bab ii tinjauan pustaka diskripsi burung puyuheprints.mercubuana-yogya.ac.id/5162/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diskripsi Burung Puyuh
Puyuh termasuk dalam klasifikasi bangsa burung. Ciri-ciri umumnya
adalah tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek, dapat
diadu, dan bersifat kanibal. Coturnix-coturnix japonica merupakan salah satu
jenis puyuh yang lazim diternakkan (Listiyowati dan Rospitasari, 1999).
Menurut Nugroho dan Mayun (1986) ciri-ciri karakteristik dari burung
puyuh Coturnix-coturnix japonica seperti yang terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Coturnix coturnix japonica (kiri : jantan, kanan : betina)
7
7
Bentuk tubuhnya lebih besar dari burung puyuh yang lain, badannya bulat,
ekornya pendek, paruhnya pendek dan kuat, tiga jari kaki menghadap
kedepan dan satu jari kaki ke arah belakang;
Pertumbuhan bulunya lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu;
Jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat
badannya;
Burung puyuh jantan dewasa bulu dadanya berwarna merah sawo matang
tanpa adanya belang serta bercak-bercak hitam;
Burung puyuh betina dewasa bulu dadanya berwarna merah sawo matang
dengan garis-garis atau belang-belang hitam;
Suara burung puyuh jantan lebih keras;
Burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun.
Berat telurnya sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.
Salah satu hasil utama ternak puyuh adalah telur. Kemampuan seekor
puyuh dalam menghasilkan telur adalah 250 sampai 300 butir dalam satu tahun
(Listiyowati dan Rospitasari, 1999). Bobot telur semakin meningkat secara
gradual seiring pertambahan umur puyuh. Menurut Santos et al. (2011), rataan
bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh. Suhu lingkungan dan konsumsi
pakan juga dapat mempengaruhi bobot telur. Peningkatan suhu lingkungan dapat
menurunkan ukuran telur dan kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1990).
Yuwanta (2010) menyatakan bahwa berat telur puyuh adalah antara 8-10 g. Puyuh
yang berumur 8-9 minggu pada lingkungan dengan suhu 22,5-32° C dengan
pemberian pakan mengandung protein 22%, menghasilkan telur dengan bobot 9,2
8
8
g. Menurut Eishu (2005), puyuh berumur 20-21 minggu dan 31-32 minggu
dengan pemberian pakan mengandung protein 22% menghasilkan telur dengan
bobot 10,1 g, dan 11,0 g.
Usaha peternakan burung puyuh sangat tergantung pada pemeliharaan,
kebersihan lingkungan dan pengendalian penyakit. Dalam pemeliharaan
peternakan burung puyuh, selain makanan dan tata laksana, faktor bibit
merupakan hal yang penting untuk mendapatkan performa produksi yang
maksimal (Helinna dan Mulyantono, 2002). Puncak produksi dapat mencapai
80% namun peternak mulai gelisah dengan terjadinya inbreeding yang terus-
menerus, apabila tidak ada rotasi pejantan atau memasukkan pejantan baru pada
suatu peternakan. Pada peternakan yang tidak terjadi regenerasi dengan bibit yang
baru dapat menyebabkan penurunan produksi (Setiawan, 2006).
Puyuh yang dipersiapkan sebagai induk petelur bibit sebaiknya yang telah
lolos dari seleksi masa starter sampai masa layer. Puyuh yang terseleksi harus
puyuh yang sehat, tubuhnya tegap, bobot sedang antara 1,5-6 ons, dada berisi, dan
kaki terbuka (Istiamuji, 2011). Menurut Sugiharto (2005), untuk menghasilkan
telur tetas yang baik usia puyuh betina yang tepat digunakan sebagai induk adalah
sekitar 16-40 minggu (4-10 bulan) dan usia pejantan adalah 8-24 minggu (2-6
bulan).
Pemeliharaan puyuh yang dilakukan dengan baik dan intensif akan
menghasilkan puyuh yang mencapai dewasa kelamin rata-rata pada umur enam
minggu dan produktif sampai umur lebih dari 16 bulan. Jika perawatan yang
9
9
dilakukan kurang baik maka produktivitas puyuh betina hanya sampai umur 6-8
bulan saja untuk kemudian diafkir. Tanda-tanda puyuh betina yang dapat diafkir
adalah rontoknya bulu-bulu dipunggung dan kepalanya. Sedangkan puyuh jantan
masih cukup kuat mengawini puyuh-puyuh betina sampai umur dua tahun.
