bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian dan …

65
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Umum Tentang Hate Speech a. Pengertian Ujaran Kebencian Jika melihat istilah ujaran kebencian (hate speech) dapat diartikan sebagai ekspresi yang menganjurkan suatu hasutan untuk merugikan, berdasarkan target yang diidentifkasi dengan kelompok sosial atau demografi tertentu. 1 Jika merujuk pada pengertian ujaran kebencian (hate speech) dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015, maka dapat diartikan bahwa Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, agama, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain sebagainya. Dalam arti hukum, ujaran kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. 2 Jika melihat faktor yang mempengaruhi terjadinya ujaran kebencian atau yang biasa disebut hate speech ialah dipengaruhi oleh faktor perbedaan, suku, ras, agama, aliran kepercayaan dan antar golongan (SARA). Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Adrinus Meliala yang menjabat sebagai Komisioner Komisi Kepolisian 1 Sri Mawarti, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian, Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 10, No. 1, Januari Juni 2018, h. 85 2 Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Hate Speech

a. Pengertian Ujaran Kebencian

Jika melihat istilah ujaran kebencian (hate speech) dapat diartikan sebagai

ekspresi yang menganjurkan suatu hasutan untuk merugikan, berdasarkan target

yang diidentifkasi dengan kelompok sosial atau demografi tertentu.1Jika merujuk

pada pengertian ujaran kebencian (hate speech) dalam Surat Edaran Kapolri

Nomor SE/06/X/2015, maka dapat diartikan bahwa Ujaran kebencian (Hate

Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh

individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan kepada

individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, agama,

warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain

sebagainya. Dalam arti hukum, ujaran kebencian (Hate Speech) adalah

perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat

memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan

bermasyarakat.2

Jika melihat faktor yang mempengaruhi terjadinya ujaran kebencian atau

yang biasa disebut hate speech ialah dipengaruhi oleh faktor perbedaan, suku, ras,

agama, aliran kepercayaan dan antar golongan (SARA). Hal tersebut dipertegas

oleh pendapat Adrinus Meliala yang menjabat sebagai Komisioner Komisi

Kepolisian

1 Sri Mawarti, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian, Toleransi: Media

Komunikasi umat Beragama, Vol. 10, No. 1, Januari – Juni 2018, h. 85 2 Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015

14

Nasional (Kompolnas), beliau mengatakan bahwa “hate speech bukanlah

kebencian yang sifatnya personal, melainkan kebencian yang sifatnya serangan

pada primordial yaitu SARA.3

Ujaran Kebencian adalah merupakan setiap pernyataan, isyarat atau

melakukan, menulis atau tampilan yang karenanya dapat mendorong terjadinya

suatu tindakan kekerasan atau tindakan yang merugikan terhadap atau oleh

seorang individu atau kelompok yang dilindungi, atau karena meremehkan yang

di lindungi.4 Jika melihat realitas praktiknya di masyarakat, ujaran kebencian

(hate speech) sering disalah artikan dalam artian bahwa disamak terkait tindakan

ujaran kebencian dan penodaan agama. Meskipun keduanya memiliki sisi

persamaan namun, perlu dilihat bahwa terkait tindakan ujaran kebencian lebih

kepada provokasi untuk melakukan suatu tindakan kekerasan, sedangkan

penodaan agama lebih kepada penghinaan terhadapa suatu agama tertentu. Perlu

untuk membedakan antara pengertian agar tidak terjadinya suatu polariasasi antara

atau berdasarkan individu dan kelompok identitas, karena identitas memiliki

peranan penting dalam partisipasi publik.5

Pada dasarnya konflik sosial yang terjadi dalam media sosial kerap kali

diawali oleh tindakan hasutan kebencian atau ujaran kebencian sehingga

menimbulkan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan terhadap suatu kelompok

tertentu. Sehingga terkait konsep Ujaran Kebencian (hate speech) harus mengatur

3 Arfianto Purbolaksono, Muhammad Reza Hermanto, Lola Amelia, Zihan Sahayani,

Udate Indonesia, Dalam Journal Volume IX, No. 12-November 2015, ISSN 1979-1984, Hal 2. 4 Pultoni, Siti Aminah, Uli Parulin Sihombing, Panduan Pemantauan Penodaan Tindak

Pidana Agama dan Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama, he Indonesia Legal Resources Center

(ILRC), Jakarta, 2012, hal 55. 5 Ibid.

15

atau memperjelas terkait pengerti menghasut dengan tujuan menghasut,

mendiskriminasi, perumusahan dan kekeresan. Sehingga tidak hanya tercantum

terkait pengertian hasutan kebencian saja.

b. Unsur-unsur Ujaran Kebencian

Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan

Ujaran kebencian (hate speech) memang tidak dijabarkan secara jelas pengertian

dari Ujaran Kebencian (hate speech), namun dapat dilihat secara eksplisit unsur-

unsur Ujaran Kebencian.6 Berikut unsur-unsur ujaran kebencian yakni Segala

tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan pada

kebencian atas dasar suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras,

antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual

yang merupakan hasutan terhadap individu maupun kelompok agar terjadi

diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial yang

dilakukan melalui berbagai sarana. Penjelasan tentang unsur-unsur ujaran

kebencian:

Segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung. Terdapat

dua makna yang tidak bisa dipisahkan yaitu: 1) Berbagai bentuk tingkah laku

manusia baik lisan maupun tertulis. Misal pidato, menulis, dan menggambar. 2)

Tindakan tersebut ditujukan agar orang atau kelompok lain melakukan yang kita

anjurkan/sarankan. Tindakan tersebut merupakan dukungan aktif, tidak sekadar

perbuatan satu kali yang langsung ditujukan kepada target sasaran.

6 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 9.

16

Diskriminasi: pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan yang

mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau

pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di

bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kekerasan: setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis.

Konflik sosial: perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara

dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan

berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial

sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan

nasional.

Menghasut: mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan

tindakan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan. Apakah orang yang

mendengar hasutan ini melakukan yang dihasutkan tidak menjadi unsur pasal

sehingga tidak perlu dibuktikan. Yang bisa dijadikan dasar untuk melihat apakah

ini hasutan antara lain: 1) Intonasi (tone) yang bisa menunjukkan intensi dari

ujaran tersebut untuk menghasut; 2) Konteks ruang dan waktu ujaran tersebut

diutarakan. f. Sarana: segala macam alat atau perantara sehingga suatu kejahatan

bisa terjadi. Contoh sarana adalah buku, email, selebaran, gambar, sablonan di

pintu mobil, dan lain-lain.

c. Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar

17

KUHP, yang berbentuk antara lain:7 Penghinaan, Pencemaran nama baik,

Penistaan, Perbuatan tidak menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut,

Penyebaran berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa

berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau

konflik sosial.

Penghinaan dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika penghinaan itu

ditujukan kepada seseorang atau kelompok berdasarkan suku, agama, aliran

keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis,

gender, orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual dan ekspresi gender

serta penghinaan itu berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan

atau kekerasan.8 Penghinaan ini terdapat dalam rumusan Pasal 315 KUHP jo. UU

No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-

Hak Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia. Pasal 315 KUHP berbunyi: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja

yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap

seorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu

sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau

diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana

penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus

rupiah.

Fitnah juga dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika tuduhan itu tidak

hanya dinyatakan tetapi dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha baik

7 Angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan

Ujaran kebencian (hate speech),hlm. 2. 8 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 14

18

langsung maupun tidak langsung, tuduhan tidak benar itu tentang kehormatan atau

nama baik seseorang berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan,

keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang

dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender serta tuduhan itu

berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.9

Penghinaan berupa fitnah terdapat dalam rumusan Pasal 311 KUHP jo. UU No.

12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak

Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Pasal 311 KUHP berbunyi, jika yang melakukan kejahatan pencemaran

atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa

yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan

bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan

fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pencabutan hak-hak

tersebut dalam pasal 35 no. 1-3 dapat dijatuhkan.” Pencemaran nama baik dapat

dikatakan sebagai ujaran kebencian jika serangan tersebut berbentuk tindakan dan

usaha baik langsung maupun tidak langsung, serangan kepada kehormatan atau

nama baik seseorang itu berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan,

keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang

dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender serta serangan

berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.10

Pencemaran nama baik terdapat dalam rumusan Pasal 310 KUHP jo. UU No.

12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak

9 Ibid., hlm. 15.

10 Ibid, Hlm. 15.

19

Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Pasal 310 KUHP pada ayat (1) menyatakan bahwa: “Barang siapa

sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh

sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam,

karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda

paling banyak tiga ratus rupiah.”. dan kalau melihat subtansi pada ayat (2),

menyatakan bahwa: “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang

disiarkan, ditunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah,

karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Dan pada ayat (3): “Tidak

merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan

demi kepentingan umum karena terpaksa untuk bela diri.”11

Penistaan adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang

dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka

entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut,

sedangkan menurut pasal 310 ayat (1) KUHP Penistaan adalah suatu perbuatan

yang dilakukan dengan cara menuduh seseorang ataupun kelompok telah

melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui

banyak orang).

Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh

dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya. Cukup degan

11

Pasal 310 KUHP.

20

perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.12

Sedangkan

penistaan dengan surat di atur di dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP.13

Sebagaimana

dijelaskan, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar,

maka kejahatan itu dinamakan menista dengan surat. Jadi seseorang dapat dituntut

menurut Pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau

gambar.

Perbuatan tidak menyenangkan tidak termasuk dalam ujaran kebencian.

Karena Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 1/PUUXI/2013 telah

menghapus kekuatan mengikat frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan

yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Dengan

demikian perbuatan tidak menyenangkan tidak lagi ada dalam hukum pidana

Indonesia.14

Memprovokasi berupa menyatakan perasaan permusuhan, kebencian

atau penghinaan di muka umum terhadap suatu atau beberapa golongan terdapat

pada rumusan Pasal 156 KUHP dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika

perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan tersebut dilakukan dalam

bentuk tindakan dan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung.

Golongan yang dimaksud dalam pasal tersebut yaitu tiap-tiap bagian dari

rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena

ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan

menurut hukum tata negara.15

Menurut R. Soesilo, Menghasut artinya mendorong,

mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat

12

Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 13

Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 14

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 15. 15

Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

21

sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu

lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk” akan tetapi bukan

“memaksa”.16

Menghasut terdapat dalam rumusan Pasal 160 KUHP. g.

