bab ii tinjauan pustaka -...

23
5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena semikonduktivitas pada material dalam perspektif mekanika gelombang yang menjadi landasan kemunculan celah energi pada semikonduktor. Kemudian dijelaskan pula material berstruktur perovskit, dalam hal ini stronsium titanat (STO), ditinjau dari transormasi fasa serta aplikasinya. Stronsium titanat (STO) merupakan material semikonduktor yang cukup banyak dikaji. Kesederhanaan dalam struktur dan komposisi menjadikan STO mudah untuk dimodifikasi dan dibuat suatu cacat dalam sistem kristalnya. Adanya cacat ini dapat menjelaskan fenomena luminesens pada material seperti yang akan dipaparkan pada bagian II.4. Selanjutnya dijelaskan pula penggunaan irradiasi ultrasonik dalam reaksi kimia. Meskipun metode ini relatif baru digunakan, akan tetapi penggunaannya sudah cukup luas. Mekanisme kavitasi yang dijelaskan pada bagian II.5.2 memberikan pandangan mengenai bagaimana reaksi kimia dapat terjadi dengan adanya irradiasi ultrasonik. II.1 Celah Energi Pada anopartikel Sudah sejak lama dunia sains molekuler yang berukuran nano (1 nm = 10 Å) mendapat perhatian besar dalam ilmu kimia. Material dengan skala ukuran yang terletak pada daerah ‘‘fuzzy interface’’ antara besar dan kecil muncul sebagai material nano dan telah berkembang menjadi satu bidang kajian yang sangat menarik. Salah satunya adalah karena aplikasi material nano pada bidang elektronik, kedokteran, dan lingkungan. Temuan-temuan material berukuran nano, terutama semikonduktor, menjadi topik penelitian yang cukup maju. Misalnya untuk transistor yang digunakan dalam rangkaian elektronika, terutama silikon, merupakan bahan yang terbuat dari bahan semikonduktor. Selain itu, bahan semikonduktor, terutama jenis senyawa golongan III dan V, juga dapat dipakai untuk membuat piranti elektronik yang

Upload: phungminh

Post on 01-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

5

Bab II

Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena semikonduktivitas pada material

dalam perspektif mekanika gelombang yang menjadi landasan kemunculan celah

energi pada semikonduktor. Kemudian dijelaskan pula material berstruktur

perovskit, dalam hal ini stronsium titanat (STO), ditinjau dari transormasi fasa

serta aplikasinya. Stronsium titanat (STO) merupakan material semikonduktor

yang cukup banyak dikaji. Kesederhanaan dalam struktur dan komposisi

menjadikan STO mudah untuk dimodifikasi dan dibuat suatu cacat dalam sistem

kristalnya. Adanya cacat ini dapat menjelaskan fenomena luminesens pada

material seperti yang akan dipaparkan pada bagian II.4.

Selanjutnya dijelaskan pula penggunaan irradiasi ultrasonik dalam reaksi kimia.

Meskipun metode ini relatif baru digunakan, akan tetapi penggunaannya sudah

cukup luas. Mekanisme kavitasi yang dijelaskan pada bagian II.5.2 memberikan

pandangan mengenai bagaimana reaksi kimia dapat terjadi dengan adanya

irradiasi ultrasonik.

II.1 Celah Energi Pada $anopartikel

Sudah sejak lama dunia sains molekuler yang berukuran nano (1 nm = 10 Å)

mendapat perhatian besar dalam ilmu kimia. Material dengan skala ukuran yang

terletak pada daerah ‘‘fuzzy interface’’ antara besar dan kecil muncul sebagai

material nano dan telah berkembang menjadi satu bidang kajian yang sangat

menarik. Salah satunya adalah karena aplikasi material nano pada bidang

elektronik, kedokteran, dan lingkungan.

Temuan-temuan material berukuran nano, terutama semikonduktor, menjadi topik

penelitian yang cukup maju. Misalnya untuk transistor yang digunakan dalam

rangkaian elektronika, terutama silikon, merupakan bahan yang terbuat dari bahan

semikonduktor. Selain itu, bahan semikonduktor, terutama jenis senyawa

golongan III dan V, juga dapat dipakai untuk membuat piranti elektronik yang

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

6

mengeluarkan cahaya seperti laser dan LED (Light Emitting Diode). Bersama

dengan silikon, semikonduktor yang terbuat dari unsur-unsur golongan III-V juga

merupakan salah satu teknologi kunci di bidang teknologi informasi belakangan

ini.(15,16)

Konduktivitas bahan dapat diubah dengan cara sengaja memasukkan elemen lain

ke dalam kristal semikonduktor. Teknik ini biasa disebut dengan istilah doping

atau penyisipan. Kristal nano yang disisipi mampu mengungkapkan sifat-sifat

berbeda, seperti sifat optiknya, pada rentang ukuran yang berbeda.(6)

Konduktivitas pada material kristalin salah satunya ditandai dengan besarnya

celah energi, yaitu celah yang terletak di antara pita valensi yang berisi elektron

penuh dengan pita konduksi yang kosong. Celah energi ini berkaitan dengan sifat

luminesens material: eksitasi tahap pertama pada semikonduktor adalah pada

elektron di bawah pita konduksi dan hole pada pita valensi bagian atas.(16) Ilustrasi

diagram energi pada suatu material semikonduktor dapat di lihat pada

Gambar II.1.

