bab ii tinjauan pustaka a. teori efektifitas...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Efektifitas Hukum
Achmad Ali bependapat bahwa, ketika ingin mengetahui sejauh mana
efektifitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana
aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”11.
Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor
yang banyak mempengaruhi efektifitas suatu perundang-undangan adalah
profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para
penegak hukum, baik di dalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri
mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut12.
Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan
keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal
ini terkadang mempersulit penelaahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan
teori efektivitas, namun secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai
keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan.
Teori efektifitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
11 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, 2010,
Halaman 375
12 Ibid
21
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup13.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang
menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak
tergantung dari aturan hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto ukuran efektifitas pada elemen pertama adalah :
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup
sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup
sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-
bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan
yuridis yang ada.14
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum
tertulis adalah apaarat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya
aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan
baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan
profesional dan mempunyai metal yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap
efektifitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal
berikut :
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberi kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
13 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta, 2008, Halaman 8
14 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, Halaman 80
22
4. Sampai sejauhmana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan
kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya15.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan
prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai
alat untuk mencapai efektifitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana
yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini. Khususnya untuk sarana atau fasilitas
tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut:
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru dibetulkan;
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan;
3. Yang kurang-ditambah;
4. Yang macet-dilancarkan;
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
. Soerjono Soekanto memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen
tertentu dari prasarana, dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang
menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat
di tempat atau lokasi kerjanya16.
Adapun elemen-elemen tersebut adalah:
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka
waktu pengadaannya.
3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
15 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta, 2008,halaman 82
16 Ibid halaman 83
23
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi
fungsinya17.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut
antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan
seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang actual.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektifitas yang tergantung dari
kondisi masyarakat, yaitu:
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang
baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun peraturan
sangat baik dan aparaat sudah sangat berwibawa.
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau
aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi18.
Elemen tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan
kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul.
Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari
komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan
disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam
17 Ibid
18 Ibid halaman 84
24
hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter
tentang efektifitas atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan
masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang
ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal. Masyarakat Indonesia
mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai
pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa
dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum19.
Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat
positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya
rangsangan yang bersifat positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk
melakukan sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat
muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak
adil dan sebagainya. Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena adanya
semacam tekanan dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar
warga masyarakat tunduk kepada hukum20.
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat
sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah
sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material.
19 Ibid halaman 85
20 Ibid
25
Hal ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem
kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan.
Struktur mencangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya,
menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-
lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap
buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan
nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.
Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekanto
adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan ketrentaman,
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhalakan,
3. Nilai kelanggenggan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme21.
Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat
diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adat dan hukum positif
di Indonesia, dengan demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum
perundang-undangan dapat berjalan secara efektif. Kemudian diharapkan juga
adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempati hukum pada
tempatnya.
21 Ibid halaman 87
26
Teori efektifitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut
relavan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita yaitu bahwa
faktor-faktor yang menghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya terletak
pada sikap mental aparatur penegakkan hukum (hakim, jaksa, polisi dan
penasehat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang
sering diabaikan yaitu biasa berupa faktor masyarakat, faktor penunjang sarana
dan fasilitas maupun dari faktor kebudayaan yang ada pada masyarakat22.
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya
kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat
terhadap hukum. Hukum dapat efektif jika kalau faktor-faktor yang
mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran
efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undang yang berlaku dapat
dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau perundang-undangan tersebut
mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektifitas hukum atau peraturan
perundang-undangan tersebut telah tercapai23.
Teori efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan
waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah
22 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar
Maju, Bandung. 2001, Halaman 55
23 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta, 2008, halaman 91
27
ditentukan terlebih dahulu. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses
pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau
kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah
mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi
maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam
melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi
instansi tersebut.
B. Sanksi dan Efektivitas Sanksi (Denda)
Tiap masyarakat atau golongan menghendaki agar kaedah yang berlaku
dipatuhi, tetapi tidak semua orang dapat dan mau mematuhi kaedah yang ada.
Salah satu upaya agar kaedah yang ada dipatuhi adalah dengan merumuskan
suatu sanksi yang akan diterapkan apabila terjadi pelanggaran kaedah. Suatu
sanksi pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah
kelompok.
Sanksi tersebut dapat berwujud sebagai sanksi positif dan dapat pula
berwujud sanksi negatif. Sanksi positif adalah unsur-unsur yang mendorong
terjadinya kepatuhan atau prilaku yang sesuai dengan kaedah-kaedah.
Sebaliknya, sanksi negatif menjatuhkan penderitaan atau nestapa kepada
pelanggar kaedah kelompok.
Dengan demikian, maka proses pemberian sanksi mencakup suatu sistem
imbalan dan penderitaan, yang akibatnya adalah suatu dukungan yang efektif
28
untuk mematuhi kaedah-kaedah. Pada hakikatnya suatu sanksi bertujuan untuk
memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh
pelanggaran-pelanggaran kaedah ke keadaan semula. Bahwa kaedah hukum,
termasuk sanksinya, tidak dapat beroperasi dengan sendirinya.
