bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian dan …
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Hate Speech
a. Pengertian Ujaran Kebencian
Jika melihat istilah ujaran kebencian (hate speech) dapat diartikan sebagai
ekspresi yang menganjurkan suatu hasutan untuk merugikan, berdasarkan target
yang diidentifkasi dengan kelompok sosial atau demografi tertentu.1Jika merujuk
pada pengertian ujaran kebencian (hate speech) dalam Surat Edaran Kapolri
Nomor SE/06/X/2015, maka dapat diartikan bahwa Ujaran kebencian (Hate
Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh
individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan kepada
individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, agama,
warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain
sebagainya. Dalam arti hukum, ujaran kebencian (Hate Speech) adalah
perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat
memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan
bermasyarakat.2
Jika melihat faktor yang mempengaruhi terjadinya ujaran kebencian atau
yang biasa disebut hate speech ialah dipengaruhi oleh faktor perbedaan, suku, ras,
agama, aliran kepercayaan dan antar golongan (SARA). Hal tersebut dipertegas
oleh pendapat Adrinus Meliala yang menjabat sebagai Komisioner Komisi
Kepolisian
1 Sri Mawarti, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian, Toleransi: Media
Komunikasi umat Beragama, Vol. 10, No. 1, Januari – Juni 2018, h. 85 2 Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015
14
Nasional (Kompolnas), beliau mengatakan bahwa “hate speech bukanlah
kebencian yang sifatnya personal, melainkan kebencian yang sifatnya serangan
pada primordial yaitu SARA.3
Ujaran Kebencian adalah merupakan setiap pernyataan, isyarat atau
melakukan, menulis atau tampilan yang karenanya dapat mendorong terjadinya
suatu tindakan kekerasan atau tindakan yang merugikan terhadap atau oleh
seorang individu atau kelompok yang dilindungi, atau karena meremehkan yang
di lindungi.4 Jika melihat realitas praktiknya di masyarakat, ujaran kebencian
(hate speech) sering disalah artikan dalam artian bahwa disamak terkait tindakan
ujaran kebencian dan penodaan agama. Meskipun keduanya memiliki sisi
persamaan namun, perlu dilihat bahwa terkait tindakan ujaran kebencian lebih
kepada provokasi untuk melakukan suatu tindakan kekerasan, sedangkan
penodaan agama lebih kepada penghinaan terhadapa suatu agama tertentu. Perlu
untuk membedakan antara pengertian agar tidak terjadinya suatu polariasasi antara
atau berdasarkan individu dan kelompok identitas, karena identitas memiliki
peranan penting dalam partisipasi publik.5
Pada dasarnya konflik sosial yang terjadi dalam media sosial kerap kali
diawali oleh tindakan hasutan kebencian atau ujaran kebencian sehingga
menimbulkan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan terhadap suatu kelompok
tertentu. Sehingga terkait konsep Ujaran Kebencian (hate speech) harus mengatur
3 Arfianto Purbolaksono, Muhammad Reza Hermanto, Lola Amelia, Zihan Sahayani,
Udate Indonesia, Dalam Journal Volume IX, No. 12-November 2015, ISSN 1979-1984, Hal 2. 4 Pultoni, Siti Aminah, Uli Parulin Sihombing, Panduan Pemantauan Penodaan Tindak
Pidana Agama dan Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama, he Indonesia Legal Resources Center
(ILRC), Jakarta, 2012, hal 55. 5 Ibid.
15
atau memperjelas terkait pengerti menghasut dengan tujuan menghasut,
mendiskriminasi, perumusahan dan kekeresan. Sehingga tidak hanya tercantum
terkait pengertian hasutan kebencian saja.
b. Unsur-unsur Ujaran Kebencian
Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan
Ujaran kebencian (hate speech) memang tidak dijabarkan secara jelas pengertian
dari Ujaran Kebencian (hate speech), namun dapat dilihat secara eksplisit unsur-
unsur Ujaran Kebencian.6 Berikut unsur-unsur ujaran kebencian yakni Segala
tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan pada
kebencian atas dasar suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras,
antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual
yang merupakan hasutan terhadap individu maupun kelompok agar terjadi
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial yang
dilakukan melalui berbagai sarana. Penjelasan tentang unsur-unsur ujaran
kebencian:
Segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung. Terdapat
dua makna yang tidak bisa dipisahkan yaitu: 1) Berbagai bentuk tingkah laku
manusia baik lisan maupun tertulis. Misal pidato, menulis, dan menggambar. 2)
Tindakan tersebut ditujukan agar orang atau kelompok lain melakukan yang kita
anjurkan/sarankan. Tindakan tersebut merupakan dukungan aktif, tidak sekadar
perbuatan satu kali yang langsung ditujukan kepada target sasaran.
6 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 9.
16
Diskriminasi: pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Kekerasan: setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis.
Konflik sosial: perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara
dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial
sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
Menghasut: mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan
tindakan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan. Apakah orang yang
mendengar hasutan ini melakukan yang dihasutkan tidak menjadi unsur pasal
sehingga tidak perlu dibuktikan. Yang bisa dijadikan dasar untuk melihat apakah
ini hasutan antara lain: 1) Intonasi (tone) yang bisa menunjukkan intensi dari
ujaran tersebut untuk menghasut; 2) Konteks ruang dan waktu ujaran tersebut
diutarakan. f. Sarana: segala macam alat atau perantara sehingga suatu kejahatan
bisa terjadi. Contoh sarana adalah buku, email, selebaran, gambar, sablonan di
pintu mobil, dan lain-lain.
c. Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar
17
KUHP, yang berbentuk antara lain:7 Penghinaan, Pencemaran nama baik,
Penistaan, Perbuatan tidak menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut,
Penyebaran berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau
konflik sosial.
Penghinaan dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika penghinaan itu
ditujukan kepada seseorang atau kelompok berdasarkan suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis,
gender, orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual dan ekspresi gender
serta penghinaan itu berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan
atau kekerasan.8 Penghinaan ini terdapat dalam rumusan Pasal 315 KUHP jo. UU
No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-
Hak Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Pasal 315 KUHP berbunyi: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja
yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap
seorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu
sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau
diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana
penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
Fitnah juga dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika tuduhan itu tidak
hanya dinyatakan tetapi dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha baik
7 Angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan
Ujaran kebencian (hate speech),hlm. 2. 8 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 14
18
langsung maupun tidak langsung, tuduhan tidak benar itu tentang kehormatan atau
nama baik seseorang berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang
dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender serta tuduhan itu
berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.9
Penghinaan berupa fitnah terdapat dalam rumusan Pasal 311 KUHP jo. UU No.
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 311 KUHP berbunyi, jika yang melakukan kejahatan pencemaran
atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa
yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan
fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pencabutan hak-hak
tersebut dalam pasal 35 no. 1-3 dapat dijatuhkan.” Pencemaran nama baik dapat
dikatakan sebagai ujaran kebencian jika serangan tersebut berbentuk tindakan dan
usaha baik langsung maupun tidak langsung, serangan kepada kehormatan atau
nama baik seseorang itu berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang
dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender serta serangan
berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.10
Pencemaran nama baik terdapat dalam rumusan Pasal 310 KUHP jo. UU No.
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak
9 Ibid., hlm. 15.
10 Ibid, Hlm. 15.
19
Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 310 KUHP pada ayat (1) menyatakan bahwa: “Barang siapa
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam,
karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah.”. dan kalau melihat subtansi pada ayat (2),
menyatakan bahwa: “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, ditunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah,
karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Dan pada ayat (3): “Tidak
merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan
demi kepentingan umum karena terpaksa untuk bela diri.”11
Penistaan adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang
dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka
entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut,
sedangkan menurut pasal 310 ayat (1) KUHP Penistaan adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan cara menuduh seseorang ataupun kelompok telah
melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui
banyak orang).
Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh
dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya. Cukup degan
11
Pasal 310 KUHP.
20
perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.12
Sedangkan
penistaan dengan surat di atur di dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP.13
Sebagaimana
dijelaskan, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar,
maka kejahatan itu dinamakan menista dengan surat. Jadi seseorang dapat dituntut
menurut Pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau
gambar.
Perbuatan tidak menyenangkan tidak termasuk dalam ujaran kebencian.
Karena Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 1/PUUXI/2013 telah
menghapus kekuatan mengikat frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan
yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Dengan
demikian perbuatan tidak menyenangkan tidak lagi ada dalam hukum pidana
Indonesia.14
Memprovokasi berupa menyatakan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan di muka umum terhadap suatu atau beberapa golongan terdapat
pada rumusan Pasal 156 KUHP dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan tersebut dilakukan dalam
bentuk tindakan dan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung.
Golongan yang dimaksud dalam pasal tersebut yaitu tiap-tiap bagian dari
rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena
ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan
menurut hukum tata negara.15
Menurut R. Soesilo, Menghasut artinya mendorong,
mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat
12
Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 13
Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 14
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 15. 15
Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
21
sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu
lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk” akan tetapi bukan
“memaksa”.16
Menghasut terdapat dalam rumusan Pasal 160 KUHP. g.
Penyebaran Berita Bohong Menurut R. Soesilo, Menyebarkan Berita Bohong
yaitu menyiarkan berita atau kabar dimana ternyata kabar yang disiarkan itu
adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong tidak saja
memberitahukan suatu kabar kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak
betul suatu kejadian.17
d. Tindak Pidana Hate Speech
Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan
kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras,
agama, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain
sebagainya. Dalam arti hukum, Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan
ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan
kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan Surat
Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech)
disebutkan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana
yang di atur dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP,
yang berbentuk; Penghinaan, Pencemaran nama baik, Penistaan, Perbuatan tidak
menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut, Menyebarkan berita bohong.
16
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi
Pasal, Politea, Bogor, 1991, hlm. 136. 17
Ibid., hlm. 269.