Seperti telah diketahui bahwa solusi Schrödinger untuk elektron bebas (1 dimensi)

merupakan gelombang datar yang diberikan oleh Persamaan:

ψ(x, t) = exp (±ikx − iωt) (II. 1)

Gambar II.1 Diagram energi (kurva dispersi) untuk semikonduktor langsung (a) dan tidak langsung (b). Pada semikonduktor tidak langsung, panjang gelombang cahaya cukup besar, transisi optis ditunjukkan oleh tanda panah vertikal, maka relaksasi tidak terjadi pada daerah yang sama (forbidden zone).

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

7

k merupakan bilangan gelombang (atau dalam gerak 3 dimensi menyatakan vektor

gelombang). Sementara E = ħω (energi kinetik elektron). Disini kita dapat

menyatakan korelasi antara k dan E (mengingat p = ħk) maka:

E = p2/2m (II. 2)

E = ħ2k2/(2m) (II. 3)

Solusi Schrödinger serta hubungan antara k dan E berlaku juga untuk elektron

pada pita konduksi tetapi massanya harus diganti dengan massa elektron efektif,

mµ, karena sebenarnya interaksi antar elektron dengan potensial periodik dalam

kristal harus dimasukkan ke dalam Persamaan Schrödinger. Selain, itu akan

timbul celah energi pada k = ±n(π/a). Hal ini timbul karena gelombang pantul dari

satu atom dalam kisi yang linier berinterferensi dengan gelombang pantul dari

atom tetangga terdekatnya dengan beda fasa 2π. Berarti dalam daerah ini

solusinya ialah gelombang berdiri.(15)

Lebih lanjut, ada dua gelombang berdiri yang berbeda yang dapat dibentuk dari

gelombang berjalan exp(+iπx/a) dan exp(−iπx/a), yaitu:

ψ (+) = exp(+iπx/a) + exp(−iπx/a) (II. 4)

ψ (−) = exp(+iπx/a) − exp(−iπx/a) (II. 5)

Dari solusi ini, kerapatan elektron dapat dicari:

ρ(+) = | ψ (+)|2 ≈ cos2(πx/a) (II. 6)

ρ(−) = | ψ (−)|2 ≈ sin2(πx/a) (II. 7)

ternyata solusi ini menumpukan elektron pada daerah yang berlainan relatif

terhadap kedudukan ion-ionnya sehingga energi potensialnya berbeda. Hal inilah

yang menimbulkan loncatan energi sehingga timbul celah energi pada k = ±(π/a).

Analisis lebih teliti mengenai solusi Persamaan Schrödinger dalam potesial

periodik telah dilakukan oleh Bloch.(17) Ia mendapatkan solusi untuk potensial

periodik 1-dimensi sebagai berikut:

ψ (x) = exp(ik.x) uk(x) (II. 8)

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

8

dengan k = (2πg/(9a)); g = 0, 1, 2, ....,9 − 1; 9 = banyaknya titik kisi;

uk(x) = fungsi periodik dengan periodisitas potensialnya. Namun, hubungan E dan

k tetap seperti pada Persamaan II.3 dan kesimpulan bahwa terjadi penumpukan

elektron pada daerah yang berlainan relatif terhadap kedudukan ionnya untuk

harga k = ±(π/a) tetap berlaku. Dengan teorema Bloch, fungsi gelombang krisal

dalam skala makroskopik yang jumlah atomnya sama dengan bilangan Avogadro

dapat ditentukan dengan membuat solusi untuk Persamaan Scrödinger ke dalam

satu unit sel.(15)

Dengan memanfaatkan teorema Bloch, kita dapat mempelajari pengaruh dari

potensial periodik pada hubungan E-k pada elektron konduksi. Untuk tujuan ini,

digunakan model Kronig–Penney yang cukup representatif. Model ini

mengasumsikan suatu sumur potensial yang periodik dalam ruang 1-dimensi

(Gambar II.2) di mana elektron memiliki Persamaan gelombang:

(II. 9)

Untuk daerah 0 < x ≤ a, Persamaan ini memiliki solusi sebagai berikut:

(II. 10)

dan

(II. 11)

Gambar II. 2 Sumur potensial periodik dari model Kronig-Penney.

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

9

Sementara untuk daerah –b < x ≤ 0, tergantung pada besarnya energi elektron

konduksi. Asumsikan bahwa tingginya yang potensial Vo lebih tinggi dibanding

energi dari elektron, Vo > E. Fungsi gelombang ditulis:

(II. 12)

Di mana ħβ= . Dengan cara yang sama, fungsi gelombang pada

daerah 0 < x ≤ a dituliskan sebagai:

(II. 13)

Karena sumur potensial memiliki keperiodikan maka fungsi gelombangnya harus

sesuai dengan teorema Bloch, sehingga untuk dua fungsi gelombang yang

dipisahkan oleh jarak interatomik (a) dihubungkan oleh:

ψ (x+a) = exp(ik.a) ψ (x) (II. 14)

dengan memberikan fungsi gelombang dan membuat derivat dari Persamaan II.14,

maka daerah pada x=0 dan a=0 dapat dihubungkan dengan baik. Dengan

demikian, kita memperoleh empat Persamaan linear homogen dari daerah batas.