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum khususnya
hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui
beberapa tahap:
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut sebagai tahap
kebijakan legislatif.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat
juga disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh
aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini disebut juga tahap kebijakan
eksekutif atau administratif24.
Dilihat dari pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat dikatakan
bahwa penegakan hukum itu dilakukan untuk membuat hukum yang
bersangkutan, dan tentu juga sanksinya, dapat berfungsi. Salah satu fungsi
hukum adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakann dan diterapkan secara
baik. Pelaksanaan hukum dapat berjalan dalam keadaan normal, damai, tetapi
dapat juga terjadi karena ada pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang
telah dilanggar harus ditegakkan25.
24 Soerjono Soekanto, Sanksi dan Efektivitas Sanksi, Cetakan Kelima, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 204, halaman 42
25 Ibid
29
Melalui penegakan hukum inilah hukum yang bersangkutan menjadi
kenyataan. Hukum harus dilaksanakan atau ditegakkan. Dalam hal ini setiap
orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa
konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, dan pada dasarnya
tidak diperbolehkan adanya penyimpangan. Dengan kata lain adalah dalam
penegakan hukum harus diperhatikan terciptanya kepastian hukum26.
Kepastian hukum ini merupakan perlindungan bagi pencari keadilan
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum,
masyarakat akan lebih tertib. Hal ini yang tidak boleh dilupakan dalam
penegakan hukum adalah terciptanya suatu keadilan. Masyarakat sangat
berkepentingan terhadap diperhatikannya masalah keadilan dalam penegakan
hukum, sehingga kepastian dan keadilan harus berjalan dengan bersama agar
terciptannya penerapan hukum yang lebih baik27.
Hukum memang tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat
umum, obyektif, mengikat setiap orang dan bersifat menyamaratakan. Barang
siapa melakukan pelanggaran lalu lintas harus dihukum. Hal ini berarti setiap
orang yang melanggar peraturan-peraturan lalu lintas harus dihukum, tanpa
membeda-bedakan siapa yang melakukan pelanggaran tersebut. Sebaliknya,
26 Ibid halaman 44
27 Ibid halaman 45
30
keadilan lebih bersifat subyektif, individual, dan tidak menyamaratakan. Adil
bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain28.
Tidak jarang kita jumpai orang-orang yang tidak mengacuhkan hukum
atau bahkan melanggar hukum dengan terang-terangan. Dengan demikian,
pengaruh pelaksanaan hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya kepatuhan
hukum, tetapi mencakup juga efek total dari hukum terhadap prilaku manusia,
baik yang bersifat positif maupun negatif, yang berwujud kepatuhan dan
ketidakpatuhan.
Hukum dikatakan efektif apabila terjadi pengaruh hukum yang positif.
Dengan demikian, hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun
merubah prilaku manusia. Tetapi dalam kenyataannya tidaklah sedemikian
sederhana.
Dalam hukum pidana, apabila efektivitas sanksi harus diorientasikan pada
tujuan pidana seperti yang dirumuskan dalam konsep rancangan KUHP, maka
suatu sanksi pidana dikatakan efektif apabila:
1. Dapat mencegah dilakukannya tindak pidana
2. Dapat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna
3. Dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat29.
Pada ukuran yang pertama, kata “mencegah” dapat diartikan secara luas
dan dapat pula diartikan secara sempit. Dalam pengertiannya yang luas, kata
“mencegah” dapat ditafsirkan dengan mencegah agar orang lain tidak
28 Ibid halaman 46
29 Ibid halaman 48
31
melakukan tindakan atau pebuatan, yaitu calon pembuat potensiil atau
masyarakat pada umumnya, tidak melakukan tindak pidana yang sama seperti
yang dilakukan oleh terpidana. Dalam pengertiannya yang sempit, “mencegah”
berarti mencegah agar si pembuat tidak mengulangi tindak pidananya. Dengan
melakukan pembinaan agar terpidana menjadi orang yang baik dan berguna
bagi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, jelas dimaksudkan agar
ia tidak melakukan lagi tindak pidana. Dalam ukuran yang luas dan sempit
diatas terkandung suatu tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari
tindak pidana.
Ukuran efektifitas sanksi pidana yang ketiga seperti tersebut di atas
sedikit banyak mengandung tujuan pidana dalam hukum adat, yaitu untuk
memulihkan keseimbangan nilai-nilai yang hidup serta mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat. Tujuan yang ketiga ini selaras dengan konsep KUHP
yang berusaha memberikan tempat bagi hukum adat sejajar dengan hukum
positif tertulis30.
B.1. Pengertian Denda (fine)
Hukuman denda selain dicantumkan pada pelaku pelanggaran juga
diancamkan pada pelaku kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau
kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan
30 Ibid
32
minimum dua puluh lima sen, sedangakan jumlah maksimum, tidak ada
ketentuan.