Penyebaran Berita Bohong Menurut R. Soesilo, Menyebarkan Berita Bohong

yaitu menyiarkan berita atau kabar dimana ternyata kabar yang disiarkan itu

adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong tidak saja

memberitahukan suatu kabar kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak

betul suatu kejadian.17

d. Tindak Pidana Hate Speech

Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan

yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan

kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras,

agama, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain

sebagainya. Dalam arti hukum, Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan

ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan

kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan Surat

Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech)

disebutkan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana

yang di atur dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP,

yang berbentuk; Penghinaan, Pencemaran nama baik, Penistaan, Perbuatan tidak

menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut, Menyebarkan berita bohong.

16

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi

Pasal, Politea, Bogor, 1991, hlm. 136. 17

Ibid., hlm. 269.

22

Tindakan yang disebut diatas memiliki dampak akan terjadinya penghilangan

nyawa, kekerasan, diskriminasi, atau konflik sosial. Tujuan dari ujaran kebencian

sebagaimana yang disebutkan di atas adalah untuk menghasut dan menyulut

kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai

komunitas. Dalam huruf (h) Surat Edaran tersebut, Ujaran Kebencian (Hate

Speech) dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:18

Dalam orasi

kegiatan kampanye, Spanduk atau banner, Jejaring media sosial, Penyampaian

pendapat di muka umum (demonstrasi), Ceramah keagamaan, Media masa cetak

atau elektronik, Pamflet.

Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian

berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran

Kebencian (Hate Speech) mengacu pada ketentuan : 1. Pasal 156 KUHP 2. Pasal

157 KUHP 3. Pasal 310 KUHP 4. Pasal 311 KUHP 5. Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal

45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

6. Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan

Etnis Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan

oleh seseorang.19

Pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan

terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.

18

Josua Sitompul, 2012, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum

Pidana, Tatanusa, Jakarta, hlm. 26. 19

Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 70.

23

Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada

diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 unsur persyaratan sebagai

berikut yakni; Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku,

yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undangundang, tindakan itu

bersifat melawan hukum atau unlawful, pelakunya harus bisa di

pertanggungjawabkan.20

Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran

kebencian di media sosial berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali

mengacu kepada ketentuan Pasal 28 ayat (2) jis. Pasal 45A ayat (2) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik. Unsur-unsur tindak pidana ITE dalam Pasal 28 ayat (2) yaitu21

:

Kesalahan : dengan sengaja, Melawan hukum : tanpa hak, Perbuatan :

menyebarkan, Objek : Informasi, Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian

atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan

atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang terbukti memenuhi unsur-

unsur tindak pidana dalam Pasal 28 ayat (2) ITE berdasarkan Pasal 45A ayat (2)

ITE adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

e. Sarana Ujaran Kebencian

20

Romli Atmasasmita, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju,

Bandung, hlm. 67. 21

Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi

Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik, Banyumedia Publishing, Malang, hlm. 128.

24

Alat-alat yang dapat digunakan dalam ujaran kebencian yaitu: Kampanye,

baik berupa orasi maupun tulisan, Spanduk atau banner, Jejaring media sosial,

Penyampaian pendapat di muka umum, Ceramah keagamaan, Media massa cetak

atau elektronik, Pamflet, Dan lain-lain.22

2. Teori Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Kebebasan berpendapat telah lama diatur dalam perundang-undangan baik

yang tertuang pada hukum internasional Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak

Asasi Manusia maupun Undang-undang Dasar 1945 pasal 28. Kebebasan

mengeluarkan pendapat ini merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar.

Hak berpendapat mencakup kebebasan berpendapat secara lisan maupun tulisan.

Sebelumnya kebebasan ini hanya terbatas melalui media massa seperti televisi,

radio dan koran, ataupun melalui demonstrasi dan sebagainya. Namun saat ini,

dengan berkembangnya teknologi dan makin maraknya media sosial yang

bermunculan di internet, maka ruang untuk berpendapat makin terbuka luas.

Tercatat melalui website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, pengguna

internet di Indonesia hingga kini berjumlah 132,7 juta atau 52% dari jumlah

penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 129,2 juta memiliki akun

media sosial yang aktif. Rata-rata mereka menghabiskan waktu sekitar 3, jam per

hari untuk konsumsi internet melalui telepon selular. Pesatnya media sosial

mendorong adanya perubahan dalam pola identitas masyarakat cyber dan pola

pendistribusian informasi yang selama ini telah terkotak-kotakkan dalam media

22

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hlm. 17.

25

tradisional. Pola identitas yang terjadi di media siber telah berubah dari

anonimitas menjadi lebih personal.

Pengguna didorong untuk memublikasikan konten yang sifatnya pribadi

seperti data diri mulai dari tanggal lahir, gender, keyakinan, penyertaan foto diri

dan seterusnya hingga penyediaan ruang untuk berinteraksi di jejaring tersebut.

Netizen memperlakukan akun dalam sosial media sebagai ruang privat mereka.

Pola pendistribusian informasi tidak lagi berlangsung secara pasif seperti yang

selama ini terjadi pada media tradisional seperti koran, televisi, dan radio.

Masyarakat dipandang sebagai konsumen dan media sebagai produsen dan

distributor informasi.

Dalam dunia cyber, pengguna berperan aktif dalam produksi, distribusi dan

melakukan pembahasan selayaknya media massa. Pergeseran fungsi dan peran

tersebut, netizen memegang kontrol terhadap produksi dan distribusi informasi.

Mereka dapat memilih informasi apa yang akan diperolehnya dan dari mana

sumber informasi tersebut. Dengan adanya kebebasan ini, warga cyber dapat

membuat informasi dan mendistribusikan informasi yang dianggapnya penting

kepada semua khalayak.

Fenomena kebebasan pembuatan dan pendistribusian informasi di dalam

media sosial menyebabkan bebasnya kontrol akan konten informasi yang tersebar

di kalangan netizen. Hal tersebut memicu timbulnya berita palsu atau sering

disebut sebagai hoax dan informasi yang berisikan kebencian (hate speech). Data

yang dikumpulkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada

26

sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita

palsu dan ujaran kebencian (hate speech).23

Kebebasan berekspresi merupakan salah satu elemen penting dalam

demokrasi. Bahkan, dalam sidang pertama PBB pada tahun 1946, sebelum

disahkannya Universal Declaration on Human Rights atau traktat-traktat diadopsi,

Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 59 (I) terlebih dahulu telah

menyatakan bahwa “hak atas informasi merupakan hak asasi manusia

fundamental dan standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB”.

Kebebasan berekspresi merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan

berlangsungnya demokrasi dan partisipasi publik dalam setiap pembuatan

kebijakan. Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam

pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila

mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan

mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya

secara bebas.

Pertanyaan mendasar terkait hal tersebut adalah apa sebenarnya kebebasan

berekspresi itu. Para sarjana berpendapat, salah satunya seperti dikemukakan oleh

John Locke, bahwa kebebasan berekspresi adalah cara untuk pencarian kebenaran.

Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari,

menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya

apakah mendukung atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapus

mis-konsepsi kita atas fakta dan nilai. John Stuart Mill mengatakan, kebebasan

23

PROMEDIA, VOLUME II, NO 2, 2016, Herawati, Penyebaran Hoax, hlm. 140-142

27

berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan

tiran. Suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai

kinerja pemerintahannya. Dalam memenuhi kebutuhan kontrol dan penilaian

itulah warga semestinya memiliki semua informasi yang diperlukan tentang

pemerintahnya. Tidak sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan

informasi tersebut, dan kemudian mendiskusikannya antara satu dengan yang

lainnya.

Berangkat dari sandaran teori tersebut, kebebasan bereskpresi kemudian

menjadi sebuah klaim untuk melawan penguasa yang melarangnya atau pun

menghambat pelaksanaanya untuk mendapatkan kebebasan berekspresi. Seperti

dikemukakan di awal, kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, bahwa

kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam

kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang

kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan militer.

Kaitan kebebasan berekspresi dengan demokrasi kemudian diakui dalam

hukum internasional hak asasi manusia yang menyatakan bahwa kebebasan

berekspresi merupakan pra-syarat terwujudnya prinsip transparansi dan

akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan

hak asasi manusia. Kebebasan bereskpresi juga menjadi pintu bagi dinikmatinya

kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih.24

Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran.

Berpendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam

24

Jurnal Hak Asasi Manusia Volume 7 No. 1, Juli 2016, hlm. 48.

28

kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau

mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam

UUD 1945, Pasal 28, bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan

undang-undang. Jaminan konstitusional dalam UUD 1945 juga menyatakan,

bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat juga merupakan bagian hak asasi

manusia Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat (3).25

Oleh karena itu,

warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak untuk

mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, hal

tersebut diatur juga secara eksplisit dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1998.26

Mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat,

pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau

pembatasan yang bertentangan dengan tujuan pengaturan tentang kemerdekaan

menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian, orang bebas

mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu pengaturan dalam mengeluarkan

pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antar-

anggota masyarakat. Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan

pendapat di muka umum sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 4 yakni: mewujudkan kebebasan yang bertanggung

jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila

dan UUD 1945, mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan

25

Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 26

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di

Muka Umum.

29

berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat,

mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas

setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam

kehidupan berdemokrasi, menempatkan tanggung jawab sosial kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan

perorangan atau kelompok.27

Dalam Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 dinyatakan, bahwa warga negara yang

menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk (1) menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, (2) menghormati

aturan-aturan moral yang diakui umum, (3) menaati hukum dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, (4) menjaga dan menghormati

keamanan dan ketertiban hukum, dan (5) menjaga keutuhan persatuan dan

kesatuan bangsa.

Kewajiban dan tanggung jawab aparatur pemerintah diatur dalam Pasal 7 UU

No. 9 Tahun 1998 untuk: melindungi hak asasi manusia, menghargai asas

legalitas, menghargai prinsip praduga tindakan bersalah, dan menyelenggarakan

pengamanan.

Sedang masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab agar

penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan

damai. Hal tersebut secara eksplisit dijelasakan dalam Pasal 8 UU No. 9 Tahun

1998.

27

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat

di Muka Umum.

30

Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan

unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Bentuk

penyampaian pendapat tersebut juga berkait erat dengan persoalan pers dan

penyiaran sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang pers dan UU

No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Kemerdekaan berpendapat atau kebebasan

untuk menyatakan pendapat merupakan salah satu dasar kehidupan masyarakat

yang berpemerintahan demokratis di bawah Rule of Law28

. Dengan demikian

terjaminnya kemerdekaan berpendapat oleh negara merupakan bukti bagi negara

tersebut telah tumbuh dan berkembang budaya demokrasi.

1. Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pemidanaan

Dalam hukum pidana, tindak pidana atau delik dapat dibedakan atas berbagai

pembagian tertentu, yaitu:

Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran Pembedaan delik atas delik kejahatan

dan delik pelanggaran merupakan pembedaan yang didasarkan pada sistematika

KUHP. Buku II KUHP memuat delik-delik yang disebut kejahatan (misdrijven),

sedangkan Buku III KUHP memuat delik-delik yang disebut pelanggaran

(overtredingen).29

Delik Hukum dan Delik Undang-undang Latar belakang pembedaan delik

atas delik kejahatan dengan delik pelanggaran adalah pembedaan antara delik

hukum dan delik undang-undang.30

28

Budiardjo, M. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia: Jakarta, hlm. 22. 29

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

2012, hlm. 69. 30

Ibid., hlm. 74.

31

Delik hukum (rechtsdelict) adalah perbuatan yang oleh masyarakat sudah

dirasakan sebagai melawan hukum, sebelum pembentuk undang-undang

merumuskannya dalam undang-undang. Contohnya adalah misalnya pembunuhan

dan pencurian. Sekalipun orang tidak membaca undang-undang, tetapi pada

umumnya sudah akan merasa bahwa pembunuhan dan pencurian merupakan

perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum. Perbuatan-perbuatan seperti

ini, yang dipandang sebagai delik hukum (rechtsdelict), ditempatkan dalam buku

II KUHP tentang Kejahatan.31

Delik undang-undang (wetsdelict) adalah perbuatan yang oleh masyarakat

nanti diketahui sebagai melawan hukum karena dimasukkan oleh pembentuk

undang-undang ke dalam suatu undang-undang. Contohnya adalah pengemisan di

depan umum (Pasal 504 KUHP). Masyarakat nanti mengetahui perbuatan

mengemis di muka umum merupakan tindak pidana karena ditentukan oleh

pembentuk undang-undang. Perbuatan-perbuatan seperti ini, yang dipandang

sebagai delik undang-undang (wetsdelict), ditempatkan dalam Buku III tentang

Pelanggaran.32

Delik Formal dan Delik Materil Delik formal ialah delik yang dianggap telah

selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang. Contohnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Dengan melakukan perbuatan “mengambil”, maka perbuatan itu sudah menjadi

delik selesai. Sedangkan delik materil ialah delik yang dianggap telah selesai

dengan ditimbulkannya akibat yang diancam dengan hukuman oleh undang-

31

Ibid., hlm. 75. 32

Ibid. Hlm. 75

32

undang. Contohnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Nanti ada

pembunuhan sebagai delik selesai setelah adanya orang yang mati.33

Delik Komisi dan Delik Omisi Delik komisi (commissie delict) adalah delik

yang mengancamkan pidana terhadap dilakukannya suatu perbuatan (perbuatan

aktif). Dalam hal ini seseorang melakukan suatu perbuatan (handelen) atau

berbuat sesuatu. Delik ini berkenaan dengan norma yang bersifat larangan.

Contoh norma yang bersifat larangan, yaitu pasal pencurian. Seseorang diancam

pidana karena berbuat sesuatu, yaitu mengambil suatu barang.34

Delik omisi

(ommissie delict) adalah delik yang mengancamkan pidana terhadap sikap tidak

berbuat sesuatu (perbuatan pasif). Dalam hal ini seseorang tidak berbuat (nalaten)

sesuatu. Delik ini berkenaan dengan norma yang bersifat perintah. Contoh norma

yang bersifat perintah, yaitu pasal yang mengancam pidana terhadap seseorang

yang melihat seseorang dalam bahaya maut dan tidak memberikan pertolongan

(Pasal 531 KUHP). Ia diancam pidana karena tidak berbuat sesuatu untuk

menolong.35

Delik Sengaja (Dolus) dan Delik Kealpaan (Culpa) Bagi delik dolus

diperlukan adanya kesengajaan; misalnya Pasal 338 KUHP: “dengan sengaja

menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah

dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal

359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain

karena kealpaannya.36

33

P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 213. 34

Frans Maramis, Op. Cit., hlm. 81. 35

Ibid,. 81. 36

Moeljatno, Op. Cit., hlm. 82

33

Unsur Tindak Pidana berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa

menurut Prof. Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah unsur-unsur yang

terdapat di dalam pengertian perbuatan yang dipisahkan dengan

pertanggungjawaban pidana. Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang

melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal.

Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang

berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.

Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan

hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil. Ketiga,

adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan

akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan

beberapa yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum

pidana yang ada di dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku

perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat

tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

Menurut Prof. Moeljatno pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari

unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat

yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir

(dunia). Unsur-unsur perbuatan atau elemen perbuatan pidana adalah: 1) Kelakuan

dan akibat. 2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal

ikhwal yang mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang

34

mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si

pelaku.

Selain itu terdapat hal ikhwal tambahan dalam keadaan tertentu. Misalnya

dalam Pasal 164 dan 165 KUHP yaitu kewajiban untuk melapor kepada yang

berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Jika kejahatan tersebut

benar-benar terjadi maka orang yang sebenarnya telah mengetahui akan terjadinya

kejahatan tersebut tetapi tidak melapor baru saja telah melakukan perbuatan

pidana. Atau seperti pada Pasal 331 KUHP yaitu keharusan memberi pertolongan

kepada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika orang yang

membutuhkan pertolongan tersebut meninggal, orang yang sebenarnya dapat

memberi pertolongan tetapi tidak memberi pertolongan baru saja melakukan

tindak pidana.

Hal ikhwal tambahan tertentu seperti yang dicontohkan di atas dalam buku-

buku Belanda dinamakan Bijkomende voorwarden van strafbaarhaid, yaitu syarat-

syarat tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar) seseorang. Keadaan yang

terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan dinamakan unsur

tambahan, karena rasionya atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah

bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup

merupakan penggangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sanksi

pidana. Namun hal ikhwal tertentu di atas tidak selalu diterima oleh beberapa

sarjana hukum sebagai elemen strafbaarheid. 3) Keadaan tambahan yang

memberatkan pidana. 4) Unsur melawan hukum yang objektif. 5) Unsur melawan

hukum yang subjektif, yaitu terletak pada hati sanubari pelaku perbuatan pidana.

35

Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung kepada bagaimana sikap batinnya

terdakwa. Misalkan, seseorang yang mengambil barang orang lain tetapi untuk

diberikan kepada pemiliknya bukanlah suatu perbuatan yang dilarang karena

bukan pencurian. Tidak ada niat dari si pelaku untuk mengambil barang tersebut

dan menjadikan barang tersebut menjadi miliknya. Dalam teori unsur melawan

hukum yang demikian ini dinamakan subjektif Onrechtselement, yaitu unsur

melawan hukum yang subjektif.37

Sedangkan menurut Simons ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu

perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur

subjektif. Unsur objektif yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan,

serta akibat keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa

kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaar) dari

pelaku.38

Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-

unsur tindak pidana tersebut terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. 1)

Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si

pelaku. Asas hukum pidana menyatakan bahwa “tiada hukuman jika tiada

kesalahan” (actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksudkan

di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan

(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (neglicance/culpa). Dalam Crimineel

37

Moeljatno.2008.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka cipta, hlm. 100 38

Kanter, E. Y. dan S.R. Sianturi. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia Dan

Penerapannya, Jakarta, Hlm. 205.

36

Wetboek (KUHP) tahun 1809 dicantumkan39

: “Kesengajaan adalah kemauan

untuk melakukan atau tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang

atau diperintahkan oleh undang-undang”.

Kemudian dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman

sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi KUHP

Indonesia tahun 1915), memuat40

: “Kesengajaan adalah dengan sadar

berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van

den wil op een bepaald misdriff)”. Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki

dan diketahui) adalah: “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan

sengaja harus mengkehendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau

mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu” Pada umumnya para pakar telah

sepakat bahwa kesengajaan terdiri dari tiga bentuk yaitu kesengajaan sebagai

maksud (oogmerk), kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als

zekerheidsbewustzjin), dan kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus

eventualis). a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) Maksud berbeda dengan

motif. Umumnya, motif diidentikkan dengan tujuan. Contoh41

:A bermaksud

membunuh B yang menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B

meninggal. Pada contoh tersebut, dorongan untuk membalas kematian ayahnya itu

disebut dengan motif, sedangkan yang disebut dengan maksud adalah kehendak A

untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan

39

Marpaung, Leiden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Hal. 13. 40

Ibid. 41

Ibid, Hal.16.

37

diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini yaitu menghilangkan nyawa

B. Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti. b)

Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzjin) Yaitu

dimana si pelaku (doer/dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain

akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa

dengan melakukan perbuatan itu pasti akan timbul akibat lain.

Satochid Kartanegara memberikan contoh sebagai berikut42

: A berkehendak

untuk membunuh B. Dengan membawa senjata api, A menuju ke rumah B. Akan

tetapi ternyata setelah sampai di rumah B, C berdiri di depan B. Karena rasa

marah, walaupun ia tahu bahwa C yang berdiri di depan B, A tetap melepaskan

tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C kemudian

B, hingga C dan B mati. Dalam hal ini, opzet A terhadap B adalah kesengajaan

sebagai maksud (oogmerk), sedangkan terhadap C adalah kesengajaan dengan

keinsafan pasti. c) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)

Kesengajaan ini disebut juga kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, yaitu

bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu

akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul

akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contohnya yaitu

dalam kasus kue tar di kota Hoorn43

: A hendak membalas dendam terhadap B

yang berdiam di Hoorn. A mengirim pada B sebuah kue tar beracun dengan tujuan

untuk membunuhnya. Ia tahu bahwa selain B, tinggal istri B di rumah B. A

42

Ibid, Hal. 17. 43

Ibid, Hal. 18.

38

memikirkan ada kemungkinan bahwa istri B yang tidak bersalah akan memakan

kue tar tersebut. Walaupun demikian ia tetap mengirimnya.

Perkara tersebut diadili oleh Hof. Amsterdam dengan putusan tanggal 9

Maret 1911. Dari uraian tersebut, dolus eventualis bertitik tolak dari kesadaran

akan kemungkinan. Artinya si pelaku sadar akan kemungkinan tersebut. Unsur

kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila kesengajaan adalah

sesuatu yang dikehendaki, maka kealpaan adalah sesuatu yang tidak dikehendaki.