22
Tindakan yang disebut diatas memiliki dampak akan terjadinya penghilangan
nyawa, kekerasan, diskriminasi, atau konflik sosial. Tujuan dari ujaran kebencian
sebagaimana yang disebutkan di atas adalah untuk menghasut dan menyulut
kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai
komunitas. Dalam huruf (h) Surat Edaran tersebut, Ujaran Kebencian (Hate
Speech) dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:18
Dalam orasi
kegiatan kampanye, Spanduk atau banner, Jejaring media sosial, Penyampaian
pendapat di muka umum (demonstrasi), Ceramah keagamaan, Media masa cetak
atau elektronik, Pamflet.
Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian
berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran
Kebencian (Hate Speech) mengacu pada ketentuan : 1. Pasal 156 KUHP 2. Pasal
157 KUHP 3. Pasal 310 KUHP 4. Pasal 311 KUHP 5. Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal
45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
6. Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang.19
Pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan
terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.
18
Josua Sitompul, 2012, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum
Pidana, Tatanusa, Jakarta, hlm. 26. 19
Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 70.
23
Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada
diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 unsur persyaratan sebagai
berikut yakni; Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku,
yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undangundang, tindakan itu
bersifat melawan hukum atau unlawful, pelakunya harus bisa di
pertanggungjawabkan.20
Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran
kebencian di media sosial berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali
mengacu kepada ketentuan Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal 45A ayat (2) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik. Unsur-unsur tindak pidana ITE dalam Pasal 28 ayat (2) yaitu21
:
Kesalahan : dengan sengaja, Melawan hukum : tanpa hak, Perbuatan :
menyebarkan, Objek : Informasi, Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang terbukti memenuhi unsur-
unsur tindak pidana dalam Pasal 28 ayat (2) ITE berdasarkan Pasal 45A ayat (2)
ITE adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
e. Sarana Ujaran Kebencian
20
Romli Atmasasmita, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, hlm. 67. 21
Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi
Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik, Banyumedia Publishing, Malang, hlm. 128.
24
Alat-alat yang dapat digunakan dalam ujaran kebencian yaitu: Kampanye,
baik berupa orasi maupun tulisan, Spanduk atau banner, Jejaring media sosial,
Penyampaian pendapat di muka umum, Ceramah keagamaan, Media massa cetak
atau elektronik, Pamflet, Dan lain-lain.22
2. Teori Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Kebebasan berpendapat telah lama diatur dalam perundang-undangan baik
yang tertuang pada hukum internasional Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia maupun Undang-undang Dasar 1945 pasal 28. Kebebasan
mengeluarkan pendapat ini merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar.
Hak berpendapat mencakup kebebasan berpendapat secara lisan maupun tulisan.
Sebelumnya kebebasan ini hanya terbatas melalui media massa seperti televisi,
radio dan koran, ataupun melalui demonstrasi dan sebagainya. Namun saat ini,
dengan berkembangnya teknologi dan makin maraknya media sosial yang
bermunculan di internet, maka ruang untuk berpendapat makin terbuka luas.
Tercatat melalui website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, pengguna
internet di Indonesia hingga kini berjumlah 132,7 juta atau 52% dari jumlah
penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 129,2 juta memiliki akun
media sosial yang aktif. Rata-rata mereka menghabiskan waktu sekitar 3, jam per
hari untuk konsumsi internet melalui telepon selular. Pesatnya media sosial
mendorong adanya perubahan dalam pola identitas masyarakat cyber dan pola
pendistribusian informasi yang selama ini telah terkotak-kotakkan dalam media
22
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 17.
25
tradisional. Pola identitas yang terjadi di media siber telah berubah dari
anonimitas menjadi lebih personal.
Pengguna didorong untuk memublikasikan konten yang sifatnya pribadi
seperti data diri mulai dari tanggal lahir, gender, keyakinan, penyertaan foto diri
dan seterusnya hingga penyediaan ruang untuk berinteraksi di jejaring tersebut.
Netizen memperlakukan akun dalam sosial media sebagai ruang privat mereka.
Pola pendistribusian informasi tidak lagi berlangsung secara pasif seperti yang
selama ini terjadi pada media tradisional seperti koran, televisi, dan radio.
Masyarakat dipandang sebagai konsumen dan media sebagai produsen dan
distributor informasi.
Dalam dunia cyber, pengguna berperan aktif dalam produksi, distribusi dan
melakukan pembahasan selayaknya media massa. Pergeseran fungsi dan peran
tersebut, netizen memegang kontrol terhadap produksi dan distribusi informasi.
Mereka dapat memilih informasi apa yang akan diperolehnya dan dari mana
sumber informasi tersebut. Dengan adanya kebebasan ini, warga cyber dapat
membuat informasi dan mendistribusikan informasi yang dianggapnya penting
kepada semua khalayak.
Fenomena kebebasan pembuatan dan pendistribusian informasi di dalam
media sosial menyebabkan bebasnya kontrol akan konten informasi yang tersebar
di kalangan netizen. Hal tersebut memicu timbulnya berita palsu atau sering
disebut sebagai hoax dan informasi yang berisikan kebencian (hate speech). Data
yang dikumpulkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada
26
sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita
palsu dan ujaran kebencian (hate speech).23
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu elemen penting dalam
demokrasi. Bahkan, dalam sidang pertama PBB pada tahun 1946, sebelum
disahkannya Universal Declaration on Human Rights atau traktat-traktat diadopsi,
Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 59 (I) terlebih dahulu telah
menyatakan bahwa “hak atas informasi merupakan hak asasi manusia
fundamental dan standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB”.
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan
berlangsungnya demokrasi dan partisipasi publik dalam setiap pembuatan
kebijakan. Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam
pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila
mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan
mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya
secara bebas.
Pertanyaan mendasar terkait hal tersebut adalah apa sebenarnya kebebasan
berekspresi itu. Para sarjana berpendapat, salah satunya seperti dikemukakan oleh
John Locke, bahwa kebebasan berekspresi adalah cara untuk pencarian kebenaran.
Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari,
menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya
apakah mendukung atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapus
mis-konsepsi kita atas fakta dan nilai. John Stuart Mill mengatakan, kebebasan
23
PROMEDIA, VOLUME II, NO 2, 2016, Herawati, Penyebaran Hoax, hlm. 140-142
27
berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan
tiran. Suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai
kinerja pemerintahannya. Dalam memenuhi kebutuhan kontrol dan penilaian
itulah warga semestinya memiliki semua informasi yang diperlukan tentang
pemerintahnya. Tidak sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan
informasi tersebut, dan kemudian mendiskusikannya antara satu dengan yang
lainnya.
Berangkat dari sandaran teori tersebut, kebebasan bereskpresi kemudian
menjadi sebuah klaim untuk melawan penguasa yang melarangnya atau pun
menghambat pelaksanaanya untuk mendapatkan kebebasan berekspresi. Seperti
dikemukakan di awal, kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, bahwa
kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam
kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang
kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan militer.
Kaitan kebebasan berekspresi dengan demokrasi kemudian diakui dalam
hukum internasional hak asasi manusia yang menyatakan bahwa kebebasan
berekspresi merupakan pra-syarat terwujudnya prinsip transparansi dan
akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan
hak asasi manusia. Kebebasan bereskpresi juga menjadi pintu bagi dinikmatinya
kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih.24
Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran.
Berpendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam
24
Jurnal Hak Asasi Manusia Volume 7 No. 1, Juli 2016, hlm. 48.
28
kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau
mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam
UUD 1945, Pasal 28, bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang. Jaminan konstitusional dalam UUD 1945 juga menyatakan,
bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat juga merupakan bagian hak asasi
manusia Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat (3).25
Oleh karena itu,
warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak untuk
mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, hal
tersebut diatur juga secara eksplisit dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998.26
Mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat,
pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau
pembatasan yang bertentangan dengan tujuan pengaturan tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian, orang bebas
mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu pengaturan dalam mengeluarkan
pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antar-
anggota masyarakat. Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 4 yakni: mewujudkan kebebasan yang bertanggung
jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945, mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
25
Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 26
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di
Muka Umum.
29
berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat,
mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas
setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam
kehidupan berdemokrasi, menempatkan tanggung jawab sosial kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan atau kelompok.27
Dalam Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 dinyatakan, bahwa warga negara yang
menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk (1) menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, (2) menghormati
aturan-aturan moral yang diakui umum, (3) menaati hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, (4) menjaga dan menghormati
keamanan dan ketertiban hukum, dan (5) menjaga keutuhan persatuan dan
kesatuan bangsa.
Kewajiban dan tanggung jawab aparatur pemerintah diatur dalam Pasal 7 UU
No. 9 Tahun 1998 untuk: melindungi hak asasi manusia, menghargai asas
legalitas, menghargai prinsip praduga tindakan bersalah, dan menyelenggarakan
pengamanan.
Sedang masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab agar
penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan
damai. Hal tersebut secara eksplisit dijelasakan dalam Pasal 8 UU No. 9 Tahun
1998.
27
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum.
30
Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan
unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Bentuk
penyampaian pendapat tersebut juga berkait erat dengan persoalan pers dan
penyiaran sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang pers dan UU
No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Kemerdekaan berpendapat atau kebebasan
untuk menyatakan pendapat merupakan salah satu dasar kehidupan masyarakat
yang berpemerintahan demokratis di bawah Rule of Law28
. Dengan demikian
terjaminnya kemerdekaan berpendapat oleh negara merupakan bukti bagi negara
tersebut telah tumbuh dan berkembang budaya demokrasi.
1. Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pemidanaan
Dalam hukum pidana, tindak pidana atau delik dapat dibedakan atas berbagai
pembagian tertentu, yaitu:
Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran Pembedaan delik atas delik kejahatan
dan delik pelanggaran merupakan pembedaan yang didasarkan pada sistematika
KUHP. Buku II KUHP memuat delik-delik yang disebut kejahatan (misdrijven),
sedangkan Buku III KUHP memuat delik-delik yang disebut pelanggaran
(overtredingen).29
Delik Hukum dan Delik Undang-undang Latar belakang pembedaan delik
atas delik kejahatan dengan delik pelanggaran adalah pembedaan antara delik
hukum dan delik undang-undang.30
28
Budiardjo, M. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia: Jakarta, hlm. 22. 29
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
2012, hlm. 69. 30
Ibid., hlm. 74.
