dispnea lengkap

80
DISPNEA Sesak napas adalah keluhan pernapasan yang paling sering memerlukan terapi darurat; tetapi intensitas dan pentingnya keluhan ini dapat berkisar antara rasa tak enak yang ringan pada suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri sampai kekurangan udara hebat pada keadaan yang akan segera menyebabkan kematian. Definisi Berdasarkan Harrison’s, dispnea dapat diartikan sebagai an abnormally uncomfortable awareness of breathing, diterjemahkan sebagai suatu perasaan tidak enak/ tidak nyaman ketika bernapas yang abnormal atau diluar keadaan normal. Penyebab Dispnea Penyakit saluran nafas : 1 Asma 2 Bronchitis kronis 3 Emfisema 4 Obstruksi laring 5 Aspirasi benda asing Penyakit Parenkim : 1 Pneumonia 2 Gagal jantung kongestif’ 3 ARDS 4 Fibrosis Paru-paru idiopatik

Upload: welci-otemusu

Post on 26-Nov-2015

112 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

DISPNEA

DISPNEA

Sesak napas adalah keluhan pernapasan yang paling sering memerlukan terapi darurat; tetapi intensitas dan pentingnya keluhan ini dapat berkisar antara rasa tak enak yang ringan pada suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri sampai kekurangan udara hebat pada keadaan yang akan segera menyebabkan kematian.

Definisi

Berdasarkan Harrisons, dispnea dapat diartikan sebagai an abnormally uncomfortable awareness of breathing, diterjemahkan sebagai suatu perasaan tidak enak/ tidak nyaman ketika bernapas yang abnormal atau diluar keadaan normal.

Penyebab DispneaPenyakit saluran nafas :

1 Asma

2 Bronchitis kronis

3 Emfisema

4 Obstruksi laring

5 Aspirasi benda asing

Penyakit Parenkim :

1 Pneumonia

2 Gagal jantung kongestif3 ARDS

4 Fibrosis Paru-paru idiopatik

5 Infiltrat paru-paru dengan eosinofilia

Penyakit pembuluh darah paru-paru :

1 Embolisme

2 Kor pulmonale

3 Hipertensi pulmonalis primer

4 Penyakit sumbatan vena paru-paru

Penyakit pleura :

1 Pneumotoraks

2 Efusi hemotoraks

3 Fibrosis

Penyakit dinding dada :

1 Cedera

2 Penyakit neurology

3 Kelainan kerangka

Penyakit jantung :

1 Gagal jantung 11Keadaan sesak ini merupakan akibat kurang lancarnya pemasukan udara saat inspirasi maupun pengeluaran udara saat ekspirasi, yang disebabkan oleh adanya penyempitan ataupun penyumbatan pada tingkat bronkeolus/bronkus/trakea/larings. Sebab lain adalah karena berkurangnya volume paru, bisa juga karena ekspansi paru terhambat. Perlu diingat berbagai sebab yang tidak ada hubungannya dengan paru, misalnya anemia berat, decompensatio cordis, dll. 5Anamnesis KhususBila seseorang menderita sesak napas, maka perlu diperhatikan bahwa pada hakekatnya keluhan ini adalah kesadaran untuk bernapas lebih intensif, sehingga pernapasan tidak dilakukan lagi secara spontan tetapi dengan memaksakan diri, karena itu lalu dirasakan sebagai hal yang tidak menyenangkan. Dengan demikian sesak napas itu baru akan timbul bila pernapasan biasa sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan tubuh akan pengambilan oksigen dari udara.

Dengan demikian, maka keluhan sesak napas sama sekali tidak mencakup keadaan atau sebab yang mengakibatkannya, misalnya sseorang yang telah berolahraga lari akan mengeluh napasnya sesak bila terlalu jauh larinya, begitu mereka yang menaiki tangga yang terlalu tinggi, dsb. Dalam keadaan normal setelah beristirahat sebentar, maka sesak napas ini akan hilang kembali dengan sempurna. Sebaliknya bisa saja keluhan sesak napas ini disebabkan oleh suatu penyakit. 5Untuk dapat mengetahui dengan pasti bahwa keluhan sesak napas itu betul-betul patologis, maka selalu diperlukan deskripsi tentang keadaan atau saat dimana keluhan ini dirasakan timbul. Semua keterangan ini harus dibandingkan dengan keadaan orang normal pada umumnya dengan perilaku yang sama. Keluhan sesak napas harus dianggap betul-betul ada bila pada orang normal dengan perilaku yang sama, keluhan ini tidak akan timbul. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, bahwa bila seorang penderita mengeluh sesak napas bila menaiki tangga ke tingkat pertama maka hendaknya hal ini sudah dianggap sebagai suatu keluhan yang benar (pada orang normal aktivitas ini tidak menimbulkan sesak napas).5

Bila memang ada keluhan sesak napas yang benar, maka perlu sekali segera ditanyakan apakah ada bunyi ngiik pada saat mengeluarkan napas (expiratory wheezing), dalam hal ini jelas ada penyempitan dari saluran napas perifer (bronkeolus) yang dapat disebabkan oleh spasme dan atau edema dan atau mukus; dalam praktek sehari-hari cukup sering ditemukan kombinasi ke-3 faktor ini bersama-sama. Untuk lebih jelasnya, maka harus dilanjutkan dengan pertanyaan tentang sejak kapan keluhan ini sudah mulai timbul. Bila keluhan ini sudah diderita sejak beberapa waktu maka kemungkinan besar penyakit yang diderita adalah asma (serangan sesaknya dalam hal ini bersifat hilang timbul) ataupun bronkitis kronis tipe obstruktif (sesaknya cenderung menetap dan secara perlahan semakin progresif). Juga perlu ditanyakan perihal usia penderita. Makin muda usia penderita maka kemungkinan asma makin besar, sebaliknya bila keluhan sesak ini mulai timbul pada usia setengah umur apalagi penderita sudah lama merokok, maka kemungkinan bronchitis kronis akan makin besar.5