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan sehingga

sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang

dilakukan dengan kealpaan pun lebih ringan. Simons memberikan penjelasan

mengenai kealpaan44

: “Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak

berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat

perbuatan itu. Namun, meskipun perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih

mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari

perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.”

Contoh kealpaan menurut Satochid Kartanegara yaitu45

: A membuat api untuk

menanak nasi. Jelas di sini bahwa A membuat api dengan sengaja. Akan tetapi

kemudian api menjilati dinding rumah sehingga menimbulkan kebakaran.

Dalam hal ini perbuatan A yang menimbulkan kebakaran tersebut harus

ditinjau dari sudut syarat-syarat schuld yaitu: a) Apakah terdapat ketidakhati-

hatian pada diri A? b) Apakah A dapat membayangkan akan timbulnya kebakaran

itu atau tidak? Misalnya setelah A membuat api, api ditinggalkan dan kemudian A

44

Ibid, Hal. 25. 45

Ibid, Hal. 27.

39

pergi ke sumur untuk mengambil air. Akan tetapi, saat itu angin kencang datang

sehingga api menjilat dinding rumah yang terbuat dari bahan kering. Dalam hal

ini harus diperhatikan dan diperhitungkan berbagai masalah yang berhubungan

dengan kejadian itu. Misalnya A dapat disimpulkan telah lalai karena ia

meninggalkan api, padahal ia sedang menunggui api dan ia tahu bahwa angin bisa

saja bertiup kencang setiap saat pada saat itu. 2) Unsur objektif Unsur objektif

adalah unsur dari luar diri pelaku, terdiri atas: a) Perbuatan manusia, berupa: i.

Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif; ii.Omission, yaitu perbuatan

pasif atau perbuatan negatif, seperti mendiamkan atau membiarkan. b) Akibat

(result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan

menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,

misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. c)

Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan

dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat

melawan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Semua unsur

tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu

unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa dibebaskan dari

pengadilan.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teoekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan

pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau

tersangka dipertanggungjawabkan atau suatu tindakan pidana yang terjadi atau

40

tidak.46

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban

pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme

yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.47

Sudarto mengatakan bahwa

dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi

meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan

tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.

Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu

orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika

dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan

kepada orang tersebut.48

Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut

beberapa pandangan adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini:49

Menurut

Pompe kemampuan bertanggung jawab pidana harus mempunyai unsur-unsur

sebagai berikut: a. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang

46

Amir Ilyas, Loc. Cit 47

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, dikutip dari Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum

Pidana, Ctk. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 156. 48

Sudarto, Hukum Pidana I, dikutip dari Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Ctk.

Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 156-157. 49

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, dikutip dari Amir Ilyas,

Asasasas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai

Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, 2012,

hlm. 74.

41

memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan

perbuatannya. b. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya. c.

Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. Syarat-

syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah

sebagai berikut: jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau

menginsyafi nilai dari perbuatannya, orang harus menginsyafi bahwa

perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang dan orang harus

dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.

3. Ketentuan Hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) Yang Berlaku Di

Indonesia

Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu negara. Berbicara tentang hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan

subjek dari hukum pidana itu sendiri. Subjek dari hukum pidana dalam melakukan

aktivitasnya dalam bermasyarakat sering kali melakukan penyimpangan. Hal ini

tidak hanya membahayakan dirinya akan tetapi juga dapat merugikan orang lain.

Agar terciptanya suatu tatanan masyarakat yang aman dan tertib maka dibutuhkan

norma-norma serta ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mengatur

bagaimana anggota masyarakat melaksanakan aktivitasnya tanpa mengganggu

kepentingan anggota masyarakat lainnya.

Ketentuan-ketentuan tersebut haruslah memiliki sanksi yang bersifat memaksa.

Artinya ketika seseorang melanggar ketentuan yang telah dibuat mala pelanggar

akan diberikan hukuman. Berat ringannya hukuman tergantung dari jenis

42

pelanggaran yang dilakukannya.50

Hukum pidana dalam usahanya untuk

mencapai tujuannya tidaklah semata-mata hanya dengan menjatuhkan sanksi

pidana akan tetapi juga dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Oleh

sebab itu hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal yaitu usaha-usaha

rasional dalam mencegah terjadinya kejahatan.51

Komisi nasional hak asasi manusia (komnasham) dalam buku saku

penanganan ujaran kebncian (Hate Speech) mengungkapkan ujaran kebencian

(Hate Speech) sangat berbahaya. Karena:52

a) Merendahkan manusia lain Manusia

adalah ciptaan Tuhan dan tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan

manusia dan kemanusiaan seorang pun yang merupakan ciptaan Tuhan. b)

Menimbulkan kerugian material dan korban manusia Data penelitian

menunjukkan jumlah kerugian material dan korban kekerasan berbasis identitas

lebih besar daripada kekerasan lainnya.

Bisa berdampak pada konflik Hasutan untuk memusuhi orang atau kelompok

bisa menimbulkan konflik, konflik ini bisa antar individu dan meluas menjadi

konflik komunal atau antar kelompok d) Bisa berdampak pada pemusnahan

kelompok (genosida) Hasutan kebencian ini bisa membuat streotyping/pelabelan,

stigma, pengucilan, diskriminasi, kekerasan. Pada tingkat yang paling mengerikan

bisa menimbulkan kebencian kolektif pembantaian etnis, pembakaran kampung

atau pemusnahan (genosida) terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran

kebencian.

50

Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Ikhtisar Ilmu Hukum”hukum dan politik”, jakarta, badan

penerbit iblam,2006,hlm.84. 51

Ibid., hlm. 84-85 52

KOMNASHAM RI, Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech),

Jakarta:KOMNASHAM, 2015, hlm. 3.

43

4. Ketentuan tindak pidana ujaran kebencian menurut undang-undang

hukum pidana

Berdasarkan surat edaran kapolri no 6 tahun 2015 yang tergolong dalam

ujaran kebencian (Hate Speech) yang di atur oleh kitab undang-undang hukum

pidana yang mana terdapat didalam pasal antara lain sebagai berikut: Pasal 156

KUHP, Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,

kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat

Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.53

Pasal 157 ayat (1) dan (2) KUHP, ayat (1) Barang siapa menyiarkan,

mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang

isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan

di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud

supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama

dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah. Ayat (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu

menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak

pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang

bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.54

Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, ayat (1) Barangsiapa sengaja

menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu

hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena

53

Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 54

Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

44

pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda

paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) Jika hal itu dilakukan dengan

tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka

umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling

lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah. Ayat (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika

perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk

membela diri.55

Pasal 311 KUHP, Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau

pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu

benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa

yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling

lama empat tahun. Objek hukum pidana dalam hal ini adalah ujaran kebencian.

Tidak semua ujaran dengan menggunakan kata benci dapat di kategorikan ujaran

kebencian.

Ujaran kebencian yang dimaksud dalam pasal-pasal dalam KUHP tersebut

apabila, Pasal 156-157 KUHP: Jika: Perasaan permusuhan, kebencian atau

penghinaan tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha, baik langsung

maupun tidak langsung. Kata golongan dalam pasal ini adalah salah satu dari: e)

Suku f) Agama g) aliran keagamaan h) keyakinan/kepercayaan i) ras j) warna

kulit k) antar golongan l) etnis m) gender n) orang dengan disabilitas (difabel) o)

orientasi seksual, ekspresi gender.

55

Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

45

Pasal 310-311 KUHP, Jika dalam perbuatan penghinaan yang dilakukan

mencakup sebagai berikut: 1. Penghinaan itu ditujukan kepada seseorang atau

kelompok berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/ kepercayaan,

ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang dengan disabilitas (difabel),

orientasi seksual, ekspresi gender, dan; 2. Penghinaan itu berupa hasutan untuk

melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Terkait penegakan hukum

atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian, yaitu Pasal 310 dan Pasal

311 KUHP.

Kedua pasal dalam KUHP ini dinilai tidak tepat jika dimasukkan ke dalam

Surat Edaran Hate Speech. Dalam artikel PERADI Luhut Imbau Kapolri Cabut

SE Ujaran Kebencian, Mantan Menteri Hukum dan HAM yang kini menjadi

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PERADI versi Luhut, Amir Syamsuddin

berpandangan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP tidak tepat dijadikan jeratan

terhadap mereka yang melakukan penyebaran kebencian. Ini karena Pasal 310 dan

Pasal 311 merupakan delik aduan yang bersifat ranah privat. Lagi pula, polisi tak

akan dapat berbuat banyak sepanjang tak ada aduan dari pengadu.

5. Pengertian Implikasi

Pengertian implikasi Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI),

implikasi adalah keterlibatan atau keadaan terlibat. Arti kata implikasi itu sendiri

sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas dan beragam, sehingga dapat

digunakan dalam berbagai kalimat dalam cakupan bahasa yang berbeda-beda.

Kata implikasi dapat dipergunakan dalam berbagai keadaan maupun situasi yang

46

mengharuskan seseorang untuk berpendapat atau berargumen. Seperti halnya

dalam bahasa penelitian maupun matematika.

Arti kata implikasi itu sendiri sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat

luas dan beragam, sehingga dapat digunakan dalam berbagai kalimat dalam

cakupan bahasa yang berbeda-beda, Menurut para ahli, pengertian implikasi

adalah suatu konsekuensi atau akibat langsung dari hasil penemuan suatu

penelitian ilmiah. Pengertian lainnya dari implikasi menurut para ahli adalah suatu

kesimpulan atau hasil akhir temuan atas suatu penelitian.