31
Delik hukum (rechtsdelict) adalah perbuatan yang oleh masyarakat sudah
dirasakan sebagai melawan hukum, sebelum pembentuk undang-undang
merumuskannya dalam undang-undang. Contohnya adalah misalnya pembunuhan
dan pencurian. Sekalipun orang tidak membaca undang-undang, tetapi pada
umumnya sudah akan merasa bahwa pembunuhan dan pencurian merupakan
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum. Perbuatan-perbuatan seperti
ini, yang dipandang sebagai delik hukum (rechtsdelict), ditempatkan dalam buku
II KUHP tentang Kejahatan.31
Delik undang-undang (wetsdelict) adalah perbuatan yang oleh masyarakat
nanti diketahui sebagai melawan hukum karena dimasukkan oleh pembentuk
undang-undang ke dalam suatu undang-undang. Contohnya adalah pengemisan di
depan umum (Pasal 504 KUHP). Masyarakat nanti mengetahui perbuatan
mengemis di muka umum merupakan tindak pidana karena ditentukan oleh
pembentuk undang-undang. Perbuatan-perbuatan seperti ini, yang dipandang
sebagai delik undang-undang (wetsdelict), ditempatkan dalam Buku III tentang
Pelanggaran.32
Delik Formal dan Delik Materil Delik formal ialah delik yang dianggap telah
selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang. Contohnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Dengan melakukan perbuatan “mengambil”, maka perbuatan itu sudah menjadi
delik selesai. Sedangkan delik materil ialah delik yang dianggap telah selesai
dengan ditimbulkannya akibat yang diancam dengan hukuman oleh undang-
31
Ibid., hlm. 75. 32
Ibid. Hlm. 75
32
undang. Contohnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Nanti ada
pembunuhan sebagai delik selesai setelah adanya orang yang mati.33
Delik Komisi dan Delik Omisi Delik komisi (commissie delict) adalah delik
yang mengancamkan pidana terhadap dilakukannya suatu perbuatan (perbuatan
aktif). Dalam hal ini seseorang melakukan suatu perbuatan (handelen) atau
berbuat sesuatu. Delik ini berkenaan dengan norma yang bersifat larangan.
Contoh norma yang bersifat larangan, yaitu pasal pencurian. Seseorang diancam
pidana karena berbuat sesuatu, yaitu mengambil suatu barang.34
Delik omisi
(ommissie delict) adalah delik yang mengancamkan pidana terhadap sikap tidak
berbuat sesuatu (perbuatan pasif). Dalam hal ini seseorang tidak berbuat (nalaten)
sesuatu. Delik ini berkenaan dengan norma yang bersifat perintah. Contoh norma
yang bersifat perintah, yaitu pasal yang mengancam pidana terhadap seseorang
yang melihat seseorang dalam bahaya maut dan tidak memberikan pertolongan
(Pasal 531 KUHP). Ia diancam pidana karena tidak berbuat sesuatu untuk
menolong.35
Delik Sengaja (Dolus) dan Delik Kealpaan (Culpa) Bagi delik dolus
diperlukan adanya kesengajaan; misalnya Pasal 338 KUHP: “dengan sengaja
menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah
dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal
359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain
karena kealpaannya.36
33
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 213. 34
Frans Maramis, Op. Cit., hlm. 81. 35
Ibid,. 81. 36
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 82
33
Unsur Tindak Pidana berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa
menurut Prof. Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah unsur-unsur yang
terdapat di dalam pengertian perbuatan yang dipisahkan dengan
pertanggungjawaban pidana. Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang
melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal.
Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang
berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan
hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil. Ketiga,
adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan
akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan
beberapa yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum
pidana yang ada di dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku
perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat
tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.
Menurut Prof. Moeljatno pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari
unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir
(dunia). Unsur-unsur perbuatan atau elemen perbuatan pidana adalah: 1) Kelakuan
dan akibat. 2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal
ikhwal yang mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang
34
mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si
pelaku.
Selain itu terdapat hal ikhwal tambahan dalam keadaan tertentu. Misalnya
dalam Pasal 164 dan 165 KUHP yaitu kewajiban untuk melapor kepada yang
berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Jika kejahatan tersebut
benar-benar terjadi maka orang yang sebenarnya telah mengetahui akan terjadinya
kejahatan tersebut tetapi tidak melapor baru saja telah melakukan perbuatan
pidana. Atau seperti pada Pasal 331 KUHP yaitu keharusan memberi pertolongan
kepada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika orang yang
membutuhkan pertolongan tersebut meninggal, orang yang sebenarnya dapat
memberi pertolongan tetapi tidak memberi pertolongan baru saja melakukan
tindak pidana.
Hal ikhwal tambahan tertentu seperti yang dicontohkan di atas dalam buku-
buku Belanda dinamakan Bijkomende voorwarden van strafbaarhaid, yaitu syarat-
syarat tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar) seseorang. Keadaan yang
terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan dinamakan unsur
tambahan, karena rasionya atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah
bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup
merupakan penggangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sanksi
pidana. Namun hal ikhwal tertentu di atas tidak selalu diterima oleh beberapa
sarjana hukum sebagai elemen strafbaarheid. 3) Keadaan tambahan yang
memberatkan pidana. 4) Unsur melawan hukum yang objektif. 5) Unsur melawan
hukum yang subjektif, yaitu terletak pada hati sanubari pelaku perbuatan pidana.
35
Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung kepada bagaimana sikap batinnya
terdakwa. Misalkan, seseorang yang mengambil barang orang lain tetapi untuk
diberikan kepada pemiliknya bukanlah suatu perbuatan yang dilarang karena
bukan pencurian. Tidak ada niat dari si pelaku untuk mengambil barang tersebut
dan menjadikan barang tersebut menjadi miliknya. Dalam teori unsur melawan
hukum yang demikian ini dinamakan subjektif Onrechtselement, yaitu unsur
melawan hukum yang subjektif.37
Sedangkan menurut Simons ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur
subjektif. Unsur objektif yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan,
serta akibat keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa
kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaar) dari
pelaku.38
Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur tindak pidana tersebut terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. 1)
Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si
pelaku. Asas hukum pidana menyatakan bahwa “tiada hukuman jika tiada
kesalahan” (actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksudkan
di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (neglicance/culpa). Dalam Crimineel
37
Moeljatno.2008.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka cipta, hlm. 100 38
Kanter, E. Y. dan S.R. Sianturi. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia Dan
Penerapannya, Jakarta, Hlm. 205.
36
Wetboek (KUHP) tahun 1809 dicantumkan39
: “Kesengajaan adalah kemauan
untuk melakukan atau tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
atau diperintahkan oleh undang-undang”.
Kemudian dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman
sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi KUHP
Indonesia tahun 1915), memuat40
: “Kesengajaan adalah dengan sadar
berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van
den wil op een bepaald misdriff)”. Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki
dan diketahui) adalah: “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja harus mengkehendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau
mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu” Pada umumnya para pakar telah
sepakat bahwa kesengajaan terdiri dari tiga bentuk yaitu kesengajaan sebagai
maksud (oogmerk), kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzjin), dan kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus
eventualis). a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) Maksud berbeda dengan
motif. Umumnya, motif diidentikkan dengan tujuan. Contoh41
:A bermaksud
membunuh B yang menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B
meninggal. Pada contoh tersebut, dorongan untuk membalas kematian ayahnya itu
disebut dengan motif, sedangkan yang disebut dengan maksud adalah kehendak A
untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan
39
Marpaung, Leiden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Hal. 13. 40
Ibid. 41
Ibid, Hal.16.
37
diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini yaitu menghilangkan nyawa
B. Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti. b)
Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzjin) Yaitu
dimana si pelaku (doer/dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain
akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa
dengan melakukan perbuatan itu pasti akan timbul akibat lain.
Satochid Kartanegara memberikan contoh sebagai berikut42
: A berkehendak
untuk membunuh B. Dengan membawa senjata api, A menuju ke rumah B. Akan
tetapi ternyata setelah sampai di rumah B, C berdiri di depan B. Karena rasa
marah, walaupun ia tahu bahwa C yang berdiri di depan B, A tetap melepaskan
tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C kemudian
B, hingga C dan B mati. Dalam hal ini, opzet A terhadap B adalah kesengajaan
sebagai maksud (oogmerk), sedangkan terhadap C adalah kesengajaan dengan
keinsafan pasti. c) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)
Kesengajaan ini disebut juga kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, yaitu
bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu
akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul
akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contohnya yaitu
dalam kasus kue tar di kota Hoorn43
: A hendak membalas dendam terhadap B
yang berdiam di Hoorn. A mengirim pada B sebuah kue tar beracun dengan tujuan
untuk membunuhnya. Ia tahu bahwa selain B, tinggal istri B di rumah B. A
42
Ibid, Hal. 17. 43
Ibid, Hal. 18.
38
memikirkan ada kemungkinan bahwa istri B yang tidak bersalah akan memakan
kue tar tersebut. Walaupun demikian ia tetap mengirimnya.
Perkara tersebut diadili oleh Hof. Amsterdam dengan putusan tanggal 9
Maret 1911. Dari uraian tersebut, dolus eventualis bertitik tolak dari kesadaran
akan kemungkinan. Artinya si pelaku sadar akan kemungkinan tersebut. Unsur
kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila kesengajaan adalah
sesuatu yang dikehendaki, maka kealpaan adalah sesuatu yang tidak dikehendaki.
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan sehingga
sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang
dilakukan dengan kealpaan pun lebih ringan. Simons memberikan penjelasan
mengenai kealpaan44
: “Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak
berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat
perbuatan itu. Namun, meskipun perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih
mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari
perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.”