(Istiamuji, 2011). Selain itu menurut Indartono dkk. (2002), perbandingan jantan
dan betina yang optimal diperlukan untuk memperoleh produksi yang maksimal
dan ekonomis.
Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa perbandingan jantan dan betina
pada burung puyuh mempengaruhi fertilitas telur. Perbandingan burung puyuh
jantan dengan betina yang makin kecil akan menurunkan ferlititas. Fertilitas yang
tinggi dicapai jika dalam satu kandang terdapat burung puyuh jantan dan burung
puyuh betina dengan perbandingan satu banding dua. Panda dkk. (1980)
menyatakan bahwa daya tetas telur 73,78% pada perbandingan jenis kelamin
jantan dan betina satu banding dua. Junurmawan (1983) mengemukakan fertilitas
tertinggi dihasilkan dari perbandingan burung puyuh jantan dengan betina satu
banding satu. Dilapangan penggunaan pejantan dalam satu kandang koloni adalah
lebih dari satu dan perbandingan jantan yang biasa digunakan satu banding empat.
Indikator Keberhasilan Dalam Pembibitan
Indikator keberhasilan dalam penetasan pada program pembibitan
mencangkup 4 aspek yakni: 1). Berat telur, 2). Fertilitas, 3).Daya tetas dan 4).
Bobot tetas.
10
10
1. Bobot telur
Bobot telur tetas sangat tergantung dari banyak faktor antara lain jenis
unggas, pakan, lingkungan dan lain-lain (Suprijatna dkk., 2010). Menurut Lestari
dkk. (1994) bobot telur ternyata dapat digunakan sebagai indikator bobot tetas,
dimana telur lebih berat akan menghasilkan DOC yang lebih berat.
Wardiny (2002) menyatakan bahwa telur yang mempunyai berat lebih
besar akan menghasilkan bobot tetas yang yang lebih besar dibandingkan dengan
telur yang kecil, tetapi telur yang besar akan menetas lebih lambat. Akan tetapi
tidak selamanya bobot telur berkorelasi positif dengan bobot tetas, jika telur yang
ditetaskan disimpan lebih dari tujuh hari. Hal ini disebabkan adanya penguapan
cairan dari dalam telur, sehingga bobot telur menjadi turun.
2. Fertilitas
Fertilitas diartikan sebagai persentase telur-telur yang memperlihatkan
adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang ditetaskan tanpa
memperhatikan telur tersebut menetas atau tidak (Sinabutar, 2009).
Marhiyanto (2000) menyatakan bahwa untuk mengetahui fertil tidaknya
telur dapat dilakukan dengan menggunakan alat candling serta cangkang telur
harus bersih dan tidak retak. Pada telur fertil akan terlihat perkembangan embrio
yang ditandai dengan adanya pembuluh darah menyerupai akar serabut tanaman
pada kuning telur sewaktu candling. Telur infertil tidak terdapat perkembangan
embrio didalam kuning telur dan terlihat bening. Untuk mengetahui jumlah
keseluruhan telur fertil dilakukan dengan cara memecahkan telur yang tidak
11
11
menetas dan menghitung jumlah telur yang mengalami pembuahan (berwarna
keruh coklat kemerahan), kemudian dijumlahkan dengan telur yang menetas.
North and Bell (1992), persentase fertilitas dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Fertilitas =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑓𝑒𝑟𝑡𝑖𝑙
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑟𝑎𝑚𝑖𝑥100%
3. Daya tetas
Daya tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor genetik, suhu dan
kelembaban, umur induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas telur
(Sutiyono dkk., 2006). Penyimpaan telur yang terlalu lama dapat menurunkan
daya tetas telur. Telur-telur yang disimpan daya tetasnya akan menurun, kira-kira
3% tiap tambahan sehari. Telur yang disimpan dalam kantung plastik PVC
(Polyvinylidene Chloride) dapat tahan lebih lama, kira-kira 13-21 hari
dibandingkan telur yang tidak disimpan dalam kantung plastik PVC (Apriawan,
2017).