Terdapat jenis-jenis implikasi metode penelitian yang pada umumnya

dilakukan untuk melakukan sebuah kajian ilmiah dan penelitian. Beberapa jenis

implikasi penelitian tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

Implikasi Teoritis Implikasi teoritis adalah di mana seorang peneliti akan

menggunakan kelengkapan data berupa gambar-gambar maupun foto yang

bertujuan untuk menguatkan hasil temuan dan penelitiannya. Gambar-gambar ini

diperlukan peneliti untuk mendukung dan melengkapi hasil penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya agar dapat dipresentasikan kepada pihak penguji. Gambar-

gambar yang disajikan tersebut juga harus berkaitan dengan implikasi teoritikal

berdasarkan hasil penelitian yang disajikan. Penambahan gambar-gambar ini

bertujuan selain memudahkan peneliti untuk menjelaskan dan menjabarkan hasil

penelitiannya, juga bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk meyakinkan

para penguji. Karena tujuan utama penelitian dilakukan tentunya adalah

memberikan suatu kontribusi bagi ilmu pengetahuan baik itu secara teori maupun

47

praktek langsung untuk menyempurnakan hasil-hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

Implikasi Metodologi Implikasi Metodologi penelitian adalah membahas

tentang bagaimana cara dan metode dari teori-teori yang digunakan dalam sebuah

penelitian. Biasanya seorang peneliti memiliki banyak metode yang akan atau

telah digunakan dalam penelitiannya. Sehingga implikasi metodologi ini lebih

menjadi sebuah refleksi seorang peneliti terhadap hasil penelitiannya. Hal ini

karena setiap peneliti pasti memiliki cara yang khas dan metode masing-masing

untuk menyelesaikan hasil penelitiannya tersebut. Di dalam keseluruhan hasil

penelitian, pasti terdapat metode yang sulit untuk dilakukan maupun yang mudah

dalam pengaplikasiannya. Maka dari itu implikasi metodologi bertujuan untuk

menjelaskan kesulitan-kesulitan maupun tantangan yang dialami oleh peneliti

selama menyelesaikan hasil penelitian tersebut. Selain itu implikasi metodologi

juga menjelaskan tentang inovasi-inovasi maupun ide-ide apa saja yang telah

ditemukan, dikembangkan dan dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah

dalam ilmu pengetahuan melalui hasil penelitian. Tujuan dari selalu dilakukannya

penelitian secara berkelanjutan adalah untuk meningkatkan dan menyempurnakan

hasil temuan ilmiah. Semakin sempurna suatu hasil penelitian, maka kualitas

penelitian itu sendiri akan lebih baik sehingga dapat menjadi suatu resolusi bagi

masalah yang ada dalam kajian ilmu pengetahuan. Implikasi metodologi biasanya

juga memuat bagian tentang masukan atau saran serta kesimpulan penelitian.

Semua ini dikemukakan oleh peneliti agar mendapat masukan dan perbaikan dari

48

para penguji. Masukan-masukan yang diberikan oleh penguji akan menjadi

sebuah evaluasi untuk membuat sebuah penelitian menjadi lebih baik lagi.

Implikasi Manajerial Implikasi manajerial mengulas atau membahas tentang

kesimpulan atau hasil akhir penelitian. Tentunya kesimpulan tersebut diperoleh

berdasarkan atas kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam metode penelitian.

Kebijakan-kebijakan yang diambil untuk mendapatkan hasil akhir keputusan

tersebut diperoleh melalui sebuah proses pengambilan keputusan yang bersifat

menyeluruh dan partisipatif dari seluruh anggota peneliti dan dengan cara

manajerial yang tepat. Implikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hasil

penelitian tersebut disebut juga sebagai implikasi manajerial.

Selain itu, implikasi manajerial dapat memberikan manfaat bagi ilmu

manajemen. Manajemen itu itu terdiri dari dua implikasi yaitu: Implikasi

prosedural, yaitu analisis, perencanaan kerja, pilihan kebijakan, dan tata cara

analisis dan implikasi yang bersifat substantif, yaitu perkiraan rencana maupun

perumusan sebuah tindakan.

B. Temuan Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech)

1. P U T U S A N Nomor : 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK

Jika dilihat secara holistik dan mendalam terkait subtansi dalam putusan

sebelum dilakukannya perubahan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik, yakni dalam putusan Nomor : 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK

atas nama terdakwa Florence Saulina Sihombing. Adapun yang menjadi

kronologis kejadian perkara ialah : pada hari Rabu tanggal 27 Agustus 2014 sekira

49

jam 15.00 WIB atau setidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2014

bertempat di Jl. Srigunting No 2 Demangan Baru Yogyakarta, Terdakwa dengan

sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan

rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu

berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pada awalnya

Terdakwa bermaksud mengisi bahan bakar di Pom Bensin Lempuyangan, Baciro,

Yogyakarta, pada saat itu Terdakwa mengantri untuk membeli pertamax 95

dijalur mobil. Setelah Terdakwa mengantri dan Terdakwa sampai dibagian paling

depan tidak dilayani oleh petugas SPBU karena Terdakwa menggunakan motor.

Karena tidak dilayani, Terdakwa pulang ke kos Terdakwa yang beralamat di Jl Sri

Gunting No 2 Demangan Baru, Yogyakarta, lalu Terdakwa sempat melihat berita

di media elektronik dan Terdakwa membaca berita tentang antrean Terdakwa

yang direkam oleh wartawan yang sedang meliput kejadian di SPBU kemudian

Terdakwa merasa emosi dan kecewa lalu menulis status pada media sosial Path

milik Terdakwa dengan nama akun Florence Sihombing sekitar pukul 15.00 WIB

dengan cara menggunakan telepon genggam jenis I-phone 5c milik Terdakwa.

Bahwa kata–kata yang ditulis (upload) Terdakwa pada akun Path Florence

Sihombing yaitu : Jogja Miskin, Tolol dan Tak Berbudaya. Teman-teman

Jakarta-Bandung, jangan mau tinggal di Jogja. Orang jogja bangsat. Kakak mau

beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus gak

dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak

ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku gak bisa bayar apa.huh.KZL.

1. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

50

Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh terdakwa, Jaksa Penuntut Umum

Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Maret 2015 Nomor Reg.Perkara.:

PDM-145/Euh.2 Yogya/10/2014. Menuntut terdaka Florence Saulina Sihombing,

sebagai berikut, Menyatakan Terdakwa Florence Saulina Sihombing terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ mentransmisikan

dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan

penghinaan “, melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam )

bulan dengan masa percobaan selama 12 (dua belas) bulan dan denda sebesar Rp

10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) buah handphone merk iPhone / 5c

nomor imei 358031058309538, 1 (satu) buah simcard dengan nomor

082160685742 ; Dikembalikan kepada Terdakwa Florence Saulina Sihombing, 1

(satu) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar screen capture Twitter

Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar

screen capture Twitter Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path

Florence Sihombing; Terlampir dalam berkas perkara, Membebankan biaya

perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah);

2. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta

Berdasarkan tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan putusan yang amarnya

berbunyi sebagai berikut; Menyatakan Terdakwa Florence Saulina Sihombing

51

tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana dengan sengajan dan tanpa hak mendistirbusikan informasi elektronik

melalui jaringan telekomunikasi yang membuat penghinaan dan pencemaran

nama baik, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 2 (dua) bulan dan denda sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama 1 (satu) bulan , menetapkan pidana tersebut tidak usah

dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain

disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa

percobaan selama 6 (enam) bulan berakhir.

Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) buah handphone merk iPhone/5c

nomor imei 358031058309538, 1 (satu) buah simcard dengan nomor

082160685742. Dikembalikan kepada Terdakwa Florence Saulina Sihombing; 1

(satu) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar screen capture Twitter

Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar

screen capture Twitter Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path

Florence Sihombing ; Tetap terlampir dalam berkas perkara. Membebankan

kepada Terdakwa membayar biaya perkara dalam perkara ini sejumlah Rp. 5.000 (

lima ribu rupiah).

3. Permohonan Yang Diajukan Oleh Terdakwa Pada Tingkat Banding:

Berdasarkan putusan yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Yogyakarta, terdakwa tidak menerima putusan tersebut, sehingga terdakwa

dalam hal ini mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta.

52

Adapun yang menjadi permohonan terdakwa pada tingkat banging ialah;

Menyatakan Terdakwa Florence Saulina Sihombing, tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan

dalam Dakwaan Kesatu atau Dakwaan Kedua, Membebaskan Terdakwa Florence

Saulina Sihombing dari semua dakwaan, atau setidak-tidaknya melepaskan

Terdakwa Florence Saulina Sihombing dari segala tuntutan hukum, Memulihkan

hak Terdakwa Florence Saulina Sihombing dalam kemampuan, kedudukan dan

harkat serta martabatnya, Menetapkan barang bukti iPhone 5C warna pink dengan

imei 35803158309538 dan simcard dengan nomor 082160685742, dikembalikan

kepada Terdakwa, Memerintahkan kepada JPU untuk langsung dan segera pada

saat putusan dibacakan, mengembalikan barang bukti iPhone 5C warna pink

dengan imei 35803158309538 dan simcard dengan nomor 082160685742,

dkembalikan kepada Terdakwa, Membebankan biaya perkara kepada Negara.

4. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta

Adapun yang menjadi subtansi perimbangan Hakim Pengadilan Negeri

Yogyakarta bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta sepakat

terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta. Bahwa Hakim

Pengadilan Tingggi Negeri Yogyakarta dalam hal ini setuju tehadap pertimbangan

Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta bahwa terdakwa atas nama Florence

Saulina Sihombing dalam hal ini tersebukti secara sah dan meyakinkan melanggar

Pasal yang didakwakan kepadanya yakni didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) juncto

53

Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

Namun jika dilihat secara mendalam adapula pertimbangan Hakim

Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta yang tidak sesuai dengan putusan Hakim

Pengadilan Negeri Yogyakarta yakni terkait penjatuhan hukuman pidana denda.

Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta menganggap bahwa terkait penjatuhan

putusan hukuman pidana denda yang di putuskan oleh hakim tidaklah perlu untuk

dilakukan, karena Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta merasa bahwa hal

itu terlalu sehingga pidana penjara percobaan yang dijatuhkan terhadap terdakwa

adalah sudah cukup untuk memenuhi rasa keadilan.

5. Putusan Pengadilan Tinggi Negeri Yogyakarta:

Menerima permintaan banding dari Terdakwa Florence Saulina Sihombing

dan Jaksa Penuntut Umum. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta

tanggal 31 Maret 2015 Nomor :328/Pid.Sus/2014/PN.Yyk. sekedar mengenai

pidana denda berikut pidana kurungan penggantinya yang dijatuhkan kepada

terdakwa haruslah dihapuskan, sedangkan amar selain dan selebihnya untuk dapat

dikuatkan, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut; Menyatakan

Terdakwa Florence Saulina Sihombing tersebut diatas terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Dengan Sengaja Dan Tanpa Hak

Mendistribusikan Informasi Elektronik Melalui Jaringan Telekomunikasi Yang

Memuat Penghinaan Dan Pencemaran Nama Baik.

54

Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 2 (dua) bulan ; Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena

Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6

(enam) bulan berakhir. Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) buah handphone

merk iPhone/5c nomor imei 358031058309538, 1 (satu) buah simcard dengan

nomor 082160685742.