Contoh kealpaan menurut Satochid Kartanegara yaitu45
: A membuat api untuk
menanak nasi. Jelas di sini bahwa A membuat api dengan sengaja. Akan tetapi
kemudian api menjilati dinding rumah sehingga menimbulkan kebakaran.
Dalam hal ini perbuatan A yang menimbulkan kebakaran tersebut harus
ditinjau dari sudut syarat-syarat schuld yaitu: a) Apakah terdapat ketidakhati-
hatian pada diri A? b) Apakah A dapat membayangkan akan timbulnya kebakaran
itu atau tidak? Misalnya setelah A membuat api, api ditinggalkan dan kemudian A
44
Ibid, Hal. 25. 45
Ibid, Hal. 27.
39
pergi ke sumur untuk mengambil air. Akan tetapi, saat itu angin kencang datang
sehingga api menjilat dinding rumah yang terbuat dari bahan kering. Dalam hal
ini harus diperhatikan dan diperhitungkan berbagai masalah yang berhubungan
dengan kejadian itu. Misalnya A dapat disimpulkan telah lalai karena ia
meninggalkan api, padahal ia sedang menunggui api dan ia tahu bahwa angin bisa
saja bertiup kencang setiap saat pada saat itu. 2) Unsur objektif Unsur objektif
adalah unsur dari luar diri pelaku, terdiri atas: a) Perbuatan manusia, berupa: i.
Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif; ii.Omission, yaitu perbuatan
pasif atau perbuatan negatif, seperti mendiamkan atau membiarkan. b) Akibat
(result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,
misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. c)
Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan
dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat
melawan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Semua unsur
tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu
unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa dibebaskan dari
pengadilan.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teoekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau
tersangka dipertanggungjawabkan atau suatu tindakan pidana yang terjadi atau
40
tidak.46
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban
pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.47
Sudarto mengatakan bahwa
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu
orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan
kepada orang tersebut.48
Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut
beberapa pandangan adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini:49
Menurut
Pompe kemampuan bertanggung jawab pidana harus mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut: a. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang
46
Amir Ilyas, Loc. Cit 47
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, dikutip dari Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum
Pidana, Ctk. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 156. 48
Sudarto, Hukum Pidana I, dikutip dari Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Ctk.
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 156-157. 49
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, dikutip dari Amir Ilyas,
Asasasas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai
Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, 2012,
hlm. 74.
41
memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan
perbuatannya. b. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya. c.
Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. Syarat-
syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah
sebagai berikut: jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau
menginsyafi nilai dari perbuatannya, orang harus menginsyafi bahwa
perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang dan orang harus
dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
3. Ketentuan Hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) Yang Berlaku Di
Indonesia
Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara. Berbicara tentang hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan
subjek dari hukum pidana itu sendiri. Subjek dari hukum pidana dalam melakukan
aktivitasnya dalam bermasyarakat sering kali melakukan penyimpangan. Hal ini
tidak hanya membahayakan dirinya akan tetapi juga dapat merugikan orang lain.
Agar terciptanya suatu tatanan masyarakat yang aman dan tertib maka dibutuhkan
norma-norma serta ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mengatur
bagaimana anggota masyarakat melaksanakan aktivitasnya tanpa mengganggu
kepentingan anggota masyarakat lainnya.
Ketentuan-ketentuan tersebut haruslah memiliki sanksi yang bersifat memaksa.
Artinya ketika seseorang melanggar ketentuan yang telah dibuat mala pelanggar
akan diberikan hukuman. Berat ringannya hukuman tergantung dari jenis
42
pelanggaran yang dilakukannya.50
Hukum pidana dalam usahanya untuk
mencapai tujuannya tidaklah semata-mata hanya dengan menjatuhkan sanksi
pidana akan tetapi juga dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Oleh
sebab itu hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal yaitu usaha-usaha
rasional dalam mencegah terjadinya kejahatan.51
Komisi nasional hak asasi manusia (komnasham) dalam buku saku
penanganan ujaran kebncian (Hate Speech) mengungkapkan ujaran kebencian
(Hate Speech) sangat berbahaya. Karena:52
a) Merendahkan manusia lain Manusia
adalah ciptaan Tuhan dan tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan
manusia dan kemanusiaan seorang pun yang merupakan ciptaan Tuhan. b)
Menimbulkan kerugian material dan korban manusia Data penelitian
menunjukkan jumlah kerugian material dan korban kekerasan berbasis identitas
lebih besar daripada kekerasan lainnya.
Bisa berdampak pada konflik Hasutan untuk memusuhi orang atau kelompok
bisa menimbulkan konflik, konflik ini bisa antar individu dan meluas menjadi
konflik komunal atau antar kelompok d) Bisa berdampak pada pemusnahan
kelompok (genosida) Hasutan kebencian ini bisa membuat streotyping/pelabelan,
stigma, pengucilan, diskriminasi, kekerasan. Pada tingkat yang paling mengerikan
bisa menimbulkan kebencian kolektif pembantaian etnis, pembakaran kampung
atau pemusnahan (genosida) terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran
kebencian.
50
Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Ikhtisar Ilmu Hukum”hukum dan politik”, jakarta, badan
penerbit iblam,2006,hlm.84. 51
Ibid., hlm. 84-85 52
KOMNASHAM RI, Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech),
Jakarta:KOMNASHAM, 2015, hlm. 3.
43
4. Ketentuan tindak pidana ujaran kebencian menurut undang-undang
hukum pidana
Berdasarkan surat edaran kapolri no 6 tahun 2015 yang tergolong dalam
ujaran kebencian (Hate Speech) yang di atur oleh kitab undang-undang hukum
pidana yang mana terdapat didalam pasal antara lain sebagai berikut: Pasal 156
KUHP, Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.53
Pasal 157 ayat (1) dan (2) KUHP, ayat (1) Barang siapa menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang
isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud
supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Ayat (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu
menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak
pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.54
Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, ayat (1) Barangsiapa sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu
hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena
53
Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 54
Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
44
pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) Jika hal itu dilakukan dengan
tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka
umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. Ayat (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri.55
Pasal 311 KUHP, Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu
benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa
yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling
lama empat tahun. Objek hukum pidana dalam hal ini adalah ujaran kebencian.
Tidak semua ujaran dengan menggunakan kata benci dapat di kategorikan ujaran
kebencian.
Ujaran kebencian yang dimaksud dalam pasal-pasal dalam KUHP tersebut
apabila, Pasal 156-157 KUHP: Jika: Perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha, baik langsung
maupun tidak langsung. Kata golongan dalam pasal ini adalah salah satu dari: e)
Suku f) Agama g) aliran keagamaan h) keyakinan/kepercayaan i) ras j) warna
kulit k) antar golongan l) etnis m) gender n) orang dengan disabilitas (difabel) o)
orientasi seksual, ekspresi gender.
55
Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
45
Pasal 310-311 KUHP, Jika dalam perbuatan penghinaan yang dilakukan
mencakup sebagai berikut: 1. Penghinaan itu ditujukan kepada seseorang atau
kelompok berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/ kepercayaan,
ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang dengan disabilitas (difabel),
orientasi seksual, ekspresi gender, dan; 2. Penghinaan itu berupa hasutan untuk
melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Terkait penegakan hukum
atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian, yaitu Pasal 310 dan Pasal
311 KUHP.
Kedua pasal dalam KUHP ini dinilai tidak tepat jika dimasukkan ke dalam
Surat Edaran Hate Speech. Dalam artikel PERADI Luhut Imbau Kapolri Cabut
SE Ujaran Kebencian, Mantan Menteri Hukum dan HAM yang kini menjadi
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PERADI versi Luhut, Amir Syamsuddin
berpandangan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP tidak tepat dijadikan jeratan
terhadap mereka yang melakukan penyebaran kebencian. Ini karena Pasal 310 dan
Pasal 311 merupakan delik aduan yang bersifat ranah privat. Lagi pula, polisi tak
akan dapat berbuat banyak sepanjang tak ada aduan dari pengadu.
5. Pengertian Implikasi
Pengertian implikasi Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI),
implikasi adalah keterlibatan atau keadaan terlibat. Arti kata implikasi itu sendiri
sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas dan beragam, sehingga dapat
digunakan dalam berbagai kalimat dalam cakupan bahasa yang berbeda-beda.
Kata implikasi dapat dipergunakan dalam berbagai keadaan maupun situasi yang
46
mengharuskan seseorang untuk berpendapat atau berargumen. Seperti halnya
dalam bahasa penelitian maupun matematika.
Arti kata implikasi itu sendiri sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat
luas dan beragam, sehingga dapat digunakan dalam berbagai kalimat dalam
cakupan bahasa yang berbeda-beda, Menurut para ahli, pengertian implikasi
adalah suatu konsekuensi atau akibat langsung dari hasil penemuan suatu
penelitian ilmiah. Pengertian lainnya dari implikasi menurut para ahli adalah suatu
kesimpulan atau hasil akhir temuan atas suatu penelitian.