Menurut Nugroho dan Manyun (1986), biasanya telur yang disimpan
dalam kantung plastik ini daya tetasnya juga lebih tinggi daripada telur yang
disimpan dalam ruangan terbuka. Menurut Kartasudjana (2006), faktor yang
mempengaruhi daya tetas pada ayam petelur sebagai berikut:
A. Inbreeding
Sistem perkawinan yang sangat dekat hubungan keluarganya tanpa disertai
seleksi ketat, umumnya menyebabkan daya tetas yang rendah.
12
12
B. Produksi telur
Ayam petelur dengan produksi tinggi akan menghasilkan telur dengan
daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang produksinya
rendah.
C. Umur induk.
Fertilitas dan daya tetas umumnya sangat baik pada produksi tahun
pertama. Semakin tua induk maka daya tetas semakin menurun.
D. Tatalaksana pemeliharaan.
Kondisi kandang; Ayam petelur yang sering mengalami suhu yang
ekstrim panas/dingin, menghasilkan telur tetas yang rendah.
Ransum; Jika ransum kekurangan Ca (kalsium) maka kulit telur
yang dihasilkan akan lembek dan daya tetasnya rendah.
E. Penyimpanan telur.
Telur tidak boleh disimpan lebih dari satu minggu untuk
mempertahankan daya tetasnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan
untuk mempertahankan daya tetas telur selama penyimpanan sebagai
berikut:
Suhu penyimpanan; Sebaiknya suhu ruang penyimpanan tidak
lebih tinggi dari pada suhu untuk perkembangan embrio. Suhu saat
embrio mulai berkembang disebut sebagai physiological zero, yaitu
75⁰F (24⁰C). Apabila suhu ruangan penyimpanan diatas suhu
physiological zero maka telur tetas yang disimpan jika telah
dibuahi akan berkembang. Ruangan penyimpanan telur berkisar
13
13
65⁰F (18,3⁰C). Namun jika suhu tidak mampu menyediakan panas
optimal untuk pertumbuhan embrio maka embrio, mengalami
kegagalan. Suhu optimal untuk penetasan unggas adalah sekitar
99,5⁰F (37,5⁰C);
Kelembapan penyimpanan; Selama penyimpanan dari bagian
dalam telur akan terjadi penguapan yang menyebabkan rongga
udara dalam telur menjadi besar. Kelembapan untuk penyimpanan
telur yang baik yaitu 75-80%;
Lama penyimpanan; Bila telur terlalu lama disimpan maka daya
tetas akan menurun. Lama penyimpanan telur yang baik yaitu
sekitar 1-4 hari. Untuk penetasan baiknya tidak lebih dari 7 hari;
Posisi telur selama penyimpanan; Telur sebaiknya ditempatkan
pada egg tray, dengan bagian tumpul ditempatkan di atas. Hal ini
bertujuan agar ruang udara pada telur tetap pada tempatnya;
Pemutaran telur selama penyimpanan; Telur yang disimpan lebih
dari satu minggu sebaiknya diputar dengan total pemutaran 90⁰.
Sementara telur yang disimpan kurang dari satu minggu, tidak
perlu pemutaran.
North (1978) menyatakan bahwa daya tetas adalah persentase jumlah telur
yang menetas dari sejumlah telur fertil yang ditetaskan. Menurut North and Bell
(1992), persentase daya tetas dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Daya Tetas =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑓𝑒𝑟𝑡𝑖𝑙𝑥100%
14
14
4. Bobot tetas
Bobot tetas merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha pembibitan.
Untuk mendapatkan berat tetas yang baik, perlu dilakukan seleksi telur dengan
baik seperti memilih telur dari induk yang sehat (Wibowo dan Jafendi, 1994).
Menurut Septiwan (2007), berat tetas merupakan DOQ sesaat setelah menetas.
Berat tetas sangat dipengaruhi oleh berat telur. Semakin tua induk puyuh dan
semakin besar telur yang ditetaskan, maka berat tetas yang dihasilkan akan
semakin besar pula.