Mengenai hukuman denda diatur dalam Pasal 30 KUHPidana yang
berbunyi sebagai berikut :
1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
2) Jika denda tidak dibayar diganti hukuman kurungan.
3) Lamanya hukuman kurungan pengganti denda sekurang-kurangnya satu
hari dan selama-lamanya enam bulan.
4) Dalam putusan hakim lamanya kurungan pengganti ditetapkan demikian,
jika dendanya lima puluh sen atau kurang dihitung satu hari, jika lebih
dari lima puluh sen, tiap-tiap lima puluh sen dihitung paling banyak satu
hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen.
5) Jika ada pemberatan denda disebabkan karena perbarengan atau
pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka kurungan
penggati paling lama dapat menjadi 8 bulan.
6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan31.
Berdasarkan urain di atas maka sanksi pidana denda dapat diartikan
sebagai ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana, sebagai suatu alat pemaksa
ditaatinya suatu aturan atau kaidah, undang-undang atau norma hukum publik
yang mengancam perbuatan yang melanggar hukum dengan cara membayar
sejumlah uang sebagai hukuman atau menebus kesalahan atas suatu perbuatan
yang melanggar peraturan tersebut.
B.2. Kerangka Teoritik Pidana Denda dalam Hukum Pidana
Pidana denda merupakan salah satu jenis dari pidana pokok dalam hukum
pidana Indonesia yang merupakan bentuk pidana tertua dan lebih tua dari pada
pidana penjara dan setua pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap
31 Prof. Moeljatno,S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan 27, Jakarta, Bumi
Aksara, 2008 halaman 15
33
masyarakat, termasuk masyarakat primitife atau dahulu karena sejak zaman
majapahit sampai beberapa masyarakat terdahulu mengenal dan menerapkan
pidana denda tersebut32.
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban bagi seorang yang telah
melanggar larangan dalam rangka mengembalikan keseimbangan hukum atau
menebus kesalahan dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Pidana denda
tersebut diancam sebagai alternatif dengan pidana kurungan terhadap hampir
semua pelanggaran yang ditentukan dalam buku III KUHP dan Undang-undang
diluar KUHP. Ranah pidana denda hanya dapat disejajarkan atau disamaratakan
dengan ancaman pidana untuk kejahatan ringan, kejahatan karena kealpaan,
ketidak sengajaan, khilaf, pelanggaran, atau pidana penjara jangka pendek
lainnya. Ukuran atau kesamarataan pidana denda sebagai alternatif atau sebagai
pengganti penjara atau kurungan, dalam perkembangannya, masih fluktuatif.
Dapat dilihat dari perkembangan pembentukan Undang-undang yang berada
diluar KUHP33.
B.3. Pengaturan Pidana Denda dalam KUHP
Kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana positif
Indonesia bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa:
1. Pidana pokok, terdiri dari:
32 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradna Pramita, 1993,
halaman 53
33 Suhariyono, Pembaruan Pidana Denda Indonesia, Jakarta, Papas Sinar Sinanti, 2012, halaman
38
34
a. pidana mati
b. pidana penjara
c. pidana kurungan
d. pidana denda
e. pidana tutupan (yang di tambahkan berdasarkan Undang-Undang No.
201946).
2. Pidana tambahan, terdiri atas:
a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. pengumuman keputusan hakim34.
Berdasarkan urutan pidana pokok dalam pasal 10 KUHP tersebut,
terkesan bahwa pidana denda adalah merupakan pidana pokok yang paling
ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang diatur dengan tegas menyatakan
demikian. Akan tetapi melihat urutan yang terdapat pada Pasal 10 KUHP
pidana denda menjadi pidana paling ringan. Dapat dilihat di Pasal 104 sampai
dengan Pasal 488 untuk kejahatan (buku II) perumusan pada pidananya adalah
pidana penjara tunggal, pidana penjara dengan alternatif denda, pidana
kurungan tunggal, pidana kurungan dengan alternatif denda, dan pidana denda
yang diancamkan secara tunggal. Pidana denda yang digunakan hanya untuk
sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam buku II dan buku III
KUHP.
34 Prof. Moeljatno,S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan 27, Jakarta, Bumi
Aksara, 2008 halaman 5
35
B.4. Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas
Pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan pada Undang-undang lalu lintas35.
Pelanggaraan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 yang
menggantikan Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Undang-undang lalu lintas terbaru tersebut menerapkan sanksi pidana yang
lebih berat bagi si pelanggar terhadap lalu lintas. Pada setiap daerah
mempunyai ukuran sendiri mengenai jumlah maksimum dan minimum denda
yang akan diterapkan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 1993 yang menyebutkan: “Dalam hal menentukan maksimum
uang titipan untuk pelanggaran yang bersifat ringan, sedang, dan berat, Ketua
Pengadilan Negeri agar memperharikan secara teliti keadan sosial dan ekonomi
di wilayah hukumnya masing-masing”. Sesuai dengan Surat Edaran diatas,
dapat dipahami bahwa penjatuhan atau pemberian pidana denda bagi pelanggar
lalu lintas digantungkan pada keadaaan dan kemampuan pada masyarakat
setempat. Surat edaran tersebut tidak mengikat, namun ketentuan yang ada
didalamnya secara umum dipatuhi oleh Pengadilan Negeri, dengan alasan
untuk mengurangi keanekaragaman (disparitas) pemidanaan denda36.