Dikembalikan kepada Terdakwa Florence Saulina Sihombing, 1 (satu) lembar

screen capture Path Florence, 1 (satu) lembar screen capture Twitter Florence

Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence , 1 (satu) lembar screen

capture Twitter Florence Sihombing, 2 (dua) lembar screen capture Path Florence

Sihombing. Tetap terlampir dalam berkas perkara membebankan biaya perkara

kepada Terdakwa dalam kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding

sebesar Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah);

6. Putusan Nomor 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn

Jika melihat putusan hakim dalam kasus hate speech yang dilakukan

menggunakan media elektronik, sebelum dilakukannya perubahan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik, menurut penulis bahwa putusan hakim yang dijatuhkan oleh

Majelis Hakim setelah dilakukannya perubahan, relatif lebih berat dibandingkan

sebelum dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan

55

Transaksi Elektronik. Walaupun terkait subtansi ancaman hukuman tidak

dilakukan perubahan, hal itu dapat dilihat dalam Putusan Nomor

2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn atas nama terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal

Abdi Als Bombay Als Memet. adapun yang menjadi kronologis kejadian tersebut

ialah bermula pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018 sekira pukul 13.00 Wib ketika

terdakwa berada di rumah ibu kandung terdakwa di Jalan Beringin Pasar 7 Gang

Pancasila 10-A Dusun Kuini Desa Tembung Kec. Percut Sei Tuan Kab Deli

Serdang Provinsi Sumtatera Utara dan saat terdakwa menonton hasil

penghitungan cepat (Quick Count) hasil pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang

disiarkan dari televisi, lalu terdakwa melihat ada akun facebook atas nama tidak

ingat, menuliskan kalimat hasil penghitungan cepat pemilihan Gubernur Sumatra

Utara yang tidak sesuai dengan menyebutkan persentasi hasil peroleh suara

pasangan Calon Gubsu nomor urut 2 (Djoss) lebih unggul dari pasangan Calon

Gubsu nomor urut 1 (Eramas), selanjutnya terdakwa merasa kesal kemudian

terdakwa menulis komentar atas postingan tersebut melalui akun facebook

terdakwa atas nama Faisal Abdi menulis kalimat:

“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep

silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”.

Kemudian atas komen yang dilakukan oleh terdakwa dalam kolom komentar

di facebook dilihat oleh pemilik akun facebook Salagracia Sihombing, pemilik

akun facebook Alik Adrian, pemilik akun facebook Leo, Solihin Madrista

Simanjuntak dan saksi Lamsiang Sitompul,SH. akibat perbuatan terdakwa

tersebut saksi Parluhutan Situmorang,SH, saksi Lamsiang Sitompul,SH dan saksi

56

Tumingka Daniel Pardede,SH,MH,CD merasa keberatan dan membuat laporan

dan pengaduan ke Kepolisian.

7. Keterangan Ahli

Keterangan ahli Drs. Marthin,M.Hum (Ahli Bahasa). Jika melihat secara

holistik dan mendalam terkait pendapat ahli bahwa komentar yang di tulis oleh

terdakwa pada kolom komentar di facebook yakni: Eramas pasti menang, orang

Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu

ha...ha... Batak tolol. Adapun yang menjadi pendapat ahli berdasarkan status

tersebut ialah, yang dimaksud dengan kata orang Batak adalah orang-orang yang

merupakan salah satu suku bangsa di Sumatera Utara, dan dalam konteks

berbahasa sehari-hari orang Batak pada umumnya mengacu kepada orang-orang

yang bersuku Batak Toba. Jika melihat kata Batak tolol memililiki arti bahwa

orang atau suku Batak sangatlah bodoh (tidak tahu apa-apa).

Selain itu jika melihat kata “eramas pasti menang” berarti bahwa salah satu

pasangan yang bernama eramas, meraih hasil kemenangan dalam sebuah

perlombaan karena dapat mengalahkan saingan. Selain itu jika melihat redaksi

kalimat “Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep” memiliki arti bahwa

orang-orang yang bersuku Batak tidak boleh merasa sangat susah hati (ya ‘kata

penegasan’) kalo djoss nyungsep (jika djoss kalah masuk kedalam tanah). Selain

itu jika melihat redaksi kalimat “Silahkan makan kalian taik babi itu ha…ha…

Batak tolol” berdasarkan redaksi kalimat tersebut memiliki arti bahwa

menganjurkan (kata perintah halus) agar orang Batak memakan kotoran babi,

tertawa, Batak yang sangat bodoh.

57

Berdasarkan redaksi kalimat yang dibuat oleh terdakwa dalam komentar

facebook, yakni: “Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss

nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”. Berdasarkan

kalimat tersebut dapat menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras,

dan antargolongan (SARA) karena ada menggunakan kata orang Batak.

Keterangan ahli Prof. Dr. Maidin Gulton, S.H., M.Hum (Ahli Hukum

Pidana), setelah berjanji dalam persidangan pada Pokoknya menerangkan sebagai

berikut :

yang dimaksud dengan; Setiap orang adalah orang perseorangan, baik warga

negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Artinya setiap

orang adalah orang perorangan dan badan hukum.

Dengan Sengaja adalah; Sengaja (opzet) adalah menghendaki dan mengetahui

(willens en wetens). Berhubungan dengan keadaan bathin orang yang berbuat

dengan sengaja, dapat disebut 2 (dua) teori, yaitu: teori kehendak (wilstheori), inti

kesengajaan dalam hal ini adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik

dalam rumusan delik.

Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie), sengaja

berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa

menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Menitik

beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipembuat ialah apa yang

akan terjadi pada waktu ia berbuat. Dalam seseorang melakukan sesuatu dengan

sengaja, dapat dibedakan 3 (tiga) corak bathin, yaitu:

Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), untuk mencapai tujuan

(yang dekat); dolus directus. Perbuatan di pembuat bertujuan untuk menimbulkan

58

akibat yang dilarang. Ia mengendaki perbuatan beserta akibatnya. Disebut juga

sengaja dengan tujuan.

Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau

noodzakelijkheidbewustzijn). Mempunyai akibat, yaitu: Akibat yang memang

dituju sipembuat. Ini merupakan delik tersendiri atau tidak; Akibat yang tidak

diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan.

Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus evantualis atau

voorwaardelijk opzet).Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula mungkin

terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi.

Tanpa hak adalah tanpa kewenangan yang merupakan Sifat melawan hukum,

yang dalam hal ini tidak perlu bertentangan dengan aturan hukum. Menyebarkan

informasi maksudnya adalah kegiatan melakukan transfer informasi menggunakan

media sosial dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

dan/atau kelompok masyarakat tertentu maksudnya adalah Perbuatan atau

rangkaian perbuatan (perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan) dengan

menggunakan media sosial yang merupakan tindakan menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

dan/atau kelompok masyarakat tertentu. berdasarkan atas suku, agama, ras dan

antar golongan (SARA) maksudnya bahwa tindakan komunikasi yang dilakukan

oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun

hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti

59

ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan, agama,

dan lain-lain.

Dapat Ahli jelaskan yang dimaksud dengan Menyebarkan Informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau

kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA) adalah: Perbuatan atau rangkaian perbuatan (perkataan,

perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan) dengan menggunakan media sosial yang

merupakan tindakan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan

rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu

berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).Dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa, menyebarkan Informasi yang ditujukan untuk

menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok

masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan

(SARA) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau

kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau

kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis,

gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Perbuatan

yang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian

atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan

atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dimaksudkan oleh Pasal

45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU

RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tersebut adalah Perbuatan itu dilakuan dengan

sengaja agar “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau

60

kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA)”. Dalam hal ini “dengan sengaja dan tanpa hak

menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas

Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)”. Termasuk ke dalam ujaran

kebencian adalah (hate speech) di antaranya adalah penghinaan, pencemaran

nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut

dan menyebarkan berita bohong baik secara langsung di muka umum maupun

lewat media social. Adapun yang menjadi keterangan ahli berdasarkan unsur-

unsur yang terdapat dalam Pasal tersebut:

Unsur-unsur Pasal 45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun

2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE adalah; setiap orang,

sengaja, tanpa hak, menyebarkan informasi, menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas

suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), Pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. (satu milyar

rupiah) Unsur penting adalah “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan

individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,

ras, dan antargolongan (SARA).

Kelompok masyarakat dan antar golongan dalam Pasal 45A ayat (2) Yo.

Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun

2008 tentang ITE adalah Suku, agama, aliran keagamaan, kepercayaan, ras, antar

golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

61

Menerapkan Pasal 45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun

2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tersebut, tidak harus

ada pihak yang dirugikan atau harus ada pihak yang keberatan, karena bukan

merupakan delik/tindak pidana aduan dan bukan merupakan delik materil yang

menghendaki akibat dari perbuatan itu.

Penerapan Pasal 45A ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016

Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tidak tergantung kepada

akibat yang ditimbulkan tetapi bila memenuhi perumusan ketentuan Pasal 45A

ayat (2) Yo. Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI

No. 11 Tahun 2008 tentang ITE seseorang dapat dipersangkakan/

didakwa/dipidana, karena tergolong sebagai delik/tindak pidana formil.

Perbuatan yang dilakukan oleh pemilik Akun Facebook Faisal Abdi sebagai

Terdakwa tersebut merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur Pasal 45A

ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 perubahan atas UU RI No.

11 Tahun 2008 tentang ITE. Dapat dijelaskan bahwa perbuatan tersebut dapat

dikategorikan sebagai perbuatan menyebarkan Informasi yang ditujukan untuk

menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok

masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan

(SARA)

8. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa atau berdasarkan

fakta persidangan. Terdakwa dalam hal ini dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum

62

sebagai berikut, Menyatakan terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi alias

Memet terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak

menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas

suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)” melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo

Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11

Tahun 2008 tentang ITE dalam dakwaan tunggal. Menjatuhkan pidana penjara

terhadap terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi alias Memet dengan pidana

penjara selama 2 ( dua ) tahun dikurangi selama terdakwa berada didalam tahanan

dan denda Rp. 20.000.000,-(dua puluh Juta rupiah) Subsidier 3 ( tiga ) bulan

kurungan.