Berat tetas juga dipengaruhi oleh genetik dan pakan induk. Rahayu (2005)
menyatakan bahwa ayam yang ditetaskan dari telur yang kecil, bobotnya akan
lebih kecil dibandingkan dengan ayam yang berasal dari telur yang besar. Hal ini
terjadi karena telur mengandung nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, mineral dan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan selama pengeraman.
Nutrisi ini juga berfungsi sebagai cadangan makanan untuk beberapa waktu
setelah anak ayam menetas.
Vitamin E
Vitamin ini ditemukan oleh Evans dan Bishop pada tahun 1920. Asal kata
vitamin E atau tokopherol adalah bahasa Griek “Tokos” yang artinya kelahiran
“Pherein” yang artinya mengandung atau membawa, menggunakan akhiran ol
karena vitamin ini membawa suatu senyawa sterol.
Vitamin E pertama kali diisolasi pada tahun 1922 sebagai suatu faktor dari
minyak sayur-sayuran yang menyembuhkan infertilitas pada tikus jantan dan
15
15
betina yang tumbuh dengan suatu diet susu. Karena keterkaitan dengan
reproduksi, maka vitamin ini diberi nama tokoferol, dari kata Yunani tokos, berarti
hamil muda (Armstrong, 1995). Jadi vitamin E atau tokoferol adalah vitamin yang
penting artinya bagi proses reproduksi atau kelangsungan keturunan.
1) Susunan kimia dan sifat vitamin E
Vitamin E terdiri dari dua grup: tokoferol dan tokotrienol, keduanya
disebut tokokromanol. Tokokromanol terdiri dari struktur cincin kromanol dan
rantai cabang poliprenil yang jenuh (pada tokoferol) dan 3 ikatan ganda tak jenuh
(pada tokotrienol) (Gambar 2).
Gambar 2. Struktur Tokoferol dan Tokotrienol
(Sumber: Vasanthi et al., 2012)
Jumlah dan posisi grup metil pada cincin kromanol α-, β-, γ-, dan δ- tertera pada
tabel 1.
16
16
Tabel 1. Jumlah dan posisi grup metil pada cincin kromanol α-, β-, γ-, dan δ-.
R1 R2 Tipe Keterangan
CH3 CH3 α Alfa
H CH3 Β Beta
CH3 H Γ Gama
H H Δ Delta
(Sumber: Vasanthi et al., 2012)
Vitamin ini secara alami memiliki 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4
tokoferol α-, β-, γ-, dan δ-, dan 4 tokotrienol α-, β-, γ-, dan δ- homolog. tergantung
pada jumlah dan posisi grup metil pada cincin kromanol (Winarsa dan Herry,
2007). Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak yang
memiliki fungsi utama sebagai antioksidan (Stickel et al., 1997). Vitamin E
mempunyai kemampuan untuk melindungi jaringan dari destruksi oksidasi
(Prawirokusumo, 1991).
Vitamin E sintetik yang dijual secara komersial biasanya berwarna kuning
muda hingga kecoklatan. Adapun rumus kimia dari vitamin E adalah C29H50O2.
Vitamin ini terdapat dalam bagian makanan yang berminyak, dan dalam tubuh
hanya dapat dicerna oleh empedu, dan hati, karena tidak larut dalam air. Vitamin
E bersifat tidak larut dalam air, sukar larut dalam alkali, etanol (95%), ether,
aseton dan minyak nabati, sangat mudah larut dalam kloroform (Soesilo, 1995).
2) Manfaat vitamin E dalam pembibitan unggas
Terdapat banyak vitamin yang dibutuhkan oleh ternak unggas untuk dapat
berproduksi dengan baik salah satunya adalah vitamin E. Istilah vitamin E biasa
digunakan untuk menyatakan setiap campuran tokoferol yang aktif secara
biologik.
17
17
Vitamin E berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan didalam
tubuh, mulai dari jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Nilai
kesehatan ini terkait dengan kerja vitamin E didalam tubuh sebagai senyawa
antioksidan alami. Sebagai suatu antioksidan intraseluler yang larut dalam lemak,
maka fungsi utama vitamin E adalah melindungi membran sel (Tabbu, 2010).
Gammanpila et al. (2007) menyatakan bahwa vitamin E adalah salah satu
mikronutrien penting yang berpengaruh terhadap performa reproduksi.