Solusi-solusi non-trivial dapat diperoleh jika determinan dari masing-masing

koefisien dihilangkan. Persamaan determinan menghasilkan:

(II. 15)

Persamaan II.15 terlalu kompleks untuk difahami secara fisik. Sumur potensial

yang periodik dapat digantikan oleh suatu fungsi periodik delta dengan

pengambilan batas-batas b�0 dan Vo�0 dengan menjaga β2b terbatas. Dengan

menggunakan suatu parameter yang baru seperti:

(II. 16 )

Maka Persamaan II.15 dapat direduksi menjadi

(II. 17)

Persamaan II.17 adalah suatu Persamaan yang transendental dan tidak dapat

dipecahkan secara analitis.(15) Analisa menggunakan grafik dapat menyaring

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

10

informasi penting di dalam model Kronig–Penney. Parameter P di dalam

Persamaan II.17 ditentukan sama kepada nilai yang sembarang P=3π/2. Ruas kiri

Persamaan II.17 dilihat pada Gambar II.3 sebagai fungsi αa. Karena ruas kanan

Persamaan II.17 merupakan suatu fungsi kosinus, nilai di dalam ruas kiri harus

berada -1 sampai 1. Dengan kata yang lain, solusi yang diizinkan untuk

Persamaan II.17 hanya ditemukan pada daerah yang ditandai oleh garis tebal

dalam Gambar II.3.(17)

Gambar II.3 Fungsi yang muncul dari Persamaan II.17 pada model Kronig-

Penney. Daerah yang diperbolehkan dibatasi pada daerah -1 sampai 1, oleh karena itu nilai dari αa yang diizinkan hanya pada daerah yang ditandai dengan garis tebal.

Gambar II.4 Hubungan E-K dari model Kronig-Penney. Kurva putus-putus

menunjukkan pita elektron bebas.

Nilai minima dan maksima dari nilai αa yang diizinkan berasal dari kondisi

cos kα=±1, yang menghasilkan k=nπ/a, (n=±1, ±2,…). Gambar II.4 menunjukkan

hubungan E–k menyimpang dari parabola elektron bebas yang diberikan oleh

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

11

Persamaan gelombang untuk tiga dimensi dan satu diskontinuitas energi muncul

pada setiap k=nπ/a, (n=±1, ±2,…). Dapat dilihat bahwa terdapat daerah energi di

mana elektron tidak diizinkan berada pada daerah itu. Setiap daerah energi ini

disebut pita energi terlarang. Pita energi terlarang ini muncul sebagai suatu hasil

dari interaksi dari elektron konduksi dengan potensial periodik dari kisi kristal.

Stronsium titanat (STO) merupakan material keramik dengan fasa paraelektrik

yang baik. Material ini memiliki celah energi sekitar 3,4 eV dan memiliki struktur

dasar perovskit. STO dapat digunakan sebagai material induk dalam komponen

elektronik seperti LED. Kita bisa mendapatkan sifat optik (luminesens) yang

berbeda dengan pengaturan ukuran atau penyisipan luminofor berupa kation dari

golongan logam tanah jarang. Dalam material berukuran nano, berkurangnya

ukuran partikel berdampak pada beberapa hal, di antaranya:(16)

1. Diskritisasi keadaan energi pada pita konduksi dan pita valensi.

2. Pergeseran biru (blue shift) pada transisi optis, yang meningkat seiring

dengan confinement.

II.2 Quantum Confinement

Perhatian besar pada struktur material berdimensi rendah (low-dimensional

semiconductor) seperti quantum well (2D), quantum wire (1D) dan quantum dot

(0D) mulai berkembang pesat. Struktur seperti ini adalah pembuka jalan ke era

fabrikasi nanoteknologi dan divais kuantum.

Quantum confinement terjadi ketika satu atau lebih dimensi dari nanokristal dibuat

sangat kecil sehingga mendekati ukuran eksiton dalam bulk kristal, yang disebut

jari-jari eksiton Bohr. Pada material semikonduktor, quantum confinement

elektron dan hole dalam ukuran nano menyebabkan kebergantungan celah pita

energi partikel terhadap ukuran. Makin kecil ukuran partikel maka makin besar

celah pita energinya.(18)

Telah diketahui bahwa bila elektron dikurung dalam daerah potensial dengan

dimensi yang sama dengan panjang gelombangnya maka akan muncul sifat

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

12

gelombang elektron dan berbagai fenomena kuantum akan dapat diamati.

Beberapa fenomena kuantum dapat mengurangi performa dari perangkat,

sedangkan fenomena yang lain dapat memacu terciptanya divais kuantum yang

baru. Beberapa perangkat kuantum seperti wire-transistor dan single-elektron

transistor sudah berhasil dibuat dan menunjukkan kinerja yang tinggi.

Permasalahan yang timbul dari perangkat yang dibuat berdasarkan struktur

semikonduktor dimensi rendah ini adalah arus drive yang rendah sehingga masih

sulit untuk diaplikasikan. Secara umum, permasalahan yang dihadapi perangkat

kuantum ini adalah operasi kerjanya yang masih harus dilakukan pada temperatur

rendah (seperti temperatur helium cair : 4,2 K) agar dapat diamati fenomena

kuantum secara jelas.(18) Material STO misalnya mengalami transisi fasa

feroelastik pada temperatur -168 oC. BaTiO3 juga mengalami transisi

paraelektronik pada temperatur 2 oC.(6) Hal ini tentunya akan menaikkan ongkos

pembuatan sehingga belum menarik untuk diproduksi.

II.3 Perovskit

II.3.1 Pendahuluan

Oksida berstruktur perovksit merupakan salah satu material yang banyak dikaji

dalam kimia dan fisika padatan, sains material dan geologi. Gustav Rose,

kimiawan asal Jerman, pada tahun 1893 menemukan mineral CaTiO3 yang

kemudian dinamai Perovskit untuk menghormati Lev Alexeievitch Perovsky.

