misalnya mengelola pembuangan tinja, air minum,

tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah dan sebagainya untuk

menghindari penyakit termasuk penyakit lingkungan (Notoatmodjo, 2012).

H. Faktor Sanitasi Lingkungan

a. Sarana Air Bersih

Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat, air yang diperuntukan untuk dikonsumsi manusia

harus berasal dari sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan sumber

air yang bersih dan aman antara lain: bebas dari kontaminasi kuman dan

bibit penyakit, bebas dari bahan beracun, tidak berasa berwarna dan

berbau, dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan

rumah tangga serta memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh

Depkes RI. (Chandra, 2007).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

27

Penyakit yang ditularkan melalui air yaitu waterborne disease atau

water- relate disease. Terjadinya suatu penyakit tentunya memerlukan

adanya agen dan terkadang vektor. Salah satu penyakit yang dapat

ditularkan melalui air berdasarkan tipe agen penyebabnya yaitu

askariasis. (Chandra, 2007). Feses yang mengandung askariasis akan

mencemari sumber air bersih apabila jaraknya kurang dari 10 meter dari

sumber pencemar.

Kondisi sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat fisik (berwarna,

berasa dan berbau) dapat mencemari air bersih tersebut sehingga dapat

menyebabkan adanya mikroba yang dapat menyebar lewat air yaitu

antara lain virus, bakteri, protozoa dan metazoa. ( Sinaga E, 2014).

Hubungan syarat fisik air bersih dengan kecacingan sebagai pengantar

karena apabila air tidak memenuhi syarat fisik (tidak berbau, berwarna,

berasa) kemungkinan bahwa jarak antara sumber pencemar dengan

sumber air bersih kurang dari 10 meter yang menyebabkan adanya

bakteri dan patogen.

b. Jenis Lantai Rumah

Kondisi rumah dapat mempengaruhi kesehatan penghuninya, maka

rumah yang ditinggali harus masuk kedalam kategori rumah sehat agar

kesehatan penghuni dapat terjaga. Salah satu persyaratan rumah sehat

adalah memiliki bangunan yang kuat dan lantai yang mudah dibersihkan.

Lantai yang memenuhi persyaratan adalah lantai yang tidak berdebu pada

musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Maka, sebaiknya

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

28

lantai rumah terbuat dari ubin, keramik atau semen agar tidak lembab dan

menimbulkan genangan air. (Nurmarani, 2016).

Siklus hidup cacing pada fase telur membutuhkan media tanah yang

lembab untuk melanjutkan siklus hidupnya, maka rumah dengan lantai

tanah dapat berkontribusi dalam penularan infeksi kecacingan, karena

memperbesar kemungkinan kontaminasi tangan dengan telur cacing

ketika tangan dan kaki bersentuhan langsung dengan tanah. (Hadidjaja

dan Margono, 2011).

Suhu atau temperature tanah yang ideal untuk cacing yaitu bekisar

15oC

– 25

o C dengan kelembaban optimum 42%- 60%. Kelembaban

tanah yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan cacing dan

larva berwarna pucat dan mati.

Penelitian Fitri dkk, (2012), menemukan bahwa terdapat hubungan

antara air bersih yang tidak memenuhi syarat fisik dengan penyakit

kecacingan (P=0,000) pada murid SD di Kecamatan Angkola Timur,

Tapanuli Selatan.

c. Kondisi Jamban

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan

mengumpulkan kotoran/najis yang lazim disebut WC, sehingga kotoran

atau najis tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi

penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman

(Jalaluddin,2009).

Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai

macam penyakit seperti : Diare, Cholera, Dysentri, Poliomyelitis,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

29

Ascariasis dan sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat.

Selain menimbulkan bau, mengotori lingkungan juga merupakan media

penularan penyakit pada masyarakat. Perjalanan agent penyebab penyakit

melalui cara transmisi seperti dari tangan, maupun melalui peralatan

yang terkontaminasi ataupun melalui mata rantai lainnya. Dimana

memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab

infeksi masuk melalui saluran pencernaan (Jalaludin, 2009).

Model dan bentuk jamban yang memenuhi syarat kesehatan antara lain :

1. Jamban leher angsa (angsa latrine)

Jamban leher angsa adalah jamban leher lubang closet

benbentuk lengkung, dengan demikian akan terisi air gunanya

sebagai sumbat sehingga dapat mencegah bau busuk serta

masuknya binatang-binatang kecil. Jamban model ini adalah model

yang terbaik yang dianjurkan dalam kesehatan lingkungan.

2. Jamban cemplung

Jamban cemplung adalah jamban yang tempat penampungan

tinjanya dibangun dibawah tempat injakan atau di bawah bangunan

jamban. Fungsi dari lubang adalah mengisolasi tinja sehingga

sedemikian rupa tidak memungkinkan penyebaran dari bakteri

secara langsung ke penjamu yang baru. Jenis jamban ini kotoran

langsung masuk ke jamban dan tidak terlalu lama karena tidak

terlalu dalam karena akan mengotori air tanah, kedalamannya 1,5 –

3 meter.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

30

Penelitian Yudhastuti dan Lusno (2014) menunjukan bahwa

terdapat hubungan anak yang memiliki jamban tidak memenuhi

syarat dengan kejadian kecacingan dengan (P=0,000).

Menurut Notoatmodjo (2007:184) untuk mencegah kontaminasi

tinja terhdapat lingkungan maka pembuangan kotoran harus

menggunakan jamban yang sehat. Suatu jamban dikatakan sehat

apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

a. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut.

b. Tidak mengotori air permukaan dan air tanah disekitarnya

c. Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa serta

binatang- binatang lainnya

d. Tidak menimbulkan bau

e. Mudah digunakan dan dipelihara

f. Sederhana desainnya

g. Murah

h. Dapat diterima oleh pemakainya

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

31

I. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi dari Budiarto Eko (2003),

Permenkes RI No.15 (2017)

Agent

1. Cacing gelang (Ascaris

lumbricoides)

2. Cacing tambang

(Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus)

3. Cacing Cambuk (Trichuris

trichiura)

Host

Personal Hygiene

1. Kebiasaan memakai alas

kaki

2. Kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan

3. Kebiasaan memotong kuku

Lingkungan

1. Sarana Air Bersih

2. Jenis lantai rumah

3. Kondisi Jamban

Kejadian Kecacingan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

32

2. Kerangka Konsep

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

Personal Hygiene

1. Kebiasaan memakai

alas kaki

2. Kebiasaan mencuci

tangan sebelum

makan

3. Kebiasaan memotong

kuku

Sanitasi Lingkungan

1. Kepemilikan Jamban

2. Jenis lantai Rumah

3. Sarana Air Bersih

Kejadian Kecacingan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.repository.poltekkes-tjk.ac.id/508/4/BAB II.pdf · 2019. 12. 5. · pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi

33

J. Hipotesis

a. Ada hubungan kondisi jamban dengan kejadian kecacingan Murid Sekolah

Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.

b. Ada hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian kecacingan Murid

Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.

c. Ada hubungan sarana air bersih dengan kejadian kecacingan Murid Sekolah

Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.

d. Ada hubungan kebiasaan memakai alas kaki dengan kejadian kecacingan

Murid Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.

e. Ada hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan Murid

Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.

f. Ada hubungan kebiasaan memotong kuku dengan kejadian kecacingan

Murid Sekolah Dasar di Desa Panca Tunggal Tahun 2019.