Terdapat jenis-jenis implikasi metode penelitian yang pada umumnya
dilakukan untuk melakukan sebuah kajian ilmiah dan penelitian. Beberapa jenis
implikasi penelitian tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
Implikasi Teoritis Implikasi teoritis adalah di mana seorang peneliti akan
menggunakan kelengkapan data berupa gambar-gambar maupun foto yang
bertujuan untuk menguatkan hasil temuan dan penelitiannya. Gambar-gambar ini
diperlukan peneliti untuk mendukung dan melengkapi hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya agar dapat dipresentasikan kepada pihak penguji. Gambar-
gambar yang disajikan tersebut juga harus berkaitan dengan implikasi teoritikal
berdasarkan hasil penelitian yang disajikan. Penambahan gambar-gambar ini
bertujuan selain memudahkan peneliti untuk menjelaskan dan menjabarkan hasil
penelitiannya, juga bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk meyakinkan
para penguji. Karena tujuan utama penelitian dilakukan tentunya adalah
memberikan suatu kontribusi bagi ilmu pengetahuan baik itu secara teori maupun
47
praktek langsung untuk menyempurnakan hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Implikasi Metodologi Implikasi Metodologi penelitian adalah membahas
tentang bagaimana cara dan metode dari teori-teori yang digunakan dalam sebuah
penelitian. Biasanya seorang peneliti memiliki banyak metode yang akan atau
telah digunakan dalam penelitiannya. Sehingga implikasi metodologi ini lebih
menjadi sebuah refleksi seorang peneliti terhadap hasil penelitiannya. Hal ini
karena setiap peneliti pasti memiliki cara yang khas dan metode masing-masing
untuk menyelesaikan hasil penelitiannya tersebut. Di dalam keseluruhan hasil
penelitian, pasti terdapat metode yang sulit untuk dilakukan maupun yang mudah
dalam pengaplikasiannya. Maka dari itu implikasi metodologi bertujuan untuk
menjelaskan kesulitan-kesulitan maupun tantangan yang dialami oleh peneliti
selama menyelesaikan hasil penelitian tersebut. Selain itu implikasi metodologi
juga menjelaskan tentang inovasi-inovasi maupun ide-ide apa saja yang telah
ditemukan, dikembangkan dan dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah
dalam ilmu pengetahuan melalui hasil penelitian. Tujuan dari selalu dilakukannya
penelitian secara berkelanjutan adalah untuk meningkatkan dan menyempurnakan
hasil temuan ilmiah. Semakin sempurna suatu hasil penelitian, maka kualitas
penelitian itu sendiri akan lebih baik sehingga dapat menjadi suatu resolusi bagi
masalah yang ada dalam kajian ilmu pengetahuan. Implikasi metodologi biasanya
juga memuat bagian tentang masukan atau saran serta kesimpulan penelitian.
Semua ini dikemukakan oleh peneliti agar mendapat masukan dan perbaikan dari
48
para penguji. Masukan-masukan yang diberikan oleh penguji akan menjadi
sebuah evaluasi untuk membuat sebuah penelitian menjadi lebih baik lagi.
Implikasi Manajerial Implikasi manajerial mengulas atau membahas tentang
kesimpulan atau hasil akhir penelitian. Tentunya kesimpulan tersebut diperoleh
berdasarkan atas kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam metode penelitian.
Kebijakan-kebijakan yang diambil untuk mendapatkan hasil akhir keputusan
tersebut diperoleh melalui sebuah proses pengambilan keputusan yang bersifat
menyeluruh dan partisipatif dari seluruh anggota peneliti dan dengan cara
manajerial yang tepat. Implikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hasil
penelitian tersebut disebut juga sebagai implikasi manajerial.
Selain itu, implikasi manajerial dapat memberikan manfaat bagi ilmu
manajemen. Manajemen itu itu terdiri dari dua implikasi yaitu: Implikasi
prosedural, yaitu analisis, perencanaan kerja, pilihan kebijakan, dan tata cara
analisis dan implikasi yang bersifat substantif, yaitu perkiraan rencana maupun
perumusan sebuah tindakan.
B. Temuan Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech)
1. P U T U S A N Nomor : 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK
Jika dilihat secara holistik dan mendalam terkait subtansi dalam putusan
sebelum dilakukannya perubahan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik, yakni dalam putusan Nomor : 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK
atas nama terdakwa Florence Saulina Sihombing. Adapun yang menjadi
kronologis kejadian perkara ialah : pada hari Rabu tanggal 27 Agustus 2014 sekira
49
jam 15.00 WIB atau setidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2014
bertempat di Jl. Srigunting No 2 Demangan Baru Yogyakarta, Terdakwa dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pada awalnya
Terdakwa bermaksud mengisi bahan bakar di Pom Bensin Lempuyangan, Baciro,
Yogyakarta, pada saat itu Terdakwa mengantri untuk membeli pertamax 95
dijalur mobil. Setelah Terdakwa mengantri dan Terdakwa sampai dibagian paling
depan tidak dilayani oleh petugas SPBU karena Terdakwa menggunakan motor.
Karena tidak dilayani, Terdakwa pulang ke kos Terdakwa yang beralamat di Jl Sri
Gunting No 2 Demangan Baru, Yogyakarta, lalu Terdakwa sempat melihat berita
di media elektronik dan Terdakwa membaca berita tentang antrean Terdakwa
yang direkam oleh wartawan yang sedang meliput kejadian di SPBU kemudian
Terdakwa merasa emosi dan kecewa lalu menulis status pada media sosial Path
milik Terdakwa dengan nama akun Florence Sihombing sekitar pukul 15.00 WIB
dengan cara menggunakan telepon genggam jenis I-phone 5c milik Terdakwa.
Bahwa kata–kata yang ditulis (upload) Terdakwa pada akun Path Florence
Sihombing yaitu : Jogja Miskin, Tolol dan Tak Berbudaya. Teman-teman
Jakarta-Bandung, jangan mau tinggal di Jogja. Orang jogja bangsat. Kakak mau
beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus gak
dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak
ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku gak bisa bayar apa.huh.KZL.
1. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
50
Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh terdakwa, Jaksa Penuntut Umum
Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Maret 2015 Nomor Reg.Perkara.:
PDM-145/Euh.2 Yogya/10/2014. Menuntut terdaka Florence Saulina Sihombing,
sebagai berikut, Menyatakan Terdakwa Florence Saulina Sihombing terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ mentransmisikan
dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan
penghinaan “, melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam )
bulan dengan masa percobaan selama 12 (dua belas) bulan dan denda sebesar Rp
10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) buah handphone merk iPhone / 5c
nomor imei 358031058309538, 1 (satu) buah simcard dengan nomor
082160685742 ; Dikembalikan kepada Terdakwa Florence Saulina Sihombing, 1
(satu) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar screen capture Twitter
Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar
screen capture Twitter Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path
Florence Sihombing; Terlampir dalam berkas perkara, Membebankan biaya
perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah);
2. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
Berdasarkan tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan putusan yang amarnya
berbunyi sebagai berikut; Menyatakan Terdakwa Florence Saulina Sihombing
51
tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dengan sengajan dan tanpa hak mendistirbusikan informasi elektronik
melalui jaringan telekomunikasi yang membuat penghinaan dan pencemaran
nama baik, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua) bulan dan denda sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan , menetapkan pidana tersebut tidak usah
dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain
disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa
percobaan selama 6 (enam) bulan berakhir.
Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) buah handphone merk iPhone/5c
nomor imei 358031058309538, 1 (satu) buah simcard dengan nomor
082160685742. Dikembalikan kepada Terdakwa Florence Saulina Sihombing; 1
(satu) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar screen capture Twitter
Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar
screen capture Twitter Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path
Florence Sihombing ; Tetap terlampir dalam berkas perkara. Membebankan
kepada Terdakwa membayar biaya perkara dalam perkara ini sejumlah Rp. 5.000 (
lima ribu rupiah).
3. Permohonan Yang Diajukan Oleh Terdakwa Pada Tingkat Banding:
Berdasarkan putusan yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Yogyakarta, terdakwa tidak menerima putusan tersebut, sehingga terdakwa
dalam hal ini mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta.
52
Adapun yang menjadi permohonan terdakwa pada tingkat banging ialah;
Menyatakan Terdakwa Florence Saulina Sihombing, tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
dalam Dakwaan Kesatu atau Dakwaan Kedua, Membebaskan Terdakwa Florence
Saulina Sihombing dari semua dakwaan, atau setidak-tidaknya melepaskan
Terdakwa Florence Saulina Sihombing dari segala tuntutan hukum, Memulihkan
hak Terdakwa Florence Saulina Sihombing dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya, Menetapkan barang bukti iPhone 5C warna pink dengan
imei 35803158309538 dan simcard dengan nomor 082160685742, dikembalikan
kepada Terdakwa, Memerintahkan kepada JPU untuk langsung dan segera pada
saat putusan dibacakan, mengembalikan barang bukti iPhone 5C warna pink
dengan imei 35803158309538 dan simcard dengan nomor 082160685742,
dkembalikan kepada Terdakwa, Membebankan biaya perkara kepada Negara.
4. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta
Adapun yang menjadi subtansi perimbangan Hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta sepakat
terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta. Bahwa Hakim
Pengadilan Tingggi Negeri Yogyakarta dalam hal ini setuju tehadap pertimbangan
Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta bahwa terdakwa atas nama Florence
Saulina Sihombing dalam hal ini tersebukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal yang didakwakan kepadanya yakni didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) juncto
53
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Namun jika dilihat secara mendalam adapula pertimbangan Hakim
Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta yang tidak sesuai dengan putusan Hakim
Pengadilan Negeri Yogyakarta yakni terkait penjatuhan hukuman pidana denda.
Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta menganggap bahwa terkait penjatuhan
putusan hukuman pidana denda yang di putuskan oleh hakim tidaklah perlu untuk
dilakukan, karena Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta merasa bahwa hal
itu terlalu sehingga pidana penjara percobaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa
adalah sudah cukup untuk memenuhi rasa keadilan.
5. Putusan Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta:
Menerima permintaan banding dari Terdakwa Florence Saulina Sihombing
dan Jaksa Penuntut Umum. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
tanggal 31 Maret 2015 Nomor :328/Pid.Sus/2014/PN.Yyk. sekedar mengenai
pidana denda berikut pidana kurungan penggantinya yang dijatuhkan kepada
terdakwa haruslah dihapuskan, sedangkan amar selain dan selebihnya untuk dapat
dikuatkan, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut; Menyatakan
Terdakwa Florence Saulina Sihombing tersebut diatas terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Dengan Sengaja Dan Tanpa Hak
Mendistribusikan Informasi Elektronik Melalui Jaringan Telekomunikasi Yang
Memuat Penghinaan Dan Pencemaran Nama Baik.
54
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 2 (dua) bulan ; Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika
dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena
Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6
(enam) bulan berakhir. Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) buah handphone
merk iPhone/5c nomor imei 358031058309538, 1 (satu) buah simcard dengan
nomor 082160685742.