Menurut Suharyati dan Hartono (2011), vitamin E dapat mempertahankan
asam lemak yang diperlukan dalam pembentukan prostaglandin yang merupakan
mediator hormon gonadotropin. Vitamin E mampu mencegah kerusakan
spermatozoa pada ternak jantan dan menjaga perkembangan zigot pada ternak
betina. Pada proses spermatogenesis, vitamin E berfungsi sebagai antioksidan
yang mampu menetralkan radikal bebas hasil metabolisme aerob (Ogbuewu et al.,
2010). Flohe dan Traber (1999) menyatakan bahwa vitamin E sangat esensial
untuk reproduksi. Apabila digunakan secara rutin sebagai suplemen maka vitamin
E dapat meningkatkan pertumbuhan dan menjaga perkembangan zigot.
Unggas tidak dapat mensintesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus
memperolehnya dari makanan. Lin et al. (2005), menyatakan bahwa penambahan
vitamin E 80 mg/kg dalam pakan burung puyuh dapat meningkatkan produksi
telur, fertilitas, dan daya tetas telur. Hasil penelitian Iriyanti et al. (2005),
menyatakan bahwa penambahan vitamin E sebesar 30 mg/kg dalam ransum ayam
kampung ternyata dapat meningkatkan fertilitas dari 76,6% menjadi 87,07%.
18
18
Ketersediaan vitamin E dalam pakan yang diberikan kepada ternak unggas
sangat penting diperhatikan. Oleh karena itu dilakukanlah penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh penambahan vitamin E terhadap nilai pertambahan
persentase daya tetas telur dan jumlah kebutuhan level dosis penambahan bagi
unggas pembibit. Menurut Widodo (2012), Jumlah kebutuhan Vitamin E pada
burung puyuh fase grower sebesar 12 IU, dan untuk fase breeder sebanyak 25 IU.
Tabbu (2010) menyatakan bahwa defisiensi vitamin E terjadi bila asupan
kurang atau absorbsi terganggu. Malabsorbsi lemak juga dapat menimbulkan
defisiensi vitamin E, karena pembawa vitamin ini adalah lemak. Kekurangan
vitamin ini dapat menyebabkan tubuh tidak bertenaga, aktifitas seksual menurun,
deposit lemak yang tidak normal di otot, perubahan degenerasi dihati dan otot.
Defisiensi vitamin E akan menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dan
perubahan pada permeabilitas kapiler. Defisiensi vitamin E pada ayam bibit dapat
mengakibatkan adanya peningkatan mortalitas embrio pada stadium awal masa
inkubasi (biasanya sekitar hari ke-4). Gejejala Klinik:
Pada ayam dewasa yang mengkonsumsi vitamin E dosis sangat rendah
selama waktu yang panjang tidak ditemukan adanya gejala tertentu.
Meskipun demikian, daya tetas telur ayam bibit yang menderita defisiensi
vitamin E akan menurun secara nyata.
Ayam bibit jantan yang menderita kekurangan vitamin E dalam waktu
yang panjang dapat mengalami degenerasi testikular.
Pencegahan penyakit defisiensi vitamin E dilakukan dengan cara
menggunakan bahan baku pakan yang berkualitas tinggi, menghindari
19
19
penyimpanan pakan yang sudah dicampur lebih dari empat minggu, serta
menggunakan lemak yang stabil dalam pakan (Fadilah, 2010).
Fungsi utama vitamin E sebagai antioksidan dalam tubuh, apabila
dikonsumsi secara berlebihan akan menyebabkan ketidak seimbangan antara
jumlah antioksidan dengan radikal bebas. Antioksidan hanya akan berfungsi
ketika ada senyawa pro-oksidan (pemicu proses oksidasi) dalam tubuh. Ketika
dosis antioksidan dan pro-oksidan tidak seimbang maka tubuh akan membentuk
senyawa pro-oksidan untuk menyeimbangkan kadarnya dengan antioksidan, dan
hal ini akan membuat sel-sel radikal bebas tidak bisa diperbaiki lagi (Sayuti dan
Rina, 2015).
Hipotesis
Semakin tinggi penambahan vitamin E dalam ransum burung puyuh, maka
semakin tinggi kualitas telur tetas yang dihasilkan.