Bila serangan ini baru yang pertama kali timbul dan didahului oleh batuk-batuk beberapa hari, apalagi kalau disertai panas badan, maka kemungkinan yang harus dipikirkan adalah bronchitis akut. 5Kadang-kadang ada keluhan sesak yang tidak disertai bunyi ngiik melainkan bunyi grok pada saat inspirasi (inspiratory stridor). Keadaan ini disebabkan oleh adanya obstruksi di saluran napas sebelah atas berupa gumpalan dahak, yaitu di farings-larings-trakea-bronkus utama. Selain itu ialah disebabkan corpus alienum (benda asing) dan khusus pada anak-anak dapat berupa pseudomembran (difteri).

Dalam kedua hal tersebut di atas perlu pula ditanyakan di mana bunyi terdengar. Pada umumnya bunyi ngiik akan terdengar difus di kedua paru dan bunyi grok dapat terdengar di tempat-tempat tertentu saj, yaitu temmpat-tempat dimaa ada obstruksi.

Kadang-kadang ada keluhan sesak napas yang tidak disertai bunyi seperti pada penyumbatan total dari suatu saluran napas yang cukup besar misalnya pada karsinoma bronkus, pneumotoraks ventil dangan kolaps paru,, pneumoni, kegagalan jantung kiri, dsb. Dalam hal ini perlu sekali ditanyakan perihal adanya keluhan-keluhan lain yang akan memudahkan dalam menentukan penyakit yang dihadapi. Perlu ditanyakan dimana rasa sesak napas terasa, yaitu untuk menunjukkan lokasi kelainan yang mendasari keluhan ini. 5Juga perlu ditanyakan apakah serangan napas itu timbulnya secara mendadak (misalnya pada asma akut, pneumotoraks, dsb.) atau secara perlahan-lahan (misalnya pada bronchitis kronis, Ca paru, dsb.),

Perlu ditanyakan apakah sesak itu timbul dalam keadaan istirahat atau ketika sedang melakukan sesuatu yang pada orang normal belum menimbulkan sesak, misalnya pada naik tangga dari lantai dasar ke tingkat pertama, mengenakan pakaian, dsb. (dyspnoe deffort disebut juga dyspnoe on excertion); dan apakah sesaknya itu berkurang bula penderita dalam posisi duduk (orthopnoe). Keduanya dapat dijumpai pada penderita emfisema dan juga pada gagal jantung kiri.

Dan perlu ditanyakan perihal progresivitas keluhan sesak napas ini, karena hal ini dapat membantu memperkirakan perjalanan penyakit yang mengakibatkannya. 5Mengingat bahwa sesak napas dapat juga diakibatkan penyakit-penyakit dari luar paru, misalnya penyakit jantung, anemia berat, ascites, dsb, maka perlu sekali anamnesis diarahkan juga untuk mencari kemungkinan-kemungkinan sebab non paru ini. Tak kalah pentingnya mencari korelasi antara beberapa keluhan agar dapat menuntun kita pada diagnosis dari penyakit yang dihadapi.

Kiranya perlu juga dikemukakan perihal mungkin keluhan sesak napas yang dikemukakan penderita tidaklah berdasarkan adanya suatu organ tubuh yang sakit, melainkan hanya suatu manifestasi kelainan psikoneurotis belaka. Hendaknya kita berhati-hati bila menghadapi dilemma ini (keluhan sesak napas dikemukakan penderita tanpa dapat ditemukan kelainan apapun pada pemeriksaan jasmani). Dalam hal ini hanya anamnesis yang cermat dan lengkap ditunjang pemeriksaan medis yang menyeluruh yang dapat menunjukkan bahwa memang tak ada kelainan organis. 5ASMA BRONKIALE

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktifitas serta menurunkan kualitas hidup.1

Penyakit asma terdapat pada semua umur dan mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi serta berbeda anatara satu individu dengan individu lainnya. Ada penderita yang mempunyai gejala minimal sekali sedangkan penderita yang lain mempunyai serangan yang berat sehingga memerlukan perawatan khusus. Walaupun demikian, semua penderita asma di luar serangan potensial dapat memberikan gambaran fungsi paru yang normal. Keadaan ini seyogyanya menjadi tujuan utama dalam penatalaksanaan penyakit asma sehingga walaupun seseorang menderita asma tetap dapat hidup sehat dan menjalani aktifitas secara normal.2

DEFINISI

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif saluran nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan betuk-batuk terutama pada malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi asma pada anak-anak kelompok umur 13-14 tahun di Hongkong pada tahun 1980 baru mencapai 2% untuk meningkat menjadi 4,8% pada tahun 1989 dan pada tahun 1995 telah mencapai 11%. Di Cina daratan pada tahun 1990 prevalensi asma hanya 2% lalu meningkat menjadi 4% pada tahun 1995.3

Tahun 1995 berdasarkan SKRT, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan Bronkitis kronik 11/1000, dan obstruksi paru 2/1000.1

Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se-Jakarta Timur. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.1

PATOFISIOLOGI

Asma adalah penyakit yang didasari oleh hipereaktifitas bronkus, kepekaan saluran nafas yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan baik dari dalam maupun dari luar dengan manifestasi penyempitan saluran napas yang menyeluruh dengan derajat yang berubah-ubah secara spontan atau dengan pengobatan.1

Komponen penyempitan saluran nafas pada asma ada dua, yaitu:1

1.Bronkospasme, yang disebabkan oleh konstriksi otot polos bronkus menimbulkan perubahan kaliber jalan nafas dengan akibat peningkatan tahanan jalan nafas.