Meskipun perovskit awalnya hanya untuk CaTiO3, akan tetapi dalam

perkembangan ilmu sintesis, maka istilah perovskit diterapkan untuk senyawa

hasil sintesis yang secara stoikiometri dan struktur memiliki kesamaan dengan

CaTiO3. Orang yang pertama kali berhasil mensintesis senyawa berstruktur

perovskit adalah V.M Goldschmidt pada tahun 1927.

Perovskit sederhana dan ideal, seperti SrTiO3, memiliki simetri kubus (grup ruang

Pm3m, ap = 3,9 Å) ditunjukkan pada Gambar II.5. Secara stoikiometri perovskit

ditulis dengan AMX3, di mana A merupakan kation besar dengan biloks rendah,

M kation yang lebih kecil dan berkoordinasi oktahedral, sementara X merupakan

anion seperti F- atau O2-.

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

13

Tabel II. 1 Jenis kation pada oksida berstruktur Perovskit. Muatan Kation A Muatan kation B Contoh

+3 +2 +1

+3 +4 +5

LaCrO3 SrTiO3 NaWO3

Kation A menempati lubang kuboktahedral (bilangan koordinasi = 12) yang

dihasilkan dari penggunaan bersama sudut oktahedral. Oksida logam berstruktur

perovskit tidak terbatas pada jenis kation, tetapi juga pada ukuran relatif kation A

dan kation B. Dengan kata lain selain pada CaTiO3, perovskit ditemukan pula

pada oksida terner ABO3 yang lain yang terbentuk dari satu kation besar dan satu

kation kecil. Beberapa contoh ditunjukkan pada Tabel II. 1. Kation A biasanya

lebih besar daripada kation B, misalnya pada SrTiO3 di mana r(Sr2+) = 1,52 Å dan

r(Ti4+) = 0,745 Å, maka kation Sr menempati posisi A sedangkan Ti sebagai

kation B.(19)

(a) (b) (c)

Gambar II.5 (a-c) menunjukkan sel satuan struktur perovskit di mana kation A

berkoordinasi 12 (rocksalt) sementara kation B berkoordinasi 6 membentuk

oktrahedral.

II.3.2 Diagram Fasa (Ca,Sr)TiO3

Kajian larutan padat antara CaTiO3 dan SrTiO3 pada temperatur ruang yang

dilakukan oleh Ball, hasilnya ditunjukkan pada Gambar II.6. Gambar tersebut

memperlihatkan diagram fasa perovskit (Ca,Sr)TiO3 sebagai fungsi temperatur

Gambar II.5 Sel satuan untuk perovskit sederhana ideal (group ruang Pm3m). Struktur Perovskit SrTiO3 dengan pusat sel satuan pada kation Sr (a) dan Ti (b) serta susunan oktahedral pada perovskit (c). (Sr= bola biru, Ti= bola kuning, O= bola hijau).

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

14

yang diperoleh dari hasil kajian in situ sampel yang berbeda-beda komposisi

dalam larutan padat.

Gambar II.6 Diagram fasa (Ca,Sr)TiO3 sebagai fungsi komposisi Ca (mol%) pada berbagai temperatur. Sampel dipreparasi dengan sintering selama 96 jam pada 1400 oC kemudian dipanaskan ulang pada temperatur 1550 oC selama 85 jam telah dikaji pada berbagai komposisi.

Dari Gambar II.6 dapat dilihat adanya transisi fasa dari grup ruang Pm3m ↔

Bmmb, ketika komposisi kation Sr2+ digantikan oleh Ca2+ sebanyak 50%. Hal ini

juga menunjukkan adanya transisi dari keadaan kubus sempurna menjadi geometri

tetrahedral atau ortorombik. Sementara pada komposisi Ca2+ sebanyak 70 %

transisi terjadi dari Bmmb ↔ I4/mcm.

Carpenter mengajukan sebuah Persamaan yang menunjukkan kecenderungan

transisi ditentukan oleh temperatur penjenuhan Θs.

(II. 18)

Di mana Tck adalah temperatur transisi kubik ↔ tetragonal pada komposisi x,

x adalah proporsi SrTiO3 dalam mol% dan Θs = 274 K, Tc = 1621, k = 0,05.(21)

Diagram fasa lainnya diungkapkan oleh McQuarrie yang mengindikasikan

perubahan fasa tetragonal ↔ ortorombik pada temperatur ruang dengan adanya

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

15

perubahan komposisi Ca-Sr Gambar II.7 Pada konsentrasi Ca yang lebih besar,

perovskit berfasa ortorombik mendominasi, sebaliknya pada konsentrasi yang

rendah, fasa dominan adalah tetragonal.(22)

Gambar II.7 Diagram fasa (Ca,Sr,Ba)TiO3. K (kubik), T (tetragonal), dan O

(ortorombik). Titik-titik dan garis menunjukkan komposisi dari sampel yang dikaji oleh Kyomen.

Parameter sel perovskit pada (Ca,Sr)TiO3 yang disisipi kation praseodimium

(Pr3+) pada site A, di ungkapkan pula oleh Kyomen sebagaimana terlihat pada

Tabel II.2.