Dikembalikan kepada Terdakwa Florence Saulina Sihombing, 1 (satu) lembar
screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar screen capture Twitter Florence
Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence , 1 (satu) lembar screen
capture Twitter Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence
Sihombing. Tetap terlampir dalam berkas perkara membebankan biaya perkara
kepada Terdakwa dalam kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding
sebesar Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah);
6. Putusan Nomor 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn
Jika melihat putusan hakim dalam kasus hate speech yang dilakukan
menggunakan media elektronik, sebelum dilakukannya perubahan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik, menurut penulis bahwa putusan hakim yang dijatuhkan oleh
Majelis Hakim setelah dilakukannya perubahan, relatif lebih berat dibandingkan
sebelum dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
55
Transaksi Elektronik. Walaupun terkait subtansi ancaman hukuman tidak
dilakukan perubahan, hal itu dapat dilihat dalam Putusan Nomor
2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn atas nama terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal
Abdi Als Bombay Als Memet. adapun yang menjadi kronologis kejadian tersebut
ialah bermula pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018 sekira pukul 13.00 Wib ketika
terdakwa berada di rumah ibu kandung terdakwa di Jalan Beringin Pasar 7 Gang
Pancasila 10-A Dusun Kuini Desa Tembung Kec. Percut Sei Tuan Kab Deli
Serdang Provinsi Sumtatera Utara dan saat terdakwa menonton hasil
penghitungan cepat (Quick Count) hasil pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang
disiarkan dari televisi, lalu terdakwa melihat ada akun facebook atas nama tidak
ingat, menuliskan kalimat hasil penghitungan cepat pemilihan Gubernur Sumatra
Utara yang tidak sesuai dengan menyebutkan persentasi hasil peroleh suara
pasangan Calon Gubsu nomor urut 2 (Djoss) lebih unggul dari pasangan Calon
Gubsu nomor urut 1 (Eramas), selanjutnya terdakwa merasa kesal kemudian
terdakwa menulis komentar atas postingan tersebut melalui akun facebook
terdakwa atas nama Faisal Abdi menulis kalimat:
“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep
silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”.
Kemudian atas komen yang dilakukan oleh terdakwa dalam kolom komentar
di facebook dilihat oleh pemilik akun facebook Salagracia Sihombing, pemilik
akun facebook Alik Adrian, pemilik akun facebook Leo, Solihin Madrista
Simanjuntak dan saksi Lamsiang Sitompul,SH. akibat perbuatan terdakwa
tersebut saksi Parluhutan Situmorang,SH, saksi Lamsiang Sitompul,SH dan saksi
56
Tumingka Daniel Pardede,SH,MH,CD merasa keberatan dan membuat laporan
dan pengaduan ke Kepolisian.
7. Keterangan Ahli
Keterangan ahli Drs. Marthin,M.Hum (Ahli Bahasa). Jika melihat secara
holistik dan mendalam terkait pendapat ahli bahwa komentar yang di tulis oleh
terdakwa pada kolom komentar di facebook yakni: Eramas pasti menang, orang
Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu
ha...ha... Batak tolol. Adapun yang menjadi pendapat ahli berdasarkan status
tersebut ialah, yang dimaksud dengan kata orang Batak adalah orang-orang yang
merupakan salah satu suku bangsa di Sumatera Utara, dan dalam konteks
berbahasa sehari-hari orang Batak pada umumnya mengacu kepada orang-orang
yang bersuku Batak Toba. Jika melihat kata Batak tolol memililiki arti bahwa
orang atau suku Batak sangatlah bodoh (tidak tahu apa-apa).
Selain itu jika melihat kata “eramas pasti menang” berarti bahwa salah satu
pasangan yang bernama eramas, meraih hasil kemenangan dalam sebuah
perlombaan karena dapat mengalahkan saingan. Selain itu jika melihat redaksi
kalimat “Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep” memiliki arti bahwa
orang-orang yang bersuku Batak tidak boleh merasa sangat susah hati (ya ‘kata
penegasan’) kalo djoss nyungsep (jika djoss kalah masuk kedalam tanah). Selain
itu jika melihat redaksi kalimat “Silahkan makan kalian taik babi itu ha…ha…
Batak tolol” berdasarkan redaksi kalimat tersebut memiliki arti bahwa
menganjurkan (kata perintah halus) agar orang Batak memakan kotoran babi,
tertawa, Batak yang sangat bodoh.
57
Berdasarkan redaksi kalimat yang dibuat oleh terdakwa dalam komentar
facebook, yakni: “Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss
nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”. Berdasarkan
kalimat tersebut dapat menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA) karena ada menggunakan kata orang Batak.
Keterangan ahli Prof. Dr. Maidin Gulton, S.H., M.Hum (Ahli Hukum
Pidana), setelah berjanji dalam persidangan pada Pokoknya menerangkan sebagai
berikut :
yang dimaksud dengan; Setiap orang adalah orang perseorangan, baik warga
negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Artinya setiap
orang adalah orang perorangan dan badan hukum.
Dengan Sengaja adalah; Sengaja (opzet) adalah menghendaki dan mengetahui
(willens en wetens). Berhubungan dengan keadaan bathin orang yang berbuat
dengan sengaja, dapat disebut 2 (dua) teori, yaitu: teori kehendak (wilstheori), inti
kesengajaan dalam hal ini adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik
dalam rumusan delik.
Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie), sengaja
berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Menitik
beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipembuat ialah apa yang
akan terjadi pada waktu ia berbuat. Dalam seseorang melakukan sesuatu dengan
sengaja, dapat dibedakan 3 (tiga) corak bathin, yaitu:
Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), untuk mencapai tujuan
(yang dekat); dolus directus. Perbuatan di pembuat bertujuan untuk menimbulkan
58
akibat yang dilarang. Ia mengendaki perbuatan beserta akibatnya. Disebut juga
sengaja dengan tujuan.
Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakelijkheidbewustzijn). Mempunyai akibat, yaitu: Akibat yang memang
dituju sipembuat. Ini merupakan delik tersendiri atau tidak; Akibat yang tidak
diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan.
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus evantualis atau
voorwaardelijk opzet).Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula mungkin
terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi.
Tanpa hak adalah tanpa kewenangan yang merupakan Sifat melawan hukum,
yang dalam hal ini tidak perlu bertentangan dengan aturan hukum. Menyebarkan
informasi maksudnya adalah kegiatan melakukan transfer informasi menggunakan
media sosial dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu maksudnya adalah Perbuatan atau
rangkaian perbuatan (perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan) dengan
menggunakan media sosial yang merupakan tindakan menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu. berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antar golongan (SARA) maksudnya bahwa tindakan komunikasi yang dilakukan
oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun
hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti
59
ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan, agama,
dan lain-lain.
Dapat Ahli jelaskan yang dimaksud dengan Menyebarkan Informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) adalah: Perbuatan atau rangkaian perbuatan (perkataan,
perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan) dengan menggunakan media sosial yang
merupakan tindakan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa, menyebarkan Informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan
(SARA) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau
kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis,
gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Perbuatan
yang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dimaksudkan oleh Pasal
45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU
RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tersebut adalah Perbuatan itu dilakuan dengan
sengaja agar “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
60
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)”. Dalam hal ini “dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)”. Termasuk ke dalam ujaran
kebencian adalah (hate speech) di antaranya adalah penghinaan, pencemaran
nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut
dan menyebarkan berita bohong baik secara langsung di muka umum maupun
lewat media social. Adapun yang menjadi keterangan ahli berdasarkan unsur-
unsur yang terdapat dalam Pasal tersebut:
Unsur-unsur Pasal 45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun
2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE adalah; setiap orang,
sengaja, tanpa hak, menyebarkan informasi, menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), Pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. (satu milyar
rupiah) Unsur penting adalah “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Kelompok masyarakat dan antar golongan dalam Pasal 45A ayat (2) Yo.
Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun
2008 tentang ITE adalah Suku, agama, aliran keagamaan, kepercayaan, ras, antar
golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.
61
Menerapkan Pasal 45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun
2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tersebut, tidak harus
ada pihak yang dirugikan atau harus ada pihak yang keberatan, karena bukan
merupakan delik/tindak pidana aduan dan bukan merupakan delik materil yang
menghendaki akibat dari perbuatan itu.
Penerapan Pasal 45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016
Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tidak tergantung kepada
akibat yang ditimbulkan tetapi bila memenuhi perumusan ketentuan Pasal 45A
ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI
No. 11 Tahun 2008 tentang ITE seseorang dapat dipersangkakan/
didakwa/dipidana, karena tergolong sebagai delik/tindak pidana formil.
Perbuatan yang dilakukan oleh pemilik Akun Facebook Faisal Abdi sebagai
Terdakwa tersebut merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur Pasal 45A
ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 perubahan atas UU RI No.
11 Tahun 2008 tentang ITE. Dapat dijelaskan bahwa perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan menyebarkan Informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA)
8. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa atau berdasarkan
fakta persidangan. Terdakwa dalam hal ini dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum
62
sebagai berikut, Menyatakan terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi alias
Memet terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)” melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo
Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11
Tahun 2008 tentang ITE dalam dakwaan tunggal. Menjatuhkan pidana penjara
terhadap terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi alias Memet dengan pidana
penjara selama 2 ( dua ) tahun dikurangi selama terdakwa berada didalam tahanan
dan denda Rp. 20.000.000,-(dua puluh Juta rupiah) Subsidier 3 ( tiga ) bulan
kurungan.