2.Inflamasi, menimbulkan edema lapisan membran mukosa saluran nafas dan meningkatkan sekresi mukus. Keadaan ini menimbulkan obstruksi saluran udara.

Bronkokonstriksi yang timbul segera setelah paparan alergen merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Sel mast akan mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin, prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor (PAF). Mediator ini merupakan bronkokonstriktor dan mediator peradangan yang poten. Perangsangan non imunologis seperti beban kerja, pendinginan saluran nafas, asap rokok, debu, akan merangsang saluran nafas secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, zat-zat ini merangsang otot polos bronkus dengan akibat timbul bronkokonstriksi karena pelepasan mediator seperti histamin. Secara tidak langsung, yaitu melalui aktifitas saraf eferen parasimpatis dan selanjutnya melepaskan substansi bronkokonstriktor, dari ujung saraf substansi ini akan merangsang otot polos yang mengandung reseptor muskarinik.1

Pada waktu serang asma, terjadi obstruksi saluran nafas sehingga meningkatkan tahanan jalan nafas dengan akibat terjadi perlambatan aliran udara. Keadaan ini dapat diketahui secara subjektif maupun objektif.1

FAKTOR RESIKO

Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosio-ekonomi, dan besarnya keluarga.1

tabel faktor resiko pada asma1

faktor pejamu

predisposisi genetik

atopi

hiperesponsif jalan nafas

jenis kelamin

ras/etnik

faktor lingkungan

mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma

Alergen di dalam ruangan

mite domestik

alergen binatang

alergen kecoa

jamur (fungi, molds, yeasts)Alergen di luar ruangan

tepung sari bunga

jamur (fungi, molds, yeasts)Bahan di lingkungan kerja

Asap rokok

perokok aktif

perokok pasifPolusi udara

polusi udara di luar ruangan

polusi udara di dalam ruanganInfeksi pernapasan

hipotesis higieneInfeksi Parasit

Status sosio-ekonomi

Besar keluarga

Diet dan obat

Obesiti

faktor lingkungan

mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap

Alergen di dalam dan di luar ruangan

Polusi udara di dalam dan di luar ruangan

Infeksi pernafasan

Exercise dan hiperventilasi

Perubahan cuaca

Sulfur dioksida

Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan

Ekspresi emosi yang berlebihan

Asap rokok

Iritan (a.l parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

KLASIFIKASI ASMA1

derajat asmagejalagejala malamfaal paru

I. IntermitenBulananAPE 80%

gejala < 1x/minggu

tanpa gejala di luar serangan

serangan singkat 2x sebulanVEP1 80% nilai prediksi. APE 80% nilai terbaik

Variabiliti APE < 20 %

II. Persisten RinganMingguanAPE > 80%

gejala > 1x/minggu tetapi < 1x sehari

serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur> 2x sebulanVEP1 80% nilai prediksi. APE 80% nilai terbaik

Variabiliti APE > 30 %

III. Persisten SdgHarian APE 60-80%

gejala tiap hari

serangan mengganggu aktivitas dan tidur

butuh bronkodilator setiap hari> 1x/ mingguVEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik

Variabiliti APE > 30%

IV. Persisten BrtKontinyuAPE 60%

gejala terus menerus

sering kambuh

Aktiviti fisik terbatasseringVEP1 60% nilai prediksi APE 60% nilai terbaik

Variabiliti APE > 30%

DIAGNOSIS

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 1

Riwayat penyakit/gejala : 1

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilatorHal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :1

Riwayat keluarga (atopi)

Riwayat alergi

Penyakit lain yang memberatkan

Perkembangan penyakit dan pengobatanPemeriksaan Jasmani

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran nafas; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan hiperinflasi. 1

Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu nafas. 1

Faal Paru

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai : 1

obstruksi jalan nafas

reversibilitas kelainan faal paru

variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan nafasBanyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). 1

Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. 1

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma : 1

Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi

Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma

Menilai derajat berat asmaArus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan kooperasi penderita dan instruksi yang jelas. 1

Manfaat APE dalam diagnosis asma

Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu)

Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita. 1

Analisis Gas Darah

Nilai dasar gas darah arteri harus diperiksa pada semua pasien dengan riwayat status asmatikus atau intubasi dan setiap pasien yang dinilai akan segera mengalami kegagalan pernapasan. Pada penderita asma akan ditemukan hipoksemia, hipokapnea, dan alkalosis respirarik. Bila PaCO2 normal atau meningkat, pasien dapat segera mengalami kegagalan pernapasan akut dan harus dirawat di rumah sakit tanpa ditunda lagi. Pemeriksaan gas darah harus diulang bila terdapat bukti adanya kemunduran lebih jauh lagi, misalnya penurunan PEFR, pulsus paradoksus meningkat, atau mengalami penurunan kesadaran.5Pulasan sputum dengan Gram atau WrightDapat memastikan adanya ISPB kalau terdapat banyak leukosit dan patogen yang terutama terdiri atas bakteri. Eosinofil yang banyak menunjukkan adanya dasar alergi pada serangan itu. 5

RadiografiFoto dada harus dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya pneumonia, pneumotoraks, atau proses lain, atau proses lain yang mungkin turut berperan dalam tombulnya serangan.

Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis

Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik. 1

Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasikan melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor resiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. 1

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/total. 1

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan asma : 1

1.Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2.Mencegah eksaserbasi akut

3.Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4.Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise5.Menghindari efek samping obat

6.Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

7.Mencegah kematian karena asma

Asma dikatakan terkontrol bila : 1

1.Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

2.Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise3.Kebutuhan bronkodilator minimal (idealnya tidak diperlukan)

4.Variasi APE harian kurang dari 20%

5.Nilai APE normal atau mendekati normal

6.Efek samping obat minimal (idealnya tidak ada)

7.Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

Penatalaksanaan asma secara garis besar dapat dibagi dua yaitu tindakan pengobatan dan usaha pencegahan. Tindakan pengobatan dilakukan pada keadaan serangan, dapat dilakukan sengan atau tanpa pengobatan. Usaha pencegahan bertujan agar serangan yang berikut menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. 2

Suatu serangan yang ringan kadang-kadang dapat menjadi berat dan berkepanjangan serta membutuhkan penanganan yang khusus. Keadaan ini disebabkan oleh karena penderita asma sering mempunyai pandangan yang salah terhadap penyakitnya. Beberapa pandangan yang salah tersebut adalah: 2

1.Tidak ada sesak berarti tidak ada serangan

2.Batuk terutama malam hari bila tidak disertai mengi, bukan gejala asma

3.Obat-obatan hanya digunakan bila ada sesak atau bila sesaknya berat

4.Berbahaya bila makan obat terus-menerus atau bila terlalu lama

5.Obat asma yang disemprot (inhaler) berbahaya dan digunakan hanya bila perlu sekali

Untuk mengatasi keadaan di atas dan mengusahakan agar pengobatan lebih berhasil, maka perlu kerjasama anara dokter dengan penderita asma serta keluarganya. Mereka hendaklah diberi tanggung jawab untuk mengontrol penyakit. Penderita asma hendaklah mengetahui sifat-sifat penyakitnya, cara kerja, kegunaan dan dosis obat yang digunakan serta mengetahui kapan harus mencari pertolongan bila pengobatan sendiri tidak berhasil. 2

Obat-obatan

I. Bronkodilator

Obat ini adalah obat utama yang mengatasi obstruksi saluran nafas, tiga golongan bronkodilator adalah xanthin, simpatomimetik dan antikolinergik. 2

Teofilin adalah derivat xanthin yang paling kuat efek bronkodilatornya dibandingkan derivat xanthin yang lain, tetapi efek bronkodilatornya lebih lemah dibandingkan dengan inhalasi beta-2 agonis. Teofilin dapat menurunkan bronkospasme karena provokasi beban kerja, juga dapat mengurangi hipereaktivitas bronkus non spesifik, tetapi kedua efek ini kurang kuat dibandingkan obat inhalasi beta-2 agonis. Teofilin juga menghambat degranulasi sel mast dengan akibat mencegah penglepasan mediator yang dapat menimbulkan bronkospasme dan inflamasi saluran nafas. Selain itu teofilin meningkatkan kontraktilitas diafragma. Pemakaian teofilin dengan bronkodilator yang lain bersifat aditif. Efek terapeutik dicapai dengan kadar obat dalam serum antara 10-20 mcg/ml. Dosis toksik menimbulkan gejala-gejala mual, muntah, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran. 2

Golongan simpatomimetik adalah bronkodilator utama oleh karena mempunyai efek brpnkodilatasi yang kuat dan disamping itu juga meningkatkan kecepatan aliran lendir di saluran nafas. Obat yang bekerja relatif selektif terhadap reseptor di saluran nafas disebut sebagai beta-2 agonis. Termasuk golongan ini ialah fenoterol (berotec), terbutaline (bricasma), metaproterenol (alupent), dan salbutamol (ventolin, salbuven). Obat ini paling baik diberikan secara inhalasi oleh karena memberikan efek terapeutik yang cepat dan efek samping seperti tremor dan palpitasi yang minimal. Obat antikolinergik seperti ipratropium bromid (atrovent) mempunyai efek bronkodilator yang lemah dibandingkan beta-2 agonis dan mempunyai efek pada penderita bronkitis kronik atau PPOM dibandinhgkan dengan penderita asma, obat ini memberikan efek aditif bila dikombinasikan dengan obat bronkodilator yang lain. 2II. Kortikosteroid

Hanya kortikosteroid merupakan obat yang ecara langsung mempunyai efek terhadap komponen inflamasi saluran nafas. Manfaat anti asma terjadi melalui penekanan inflamasi dan menghambatt penglepasan mediator dari sel mast. Obat ini juga meningkatkan kerja obat beta-2 agonis dengan mensensitisasi beta-2 reseptor. Kortikosteroid sangat efektif untuk mengontrol asma kronik dan obat ini harus diberikan pada asma akut berat, karena akan memberikan efek terapi yang jelas serta menurunkan angka kematian. 2

Selain obat di atas, obat lain seperti antibiotika, mukolitik dan ekspektorans diberikan atas indikasi. Sedangkan pemberian obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat pernapasan. Antihistamin akan mengentalkan sekret, sebaiknya tidak diberikan kecuali bila jelas ada tanda-tanda alergi. 2

Disamping terapi obat-obatan perlu juga diperatikan nutrisi penderita. Hidrasi harus cepat agar riak menjadi encer. Makanan hendaklah cukup gizi agar daya tahan meningkat, pemberian bronkodilator sering menimbulkan yang tidak kurang pentingnya adalah menanggulangi penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan asma. Penyebab tersebut adalah rinitis, polip nasal, sinusitis dan dermatitis atopik. Penanganan yang simultan perlu dipertimbangkan. 2

Pada asma yang ringan diberikan bronkodilator inhalasi sebagai pilihan pertam, bila asma menjadi lebih berat dapat dibreikan kombinasi bronkodilator oral. Pada serangan asma akut berat obat-obat diberikan secara sistemik dan penderita perlu dirawat di rumah sakit. 2

Tindakan pencegahan

Tindakan pencegahan bertujuan agar serangan asma tidak terjadi, kalaupun terjadi serangan tidak berat dan berlangsung singkat. Usaha ini dapat dilakukan dengan atau tanpa obat-obatan. 2

1. Pencegahan tanpa pemakaian obat ialah menghindari faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma, yaitu dengan menghindari hal-hal berikut :

Faktor iritan seperti debu, asap rokok, gas dan zat-zat kimia.