Tabel II.2 Komposisi, parameter sel perovskit (ap), grup ruang (S.G.), simetri titik (P.S.) pada site alkali tanah sistem ABO3, serta jumlah operasi simetri (N.S.O.) pada Prz(Ca1-xSrx)0.997TiO3. x z a (A) SG PS $SO

1,00 0,0024 3,905 Pm3m Oh 48

0,80 0,0024 3,892 I4/mcm D2d 8

0,60 0,0023 3,876 Bmmb C2v 4

0,50 0,0025 3,869 Bmmb C2v 4

0,40 0,0023 3,860 Pnma C1h 2

0,00 0,0024 3,824 Pnma C1h 2

Parameter sel perovskit didefinisikan sebagai ap = V1/3, di mana V merupakan

volume sel satuan ABO3. Parameter sel perovskit menurun dengan penurunan

nilai x sebagai konsekuensi dari ukuran kation Ca2+ yang lebih kecil daripada

kation Sr2+.(22)

Tidak larut

K

T

T

O

BaTiO3 CaTiO3

SrTiO3

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

16

II.3.3 Aplikasi Material Berstruktur Perovskit

Perovskit dapat bervariasi dalam jenis dan muatan kation. Oleh karena itu material

ini sangat menarik untuk dikaji. Misalnya SrTiO3 yang banyak diaplikasikan

dalam material dielektrik dan fotoelektrik, sementara BaTiO3 merupakan

komponen utama dalam material dielektrik seperti kapasitor dan termistor

keramik.(23) Material berstruktur perovskit dapat digunakan sebagai anoda dalam

sel bahan bakar (SOFC’s, Solid Oxide Fuel Cells).(24) SrTiO3 dan BaTiO3 juga

merupakan material yang sangat sering digunakan dalam preparasi komponen

elektronik berupa lapis tipis, dan material optoelektrik.(10) Sifat luminesens dari

material berstruktur perovskit, misalnya dari lapis tipis BaTiO3 yang disisipi

europium, cukup menarik untuk dikaji.(9)

Senyawa (Ca,Sr)TiO3 memiliki fungsi-fungsi yang juga cukup penting dalam

bidang teknologi. Kyomen menggunakan ion logam praseodimium sebagai

penyisip dalam material (Ca,Sr,Ba)TiO3 untuk mengamati fotoluminesens pada

temperatur kamar. Sifat luminesens ini sangat menarik karena kemungkinan untuk

aplikasinya dalam perangkat elektronik seperti pada display.(22)

II.4 Luminesens

II.4.1 Pendahuluan

Luminesens didefinisikan sebagai fenomena emisi cahaya oleh suatu zat.

Luminesens merupakan proses yang non-kesetimbangan di mana untuk dapat

berlangsung harus menggunakan sumber eksitasi seperti laser. Luminesens terjadi

ketika elektron pada material target kembali ke keadaan dasarnya setelah

dieksitasi oleh energi dari sumber eksitasi dan kehilangan energi sebagai foton

seperti diilustrasikan pada Gambar II.8.

Luminesens dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai contoh, reaksi kimia,

energi listrik, pergerakan pada tingkat sub atomik, atau peregangan dalam kristal.

Berdasarkan sumber eksitasinya, dikenal beberapa jenis luminesens seperti

fotoluminesens jika digunakan sumber eksitasi optis, sementara istilah

elektroluminesens digunakan jika eksitasi terjadi akibat arus listrik. Jenis lainnya

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

17

yakni jika terjadi akibat pembombardiran material target yang dikenal dengan

katodoluminesens.(25)

Gambar II.8 Transisi elektron dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi terjadi ketika elektron dikenai energi. Kemudian terjadi relaksasi di mana sejumlah energi diemisikan ketika elektron kembali ke keadaan dasar dan dikenal sebagai luminesens.

Fotoluminesens (PL) merupakan bidang yang banyak dikaji terutama dalam

mempelajari material semikonduktor dengan celah energi yang lebar. PL terbagi

atas dua kelompok utama yaitu luminesens intrinsik dan ekstrinsik. Pada

luminesens intrinsik terbagi lagi menjadi tiga jenis luminesens, yaitu:(25)

1. luminesens dari pita-ke-pita

2. luminesens eksiton

3. luminesens silang (cross-luminescence)

Sementara luminesens ekstrinsik dihasilkan akibat ketidakmurnian yang secara

sengaja atau tidak disengaja seperti terlihat pada Gambar II.9. Jenis pengotor

dalam material ini dikenal sebagai aktivator. Ditinjau dari aktivator dalam

semikonduktor dikenal dua jenis luminesens ekstrinsik yaitu tipe terlokalisasi dan

Vib.Relaksasi

Fluoresensi

Absorbsi

Keadaan dasar

Keadaan

tereksitasi

En

erg

i

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

18

tidak terlokalisasi. Defek (cacat) dalam semikonduktor dipelajari dari spektrum

fotoluminesens. Adapun jenis-jenis cacat dalam semikonduktor di antaranya

adalah: (26)

1. Kekosongan kisi, kekosongan atom pada kisi kristal.

2. Interstisi, pengotor terisolasi dan menempati posisi pengganti.

3. Cacat Schottky, adanya kekosongan anion dan kation yang akan

memenuhi kesetimbangan muatan.

4. Cacat Frenkel, kekosongan diseimbangkan oleh atom interstisi dari

jenis yang sama.

Untuk kekosongan kisi dan atom interstisi, biasanya padatan ionik bermuatan

karena muatan akibat gangguan ini tidak diseimbangkan oleh ion dari tipe yang

berbeda. Pada kristal umum, penambahan muatan ini tidak dapat ditoleransi,

karena dapat menimbulkan potensial elektrostatis yang cukup besar. Cacat yang

menimbulkan muatan ini terjadi, jika muatan itu diimbangi dengan cacat lain

seperti pada cacat Schottky dan Frenkel.