Menyatakan barang bukti berupa; 1 (satu) Unit Handphone Xiomi Model

Redmi 4A IMEI Slot 1 : 862110039111582 IMEI Slot 2 : 862110039111590

Wana Pink, 1 (satu) Unit Handphone Polytron tipe C24B nomor seri 27A13962

IMEI slot 1 : 352970052716386 IMEI slot 2 : 3529700544823 warna White Red

dengan nomor Handphone 085364119422, 1 (satu) unit SIM Card Telkomsel

Nomor 081346215309 dengan nomor kartu 0525 0000 0528 1751.Dirampas untuk

dimusnahkan, 1 (satu) buah KTP Provinsi Sumatera Barat nomor

1207021303810012 atas nama Faisal Abdi Lubis, 1 (satu) buah SIM A atas nama

Faisal Abdi Lubis nomor 810308170308, 1 (satu) buah KTP atas nama Faisal

Abdi NIK : 12070213038100012, 1 (satu) Kartu Perpustakaan atas nama Faisal

Abdi Lubis, 3 (tiga) lembar kwitansi pembayaran cicilan sepada motor Mega

Finance atas nama Faisal Abdi Lubis, 1 (satu) baju kaos berkerah merk Nevada

63

size L warna Hitam kombinasi biru milik Faisal Abdi Lubis yang dikenakan

dalam Foto Profil akun facebook Faisal Abdi. Dikembalikan kepada terdakwa, 1

(satu) lembar print out facebook atas nam Faisal Abdi yang bertuliskan“Eramas

pasti menang, orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan makan

kalian taik babi itu ha...ha... Batak tolol”.terlampir dalam berkas perkara,

membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah). Setelah mendengar

pleidoi Terdakwa yang pada pokoknya menyatakan memohon keringanan

hukuman karena Terdakwa merasa bersalah, menyesali perbuatannya dan berjanji

tidak mengulangi perbuatannya.

9. Pertimbangan Hakim

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maka Majelis

Hakim mempertimbangkan unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu Pasal 28

ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI

No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan unsur-unsur sebagai berikut; Unsur Setiap

Orang : unsur “ Setiap Orang ” dimaksudkan sebagai orang atau subjek hukum

pendukung hak dan kewajiban. Dalam hukum pidana yang dimaksud dengan

“Setiap Orang” adalah orang atau manusia, dengan pengertian setiap orang baik

dia lakilaki atau perempuan yang memenuhi semua unsur tindak pidana yang

terdapat di dalam rumusan pasal undang-undang yang dilanggar dan kepadanya

dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya menurut KUHP.

Dari fakta-fakta di persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi

maupun terdakwa sendiri serta dikuatkan dengan adanya barang bukti maka

sebagai setiap orang / pelaku tindak pidana dalam perkara ini adalah terdakwa

64

Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi Als Memet dan bukan orang lain selain

terdakwa tersebut.

dengan demikian unsur “Setiap Orang” telah terpenuhi; Unsur dengan sengaja

dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa

kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu

berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan berupa keterangan saksi-

saksi, saksi ahli yang dihubungkan dengan keterangan terdakwa, bahwa benar

bermula pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018 sekira pukul 13.00 Wib ketika

terdakwa berada di rumah ibu kandung terdakwa di Jalan Beringin Pasar 7 Gang

Pancasila 10-A Dusun Kuini Desa Tembung Kec. Percut Sei Tuan Kab Deli

Serdang Provinsi Sumtatera Utara, terdakwa menonton hasil penghitungan cepat

(Quick Count) pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang disiarkan dari televisi,

lalu terdakwa melihat ada akun facebook atas nama yang terdakwa tidak ingat,

menuliskan kalimat hasil penghitungan cepat Pilgubsu yang tidak sesuai dengan

dengan menyebutkan persentasi hasil peroleh suara pasangan Calon Gubsu nomor

urut 2 (Djoss) lebih unggul dari pasangan Calon Gubsu nomor urut 1 (Eramas).

Selanjutnya terdakwa merasa kesal kemudian terdakwa menulis komentar

atas postingan tersebut melalui akun facebook terdakwa atas nama Faisal Abdi

menulis kalimat “Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss

nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”, melalui

Handphone merek Xiomi model 4A Imei slot 1 862110039111582, Imei Slot 2 :

86211003911590 warna putih kombinasi pink dengan nomor 081346215309.

65

Kemudian ada orang yang mengetahui dan melihat tulisan tersebut adalah

pemilik akun facebook Salagracia Sihombing, pemilik akun facebook Alik

Adrian, pemilik akun facebook Leo, Solihin Madrista Simanjuntak dan saksi

Lamsiang Sitompul, S.H., kemudian pada hari Kamis tanggal 28 Juni sekira pukul

14.00 Wib saksi Parluhutan Situmorang, S.H., saksi Lamsiang Sitompul, S.H.,

dan saksi Tumingka Daniel Pardede, S.H., M.H., CD membaca grup WA PPRL

(parsadaan pomparan raja lontung) membicarakan, meminta kepada anggota grup

untuk melaporkan perbuatan Terdakwa yang sudah viral di media sosial facebook

yang menuliskan kalimat Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo

djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol” pada

akun facebook milik Terdakwa.

Postingan Terdakwa tersebut menurut pembaca sebagaimana

dipertimbangkan diatas adalah untuk menistakan suku batak yang pada umumnya

85 persen mendukung DJOSS sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut pada

tanggal 27 Juli 2018 dan perbuatan terdakwa yang merendahkan harga diri dan

martabat orang batak serta berpotensi memecah belah kerukunan umat beragama

antara kristen dan islam dengan tulisan kalimat makan taik (babi), akibat

perbuatan terdakwa tersebut saksi Parluhutan Situmorang, SH, saksi Lamsiang

Sitompul,SH dan saksi Tumingka Daniel Pardede, S.H, M.H, C.D., merasa

keberatan dan membuat laporan dan pengaduan ke Kepolisian.

Berdasarkan keterangan Ahli Bahasa Drs. Marthin, M.Hum bahwa kalimat

Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan

makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol” Yang dimaksud dengan kata

66

orang Batak adalah ‘orang-orang yang merupakan salah satu suku bangsa di

Sumatera Utara’; dan dalam konteks berbahasa sehari-hari orang Batak pada

umumnya mengacu kepada orang-orang yang bersuku Batak Toba. Dan kata

Batak tolol berarti ‘Batak sangat bodoh (tidak tahu apa-apa)’. Kalimat “Eramas

pasti menang” berarti ‘satu pasangan yang bernama Eramas meraih hasil dalam

sebuah perlombaan karena dapat mengalahkan saingan’. Kalimat “Orang Batak

jangan sedih ya kalo djoss nyungsep” berarti ‘orang-orang yang bersuku Batak

tidak boleh merasa sangat susah hati (ya ‘kata penegasan’) jika Djoss kalah

(masuk ke dalam tanah)’. Kalimat “Silahkan makan kalian taik babi itu ha…ha…

Batak tolol” berarti ‘menganjurkan (kata perintah halus) agar orang Batak

memakan kotoran babi, tertawa…, Batak yang sangat bodoh’. Berdasarkan

konteks peristiwa (pilkada) yang terjadi di Sumatera Utara beberapa waktu yang

lalu, kalimat tersebut di atas ditujukan kepada orang-orang yang bersuku Batak

(khususnya Batak Toba), kalimat “Eramas pasti menang, orang Batak jangan

sedih ya kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak

Tolol” tersebut di atas dapat menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku,

agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena ada menggunakan kata orang

Batak, maka Ahli menyatakan bahwa kalimat tersebut dapat menimbulkan rasa

kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena ada

menggunakan kata orang Batak dan Batak tolol.

Berdasarkan keterangan ITE Denden Imadudin Soleh, S.H., M.H., CLA yang

dilakukan oleh pemilik akun facebook Faisal Abdi tersebut dapat dikatakan

memenuhi unsur pidana sebagaimana pada Pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2)

67

UURI No 19 tahun 2016 Perubahan atas UURI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

ITE karena menuliskan kalimat “Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih

ya kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol”

yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau

kelompok masyarakat tertentu maksudnya adalah bahwa informasi yang

disebarkan tersebut ditujukan agar timbul rasa kebencian atau permusuhan baik

individu maupun kelompok, berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan

(SARA).

Ungkapan terdakwa tersebut jelas dimaksudkan bahwa kebencian atau

permusuhan itu dapat muncul karena informasi yang disebarkan berkaitan dengan

suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) tertentu.

Berdasarkan keterangan ahli pidana Prof. Maidin Gultom, S.H, M.Hum

Pemilik akun facebook Faisal Abdi, terdakwa yang telah menuliskan kalimat

“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep

silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol” di kolom komentar

akun facebook atas nama tidak ingat, menuliskan kalimat hasil penghitungan

cepat Pilgubsu yang tidak sesuai dengan dengan menyebutkan persentasi hasil

peroleh suara pasangan Calon Gubsu nomor urut 2 (Djoss) lebih unggul dari

pasangan Calon Gubsu nomor urut 1 (Eramas) menyebarkan informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau

kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar

golongan (SARA);

68

Dengan demikian maka unsur, “Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan

individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,

ras, dan antar golongan (SARA)”, telah terpenuhi.

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim berpendapat

bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan melanggar

Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan

Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE telah terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum.

Oleh karena itu Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti

melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan

atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar

golongan (SARA),sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat

(2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang

ITE dan kepada Terdakwa harus dijatuhi hukuman yang sepatutnya.

Dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan

atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya;

Oleh karena Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan

bersalah dan adil dijatuhi pidana penjara sebagaimana tersebut dalam amar

69

putusan dengan tanpa mengeasampingkan pembelaan Penasihat Hukum

Terdakwa;

Dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan dan

penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Karena Terdakwa ditahan dan penahanan terhadap Terdakwa dilandasi alasan

yang cukup, maka perlu ditetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

Terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan untuk selanjutnya

dipertimbangkan sebagai berikut statusnya ditentukan dalam amar putusan

perkara ini;

Sebelum menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu

dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang

meringankan Terdakwa yang ada pada diri dan/ atau perbuatan terdakwa yaitu

sebagai berikut :

a. Keadaan yang memberatkan

Perbuatan Terdakwa berpotensi menimbulkan kerusuhan dan keresahan

dalam masyarakat;

b. Keadaan yang meringankan

Terdakwa merasa bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi

perbuatannya, Terdakwa dan keluarganya sudah datang meminta maaf ke

Perkumpulan Batak, Bahwa Terdakwa berlaku sopan dipersidangan, Bahwa

Terdakwa belum pernah dihukum.

70

Karena Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah dibebani pula untuk

membayar biaya perkara. Menimbang, bahwa pleidoi Penasihat Hukum Terdakwa

sepanjang tidak bertentangan dengan pertimbangan Majelis Hakim diatas maka

dianggap dipertimbangkan dan terhadap pleidoi yang tidak sejalan dengan

pertimbangan Majelis Hakim dikesampingkan.