Perubahan suhu yang tiba-tiba

Kelelahan fisik berlebihan terutam pada penderita exercised-induced asthma

Stress atau emosi yang berlebihan

Zat alergen seperti bulu binatang, tepung sari, makanan tertentu terutama pada penderita asma alergi

Infeksi terutama di saluran nafas bagian atasTetapi tindakan ini tidak selamanya berhasil oleh karena keadaan ini kadang-kadang sukar dihindari, disamping itu faktor pencetus serangan pada satu individu biasanya bukan merupakan satu faktor tetapi terdiri dari berbagai faktor. 2

2. Imunoterapi

Salah satu cara imunoterapi ialah desensitisasi yaitu dengan menyuntikkan ekstrak alergen secara berulang-ulang dimulai dengan dosis yang sangat kecil. Tindakan ini bertujuan menimbulkan kekebalan terhadap alergen pencetus serangan. Tetapi usaha ini tidak sepenuhnya berhasil oleh karena sering pencetus serangan terdiri dari berbagai alergen. Pemberian desensitisasi hanya bermanfaat pada sebaian pendrita asma alergi. Tindakan ini membutuhkan waktu yang lama. 2

3. Pemakaian obat-obatan

Obat-obatan pencegah asma bertujuan mencegah serangan asma, tetapi tidak mempunyai manfaat pada saat timbulnya serangan. Obat ini dapat mencegah serangan asma karena mempunyai efek menurunkan hipereaktifitas bronkus dan mencegah penglepasan mediator dari sel mast. 2I. Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal yang diberikan secara inhalasi mempunyai manfaat untuk pencegahan asma. Pemberian budesonide (pulmicort) selama 8 minggu dengan dosis 2x200 mcg memberikan perbaikan yang sangat bermakna pada penderita asma. Obat ini selain menurunkan hipereaktifitas bronkus, meningkatkan fungsi paru juga dapat mencegah terjadinya serangan karena beban kerja fisik pada penderita exercised-induced asthma. Pemberian secara inhalasi dalam waktu lama kaang-kadang dapat menimbulkan efek samping. Efek samping yang timbul dapat berupa perubahan suara dan infeksi jamur di mulut dan saluran nafas atas. 2

II. Kromolin

Disodium cromoglycate (DSCG) tidak mempunyai manfaat menghilangkan gejala asma pada waktu serangan. Obat ini bekerja menstabilkan sel mast dan mengurangi penglepasan mediator humoral penyebab bronkokonstriksi. Obat ini terutama digunakan untuk asma kronik yang ringan. Pada anak-anak manfaatnya lebih banyak terlihat dibandingkan pada orang dewasa. 2

III. Ketotifen

Obat ini tergolong antihistamin, mempunyai efek menghambat penglepasan mediator dari sel mast dan juga sangat kompetitif antagonis dengan histamin. Obat ini terutam mempunyai efek profilaksis pada asma ekstrinsik dan pada anak-anak, efek samping yang timbul adalah mengantuk. Penelitian di RS Persahabatan menunjukkan bahwa ketotifen juga menurunkan hipereaktifitas bronkus yang diprovokasi dengan histamin.2

Penatalaksanaan di Instalasi Gawat Darurat

Semua pasien asma yang berobat ke instalasi gawat darurat harus dinilai derajat beratnya asma sesuai dengan klasifikasi. Umumnya pasien asma yang datang ke ruang gaawat darurat telah mencoba obat yang rutin dipakai atau telah diberikan pengobatan oleh sejawat sebelumnya, sehingga setiap pasien asma yang datang ke gawat darurat harus dianggap berat (karena keadaan ini dapat mengancam nyawa).4Tata Laksana di Instalasi Gawat Darurat1 Pemberian oksigen (saturasi > 90%)

2 Inhalasi beta2-agonis dengan nebulizer, tiap dosis dapat diulang 20 menit untuk satu jam pertama. Dapat diberikan bersama-sama degan antikolinergik (ipatropium bromida) pada asma derajat berat.

3 Steroid sistemik diberikan bila tidak ada respons terhadap pengobatan dengan nebulasi beta2-agonis, atau bila pasien telah mendapat steroid oral sebelumnya, atau pasien termasuk asma akut derajat berat.

4 Bolus aminofilin IV yang dilanjutkan dengan drip dapat diberikan pada pasien dengan serangan asma akut derajat berat. 4Penilaian di Instalasi Gawat Darurat

1. Bila dalam waktu 1-2 jam ada perbaikan sesuai dengankriteria, pasien dapat meninggalkan IGD.Kriteria pemulangan tersebut adalah : pemeriksaan fisis terdapat perbaikan, respons pengobatan baik (APE > 70%), respons menetap paling tidak 60 menit setelah pemberian bronkodilator terakhir. Dalam upaya penilaian tersebut pasien dapat diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian beta2-agonis tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan sebagai berikut (3-5 hari) : inhalasi beta2-agonis diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotik diberikan bila ada indikasi,perjanjian kontrol berobat.

2. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan resiko tinggi, pemeriksaan fisis tambah berat, APE > 50% dan < 70%, atau tidak ada perbaikan hipoksemia (dari hasil analisis gas darah), pasien harus dirawat. Pada semua pasien yang masuk IGD perlu diidentifikasi tanda-tanda risiko tinggi, yaitu :

1 sedang atau baru saja lepas dari pemakaian steroid sistemik

2 mempunyai riwayat rawat inap dalam waktu 12 bulan terakhir

3 riwayat intubasi karena asma

4 mempunyai masalah psikososial atau psikiatri

5 ketidaktaan pengobatan asma.4Penatalaksanaan di Ruang Rawat Inap

Ada istilah yang sering dijumpai pada penanggulangan asma akut di RS, yaitu :

1. Hospital Care : waktu yang diperlukan untuk penatalaksanaan asma akut di rumah sakit > 24 jam observasi

2. Observation stays (hospital emergency care): waktu yang diperlukan untuk penatalaksanaan asma akut < 24 jam.4Konsensus memberikan beberapa kriteria untuk pasien masuk rawat inap, yaitu:1 Respons yang tidak adekuat dalam 1-2 jam terapi

2 Obstruksi berat yang menetap (APE < 40% standar)

3 Riwayat asma berat yang memerlukan perawatan

4 Kelompok risiko tinggi

5 Gejala yang berlangsung lama sebelum ke unit gawat darurat

6 Kesulitan transportasi dari rumah ke unit gawat darurat

7 Kesulitan bila perawatan dilakukan di rumah. 4Pengobatan di Ruang Rawat Inap

1 Pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan yang dapat dipandu dengan hasil analisis gas darah (analisis gas darah dilakukan bila APE 30-50% dari nilai prediksi)

2 Inhalasi beta2-agonis dan ipatropium bromida dapat diberikan 60 menit atau lebih sesuai kebutuhan

3 Steroid sistemik (solumedrol 1 mg/kgBB) tiap 6 jam. Pemberian secara oral cukup efektif sepanjang absorbsinya masih baik. Diperlukan paling sedikit 4 jam untuk menilai efeknya.

4 Kortikosteroid dapt diberikan pada: serangan asma berat, inhlasi beta2-agonis yang gagal memberikan perbaikan, serangan masih terjadi meskipun pasien dalam terapi kortikosteroid, serangan asma sebelumnya memerlukan kortikosteroid oral.

5 Aminofilin IV

6 Antibiotik diberikan bila ada infeksi (pneumonia)

7 Hidrasi diberikan sesuai dengan kebutuhan. 4Bila dengan perawatan pasien mengalami perbaikan, dapat direncanakan berobat jalan. Kriteria pasien tersebut adalah:

1 Bila interval pemakaian bronkodilator aerosol > 4 jam

2 Pasien mampu berjalan secara leluasa

3 Pasien tidak terbangun tengah malam atau pagi hari dan memerlukan inhalasi

4 Pemeriksaan fisis normal atau mendekati normal

5 Nilai APE atau KVP 1 (Kapasitas Vital Paksa dalam detik pertama) > 70% dari nilai standar setelah terapi beta2-agonis aerosol

6 Pasien memahami cara pemakaian obat inhaler dengan benar

7 Pasien membuat perjanjian untuk kontrol. 4Penatalaksanaan di Ruang IntensifSemua pasien yang datang ke IGD maupun dalam perawatan inap bila pada keadaan seperti di bawah ini ditemukan :

Adapun indikasi perawatan di ruang intensif adalah :

1 Tidak berespons terhadap upaya pengobatan awal di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan/buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam

2 Adanya penurunan kesadaran dan tanda-tanda henti napas (respiratory arrest)

3 Hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan kadar PO2 45mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat

Pada kondisi tersebut di atas walaupun telah diberikan pengobatan optimal, pasien memerlukan intubasi bila ada kecenderungan kelelahan bernapas dan/atau PCO2. Pengobatan lainnya sesuai dengan penatalaksanaan di ruang perawatan dengan tambahan bila diperlukan tambahan beta2-agonis dapat diberikan intramuskular atau drip, selain pemberian drip aminofilin. 4

Penyulit

Pneumotoraks, gagal napas, PPOK. 4PPOK

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons infalamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya. 6

Bronkitis kronik dan emfisema paru membentuk kesatuan yang disebut PPOK. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang kurangnya dalam dua tahun berturut turut. 9

Definisi emfisema paru merupakan definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomi paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. 8Di Indonesia penyakit bronchitis kronik dan emfisema meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan industri. Sesuai dengan gagasan WHO yaitu kesehatan bagi semua di tahun 2000 , disamping meningkatkan pelayanan kesehatan juga harus mengaktifkan penyuluhan terhadap bahaya rokok dan polusi yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif kronik. 8EPIDEMIOLOGI

Kurang lebih 20 % laki laki dewasa menderita bronchitis kronik, namun hanya sejumlah kecil yang secara klinis cacat. Berdasarkan survei, laki laki lebih sering dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi dengan meningkatnya jumlah perokok perempuan, prevalensi bronchitis pada kelompok perempuan meningkat. Walaupun perokok merupakan factor etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan sekarang ini mendapat perhatian yang cukup banyak, terutama sebagai unsur penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok. 7Menurut Balter MS pada bukan perokok terdapat 15 % yang menderita batuk kronik dengan sputum, meningkat menjadi 33 % pada perokok dengan pipa dan cerutu, sedangkan pada perokok cigarete yang mengkonsumsi setengah sampai satu pak rokok, akan mengalami batuk kronik sebanyak 40-50%, dan akan meningkat menjadi 70-80% pada yang mengkonsumsi rokok dua bungkus atau lebih. 8Menurut penelitian yang dilakukan Nawas dkk prevalensi PPOK di jakarta sebanyak 26%, kedua terbanyak setelah tuberculosis paru ( 65%).8FAKTOR RESIKO