35 Ramdlon Naning, Menggairah Kesadaran Hukum Masyarakat dan Displin Penegak Hukum
dalam lalu lintas, Bina Ilmu, Surabaya, halaman 94
36 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara
Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Tertentu
36
C. Tinjauan Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
C.1. Pengertian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah
satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya, yang mana
pengertian lalu lintas itu sendiri di atur di dalam UU lalu lintas dan angkutan
jalan khusunya pasal 1 ayat (1). Untuk lalu lintas itu sendiri terbagi atas Laut,
darat dan udara37.
Lalu lintas sendiri merupakan suatu sarana transportasi yang di lalui
bermacam-macam jenis kendaraan, baik itu kendaraan bermesin roda dua atau
beroda empat pada umumnya dan kendaraan yang tidak bermesin contohnya
sepeda, becak dan lain-lain38.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportas
nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan
Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan
pengembangan wilayah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang
37 Undang-Undang Replubik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Jakarta, Sinar Grafika, halaman 2
38 Ibid halaman 3
37
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah merupakan suatu dasar hukum
terhadap pemberlakuan Kegiatan lalu lintas ini, dimana makin lama makin
berkembang dan meningkat sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat yang terus meningkat. Kalau ditinjau lebih lanjut tingkah laku lalu
lintas ini ternyata merupakan suatu hasil kerja gabungan antara manusia,
kendaraan dan jaringan jalan.
Lalu Lintas adalah gerak kendraan dan orang diruang lalu lintas
jalan.Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan :
1. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan angkutan jalan yang aman,
selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk
perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangasa, serta mampu menjunjung tinggi martabat
bangsa.
2. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa.
3. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat39.
Lalu lintas adalah pergerakkan kendaraan, orang dan hewan di jalan.
Pergerakkan tersebut dikendalikan oleh seseorang menggunakan akal sehat.
Orang yang kurang akal sehatnya mengemudikan kendaraan dijalan, akan
mengakibatkan bahaya keamanan dan keselamatan bagi pemakai dan
pengguna jalan yang lain. Demikian juga hewan (kuda, sapi, kerbau dan
keledai) yang dijalankan tanpa dikendalikan oleh seseorang yang mempunyai
sehat akalnya akan membahayakan keamanan dan keselamatan bagi pemakai
dan pengguna jalan yang lain40.
39 Direktorat Lalu Lintas Polri, Ditlantas Polri, Paduan Praktis Berlalu Lintas,2009 Halaman 12
40 Adib Bahari, Tanya Jawab Aturan Wajib Berlalu Lintas, Pustaka Yustisia,Jakarta,2010,
halaman 28
38
C.2. Pengertian Jalan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan yang dimaksud
dengan jalan ialah tempat berlalu lintasnya orang atau kendaraan dalam
menjalankan aktifitasnya, tempat keluar masuknya kendaraan.
Yang diaksud jalan ialah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapanya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel
dan jalan kabel. Hal ini dijelaskan dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (12)
undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan41.
Dalam PERKAB POLRI Nomor 10 Tahun 2012 pasal 13 dan 14
menyebutkan setidaknya ada 5 (lima) jenis jalan yaitu :
a. Jalan nasional ialah jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan
strategis nasional, serta jalan tol.
b. Jalan provinsi ialah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau
antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
c. Jalan kabupaten ialah Jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan,
41 Undang-Undang Replubik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Jakarta, Sinar Grafika, halaman 4
39
antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal,
antarpusat kegiatan lokal, serta Jalan umum dalam system jaringan Jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan Jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota ialah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta
menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di dalam kota.
e. Jalan desa ialah jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan42.
C.3. Pengertian Kendaraan Bermotor
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang di gerakkan oleh peralatan
teknik untuk pengereakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat.
Kendaraan adalah suatu yang digunakan untuk untuk di kendarai atau dinaiki
seperti kuda, kereta, mobil dan lain-lain43.
Bermotor adalah alat untuk mengadakan kekuatan penggerak dengan
jalan dan sebagainya seperti sepeda motor dijalankan dengan mesin atau
mobil dan sebagainya44.
42 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu Dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu
Lintas
43 Hoetomo, Kamus LengkapBahasa Idonesia,Penerbit Mitra Belajar, Surabaya, 2005, Halaman
254
44 Ibid
40
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (7) kendaraan adalah
Suatu sarana angkut dijalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan
kendaraan tidak bermotor45.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) kendaraan bermotor
adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa
mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel46.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (10) bahwa kendaraan
bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan
barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran47.
D. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan intregasi nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Replubik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari
sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus
dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan keamanan,
kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka
45 Undang-Undang Replubik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Jakarta, Sinar Grafika, halaman 3
46 Ibid
47 Ibid halaman 4
41
mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara48.
Pembagian kewenangan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan
tanggung jawab setiap pembina bidang lalu lintas dan angkutan jalan terlihat
lebih jelas dan transparan sehingga penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dapat terlaksana dengan selamat, aman, tertib, lancar dan efesien, serta
dapat di pertanggung jawabkan.
Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan industri di bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dalam undang-undang ditegaskan bahwa pemerintah
berkewajiban mendorong industri dalam negeri, antara lain dengan cara
memberikan fasilitas, insentif, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Pengembangan industri mencakup pengembangan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan cara dan metode rekayasa,
produksi, perakitan dan pemliharaan serta perbaikan. Untuk menekan angka
kecelakaan yang dirasakan cukup tinggi, upaya kedepan diarahkan pada
penanggulanagan secara komprehensif yang mencangkup upaya pembinaan,
pencegahan, pengaturan dan penegakkan hukum. Upaya pembinaan tersebut
dilakukan melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas dan
penyuluhan hukum serta pembinaan sumber daya manusia49.
48 Ibid halaman 182
49 Ibid
42
Uapaya pencegahan dilakukan melaui peningkatan pengawasan kelaikan
jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan kendaraan, termasuk
pengawasan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lebih intensif50.
Uapaya pengaturan meliputi manajemen dan rekayasa Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan modernisasi sarana dan prasarana Lalu Lintas. Upaya penegakan
hukum dilaksanakan lebih efektif melalui perumusan ketentuan hukum yang
lebih jelas serta penerapan sanksi yang lebih tegas.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan di bidang pelayanan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Undang-Undang ini mengatur pula perlakuan khusus bagi
penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
Bentuk perlakuan khusus yang diberikan oleh Pemerintah berupa pemberian
kemudahan sarana dan prasarana fisik atau nonfisik yang meliputi aksesibilitas,
prioritas pelayanan dan fasilitas pelayanan51.
Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang memenuhi standar keselamtan dan keamanan, undang-
undang ini mengatur persyaratan teknis dan uji berkala kendaraan bermotor.
Setiap jenis kendaraan bermotor yang berpotensi menyebabkan kecelakaan Lalu
Lintas dan menimbulkan penecemaran lingkungan wajib uji berkala.
Untuk menangani kecelakaan Lalu lintas, pencegahan kecelakaan
dilakukan melalui partisipasi para pemangku kepentingan, pemberdayaan
50 Ibid
51 Ibid
43
masyarakat, penegakan hukum, dan kemitraan global. Undang-undang ini pada
dasarnya diatur secara komprehensif dan terperinci. Namun, untuk melengkapi
secara operasional, diatur secara teknis ke dalam peraturan pemerintah, peraturan
Menteri, dan peraturan Kepala Kepolsian Negara Republik Indonesia.
E. Pelanggaran Lalu Lintas
Menurut M. Marwan dan Jimmy P. mengatakan bahwa:
Pelanggaran adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih ringan dari
pada kejahatan, tindak pidana yang dilakukan karena kealpaaan artinya bahwa
tindak pidana itu dilakukan dengan tidak sengaja, melainkan terjadi karena
pelakunya alpa, kurang memperhatikan keadaaan atau khilaf52.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pelanggaran diartikan
sebagai:
Pelanggaran berasal dari kata “langgar” mengandung makna tempat ibadah,
tubruk, laga, landa, “melanggar” artinya menubruk, menyalahi , melawan,
menyerang, menabrak, atau melanda. “pelanggaran” artinya perbuatan
melanggar, atau tindak pidana yang lebih ringan dari pada kejahatan53.
Tentang pengertian lalu lintas dalam kaitannya dengan lalu lintas jalan,
Ramdlon Naning menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran lalu
lintas jalan adalah perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas54.
52 M.marwan dan Jimmy P.2009, Kamus Hukum. Reality Publisher. Surabaya.halaman 439.
53 Hoetomo, Kamus LengkapBahasa Idonesia,Penerbit Mitra Belajar, Surabaya, 2005, Halaman
258
54 Ramdlon Naning, Menggairah Kesadaran Hukum Masyarakat dan Displin Penegak Hukum
dalam lalu lintas, Bina Ilmu, Surabaya, halaman 94
44
Pelanggaran yang dimaksud diatas adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 105 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 yang berbunyi:
Setiap orang yang menggunakan Jalan Wajib:
a. Berperilaku tertib; dan/atau
b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan
kerusakan jalan55.
Jika ketentuan tersebut diatas dilanggar maka akan dikualifikasikan
sebagai suatu pelanggaran yang terlibat dalam kecelakaan.