Gambar II. 9 Skema komponen material luminesens

Semua cacat yang terjadi pada kristal akan merubah susunan dari kisi kristal ideal,

di mana akibatnya adalah dihasilkannya panjang gelombang elektron dengan nilai

vektor gelombang, k, yang berbeda. Sehingga perjalanan elektron melalui kristal

akan disebarkan ke dalam rute yang berbeda (Gambar II.9). Hal yang sama juga

terjadi pada semikonduktor, di mana elektron dan hole yang tereksitasi secara

Absorbsi fotonAbsorbsi fotonAbsorbsi fotonAbsorbsi foton

Foton yang diemisikanFoton yang diemisikanFoton yang diemisikanFoton yang diemisikan SintetizerSintetizerSintetizerSintetizer

AktivatorAktivatorAktivatorAktivator

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

19

termal juga disebarkan oleh cacat ini. Bagaimanapun juga pada padatan non-

logam, cacat dan ketidakmurnian dapat mempunyai efek yang lebih penting,

karena dihasilkannya tingkat energi elektronik ekstra di dalam celah energi antara

pita valensi dan konduksi. Faktor yang paling penting dalam penentuan dampak

elektronik dari cacat kristal adalah besarnya energi pada tingkat energi serta

banyaknya elektron yang menempati tingkat energi tersebut.(26)

Senyawa-senyawa dengan struktur perovskit, sifat luminesens telah banyak

dilaporkan. Seperti senyawa SrTiO3 yang menunjukkan kecenderungan

berluminesens dengan mengemisikan warna hijau pada fasa amorf, sebaliknya

ketika kristalin senyawa ini tidak berluminesens seperti ditunjukkan pada Gambar

II.10.(2)

Gambar II. 10 Fotoluminesens lapis tipis SrTiO3 yang di eksitasi dengan laser 488 nm. (1) fasa amorf pada suhu kamar (2) fasa kristalin pada suhu kamar (3) fasa kristalin pada suhu 10 K.

II.4.2 Pengukuran Fotoluminesens (PL)

Fotoluminesens merupakan emisi yang dihasilkan dari eksitasi foton (biasanya

laser) dan umumnya menggunakan material semikonduktor III-V. Analisis ini

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

20

memungkinkan karakterisasi non-destruktif pada semikonduktor (komposisi

material dan pengujian kualitatif). Skema spektrofluorometer ditunjukkan pada

Gambar II.11.

Secara garis besar, komponen utama dalam spektrofluorometer terdiri dari bagian-

bagian sebagai berikut:

a) Sumber sinar untuk eksitasi, dapat berupa laser He-Cd atau Xenon. Lampu

dengan monokromator atau laser dengan pengatur panjang gelombang

digunakan unuk eksitasi PL.

b) Sampel holder, biasanya material cryostat optis.

c) Filter dan pengumpul optik. Satu filter untuk memilih emisi laser, filter

lainnya untuk memecahkan hamburan sinar laser.

d) Elemen dispersive untuk analisis spektra PL, berupa grating

monokromator.

e) Detektor optik.

Berkas laser argon difokuskan pada sampel yang diletakkan pada sebuah

compartment. Jika energi foton dari sumber laser lebih besar daripada celah energi

pada semikonduktor, maka sampel akan mengabsorpsi foton. Semua berkas

dikumpulkan dan dianalisis dengan dual flat field spectrograph. Pada

spektrofotometer ini digunakan dua detektor CCD dan InGaAs. Kondisi ini

memungkinkan untuk mengamati energi antara 0,75 sampai dengan 4 eV.

Gambar II. 11 Skema spektrofotometer fotoluminesens

Laser

Sampel Spektrometer Detektor

Lensa

PL

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

21

Sifat luminesens material memiliki banyak manfaat (Kirti, 2007).(27) Beberapa di

antaranya adalah:

1. Material luminesens dapat digunakan dalam system scintillation counters

di mana nukleon dapat dideteksi.

2. Material luminesens juga digunakan dalam fabrikasi plat untuk x-ray

imaging.

3. X-ray fluorescence digunakan dalam pengujian non-destruktif pada roket

dan material untuk bahan pesawat.

4. Material ini ditemukan pula sebagai tabung fluoresen, lampu hemat energi,

dan lainnya.

5. Sifat katodoluminesens material digunakan pada layar televisi, osiloskop

sinar katoda, radar, dan lainnya.

6. Semikonduktor berbahan material luminesens dapat juga digunakan dalam

fabrikasi LED dan laser.

II.5 Sonokimia

II.5.1 Gelombang Ultrasonik

Istilah ultrasonik berkaitan dengan segala sesuatu yang berada di atas frekwensi

yang dapat didengar, umumnya lebih besar dari 20 kHz. Ultrasonik juga lazim

digunakan untuk keperluan pengobatan dengan frekwensi yang biasa digunakan

adalah pada kisaran 10 MHz.

Gelombang ultrasonik dihasilkan dari sebuah alat yang disebut pembangkit

gelombang ultrasonik. Pada Gambar II.12 dapat dilihat bahwa secara umum

pembangkit gelombang ultrasonik terdiri atas beberapa bagian penting,

diantaranya sumber tegangan, rangkaian pembangkit gelombang, dan pemancar.

Fungsi pemancar (transmiter) adalah melepaskan pulsa-pulsa listrik kearah sensor

kristal piezoelektrik di dalam transduser sehingga mengakibatkan transmisi paket

gelombang ultrasonik di dalam pancarannya. Skema rangkaian pemancar

pembangkit gelombang ultrasonik disajikan pada Gambar II.12.

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

22

Gambar II.12 Skema rangkaian pemancar pembangkit gelombang ultrasonik.