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting daripada faktor penyebab lainnya.6

1. Asap rokok

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa merokok sigaret yang lama mengganggu pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveoler dan akhirnya menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar pengsekresi mukus. Disamping efek kronik ini, kemungkinan merokok menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit polimorfonukleus melepaskan enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghisap asap rokok dapat menghasilkan peingkatan resistensi jalan napas secara tiba tiba akibat konstrikisi otot polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan submukosa.7

2. Polusi Udara

Insiden dan angka kematian akibat bronkitis kronik dan emfisema dapat lebih tinggi di daerah urban yang padat industrialisasi. Eksaserbasi bronkitis jelas berhubungan dengan periode polusi berat dengan sulfur dioksida ( SO2 ) dan unsur yang sangat kecil.7

3.Infeksi

Morbiditas, morrtalistas dan frekuensi penyakit pernapasan akut lebih tinggi pada pasien dengan bronkitis kronik.Rhinovirus adalah yang paling sering menimbullkan eksaserbasi. Telah ditunjukkan bahwa perokok secara transien dapat menderita atau memperburuk obstruksi jalan napas kecil yang berhubungan dengan infeksi virus pernapasan yang ringan sekalipun.7

4.Faktor familial dan genetik

Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa anak dari orang tua yang perokok dapat menderita penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat dan prevalensi terhadap gejala gangguan pernapasan kronik lebih tinggi.7

PATOFISIOLOGI

Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim terjadi di daerah industri. Polusi udara yang terus-menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktifitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah.9

Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa bentuk morfologik yang diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting sehubungan dengan PPOK. Emfisema sentrilobular, secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris. Emfisema sentrilobular seringkali lebih berat menyerang bagian atas paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema panlobular, merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan yang merata, mengenai bagian asinus yang sentral maupun yang perifer. 9

Alfa1 antiprotease diperkirakan sangat penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami, dan kekurangan antiprotease ini memiliki peranan penting dalam patogenesis emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit dan makrofag sewaktu proses fagositosis berlangsung dan mampu memecah elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru.

MANIFESTASI KLINIK

Pasien dengan PPOK biasanya mempunyai kebiasaan merokok lebih dari 20 bungkus pertahun. Gejala biasanya timbul di usia 50 tahun atau lebih. Jika pada usia muda sudah terkena PPOK maka perlu dipikirkan kemungkinan defisiensi 1 antitripsin atau adanya penyakit obstruksi yang diturunkan seperti Cystic fibrosis. 3

Sesuai dengan definisi diatas, penderita PPOK selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang sudah bertahun-tahun lamanya untuk kemudian disusul dengan mengi dan sesak. Berbeda dengan asma, mengi ini tidak bersifat hilang timbul dengan nyata, tetapi cenderung untuk selalu ada, walaupun dapat bervariasi antara agak ringan sampai berat.10

Pasien dengan bronkitis kronik dominan biasanya mempunyai riwayat batuk batuk dengan sputum yang produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Makin lama batuk akan timbul makin sering, berlangsung lama dan makin berat, timbul siang dan malam, sehingga pasien terganggu tidurnya.Bila timbul infeksi saluran napas, batuk batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi. Pasien tipe dominan bronkitis seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak sianotik. Biasanya pada saat istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi pernapasan normal atau sedikit meningkat dan juga tidak dijumpai pengguanaan otot otot aksesorius. Perkusi dada akan memberikan suara sonor yang normal dan dengan auskultasi ditemui adanya ronkhi yang kasar serta mengi yang lokasi dan intensitasnya berubah-ubah setelah batuk yang dalam serta produktif. Pulsasi yang menetap mungkin terlihat di sepanjang margo sternalis kiri bawah yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal ventrikel kanan kerap kali terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang kadang bising holosistolik yanng keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Dengan terdapatnya gagal ventrikel kanan, gejala sianosis makin bertambah dalam dan edema perifer tampak semakin nyata.

Dengan atau tanpa adanya gagal ventrikel kanan, volume semenit hanya sedikit meningkat akibat penurunan total dorongan respirasi yang memodulasi kadar dispnea. Namun demikian, gagal untuk meningkatkan volume semienit dengan proporsi yang signifikan antara ventilasi yang terbuang dan aliran darah yang mengakibatkan gangguan berat pada gas darah arteri dengan nilai Pco2 arteri yang secara kronik terus meningkat hingga mencapai kisaran nilai 40-an yang tinggi sampai 50-an mmHg yang rendah. Nilai Po2 yang menurun menimbulkan desaturasi hemoglobin, menstimulasi terjadinya eritropoesis dan mengakibatkan vasokonstriksi pulmonalis yang hipoksik. Desaturasi serta eritrositosis secara bersama sama akan menyebabkan sianosis dan vasokonstriksi yang hipoksik menambah berat gagal jantung kanan. Karena sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat gagal jantung, pasien ini disebut dengan istilah blue bloaters.7,8