Untuk memberikan penjelasan tentang pelanggaran lalu lintas yang lebih
terperinci, maka perlu dijelaskan lebih dahulu mengenai pelanggaran itu
sendiri. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana
dibagi atas kejahatan (misdrijve) dan pelanggaran (overtredingen). Mengenai
kejahatan itu sendiri dalam KUHP diatur pada Buku II yaitu tentang Kejahatan.
Sedangkan pelanggaran diatur dalam Buku III yaitu tentang Pelanggaran.
Dalam hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai kriteria pembagian
tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yaitu bersifat kualitatif dan
kuantitatif.
Menurut pandangan yang bersifat kualitatif didefinisikan bahwa suatu
perbuatan dipandang sebagai tindak pidana setelah adanya undang-undang yang
55 Undang-Undang Replubik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Jakarta, Sinar Grafika, halaman 74
45
mengatur sebagai tindak pidana. Sedangkan kejahatan bersifat recht delicten
yang berarti suatu yang dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-
undang atau tidak. Menurut pandangan yang bersifat kualitatif bahwa terhadap
ancaman pidana pelanggaran lebih ringan dari kejahatan.
Menurut JM Van Bemmelen dalam bukunya “Handen Leer Boek Van Het
Nederlandse Strafrecht” menyatakan bahwa perbedaan antara kedua golongan
tindak pidana ini (kejahatan dan pelanggaran) tidak bersifat kualitatif, tetapi
hanya kuantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan hukuman
yang lebih berat dari pada pelanggaran dan nampaknya ini didasarkan pada sifat
lebih berat dari kejahatan56.
Apabila pernyataan tersebut diatas dihubungkan dengan kenyataan
praktek yang dilakukan sehari-hari dimana pemberian sanksi terhadap pelaku
kejahatan memang pada umumnya lebih berat dari pada sanksi yang diberikan
kepada pelaku pelanggaran.
Untuk menguraikan pengertian pelanggaran, maka diperlukan para
pendapat Sarjana Hukum :
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian pelanggaran adalah
“overtredingen” atau pelanggaran berarti suatu perbutan yang melanggar
sesuatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari pada
perbuatan melawan hukum57.
56 Bambang Poernomo, 2002. Dalam Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia,
halaman 40
57 Wirjono Prodjodikoro, 2003. Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Refika Aditama, halaman 33
46
b. Sedangkan menurut Bambang Poernomo mengemukakan bahwa
pelanggaran adalah politis-on recht dan kejahatan adalah crimineel-on recht.
Politis-on recht itu merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau
keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Sedangkan crimineel-on
recht itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum58.
Berpedoman pada pengertian tentang pelanggaran dan pengertian lalu
lintas diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
pelanggaran lalu lintas adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan
seseorang yang mengemudi kendaraan umum atau kendaraan bermotor juga
pejalan kaki yang bertentangan dengan peaturan perundang-undangan lalu lintas
yang berlaku.
Ketertiban lalu lintas adalah salah satu perwujudan disiplin nasional yang
merupakan cermin budaya bangsa karena itulah setiap insan wajib turut
mewujudkannya. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran lalu lintas maka
diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan melaksanakan serta patuh terhadap
peraturan lalu lintas yang terdapat pada jalan raya.
F. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia
Polisi berasal dari kata Yunani yaitu Politea. Kata ini pada mulanya
dipergunakan untuk menyebut “orang yang menjadi warga Negara dari kota
Athena”, kemudian pengertian itu berkembang menjadi “kota” dan dipakai
untuk menyebut “semua usaha kota”59.
58 Ibid
59 Andi Munawarman, Sejarah Singkat POLRI, www.HukumOnline.com, diakses pada tanggal 18
Juni 2017 pukul 19.32 WIB
47
Polisi mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ
pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan agar
yang diperintah menjalankan badan tidak melakukan larangan-larangan
perintah.
Tugas, Fungsi, kewenangan dijalankan atas kewajiban untuk
mengadakan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan
cara melaksanakan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan
memaksa yang diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa
perantara pengadilan60.
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata polisi adalah
“suatu badan yang bertugas memelihara keamanan dan ketentraman dan
ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar hukum), merupakan suatu
anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan
dan ketertiban)61.
Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karena badan tersebut
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum
60 Momo Kelana, 1984. Hukum Kepolisian. Perkembangan di Indonesia Suatu studi Histories
Komperatif Jakarta: PTIK, halaman 18
61 Ibid
48
menjadi kenyataan. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, hak
azasi manusia, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas yang diterapkan
dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya
penyelenggaraan fungsi Kepolisian.
Di dalam undang-undang dimaksud, fungsi kepolisian diartikan sebagai
tugas dan wewenang, sehingga fungsi kepolisian yang dimaksud dalam Pasal 2
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Fungsi yang dimaksud merupakan salah satu fungsi pemerintahan,
karena dibentuknya Kepolisian Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinannya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Menjalankan fungsi sebagai penegak hukum polisi wajib memahani
azas-azas yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan
tugas yaitu sebagai berikut :
1. Asas Legalitas, dalam melaksankan tugasnya sebgai penegak hukum wajib
tunduk pada hukum.