Rangkaian pemancar gelombang ultrasonik ini terdiri power supply sebagai

pembangkit sumber tengangan dan rangkaian pembangkit gelombang ultrasonik

yang menggunakan IC CMOS sebagai dasar pembangkit gelombang ultrasonik.

Gelombang ultrsonik yang dipancarkan oleh transduser merupakan sebaran medan

akustik fraunhofer (wilayah jauh, r > ro) yang medan tekanannya merupakan

perpanjangan linear sumbernya yaitu suatu berkas radiasi yang tegak lurus dengan

permukaan pemancar. Pengaturan ini dimaksud untuk menyederhanakan hasil

gemanya dengan menyingkirkan hamburan yang terjadi di daerah maksimum

sekunder. Di dekat sumber (transduser) terdapat maksimum dalam arah ke depan

dan dua maksimum sekunder. Makin jauh dari sumber hanya maksimum

tengahnya saja yang tertinggal.

II.5.2 Pengaruh radiasi ultrasonik dalam reaksi kimia

Suslick dan para peneliti di Universitas Illonois telah menciptakan bola nano

berongga dan kristal nano berongga yang pertama mengunakan ultrasonik

berintensitas tinggi. Bola nano ini dapat digunakan pada mikroelektronik,

panghantar obat, dan sebagai katalis dalam pembuatan bahan bakar ramah

lingkungan.(28)

Pada sintesis partikel nano molibdenum disulfida dan molibdenum oksida

misalnya, kedua material ini masing-masing dapat diikatkan pada permukaan

silika kecil yang berukuran jauh lebih kecil dari sel darah merah. Proses

pengikatan ini menggunakan radiasi ultrasonik. Kemudian untuk membentuk bola

berongga, material tersebut dipanaskan untuk menghasilkan pelapisan yang

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

23

seragam, dan lapisan silika dihilangkan dengan menggunakan asam fluorida.(29) Di

sini dapat disimpulkan bahwa prosedur sonokimia dapat dengan mudah

diaplikasikan pada sistem bahan yang berbeda untuk menghasilkan tambahan tipe

rongga lainnya dengan berukuran nano.

Istilah sonokimia muncul dari kekosongan akustik – pembentukan, pertumbuhan

dan pecahnya gelembung kecil gas dalam sebuah cairan yang dipecahkan oleh

suara, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar II.13. Ketidakstabilan gelembung

ini menghasilkan pemanasan lokal yang intensif, membentuk titik panas pada

cairan dingin dengan temperatur 5.000 K, dan tekanan 1.000 atm yang hanya

memiliki lifetime sepermilyar detik.(29)

Untuk memahami bagaimana cara tumbukan kavitasi dapat mempengaruhi

perubahan kimia, harus dipertimbangkan berbagai kemungkinan akibat dari

tumbukan ini di dalam sistem yang berbeda. Di dalam kasus dari reaksi-reaksi

fasa cair yang homogen, ada dua pengaruh besar. Pertama, rongga yang dibentuk

tidak mungkin berupa suatu ruang hampa (dalam wujud rongga) pasti berisi uap

air dari media cair atau bahan reaktan atau gas-gas mudah menguap.

Selama tumbukan, uap ini akan diperlakukan dalam kondisi yang ekstrim

temperatur dan tekanan yang tinggi (seperti dapat dilihat pada Gambar II.13),

menyebabkan molekul-molekul untuk terpecah dan menghasilkan jenis radikal

reaktif. Bagian radikal ini kemudian bereaksi di manapun di dalam gelembung

yang pecah atau setelah migrasi ke dalam cairan ruahnya. Kedua, tumbukan yang

mendadak dari gelembung juga mengakibatkan satu aliran masuk tiba-tiba dari

cairan itu untuk mengisi kekosongan menghasilkan gaya geser di dalam

melingkupi cairan ruah yang dapat memecahkan ikatan kimia dalam segala

material, yang kemudian larut dalam cairan atau mengganggu lapisan batas

(baundary layer) yang menjembatani pengangkutan.

Kondisi reaksi untuk suatu proses kavitasi harus mempertimbangkan pemilihan

temperatur operasi dari bahan pelarut. Setiap peningkatan tekanan uap pelarut

mengurangi temperatur dan tekanan maksimum untuk tumbukan gelembung.

Dengan demikian, untuk suatu reaksi di mana tumbukan kavitasi di mana

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

24

penyebab utamanya adalah pengaktifan, temperatur operasi yang rendah

direkomendasikan terutama jika suatu pelarut memiliki titik didih yang rendah.

Dan sebaliknya, untuk suatu reaksi yang memerlukan temperatur terelevasi,

penggunaan pelarut yang memiliki titik didih tinggi lebih direkomendasikan. Hal

ini sangat penting untuk mengendalikan mekanisme dalam reaksi kimia.

Gambar II.13 Ilustrasi Efek kavitasi pada irradiasi ultrasonik. Gelombang ultrasonik menyebabkan terbentuknya tekanan akustik di sekitar cairan/medium.