Menyatakan barang bukti berupa; 1 (satu) Unit Handphone Xiomi Model
Redmi 4A IMEI Slot 1 : 862110039111582 IMEI Slot 2 : 862110039111590
Wana Pink, 1 (satu) Unit Handphone Polytron tipe C24B nomor seri 27A13962
IMEI slot 1 : 352970052716386 IMEI slot 2 : 3529700544823 warna White Red
dengan nomor Handphone 085364119422, 1 (satu) unit SIM Card Telkomsel
Nomor 081346215309 dengan nomor kartu 0525 0000 0528 1751.Dirampas untuk
dimusnahkan, 1 (satu) buah KTP Provinsi Sumatera Barat nomor
1207021303810012 atas nama Faisal Abdi Lubis, 1 (satu) buah SIM A atas nama
Faisal Abdi Lubis nomor 810308170308, 1 (satu) buah KTP atas nama Faisal
Abdi NIK : 12070213038100012, 1 (satu) Kartu Perpustakaan atas nama Faisal
Abdi Lubis, 3 (tiga) lembar kwitansi pembayaran cicilan sepada motor Mega
Finance atas nama Faisal Abdi Lubis, 1 (satu) baju kaos berkerah merk Nevada
63
size L warna Hitam kombinasi biru milik Faisal Abdi Lubis yang dikenakan
dalam Foto Profil akun facebook Faisal Abdi. Dikembalikan kepada terdakwa, 1
(satu) lembar print out facebook atas nam Faisal Abdi yang bertuliskan“Eramas
pasti menang, orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan makan
kalian taik babi itu ha...ha... Batak tolol”.terlampir dalam berkas perkara,
membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah). Setelah mendengar
pleidoi Terdakwa yang pada pokoknya menyatakan memohon keringanan
hukuman karena Terdakwa merasa bersalah, menyesali perbuatannya dan berjanji
tidak mengulangi perbuatannya.
9. Pertimbangan Hakim
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maka Majelis
Hakim mempertimbangkan unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu Pasal 28
ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI
No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan unsur-unsur sebagai berikut; Unsur Setiap
Orang : unsur “ Setiap Orang ” dimaksudkan sebagai orang atau subjek hukum
pendukung hak dan kewajiban. Dalam hukum pidana yang dimaksud dengan
“Setiap Orang” adalah orang atau manusia, dengan pengertian setiap orang baik
dia lakilaki atau perempuan yang memenuhi semua unsur tindak pidana yang
terdapat di dalam rumusan pasal undang-undang yang dilanggar dan kepadanya
dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya menurut KUHP.
Dari fakta-fakta di persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi
maupun terdakwa sendiri serta dikuatkan dengan adanya barang bukti maka
sebagai setiap orang / pelaku tindak pidana dalam perkara ini adalah terdakwa
64
Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi Als Memet dan bukan orang lain selain
terdakwa tersebut.
dengan demikian unsur “Setiap Orang” telah terpenuhi; Unsur dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan berupa keterangan saksi-
saksi, saksi ahli yang dihubungkan dengan keterangan terdakwa, bahwa benar
bermula pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018 sekira pukul 13.00 Wib ketika
terdakwa berada di rumah ibu kandung terdakwa di Jalan Beringin Pasar 7 Gang
Pancasila 10-A Dusun Kuini Desa Tembung Kec. Percut Sei Tuan Kab Deli
Serdang Provinsi Sumtatera Utara, terdakwa menonton hasil penghitungan cepat
(Quick Count) pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang disiarkan dari televisi,
lalu terdakwa melihat ada akun facebook atas nama yang terdakwa tidak ingat,
menuliskan kalimat hasil penghitungan cepat Pilgubsu yang tidak sesuai dengan
dengan menyebutkan persentasi hasil peroleh suara pasangan Calon Gubsu nomor
urut 2 (Djoss) lebih unggul dari pasangan Calon Gubsu nomor urut 1 (Eramas).
Selanjutnya terdakwa merasa kesal kemudian terdakwa menulis komentar
atas postingan tersebut melalui akun facebook terdakwa atas nama Faisal Abdi
menulis kalimat “Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss
nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”, melalui
Handphone merek Xiomi model 4A Imei slot 1 862110039111582, Imei Slot 2 :
86211003911590 warna putih kombinasi pink dengan nomor 081346215309.
65
Kemudian ada orang yang mengetahui dan melihat tulisan tersebut adalah
pemilik akun facebook Salagracia Sihombing, pemilik akun facebook Alik
Adrian, pemilik akun facebook Leo, Solihin Madrista Simanjuntak dan saksi
Lamsiang Sitompul, S.H., kemudian pada hari Kamis tanggal 28 Juni sekira pukul
14.00 Wib saksi Parluhutan Situmorang, S.H., saksi Lamsiang Sitompul, S.H.,
dan saksi Tumingka Daniel Pardede, S.H., M.H., CD membaca grup WA PPRL
(parsadaan pomparan raja lontung) membicarakan, meminta kepada anggota grup
untuk melaporkan perbuatan Terdakwa yang sudah viral di media sosial facebook
yang menuliskan kalimat Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo
djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol” pada
akun facebook milik Terdakwa.
Postingan Terdakwa tersebut menurut pembaca sebagaimana
dipertimbangkan diatas adalah untuk menistakan suku batak yang pada umumnya
85 persen mendukung DJOSS sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut pada
tanggal 27 Juli 2018 dan perbuatan terdakwa yang merendahkan harga diri dan
martabat orang batak serta berpotensi memecah belah kerukunan umat beragama
antara kristen dan islam dengan tulisan kalimat makan taik (babi), akibat
perbuatan terdakwa tersebut saksi Parluhutan Situmorang, SH, saksi Lamsiang
Sitompul,SH dan saksi Tumingka Daniel Pardede, S.H, M.H, C.D., merasa
keberatan dan membuat laporan dan pengaduan ke Kepolisian.
Berdasarkan keterangan Ahli Bahasa Drs. Marthin, M.Hum bahwa kalimat
Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan
makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol” Yang dimaksud dengan kata
66
orang Batak adalah ‘orang-orang yang merupakan salah satu suku bangsa di
Sumatera Utara’; dan dalam konteks berbahasa sehari-hari orang Batak pada
umumnya mengacu kepada orang-orang yang bersuku Batak Toba. Dan kata
Batak tolol berarti ‘Batak sangat bodoh (tidak tahu apa-apa)’. Kalimat “Eramas
pasti menang” berarti ‘satu pasangan yang bernama Eramas meraih hasil dalam
sebuah perlombaan karena dapat mengalahkan saingan’. Kalimat “Orang Batak
jangan sedih ya kalo djoss nyungsep” berarti ‘orang-orang yang bersuku Batak
tidak boleh merasa sangat susah hati (ya ‘kata penegasan’) jika Djoss kalah
(masuk ke dalam tanah)’. Kalimat “Silahkan makan kalian taik babi itu ha…ha…
Batak tolol” berarti ‘menganjurkan (kata perintah halus) agar orang Batak
memakan kotoran babi, tertawa…, Batak yang sangat bodoh’. Berdasarkan
konteks peristiwa (pilkada) yang terjadi di Sumatera Utara beberapa waktu yang
lalu, kalimat tersebut di atas ditujukan kepada orang-orang yang bersuku Batak
(khususnya Batak Toba), kalimat “Eramas pasti menang, orang Batak jangan
sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak
Tolol” tersebut di atas dapat menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena ada menggunakan kata orang
Batak, maka Ahli menyatakan bahwa kalimat tersebut dapat menimbulkan rasa
kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena ada
menggunakan kata orang Batak dan Batak tolol.
Berdasarkan keterangan ITE Denden Imadudin Soleh, S.H., M.H., CLA yang
dilakukan oleh pemilik akun facebook Faisal Abdi tersebut dapat dikatakan
memenuhi unsur pidana sebagaimana pada Pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2)
67
UURI No 19 tahun 2016 Perubahan atas UURI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
ITE karena menuliskan kalimat “Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih
ya kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”
yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu maksudnya adalah bahwa informasi yang
disebarkan tersebut ditujukan agar timbul rasa kebencian atau permusuhan baik
individu maupun kelompok, berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA).
Ungkapan terdakwa tersebut jelas dimaksudkan bahwa kebencian atau
permusuhan itu dapat muncul karena informasi yang disebarkan berkaitan dengan
suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) tertentu.
Berdasarkan keterangan ahli pidana Prof. Maidin Gultom, S.H, M.Hum
Pemilik akun facebook Faisal Abdi, terdakwa yang telah menuliskan kalimat
“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep
silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol” di kolom komentar
akun facebook atas nama tidak ingat, menuliskan kalimat hasil penghitungan
cepat Pilgubsu yang tidak sesuai dengan dengan menyebutkan persentasi hasil
peroleh suara pasangan Calon Gubsu nomor urut 2 (Djoss) lebih unggul dari
pasangan Calon Gubsu nomor urut 1 (Eramas) menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA);
68
Dengan demikian maka unsur, “Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antar golongan (SARA)”, telah terpenuhi.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan melanggar
Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan
Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum.
Oleh karena itu Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti
melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan
atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA),sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat
(2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang
ITE dan kepada Terdakwa harus dijatuhi hukuman yang sepatutnya.
Dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat
menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan
atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya;
Oleh karena Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan
bersalah dan adil dijatuhi pidana penjara sebagaimana tersebut dalam amar
69
putusan dengan tanpa mengeasampingkan pembelaan Penasihat Hukum
Terdakwa;
Dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan dan
penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Karena Terdakwa ditahan dan penahanan terhadap Terdakwa dilandasi alasan
yang cukup, maka perlu ditetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan untuk selanjutnya
dipertimbangkan sebagai berikut statusnya ditentukan dalam amar putusan
perkara ini;
Sebelum menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan Terdakwa yang ada pada diri dan/ atau perbuatan terdakwa yaitu
sebagai berikut :
a. Keadaan yang memberatkan
Perbuatan Terdakwa berpotensi menimbulkan kerusuhan dan keresahan
dalam masyarakat;
b. Keadaan yang meringankan
Terdakwa merasa bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya, Terdakwa dan keluarganya sudah datang meminta maaf ke
Perkumpulan Batak, Bahwa Terdakwa berlaku sopan dipersidangan, Bahwa
Terdakwa belum pernah dihukum.