2. Asas kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani
permasalahan masyarakat.
49
3. Asas partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat polisi
mengkoordinasikan pengamanan Swakarsa untuk mewujudkan ketaatan
hukum di kalangan masyarakat.
4. Asas preventif, selalu menedepankan tindakan pencegahan dari pada
penindakan (represif) kepada masyarakat.
5. Asas Subsidiaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan
permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang
membelakangi62.
Menurut Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia bahwa tugas pokok Kepolisian adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat63.
Berkaitan dengan tugas dan wewenang polisi ini harus dijalankan dengan
baik agar tujuan polisi yang tertuang dalam pasal-pasal berguna dengan baik,
Undang-undang kepolisian bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya
hukum serta terbinannya ketentraman masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanaan negara, terselenggaranya fungsi pertahannan dan keamanan negara,
tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung fungsi hak asasi manusia
terlaksana64.
Selain itu tujuan Polisi Indonesia menurut Jendral Polisi Rusman Hadi,
ialah mewujudkan keamanan dalam negara yang mendorong gairah kerja
masyrakat dalam mencapai kesejahteraan65.
62 Bisri Ilham, 1998. Sisten Hukum Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, halaman 32
63 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
64 Andi Munawarman, Sejarah Singkat POLRI, www.HukumOnline.com, diakses pada tanggal 22
Maret 2016 pukul 19.32 WIB.
65 Rusman Hadi, 1996. Polri menuju Reformasi, Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja, halaman 27
50
G. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas :
Menurut Soerjono Soekanto, Polisi lalu lintas dalam melaksanakan
tugasnya dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari:
1. Data pribadinya (Raw-Input)
2. Pendidikan, tempat pekerjaan maupun instansi lain (Instrument-Input)
3. Lingkungan sosial (Environtment-Input)66
Polisi lalu lintas adalah salah satu unsur pelaksana yang bertugas
menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan,
pengawalan dan patrol, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas,
registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan
kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum lalu lintas guna memelihara
keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat
di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat, karena dalam masyarakat modern lalu lintas merupakan faktor
utama pendukung produktivitasnya.
Dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 tahun
2009 bahwa tugas pokok dan fungsi Polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas
sebagai suatu urusan pemerintah di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor dan pengemudi, penegakkan hukum, operasional manajemen dan
rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas67.
66 Ibid
67 Undang-Undang Replubik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Jakarta, Sinar Grafika, halaman 12
51
Selanjutnya, tugas dan fungsi Polri tersebut diatur di Pasal 12 Undang-
undang Nomor 22 tahun 2009 meliputi 9 (Sembilan) hal yakni:
1. Pengujian dan penerbitan SIM kendaraan bermotor
2. Pelaksanaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor
3. Pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data lalu lintas dan
angkutan jalan
4. Pengelolaan pusat pengendalian sistem informasi dan komunikasi lalu lintas
dan angkutan jalan
5. Pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli lalu lintas
6. Penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan
kecelakaan lalu lintas
7. Pendidikan berlalu lintas
8. Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas
9. Pelaksanaan manajemen operasional lalu lintas.
Dengan adanya UU No. 22 Tahun 2009 ini, bukan berarti bahwa Polri
akan berorientasi pada kewenangan (authority). Akan tetapi, harus disadari
bahwa tugas dan fungsi Polri di bidang lalu lintas, berikut kewenangan-
kewenangan yang melekat, berkolerasi erat dengan fungsi kepolisian lainnya
baik menyangkut aspek penegakan hukum maupun pemeliharaan Keamanan
dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) dan pencegahan kejahatan secara
terpadu.
52
H. Ketentuan Pemasangan Lampu LED Atau HID Fariasi (Modifikasi Lampu
utama)
HID (High Intensity Discharge) yang lebih dikenal dengan nama lampu
Xenon mampu menghasilkan cahaya dengan tingkat intensitas yang tinggi.
Untuk tingkat keterangan warna dari lampu HID ditentukan oleh satuan derajat
Kelvin (K). Sedangkan untuk menyalakan lampu HID diperlukan Ballast yang
merupakan alat untuk menyediakan dan mengendalikan voltase lampu termasuk
juga untuk menstabilkan aliran listrik. Lampu HID punya banyak tingkat
keterangan yang ditentukan berdasarkan satuan derajat Kelvin (K) dan setiap
nilai memiliki warna sinar lampu yang berbeda-beda. Berikut adalah macam
warna berdasarkan tingkat derajat Kelvin: 4300K Kuning, 5500K Putih
Kekuningan, 6500K Putih, 8500K Putih-biru, 10000K Biru agak ungu, 12700K
Ungu, 15000K Pink Sinar lampu HID kebanyakan mengarah ke atas dan
melebar. Ini jelas berbeda dengan standar yang telah diterapkan. Lampu standar
haruslah mengarah ke bawah. Cahaya lampu kiri sedikit melebar ke kiri dan
mengarah lurus ke depan bawah,sementara lampu kanan melebar, tetapi agak
sedikit mengarah ke dalam. Kedua lampu mempunyai batas cahaya yang tidak
mengarah ke atas (cut off) Hal ini bertujuan agar tidak membuat silau
pengendara dari arah berlawanan. Dan jika dirasa kurang, barulah menggunakan
high-beam alias lampu jauh yang mengarah jauh ke depan dan arah
53
pencahayannya ke atas. Tapi menggunakan ini pun tidak boleh sembarangan.