Pengaktifan kavitasi di dalam sistem heterogen merupakan suatu konsekuensi dari

efek mekanis peronggaan. Dalam suatu sistem yang heterogen, tumbukan dari

gelembung berongga mengakibatkan cacat-cacat mekanis dan struktur. Tumbukan

dekat permukaan akan menghasilkan aliran masuk tiba-tiba yang asimetris dari

cairan itu untuk mengisi pembentukan kekosongan di permukaan. Pengaruh ini

setara dengan pancaran cairan bertekanan tinggi, dan inilah alasan mengapa

ultrasonik digunakan untuk membersihkan permukaan logam. Tumbukan pada

permukaan, terutama sekali dari material serbuk, menghasilkan energi yang cukup

untuk menyebabkan pemecahan menjadi kepingan kecil (bahkan untuk

penghalusan logam). Dengan demikian, di dalam situasi ini, ultrasonik dapat

meningkatkan luas permukaan untuk suatu reaksi dan menyediakan energi

pengaktifan tambahan melalui pencampuran yang efisien serta peningkatan

Lapisan

cairan

Gelembung

bertekanan

-

T

eka

na

n a

ku

stik

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

25

transfer massa. Untuk reaksi-reaksi yang heterogen, harus dijaga antara

keseimbangan peronggaan agar cukup untuk pengaktifan prekursor tanpa

mengganggu termodinamika dari reaksi.(30)

II.6 Difraksi Sinar-X Serbuk

Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang

terbentang dan sekitar 0,1 sampai 100 x 10-10 m. Gelombang ini dihasilkan ketika

elektron bergerak dengan cepat mengenai suatu target yang padat dan tenaga

gerak yang diubah menjadi radiasi. Panjang gelombang dan radiasi dipancarkan

tergantung dan energi elektron.

Gambar II.14 Skema Tabung Sinar-X

Gambar II.14 menunjukkan skema suatu tabung sinar-X sederhana. Suatu

tegangan yang sangat tinggi diberikan pada bagian elektroda. Sementara dalam

tabung diberikan tekanan rendah sekitar 10-3 mmHg. Arus mengalir antara kedua

elektroda dan elektron yang menuju target logam itu, menyebabkan pancaran dan

Sinar-X.

Pendekatan paling awal pada analisis pola difraksi yang dihasilkan oleh suatu

kristal, adalah dengan menganggap bidang kisi pada kristal sebagai cermin dan

kristal sebagai tumpukan bidang kisi pemantul dengan jarak d seperti terlihat pada

Gambar II.15.

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

26

Gambar II.15 Difraksi sinar-X pada kisi kristal. λ adalah panjang gelombang sinar-X, d adalah jarak antar kisi kristal, θ adalah sudut datang sinar.

Sesuai dengan hukum Bragg bahwa jika ada dua berkas sinar-X yang paralel

mengenai bidang-bidang kisi kristal yang sama dengan jarak antar bidang d, maka

perbedaan jarang yang ditempuh kedua berkas sinar tersebut berbanding langsung

dengan panjang gelombangnya.

AB + BC = nλ (II. 19)

AB = BC = d sin θ (II. 20)

2 d sin θ = λ (II. 21)

2 d sin θ = n. λ (II. 22)

Persamaan II.22 lebih dikenal sebagai Persamaan Bragg dengan n = 1, 2, 3, dan

seterusnya adalah orde difraksi. Persamaan Bragg tersebut digunakan untuk

menentukan parameter sel kristal. Sedangkan untuk menentukan struktur kristal

secara lengkap dengan menggunakan metoda komputasi kristalografik, data

intensitas digunakan untuk menentukan posisi-posisi atomnya.

II.7 Scanning Electron Microscope (SEM)

Untuk dapat mengamati tipologi suatu material diperlukan suatu alat untuk

mencitrakan dengan baik, salah satunya adalah dengan mikroskop elektron.

Scanning Electron Microscope, SEM, memiliki kemampuan untuk memindai

permukaan suatu material dengan resolusi yang sangat tinggi. Tekstur serta

topografi bahan dapat diamati dengan baik. Prinsip alat ini sama dengan

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-cepikurnia-31362-3... · 5 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena

27

mikroskop binokuler, hanya saja menggunakan sumber radiasi yang berbeda. Jika

sinar pantul dari mikroskop binokuler membentuk Gambar dari sinar yang

dipantulkan permukaan sampel, sedangkan SEM menggunakan elektron untuk

membentuk Gambar.

Perbedaan panjang gelombang dari sumber radiasi ini menghasilkan tingkat

resolusi yang berbeda, elektron memiliki panjang gelombang yang jauh lebih

pendek dibandingkan foton sinar tampak, dan panjang gelombang yang lebih

pendek ini dapat menghasilkan informasi dengan resolusi yang lebih tinggi.

Resolusi tambahan ini nantinya memungkinkan pembesaran yang lebih tinggi

tanpa kehilangan detail.

Umumnya SEM hanya dapat digunakan untuk mencitrakan material yang bersifat

konduktif. Akan tetapi, untuk material yang non-konduktif pencitraan permukaan

harus melalui proses pelapisan permukaan untuk memberikan konduktivitas

sampel. Pelapisan permuaan dilakukan dengan material konduktivitasnya baik

seperti Au, Pt dan Pd. Teknik pelapisan dilakukan dengan metode sputtering.

Perangkat SEM terdiri dari empat sistem yang terintegrasi, yaitu:(31)

1. Sistem iluminasi yang menghasilkan berkas elektron dan

mengarahkannya ke sampel.

2. Sistem informasi, yang meliputi data yang dilepaskan oleh sampel

selama penembakan elektron. Sinyal data ini dipisah-pisahkan dan

dianalisis oleh suatu detektor.

3. Sistem layar, terdiri dari satu atau dua tabung sinar katoda untuk

mengamati dan memotret permukaan yang diinginkan.

4. Sistem vakum, yang berfungsi untuk menghilangkan gas dari kolom

mikroskop agar tidak berinteraksi dengan berkas elektron sehingga

mengganggu dalam pembentukan Gambar.