Memperhatikan Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun

2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan peraturan lain

yang berlaku dan bersangkutan.

10. Putusan Hakim

Menyatakan Terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal Abdi Memet

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan

sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan

rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu

berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)” melanggar Pasal

28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU

RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa Faisal Abdi Lubis Als Faisal

Abdi Memet dengan pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun dan 6 ( enam ) bulan

dan denda Rp. 20.000.000,-( dua puluh Juta rupiah) Subsidier 1 ( satu ) bulan

kurungan.

71

Menetapkan waktu selama Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan agar Terdakwa tetap dalam

tahanan.

Menetapkan barang bukti berupa; 1 (satu) Unit Handphone Xiomi Model

Redmi 4A IMEI Slot 1 : 862110039111582 IMEI Slot 2 : 862110039111590

Wana Pink. 1 (satu) Unit Handphone Polytron tipe C24B nomor seri 27A13962

IMEI slot 1 : 352970052716386 IMEI slot 2 : 3529700544823 warna White Red

dengan nomor Handphone 085364119422. 1 (satu) unit SIM Card Telkomsel

Nomor 081346215309 dengan nomor kartu 0525 0000 0528 1751.Dirampas untuk

dimusnahkan. 1 (satu) buah KTP Provinsi Sumatera Barat nomor

1207021303810012 atas nama Faisal Abdi Lubis. - 1 (satu) buah SIM A atas

nama Faisal Abdi Lubis nomor 810308170308. 1 (satu) buah KTP atas nama

Faisal Abdi Lubis NIK : 12070213038100012. 1 (satu) Kartu Perpustakaan atas

nama Faisal Abdi Lubis. 3 (tiga) lembar kwitansi pembayaran cicilan sepada

motor Mega Finance atas nama Faisal Abdi Lubis. 1 (satu) baju kaos berkerah

merk NEVADA size L warna Hitam kombinasi biru miik Faisal Abdi Lubis Als

Faisal Abdi Memet yang dikenakan dalam Foto Profil akun facebook Faisal Abdi.

Dikembalikan kepada terdakwa. 1 (satu) lembar print out facebook atas nam

Faisal Abdi yang bertuliskan“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya

kalo djoss nyungsep silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak

Tolol”.terlampir dalam berkas perkara. Membebani Terdakwa untuk membayar

biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

72

C. Analisis Implikasi Perubahan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi

Elektronik Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Pada dasarnya setiap pembaharuan pada suatu Undang-Undang memiliki

implikasi. Jika melihat implikasi perubahan Undang-Undang Informasi Dan

Transaksi Elektronik terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) yang

terdapat dalam perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menjadi

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik dapat dilihat dari segi putusan Majelis Hakim sebelum dan sesudah

dilakukannya perubahan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

putusan tersebut dapat dilihat dalam Putusan Nomor : 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK

dan Putusan Nomor: 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn.

Dalam hal putusan sebelum dilakukannya perubahan atau dengan kata lain

yang menjadi panduan Hakim dan Jaksa Penuntut Umum dalam memutus dan

menuntut terdakwa ialah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, dapat dilihat

dalam Putusan Nomor: 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK atas nama terdakwa Florence

Saulina Sihombing. Adapun yang menjadi kronologis kejadian sehingga terdakwa

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ujaran

kebencian (hate speech) awalnya pada hari Rabu tanggal 27 Agustus 2014 sekitar

pukul 14.00 WIB Terdakwa bermaksud mengisi bahan bakar di Pom Bensin

Lempuyangan, Baciro, Yogyakarta, pada saat itu Terdakwa mengantri untuk

membeli pertamax 95 dijalur mobil. Setelah Terdakwa mengantri dan Terdakwa

sampai dibagian paling depan tidak dilayani oleh petugas SPBU karena Terdakwa

menggunakan motor. Karena tidak dilayani, Terdakwa pulang ke kos Terdakwa

73

yang beralamat di Jl. Sri Gunting No 2 Demangan Baru, Yogyakarta, lalu

Terdakwa sempat melihat berita di media elektronik dan Terdakwa membaca

berita tentang antrean Terdakwa yang direkam oleh wartawan yang sedang

meliput kejadian di SPBU kemudian Terdakwa merasa emosi dan kecewa lalu

menulis status pada media sosial Path milik Terdakwa dengan nama akun

Flrorence Sihombing sekitar pukul 15.00 WIB dengan cara menggunakan telepon

genggam jenis I-phone 5c milik Terdakwa. Bahwa kata–kata yang ditulis (upload)

Terdakwa pada akun Path FLORENCE SIHOMBING yaitu :

“Jogja misikin, tolol dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung,

jangan mau tinggal di Jogja.”

Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Florence Saulina Sihombing

(terdakwa) Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan Pasal 27 ayat (3)

juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi Dan Transaksi Elektronik, karena Jaksa Penuntut Umum menganggap

bahwa atas postingan terdakwa terbukti secara dan meyakinkan telah memenuhi

atau memiliki muatan penghinaan terhadap individu atau kelompok tertentu.

Adapun yang menjadi subtansi Pasal yang didakwakan terhadap terdakwa yakni:

Pasal 27 ayat (3)

Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.

Pasal 45 ayat (1)

74

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat

(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).

Berdasarkan dakwaan yang didakwakan terhadap Florence Saulina

Sihombing selaku terdakwa, dan juga bukti-bukti yang dikumpulkan sepanjang

jalannya persidangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan

putusan, yang menyatakan bahwa terdakwa Florence Saulina Sihombing terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan

tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik melalui jaringan telekomunikasi

yang membuat penghinaan dan pencemaran nama baik. Sehingga majelis hakim

menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) bulan dan pidana

denda sejumlah Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabilan

pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Dan Majelis Hakim juga memutuskan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani,

kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan

karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama

6 (enam) bulan berakhir.

Atas putusan yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Yogyakarta tersebut, terdakwa melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi

Negeri Yogyakarta dan dalam memori bandinganya memohon agar, Menyatakan

Surat Dakwaan JPU No. Reg. Perkara PDM145/Euh.2/YOGYA/10/2014

tertanggal 28 Oktober 2014, tidak dapat diterima. Sehingga menyatakan Florence

Saulina Sihombing, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

75

tindak pidan sebagaimana didakwakan kepadanya, sehingga terdakwa dibebaskan

dari segala tuntutan hukum.

Atas memori banding yang diajukan oleh terdakwa Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi Negeri Yogyarkarta memutuskan bahwa menerima permintaan

banding dari Terdakwa Florence Saulina Sihombing dan Jaksa Penuntut Umum.

Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 31 Maret 2015

Nomor :328/Pid.Sus/2014/PN.Yyk. sekedar mengenai pidana denda berikut

pidana kurungan penggantinya yang dijatuhkan kepada terdakwa haruslah

dihapuskan, sedangkan amar selain dan selebihnya untuk dapat dikuatkan,

sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut. Menyatakan Terdakwa

Florence Saulina Sihombing tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana dengan dengaja dan tanpa hak

mendistribusikan informasi elektronik melalui jaringan telekomunikasi yang

memuat penghinaan dan pencemaran nama baik. Menjatuhkan pidana kepada

Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.

Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada

putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan

suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan berakhir .

Jika melihat putusan hakim terhadap pelaku atau terdakwa tindak pidana

ujaran kebencian (hate speech). menurut penulis bahwa putusan hakim relatif

lebih berat, hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Nomor

2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn atas nama terdakwa Faisal Abdi Lubis als Faisal

Abdi als Bombay ala Memet, adapun yang menjadi kronologis kejadian bahwa

76

pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018, terdakwa melihat sebuah status yang

menyatakan bahwa hasil perhitungan cepat Pemilihan Gubernur Sumatera Utara

tidak sesuai dengan fakta. Dan atas status tersebut kemudian terdakwa

mengomentari status tersebut pada kolom komentar dan menyatakan bahwa:

“Eramas Pasti Menang, Orang Batak jangan sedih ya kalo djoss nyungsep

silahkan makan kalian taik babi itu ha...ha... Batak Tolol.”

Berdasarkan hasil komen terdakwa pada kolom komentar, kemudian

terdakwa dilaporkan dan pada proses persidangan terdakwa di dakwa dengan

Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 Perubahan

Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dalam dakwaan tunggal.

Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Faisal Abdi Lubisa Als Faisal

Abdi Als Memet dengan pidana penjara selama 2 ( dua ) tahun dikurangi selama

terdakwa berada didalam tahanan dan denda Rp. 20.000.000,-( dua puluh Juta

rupiah )Subsidier 3 ( tiga ) bulan kurungan.

Atas dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa oleh Jaksa Penuntut

Umum, Majelis Hakim memutuskan bahwa menyatakan Terdakwa Faisal Abdi

Lubis Als Faisal Abdi Alias Memet terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan

atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar

golongan (SARA)” melanggar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 A ayat (2) UU RI No.

19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, sehingga

Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa Faisal Abdi Lubis

77

als Memet dengan pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun dan 6 ( enam ) bulan dan

denda Rp. 20.000.000,-( dua puluh Juta rupiah) Subsidier 1 ( satu ) bulan

kurungan; menetapkan waktu selama Terdakwa berada dalam tahanan

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan agar Terdakwa

tetap dalam tahanan.

Berdasarkan kedua contoh kasus diatas, yang dimana contoh kasus

sebelum dan sesudah dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik dalam Putusan Nomor 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK dan

Putusan Nomor: 2429/Pid.Sus/2018/PN.Mdn. maka dapat dipahami bahwa

implikasi perubahan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik, jika

dilihat dari segi subtansi ancaman pidana tetaplah sama yakni, maksimal pidana

penjara selama 6 tahun dan denda paling banyak 1.000.000.000,00 (Satu Milyar

Rupiah). Namun jika dilihat dari segi putusan Majelis Hakim sesudah dilakukan

perubahan UU ITE bahwa, hukuman yang di putuskan oleh Majelis Hakim relatif

lebih berat jika dibandingkan sebelum dilakukannya perubahan. Menurut penulis

bahwa hal tersebut dilakukan untuk mereduksi tindakan tindak pidana ujaran

kebencian (hate speech) yang semakin marak terjadi, yang dilakukan dalam dunia

informasi dan transaksi elektronik yang berpotensi mengakibatkan atau

menimbulkan kerusuhan dan keresahan di dalam masyarakat.