Biasanya lampu jauh ini digunakan untuk melihat kondisi jalan jauh ke depan,
ketika penerangan minim atau tidak sama sekali. Sayangnya di Indonesia
kebanyakan yang digunakan adalah HID atau LED berspektrum putih kebiruan
atau bahkan putih keunguan dengna spektrum warna lebih dari 3200 Kelvin.
Karena sangat menyilaukan & tidak tembus hujan (tidak layak untuk digunakan
harian) karena dapat membahayakan pengemudinya sendiri atau sesama pemakai
jalan. Padahal hampir seluruh negara Eropa, penggunaan HID sudah dilarang
karena mengganggu pengemudi lain dari arah berlawanan dari kendaraan yang
menggunakan lampu Xenon (HID) Sekarang jika kita kaitkan dengan aturan dan
hukum yang berlaku di Indonesia, penggunaan lampu #HID ini juga
bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam UU No.22 tahun 2009 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan.Dalam pasal 48 ayat 1 dijelaskan bahwa:
setiap ranmor (kendaraan bemotor) yang dioperasikan di  jalan harus
memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Dijelaskan lebih lanjut pada pasal 48
ayat 3 bahwa persyaratan laik jalan ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan,
yang dalam huruf “g” memuat tentang daya pancar dan arah sinar lampu utama.
Kemudian dijelaskan juga pada pasal 58 bahwa:
setiap ranmor yang dioperasikan di jalan DILARANG memasang perlengkapan
yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.
Jika dihubungkan dengan penggunaan lampu HID atau LED yang
menyilaukan pengguna kendaraan dari arah berlawan, bisa kita simpulkan bahwa
54
penggunaan HID LED fariasi dpt dikategorikan mengganggu keselamatan
berlalu lintas dgn pancaran sinarnya yang menyilaukan.
Pasal 106 juga menyebutkan bahwa setiap orang yg mengemudikan ranmor di
jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis & laik jalan. Dalam
Pasal 24 PP No. 55 Tahun 2012 disebutkan lampu utama dekat & lampu utama
jauh selain sepeda motor harus memenuhi persyaratan sbb:
1. Lampu utama dekat dan lampu utama jauh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 selain Sepeda Motor harus memenuhi persyaratan:
a. Berjumlah 2 (dua) buah atau kelipatannya;–
b. Dipasang pada bagian depan kendaraan bermotor;–
c. Dipasang pada ketinggian tidak melebihi 1.500mm dari permukaan jalan
dan tidak melebihi 400mm dari sisi bagian terluar kendaraan; dan
d. Dapat memancarkan cahaya paling sedikit 40 M ke arah depan untuk lampu
utama dekat dan 100 M ke arah depan untuk lampu utama jauh.
2. Sedangkan untuk sepeda motor harus dilengkapi dengan lampu utama dekat
dan lampu utama jauh paling banyak dua buah dan dapat memancarkan
cahaya paling sedikit 40 M ke arah depan untuk lampu utama dekat dan 100
M ke arah depan untuk lampu utama jauh.
3. Dan apabila sepeda motor dilengkapi lebih dari 1 (satu) lampu utama dekat
maka lampu utama dekat harus dipasang berdekatan.
Hal ini diperjelas lagi dalam pasal 70 PP 55 2012 yang menerangkan bahwa :
a. daya pancar dan arah sinar lampu utama -harus lebih dari atau sama dengan
12.000 (dua belas ribu) candela.
b. Sedangkan arah sinar lampu utama tidak lebih dari 0` 34’ (nol derajat tiga
puluh empat menit) ke kanan dan 1` 09’ (satu derajat nol sembilan menit)
ke kiri dengan pemasangan lampu dalam posisi yang tidak melebihi 1,3%
(persen) dari selisih antara ketinggian arah sinar lampu pada saat tanpa
muatan dan pada saat bermuatan.
55
Jika ketentuan-ketentuan tentang penggunaan lampu utama dekat, dalam hal
ini penggunaan lampu HID atau LED digunakan tidak sesuai dengan ketentuan yg
sudah ada maka petugas berhak utk menindak pengguna jalan dgn menggunakan
pasal 285 UU No. 22 Th 2009 yang mana ayat 1 untuk pengendara sepeda motor,
sedangkan ayat 2 untuk pengendara kendara roda empat/lebih. yang berbunyi :
1. Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi
persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu
utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur
kecepatan, kanlpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000.00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah).
2. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau
lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca
spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan
kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul
cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor,
bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).