Pasien dengan emfisema paru dominan biasanya mempunyai riwayat sesak napas dengan batuk, kadang-kadang disertai sedikit sputum mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopurilen dan kental. 8Bentuk tubuh pasien tampak astenik dengan bukti adanya penurunan berat badan. Pasien tampak terganggu dengan penggunaan otot-otot aksesorius pernapasan yang jelas sehingga pada setiap inspirasi sternum terangkat dengan arah anteriorsuperior. Gejala takipnea terdapat dengan ekspirasi yang relatif memanjang lewat mulut yang mencucu, atau ekspirasi dimulai pada saat mendengkur. Pada saat duduk, pasien sering menyandarkan tubuhnya ke depan dengan kedua belah tangan memeluk tubuhnya sendiri. Pembuluh vena leher dapat terlihat mengembung pada waktu ekspirasi kendati akan segera mengempis pada saat inspirasi. Rongga interkostalis bawah memperlihatkan retraksi setiap kali pasien menarik napas dan dengan palpasi, dinding lateral bawah dapat terasa bergerak ke dalam. Nada suara yang terasa pada waktu perkusi adalah hipersonor dan lewat auskultasi terdengar suara pernapasan yang berkurang dengan bunyi ronkhi bernada tinggi yang samar-samar menjelang akhir ekspirasi. Impuls cordis, jika benar-benar telihat, hanya tampak di daerah xiphoideus dan subxiphoideus. Pekak jantung pada perkusi dapat menghilang atau sangat menurun. Melalui palpasi sering terasa impuls ventrikel jantung kanan yang bergerak kedepan dan ke bawah di daerah subxiphoideus. Umumnya terdapat irama gallop prasistolik yang terdengar semakin jelas pada saat inspirasi. Nilai Po2arteri sering berada pada pertengahan 70-an mmHg dan nilai Pco2 adalah rendah hingga normal. Karena peningkatan nilai semenit yang dipertahankan dan nilai Po2 dapat bertahan cukup mendekati saturasi hemoglobin, pasien ini disebut dengan istilah pink puffers.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan atau menyokong diagnosis dan menyingkirkan penyakit penyakit lain.

Foto dada pada bronkitis Kronik

Pada pemeriksaan radiologik terlihat lengkungan diafragma yang baik, corakan bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan hitam (silhoutte ) jantung agak melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan, bayangan hitam jantung ( silhoutte ) jantung lebih melebar lagi, gambaran arteri pulmonalis menjadi lebih nyata dan distribusi perfusi yang melawan gaya berta terlihat jelas. Tetapi pada radiologis ada yang perlu diperhatikan, yaitu Tubular shadows atau tram line terlihat bayangan garis garis yang paralel, keluar dari hillus menuju aspek paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal. Dari 300 pasien yang diperiksa Fraser dan Pare, ternyata 80% mempunyai kelainan tersebut. 7.8

Foto dada pada emfisema paru

Terdapat 2 bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru :

A. Gambaran defisiensi arteri

Terjadi overinflansi, pulmonary oligoemia dan bula. Menurut Fraser dan Pare lebih sering didapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.

-Overinflasi

Hampir selalu terlihat diafragma yang renda dan datar, bahkan kadang-kadang terliohat konkaf.

-Oligoemia

Penciutan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan ke distal

-Bulae

Sering terdapat pada pasien emfisema paru.

B. corakan paru yang bertambah ( increased marking pattern )

Lebih sering terdapat pada cor pulmonale, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. 82. Pemeriksaan Fungsi Paru

Pada pasien bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun. Nilai kapasitas paru total dan seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai volume residual yang sedang, dan kecepatan aliran ekspirasi maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru tetap normal atau hanya sedikit terganggu dan kapasitas paru untuk mengalihkan karbon monoksida dapat normal atau sedikit menurun. Kelainan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil yang dapat dibuktikan dengan KAEM, closing volume, flow volume curve dengan O2 dan gas helium dan N2 wash out curve. 7,8

Pada emfisema paru nilai kapasitas paru total serta volume residual selalu meningkat, kapasitas vital tampak rendah dan kecepatan aliran ekspirasi maksimal berkurang. Sifat recoil elastic pada paru akan mengalami gangguan yang beratdan kapasitas paru untuk mengalihkan karbon monoksida memperlihatkan penurunan proporsi yang berhubungan langsung dengan gangguan ini. 7

3. Analisa Gas Darah

Perjalanan klinis bronchitis kronis berjalan dengan lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membuat keadaan penderita betul-betul buruk. Dengan demikian, maka penurunan Pao2 serta peningkatan Paco2dan semua akibat sekundernya ( asidosis dan lain-lain) juga akan terjadi perlahan-lahan dengan adaptasi maksimal dari tubuh penderita. Maka tidaklah mengherankan bahwa kadang-kadang dapat dijumpai seorang penderita dengan Pao2 hanya sebesar 50% tetapi masih dapat mengerjakan pekerjaan rutin sehari-hari. Disamping penurunan Pao2 juga akan terjadi penurunan saturasi oksigen. 34. Pemeriksaan Laboratorium Rutin

Yang mencolok pada pemeriksaan laboratorium adalah polisitemia, atau jumlah eritrosit yang melebihi jumlah normal, jumlah eritrosit sampai 6.000.000 keatas dengan Hb sekitar 17% dan hematokrit 50% keatas tidak jarang dijumpai. Hal ini adalah suatu akibat dari hipoksia kronis yang dialami penderita, dengan maksud agar oksigen yang berhasil masuk ke dalam alveolus masih dapat tersangkut semaksimal mungkin oleh eritrosit untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh. Dan akan ada lekositosis jika terjadi infeksi sekunder. 3KLASIFIKASI

DerajatKlinisFaal Paru

Derajat 0

BeresikoGejala Klinis ( batuk, produksi sputum )Normal

Derajat I :

PPOK RinganDengan atau tanpa gejala klinis (Batuk, produksi sputum )VEP1/KVP < 70%

VEP1 = 80% prediksi

Derajat IIA :

PPOK SedangDengan atau tanpa gejala klinis (Batuk, produksi sputum ) gejala bertambah sehingga menjadi sesak.VEP1/KVP < 70%

50%