70
Karena Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah dibebani pula untuk
membayar biaya perkara. Menimbang, bahwa pleidoi Penasihat Hukum Terdakwa
sepanjang tidak bertentangan dengan pertimbangan Majelis Hakim diatas maka
dianggap dipertimbangkan dan terhadap pleidoi yang tidak sejalan dengan
pertimbangan Majelis Hakim dikesampingkan.
Memperhatikan Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun
2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan peraturan lain
yang berlaku dan bersangkutan.
10. Putusan Hakim
Menyatakan Terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi Memet
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)” melanggar Pasal
28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU
RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal
Abdi Memet dengan pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun dan 6 ( enam ) bulan
dan denda Rp. 20.000.000,-( dua puluh Juta rupiah) Subsidier 1 ( satu ) bulan
kurungan.
71
Menetapkan waktu selama Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan agar Terdakwa tetap dalam
tahanan.
Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) Unit Handphone Xiomi Model
Redmi 4A IMEI Slot 1 : 862110039111582 IMEI Slot 2 : 862110039111590
Wana Pink. 1 (satu) Unit Handphone Polytron tipe C24B nomor seri 27A13962
IMEI slot 1 : 352970052716386 IMEI slot 2 : 3529700544823 warna White Red
dengan nomor Handphone 085364119422. 1 (satu) unit SIM Card Telkomsel
Nomor 081346215309 dengan nomor kartu 0525 0000 0528 1751.Dirampas untuk
dimusnahkan. 1 (satu) buah KTP Provinsi Sumatera Barat nomor
1207021303810012 atas nama Faisal Abdi Lubis. - 1 (satu) buah SIM A atas
nama Faisal Abdi Lubis nomor 810308170308. 1 (satu) buah KTP atas nama
Faisal Abdi Lubis NIK : 12070213038100012. 1 (satu) Kartu Perpustakaan atas
nama Faisal Abdi Lubis. 3 (tiga) lembar kwitansi pembayaran cicilan sepada
motor Mega Finance atas nama Faisal Abdi Lubis. 1 (satu) baju kaos berkerah
merk NEVADA size L warna Hitam kombinasi biru miik Faisal Abdi Lubis Als
Faisal Abdi Memet yang dikenakan dalam Foto Profil akun facebook Faisal Abdi.
Dikembalikan kepada terdakwa. 1 (satu) lembar print out facebook atas nam
Faisal Abdi yang bertuliskan“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya
kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak
Tolol”.terlampir dalam berkas perkara. Membebani Terdakwa untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).
72
C. Analisis Implikasi Perubahan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi
Elektronik Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Pada dasarnya setiap pembaharuan pada suatu Undang-Undang memiliki
implikasi. Jika melihat implikasi perubahan Undang-Undang Informasi Dan
Transaksi Elektronik terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) yang
terdapat dalam perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menjadi
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik dapat dilihat dari segi putusan Majelis Hakim sebelum dan sesudah
dilakukannya perubahan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
putusan tersebut dapat dilihat dalam Putusan Nomor : 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK
dan Putusan Nomor: 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn.
Dalam hal putusan sebelum dilakukannya perubahan atau dengan kata lain
yang menjadi panduan Hakim dan Jaksa Penuntut Umum dalam memutus dan
menuntut terdakwa ialah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, dapat dilihat
dalam Putusan Nomor: 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK atas nama terdakwa Florence
Saulina Sihombing. Adapun yang menjadi kronologis kejadian sehingga terdakwa
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ujaran
kebencian (hate speech) awalnya pada hari Rabu tanggal 27 Agustus 2014 sekitar
pukul 14.00 WIB Terdakwa bermaksud mengisi bahan bakar di Pom Bensin
Lempuyangan, Baciro, Yogyakarta, pada saat itu Terdakwa mengantri untuk
membeli pertamax 95 dijalur mobil. Setelah Terdakwa mengantri dan Terdakwa
sampai dibagian paling depan tidak dilayani oleh petugas SPBU karena Terdakwa
menggunakan motor. Karena tidak dilayani, Terdakwa pulang ke kos Terdakwa
73
yang beralamat di Jl. Sri Gunting No 2 Demangan Baru, Yogyakarta, lalu
Terdakwa sempat melihat berita di media elektronik dan Terdakwa membaca
berita tentang antrean Terdakwa yang direkam oleh wartawan yang sedang
meliput kejadian di SPBU kemudian Terdakwa merasa emosi dan kecewa lalu
menulis status pada media sosial Path milik Terdakwa dengan nama akun
Flrorence Sihombing sekitar pukul 15.00 WIB dengan cara menggunakan telepon
genggam jenis I-phone 5c milik Terdakwa. Bahwa kata–kata yang ditulis (upload)
Terdakwa pada akun Path FLORENCE SIHOMBING yaitu :
“Jogja misikin, tolol dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung,
jangan mau tinggal di Jogja.”
Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Florence Saulina Sihombing
(terdakwa) Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan Pasal 27 ayat (3)
juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik, karena Jaksa Penuntut Umum menganggap
bahwa atas postingan terdakwa terbukti secara dan meyakinkan telah memenuhi
atau memiliki muatan penghinaan terhadap individu atau kelompok tertentu.
Adapun yang menjadi subtansi Pasal yang didakwakan terhadap terdakwa yakni:
Pasal 27 ayat (3)
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Pasal 45 ayat (1)
74
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Berdasarkan dakwaan yang didakwakan terhadap Florence Saulina
Sihombing selaku terdakwa, dan juga bukti-bukti yang dikumpulkan sepanjang
jalannya persidangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan
putusan, yang menyatakan bahwa terdakwa Florence Saulina Sihombing terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik melalui jaringan telekomunikasi
yang membuat penghinaan dan pencemaran nama baik. Sehingga majelis hakim
menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) bulan dan pidana
denda sejumlah Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabilan
pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Dan Majelis Hakim juga memutuskan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani,
kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan
karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama
6 (enam) bulan berakhir.
Atas putusan yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta tersebut, terdakwa melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi
Negeri Yogyakarta dan dalam memori bandinganya memohon agar, Menyatakan
Surat Dakwaan JPU No. Reg. Perkara PDM145/Euh.2/YOGYA/10/2014
tertanggal 28 Oktober 2014, tidak dapat diterima. Sehingga menyatakan Florence
Saulina Sihombing, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
75
tindak pidan sebagaimana didakwakan kepadanya, sehingga terdakwa dibebaskan
dari segala tuntutan hukum.
Atas memori banding yang diajukan oleh terdakwa Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Negeri Yogyarkarta memutuskan bahwa menerima permintaan
banding dari Terdakwa Florence Saulina Sihombing dan Jaksa Penuntut Umum.
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 31 Maret 2015
Nomor :328/Pid.Sus/2014/PN.Yyk. sekedar mengenai pidana denda berikut
pidana kurungan penggantinya yang dijatuhkan kepada terdakwa haruslah
dihapuskan, sedangkan amar selain dan selebihnya untuk dapat dikuatkan,
sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut. Menyatakan Terdakwa
Florence Saulina Sihombing tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana dengan dengaja dan tanpa hak
mendistribusikan informasi elektronik melalui jaringan telekomunikasi yang
memuat penghinaan dan pencemaran nama baik. Menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.
Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada
putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan berakhir .
Jika melihat putusan hakim terhadap pelaku atau terdakwa tindak pidana
ujaran kebencian (hate speech). menurut penulis bahwa putusan hakim relatif
lebih berat, hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Nomor
2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn atas nama terdakwa Faisal Abdi Lubis als Faisal
Abdi als Bombay ala Memet, adapun yang menjadi kronologis kejadian bahwa
76
pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018, terdakwa melihat sebuah status yang
menyatakan bahwa hasil perhitungan cepat Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
tidak sesuai dengan fakta. Dan atas status tersebut kemudian terdakwa
mengomentari status tersebut pada kolom komentar dan menyatakan bahwa:
“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep
silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol.”
Berdasarkan hasil komen terdakwa pada kolom komentar, kemudian
terdakwa dilaporkan dan pada proses persidangan terdakwa di dakwa dengan
Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan
Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dalam dakwaan tunggal.
Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Faisal Abdi Lubisa Als Faisal
Abdi Als Memet dengan pidana penjara selama 2 ( dua ) tahun dikurangi selama
terdakwa berada didalam tahanan dan denda Rp. 20.000.000,-( dua puluh Juta
rupiah )Subsidier 3 ( tiga ) bulan kurungan.
Atas dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum, Majelis Hakim memutuskan bahwa menyatakan Terdakwa Faisal Abdi
Lubis Als Faisal Abdi Alias Memet terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan
atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA)” melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No.
19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, sehingga
Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa Faisal Abdi Lubis
77
als Memet dengan pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun dan 6 ( enam ) bulan dan
denda Rp. 20.000.000,-( dua puluh Juta rupiah) Subsidier 1 ( satu ) bulan
kurungan; menetapkan waktu selama Terdakwa berada dalam tahanan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan agar Terdakwa
tetap dalam tahanan.
Berdasarkan kedua contoh kasus diatas, yang dimana contoh kasus
sebelum dan sesudah dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik dalam Putusan Nomor 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK dan
Putusan Nomor: 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn. maka dapat dipahami bahwa
implikasi perubahan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik, jika
dilihat dari segi subtansi ancaman pidana tetaplah sama yakni, maksimal pidana
penjara selama 6 tahun dan denda paling banyak 1.000.000.000,00 (Satu Milyar
Rupiah). Namun jika dilihat dari segi putusan Majelis Hakim sesudah dilakukan
perubahan UU ITE bahwa, hukuman yang di putuskan oleh Majelis Hakim relatif
lebih berat jika dibandingkan sebelum dilakukannya perubahan. Menurut penulis
bahwa hal tersebut dilakukan untuk mereduksi tindakan tindak pidana ujaran
kebencian (hate speech) yang semakin marak terjadi, yang dilakukan dalam dunia
informasi dan transaksi elektronik yang berpotensi mengakibatkan atau
menimbulkan kerusuhan dan keresahan di dalam masyarakat.